Menurut catatan yang ada, Museum Sumpah Pemuda pada awalnya adalah rumah
tinggal milik Sie Kong Lian. Gedung didirikan pada permulaan abad ke-20. Sejak 1908
Gedung Kramat disewa pelajar Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche
Artsen) dan RS (Rechtsschool) sebagai tempat tinggal dan belajar. Saat itu dikenal
dengan nama Commensalen Huis. Mahasiswa yang pernah tinggal adalah Muhammad
Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah,
Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto,
Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif,
Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana.
Sejak tahun 1927 Gedung Kramat 106 digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan
pemuda untuk melakukan kegiatan pergerakan. Bung Karno dan tokoh-
tokoh Algemeene Studie Club Bandung sering hadir di Gedung Kramat 106 untuk
membicarakan format perjuangan dengan para penghuni Gedung Kramat 106. Di
gedung ini pernah diselenggarakan kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, PPPI.
Gedung ini juga menjadi sekretariat PPPI dan sekretariat majalah Indonesia Raja yang
dikeluarkan PPPI. Mengingat digunakan berbagai organisasi, maka sejak tahun 1927
Gedung Kramat 106 yang semula bernama Langen Siswo diberi nama Indonesische
Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).
Kemudian pada tahun 1937 – 1951 gedung ini disewa Loh Jing Tjoe yang
menggunakannya sebagai toko bunga (1937-1948).
Pada tahun 1951 – 1970, Gedung Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk
perkantoran dan penampungan karyawannya.
Pada tanggal 3 April 1973, Gedung Kramat 106 dipugar Pemda DKI Jakarta.
Pemugaran selesai 20 Mei 1973. Gedung Kramat 106 kemudian dijadikan museum
dengan nama Gedung Sumpah Pemuda.
Gedung Kramat Raya 106 dijadikan Museum karena memiliki sederet perjalanan
sejarah dan menjadi saksi dari proses panjang pembentukan semangat perjuangan bagi
kemerdekaan Indonesia. Di tempat dilaksanaannya Kongres Pemuda Kedua ini, sendi-
sendi dasar persatuan Indonesia didiskusikan, dirumuskan, untuk kemudian diikrarkan.
Museum Sumpah Pemuda
Wikimedia | © OpenStreetMap
Indonesia
transportasi Senen
Pal Putih
Peringkat Nasional
Kategori Bangunan
keberadaan
Pemilik Indonesia
Muhammad Yamin
Aboe Hanifah
Amir Sjarifuddin
Soegondo Djojopoespito
Setiawan
Soejadi
Mangaradja Pintor
A.K. Gani
Mohammad Tamzil dan Assaat dt Moeda.
Sejak 1925, gedung Kramat 106 menjadi tempat tinggal pelajar yang tergabung
dalam Jong Java. Mereka kebanyakan pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia
alias Stoviadan dari sekolah tinggi hukum RHS.[2] Aktivis Jong Java menyewa
bangunan 460 meter persegi ini karena kontrakan sebelumnya di Kwitang terlalu
sempit untuk menampung kegiatan kepanduan, diskusi politik dan latihan kesenian
Jawa. Anggota Jong Java dan mahasiswa lainnya menyebut gedung ini Langen
Siswo.
Sejak 1926, penghuni gedung ini makin beragam. Mereka kebanyakan aktivis
pemuda dari daerahnya masing-masing. Kegiatan penghuni gedung itu juga makin
beragam. Selain kesenian, mahasiswa di gedung ini aktif dalam kepanduan dan
olahraga. Gedung ini juga menjadi markas Perhimpunan Pelajar-Pelajar
Indonesia (PPPI), yang berdiri pada September 1926, usai kongres pemuda
pertama. Penghuni kontrakan, dengan payung PPPI, sering mengundang tokoh
seperti Bung Karno untuk berdiskusi. Para pelajar menyewa gedung itu dengan tarif
12,5 gulden per orang setiap bulan, atau setara dengan 40 liter beras waktu itu.
Mereka memiliki pekerja yang mengurus rumah yang dikenal dengan nama Bang
Salim.
Pemerintah Hindia Belanda selalu mengawasi dengan ketat kegiatan rapat pemuda.
Pemerintah memang mengakui hak penduduk di atas 18 tahun mengadakan
perkumpulan dan rapat. Namun, mereka bisa sewaktu-waktu
memberlakukan vergader-verbod atau larangan mengadakan rapat karena dianggap
menentang pemerintah. Setiap pertemuan harus mendapat izin dari polisi. Setelah
itu, rapat dalam pengawasan penuh Politieke Inlichtingen Dienst (PID), semacam
dinas intelijen politik. Rumah 106 ini juga selalu dalam kuntitan dinas intelijen ini,
termasuk rapat ketiga Kongres Pemuda II.
Di gedung ini juga muncul majalah Indonesia Raya, yang dikelola PPPI. Karena
sering dipakai kegiatan pemuda yang sifatnya nasional, para penghuni menamakan
gedung ini Indonesische Clubhuis, tempat resmi pertemuan pemuda nasional. Sejak
1927, mereka memasang papan nama gedung itu di depan. Padahal Gubernur
Jenderal H.J. de Graff sedang menjalankan politik tangan besi.
Kegiatan pemuda dialihkan ke Jalan Kramat 156 setelah para penghuni Kramat 106
tidak melanjutkan sewanya pada 1934. Gedung itu lalu disewakan kepada Pang
Tjem Jam sebagai tempat tinggal pada 1937-1951. Setelah itu, gedung disewa lagi
oleh Loh Jing Tjoe, yang menggunakannya sebagai toko bunga dan hotel. Gedung
Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran pada 1951-1970.[3]
Pada 1968, Sunario berprakarsa mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda,
dan meminta kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di
Kramat Raya 106 yang "hak guna bangun"-nya dipegang oleh Sie Kong Lian tetapi
telah habis masa berlakunya ke bentuknya semula. Tempat ini disepakati menjadi
Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti nama jalan Kramat Raya
menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.[4]
Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan
diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung
Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20
Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola
Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.[5]
Perhimpunan Indonesia
Jong Java
Jong Sumatranen Bond
Pemuda Kaum Betawi
Jong Islamieten Bond dan
Kepanduan atau INPO
Dalam ruangan ini pula dapat ditemukan realia berupa peralatan pandu yang
dipergunakan pada tahun 1920-an.
Galeri ruangan ini[sunting | sunting sumber]
Indonesisch Clubgebouw
Jong Batak
Jong Java
Pemuda Indonesia
Perserikatan Minahasa
Monumen Persatuan Pemuda 1928 yang berada pada halaman dalam museum