Anda di halaman 1dari 5

SISTEM PEMERINTAHAN YOGYAKARTA

Nama: Karmila Dwi Wijayanti


Kelas:XI MIPA 2
No.Absen:20
1. Carilah informasi bagaimana pemerintahan kesultanan Yogyakarta pada masa penjajahan belanda?
2. Carilah dan foto bangunan yang mencirikan sentuhan budaya asing (Portugis, Belanda, Tiongkok)
3. Bagaimana system pemerintahan/kesultanan Ngayogyakarta?

Jawaban:
1. Sejak awal Pemerintah Belanda, disebut-sebut sengaja mendekatkan diri dengan Keraton Yogyakarta untuk
memanfaatkan konsep feodalisme yang sudah tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat. Lewat hubungan
baiknya dengan keraton, pemerintah Belanda bisa mendapatkan ketaatan dan penghormatan dari masyarakat
tanpa perlu bersusah payah.
2.
- Sentuhan Portugis

Taman Sari bisa jadi pilihan wisata instagramable ketika liburan ke Yogyakarta. Wisata Instagramable
bergaya arsitektur Portugis-Jawa ini dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana I pada
1958. Bangunan ini sudah mengalami beberapa kali renovasi tanpa menghilangkan nilai sejarahnya.
Taman Sari masih terletak di dalam kompleks Keraton Yogyakarta Hadiningrat tepatnya di Kampung
Taman, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta. Memiliki bentuk bangunan arsitektur Eropa menjadi daya tarik
Taman Sari di mata wisatawan. Selain itu, konsep bangunan yang lebih condong tematik dengan mengutamakan
bagian pemandian maka tidak heran jika Taman Sari memiliki julukan 'Istana Air Jogja'. Taman Sari memiliki luas
mencapai lebih dari 10 hektar dengan 57 bangunan yakni bangunan utama, danau buatan, pulau buatan, kolam
pemandian, lorong bawah air, jembatan gantung, kanal air, dan masih banyak lagi bangunan mewah lainnya.

- Sentuhan Belanda

Pembangunan Benteng Vredeburg yang semula bernama Benteng Rustenburg dimulai tahun 1765-1790,
dibangun di atas tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat untuk kepentingan VOC di bawah pengawasan
Nicolaas Harting, Gubernur Pantai Utara Jawa. Benteng ini dirancang oleh Frans Haak, yang juga merancang
Benteng Vastenburg di Surakarta. Secara yuridis status tanah Benteng Vredeburg tetap milik kasultanan, tetapi
secara de facto penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh VOC. Gubernur W.H. van Ossenberg
mengusulkan agar bangunan benteng ini disempurnakan dan akhirnya dilaksanakan tahun 1767. Setelah selesai
disempurnakan benteng yang semula berukuran kecil menjadi bertambah besar dan menjadi pusat administrasi
militer VOC.
Bangkrutnya VOC tahun 1799-1807 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh perwakilan
Kerajaan Belanda di Jawa (Bataafsche Republiek), ketika negara Belanda di bawah kekuasaan Perancis (Napoleon
Bonaparte). Benteng tetap difungsikan sebagai markas pertahanan. Pada tahun 1807-1811, benteng diambil alih
oleh Koninklijk Holland (Kerajaan Belanda) di bawah Gubernur Jenderal Daendels. Setelah itu pada tahun 1811-
1816 benteng dikuasai oleh Kerajaan Inggris di bawah pengawasan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford
Raffles. Perubahan nama Benteng Rustenburg (tempat peristirahatan) menjadi Benteng Vredeburg (tempat
perdamaian) terjadi pada tahun 1830an pasca Perang Diponegoro. Perubahan nama ini juga terkait dengan
reorganisasi di tentara Hindia-Belanda. Pada tahun 1867 Benteng Vredeburg mengalami kerusakan parah akibat
gempa bumi.
Sampai dengan tahun 1942 benteng Vredeburg tetap digunakan sebagai pusat administrasi dan markas
militer Belanda, namun ketika Indonesia diduduki oleh Jepang, benteng digunakan sebagai pusat administrasi dan
markas militer. Setelah Indonesia merdeka, benteng terus difungsikan sebagai pusat administrasi dan markas
militer TNI, dan pernah dipergunakan sebagai Akademi Militer Indonesia setelah tahun 1948. Berdasarkan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0224/U/1981 tentang Penetapan
Bekas Benteng Vredeburg sebagai Benda Cagar Budaya, Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai Benda Cagar
Budaya pada tanggal 15 Juli 1981.

Berdasarkan piagam perjanjian antara Ditjen Kebudayaan dan Sultan Hamengkubuwono IX tanggal 16 April 1985
dengan nomor 359/HB/85 tentang perubahan-perubahan tata ruang gedung-gedung di dalam Benteng Vredeburg
diijinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum. Sejak tanggal 11 Maret 1987 Benteng Vredeburg
diresmikan sebagai Museum Bekas Benteng Vredeburg di bawah pengelolaan Kantor Wilayah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai Museum
Khusus Perjuangan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 0475/O/1992 tanggal 23 November 1992.
-
Wisata Bangunan Belanda Jogja yang pertama akan kami ulas adalah Kotabaru. Kawasan ini memang
merupakan kawasan lama yang pada jamannya didominasi oleh orang Belanda, tidak heran jika kebanyakan
bangunan perumahan yang ada di sini bergaya Belanda kolonial. Hal ini dikarenakan kawasan Kotabaru yang
dulunya bernama Niewu Wijk ini adalah kawasan yang paling maju di Yogyakarta. Kotabaru adalah sebuah wilayah
kelurahan yang menjadi bagian kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Kota ini merupakan kota bersejarah,
penuh dengan peninggalan bangunan-bangunan bersejarah dengan arsitektur Eropa. Kotabaru ditetapkan sebagai
kawasan heritage dan menjadi kawasan penopang keistimewaan DIY. Ini tercantum di perdais (Peraturan Daerah
Istimewa DIY). Namun sayangnya saat ini peninggalan sejarah tersebut hanya tersisa sekitar 45% saja, yang
sisanya banyak yang hancur atau dihancurkan untuk kepentingan tertentu.

- Sentuhan Tiongkok

Pemerintah Kota Yogyakarta sendiri telah menetapkan Kampung Ketandan sebagai kawasan Pecinan. Bangunan-
bangunan di kawasan ini akan dibuat dengan gaya Tionghoa. Sementara bangunan yang sudah atau masih
berarsitektur Tionghoa akan dipertahankan. Dalam berbagai literatur, Kampung Pecinan di Yogyakarta ini telah ada
sejak zaman Belanda. Kampung Pecinan Ketandan diperkirakan muncul pada akhir abad ke-19 sampai awal abad
ke-20. Pada masa itu Pemerintah kolonial Belanda sedang menerapkan aturan untuk membatasi pergerakan serta
wilayah tinggal para warga Tionghoa. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono II, warga Tionghoa akhirnya dapat
menetap di tanah yang terletak di utara pasar Beringharjo. Sultan saat itu berharap aktivitas pasar terdorong oleh
perdagangan mereka. Saat itu para etnis Tionghoa membuka pasar sembako tetapi kemudian mereka beralih
menjual emas. Sejak saat itu juga banyak warga China di kampung itu yang menjual emas.
3. Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan
kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh
negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik
terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940.

Sumber:

1. https://akurat.co/mengenal-jejak-belanda-dalam-keraton-yogyakarta
2. http://p2k.unkris.ac.id/id3/1-3065-2962/Kesultanan-Yogyakarta_33876_p2k-unkris.html
3. https://blog.thepalacejogja.com/bangunan-belanda-jogja-warisan-budaya-yang-klasik-dan-instagenik/

Anda mungkin juga menyukai