Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL DENGAN POST SECTIO (SC)


PRE EKLAMPSI BERAT (PEB)

Oleh :

Findasari, S.Kep

NIM 192311101169

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2020
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL DENGAN POST SECTIO (SC)


PRE EKLAMPSI BERAT (PEB)
Disusun guna untuk memenuhi tugas stase Keperawatan Maternitas pada
program Pendidikan Profesi Ners Fakultas Keperawatan
Universitas Jember

Oleh :

Findasari, S.Kep

NIM 192311101169

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2020
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU HAMIL DENGAN


POST SECTIO (SC) PRE EKLAMPSI BERAT (PEB)
Oleh : Findasari,S.Kep

1. Kasus
Ibu hamil dengan Post Sectio (SC) Pre Eklampsi Berat (PEB)
2. Konsep Dasar Nifas
A. Pengertian Nifas
Dalam bahasa latin, waktu tertentu setelah melahirkan anak disebur puerperium
yaitu kata puer yang artinya bayi dan parous yang artinya melahirkan. Masa
nifas merupakan suatu proses yang dimulai dari sejak plasenta lahir dan berakhir
dengan alat-alat bantu kandungan kembali pada keadaan sebelum hami
(Anggaraini, 2017). Masa nifas atau post partum adalah suatu masa setelah
persalinan selesai sampai dengan 6 minggu atau 42 hari. Masa nifas dibagi
menjadi 3 periode yaitu :
1. Puerperium dini, yaitu kepulihan ketika ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan.
2. Puerperium intermedial yaitu kepulihan yang menyeluruh bagian alat
genital.
3. Remote puerperium yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan dapat
sehat secara sempurna terutama bila selama hami atau waktu persalinan
mempunyai komplikasi.
B. Tahapan Masa Nifas
Masa nifas merupakan masa yang dibagi menjadi 3 tahapan menurut Bobak
(2012) yaitu :
1) Puerperium Early : Masa pemulihan dengan jangka waktu 0-24 jam post
partum yakni pada saat ibu diperbolehkan berdiri dan berjalan.
2) Puerperium Intermedial : Masa pemulihan dalam jangka waktu 1-7 hari
dengan pemulihan yang menyeluruh dari organ-organ genetal kira-kira 6-8
minggu.
3) Remot Puerperium : masa pemulihan dalam jangka waktu 1-6 minggu post
partum yang diperlukan untuk dapat pulih dan sehat terutama pada ibu hami
dengan yang mempunyai komplikasi.
C. Perubahan Fisiologis Masa Nifas
Perubahan pada masa nifas akan terjadi perubahan fisiologi yaitu :
1) Involusi uterus
Involusi uterus atau pengerutan pada uterus merupakan suatu proses
kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil. Berdasarkan suherni dkk
(2009) tinggi fundus uterus dan berat uterus pada masa involusi sebegai
berikut :

Involusi Tinggi Fundus Uterus Berat Uterus


Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Uri lahir 2 jari di bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat simpisis 500 gram
2 minggu Tidak teraba di atas simpisis 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram
Berdasarkan dewi (2013) proses involusi uterus adalah sebagai berikut :

a. Iskemia miometrium disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terus menerus.
b. Autolisis merupakan suatu proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di
dalam otor uterus.
c. Efek oksitosin yang menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterin
sehingga akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan berkurangnya
suplai darah ke uterus.
2) Involusi tempat plasenta
Setelah plasenta dan ketuban dikeluarkan maka akan terjadi konstriksi
vaskuler dan thrombosis. Setelah persalinan, tempat plasenta merupakan
suatu tempat permukaan kasar, tidak rata, dan kira-kira sebesar telapak
tangan. Luka akan mengecil pada akhir minggu ke 2 sebesar 3-4 cm dan
pada akhir masa nifas 1-2 cm
3) Serviks (mulut rahim)
Serviks menjadi lunak segera setelah ibu melahirkan 18 jam setelah post
partum, serviks memendek dan konsistensinya menjadi padat dan kembali
ke bentuk semula.
4) Lochea
Lochea adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas dan mempunyai
reaksi basa dan lochea mempunyai bau yang amis meskipun tidak terlalu
menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap wanita. Komposisi
lochea adalah jaringan endometrial, darah dan lifme. Lochea mengalami
perubahan karena proses involusi, tahap lochea yaitu:
1) Rubra (merah)
Lochea muncul pada hari pertama hingga hari ke tiga masa post partum.
Warnanya merah dan mengandung darah dari luka pada plasenta.
2) Sanguinolenta (merah kuning)
Lochea ini berwarna merah kuning berisi darah dan lendir, pengeluaran
pada hari ketiga sampai kelima post partum.
3) Serosa (pink kecoklatan)
Lochea ini muncul pada hari kelima sampai kesembilan. Warnanya
kekuningan atau kecoklatan, terdiri atas sedikit darah dan lebih banyak
serum.
4) Alba (kuning-putih)
Terjadi pada 10-14 hari, warnanya lebih pucat, putih kekuningan, lebih
banyak mengandung leukosit, selaput lendir serviks, dan serabut jaringan
yang mati.Lochea terus keluar sampai 3 minggu, bau normal seperti
menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri. Jumlah keluaran rata-rata
240-270 ml.
5) Siklus menstruasi
Siklus mentruasi pad aibu menyusui dimulai 12-18 minggu post partum.
Menstruasi pada ibu post partum tergantung hormon prolaktin. Apabila
ibu tidak menyusui mentruasi mulai pada minggu 5-8 minggu.
6) Perubahan pembuluh darah rahim
Dalam keadaan hamil mempunyai pembuluh-pembuluh darah yang
besar, tetapi karena setelah persalinan tidak diperlukan bagi peredaran
darah yang banyak, maka arteri tersebut harus mengecil lagi saat nifas.
7) Dinding perut dan peritonium
Setelah persalinan dinding perut menjadi longgar karena teregang begitu
lama, tetapi biasanya pulih kembali dalam 6 minggu.
8) Nyeri setelah persalinan
Setelah persalinan uterus tetap berkontraksi dengan kuat pada interval
tertentu dan menimbulkan nyeri, yang mirip dengan pada masa
persalinan namul lebih rinan.
9) Laktasi
Keadaan payudara pada dua hari pertama nifas sama dengan keadaan
dalam masa kehamilan yang belum mengandung susu melainkan
colostrum. Colostrum adalah cairan kuning yang mengandung banyak
protein dan garam.
D. Adaptasi Psikologis Ibu
Berdasarkan Bobak (2012) banyak wanita merasa tertekan pada saat setelah
melahirkan. Perubahan peran seorang ibu memerlukan adaptasi yang harus dijalani.
Tanggung jawab menjadi seorang ibu semakin besar dengan lahirnya bayi yang
baru lahir. Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan ibu mengalami fase-fase
sebagai berikut:
1. Fase Taking in (0 – 2 hari) Fase ini merupakan periode ketergantungan yang
berlangsung pada hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada
saat ini fokus perhatian pada diri sendiri. Gangguan fisiologis yang mungkin
dirasakan ibu pada fase ini:
a. Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan tentang
bayinya
b. Ketidaknyamanan sebagai akibat perubahan fisik, misalnya rasa mulas
dan payudara bengkak.
c. Rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya.
d. Suami atau keluarga yang mengkritik ibu tentang cara merawat bayinya
dan cenderung melihat saja tanpa membantu.
2. Taking hold (hari 3 – minggu ke 5)
Fase taking hold adalah periode yang berlangsung antara 3-10 hari setelah
melahirkan. Pada fase ini ibu merasa kawatir atas ketidakmampuannya dan
rasa tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Ibu memiliki perasaan yang
sangat sensitif sehingga mudah tersinggung dan gampang marah. Tugas
sebagai tenaga kesehatan adalah mengajarkan cara merawat bayi, cara
menyusui yang benar, cara merawat luka jahitan, mengajarkan senam nifas,
memberikan pendidikan kesehatan yang diperlukan ibu.
3. Letting go (minggu ke 5 – 8)
Fase letting go merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya
yang berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu sudah dapat
menyesuaikan diri, merawat diri dan bayinya, serta kepercayaan dirinya sudah
meningkat. Pendidikan yang kita berikan pada fase sebelumnya akan
bermanfaat bagi ibu. Ibu lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan diri dan
bayinya. Dukungan dari suami dan keluarga masih sangat diperlukan ibu.
Suami dan keluarga dapat membantu dalam merawat bayi, mengerjakan
urusan rumah tangga sehingga tidak terlalu terbebani.
E. Komplikasi
1. Perdarahan post partum (apabila kehilangan darah lebih dari 500 mL selama
24 jam pertama setelah kelahiran bayi).
2. Infeksi
a. Endometritis (radang edometrium)
b) Miometritis atau metritis (radang otot-otot uterus).
c) Perimetritis (rad ang peritoneum disekitar uterus).
d) Caked breast / bendungan asi (payudara mengalami distensi, menjadi keras
dan berbenjol-benjol).
e) Mastitis (Mamae membesar dan nyeri dan pada suatu tempat, kulit merah,
membengkak sedikit, dan nyeri pada perabaan. Jika tidak ada pengobatan
bisa terjadi abses).
f) Trombophlebitis (terbentuknya pembekuan darah dalam vena varicose
superficial yang menyebabkan stasis dan hiperkoagulasi pada kehamilan
dan nifas, yang ditandai dengan kemerahan atau nyeri.)
g) Luka perineum (Ditandai dengan : nyeri local, disuria, temperatur naik 38,3
°C, nadi < 100x/ menit, edema, peradangan dan kemerahan pada tepi, pus
atau nanah warna kehijauan, luka kecoklatan atau lembab, lukanya meluas)
3. Gangguan psikologis
a) Depresi post partum
b) Post partum Blues
c) Post partum Psikosa
4. Gangguan involusi uterus
F. Penatalaksanaan
1) Observasi ketat 2 jam post partum (adanya komplikasi perdarahan)
2) 6-8 jam pasca persalinan : istirahat dan tidur tenang, usahakan miring kanan
kiri
3) Hari ke- 1-2 : memberikan KIE kebersihan diri, cara menyusui yang benar
dan perawatan payudara, perubahan-perubahan yang terjadi pada masa nifas,
pemberian informasi tentang senam nifas.
4) Hari ke- 2 : mulai latihan duduk
5) Hari ke- 3 : diperkenankan latihan berdiri dan berjalan
4. Konsep Dasar Sectio Caesaria (SC)
A. Pengertian Sectio Caesaria
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu
insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2011).
B. Tujuan Sectio Caesarea
Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat lamanya
perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim.
Sectio caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya
jika perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi kematian bayi pada plasenta previa,
sectio caesarea juga dilakukan untuk kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea
dilakukan pada placenta previa walaupun anak sudah mati.
C. Etilogi
Berdasarkan Manuaba (2012) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur
uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Indikasi dari janin adalah
fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio
caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut:
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak
dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan
beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang
harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang
menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan
kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan
operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul
menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian
maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu
diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar
tidak berlanjut menjadi eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan
dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini
adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu. Ketuban
dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung.
Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam obstetric berkaitan
dengan penyulit kelahiran premature dan terjadinya infeksi khoriokarsinoma
sampai sepsis, yang meningkatkaan morbiditas dan mortalitas perinatal dan
menyebabkan infeksi ibu. Penatalaksanaan sectio cesaria pada pasien yang
mengalami KPD bila ketuban pecah kurang dari 5 jam dan skor pelvik kurang
dari 5.
4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran
kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran
satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah
letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada
jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan
kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal
beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki,
sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki
(Saifuddin, 2010).
7. Kelainan Letak lintang
Letak Lintang ialah jika letak anak di dalam rahim sedemikian rupa hingga
paksi tubuh anak melintang terhadap paksi rahim. Sesungguhnya letak lintang
sejati (paksi tubuh anak tegak lurus pada paksi rahim dan menjadikan sudut 90o)
jarang sekali terjadi. (Eni Nur Rahmawati, 2011) Pada letak Lintang, bahu
biasanya berada diatas pintu atas panggul sedangkan kepala terletak pada salah
satu fosa iliaka dan bokong pada fosa iliaka yang lain. Pada keadaan ini, janin
biasa berada pada presentase bahu/ akromion. (Icesmi Sukarni, 2013).
D. Jenis-jenis Sectio Cesaria
1) Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah
uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau
memanjang. Keunggulan pembedahan ini adalah :
a. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b. Bahaya peritonitis tidak besar.
c. Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian
hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa
banyak mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat
sembuh lebih sempurna.
2) Sectio caesaria klasik atau section cecaria korporal
Pada cectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini
yang agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada halangan
untuk melakukan section cacaria transperitonealis profunda. Insisi
memanjang pada segmen atas uterus.
3) Sectio cacaria ekstra peritoneal
Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi
bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap
injeksi pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga
peritoneum tak dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
4) Section cacaria hysteroctomi
Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi :
a. Atonia uteri
b. Plasenta accrete
c. Myoma uteri
d. Infeksi intra uteri berat
E. Penatalaksanaan Medis Post SC
Berdasarkan Manuaba (2012) penatalaksanaan pasien post SC sebagai berikut
1. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak
terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya.
Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL
secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb
rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca
operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang
sedini mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit
dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah
duduk (semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan
sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
4. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan.
Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis
operasi dan keadaan penderita.
5. Pemberian Obat -obatan
1) Antibiotik : cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-
beda setiap institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a. Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b. Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c. Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3) Obat-obatan lain : untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum
penderita dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
4) Perawatan luka : kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi,
bila basah dan berdarah harus dibuka dan diganti
5) Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu,
tekanan darah, nadi,dan pernafasan.
F. Komplikasi
a. Infeksi Puerperali
b. Perdarahan
c. Luka kandung kemih
d. Embolisme paru – paru
e. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut
pada dinding uterus
6. Pre Eklampsia Berat
A. Pengertian Pre eklamsia
Pre eklamsia merupakan suatu gangguan kehamilan yang dikakaitkan
dengan hipertensi onset baru, yang paling sering terjadi pada setelah usia
kehamilan 20 minggu. Meskipun sering disertai dengan proteinuria onset baru,
hipertensi dan tanda atau gejala preeklamsia lainnya, preeklamsia juga dapat
terjadi pada beberapa wanita tanpa adanya proteinuria (ACOG, 2020). Kondisi
preeklamsia-eklamsia yang klasik ditunjukkan dengan hipertensi onset baru
beserta proteinuria onset baru juga, ada pula hipertensi kronis dengan
preeklamsia superimposed dan hipertensi kronis dengan proteinuria onset baru
atau tanda / gejala preeklamsia lain setelah 20 minggu atau proteinuria kronis
dengan hipertensi onset baru (Rana dkk., 2019).
B. Penyebab
Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya preeklamsi antara lain :
1. Aliran darah ke uterus tidak mencukupi
2. Kerusakan pembuluh darah
3. Masalah dengan sistem imun
4. Gen tertentu
5. Kadar protein dalam urine (proteinuria) 
6. Riwayat hipertensi sebelum kehamilan.
C. Faktor Risiko
Berikut faktor risiko dari preeklamsia yang tercantum dalam Rana dkk., 2019:
1. Faktor Risiko Mayor
a. Preeklamsia sebelumnya
b. Hipertensi kronis
c. Diabetes mellitus pregestasional
d. Kehamilan kembar
e. BMI sebelum hamil > 30
f. Sindrom antifosfolipid
2. Faktor Risiko Lainnya
a. Lupus eritematosus sistemik
b. Riwayat lahir mati
c. BMI sebelum hamil > 25
d. Nulliparitas
e. Riwayat abruptio plasenta
f. Teknologi reproduksi terbantu
g. Penyakit ginjal kronis
h. Usia ibu lanj ut > 35
i. Kerentanan genetik (ibu, ayah)
3. Faktor Risiko yang Jarang
a. Riwayat keluarga preeklamsia
b. Trisomi 13 atau kelainan genetik serius yang disebabkan oleh adanya salinan
ekstra kromosom 13 pada sebagian atau seluruh sel tubuh. Trisomi 13 dikenal
juga dengan sindrom Patau. 
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala preeklamsi antara lain :
a) Sistolik ≥140 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg, pada dua kali pengukuran
setidaknya dengan jarak 4 jam, yang sebelumnya normotensi
b) Pada kondisi parah tekanan darah sistolik ≥160 mmHg, atau tekanan darah
diastolik ≥110 mmHg, pada dua kali pengukuran setidaknya dengan jarak 4
jam (kecuali terapi antihipertensi dimulai sebelum waktu ini)
c) Kelebihan protein dalam urin (proteinuria), menunjukkan hasil ≥300 mg/24
jam urine tampung atau protein/creatinine ≥0.3 atau dipstick reading =1+,
atau pada kondisi yang parah akan ditemukan konsentrasi kreatinin serum
> 1,1 mg / dL atau penggandaan kreatinin jika tidak ada penyakit ginjal
lain
d) Pada kondisi parah ditemukan Thrombocytopenia (<100 000 μL)
e) Sesak napas yang disebabkan oleh edema paru
f) Sakit kepala parah karena onset baru gejala serebral
g) Perubahan penglihatan, termasuk kehilangan penglihatan sementara,
penglihatan kabur atau sensitivitas cahaya karena onset baru gejala
penglihatan
h) Nyeri perut bagian atas, biasanya di bawah tulang rusuk di sisi kanan
i) Tidak merasakan gejala, dapat dikarenakan kurang pengetahuan dan
kesadaran mengenai gejala hipertensi
E. Patofisiologi
Proses terjadinya kondisi ini berhubungan dengan pertumbuhan plasenta yang
mengalami 2 tahap (Rana dkk., 2019):
Tahap 1
Merupakan tahap adanya pembentukan plasenta abnormal pada trimester
pertama. Dapat dietahui bahwa pada tahap 1, dimana plasenta mengalami
imaturitas maka timbul iskemia pada uteroplasental yang mengakibatkan
hipertensif, selain itu kondisi lain yang ditemui adalah oxidative stress, sel
pembuluh yang abnormal pada gen dan faktor eksternal (hal ini menunjkkan
adanya peran toxin yang dapat menginflamasi, membuat disfungsi endothelial dan
penyakit sistemik maternal).
Tahap ke 2
Tahap 2 ditunjukkan adanya sindrom maternal dengan karakteristik adanya
faktor antiangiogenic pada trimester kedua dan ketiga. Menunjukkan adanya
kegagalan resopon multi-organ yang muncul pada sindrom maternal preeklamtik.
Pada saat implantasi plasenta yang terjadi adalah kegagalan cytotrophoblast yang
mengakibatkan maternal uterine spiral arteri menjadi inkomplit, mengakibatkan
pembuluh maternal sempit, sehingga terjadi plasental iskemik dan timbul oxidative
stress.
F. Penanganan
Penatalaksanaan preeklamsia menurut Mayo Clinic pada tahu 2020 antara lain:
1. Biasanya ibu hamil dengan preeklamsia akan diberikan obat:
a. obat antihipertensi bila tekanan darahnya sangat tinggi (labetalol,
hydralazine, nifedipine)
b. obat kortikosteroid pada preeklamsi berat dan muncul sindrom HELLP,
obat ini membantu pematangan organ paru janin
c. obat anticonvulsant seperti MgSO4 untuk mencegah kejang
2. Tirah baring
3. Hospitalisasi
4. Persalinan
Faktor resiko :
1. Primigravda dan multigravida
2. Riwayat keluarga dengan preeklamsia/
Faktor imunologik Tekanan darah eklamsia
3. Pre-eklampsia pada kehamilan sebelumnya,
abortus
Perfusi ke jaringan 4. Ibu hamil dengan usia < 20 tahun atau >35
tahun
5. Wanita dengan gangguan fungsi organ atau
riwayat kesehatan, diabetes, penyakit ginjal,
migraine, dan hipertensi
6. Kehamilan kembar
7. Obesitas

Aliran darah berkurang Kebutuhan nutrisi janin Terjadi mikroemboli pada


tidak terpenuhi
Kerusakan glomerulus
hati (kerusakan liver) Edema

Adanya lesi pada arteri Kemampuan Nyeri epigastrium


CO2 Menurun Edema paru Edema serebral
utero plasenta filtrasi

Nyeri akut Dispnea Spasme arteriolar


Gangguan Perkusi Retensi urin
Resiko gawat janin Proteunaria
jaringan
Ketidak efektifan Pandangan
Protein Retensi urin pola nafas
kabur
Plasma
dalam tubuh
menurun Gangguan persepsi
sensori penglihatan

Kekurangan
volumen cairan
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Dokumentasi pengkajian merupakan catatan hasil pengkajian yang dilaksanakan untuk
mengumpulkan informasi dari pasien, membuat data dasar tentang pasien dan
membuat catatan tentang respon kesehatan pasien.
1) Identitas atau biodata pasien
Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status perkawinan,
pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit nomor register , dan diagnosa
keperawatan.
2) Keluhan utama
Pada pasien post operasi pasien biasanya mengeluh nyeri
3) Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
penyakit kronis atau menular dan menurun seperti jantung, hipertensi, DM, TBC,
hepatitis, penyakit kelamin atau abortus.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat pada saat sebelun inpartu di dapatkan cairan ketuban yang keluar
pervaginan secara sepontan kemudian tidak di ikuti tanda-tanda persalinan.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT, TBC,
penyakit kelamin, abortus, yang mungkin penyakit tersebut diturunkan kepada
pasien.
d. Riwayat psikososial
Riwayat pasien nifas biasanya cemas bagaimana cara merawat bayinya, berat
badan yang semakin meningkat dan membuat harga diri rendah.
4) Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata leksana hidup sehat
Karena kurangnya pengetahuan pasien tentang pre eklamsi, dan cara pencegahan,
penanganan, dan perawatan yang dapat menimbulkan masalah dalam perawatan
dirinya
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada pasien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu makan karena dari keinginan
untuk menyusui bayinya.
c. Pola aktifitas
Pada pasien pos partum pasien dapat melakukan aktivitas seperti biasanya, terbatas
pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga banyak, cepat lelah, pada pasien
nifas didapatkan keterbatasan aktivitas karena mengalami kelemahan dan nyeri.
d. Pola eleminasi
Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering /susah kencing
selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya odema dari trigono, yang
menimbulkan inveksi dari uretra sehingga sering terjadi konstipasi karena penderita
takut untuk melakukan BAB.
e. Pola istirahat dan tidur
Pada pasien nifas terjadi perubahan pada pola istirahat dan tidur karena adanya
kehadiran sang bayi dan nyeri episgartrium setelah persalinan
f. Pola hubungan dan peran
Peran pasien dalam keluarga meliputi hubungan pasien dengan keluarga dan orang
lain.
g. Pola penagulangan sters
Biasanya pasien sering melamun dan merasa cemas
h. Pola sensori dan kognitif
Pola sensori pasien merasakan nyeri pada prineum akibat luka janhitan dan nyeri
perut akibat involusi uteri, pada pola kognitif pasien nifas primipara terjadi
kurangnya pengetahuan merawat bayinya
i. Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-lebih menjelang
persalinan dampak psikologis pasien terjadi perubahan konsep diri antara lain dan
body image dan ideal diri
j. Pola reproduksi dan sosial
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual atau fungsi dari
seksual yang tidak adekuat karena adanya proses persalinan dan nifas
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Biasanya pada saat menjelang persalinan dan sesudah persalinan pasien akan
terganggu dalam hal ibadahnya karena harus bedres total setelah partus sehingga
aktifitas pasien dibantu oleh keluarganya.
5) Pemeriksaan fisik
a. Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat adanya
cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan
b. Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tioroid, karena adanya
proses menerang yang salah
c. Mata
Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata, konjungtiva, dan kadang-
kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses persalinan yang
mengalami perdarahan, sklera kunuing
d. Telinga
Biasanya bentuk telingga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya, adakah
cairan yang keluar dari telinga.
e. Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada pos partum kadang-kadang ditemukan
pernapasan cuping hidung
f. Dada
Terdapat adanya pembesaran payudara, adanya hiperpigmentasi areola mamae dan
papila mamae
g. Abdomen
Pada pasien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa nyeri.
Fundus uteri 3 jari dibawa pusat.
h. Genitaliua
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat
pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam kandungan
menandakan adanya kelainan letak anak
i. Anus
Kadang-kadang pada pasien nifas ada luka pada anus karena ruptur
j. Ekstermitas
Pemeriksaan odema untuk mrlihat kelainan-kelainan karena membesarnya uterus,
karenan preeklamsia atau karena penyakit jantung atau ginjal.
k. Muskulis skeletal
Pada pasien post partum biasanya terjadi keterbatasan gerak karena adanya luka
episiotomi
6) Tanda-tanda vital
Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah turun, nadi cepat,
pernafasan meningkat, suhu tubuh turun.
Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan edema paru
2. Nyeri akut berhubungan dengan post pembedahan
3. Retensi Urin berhubungan dengan kerusakan glomerulus
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan agen cedera fisiologis
Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Ketidakefektifan pola napas Manajemen Jalan Nafas
berhubungan dengan edema 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan
paru
3. Monitor spuntum
4. Posisikan semi flowler atau flowler
5. Berikan oksigenasi
6. Ajarkan batuk efektif
Monitor Pernafasan
1. Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan,
penggunaan otot-otot bantu nafas,
2. Monitor saturasi oksigen
3. Kolaborasi dengan tim medis pemberian nebulizer
Terapi Oksigen.
Definisi: Memberikan tambahan oksigen untuk mencegah
atau mengatasi kondisi kekurangan oksigen jaringan.
1. Monitor kecepatan aliran oksigen
2. Monitor kemampuan melepaskan oksigen
saat makan
3. Pertahankan kepatenan jalan napas
4. Kolaborasi penetuan dosis oksigen
2 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manejemen nyeri
keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi PQRST
dengan post pembedahan
tingkat nyeri pada pasien 2. Identifikasi faktor yang memperberat dan
menurun dengan kriteria hasio : memperingan nyeri
1. Keluhan nyeri 5 pemberian analgesik
2. Gelisah 5 3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik
3. Muntah 5 4. Monitor TTV sebelum-sesudah pemberian
4. Mual 5 analgesik
5. Monitor efektifitas analgesic
6. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesic,
sesuai indikasi
Aromaterapi
1. Identifikasi pilihan aroma yang disukai dan tidak
disukai
2. Pilih minyak esensial yang tepat sesuai indikasi
3. Berikan minyak esensial dengan metode tepat
(inhalasi, pemijatan, kompres)
Terapi sentuhan
1. Identifikasi keinginan melakukan intervensi
2. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan menjaga
privasi
3. Persiapkan diri dengan niat dan konsentrasi pada
penyembuhan klien
4. Letakkan tangan menghadap klien 3-5 inci dari
tubuh
5. Gerakan tangan perlahan terus sebanyak mungkin
mulai kepala hingga kaki
6. Monitor keluhan mual dan muntah

3 Ketidakseimbangan cairan Setelah dilakukan


intervensi Manejemen cairan
1. Monitor status hidrasi (akral, CRT, kelembapan
berhubungan dengan agen keperawatan selama 1x24 jam
mukosa, turgor kulit)
cedera fisiologis maka Keseimbangan Cairan 2. Monitor hasil pemeriksaan lab (hematokrit, Na, Cl,
Meningkat dengan kriteria hasil: K)
a)Haluaran Urin : 5 3. Catat intake-output, hitung balance cairan 24 jam
4. Beri asupan cairan sesuai kebutuhan
b)Edema : 5
Pemantauan cairan
c)Tekanan darah : 5 1. Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urin
d)Denyut nadi radial: 5 2. Monitor kadar albumin dan proterin total
3. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
4. Monitor elastisitas dan turgor kulit

Pemantauan tanda vital


1. Monitor tekanan darah
2. Monitor nadi
3. Monitor pernapasan (frekuensi, ritme, suara
tambahan, kedalaman)
4. onitor suhu tubuh
5. Monitor oksimtri nadi
Monitor tekanan nadi (selisih TDS dan TDD)
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini Y, 2010. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Yogyakarta : Pustaka.
Bobak, L. J. 2012. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta: EGC. . Jakarta:
EGC
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi Dan Indikator Diagnostik.
Edisi Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi Dan Tindakan
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definis Dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
ACOG. 2020. ACOG practice bulletin clinical management guidelines for obstetrician
gynecologists. gestational hypertension and preeclampsia. Obstetrics & Gynecology.
135(6):e237–e260.

Lestari, B. 2019. PENGALAMAN ibu dengan preeklamsia di rumah sakit umum daerah
provinsi nusa tengggara barat. Ejurnal.Binawakya. 14(5):2645–2651.

Mayo Clinic, 2020. Preeclampsia. https://www.mayoclinic.org/diseases-


conditions/preeclampsia/diagnosis-treatment/drc-20355751. Diakses pada 14
September 2020.

Rana, S., E. Lemoine, J. Granger, dan S. A. Karumanchi. 2019. Preeclampsia:


pathophysiology, challenges, and perspectives. Circulation Research. 124(7):1094–
1112.

Anda mungkin juga menyukai