Anda di halaman 1dari 88

1.

MONAS

Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah salah satu
dari monumen peringatan yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat
Indonesia melawan penjajah Belanda.

Monumen Nasional yang terletak di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, dibangun pada dekade 1961an.

Tugu Peringatan Nasional dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Soedarsono
dan Frederich Silaban, dengan konsultan Ir. Rooseno, mulai dibangun Agustus 1959, dan diresmikan
17 Agustus 1961 oleh Presiden RI Soekarno. Monas resmi dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli
1975.

Pembagunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia
pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terbangkitnya inspirasi dan semangat patriotisme
generasi saat ini dan mendatang.

Tugu Monas yang menjulang tinggi dan melambangkan lingga (alu atau anatan) yang penuh dimensi
khas budaya bangsa Indonesia. Semua pelataran cawan melambangkan Yoni (lumbung). Alu dan
lumbung merupakan alat rumah tangga yang terdapat hampir di setiap rumah penduduk pribumi
Indonesia.

Lapangan Monas mengalami lima kali penggantian nama yaitu Lapangan Gambir, Lapangan Ikada,
Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas. Di sekeliling tugu terdapat taman, dua
buah kolam dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Pada hari-hari libur

Bentuk Tugu peringatan yang satu ini sangat unik. Sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer
yang berbentuk lingga yoni simbol kesuburan ini tingginya 132 m.

Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang
beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35kg. Lidah api atau obor ini sebagai simbol
perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Pelataran puncak dengan luas 11x11 dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling
badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas,
pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Arah ke selatan berdiri
dengan kokoh dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara
membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil berserakan. Bila menoleh ke Barat membentang
Bandara Soekarno-Hatta yang setiap waktu terlihat pesawat lepas landas.

Dari pelataran puncak, 17 m lagi ke atas, terdapat lidah api, terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton
dan berdiameter 6 m, terdiri dari 77 bagian yang disatukan.

Pelataran puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang berarti melambangkan Bangsa
Indonesia agar dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan dari
dasar 17 m dan ruang museum sejarah 8 m. Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran
45x45 m, merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).

Pengunjung kawasan Monas, yang akan menaiki pelataran tugu puncak Monas atau museum, dapat
melalui pintu masuk di seputar plaza taman Medan Merdeka, di bagian utara Taman Monas. Di
dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang
kuda, terbuat dari perunggu seberat 8 ton.

Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral
Honores, Dr Mario di Indonesia. Melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan
silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung ke tugu puncak Monas yang berpagar "Bambu Kuning".

Landasan dasar Monas setinggi 3 m, di bawahnya terdapat ruang museum sejarah perjuangan
nasional dengan ukuran luas 80x80 m, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang.

Pada keempat sisi ruangan terdapat 12 jendela peragaan yang mengabdikan peristiwa sejak zaman
kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Keseluruhan dinding, tiang dan lantai berlapis marmer.
Selain itu, ruang kemerdekaan berbentuk amphitheater yang terletak di dalam cawan tugu Monas,
menggambarkan atribut peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kemerdekaan RI,
bendera merah putih dan lambang negara dan pintu gapura yang bertulis naskah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia.

Di dalam bangunan Monumen Nasional ini juga terdapat museum dan aula untuk bermeditasi. Para
pengunjung dapat naik hingga ke atas dengan menggunakan elevator. Dari atau Monumen Nasional
dapat dilihat kota Jakarta dari puncak monumen. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari,
mulai pukul 09.00 - 16.00 WIB.

Bentuk Tugu peringatan yang satu ini sangat unik. Sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer
yang berbentuk lingga yoni simbol kesuburan ini tingginya 132 m.

Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang
beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35kg. Lidah api atau obor ini sebagai simbol
perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Pelataran puncak dengan luas 11x11 dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling
badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas,
pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Arah ke selatan berdiri
dengan kokoh dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara
membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil berserakan. Bila menoleh ke Barat membentang
Bandara Soekarno-Hatta yang setiap waktu terlihat pesawat lepas landas.

Dari pelataran puncak, 17 m lagi ke atas, terdapat lidah api, terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton
dan berdiameter 6 m, terdiri dari 77 bagian yang disatukan.

Pelataran puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang berarti melambangkan Bangsa
Indonesia agar dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan dari
dasar 17 m dan ruang museum sejarah 8 m. Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran
45x45 m, merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).

Pengunjung kawasan Monas, yang akan menaiki pelataran tugu puncak Monas atau museum, dapat
melalui pintu masuk di seputar plaza taman Medan Merdeka, di bagian utara Taman Monas. Di
dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang
kuda, terbuat dari perunggu seberat 8 ton.

Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral
Honores, Dr Mario di Indonesia. Melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan
silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung ke tugu puncak Monas yang berpagar "Bambu Kuning".

Landasan dasar Monas setinggi 3 m, di bawahnya terdapat ruang museum sejarah perjuangan
nasional dengan ukuran luas 80x80 m, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang.

Pada keempat sisi ruangan terdapat 12 jendela peragaan yang mengabdikan peristiwa sejak zaman
kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Keseluruhan dinding, tiang dan lantai berlapis marmer.
Selain itu, ruang kemerdekaan berbentuk amphitheater yang terletak di dalam cawan tugu Monas,
menggambarkan atribut peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kemerdekaan RI,
bendera merah putih dan lambang negara dan pintu gapura yang bertulis naskah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia.

Di dalam bangunan Monumen Nasional ini juga terdapat museum dan aula untuk bermeditasi. Para
pengunjung dapat naik hingga ke atas dengan menggunakan elevator. Dari atau Monumen Nasional
dapat dilihat kota Jakarta dari puncak monumen. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari,
mulai pukul 09.00 - 16.00 WIB.

Di dalam monas juga terdapat tapak kaki presiden yang pernah memerintah Indonesia.
Dilihat dari namanya, ritual tapak kaki ini dimulai dari pemerintahan Suharto. Disana terpampang
nama Jenderal Besar Suharto pada nama beliau. Dimana pemberian jenderal bintang lima dilakukan
pada tahun 1996. Jadi pengambilan tapak kaki tersebut dimulai setelah tahun 1996. Oleh karena itu,
untuk Sukarno yang ada hanya tapak sepatunya saja.

foto 1 : Tapak Sepatu Presiden Soekarno

foto 2 : Jejak Kaki presiden Soeharto

foto 3 : Jejak Kaki Presiden Habibie


foto 4 : Jejak Kaki presiden Abdurrahman Wahid

foto 5 : Jejak Kaki Presiden Megawati


foto 6 : Jejak Kaki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

2. LUBANG BUAYA
1. 1. Lokasi Lubang Buaya

Lubang Buaya atau Monumen Pancasila Sakti dibangun di areal tanah luas lebih kurang 14
Hektar, terletak di Desa Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Lokasi
Monumen Pancasila Sakti berbatasan sebelah selatan dengan Markas Besar Tentara Nasional
Indonesia, Cilangka. Sebelah utara Lanuman Halim Perdana Kusuma, sebelah timur Pasar
Pondok Gede atau Bekasi, dan sebelah barat Taman Mini Indonesia atau asrama Haji
Indonesia, PondokGede. Beberapa bulan menjelang 30 September 1965, digunakan PKI dan
organisasi massanya sebagai tempat latihan kemiliteran dalam pemberontakan.

1. 2. Ciri Khusus Lubang Buaya

Museum Lubang Buaya berisi sumur tua yang di dalamnya terdapat para pahlawan revolusi
yang disiksa lalu dibuang di sumur tersebut oleh para pemberontak PKI.

Ciri khusus lain dari museum ini yaitu terdapat patung relief sembilan jenderal Angkatan
Darat yang dibunuh bersamaan, dengan diatasnya burung garuda yang membentangkan
sayapnya yang disebut monumen pancasila

.
Serta, diorama ataupun relief lain.

1. 3. Sejarah Singkat Lubang Buaya

Lubang Buaya pada terjadinya G30S saat itu merupakan pusat pelatihan milik Partai
Komunis Indonesia. Nama lubang buaya sendiri berasal dari sebuah legenda yang meyatakan
bahwa terdapat buaya-buaya putih di sungai yang terletak di kawasan itu.

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni
Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya.
PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan
pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk
pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI
mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah
dekrit presiden, sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan
bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem Demokrasi Terpimpin. PKI menyambut Demokrasi Terpimpin,
Sukarno dengan hangat beranggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan
konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama, dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era Demokrasi Terpimpin, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah. Pada kunjungan Menlu yaitu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou
Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa syarat dan
kemudian dilaporkan ke Bung Karno, tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai
meletusnya G30S. Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha
memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi militer. Pemimpin-
pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan Kepentingan bersama
polisi dan rakyat. Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan Untuk Ketentraman Umum
Bantu Polisi. Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI
membersihkan diri dari sikap-sikap sektarian kepada angkatan bersenjata, mengimbau
semua pengarang dan seniman sayap kiri untuk membuat massa tentara subyek karya-karya
mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak
mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi serta
para pemilik tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang
menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapa pun (milik
negara=milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana
di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada
rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan
dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi
anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh
Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama
jabatannya (Menpangab dan lain-lain). Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah
para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang
sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi
demokratis rakyat. Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan
bersenjata di mana ia berbicara tentang perasaan kebersamaan dan persatuan yang
bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat
Indonesia, termasuk para komunis. Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para
pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan
karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim
militer, menyatakan keperluan untuk pendirian angkatan kelima di dalam angkatan
bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa
yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.

Para jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat
negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa NASAKOMisasi
angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
angkatan kelima. Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum
buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus
militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkap adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka
dan diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan
jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan
membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Para dewan jenderal yang dibunuh oleh pemberontak PKI antara lain :

1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando


Operasi Tertinggi),
2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi),
3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan),
4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen),
5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang
Logistik),
6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan
Darat),
7. Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan
beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean, tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

1. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.
J. Leimena),
2. Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta),
dan
3. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta).

1. 4. Koleksi Lubang Buaya

Di dalam museum ini juga terdapat sebuah ruangan khusus yang dinamakan Museum
Penghianatan Komunis. Dan dalam ruangan tersebut terdapat diorama perlakuan Partai
Komunis Indonesia (PKI) terhadap rakyat Indonesia.

Berikut ini adalah contoh isi di dalam ruangan tersebut:

1) Diorama Peristiwa Tiga Daerah (4 November 1945)

2) Diorama Aksi Teror Gerombolan CeMamat (9 Desember 1945)

Pada diorama teror Gerombolan Ce Mamat, sebagai gembong komunis 1926 dan ketua
Komite Nasional Indonesia (KONI) Serang, menuduh pemerintah RI Banten sebagai
kelanjutan kolonial. Mereka juga menghasut rakyat agar tidak mempercayai pejabat
pemerintah. Pada 17 Oktober 1945 Ce Mamat membentuk Dewan Pemerintahan Rakyat
Serang. Mereka berhasil merebut pemerintahan Karesidenan Banten, menyusun pemerintahan
model Soviet. Ce Mamat beserta pengikutnya, diantaranya Laskar Gulkut, melakukan aksi
teror, merampok, menculik, dan membunuh pejabat pemerintahan saat Presiden Sukarno
serta Wakil Presiden Moh. Hatta berkunjung ke Banten.

Ce Mamat dengan anak buahnya menjemput R. Hardiwinangun, Bupati Lebak, dari


rumahnya di Rangkasbitung dan membawanya ke desa Panggarangan, dengan alasan
dipanggil Presiden. Keesokan paginya, 9 Desember 1945, mereka membunuh R.
Hardiwinangun dengan menembaknya di atas jembatan sungai Cimancak lalu melempar
mayatnya ke sungai.

3) Diorama Aksi Kekerasan Pasukan Ubel-Ubel di Sepatan, Tangerang

(12 Desember 1945)

Diorama ini memperlihatkan tindak kekerasan Pasukan Ubel-Ubel di Sepatan, Tangerang,


pada 12 Desember 1945. Dimulai pada 18 Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat
pimpinan Ahmad Khairun dengan dukungan gembong komunis bawah tanah berhasil
mengambil alih kekuasaan Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara. Mereka membubarkan
aparatur pemerintah tingkat desa sampai kabupaten, menolak mengakui pemerintah pusat RI,
membentuk Laskar Hitam atau Laskar Ubel-Ubel karena berpakaian serba hitam memakai
ubel-ubel (ikat kepala). Laskar Ubel-Ubel melakukan aksi teror dengan membunuh
merampok harta penduduk Tangerang dan sekitarnya, seperti Mauk, Kronjo, Kresek,
Sepatan.
Pada 12 Desember 1945, dibawah pimpinan Usman, Laskar Ubel-Ubel merampok penduduk
Desa Sepatan, melakukan pembunuhan, termasuk membunuh tokoh nasional Otto Iskandar
Dinata di Mauk.

4) Diorama Pemberontakan PKI di Cirebon (14 Februari 1946)

5) Diorama Peristiwa Revolusi Sosial (9 Maret 1946)

6) Diorama Pemogokan Buruh Sarbupri (19 Agustus 1948)

7) Diorama Pengacauan Surakarta (19 Agustus 1948)

Memperlihatkan pengacauan Surakarta pada 19 Agustus 1948, sebagai salah satu upaya
pengalihan perhatian pemerintah RI terhadap persiapan kegiatan pemberontakan PKI
Madiun. PKI membakar ruang pameran Jawatan Pertambangan ketika berlangsung pasar
malam Sriwedari dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI. Rembetan api dapat
dicegah, namun timbul kepanikan pengunjung sehingga 22 orang menderita luka-luka.

8) Diorama Pemberontakan PKI di Madiun (18 September 1948)

Diorama ini menampilkan pemberontakan PKI Madiun pada 18 September 1948. Gagal
menjatuhkan kabinet Hatta dengan cara parlementer, komunis membentuk Front Demokrasi
Rakyat, melakukan aksi-aksi politik serta kekerasan.

Muso (Muso Manowar atau Paul Musotte) yang baru kembali dari Moskow dan mengambil
alih pimpinan PKI, menuduh Soekarno-Hatta menyelewengkan perjuangan bangsa Indonesia.
Ia menawarkan Jalan baru untuk Republik Indonesia. Pada saat perhatian pemerintah dan
Angkatan Perang terpusat untuk menghadapi Belanda, PKI melakukan kampanye menyerang
politik pemerintah, melakukan aksi-aksi teror, mengadu domba kekuatan bersenjata, juga
sabotase ekonomi.

Dini hari 18 September 1948, ditandai 3 letusan pistol, PKI memulai pemberontakan Madiun.
Pasukan Seragam Hitam menyerbu, menguasai tempat-tempat penting dalam kota, termasuk
gedung Karesidenan Madiun. Di gedung ini PKI mengumumkan berdirinya Soviet Republik
Indonesia serta membentuk Pemerintahan Front Nasional. Sejumlah petinggi militer, pejabat
pemerintah dan tokoh masyarakat pun dibunuh.

9) Diorama Pembunuhan di Kawedanan Ngawen Blora (20 September 1948)

10) Diorama Pembebasan Gorang-Gareng (28 September 1948)

11) Diorama Penghancuran PKI di Sooko ( 28 September 1948)

12) Diorama Pembantaian di Dungus (1 Oktober 1948)

13) Diorama Musso Tertembak Mati (31 Oktober 1948)

Diorama ini menggambarkan saat Musso tertembak mati pada 31 Oktober 1948. Pada 1
Oktober 1948, TNI menguasai Dungus yang dijadikan PKI sebagai basis setelah kekalahan
mereka di Madiun. Pemimpin dan pasukan PKI lari ke arah selatan, berusaha menguasai
Ponorogo, namun gagal. Muso dan Amir Sjarifuddin lari menuju gunung Gambes,
dikawal oleh dua batalyon yang cukup kuat dan mereka berpisah di tengah perjalanan.

Musso bersama dua orang pengawalnya menyamar sebagai penduduk desa dan tiba di Balong
pada pagi 31 Oktober 1948, dengan menembak mati seorang anggota polisi yang
memeriksanya. Dengan menggunakan dokar rampasan diiringi pengawal bersepeda, hari itu
juga ia tiba di Desa Semanding, Kecamatan Somoroto. Ia menembak seorang perwira TNI
yang mencegatnya, namun tidak mengenai sasaran. Karena tidak bisa menjalankan kendaraan
TNI rampasan, Musso lari masuk desa, bersembunyi di sebuah blandong (tempat mandi)
milik seorang penduduk. Pasukan TNI yang mengepungnya memerintahkan supaya ia
menyerah, namun Musso melawan. Ia mati tertembak dalam peristiwa.

14) Diorama Pembunuhan Massal di Tirtomoyo (4 Oktober 1948)

15) Diorama Penangkapan Amir Syariffudin (29 November 1948)

16) Diorama Serangan PKI di Tanjung Priok (6 Agustus 1951)

17) Diorama Peristiwa Tanjung Morawa (16 Maret 1953)

18) Diorama Lahirnya MKTBP PKI (14 Maret 1954)

19) Diorama D.N Aidit Diadili (25 Februari 1955)

20) Diorama Kampanye Budaya PKI (25 Maret 1963)

21) Diorama Rongrongan PKI terhadap ABRI (1964-1965)

22) Diorama Peristiwa Kanigoro (13 Januari 1965)

23) Diorama Bandar Betsi (14 Mei 1965)

24) Diorama Pawai Ofensif Revolusioner PKI di Jakarta (23 Mei 1965)

25) Diorama Penyerbuan Gubernuran Jawa Timur (27 September 1965)

26) Diorama Penguasaan Kembali RRI Pusat (1 Oktober 1965)

27) Diorama Peristiwa Kentungan Yogyakarta (2 Oktober 1965)

28) Diorama Rapat Umum Front Pancasila (9 November 1965)

29) Diorama Penangkapan D.N Aidit (22 November 1965)

30) Doirama Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (mahmillub) 14 Februari 1966

31) Diorama Rakyat Jakarta Menyambut Pembubaran PKI (12 Maret 1966)

32) Diorama Operasi Trisula di Blitar (20 Jli 1968)


33) Diorama Penumpasan PKI Ilegal Iramani di Puwodadi (27 Januari 1973)

34) Diorama Tetembak Matinya S.A Sofyan (12 Januari 1974)

Selain itu museum ini memiliki berbagai koleksi diantaranya,

1) Sumur Maut, tempat dibuangnya para dewan jenderal oleh PKI.

2) Rumah-rumah bersejarah, terdapat suatu dapur yang masih utuh yang digunakan oleh
sekawanan PKI dalam menyiapkan makanannya. Kemudian ruang penyiksaan, ruangan ini
digambarkan dengan ilustrasi patung para orang-orang PKI yang menyiksa jenderal Angkatan
Darat yang belum sempat terbunuh. Selanjutnya ruangan yang lain yang tidak kalah
menariknya.

3) Mobil Dinas menpangad Letjen. TNI Ahmad Yani, mobil ini digunakan oleh TNI
Ahmad Yani untuk pergi bertugas.

4) Mobil Dinas pangkostrad Mayjen TNI Soeharto ( Toyota Kanvas)

5) Truk dodge

6) Pancer Saraceen

3. ANCOL
Taman Impian Jaya Ancol merupakan sebuah objek wisata di Jakarta Utara. Sebagai komunitas
pembaharuan kehidupan masyarakat yang menjadi kebanggaan bangsa. Senantiasa menciptakan
lingkungan sosial yang lebih baik melalui sajian hiburan berkualitas yang berunsur seni, budaya dan
pengetahuan, dalam rangka mewujudkan komunitas 'Life Re-Creation' yang menjadi kebanggaan
bangsa.
Sejarah
Sejak awal berdirinya pada tahun 1966, Ancol Taman Impian atau biasa disebut Ancol sudah
ditujukan sebagai sebuah kawasan wisata terpadu oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Pemda DKI menunjuk PT Pembangunan Jaya sebagai
Badan Pelaksana Pembangunan (BPP) Proyek Ancol yang dilakukan secara bertahap sesuai
dengan peningkatan perekonomian nasional serta daya beli masyarakat.

Sejalan dengan perkembangan perusahaan yang semakin meningkat pada tahun 1992 status
Badan Pelaksana Pembangunan (BPP) Proyek Ancol diubah menjadi PT Pembangunan Jaya
Ancol sesuai dengan akta perubahan No. 33 tanggal 10 Juli 1992 sehingga terjadi perubahan
kepemilikan dan prosentase kepemilikan saham, yakni 20% dimiliki oleh PT Pembangunan
Jaya dan 80% dimiliki oleh Pemda DKI Jakarta.

Pada 2 Juli 2004 Ancol melakukan go public dan mengganti statusnya menjadi PT
Pembangunan Jaya Ancol Tbk., dengan kepemilikan saham 72% oleh Pemda DKI Jakarta
dan 18% oleh PT Pembangunan Jaya dan 10% oleh masyarakat. Langkah go public ini
dilakukan untuk lebih meningkatkan kinerja perusahaan, karena akan lebih terkontrol,
terukur, efisien dan efektif dengan tingkat profesionalisme yang tinggi serta menciptakan
sebuah Good & Clean Governance. Kinerja dan citra yang positif ini akan menjadikan
perusahaan terus tumbuh dan berkembang secara sehat pada masa depan. PT Pembangunan
Jaya Ancol, Tbk juga melakukan upaya repositioning dengan diluncurkannya logo Ancol
yang baru pada 10 Juli 2005. Perubahan tersebut tidak semaBadan Pelaksana Pembangunan
(BPP) Proyek Ancol yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan peningkatan
perekonomian nasional serta daya beli masyarakat.

Sejalan dengan peningkatan kinerja, pada tahun 1992 status Badan Pelaksana Pembangunan
(BPP) Proyek Ancol diubah menjadi PT Pembangunan Jaya Ancol sesuai dengan akta
perubahan No. 33 tanggal 10 Juli 1992, sehingga terjadi perubahan kepemilikan dan
prosentase kepemilikan saham, yakni 20% dimiliki oleh PT Pembangunan Jaya dan 80%
dimiliki oleh Pemda DKI Jakarta.

Pada 2 Juli 2004, Ancol melakukan go public dan mengganti statusnya menjadi PT
Pembangunan Jaya Ancol, Tbk. dengan status kepemilikan saham 72% oleh Pemda DKI
Jakarta dan 18% oleh PT Pembangunan Jaya dan 10% oleh masyarakat. Langkah go public
ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan serta menciptakan sebuah Good
& Clean Governance. Kinerja dan citra yang positif ini akan memacu perusahaan untuk terus
tumbuh dan berkembang secara sehat pada masa depan.

PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk. juga melakukan upaya repositioning dengan


diluncurkannya logo baru Ancol pada 10 Juli 2005. Perubahan tersebut tidak semata
mengganti logo perusahaan, tetapi juga untuk memacu semangat dan budaya perusahaan
secara keseluruhan.

Objek wisata di Ancol


Dikelola oleh anak perusahaannya terutama oleh PT Taman Impian Jaya Ancol (TIJA)
yang meliputi pengelolaan kawasan pariwisata (rekreasi dan resor) dan kegiatan usaha
penunjang:
entertainment
, konvensi dan wisata belanja. PJAA mengelola area pariwisata terintegrasi seluas 552 Ha,
lokasi dekat pantai, terbaik di Jakarta dengan kemudahan akses melalui jalan tol, busway dan
kereta api.
Pantai dan Taman

Taman dan pantai merupakan wahana hiburan yang menawarkan kesegaran suasana pantai
bagi semua kalangan dan usia. Pantai dan Taman memiliki 5 pantai (Pantai Festival, Indah,
Elok, Ria dan Carnival Beach Club) dan Danau Impian, sepanjang kurang lebih 5 km, dengan
promenade sepanjang 4 km.

Dunia Fantasi ( Dufan )

Dunia Fantasi yang dibuka untuk umum pada 29 Agustus 1986, dan popular dengan sebutan
Dufan, merupakan theme park pertama yang dikembangkan oleh Ancol. Dufan merupakan
pusat hiburan outdoor terbesar di Indonesia yang memanjakan pengunjung dengan Fantasi
Keliling Dunia, melalui berbagai content wahana permainan berteknologi tinggi, yang terbagi
dalam 8 kawasan, yaitu: Indonesia, Jakarta, Asia, Eropa, Amerika, Yunani, Hikayat dan
Balada Kera. Perseroan juga menjadikan Dufan sebagai salah satu pusat edutainment yang
ada di Ancol yakni dengan dibukanya Fisika Dunia Fantasi (Fidufa) dan Pentas Prestasi.
Dufan telah memiliki sertifikat ISO 9001:2008 sejak 2009.

Atlantis Water Adventure ( Atlantis )

Atlantis Water Adventure (AWA) merupakan theme park kedua yang dikembangkan oleh
Ancol dan berdiri diatas lahan seluas 5 hektare. AWA merupakan hasil revitalisasi Taman
Rekreasi Air Gelanggang Renang Ancol yang akan memberi pengunjung petualangan wisata
air dengan 8 kolam utama, yaitu: Poseidon, Antila, Plaza Atlas, Aquarius, Octopus,
Atlantean, dan Kiddy Pool.

Gelanggang Samudra ( Samudra )

Gelanggang Samudra Ancol ("Samudra") merupakan theme park ketiga yang dikembangkan
oleh Ancol. Samudra merupakan edutainment theme park bernuansa konservasi alam yang
memberikan pengalaman kepada pengunjung untuk mengenal lebih dekat dan menyayangi
aneka satwa, antara lain lumba-lumba, paus putih, anjing laut, dan sinema 4D. Di Sinema 4D
atau pertunjukan 4 dimensi, Anda harus mengantri untuk masuk ke dalam bangunan teater
ini. Di dalam, petugas akan membagikan kacamata 3 dimensi. Setelah menunggu beberapa
lama di depan pintu, penonton akan masuk ke dalam teater. Film yang disajikan berdurasi
kurang lebih 15 menit. Dengan memakai kacamata 3 dimensi, Anda akan merasakan gambar
ada di depan Anda dan seolah dapat disentuh, ditambah dengan kursi yang dapat bergoyang-
goyang dan semburan air atau angin pada adegan tertentu sehingga Anda dapat mesakana
suasana sesungguhnya. Ada 5 pilihan jadwal pada hari Senin sampai Sabtu dan 2 kali ekstra
pertunjukan pada hari Minggu dan hari Libur. Tapi, Anda hanya dapat menontonnya satu kali
karena untuk masuk ke dalam wahana ini harus menggunakan tiket yang terdapat pada tiket
masuk.

Sea World
Sea World adalah underwater aquarium pertama dan satu-satunya di Indonesia, dengan area
seluas 2 Ha (dikelola dengan format BOT).

Putri Duyung Cottages

Penginapan tepi pantai bergaya unik berbentuk cottages dengan 133 kamar ini memiliki
berbagai fasilitas khusus, seperti : ruang serba guna, ruang rapat dan lokasi pesta pantai. Putri
Duyung juga menawarkan fasilitas olahraga, seperti kolam renang, tenis meja, sepeda,
lapangan tenis, serta lapanan voli pantai. Arsitektur artistik Putri Duyung Ancol kental
dengan perpaduan gaya posmo dan romantisme Indonesia Timur, ditata selaras dengan
lingkungan pantai untuk menciptakan suasana yang berselera dan eksotik.

Padang Golf Ancol

Padang Golf bernuansa pantai di tengah-tengah kawasan wisata yang memiliki 18 hole
dengan desain lapangan unik. Lokasinya strategis dan mudah dicapai dari seluruh penjuru
Jakarta.

Marina

Dermaga kapal pesiar (speed boat dan yacht) bergaya kosmopolitan yang pertama dan
terlengkap di Indonesia, dirancang untuk tempat berlabuh kapal pesiar berbagai ukuran.
Marina juga berfungsi sebagai pusat olahraga laut, ski air, wind surfing, diving, sailing, serta
pelabuhan kapal pesiar untuk menuju Kepulauan Seribu. Marina dilengkapi dengan fasilitias
dermaga, marine band, pompa bensin, dermaga bongkar muat, agen perjalanan wisata dan
olahraga bahari.

Pasar Seni

Pasar Seni merupakan pusat kegiatan seni dan kerajinan yang memberikan inspirasi serta
wawasan bagi penikmat dan kolektor seni. Pasar seni merupakan wujud nyata kepedulian
Ancol atas kelangsungan hidup para seniman berbakat. Pasar Seni juga dilengkapi dengan
Galeri Pameran (North Art Space/NAS), Toko Cinderamata, Plaza dan Panggung
Pertunjukkan Seni.

Pulau Bidadari

Sebuah pulau untuk kalangan menengah di Kepulauan Seribu yang dapat ditempuh dalam
waktu 20 menit dari Marina. Pulau Bidadari memiliki 49 cottages yang terdiri dari 23 unit
tipe deluxe, 20 unit tipe family, 3 unit tipe family suite, dan 3 unit tipe suite serta memiliki
sarana olahraga, 2 aula serba guna, restoran, bar dan toko cinderamata. Sebuah atraksi unik,
yakni wahana berenang bersama dengan lumba-lumba (swimming with the dolphin), bisa
dinikmati di Pulau Bidadari.

Ritel

Lebih dari 30 kios penjualan souvenir, makanan dan minuman

Hailai Executive Club


Hailai merupakan klub eksekutif bertaraf internasional yang dilengkapi dengan restoran yang
menyediakan 3.000 kursi, sarana olahraga, dan hiburan. Hailai dikelola oleh PT Philindo
Sporting Amusement and Tourism Corporation yang bekerja sama dengan PT Sarana Ria.

Kereta Gantung ( Gondola )

Gondola (sky lift) merupakan kereta gantung yang menghubungkan tempat wisata satu
dengan yang lainnya di kawasan Ancol yang terbentang sepanjang kurang lebih 2,4 km dari
Pantai Festival hingga area parker AWA. Gondola Ancol memiliki 37 unit gondola dengan
kapasitas enam orang per gondola dan tiga stasiun pemberhentian. Dengan ketinggian 21
meter di atas permukaan laut, perjalanan dengan Gondola memakan waktu 20 menit. Gondola
Ancol merupakan unit usaha hasil kerjasama Ancol dengan PT Karsa Surya Indonesia (KSI).

Bowling

Fasilitas olahraga bowling bertaraf internasional dengan 60 lintasan bowling.

Wisata Kuliner

Fasilitas resto dan kafe

Hotel dan Convention Centre


Putri Duyung Cottage
Mercure Convention Centre
Hotel Raddin Ancol

Apartemen
Ancol Mansion
Mediterania Marina Ancol

4. borobudur
Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa
Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang,
86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi
berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-
an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil
Buddha terbesar di dunia,[1][2] sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.[3]

Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga
pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat
504 arca Buddha.[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di
dunia.[3] Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini,
dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca
buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan)
Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat
manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran
Buddha.[5] Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan
berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan
berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah
Kmadhtu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak
berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga
dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan
pagar langkan.

Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya
pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.[6] Dunia
mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford
Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu
Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek
pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik
Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan
Dunia.[3]

Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha
yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata
tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan

Dalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga
digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal
dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan
pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas,[10] meskipun memang nama
asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.[10] Nama Borobudur pertama kali
ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles.[11] Raffles menulis
mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang
menyebutkan nama yang sama persis.[10] Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi
petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur
adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.[12]

Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam
tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro);
kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri.
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam
bahasa Jawa yang berarti "purba" maka bermakna, "Boro purba".[10] Akan tetapi arkeolog
lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.[13]

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa
nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung"
(bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa
etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang
karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal
dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada
pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi
atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang
berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950
berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah
dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari
wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824
M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu
Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.
Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah
bebas pajak) oleh r Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamln yang
disebut Bhmisambhra.[14] Istilah Kamln sendiri berasal dari kata mula yang berarti
tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari
wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhmi Sambhra Bhudhra dalam bahasa
Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah
nama asli Borobudur.[15]

Lingkungan sekitar

Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan
perlambang

Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di
atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-
Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya
terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta
candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah
timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang
dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena
keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[16]

Tiga candi serangkai

Selain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa
penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi
Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.[17] Awalnya
diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu
terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang
menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu
dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga
memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-
Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari
periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini.
Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah
dilakukan, belum diketahui secara pasti.[12]

Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan
purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang
menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-
temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga
Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra
Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi
Hindu yang disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama
Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi
batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan
rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan
kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.

Danau purba

Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Diduga dulu kawasan di sekeliling Borobudur
adalah danau purba.

Tidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas
bukit dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari permukaan laut dan 15 m (49 kaki) di atas
dasar danau purba yang telah mengering.[18] Keberadaan danau purba ini menjadi bahan
perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan
bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman
dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran
Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai
yang mengapung di atas permukaan danau.[13] Bunga teratai baik dalam bentuk padma
(teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam
semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai
laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa.
Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di
Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan
Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga
pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga
teratai.[18] Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak
menuai bantahan dari para arkeolog; pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan
bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa
pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.

Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan


menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.[19] Sebuah penelitian
stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung
keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,[18] yang memperkuat gagasan
Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu
ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali
terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan
aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut mengubah bentang alam dan topografi
lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya. Salah satu gunung berapi paling aktif di
Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif
sejak masa Pleistosen.

Sejarah
Pembangunan

Lukisan karya G.B. Hooijer (dibuat kurun 19161919) merekonstruksi suasana di Borobudur pada
masa jayanya

Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan
apa kegunaannya.[21] Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara
jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim
digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun
sekitar tahun 800 masehi.[21] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M,
masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[22] yang kala itu dipengaruhi
Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 -
100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga
pada tahun 825.[23][24]

Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu
beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha
aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan
bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[23] Pada kurun waktu itulah
dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal,
pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci
Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil)
sebelah timur dari Borobudur.[25] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang
hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur
diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum
dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.
Pembangunan candi-candi Buddha termasuk Borobudur saat itu dimungkinkan karena
pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk
membangun candi.[26] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran
menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan
pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara,
sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[26] Petunjuk ini
dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah
menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu
bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula
sebaliknya.[27] Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa
itu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa
yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu
Boko.[28] Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi
megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa
Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,[28] akan tetapi
banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh
kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan
Candi Siwa di Prambanan.[29]

Tahapan pembangunan Borobudur

Para ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang
sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan
berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur
memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa
kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan
Borobudur:

1. Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun
750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan
pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu
andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai
cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi
lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida
berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun
tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.
2. Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar
yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa
tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil
dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang
besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan
yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog
menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar
memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat
sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti
Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi
luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah
diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya
dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu
stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur
kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi
bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar,
sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar
langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran
ujung kaki.

Borobudur diterlantarkan

Meletusnya Gunung Merapi diduga sebagai penyebab utama diterlantarkannya Borobudur

Borobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah
dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur
kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur
ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan
bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006,
Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah
serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang
menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat
mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.[6][18] Bangunan suci ini disebutkan
secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya
Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya
"Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa
candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada
Islam pada abad ke-15.[6]

Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari
sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan
dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18
menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi
(Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang
memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.[6] Disebutkan
bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum
mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan
dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang
mengunjungi monumen ini pada 1757.[30] Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk
mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang terpenjara
di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah
kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam
kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap
sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan
dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan
mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus
dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam
berdarah atau malaria.

Penemuan kembali

Foto pertama Borobudur oleh Isidore van Kinsbergen (1873) setelah monumen ini dibersihkan dari
tanaman yang tumbuh pada tubuh candi. Bendera Belanda tampak pada stupa utama candi.

Teras tertinggi setelah restorasi Van Erp. Stupa utama memiliki menara dengan chattra (payung)
susun tiga.

Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah


pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles
ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa.
Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai
sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat
setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun
1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa
Bumisegoro.[30] Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat
pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur
Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius
beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit
Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman
longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan
penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi
Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap
berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan
monumen yang pernah hilang ini.[11]

Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan


kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat.
Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak
menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan
arca buddha besar di stupa utama.[31] Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama
meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.

Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda
bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G.
Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang
dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan
penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak
untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C.
Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen.
Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan,
dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian.[31] Foto pertama
monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[32]

Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah
menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor
"pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena
mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan
dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak
ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran
kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur
artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya
dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang
marak di monumen.[32] Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog,
untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual
kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan
agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.

Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu
kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui
Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi
Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa
bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan
delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke
Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung
singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang
pernah berdiri di Bukit Dagi beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa
artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional
Bangkok.[33]

Pemugaran

Borobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat
Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[34] Foto-foto yang menampilkan
relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 18901891.[35] Penemuan ini mendorong
pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini.
Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti
monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang
juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari
Departemen Pekerjaan Umum.
Penanaman beton dan pipa PVC untuk memperbaiki sistem drainase Borobudur pada pemugaran
tahun 1973

Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur
kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur
kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di
sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang,
stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki
sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan
longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu
yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu
ditaksir sekitar 48.800 Gulden.

Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan
dipimpin Theodor van Erp.[36] Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di
sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp
membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak.
Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan
proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp
melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung
batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur
telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya
menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini
mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum
Karmawibhangga Borobudur.

Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air.
Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[36] Van
Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium
hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini
menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.

Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan
perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan
permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi
melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat.[37]
Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh
monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.[36] Pondasi diperkokoh
dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar
seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan
saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal
ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya total sebesar
6.901.243 dollar AS.[38] Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar
Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.[3] Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i)
"mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting
dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di
dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata
kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu
peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya
seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".[3]

Peristiwa kontemporer

Biksu peziarah tengah bermeditasi di pelataran puncak

Turis di Borobudur

Setelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,[37] Borobudur
kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat bulan
purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari suci
Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan
Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha
Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia[39] dan upacara peringatan
dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju
Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.[40]

Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.[41] Pada 1991
seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie,
dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan bom pada
pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.[42] Dua anggota
kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan
seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun penjara.

Sendratari "Mahakarya Borobudur" digelar di Borobudur

Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada
1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 diantaranya adalah wisatawan mancanegara
telah mengunjungi monumen ini.[8] Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta
pengunjung setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an,
sebelum Krisis finansial Asia 1997.[9] Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak
melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.[8] Pada 2003,
penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes
dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun
kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'.[43] Upaya masyarakat setempat untuk
mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah
usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali
malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang
mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar
cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring
berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini
membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.

Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah.
Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan
tetapi Borobudur tetap utuh.[44]

Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban) digelar di
Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan
Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia
Tenggara, seperti Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah
pagelaran sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini
diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya,
menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari
Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan
Waisak yang biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.

Batu peringatan pemugaran candi Borobudur dengan bantuan UNESCO

UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur:


(i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs;
(iii) analisis dan pengembalian bagian-bagian yang hilang.[45] Tanah yang gembur, beberapa
kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi
adalah faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung
ambruk, tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan.[45]
Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga
Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh apapun,
pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa
pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas merusak situs ini.
Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per
hari, atau menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu
dalam pengawasan.[45]

Rehabilitasi

Borobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober adan November 2010.
Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28 kilometer (17 mil)
arah barat-baratdaya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan
2,5 sentimeter (1 in)[46] menutupi bangunan candi kala letusan 35 November 2010, debu
juga mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang
secara kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi
ditutup 5 sampai 9 November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.[47][48]

Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah
menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi.
Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6
bulan, disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk
menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat setempat.[49] Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk
memperbaiki sistem tata air dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur
air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.[50]

Arsitektur

Borobudur dilihat dari pelataran sudut barat laut

Denah Borobudur membentuk Mandala, lambang alam semesta dalam kosmologi Buddha.

Model Borobudur
Lorong koridor dengan galeri dinding berukir relief

Borobudur merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh puncak
pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini
diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala, tetapi dipercaya juga
merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden berundak atau piramida
bertingkat yang ditemukan dari periode prasejarah Indonesia. Sebagai perpaduan antara
pemujaan leluhur asli Indonesia dan perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.[3]

Konsep rancang bangun

Pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola
Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran
konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam
Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan
menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran
dalam ajaran Buddha.[51] Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh
tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.
Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m (400 kaki) pada tiap sisinya. Bangunan ini
memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas
berbentuk lingkaran.

Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki
Borobudur.[34] Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah
tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan
petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.[52] Kaki asli ini tertutup
oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi
sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk
mencegah kelongsoran monumen.[52] Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini
disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab
India mengenai arsitektur dan tata kota.[34] Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan
dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan
keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:

Kamadhatu Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih
dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan
batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang
tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini
tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang
masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan
yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.[5]

Rupadhatu Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya
dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi.
Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya
2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat
membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini
melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian
Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar
langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di
sepanjang sisi luar di pagar langkan.[5] Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan
rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu;
pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan
diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan
hiasan dan ukiran relief.

Arupadhatu Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai
kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang
berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini
melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan
bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua
stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar
sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang
masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih
besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil
dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam
stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu
masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep
peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan


berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di
dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut
juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha',
padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung
yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut
kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak.
Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti
ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu
kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat
hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.
Struktur bangunan

Arca singa penjaga gerbang

Ukiran raksasa sebagai kepala pancuran drainase

Penampang candi Borobudur terdapat rasio perbandingan 4:6:9 antara bagian kaki, tubuh, dan
kepala
Tangga Borobudur mendaki melalui serangkaian gapura berukir Kala-Makara

Sekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan
untuk membangun monumen ini.[53] Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut
menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai
semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego
yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang
tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu.
Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.

Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan
curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang
disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala
atau makara.

Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas
permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa
dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti
candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit.
Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum
rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat
Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan.
Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau
candi.[53] Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha.
Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha.
Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit
dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat
peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga
merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur
asli dari masa prasejarah Indonesia.

Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang
diketahui tentang arsitek misterius ini.[54] Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda
Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita
rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring.
Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi
jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.

Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia antara
ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan
ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.[55] Tentu saja satuan
ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada
monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang
ditemukan di monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi
yang tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan
Borobudur.[55][56] Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut
dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi
dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi
Angkor Wat di Kamboja.[54]

Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.[54] Dasar
berukuran 123123 m (403.5 403.5 ft) dengan tinggi 4 m (13 kaki).[53] Tubuh candi terdiri
atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur
7 m (23 kaki) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2 m (6.6 kaki),
menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar,
tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat
stupa utama yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 m (110 kaki) dari
permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini
dilepas adalah 42 m (140 kaki) . Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata angin
yang membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui serangkaian gerbang
pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada
puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-
Makara lazim ditemui dalam arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur,
sekaligus titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan
tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.

Relief

Seni pahat Borobudur memiliki kehalusan gaya dan citarasa estetik yang anggun
Letak relief kisah-kisah naskah suci Buddha di dinding Borobudur

Putar media

Borobudur

Pada dinding candi di setiap tingkatan kecuali pada teras-teras Arupadhatu dipahatkan
panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus.[57] Relief dan pola hias
Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-
relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam
kesenian dunia Buddha.[58] Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti
berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud
manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang
mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali
digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu
melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan
beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk
beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari
Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai
bertangkai panjang.[59]

Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan,
rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk bangunan
vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam
berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa
lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk
ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk
perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi,
dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan Kapal
Borobudur.[60] Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari
purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum
Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.[61]

Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa
Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini
bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jtaka. Pembacaan cerita-cerita
relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya,
mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata
bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak
candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.

Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah
sebagai berikut.

Bagan Relief

Tingkat Posisi/letak Cerita Relief Jumlah Pigura

Kaki candi asli ----- Karmawibhangga 160

a. Lalitawistara 120
dinding
b. jataka/awadana 120
Tingkat I
a. jataka/awadana 372
langkan
b. jataka/awadana 128

dinding Gandawyuha 128


Tingkat II
langkan jataka/awadana 100

dinding Gandawyuha 88
Tingkat III
langkan Gandawyuha 88

dinding Gandawyuha 84
Tingkat IV
langkan Gandawyuha 72

Jumlah 1460

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :

Karmawibhangga
Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)

Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang
terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah yang
menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat.
Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura
menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak
saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang
akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan
merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara)
yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri
untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh
pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum
Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.

Lalitawistara

Pangeran Siddhartha Gautama mencukur rambutnya dan menjadi pertapa

Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan
merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga
Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief
ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27
pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan,
baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan
terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya
Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan
Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang
berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran
Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan
dharma dilambangkan sebagai roda.

Jataka dan Awadana

Jataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran
Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela
berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain
manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan
tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa
atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-
an.

Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan
Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana
yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita
Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya
keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal
dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair
Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.

Gandawyuha

Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang
Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab
suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya
berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

Arca Buddha

Sebuah arca Buddha di dalam stupa berterawang


Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur
terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta menampilkan mudra
atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari
bahan batu andesit.[5]

Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi
luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan
pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat
72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat
Rupadhatu.[4] Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di
dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32
stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72
stupa.[4] Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan
tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri
sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).[62]

Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus
diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra:
Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas
menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur,
Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut
menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di
dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat.
Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna
simbolisnya tersendiri.[63]

Mengikuti urutan Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi
Timur, maka mudra arca-arca buddha di Borobudur adalah:

Arah
Arca Mudra Melambangkan Dhyani Buddha Mata Lokasi Arca
Angin

Relung di
pagar
Memanggil langkan 4
Bhumisparsa
bumi sebagai Aksobhya Timur baris
mudra
saksi pertama
Rupadhatu
sisi timur

Relung di
pagar
Wara mudra Kedermawanan Ratnasambhawa Selatan langkan 4
baris
pertama
Rupadhatu
Arah
Arca Mudra Melambangkan Dhyani Buddha Mata Lokasi Arca
Angin

sisi selatan

Relung di
pagar
langkan 4
Semadi atau
Dhyana mudra Amitabha Barat baris
meditasi
pertama
Rupadhatu
sisi barat

Relung di
pagar
langkan 4
Abhaya mudra Ketidakgentaran Amoghasiddhi Utara baris
pertama
Rupadhatu
sisi utara

Relung di
pagar
langkan
Witarka baris
Akal budi Wairocana Tengah
mudra kelima
(teratas)
Rupadhatu
semua sisi

Di dalam 72
stupa di 3
Dharmachakra Pemutaran roda
Wairocana Tengah teras
mudra dharma
melingkar
Arupadhatu

Ikhtisar waktu proses pemugaran Candi Borobudur


1814 - Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa, mendengar
adanya penemuan benda purbakala di desa Borobudur. Raffles memerintahkan H.C.
Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan, berupa bukit yang dipenuhi semak belukar.

1873 - monografi pertama tentang candi diterbitkan.


1900 - pemerintahan Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan perawatan
candi Borobudur.

1907 - Theodoor van Erp memimpin pemugaran hingga tahun 1911.

1926 - Borobudur dipugar kembali, tapi terhenti pada tahun 1940 akibat krisis malaise dan
Perang Dunia II.

1956 - Pemerintah Indonesia meminta bantuan UNESCO. Prof. Dr. C. Coremans datang ke
Indonesia dari Belgia untuk meneliti sebab-sebab kerusakan Borobudur.

1963 - Pemerintah Indonesia mengeluarkan surat keputusan untuk memugar Borobudur,


tapi berantakan setelah terjadi peristiwa G-30-S.

1968 - Pada konferensi-15 di Perancis, UNESCO setuju untuk memberi bantuan untuk
menyelamatkan Borobudur.

1971 - Pemerintah Indonesia membentuk badan pemugaran Borobudur yang diketuai


Prof.Ir.Roosseno.

1972 - International Consultative Committee dibentuk dengan melibatkan berbagai negara


dan Roosseno sebagai ketuanya. Komite yang disponsori UNESCO menyediakan 5 juta dolar
Amerika Serikat dari biaya pemugaran 7.750 juta dolar Amerika Serikat. Sisanya ditanggung
Indonesia.

10 Agustus 1973 - Presiden Soeharto meresmikan dimulainya pemugaran Borobudur;


pemugaran selesai pada tahun 1984

21 Januari 1985 - terjadi serangan bom yang merusakkan beberapa stupa pada Candi
Borobudur yang kemudian segera diperbaiki kembali. Serangan dilakukan oleh kelompok
Islam ekstremis yang dipimpin oleh Husein Ali Al Habsyi.

1991 - Borobudur ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO.

5. PRAMBANAN
Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di
Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti,
tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa
pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli
kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan
memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi
tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan.

Kompleks candi ini terletak di kecamatan Prambanan, Sleman dan kecamatan Prambanan,
Klaten, [1] kurang lebih 17 kilometer timur laut Yogyakarta, 50 kilometer barat daya
Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.[2] Letaknya sangat unik, Candi Prambanan terletak
di wilayah administrasi desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, sedangkan pintu masuk
kompleks Candi Prambanan terletak di wilayah adminstrasi desa Tlogo, Prambanan, Klaten.
Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia,
sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk
tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa
sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks
gugusan candi-candi yang lebih kecil.[3] Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara,
candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.[4]

Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh
Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, di masa
kerajaan Medang Mataram.

Etimologi
Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan
perubahan nama dialek bahasa Jawa dari istilah teologi Hindu Para Brahman yang bermakna
"Brahman Agung" yaitu Brahman atau realitas abadi tertinggi dan teragung yang tak dapat
digambarkan, yang kerap disamakan dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu. Pendapat
lain menganggap Para Brahman mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini yang dahulu
dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain mengajukan anggapan bahwa nama "Prambanan"
berasal dari akar kata mban dalam Bahasa Jawa yang bermakna menanggung atau memikul
tugas, merujuk kepada para dewa Hindu yang mengemban tugas menata dan menjalankan
keselarasan jagat.

Nama asli kompleks candi Hindu ini adalah nama dari Bahasa Sansekerta; Siwagrha (Rumah
Siwa) atau Siwalaya (Alam Siwa), berdasarkan Prasasti Siwagrha yang bertarikh 778 Saka
(856 Masehi). Trimurti dimuliakan dalam kompleks candi ini dengan tiga candi utamanya
memuliakan Brahma, Siwa, dan Wisnu. Akan tetapi Siwa Mahadewa yang menempati ruang
utama di candi Siwa adalah dewa yang paling dimuliakan dalam kompleks candi ini.

Sejarah
Pembangunan

Candi Prambanan di antara kabut pagi.


Prambanan adalah candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno,
pembangunan candi Hindu kerajaan ini dimulai oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi
Buddha Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa
sejarawan lama menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai
kembali berkuasanya keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda
keyakinan yang saling bersaing; yaitu wangsa Sanjaya penganut Hindu dan wangsa Sailendra
penganut Buddha. Pastinya, dengan dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran
Saiwa kembali mendapat dukungan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra
cenderung lebih mendukung Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan
Medang beralih fokus dukungan keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap
Siwa.

Bangunan ini pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai Pikatan dan secara
berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja Balitung Maha
Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, bangunan suci ini dibangun
untuk memuliakan dewa Siwa, dan nama asli bangunan ini dalam bahasa Sanskerta adalah
Siwagrha (Sanskerta:Shiva-grha yang berarti: 'Rumah Siwa') atau Siwalaya
(Sanskerta:Shiva-laya yang berarti: 'Ranah Siwa' atau 'Alam Siwa').[5] Dalam prasasti ini
disebutkan bahwa saat pembangunan candi Siwagrha tengah berlangsung, dilakukan juga
pekerjaan umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi ini.
Sungai yang dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi
barat kompleks candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini
berbelok melengkung ke arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga erosi
sungai dapat membahayakan konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat
sodetan sungai baru yang memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan sepanjang
dinding barat di luar kompleks candi. Bekas aliran sungai asli kemudian ditimbun untuk
memberikan lahan yang lebih luas bagi pembangunan deretan candi perwara (candi pengawal
atau candi pendamping).

Beberapa arkeolog berpendapat bahwa arca Siwa di garbhagriha (ruang utama) dalam candi
Siwa sebagai candi utama merupakan arca perwujudan raja Balitung, sebagai arca
pedharmaan anumerta beliau.[6]

Kompleks bangunan ini secara berkala terus disempurnakan oleh raja-raja Medang Mataram
berikutnya, seperti raja Daksa dan Tulodong, dan diperluas dengan membangun ratusan
candi-candi tambahan di sekitar candi utama. Karena kemegahan candi ini, candi Prambanan
berfungsi sebagai candi agung Kerajaan Mataram, tempat digelarnya berbagai upacara
penting kerajaan. Pada masa puncak kejayaannya, sejarawan menduga bahwa ratusan pendeta
brahmana dan murid-muridnya berkumpul dan menghuni pelataran luar candi ini untuk
mempelajari kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara
pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat
Prambanan di Dataran Kewu.

Diterlantarkan

Sekitar tahun 930-an, ibu kota kerajaan berpindah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok, yang
mendirikan Wangsa Isyana. Penyebab kepindahan pusat kekuasaan ini tidak diketahui secara
pasti. Akan tetapi sangat mungkin disebabkan oleh letusan hebat Gunung Merapi yang
menjulang sekitar 20 kilometer di utara candi Prambanan. Kemungkinan penyebab lainnya
adalah peperangan dan perebutan kekuasaan. Setelah perpindahan ibu kota, candi Prambanan
mulai terlantar dan tidak terawat, sehingga pelan-pelan candi ini mulai rusak dan runtuh.

Bangunan candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat pada abad ke-16.
Meskipun tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan ibadah umat Hindu, candi ini masih
dikenali dan diketahui keberadaannya oleh warga Jawa yang menghuni desa sekitar. Candi-
candi serta arca Durga dalam bangunan utama candi ini mengilhami dongeng rakyat Jawa
yaitu legenda Rara Jonggrang. Setelah perpecahan Kesultanan Mataram pada tahun 1755,
reruntuhan candi dan sungai Opak di dekatnya menjadi tanda pembatas antara wilayah
Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta (Solo).

Penemuan kembali

Reruntuhan candi Prambanan segera setelah ditemukan.

Penduduk lokal warga Jawa di sekitar candi sudah mengetahui keberadaan candi ini. Akan
tetapi mereka tidak tahu latar belakang sejarah sesungguhnya, siapakah raja dan kerajaan apa
yang telah membangun monumen ini. Sebagai hasil imajinasi, rakyat setempat menciptakan
dongeng lokal untuk menjelaskan asal-mula keberadaan candi-candi ini; diwarnai dengan
kisah fantastis mengenai raja raksasa, ribuan candi yang dibangun oleh makhluk halus jin dan
dedemit hanya dalam tempo satu malam, serta putri cantik yang dikutuk menjadi arca.
Legenda mengenai candi Prambanan dikenal sebagai kisah Rara Jonggrang.

Pada tahun 1733, candi ini ditemukan oleh CA. Lons seorang berkebangsaan Belanda. Candi
ini menarik perhatian dunia ketika pada masa pendudukan Britania atas Jawa. Ketika itu
Colin Mackenzie, seorang surveyor bawahan Sir Thomas Stamford Raffles, menemukan
candi ini. Meskipun Sir Thomas kemudian memerintahkan penyelidikan lebih lanjut,
reruntuhan candi ini tetap terlantar hingga berpuluh-puluh tahun. Penggalian tak serius
dilakukan sepanjang 1880-an yang sayangnya malah menyuburkan praktek penjarahan ukiran
dan batu candi. Kemudian pada tahun 1855 Jan Willem IJzerman mulai membersihkan dan
memindahkan beberapa batu dan tanah dari bilik candi. Beberapa saat kemudian Isac
Groneman melakukan pembongkaran besar-besaran dan batu-batu candi tersebut ditumpuk
secara sembarangan di sepanjang Sungai Opak. Arca-arca dan relief candi diambil oleh
warga Belanda dan dijadikan hiasan taman, sementara warga pribumi menggunakan batu
candi untuk bahan bangunan dan pondasi rumah.
Pemugaran

Pemugaran dimulai pada tahun 1918, akan tetapi upaya serius yang sesungguhnya dimulai
pada tahun 1930-an. Pada tahun 1902-1903, Theodoor van Erp memelihara bagian yang
rawan runtuh. Pada tahun 1918-1926, dilanjutkan oleh Jawatan Purbakala (Oudheidkundige
Dienst) di bawah P.J. Perquin dengan cara yang lebih sistematis sesuai kaidah arkeologi.
Sebagaimana diketahui para pendahulunya melakukan pemindahan dan pembongkaran
beribu-ribu batu secara sembarangan tanpa memikirkan adanya usaha pemugaran kembali.
Pada tahun 1926 dilanjutkan De Haan hingga akhir hayatnya pada tahun 1930. Pada tahun
1931 digantikan oleh Ir. V.R. van Romondt hingga pada tahun 1942 dan kemudian
diserahkan kepemimpinan renovasi itu kepada putra Indonesia dan itu berlanjut hingga tahun
1993 [7].

Upaya renovasi terus menerus dilakukan bahkan hingga kini. Pemugaran candi Siwa yaitu
candi utama kompleks ini dirampungkan pada tahun 1953 dan diresmikan oleh Presiden
pertama Republik Indonesia Sukarno. Banyak bagian candi yang direnovasi, menggunakan
batu baru, karena batu-batu asli banyak yang dicuri atau dipakai ulang di tempat lain. Sebuah
candi hanya akan direnovasi apabila minimal 75% batu asli masih ada. Oleh karena itu,
banyak candi-candi kecil yang tak dibangun ulang dan hanya tampak fondasinya saja.

Kini, candi ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia yang dilindungi oleh UNESCO, status
ini diberikan UNESCO pada tahun 1991. Kini, beberapa bagian candi Prambanan tengah
direnovasi untuk memperbaiki kerusakan akibat gempa Yogyakarta 2006. Gempa ini telah
merusak sejumlah bangunan dan patung.

Peristiwa kontemporer

Pagelaran Sendratari Ramayana di Prambanan.


Pementasan pertama Sendratari Ramayana di panggung terbuka Roro Jonggrang, Prambanan
(1961).

Pemandangan Prambanan dikala malam yang disoroti lampu dari arah panggung terbuka Trimurti.

Dokumentasi pemeran utama Sendratari Ramayana, Rama (Tunjung Sulaksono) dan Sinta
(Sumaryaning) bersama Charlie Chaplin dan GPH Suryohamijoyo di PanggungTerbuka Roro
Jonggrang (1961).

Pada awal tahun 1990-an pemerintah memindahkan pasar dan kampung yang merebak secara
liar di sekitar candi, menggusur kawasan perkampungan dan sawah di sekitar candi, dan
memugarnya menjadi taman purbakala. Taman purbakala ini meliputi wilayah yang luas di
tepi jalan raya Yogyakarta-Solo di sisi selatannya, meliputi seluruh kompleks candi
Prambanan, termasuk Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi Sewu di sebelah utaranya.
Pada tahun 1992 Pemerintah Indonesia Perusahaan milik negara, Persero PT Taman Wisata
Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Badan usaha ini bertugas mengelola taman
wisata purbakala di Borobudur, Prambanan, Ratu Boko, serta kawasan sekitarnya. Prambanan
adalah salah satu daya tarik wisata terkenal di Indonesia yang banyak dikunjungi wisatawan
dalam negeri ataupun wisatwan mancanegara.

Tepat di seberang sungai Opak dibangun kompleks panggung dan gedung pertunjukan
Trimurti yang secara rutin menggelar pertunjukan Sendratari Ramayana. Panggung terbuka
Trimurti tepat terletak di seberang candi di tepi Barat sungai Opak dengan latar belakang
Candi Prambanan yang disoroti cahaya lampu. Panggung terbuka ini hanya digunakan pada
musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan, pertunjukan dipindahkan di panggung
tertutup. Tari Jawa Wayang orang Ramayana ini adalah tradisi adiluhung keraton Jawa yang
telah berusia ratusan tahun, biasanya dipertunjukkan di keraton dan mulai dipertunjukkan di
Prambanan pada saat bulan purnama sejak tahun 1960-an. Sejak saat itu Prambanan telah
menjadi daya tarik wisata budaya dan purbakala utama di Indonesia.

Setelah pemugaran besar-besaran tahun 1990-an, Prambanan juga kembali menjadi pusat
ibadah agama Hindu di Jawa. Kebangkitan kembali nilai keagamaan Prambanan adalah
karena terdapat cukup banyak masyarakat penganut Hindu, baik pendatang dari Bali atau
warga Jawa yang kembali menganut Hindu yang bermukim di Yogyakarta, Klaten dan
sekitarnya. Tiap tahun warga Hindu dari provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta berkumpul di
candi Prambanan untuk menggelar upacara pada hari suci Galungan, Tawur Kesanga, dan
Nyepi.[8][9]

Pada 27 Mei 2006 gempa bumi dengan kekuatan 5,9 pada skala Richter (sementara United
States Geological Survey melaporkan kekuatan gempa 6,2 pada skala Richter) menghantam
daerah Bantul dan sekitarnya. Gempa ini menyebabkan kerusakan hebat terhadap banyak
bangunan dan kematian pada penduduk sekitar. Gempa ini berpusat pada patahan tektonik
Opak yang patahannya sesuai arah lembah sungai Opak dekat Prambanan. Salah satu
bangunan yang rusak parah adalah kompleks Candi Prambanan, khususnya Candi Brahma.
Foto awal menunjukkan bahwa meskipun kompleks bangunan tetap utuh, kerusakan cukup
signifikan. Pecahan batu besar, termasuk panil-panil ukiran, dan kemuncak wajra berjatuhan
dan berserakan di atas tanah. Candi-candi ini sempat ditutup dari kunjungan wisatawan
hingga kerusakan dan bahaya keruntuhan dapat diperhitungkan. Balai arkeologi Yogyakarta
menyatakan bahwa diperlukan waktu berbulan-bulan untuk mengetahui sejauh mana
kerusakan yang diakibatkan gempa ini.[10][11] Beberapa minggu kemudian, pada tahun 2006
situs ini kembali dibuka untuk kunjungan wisata. Pada tahun 2008, tercatat sejumlah 856.029
wisatawan Indonesia dan 114.951 wisatawan mancanegara mengunjungi Prambanan. Pada 6
Januari 2009 pemugaran candi Nandi selesai.[12] Pada tahun 2009, ruang dalam candi utama
tertutup dari kunjungan wisatawan atas alasan keamanan.

Kompleks candi

Model arsitektur rekonstruksi kompleks candi Prambanan, aslinya terdapat 240 candi berdiri di
kompleks ini.

Pintu masuk ke kompleks bangunan ini terdapat di keempat arah penjuru mata angin, akan
tetapi arah hadap bangunan ini adalah ke arah timur, maka pintu masuk utama candi ini
adalah gerbang timur. Kompleks candi Prambanan terdiri dari:

1. 3 Candi Trimurti: candi Siwa, Wisnu, dan Brahma


2. 3 Candi Wahana: candi Nandi, Garuda, dan Angsa
3. 2 Candi Apit: terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi Wahana di sisi
utara dan selatan
4. 4 Candi Kelir: terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk halaman dalam
atau zona inti
5. 4 Candi Patok: terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti
6. 224 Candi Perwara: tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah candi dari barisan
terdalam hingga terluar: 44, 52, 60, dan 68
Maka terdapat total 240 candi di kompleks Prambanan.

Aslinya terdapat 240 candi besar dan kecil di kompleks Candi Prambanan.[13] Tetapi kini
hanya tersisa 18 candi; yaitu 8 candi utama dan 8 candi kecil di zona inti serta 2 candi
perwara. Banyak candi perwara yang belum dipugar, dari 224 candi perwara hanya 2 yang
sudah dipugar, yang tersisa hanya tumpukan batu yang berserakan. Kompleks candi
Prambanan terdiri atas tiga zona; pertama adalah zona luar, kedua adalah zona tengah yang
terdiri atas ratusan candi, ketiga adalah zona dalam yang merupakan zona tersuci tempat
delapan candi utama dan delapan kuil kecil.

Penampang denah kompleks candi Prambanan adalah berdasarkan lahan bujur sangkar yan
terdiri atas tiga bagian atau zona, masing-masing halaman zona ini dibatasi tembok batu
andesit. Zona terluar ditandai dengan pagar bujur sangkar yang masing-masing sisinya
sepanjang 390 meter, dengan orientasi Timur Laut - Barat Daya. Kecuali gerbang selatan
yang masih tersisa, bagian gerbang lain dan dinding candi ini sudah banyak yang hilang.
Fungsi dari halaman luar ini secara pasti belum diketahui; kemungkinan adalah lahan taman
suci, atau kompleks asrama Brahmana dan murid-muridnya. Mungkin dulu bangunan yang
berdiri di halaman terluar ini terbuat dari bahan kayu, sehingga sudah lapuk dan musnah tak
tersisa.

Candi Prambanan adalah salah satu candi Hindu terbesar di Asia Tenggara selain Angkor
Wat. Tiga candi utama disebut Trimurti dan dipersembahkan kepadantiga dewa utama
Trimurti: Siwa sang Penghancur, Wisnu sang Pemelihara dan Brahma sang Pencipta. Di
kompleks candi ini Siwa lebih diutamakan dan lebih dimuliakan dari dua dewa Trimurti
lainnya. Candi Siwa sebagai bangunan utama sekaligus yang terbesar dan tertinggi,
menjulang setinggi 47 meter.

Candi Siwa

Candi Siwa, candi utama di kompleks candi Prambanan yang dipersembahkan untuk dewa Siwa.
Arca Durga Mahisasuramardini di ruang utara candi Siwa.

Halaman dalam adalah zona paling suci dari ketiga zona kompleks candi. Pelataran ini
ditinggikan permukaannya dan berdenah bujur sangkar dikurung pagar batu dengan empat
gerbang di empat penjuru mata angin. Dalam halaman berpermukaan pasir ini terdapat
delapan candi utama; yaitu tiga candi utama yang disebut candi Trimurti ("tiga wujud"),
dipersembahkan untuk tiga dewa Hindu tertinggi: Dewa Brahma Sang Pencipta, Wishnu
Sang Pemelihara, dan Siwa Sang Pemusnah.

Candi Siwa sebagai candi utama adalah bangunan terbesar sekaligus tetinggi di kompleks
candi Rara Jonggrang, berukuran tinggi 47 meter dan lebar 34 meter. Puncak mastaka atau
kemuncak candi ini dimahkotai modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau
halilintar. Bentuk wajra ini merupakan versi Hindu sandingan dari stupa yang ditemukan
pada kemuncak candi Buddha. Candi Siwa dikelilingi lorong galeri yang dihiasi relief yang
menceritakan kisah Ramayana; terukir di dinding dalam pada pagar langkan. Di atas pagar
langkan ini dipagari jajaran kemuncak yang juga berbentuk wajra. Untuk mengikuti kisah
sesuai urutannya, pengunjung harus masuk dari sisi timur, lalu melakukan pradakshina yakni
berputar mengelilingi candi sesuai arah jarum jam. Kisah Ramayana ini dilanjutkan ke Candi
Brahma.

Candi Siwa di tengah-tengah, memuat lima ruangan, satu ruangan di setiap arah mata angin
dan satu garbagriha, yaitu ruangan utama dan terbesar yang terletak di tengah candi.
Ruangan timur terhubung dengan ruangan utama tempat bersemayam sebuah arca Siwa
Mahadewa (Perwujudan Siwa sebagai Dewa Tertinggi) setinggi tiga meter. Arca ini memiliki
Lakana (atribut atau simbol) Siwa, yaitu chandrakapala (tengkorak di atas bulan sabit),
jatamakuta (mahkota keagungan), dan trinetra (mata ketiga) di dahinya. Arca ini memiliki
empat lengan yang memegang atribut Siwa, seperti aksamala (tasbih), camara (rambut ekor
kuda pengusir lalat), dan trisula. Arca ini mengenakan upawita (tali kasta) berbentuk ular
naga (kobra). Siwa digambarkan mengenakan cawat dari kulit harimau, digambarkan dengan
ukiran kepala, cakar, dan ekor harimau di pahanya. Sebagian sejarawan beranggapa bahwa
arca Siwa ini merupakan perwujudan raja Balitung sebagai dewa Siwa, sebagai arca
pedharmaan anumerta beliau. Sehingga ketika raja ini wafat, arwahnya dianggap bersatu
kembali dengan dewa penitisnya yaitu Siwa.[14] Arca Siwa Mahadewa ini berdiri di atas lapik
bunga padma di atas landasan persegi berbentuk yoni yang pada sisi utaranya terukir ular
Nga (kobra).

Tiga ruang yang lebih kecil lainnya menyimpan arca-arca yang ukuran lebih kecil yang
berkaitan dengan Siwa. Di dalam ruang selatan terdapat Resi Agastya, Ganesha putra Siwa di
ruang barat, dan di ruang utara terdapat arca sakti atau istri Siwa, Durga Mahisasuramardini,
menggambarkan Durga sebagai pembasmi Mahisasura, raksasa Lembu yang menyerang
swargaloka. Arca Durga ini juga disebut sebagai Rara Jonggrang (dara langsing) oleh
penduduk setempat. Arca ini dikaitkan dengan tokoh putri legendaris Rara Jonggrang.

Candi Brahma dan Candi Wishnu

Dua candi lainnya dipersembahkan kepada Dewa Wisnu, yang terletak di sisi utara dan
satunya dipersembahkan kepada Brahma, yang terletak di sisi selatan. Kedua candi ini
menghadap ke timur dan hanya terdapat satu ruang, yang dipersembahkan untuk dewa-dewa
ini. Candi Brahma menyimpan arca Brahma dan Candi Wishnu menyimpan arca Wishnu
yang berukuran tinggi hampir 3 meter. Ukuran candi Brahma dan Wishnu adalah sama, yakni
lebar 20 meter dan tinggi 33 meter.

Candi Wahana

Candi Garuda, salah satu candi wahana

Tepat di depan candi Trimurti terdapat tiga candi yang lebih kecil daripada candi Brahma dan
Wishnu yang dipersembahkan kepada kendaraan atau wahana dewa-dewa ini; sang lembu
Nandi wahana Siwa, sang Angsa wahana Brahma, dan sang Garuda wahana Wisnu. Candi-
candi wahana ini terletak tepat di depan dewa penunggangnya. Di depan candi Siwa terdapat
candi Nandi, di dalamnya terdapat arca lembu Nandi. Pada dinding di belakang arca Nandi
ini di kiri dan kanannya mengapit arca Chandra dewa bulan dan Surya dewa matahari.
Chandra digambarkan berdiri di atas kereta yang ditarik 10 kuda, sedangkan Surya berdiri di
atas kereta yang ditarik 7 kuda.[15] Tepat di depan candi Brahma terdapat candi Angsa. Candi
ini kosong dan tidak ada arca Angsa di dalamnya. Mungkin dulu pernah bersemayam arca
Angsa sebagai kendaraan Brahma di dalamnya. Di depan candi Wishnu terdapat candi yang
dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi sama seperti candi Angsa, di dalam candi ini tidak
ditemukan arca Garuda. Mungkin dulu arca Garuda pernah ada di dalam candi ini. Hingga
kini Garuda menjadi lambang penting di Indonesia, yaitu sebagai lambang negara Garuda
Pancasila.

Candi Apit, Candi Kelir, dan Candi Patok

Di antara baris keenam candi-candi utama ini terdapat Candi Apit. Ukuran Candi Apit hampir
sama dengan ukuran candi perwara, yaitu tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter.
Disamping 8 candi utama ini terdapat candi kecil berupa kuil kecil yang mungkin fungsinya
menyerupai pelinggihan dalam Pura Hindu Bali tempat meletakan canang atau sesaji,
sekaligus sebagai aling-aling di depan pintu masuk. Candi-candi kecil ini yaitu; 4 Candi Kelir
pada empat penjuru mata angin di muka pintu masuk, dan 4 Candi Patok di setiap sudutnya.
Candi Kelir dan Candi Patok berbentuk miniatur candi tanpa tangga dengan tinggi sekitar 2
meter.

Candi Perwara

Dua dinding berdenah bujur sangkar yang mengurung dua halaman dalam, tersusun dengan
orientasi sesuai empat penjuru mata angin. Dinding kedua berukuran panjang 225 meter di
tiap sisinya. Di antara dua dinding ini adalah halaman kedua atau zona kedua. Zona kedua
terdiri atas 224 candi perwara yang disusun dalam empat baris konsentris. Candi-candi ini
dibangun di atas empat undakan teras-teras yang makin ke tengah sedikit makin tinggi.
Empat baris candi-candi ini berukuran lebih kecil daripada candi utama. Candi-candi ini
disebut "Candi Perwara" yaitu candi pengawal atau candi pelengkap. Candi-candi perwara
disusun dalam empat baris konsentris baris terdalam terdiri atas 44 candi, baris kedua 52
candi, baris ketiga 60 candi, dan baris keempat sekaligus baris terluar terdiri atas 68 candi.

Masing-masing candi perwara ini berukuran tinggi 14 meter dengan tapak denah 6 x 6 meter,
dan jumlah keseluruhan candi perwara di halaman ini adalah 224 candi. Kesemua candi
perwara ini memiliki satu tangga dan pintu masuk sesuai arah hadap utamanya, kecuali 16
candi di sudut yang memiliki dua tangga dan pintu masuk menghadap ke dua arah luar.[16]
Jika kebanyakan atap candi di halaman dalam zona inti berbentuk wajra, maka atap candi
perwara berbentuk ratna yang melambangkan permata.

Aslinya ada banyak candi yang ada di halaman ini, akan tetapi hanya sedikit yang telah
dipugar. Bentuk candi perwara ini dirancang seragam. Sejarawan menduga bahwa candi-
candi ini dibiayai dan dibangun oleh penguasa daerah sebagai tanda bakti dan persembahan
bagi raja. Sementara ada pendapat yang mengaitkan empat baris candi perwara
melambangkan empat kasta, dan hanya orang-orang anggota kasta itu yang boleh memasuki
dan beribadah di dalamnya; baris paling dalam hanya oleh dimasuki kasta Brahmana,
berikutnya hingga baris terluar adalah barisan candi untuk Ksatriya, Waisya, dan Sudra.
Sementara pihak lain menganggap tidak ada kaitannya antara candi perwara dan empat kasta.
Barisan candi perwara kemungkinan dipakai untuk beribadah, atau tempat bertapa (meditasi)
bagi pendeta dan umatnya.

Arsitektur
Penampang candi Siwa

Arsitektur candi Prambanan berpedoman kepada tradisi arsitektur Hindu yang berdasarkan
kitab Wastu Sastra. Denah candi megikuti pola mandala, sementara bentuk candi yang tinggi
menjulang merupakan ciri khas candi Hindu. Prambanan memiliki nama asli Siwagrha dan
dirancang menyerupai rumah Siwa, yaitu mengikuti bentuk gunung suci Mahameru, tempat
para dewa bersemayam. Seluruh bagian kompleks candi mengikuti model alam semesta
menurut konsep kosmologi Hindu, yakni terbagi atas beberapa lapisan ranah, alam atau Loka.

Seperti Borobudur, Prambanan juga memiliki tingkatan zona candi, mulai dari yang kurang
suci hingga ke zona yang paling suci. Meskipun berbeda nama, tiap konsep Hindu ini
memiliki sandingannya dalam konsep Buddha yang pada hakikatnya hampir sama. Baik
lahan denah secara horisontal maupun vertikal terbagi atas tiga zona:[17]

Bhurloka (dalam Buddhisme: Kamadhatu), adalah ranah terendah makhluk yang fana;
manusia, hewan, juga makhluk halus dan iblis. Di ranah ini manusia masih terikat dengn
hawa nafsu, hasrat, dan cara hidup yang tidak suci. Halaman terlar dan kaki candi
melambangkan ranah bhurloka.
Bhuwarloka (dalam Buddhisme: Rupadhatu), adalah alam tegah, tempat orang suci, resi,
pertapa, dan dewata rendahan. Di alam ini manusia mulai melihat cahaya kebenaran.
Halaman tengah dan tubuh candi melambangkan ranah bhuwarloka.
Swarloka (dalam Buddhisme: Arupadhatu), adalah ranah trtinggi sekaligus tersuci tempat
para dewa bersemayam, juga disebut swargaloka. Halaman dalam dan atap candi
melambangkan ranah swarloka. Atap candi-candi di kompleks Prambanan dihiasi dengan
kemuncak mastaka berupa ratna (Sanskerta: permata), bentuk ratna Prambanan merupakan
modifikasi bentuk wajra yang melambangkan intan atau halilintar. Dalam arsitektur Hindu
Jawa kuno, ratna adalah sandingan Hindu untuk stupa Buddha, yang berfungsi sebagai
kemuncak atau mastaka candi.

Pada saat pemugaran, tepat di bawah arca Siwa di bawah ruang utama candi Siwa terdapat
sumur yang didasarnya terdapat pripih (kotak batu). Sumur ini sedalam 5,75 meter dan peti
batu pripih ini ditemukan diatas timbunan arang kayu, tanah, dan tulang belulang hewan
korban. Di dalam pripih ini terdapat benda-benda suci seperti lembaran emas dengan aksara
bertuliskan Waruna (dewa laut) dan Parwata (dewa gunung). Dalam peti batu ini terdapat
lembaran tembaga bercampur arang, abu, dan tanah, 20 keping uang kuno, beberapa butir
permata, kaca, potongan emas, dan lembaran perak, cangkang kerang, dan 12 lembaran emas
(5 diantaranya berbentuk kura-kura, ular naga (kobra), padma, altar, dan telur).[18]

Relief

Relief di Prambanan menampilkan Shinta tengah diculik Rahwana yang menunggangi raksasa
bersayap, sementara burung Jatayu di sebelah kiri atas mencoba menolong Shinta.

Panil khas Prambanan, singa di dalam relung diapit dua pohon kalpataru yang masing-masing diapit
oleh sapasang kinnara-kinnari atau sepasang margasatwa.

Ramayana dan Krishnayana

Candi ini dihiasi relief naratif yang menceritakan epos Hindu; Ramayana dan Krishnayana.
Relif berkisah ini diukirkan pada dinding sebelah dalam pagar langkan sepanjang lorong
galeri yang mengelilingi tiga candi utama. Relief ini dibaca dari kanan ke kiri dengan gerakan
searah jarum jam mengitari candi. Hal ini sesuai dengan ritual pradaksina, yaitu ritual
mengelilingi bangunan suci searah jarum jam oleh peziarah. Kisah Ramayana bermula di sisi
timur candi Siwa dan dilanjutkan ke candi Brahma temple. Pada pagar langkan candi Wisnu
terdapat relief naratif Krishnayana yang menceritakan kehidupan Krishna sebagai salah satu
awatara Wishnu.

Relief Ramayana menggambarkan bagaimana Shinta, istri Rama, diculik oleh Rahwana.
Panglima bangsa wanara (kera), Hanuman, datang ke Alengka untuk membantu Rama
mencari Shinta. Kisah ini juga ditampilkan dalam Sendratari Ramayana, yaitu pagelaran
wayang orang Jawa yang dipentaskan secara rutin di panggung terbuka Trimurti setiap
malam bulan purnama. Latar belakang panggung Trimurti adalah pemandangan megah tiga
candi utama yang disinari cahaya lampu.

Lokapala, Brahmana, dan Dewata

Di seberang panel naratif relief, di atas tembok tubuh candi di sepanjang galeri dihiasi arca-
arca dan relief yang menggambarkan para dewata dan resi brahmana. Arca dewa-dewa
lokapala, dewa surgawi penjaga penjuru mata angin dapat ditemukan di candi Siwa.
Sementara arca para brahmana penyusun kitab Weda terdapat di candi Brahma. Di candi
Wishnu terdapat arca dewata yang diapit oleh dua apsara atau bidadari kahyangan.

Panil Prambanan: Singa dan Kalpataru

Di dinding luar sebelah bawah candi dihiasi oleh barisan relung (ceruk) yang menyimpan
arca singa diapit oleh dua panil yang menggambarkan pohon hayat kalpataru. Pohon suci ini
dalam mitologi Hindu-Buddha dianggap pohon yang dapat memenuhi harapan dan kebutuhan
manusia. Di kaki pohon Kalpataru ini diapit oleh pasangan kinnara-kinnari (hewan ajaib
bertubuh burung berkepala manusia), atau pasangan hewan lainnya, seperti burung, kijang,
domba, monyet, kuda, gajah, dan lain-lain. Pola singa diapit kalpataru adalah pola khas yang
hanya ditemukan di Prambanan, karena itulah disebut "Panil Prambanan".

Museum Prambanan
Di dalam kompleks taman purbakala candi Prambanan terdapat sebuah museum yang
menyimpan berbagai temuan benda bersejarah purbakala. Museum ini terletak di sisi utara
Candi Prambanan, antara candi Prambanan dan candi Lumbung. Museum ini dibangun dalam
arsitektur tradisional Jawa, berupa rumah joglo. Koleksi yang tersimpan di museum ini
adalah berbagai batu-batu candi dan berbagai arca yang ditemukan di sekitar lokasi candi
Prambanan; misalnya arca lembu Nandi, resi Agastya, Siwa, Wishnu, Garuda, dan arca
Durga Mahisasuramardini, termasuk pula batu Lingga Siwa, sebagai lambang kesuburan.

Replika harta karun emas temuan Wonoboyo yang terkenal itu, berupa mangkuk berukir
Ramayana, gayung, tas, uang, dan perhiasan emas, juga dipamekan di museum ini. Temuan
Wonoboyo yang asli kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Replika model
arsitektur beberapa candi seperti Prambanan, Borobudur, dan Plaosan juga dipamerkan di
museum ini. Museum ini dapat dimasuki secara gratis oleh pengunjung taman purbakala
Prambanan karena tiket masuk taman wisata sudah termasuk museum ini. Pertunjukan audio
visual mengenai candi Prambanan juga ditampilkan disini.

Candi lain di sekitar Prambanan

Candi dan situs purbakala di sekitar Dataran Kewu


Candi Sewu, candi Buddha yang masuk dalam lingkungan Taman Purbalaka Prambanan, dikaitkan
dengan legenda Rara Jonggrang

Dataran Kewu atau dataran Prambanan adalah dataran subur yang membentang antara lereng
selatan kaki gunung Merapi di utara dan jajaran pegunungan kapur Sewu di selatan, dekat
perbatasan Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah. Selain candi Prambanan, lembah dan
dataran di sekitar Prambanan kaya akan peninggalan arkeologi candi-candi Buddha paling
awal dalam sejarah Indonesia, serta candi-candi Hindu. Candi Prambanan dikelilingi candi-
candi Buddha. Masih di dalam kompleks taman wisata purbakala, tak jauh di sebelah utara
candi Prambanan terdapat reruntuhan candi Lumbung dan candi Bubrah. Lebih ke utara lagi
terdapat candi Sewu, candi Buddha terbesar kedua setelah Borobudur. Lebih jauh ke timur
terdapat candi Plaosan. Di arah barat Prambanan terdapat candi Kalasan dan candi Sari.
Sementara di arah selatan terdapat candi Sojiwan, Situs Ratu Baka yang terletak di atas
perbukitan, serta candi Banyunibo, candi Barong, dan candi Ijo.

Dengan ditemukannya begitu banyak peninggalan bersejarah berupa candi-candi yang hanya
berjarak beberapa ratus meter satu sama lain, menunjukkan bahwa kawasan di sekitar
Prambanan pada zaman dahulu kala adalah kawasan penting. Kawasan yang memiliki nilai
penting baik dalam hal keagamaan, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Diduga pusat kerajaan
Medang Mataram terletak disuatu tempat di dataran ini. Kekayaan situs arkeologi, serta
kecanggihan dan keindahan candi-candinya menjadikan Dataran Prambanan tak kalah dengan
kawasan bersejarah terkenal lainnya di Asia Tenggara, seperti situs arkeologi kota purbakala
Angkor, Bagan, dan Ayutthaya.

6. PURA GUNUNG SALAK


Pura Parahyangan Agung Jagatkarta ("alam dewata suci sempurna")[1] atau sering disebut
hanya Pura Jagatkarta adalah pura agama Hindu Nusantara yang terletak di Bogor, Jawa
Barat, Indonesia. Setelah dibangun, Pura Jagatkarta adalah pura terbesar di Jawa Barat dan
terbesar ke-2 di Indonesia setelah Pura Besakih di Bali, dianggap sebagai tempat
persemayaman dan pemujaan terhadap Prabu Siliwangi dan para hyang (leluhur) dari Pakuan
Pajajaran yang pernah berdiri di wilayah Parahyangan.

Tata letak
Pura Jagatkarta terletak di kaki Gunung Salak, di Ciapus, Kecamatan Tamansari di
Kabupaten Bogor. Pura Jagatkarta dibangun di lokasi unik di Gunung Salak karena konon
Pakuan Pajajaran Sunda pernah berdiri di lokasi tersebut. Pakuan Pajajaran adalah wilayah
ibukota Kerajaan Sunda Galuh, Kerajaan Hindu terakhir di Nusantara (bersama Majapahit)
yang mengalami masa keemasannya di bawah pemerintahan Prabu Siliwangi, sebelum
ditaklukkan oleh Muslim Jawa di abad ke-16.[2]

Tata letak Pura Jagatkarta juga berdasarkan legenda bahwa titik tersebut adalah tempat di
mana Prabu Siliwangi mencapai moksa bersama para prajuritnya, sehingga sebelum
dibangun, sebuah Candi dengan patung macan berwarna putih dan hitam (lambang Prabu
Siliwangi) didirikan sebagai penghormatan terhadap Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Hindu
terakhir di tanah Parahyangan. Sebagian peninggalan Pajajaran kini tersimpan di Museum
Nasional Indonesia di Jakarta. Jejak kaki Prabu Siliwangi tercetak pada sebuah batu yang lalu
dikenal sebagai Prasasti Ciaruteun.

Akses jalan dari kaki Gunung Salak menuju Pura Jagatkarta telah diperlebar sejak
pembangunannya dirintis pada tahun 1995, sehingga kendaraan bisa mencapai Pura dengan
mudah. Namun karena banyaknya pengunjung yang datang untuk mengikuti upara Ngenteg
Linggih atau peresmian Pura Jagatkarta, areal parkir terletak jauh dari areal pura.

Pembangunan
Pembangunan Pura Jagatkarta dirintis pada tahun 1995 dan adalah dari hasil kerja gotong
royong umat Hindu Nusantara. Pura Jagatkarta secara resmi belum selesai dibangun, namun
bangunan pura utama seperti bagian Pura Padmesana, Balai Pasamuan Agung dan
Mandala Utama telah selesai.

Di area Pura Jagatkarta juga terdapat Pura Melanting dan Pura Pasar Agung yang
digunakan khusus untuk bersembahyang memohon penglaris untuk usaha. Pengunjung
wisatawan umumnya dilarang masuk ke pura utama, kecuali bagi yang hendak melakukan
ritual bersembahyang, akses hanya hingga pelataran luar pura.

7. KRATON SRI SULTAN


Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi
bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi
sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi
kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota
Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai
koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka
keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh
arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta
paviliun yang luas

Sejarah
Sultan Hamengkubuwono VIII menerima kunjungan kehormatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Bijleveld di Keraton Yogyakarta, sekitar tahun 1937.

Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah
pesanggarahan[2] yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat
iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di
Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul
Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta,
Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman[3].

Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil
Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton,
Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul
(Balairung Selatan)[4][5]. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya
baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton
Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh
karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi
Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.

Tata ruang dan arsitektur umum


Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan
berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam yang
menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara Pakubuwono II Surakarta"[6]. Bangunan pokok
dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta[7]
diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan
Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan
hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta
tahun 1921-1939).

Tata ruang

Koridor di Kedhaton dengan latar belakang Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno

Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara
sampai di Plengkung[8] Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari
utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan
Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti
Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton;
Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul
(sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung
Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing[9][10].

Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris.
Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah
selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan
kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap
ke arah yang lain.

Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang
lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan,
Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-
mula Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya
terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar
dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal
Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar
Beringharjo.

Arsitektur umum

Bangsal Sri Manganti tempat pertunjukan tari dan seni karawitan gamelan di Kraton Yogyakarta.

Salah satu bangunan Tratag dalam kompleks keraton.


Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai
selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks
satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan
Regol[11] yang biasanya bergaya Semar Tinandu[12] . Daun pintu terbuat dari kayu jati yang
tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang
disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.

Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional.


Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda,
bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau
derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal
sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan
yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada
perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.

Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun
seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang
di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-
tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning,
hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat
dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal
Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah,
Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.

Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas.
Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai
biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi
dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi[13].
Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat
menempatkan singgasana Sultan.

Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya


dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh
Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah
dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen
semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas
bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan
itu sendiri.[14]

Kompleks depan
Gladhag-Pangurakan

Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah
Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan[15] yang terletak persis beberapa meter di sebelah
selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis[16]. Pada zamannya
konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran
dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan[17].
Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi,
dan Gapura Pangurakan Lebet[18]. Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan
Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini sudah tidak
ada[19]. Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri
dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan
nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan
Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga masih
berdiri[19]. Selepas dari Gapura Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun Ler.

Alun-alun Lor

Tanah lapang, "Alun-alun Lor", di bagian utara kraton Yogyakarta dengan pohon Ringin Kurung-nya

Alun-alun Lor adalah sebuah lapangan berumput[20] di bagian utara Keraton Yogyakarta.
Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup
tinggi[21]. Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini
alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang tampak. Di bagian pinggir
sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum.

Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae)
dan di tengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut
dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini
diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru[22]. Pada zamannya selain Sultan hanyalah
Pepatih Dalem [23] yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang
dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa
Pepe"[24] saat Pisowanan Ageng[25] sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah[18].
Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah
kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil.

Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang
disebut dengan Pekapalan, tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah
Mancanegara Kesultanan[17]. Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan
sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi
kompleks yang terpisah, Pagelaran.

Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan
upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta
sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya. Sekarang
tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat seperti
konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam
sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.

Mesjid Gedhe Kasultanan


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Masjid Gedhe Kauman

Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar
Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut
dengan Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama
kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup
dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan
utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu,
mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut
maksura. Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah.
Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih
tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan
halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu
kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid.

Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara dan
selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan
yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan
Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul
(Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan
gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati
KK Guntur Madu. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks
masjid raya yang digunakan dalam upacara Jejak Boto[26] pada upacara Sekaten pada tahun
Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu[27] di sebelah
utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.

Kompleks inti
Kompleks Pagelaran

Pagelaran Keraton Yogyakarta di depan kompleks keraton menghadap utara ke arah Alun-alun Lor
Bangunan utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag
Rambat[28]. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan
menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even
pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat keraton. Sepasang Bangsal
Pemandengan terletak di sisi jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini
digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.

Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sisi luar sayap timur dan barat
Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau
menunggu giliran melapor kepada beliau kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga
Bupati Anom Jaba[29]. Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam diorama
yang menggambarkan prosesi adat, prajurit keraton dan lainnya). Bangsal Pengrawit yang
terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan
untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief
perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan oleh
Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak Sumur.[30].

Siti Hinggil Ler

Di selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil secara
tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat ini
pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Univ. Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih
tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan.
Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam (Inocarpus
edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae).

Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal Pacikeran
yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegoro[31] sampai sekitar tahun 1926.
Pacikeran barasal dari kata ciker yang berarti tangan yang putus. Bangunan Tarub Agung
terletak tepat di ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan
empat tiang, tempat para pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam
istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di tempat ini dahulu
bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk menyampaikan
permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.

Bangsal Manguntur Tangkil terletak di tengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam
sebuah hall besar terbuka yang disebut Tratag Sitihinggil[32]. Bangunan ini adalah tempat
Sultan duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan
Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949 Ir. Soekarno
dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat. Bangsal Witono berdiri di selatan
Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat
lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau
pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan[33].

Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada zaman dahulu digunakan
untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK[34] Guntur Madu dan KK Naga Wilaga.
Bale Angun-angun yang terletak di sebelah barat Tratag Siti Hinggil pada zamannya
merupakan tempat menyimpan tombak, KK Suro Angun-angun.
Kamandhungan Lor

Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding selatan
lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol Brojonolo,
sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur dan barat sisi
selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi
kerajaan dan pada hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks
Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben
di sisi timur dan barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke
jalan Kemitbumen dan Rotowijayan.

Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena di halamannya ditanami pohon
Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang berada di
tengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira
sampai 1812) bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati
dengan Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan
untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini
digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti
terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan
Bale Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di
tempat ini.[35]

Sri Manganti

Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler dan
dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara
raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal Sri Manganti yang pada zamannya
digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi
ini ditempatkan beberapa pusaka keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga
difungsikan untuk penyelenggaraan even pariwisata keraton.

Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat kerajaan
saat mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan tempat
ini menjadi balai pengadilan (?). Tempat ini digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka
yang antara lain berupa tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah runtuh pada 27 Mei 2006
akibat gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses restorasi yang
memakan waktu yang lama akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan ini telah berdiri lagi di
tempatnya.

Di sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB II yang mengapit
sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah
Hageng Karaton, gedung Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini terdapat
bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan
bangunan lainnya.[36]
Kedhaton

Pintu Gerbang Donopratopo, Kraton Yogyakarta

Bangsal Kencono, bagunan utama dalam kompleks Keraton Yogyakarta, di belakangnya terdapat
nDalem Ageng Proboyakso.

Ukiran kepala Kala di Bangsal Manis

Di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan
dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala
yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur
terdapat pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan,
Praja Cihna[37].
Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan
dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini
setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (quarter). Bagian pertama adalah
Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang
merupakan bagian istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan,
merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun
bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.

Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden Pavilion) yang menghadap ke


timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk
keluarga kerajaan di samping untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini
terdapat Tratag Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah
barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso yang menghadap ke selatan.
Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di
dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-
lambang Kerajaan (Regalia) lainnya.

Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri Gedhong Jene (The Yellow House)
sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta. Bangunan
yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX.
Oleh Sultan HB X tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi.
Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen[38]. Di sebelah timur laut
Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam keraton, Gedhong
Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan.
Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.

Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur. Bangunan ini
dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan
untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro[39]. Bangunan lain di bagian ini adalah
Bangsal Kotak[40], Bangsal Mandalasana[41], Gedhong Patehan[42], Gedhong Danartapura[43],
Gedhong Siliran[44], Gedhong Sarangbaya[45], Gedhong Gangsa[46], dan lain sebagainya. Di
tempat ini pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB
IX.

Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di tempat yang memiliki
tempat khusus untuk beribadat[47] pada zamannya tinggal para puteri raja yang belum
menikah. Tempat ini merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali didirikan hingga
sekarang. Kesatriyan pada zamannya digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang
belum menikah. Bangunan utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani,
dan Gedhong Srikaton. Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat
penyelenggaraan even pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan dahulu
merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan.[36]

Kamagangan

Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan


kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini begitu penting karena di
dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun
berdirinya Keraton Yogyakarta[48]. Di sisi selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan
kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang sama.
Dahulu kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi-Dalem
Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal
Magangan yang terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol
Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di
Keraton. Bangunan Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan
Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis
masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti
Pareden. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat
menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing
merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan.

Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks
Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan
gantung yang melintasi kanal Taman sari yang menghubungkan dua danau buatan di barat
dan timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang
digunakan oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.[49]

Kamandhungan Kidul

Di ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah gerbang, Regol
Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan kompleks
Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini memiliki ornamen yang sama
dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul terdapat
bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa
Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan
Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul
terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandhungan, yang menjadi pintu paling selatan dari
kompleks cepuri. Di antara kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat
jalan yang disebut dengan Pamengkang.[50]

Siti Hinggil Kidul

Arti dari Siti Hinggil yaitu tanah yang tinggi, siti : tanah dan hinggil : tinggi. Siti Hinggil
Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad terletak di sebelah utara
alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi.
Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 cm dari permukaan tanah di
sekitarnya[6]. Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil yang disebut dengan
Pamengkang, tempat orang berlalu lalang setiap hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat
pendapa sederhana yang kemudian dipugar pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana
Hinggil Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.

Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para prajurit
keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu
manusia dengan macan (rampogan)[6] [?] dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen
Kusumo. Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman
Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk
mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan
sebagainya.[51]
Kompleks belakang
Alun-alun Kidul

Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun
Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk
krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang
memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang
memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing
dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang
guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga
(Mangifera indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae), dan
kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua
pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang)
dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari kata bewok,
harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan
Plengkung Nirbaya.[52]

Plengkung Nirbaya

Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama keraton. Dari tempat ini Sultan HB
I masuk ke Keraton Yogyakarta pada saat perpindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton
Ambar Ketawang[53]. Gerbang ini secara tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi
panjang pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi
tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.

Bagian lain Keraton


Pracimosono

Kompleks Pracimosono merupakan bagian keraton yang diperuntukkan bagi para prajurit
keraton. Sebelum bertugas dalam upacara adat para prajurit keraton tersebut mempersiapkan
diri di tempat ini. Kompleks yang tertutup untuk umum ini terletak di sebelah barat Pagelaran
dan Siti Hinggil Lor.[54]

Roto Wijayan

Kompleks Roto Wijayan merupakan bagian keraton untuk menyimpan dan memelihara
kereta kuda. Tempat ini mungkin dapat disebut sebagai garasi istana. Sekarang kompleks
Roto Wijayan menjadi Museum Kereta Keraton. Di kompleks ini masih disimpan berbagai
kereta kerajaan yang dahulu digunakan sebagai kendaraan resmi. Beberapa diantaranya ialah
KNy Jimat, KK Garuda Yaksa, dan Kyai Rata Pralaya. Tempat ini dapat dikunjungi oleh
wisatawan.[54]

Kawasan tertutup

Kompleks Tamanan merupakan kompleks taman yang berada di barat laut kompleks
Kedhaton tempat dimana keluarga kerajaan dan tamu kerajaan berjalan-jalan. Kompleks ini
tertutup untuk umum. Kompleks Panepen merupakan sebuah masjid yang digunakan oleh
Sultan dan keluarga kerajaan sebagai tempat melaksanakan ibadah sehari-hari dan tempat
Nenepi (sejenis meditasi). Tempat ini juga dipergunakan sebagai tempat akad nikah bagi
keluarga Sultan[55]. Lokasi ini tertutup untuk umum. Kompleks Kraton Kilen dibangun
semasa Sultan HB VII. Lokasi yang berada di sebelah barat Keputren menjadi tempat
kediaman resmi Sultan HB X dan keluarganya. Lokasi ini tertutup untuk umum.[56]

Taman Sari
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Taman Sari Yogyakarta

Kolam Pemandian Umbul Binangun, Taman Sari, Kraton Yogyakarta

Kompleks Taman Sari merupakan peninggalan Sultan HB I. Taman Sari (Fragrant Garden)
berarti taman yang indah, yang pada zaman dahulu merupakan tempat rekreasi bagi sultan
beserta kerabat istana. Di kompleks ini terdapat tempat yang masih dianggap sakral di
lingkungan Taman Sari, yakni Pasareyan Ledoksari tempat peraduan dan tempat pribadi
Sultan. Bangunan yang menarik adalah Sumur Gumuling yang berupa bangunan bertingkat
dua dengan lantai bagian bawahnya terletak di bawah tanah. Di masa lampau, bangunan ini
merupakan semacam surau tempat sultan melakukan ibadah. Bagian ini dapat dicapai melalui
lorong bawah tanah. Di bagian lain masih banyak lorong bawah tanah yang lain, yang
merupakan jalan rahasia, dan dipersiapkan sebagai jalan penyelamat bila sewaktu-waktu
kompleks ini mendapat serangan musuh. Sekarang kompleks Taman Sari hanya tersisa
sedikit saja.[18]

Kadipaten

Kompleks nDalem Mangkubumen merupakan Istana Putra Mahkota atau dikenal dengan
nama Kadipaten (berasal dari gelar Putra Mahkota: "Pangeran Adipati Anom". Tempat ini
terletak di Kampung Kadipaten sebelah barat laut Taman Sari dan Pasar Ngasem. Sekarang
kompleks ini digunakan sebagai kampus Univ Widya Mataram. Sebelum menempati
nDalem Mangkubumen, Istana Putra Mahkota berada di Sawojajar, sebelah selatan Gerbang
Lengkung/Plengkung Tarunasura (Wijilan). Sisa-sisa yang ada antara lain berupa Masjid
Selo yang dulu berada di Sawojajar.[57]

Benteng Baluwerti

Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta merupakan sebuah dinding yang melingkungi


kawasan Keraton Yogyakarta dan sekitarnya. Dinding ini didirikan atas prakarsa Sultan HB
II ketika masih menjadi putra mahkota pada tahun 1785-1787. Bangunan ini kemudian
diperkuat lagi sekitar 1809 ketika beliau telah menjabat sebagai Sultan. Benteng ini memiliki
ketebalan sekitar 3 meter dan tinggi sekitar 3-4 meter. Untuk masuk ke dalam area benteng
tersedia lima buah pintu gerbang lengkung yang disebut dengan Plengkung, dua diantaranya
hingga kini masih dapat disaksikan. Sebagai pertahanan di keempat sudutnya didirikan
bastion, tiga diantaranya masih dapat dilihat hingga kini.[58]

Bagian lain yang terkait


Keraton Yogyakarta juga mempunyai bangunan-bangunan yang berada di luar lingkungan
Keraton itu sendiri. Bangunan-bangunan tersebut memiliki kaitan yang erat dan boleh jadi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Tugu Golong Gilig


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tugu Yogyakarta

Tugu golong gilig atau tugu pal putih (white pole) merupakan penanda batas utara kota tua
Yogyakarta. Semula bangunan ini berbentuk seperti tongkat bulat (gilig) dengan sebuah bola
(golong) diatasnya. Bangunan ini mengingatkan pada Washington Monument di Washington
DC. Pada tahun 1867 bangunan ini rusak (patah) karena gempa bumi yang juga merusakkan
situs Taman Sari. Pada masa pemerintahan Sultan HB VII bangunan ini didirikan kembali.
Namun sayangnya dengan bentuk berbeda seperti yang dapat disaksikan sekarang (Januari
2008). Ketinggiannya pun dikurangi dan hanya sepertiga tinggi bangunan aslinya. Lama-
kelamaan nama tugu golong gilig dan tugu pal putih semakin dilupakan seiring penyebutan
bangunan ini sebagai Tugu Yogyakarta.[18]

Panggung Krapyak

Panggung krapyak dibangun oleh Sultan HB I dan saat ini merupakan benda cagar budaya.
Gedhong panggung, demikian disebut, merupakan sebuah podium dari batu bata dengan
tinggi 4 m, lebar 5 m, dan panjang 6 m. Tebal dindingnya mencapai 1 m. Bangunan ini
memiliki 4 pintu luar, 8 jendela luar, serta 8 pintu di bagian dalam. Atap bangunan dibuat
datar dengan pagar pembatas di bagian tepinya. Untuk mencapainya tersedia tangga dari kayu
di bagian barat laut. Bangunan bertingkat ini disekat menjadi 4 buah ruang. Dahulu tempat ini
digunakan sebagai lokasi berburu menjangan (rusa/kijang) oleh keluarga kerajaan. Berlokasi
dekat Ponpes Krapyak, konon tempat Gus Dur (presiden IV) pernah menimba ilmu,
bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta. Namun
demikian, bangunan ini lebih mirip dengan gerbang kemenangan, Triumph dArc. Kondisinya
sempat memprihatinkan akibat gempa bumi tahun 2006 sebelum akhirnya direnovasi. Setelah
renovasi bangunan ini diberi pintu besi sehingga orang-orang tidak dapat masuk
kedalamnya.[19]

Kepatihan

nDalem Kepatihan merupakan tempat kediaman resmi (Official residence) sekaligus kantor
Pepatih Dalem. Di tempat inilah pada zamannya diselenggarakan kegiatan pemerintahan
sehari-hari kerajaan. Sejak tahun 1945 kantor Perdana Menteri Kesultanan Yogyakarta ini
menjadi kompleks kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan PemProv DIY. Selain
Pendopo Kepatihan, sisa bangunan lama tempat ini juga dapat dilihat pada Gedhong Wilis
(kantor gubernur), Gedhong Bale Mangu (dulu digunakan sebagai gedung pengadilan Bale
Mangu, sebuah badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan umum),
dan Masjid Kepatihan. Sekarang tempat ini memiliki pintu utama di Jalan Malioboro.[59]

Pathok Negoro

Mesjid Pathok Negoro[60] yang berjumlah empat buah menjadi penanda batas wilayah ibukota
(?). Lokasi masjid ini berada di Ploso Kuning (batas utara), Mlangi (batas barat), Kauman
Dongkelan (batas selatan), dan Babadan (batas timur). Pendirian masjid ini juga memiliki
tujuan sebagai pusat penyiaran agama Islam selain masjid raya kerajaan. Kedudukan masjid
ini adalah setingkat dibawah masjid raya kerajaan. Ini dapat dilihat dari kedudukan para
imam besar/penghulu (jw=Kyai Pengulu) masjid ini menjadi anggota Al-Mahkamah Al-
Kabirah, badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan agama Islam,
dimana imam besar masjid raya kerajaan (Kangjeng Kyai Pengulu) menjadi ketua
mahkamah.[56]

Bering Harjo

Pasar Bering Harjo merupakan salah satu pusat ekonomi Kesultanan Yogyakarta pada
zamannya. Berlokasi di sisi timur jalan Jend. A Yani, pasar Bering Harjo sampai saat ini
menjadi salah satu pasar induk di Yogyakarta. Sekarang pasar ini jauh berbeda dengan
aslinya. Bangunannya yang megah terdiri dari tiga lantai dan dibagi dalam dua sektor barat
dan timur yang dibatasi oleh jalan kecil. Namun demikian pasar yang berada tepat di utara
benteng Vredeburg ini tetap menjadi sebuah pasar tradisional yang merakyat.[54]

Warisan budaya
Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Yogyakarta juga memiliki suatu warisan
budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik,
dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Tumplak Wajik,
Garebeg, upacara Sekaten dan upacara Siraman Pusaka dan Labuhan. Upacara yang
berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan
budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing.

Tumplak Wajik

Upacara tumplak wajik adalah upacara pembuatan Wajik (makanan khas yang terbuat dari
beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan pareden yang digunakan dalam
upacara Garebeg. Upacara ini hanya dilakukan untuk membuat pareden estri pada Garebeg
Mulud dan Garebeg Besar. Dalam upacara yang dihadiri oleh pembesar Keraton ini di
lengkapi dengan sesajian. Selain itu upacara yang diselenggarakan dua hari sebelum garebeg
juga diiringi dengan musik ansambel lesung-alu (alat penumbuk padi), kenthongan, dan alat
musik kayu lainnya. Setelah upacara selesai dilanjutkan dengan pembuatan pareden.[61]

Garebeg

Upacara Garebeg pada masa kolonial Hindia Belanda (kurun 1925-1942).


Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa
yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal satu bulan Sawal (bulan ke-
10) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan ke-12). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan
mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas
kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa
pareden/gunungan yang terdiri dari Pareden Kakung, Pareden Estri, Pareden Pawohan,
Pareden Gepak, dan Pareden Dharat, serta Pareden Kutug/Bromo yang hanya dikeluarkan 8
tahun sekali pada saat Garebeg Mulud tahun Dal.

Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak
membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna
hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan
kering lainnya. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan
rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras
maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Kedua gunungan ini ditempatkan
dalam sebuah kotak pengangkut yang disebut Jodhang.

Gunungan pawohan[62] terdiri dari buah-buahan segar yang diletakkan dalam keranjang dari
daun kelapa muda (Janur) yang berwarna kuning. Gunungan ini juga ditempatkan dalam
jodhang dan ditutup dengan kain biru. Gunungan gepak berbentuk seperti gunungan estri
hanya saja permukaan atasnya datar. Gunungan dharat juga berbentuk seperti gunungan
estri namun memiliki permukaan atas yang lebih tumpul. Kedua gunungan terakhir tidak
ditempatkan dalam jodhang melainkan hanya dialasi kayu yang berbentuk lingkaran.
Gunungan kutug/bromo memiliki bentuk khas karena secara terus menerus mengeluarkan
asap (kutug) yang berasal dari kemenyan yang dibakar. Gunungan yang satu ini tidak
diperebutkan oleh masyarakat melainkan dibawa kembali ke dalam keraton untuk di bagikan
kepada kerabat kerajaan.

Pada Garebeg Sawal Sultan menyedekahkan 1-2 buah pareden kakung. Jika dua buah maka
yang sebuah diperebutkan di Mesjid Gedhe dan sebuah sisanya diberikan kepada kerabat
Puro Paku Alaman. Pada garebeg Besar Sultan mengeluarkan pareden kakung, estri,
pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Pada garebeg
Mulud/Sekaten Sultan memberi sedekah pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat
yang masing-masing berjumlah satu buah. Bila garebeg Mulud diselenggarakan pada tahun
Dal, maka ditambah dengan satu pareden kakung dan satu pareden kutug.[63]

Sekaten

Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon
asal usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah
perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari
istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua
perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk
ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai
hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut
dimainkan/dibunyikan (jw: ditabuh) secara bergantian menandai perayaan sekaten.

Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara Udhik-
Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil beliau masuk ke
Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan
riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud.
Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang (harfiah=telur merah)
merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga
kantil (Michelia alba; famili Magnoliaceae). Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga
diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara
sekaten yang sesungguhnya.[64]

Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan

Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki upacara tradisi
khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan. Siraman/Jamasan Pusaka adalah
upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan
(Royal Heirlooms) yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi
pertama adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal Manis).
Upacara di lokasi ini 'tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga kerajaan.

Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto
Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta
resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda
lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta
yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan
daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di
pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya
dan Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan
prosesi upacaranya.

Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat yaitu Pantai
Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu benda-benda milik Sultan
seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di-larung
(harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung Merapi (Kabupaten Sleman)
dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sekarang Januari 2008 dijabat oleh Mas Ngabehi
Suraksa Harga atau yang lebih dikenal dengan Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang
Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda
tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat.[65] tertutup untuk umum dan hanya
diikuti oleh keluarga kerajaan.

Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto
Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta
resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda
lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta
yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan
daun Waringin Sengker yang berada di tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di
pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya
dan Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan
prosesi upacaranya.

Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat yaitu Pantai
Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu benda-benda milik Sultan
seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di-larung
(harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung Merapi (Kabupaten Sleman)
dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sebagaimana pernah dijabat Mas Ngabehi Suraksa
Harga atau lebih dikenal dengan nama Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang Kusumo
Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut
kemudian diperebutkan oleh masyarakat.[66]

Pusaka kerajaan
Pusaka di Keraton Yogyakarta disebut sebagai Kagungan Dalem (harfiah=milik Raja) yang
dianggap memiliki kekuatan magis atau peninggalan keramat yang diwarisi dari generasi-
generasi awal. Kekuatan dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan asal
usulnya, keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya dalam kejadian
bersejarah[56].

Dalam lingkungan Keraton, pusaka dapat dalam bentuk baik benda nyata ataupun pesan yang
terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak seperti penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan
fungsional berdekatan dengan Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan sebuah aspek
budaya Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari Sultan dan
keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan trah, dan pejabat/pegawai
kerajaan/istana, Keraton memiliki peraturan mengenai hak resmi atas orang yang akan
mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki kedudukan yang kuat dan orang luar selain di atas
tidak dapat dengan mudah mewarisinya. Keberadaaannya sebanding dengan Keraton itu
sendiri[56].

Benda-benda pusaka keraton memiliki nama tertentu. Sebagai contoh adalah Kyai Permili,
sebuah kereta kuda yang digunakan untuk mengangkut abdi-Dalem Manggung yang
membawa Regalia. Selain nama pusaka tersebut mempunyai gelar dan kedudukan tertentu,
tergantung jauh atau dekatnya hubungan dengan Sultan. Seluruh pusaka yang menjadi
inventaris Sultan (Sultans property) dalam jabatannya diberi gelar Kyai (K) jika bersifat
maskulin atau Nyai (Ny) jika bersifat feminin, misalnya K Danumaya sebuah guci tembikar,
yang konon berasal dari Palembang, yang berada di Pemakaman Raja-raja di Imogiri.

Apabila pusaka tersebut sedang/pernah digunakan oleh Sultan, maupun dipinjamkan kepada
orang tertentu karena jabatannya diberi tambahan gelar Kangjeng sehingga selengkapnya
bergelar Kangjeng Kyai (KK) atau Kangjeng Nyai (KNy). Sebagai contoh adalah Kangjeng
Nyai Jimat, sebuah kereta kuda yang dipergunakan oleh Sultan HB I - Sultan HB IV sebagai
kendaraan resmi (sebanding dengan mobil dengan plat nomor polisi Indonesia 1 sebagai
kendaran resmi Presiden Indonesia) dan merupakan kereta terkeramat dari Keraton
Yogyakarta.[67]

Beberapa pusaka yang menempati kedudukan tertinggi dan dipercaya memiliki kekuatan
paling magis mendapat tambahan gelar Ageng sehingga selengkapnya bergelar Kangjeng
Kyai Ageng (KKA). Salah satu pusaka tersebut adalah KKA Pleret, sebuah tombak yang
konon pernah digunakan oleh Panembahan Senopati untuk membunuh Arya Penangsang.
Tombak ini kini menjadi pusaka terkeramat di keraton Yogyakarta dan mendapat kehormatan
setara dengan kehormatan Sultan sendiri. Penghormatan terhadap KKA Pleret ini telah
dimulai sejak Panembahan Senopati.

Wujud benda pusaka di Keraton Yogyakarta bermacam-macam. Benda-benda tersebut dapat


dikelompokkan menjadi: (1) Senjata tajam; (2) Bendera dan Panji kebesaran; (3)
Perlengkapan Kebesaran; (4) Alat-alat musik; (5) Alat-alat transportasi; (6) Manuskrip, babad
(kronik) berbagai karya tulis lain; (7) Perlengkapan sehari-hari; dan (8) Lain-lain. Pusaka
dalam bentuk senjata tajam dapat berupa tombak (KK Gadatapan dan KK Gadawedana,
pendamping KKA Pleret); keris (KKA Kopek); Wedhung, (KK Pengarab-arab, untuk
eksekusi mati narapidana dengan pemenggalan kepala) ataupun pedang (KK Mangunoneng,
pedang yang digunakan untuk memenggal seorang pemberontak, Tumenggung
Mangunoneng).

Pusaka dalam bentuk bendera/panji misalnya KK Pujo dan KK Puji. Pusaka yang digunakan
sebagai perlengkapan kebesaran terdiri dari satu set regalia kerajaan yang disebut KK
Upocoro dan satu set lambang kebesaran Sultan yang disebut KK Ampilan serta perlengkapan
baju kebesaran (mahkota, sumping [hiasan telinga], baju kebesaran, akik [cicin dengan mata
dari batu mulia] dan lain sebagainya). Pusaka dalam kelompok alat-alat musik dapat berupa
set gamelan (misal KK Kancil Belik) maupun alat musik tersendiri (misal cymbal KK Udan
Arum dan KK Tundhung Mungsuh).

Pusaka dalam golongan alat-alat transportasi dapat berupa kereta kuda maupun yang lain
(misal tandu yang pernah digunakan oleh Sultan HB I, KK Tandu Lawak, dan pelana kuda
yang disebut KK Cekathak). Benda pusaka dalam kelompok Manuskrip antara lain adalah KK
Suryaraja (buku matahari raja-raja) yang dikarang oleh Sultan HB II semasa beliau masih
menjadi putra mahkota, KK Alquran yang berupa manuskrip kitab suci Alquran, dan KK
Bharatayudha yang berupa ceritera wayang.

Pusaka dalam bentuk perlengkapan sehari-hari misalnya Ny Mrico, sebuah periuk yang hanya
digunakan untuk menanak nasi saat upacara Garebeg Mulud tahun Dal (terjadi hanya delapan
tahun sekali). Pusaka kelompok lain-lain misalnya wayang kulit tokoh tertentu (misalnya KK
Jayaningrum [tokoh Arjuna], KK Jimat [tokoh Yudhistira], dan KK Wahyu Kusumo [tokoh
Batara Guru]) maupun tembikar (misalnya K Danumurti sebuah enceh/kong (guci tembikar),
yang konon berasal dari Aceh, yang juga terdapat di pemakaman Imogiri) dan lain
sebagainya.[68]

Regalia

Regalia merupakan pusaka yang menyimbolkan karakter Sultan Yogyakarta dalam


memimpin negara berikut rakyatnya. Regalia yang dimiliki oleh terdiri dari berbagai benda
yang memiliki makna tersendiri yang kesemuanya secara bersama-sama disebut KK
Upocoro. Macam benda dan dan maknanya sebagai berikut:

1. Banyak (berwujud angsa) menyimbolkan kelurusan, kejujuran, serta kesiap siagaan serta
ketajaman;
2. Dhalang (berwujud kijang) menyimbolkan kecerdasan dan ketangkasan;
3. Sawung (berwujud ayam jantan) menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab;
4. Galing (berwujud burung merak jantan) menyimbolkan kemuliaan, keagungan, dan
keindahan;
5. Hardawalika (berwujud raja ular naga) menyimbolkan kekuatan;
6. Kutuk (berwujud kotak uang) menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan;
7. Kacu Mas (berwujud tempat saputangan emas) menyimbolkan kesucian dan kemurnian;
8. Kandhil (berwujud lentera minyak) menyimbolkan penerangan dan pencerahan; dan
9. Cepuri (berwujud nampan sirih pinang), Wadhah Ses (berwujud kotak rokok), dan Kecohan
(berwujud tempat meludah sirih pinang) menyimbolkan proses membuat
keputusan/kebijakan negara.

KK Upocoro selalu ditempatkan di belakang Sultan saat upacara resmi kenegaraan (state
ceremony) dilangsungkan. Pusaka ini dibawa oleh sekelompok gadis remaja yang disebut
dengan abdi-Dalem Manggung.[56]

Lambang kebesaran

KK Ampilan sebenarnya merupakan satu set benda-benda penanda martabat Sultan. Benda-
benda tersebut adalah Dampar Kencana (singgasana emas) berikut Pancadan/Amparan
(tempat tumpuan kaki Sultan di muka singgasana) dan Dampar Cepuri (untuk meletakkan
seperangkat sirih pinang di sebelah kanan singgasana Sultan); Panah (anak panah);
Gendhewa (busur panah); Pedang; Tameng (perisai); Elar Badhak (kipas dari bulu merak);
KK Alquran (manuskrip Kitab Suci tulisan tangan); Sajadah (karpet/tikar ibadah); Songsong
(payung kebesaran); dan beberapa Tombak. KK Ampilan ini selalu berada di sekitar Sultan
saat upacara resmi kerajaan (royal ceremony) diselenggarakan. Berbeda dengan KK Upocoro,
pusaka KK Ampilan dibawa oleh sekelompok ibu-ibu/nenek-nenek yang sudah menopause.[56]

Gamelan

Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga
nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem skala pelog. Keraton Yogyakarta
memiliki sekitar 18-19 set ansambel gamelan pusaka, 16 diantaranya digunakan sedangkan
sisanya (KK Bremara dan KK Panji) dalam kondisi yang kurang baik. Setiap gamelan
memiliki nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Tiga buah gamelan
dari berasal dari zaman sebelum Perjanjian Giyanti dan lima belas sisanya berasal dari zaman
Kesultanan Yogyakarta. Tiga gamelan tersebut adalah gamelan monggang yang bernama
KK Guntur Laut, gamelan kodhok ngorek yang bernama KK Maeso Ganggang, dan
gamelan sekati yang bernama KK Guntur Madu. Ketiganya merupakan gamelan terkeramat
dan hanya dimainkan/dibunyikan pada even-even tertentu saja.

Gamelan monggang KK Guntur Laut konon berasal dari zaman Majapahit. Gamelan yang
dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan sebuah ansambel sederhana yang
terdiri dari tiga buah nada dalam sistem skala slendro. Pada zamannya gamelan ini hanya
dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat penting yaitu upacara
pelantikan/pemahkotaan Sultan, mengiringi keberangkatan Sultan dari istana untuk
menghadiri upacara penting, perayaan maleman (upacara pada malam tanggal 21,23,25, dan
29 bulan Ramadan), pernikahan kerajaan, upacara garebeg, dan upacara pemakaman Sultan.
Gamelan ini memiliki nilai sejarah penting. Atas perkenan Sunan PB III, KK Guntur laut
dimainkan saat penyambutan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada penandatanganan
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.

KK Maeso Ganggang juga merupakan gamelan kuno yang konon juga berasal dari zaman
Majapahit. Gamelan kodhok ngorek ini juga menggunakan sistem skala slendro. Gamelan ini
didapatkan oleh Pangeran Mangkubumi dari Perjanjian Giyanti. Penggunaannya juga sangat
sakral dan selalu dimainkan pada upacara kenegaraan seperti upacara pemahkotaan Sultan
dan pernikahan kerajaan. Gamelan nomor dua di Keraton ini juga dimainkan dalam
peringatan ulang tahun Sultan, upacara sunatan putra Sultan, dan untuk megiringi prosesi
Gunungan ke Masjid Besar.

Gamelan sekati KK Guntur Madu dimainkan di Pagongan Kidul saat Upacara Sekaten, serta
dalam upacara sunatan dan pernikahan Putra Mahkota. Konon gamelan ini berasal dari zaman
Kesultanan Demak. Versi lain mengatakan alat musik ini buatan Sultan Agung saat
memerintah kerajaan Mataram. Gamelan ini menjadi milik Kesultanan Yogyakarta setelah
perjanjian Giyanti sementara pasangannya KK Guntur Sari menjadi milik Kesunanan
Surakarta. Agar gamelan sekati ini tetap berjumlah sepasang maka dibuatlah duplikatnya (jw.
dipun putrani) dan diberi nama KK Naga Wilaga yang dibunyikan di Pagongan Utara.
Kekhususan gamelan ini adalah bentuknya yang lebih besar dari gamelan umumnya dan
instrumen kendhang (gendang) yang mencerminkan Hinduisme digantikan oleh bedug kecil
(dianggap mencerminkan Islam).

KK Guntur Sari dipergunakan untuk mengiringi Beksan Lawung, sebuah tarian sakral, pada
upacara pernikahan putra Sultan. KK Surak diperdengarkan untuk mengiringi uyon-uyon
(lagu-lagu tradisional Jawa), tari-tarian, dan wayang kulit. Gamelan-gamelan ada yang
berpasangan secara khusus antara lain KK Harja Nagara (dalam skala slendro) dengan KK
Harja Mulya (dalam skala pelog) dan KK Madu Murti (dalam skala slendro) dengan KK
Madu Kusumo (dalam skala pelog).[56]

Kereta kuda pilihan

Pada zamannya kereta kuda merupakan alat transportasi penting bagi masyarakat tak
terkecuali Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta memiliki bermacam kereta kuda mulai
dari kereta untuk bersantai dalam acara non formal sampai kereta kebesaran yang digunakan
secara resmi oleh raja. Kereta kebesaran tersebut sebanding dengan mobil berplat nopol
Indonesia 1 atau Indonesia 2 (mobil resmi presiden dan wakil presiden Indonesia).
Kebanyakan kereta kuda adalah buatan Eropa terutama Negeri Belanda walaupun ada
beberapa yang dibuat di Roto Wijayan (misal KK Jetayu).

KNy Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan HB I sampai dengan Sultan HB IV. Kereta
kuda ini merupakan pemberian Gubernur Jenderal Jacob Mossel. KK Garudho Yakso
merupakan kereta kebesaran Sultan HB VI sampai HB X (walaupun dalam kenyataannya
Sultan HB IX dan HB X sudah menggunakan mobil). Kereta kuda buatan Den Haag tahun
1861 ini terakhir kali digunakan pada tahun 1989, saat prosesi Kirab Jumenengan Dalem
(perarakan pemahkotaan raja). KK Wimono Putro adalah kereta yang digunakan oleh
Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota). KK Jetayu merupakan kendaraan yang digunakan
Sultan untuk menghadiri acara semi resmi. KK Roto Praloyo merupakan kereta jenazah yang
hanya digunakan untuk membawa jenazah Sultan. Konon kereta ini baru digunakan dua kali
yaitu pada saat pemakaman Sultan HB VIII dan HB IX.

K Harsunaba adalah kendaraan yang digunakan dalam resepsi pernikahan, sementara K


Jongwiyat, K Manik Retno, K Jaladara dan K Mondro Juwolo kadang-kadang digunakan
oleh Pangeran Diponegoro. Selain itu juga terdapat kereta, K Noto Puro, K Roto Biru, K
Kutho Kaharjo, K Puspo Manik, Rejo Pawoko, Landower, Landower Surabaya, Landower
Wisman, Kus Gading, Kus nomor 10, dan lain-lain. Masing-masing kereta tersebut memiliki
kegunaan sendiri-sendiri.[56]
Tanda jabatan

Beberapa pusaka, khususnya keris, juga digunakan sebagai penanda/simbol jabatan orang
yang memakainya. Sebagai contoh adalah keris KKA Kopek. Keris utama Keraton
Yogyakarta ini merupakan keris yang hanya diperkenankan untuk dipakai Sultan yang sedang
bertahta yang melambangkan martabatnyanya sebagai pemimpin spiritual sebagaimana beliau
menjadi kepala kerajaan. oleh Sultan sendiri. Keris KK Joko Piturun merupakan keris yang
dipinjamkan oleh Sultan kepada Pangeran Adipati Anom, Putra Mahkota Kerajaan, sebagai
tanda jabatannya. Keris KK Toyatinaban merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan
kepada Gusti Pangeran Harya Hangabehi, putra tertua Sultan, sebagai lambang
kedudukannya selaku Kepala Parentah Hageng Karaton (Lembaga Istana). Keris KK
Purboniyat merupakan keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada Kangjeng Pangeran
(h)Adipati (h)Aryo Danurejo, sebagai simbol jabatannya sebagai Pepatih Dalem.[56]

Pemangku adat Yogyakarta

Upacara Jumenengan atau naik takhta Sultan Hamengkubuwono X, tampak melintas di depan
Pagelaran didamping Gusti Kanjeng Ratu Hemas, 7 Maret 1989.

Para Abdi Dalem di depan Gedhong Kaca, Museum Hamengku Buwono IX Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat

Pada mulanya Keraton Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The
Imperial House) dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisi lembaga ini disebut Parentah
Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas
mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan (Royal Family). Dalam penyelenggaraan
pemerintahan Kesultanan Yogyakarta disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah
nJawi/Parentah Nagari (harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di
nDalem Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.

Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi) bersama-sama


Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa
setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari Pemerintahan
Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku
Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan
penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap
memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I.
Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar kebangsawanan
kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa
khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun
karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem) keraton.

Namun demikian ada perbedaan antara Keraton Yogyakarta dengan Keraton/Istana kerajaan-
kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku
Tahta Adat /Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang
pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri
(de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis
diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan
masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948;
UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Gubernur/Kepala
Daerah Istimewa dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang juga
Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi
syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU
22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah
Sultan Hamengku Buwono X

Prajurit Kraton
Prajurit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibentuk pada masa pemerintahan


Hamengkubuwono I sekitar abad 17. Tepatnya pada tahun 1755Masehi. Prajurit yang terdiri
atas pasukan-pasukan infanteri dan kavaleri tersebutsudah mempergunakan senjata-senjata
api yang berupa bedil dan meriam. Selamakurang lebih setengah abad pasukan
Ngayogyakarta terkenal cukup kuat, initerbukti ketika Hamengkubuwono II mengadakan
perlawanan bersenjatamenghadapi serbuan dari pasukan Inggris dibawah pimpinan Jenderal
Gillespie pada bulan Juni 1812. Di dalam Babad menceritakan bahwa perlawanan dari pihak
Hamengkubuwono II hebat sekali. Namun semenjak masa PemerintahanHamengkubuwono
III kompeni Inggris membubarkan angkatan perangKasultanan Yogykarta. Dalam perjanjian
2 Oktober 1813 yang ditandatanganioleh Sultan Hamengkubuwono III dan Raffles, dituliskan
bahwa KesultananYogyakarta tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat.
Dibawah pengawasan Pemerintahan Kompeni Inggris, keraton hanya boleh
memilikikesatuan-kesatuan bersenjata yang lemah dengan pembatasan jumlah
personil.Sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melakukan gerakan militer. Maka sejak itu
fungsi kesatuan-kesatuan bersenjata sebatas sebagai pengawal sultan dan penjaga
keraton.Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda kembali berkuasa pasukan- pasukan
bersenjata yang sudah lemah tersebut makin dikurangi sehingga tidak mempunyai arti secara
militer. Menurut catatan yang ada, semasa pemerintahanHamengkubuwono VII sampai
dengan masa pemerintahan HamengkubuwonoVIII yaitu antara tahun 1877 sampai dengan
1939 ada 13 kesatuan prajurit kratonyang meliputi: Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung,
Patangpuluh, Wirobrojo,Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero,
Langenastro,Surokarso dan Bugis.
Prajurit Bugis Prajurit Daeng Prajurit JogokaryoPrajurit Ketanggung Prajurit
MantrijeroPrajurit Nyutro Prajurit Patangpuluh Prajurit PrawirotomoPrajurit Surokarso
Prajurit Wirobrojo

Prajurit Kraton Yogyakarta

Pada tahun 1942 semua kesatuan bersenjata keraton Yogyakartadibubarkan oleh


pemerintahan Jepang. Tetapi mulai tahun 1970 kegiatan para prajurit keraton dihidupkan
kembali. Dari ke tiga belas prajurit yang pernah ada baru sepuluh kesatuan atau bergada yang
direkonstruksi dengan beberapa perubahan, baik dari pakaiannya, senjatanya maupun jumlah
personil. (lihat foto-foto yang ditampilkan). Kesepuluh kesatuan prajurit tersebut yaitu:
PrajuritWirobrojo, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jogokaryo,
PrajuritMantrijero, Prajurit Prawirotomo, Prajurit Ketanggung, Prajurit Nyutro,
PrajuritSurokarso dan Prajurit Bugis. Dewasa ini, kesepuluh kesatuan prajurit tersebutmasih
dapat dilihat oleh masyarakat umum paling tidak se tahun tiga kali, yaitu pada upacara
Garebeg Mulud, Garebeg Besar dan Garebeg Syawal, di alun-alunutara Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat.

Filosofi dan mitologi seputar Keraton


Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta
merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta.
Karaton artinya tempat dimana "Ratu" (bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti
Raja) bersemayam. Dalam kata lain Keraton/Karaton (bentuk singkat dari Ke-ratu-an/Ka-
ratu-an) merupakan tempat kediaman resmi/Istana para Raja. Artinya yang sama juga
ditunjukkan dengan kata Kedaton. Kata Kedaton (bentuk singkat dari Ke-datu-an/Ka-datu-an)
berasal dari kata "Datu" yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran
tentang budaya Jawa, arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat dalam[69].

Keraton Yogyakarta tidak didirikan begitu saja. Banyak arti dan makna filosofis yang
terdapat di seputar dan sekitar keraton. Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga
diselubungi oleh mitos dan mistik yang begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak
dapat dipisahkan dan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama keraton.
Penataan tata ruang keraton, termasuk pula pola dasar landscape kota tua Yogyakarta, nama-
nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan arah hadap bangunan, benda-benda tertentu
dan lain sebagainya masing-masing memiliki nilai filosofi dan/atau mitologinya sendiri-
sendiri.

Tata ruang dasar kota tua Yogyakarta berporoskan garis lurus Tugu, Keraton, dan Panggung
Krapyak serta diapit oleh S. Winongo di sisi barat dan S. Code di sisi timur. Jalan P.
Mangkubumi (dulu Margotomo), jalan Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan Jend. A. Yani
(dulu Margomulyo) merupakan sebuah boulevard lurus dari Tugu menuju Keraton. Jalan D.I.
Panjaitan (dulu Ngadinegaran [?])merupakan sebuah jalan yang lurus keluar dari Keraton
melalui Plengkung Nirboyo menuju Panggung Krapyak. Pengamatan citra satelit
memperlihatkan Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak berikut jalan yang
menghubungkannya tersebut hampir segaris (hanya meleset beberapa derajat). Tata ruang
tersebut mengandung makna "sangkan paraning dumadi" yaitu asal mula manusia dan tujuan
asasi terakhirnya[70].
Dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "sangkan"
asal mula penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat dilihat dari
kampung di sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung Mijen (berasal dari kata
"wiji" yang berarti benih). Di sepanjang jalan D.I. Panjaitan ditanami pohon asam
(Tamarindus indica [?]) dan tanjung (Mimusops elengi [?]) yang melambangkan masa anak-
anak menuju remaja. Dari Tugu menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan
"paran" tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya. Tujuh gerbang dari Gladhag
sampai Donopratopo melambangkan tujuh langkah/gerbang menuju surga (seven step to
heaven)[57].

Tugu golong gilig (tugu Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota tua menjadi simbol
"manunggaling kawulo gusti" bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini
juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk
(ciptaan). Sri Manganti berarti Raja sedang menanti atau menanti sang Raja.

Pintu Gerbang Donopratopo berarti "seseorang yang baik selalu memberikan kepada orang
lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu". Dua patung raksasa
Dwarapala yang terdapat di samping gerbang, yang satu, Balabuta, menggambarkan
kejahatan dan yang lain, Cinkarabala, menggambarkan kebaikan. Hal ini berarti "Anda harus
dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang jahat".

Beberapa pohon yang ada di halaman kompleks keraton juga mengandung makna tertentu.
Pohon beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) di Alun-alun utara berjumlah 64 (atau
63) yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-alun
Utara menjadi lambang makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan) dan mikrokosmos (K.
Janadaru, jana=manusia). Selain itu ada yang mengartikan Dewodaru adalah persatuan antara
Sultan dan Pencipta sedangkan Janadaru adalah lambang persatuan Sultan dengan rakyatnya.
Pohon gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae)bermakna "ayem"
(damai,tenang,bahagia) maupun "gayuh" (cita-cita). Pohon sawo kecik (Manilkara kauki;
famili Sapotaceae) bermakna "sarwo becik" (keadaan serba baik, penuh kebaikan)[71].

Dalam upacara garebeg, sebagian masyarakat mempercayai apabila mereka mendapatkan


bagian dari gunungan yang diperebutkan mereka akan mendapat tuah tertentu seperti
kesuburan tanah dan panen melimpah bagi para petani. Selain itu saat upacara sekaten
sebagian masyarakat mempercayai jika mengunyah sirih pinang saat gamelan sekati
dimainkan/dibunyikan akan mendapat tuah awet muda. Air sisa yang digunakan untuk
membersihkan pusaka pun juga dipercaya sebagian masyarakat memiliki tuah. Mereka rela
berdesak-desakan sekadar untuk memperoleh air keramat tersebut.

Benda-benda pusaka keraton juga dipercaya memiliki daya magis untuk menolak
bala/kejahatan. Konon bendera KK Tunggul Wulung, sebuah bendera yang konon berasal dari
kain penutup kabah di Makkah (kiswah), dipercaya dapat menghilangkan wabah penyakit
yang pernah menjangkiti masyarakat Yogyakarta. Bendera tersebut dibawa dalam suatu
perarakan mengelilingi benteng baluwerti. Konon peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1947
(?). Dipercayai pula oleh sebagian masyarakat bahwa Kyai Jegot, roh penunggu hutan
Beringan tempat keraton Yogyakarta didirikan, berdiam di salah satu tiang utama di nDalem
Ageng Prabayaksa. Roh ini dipercaya menjaga ketentraman kerajaan dari gangguan.
8. TAMAN MINI
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan suatu kawasan taman wisata bertema
budaya Indonesia di Jakarta Timur. Area seluas kurang lebih 150 hektare[1] atau 1,5 kilometer
persegi ini terletak pada koordinat 6186.8LS,1065347.2BT. Taman ini merupakan
rangkuman kebudayaan bangsa Indonesia, yang mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-
hari masyarakat 26 provinsi Indonesia (pada tahun 1975) yang ditampilkan dalam anjungan
daerah berarsitektur tradisional, seta menampilkan aneka busana, tarian, dan tradisi daerah.
Di samping itu, di tengah-tengah TMII terdapat sebuah danau yang menggambarkan miniatur
kepulauan Indonesia di tengahnya, kereta gantung, berbagai museum, dan Teater IMAX
Keong Mas dan Teater Tanah Airku), berbagai sarana rekreasi ini menjadikan TMIII sebagai
salah satu kawasan wisata terkemuka di ibu kota.

Sejarah
Gagasan pembangunan suatu miniatur yang memuat kelengkapan Indonesia dengan segala
isinya ini dicetuskan oleh Ibu Negara, Siti Hartinah, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu
Tien Soeharto. Gagasan ini tercetus pada suatu pertemuan di Jalan Cendana no. 8 Jakarta
pada tanggal 13 Maret 1970. Melalui miniatur ini diharapkan dapat membangkitkan rasa
bangga dan rasa cinta tanah air pada seluruh bangsa Indonesia.[2] Maka dimulailah suatu
proyek yang disebut Proyek Miniatur Indonesia "Indonesia Indah", yang dilaksanakan oleh
Yayasan Harapan Kita.

TMII mulai dibangun tahun 1972 dan diresmikan pada tanggal 20 April 1975. Berbagai aspek
kekayaan alam dan budaya Indonesia sampai pemanfaatan teknologi modern diperagakan di
areal seluas 150 hektare. Aslinya topografi TMII agak berbukit, tetapi ini sesuai dengan
keinginan perancangnya. Tim perancang memanfaatkan ketinggian tanah yang tidak rata ini
untuk menciptakan bentang alam dan lansekap yang kaya, menggambarkan berbagai jenis
lingkungan hidup di Indonesia.[2]

Logo dan maskot


TMII memiliki logo yang pada intinya terdiri atas huruf TMII, Singkatan dari "Taman Mini
Indonesia Indah". Sedangkan maskotnya berupa tokoh wayang Hanoman yang dinamakan
NITRA (Anjani Putra). Maskot Taman Mini "Indonesia Indah" ini diresmikan
penggunaannya oleh Ibu Tien Soeharto, bertepatan dengan dwi windu usia TMII, pada tahun
1991.

Bagian-bagian TMII
Anjungan daerah

Tari Jaipongan di Anjungan Jawa Barat TMII.


Rumah gadang di Anjungan Sumatera Barat

Di Indonesia, hampir setiap suku bangsa memiliki bentuk dan corak bangunan yang berbeda,
bahkan tidak jarang satu suku bangsa memiliki lebih dari satu jenis bangunan tradisional.
Bangunan atau arsitektur tradisional yang mereka buat selalu dilatarbetakangi oleh kondisi
lingkungan dan kebudayaan yang dimiliki. Di TMII, gambaran tersebut diwujudkan melalui
Anjungan Daerah, yang mewakili suku-suku bangsa yang berada di 33 Provinsi Indonesia.
Anjungan provinsi ini dibangun di sekitar danau dengan miniatur Kepulauan Indonesia,
secara tematik dibagi atas enam zona; Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua. Tiap anjungan menampilkan bangunan khas setempat.
Anjungan ini juga menampilkan baju dan pakaian adat, busana pernikahan, baju tari, serta
artefak etnografi seperti senjata khas dan perabot sehari-hari, model bangunan, dan kerajinan
tangan. Semuanya ini dimaksudkan untuk memberi informasi lengkap mengenai cara hidup
tradisional berbagai suku bangsa di Indonesia. Setiap anjungan provinsi juga dilengkapi
panggung, amfiteater atau auditorium untuk menampilkan berbagai tarian tradisional,
pertunjukan musik daerah, dan berbagai upacara adat yang biasanya digelar pada hari
Minggu. beberapa anjungan juga dilengkapi kafetaria atau warung kecil yang menyajikan
berbagai Masakan Indonesia khas provinsi tersebut, serta dilengkapi toko cenderamata yang
menjual berbagai kerajinan tangan, kaus, dan berbagai cenderamata.

Sejak tahun 1975 hingga tahun 2000 rancangan asli TMII terdiri atas anjungan rumah adat
dari 27 provinsi di Indonesia, termasuk Timor Timur. Akan tetapi setelah Timor Leste
merdeka dan memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 2002, status anjungan Timor Timur
berubah menjadi Museum Timor Timur. Selain itu karena kini Indonesia terdiri atas 33
provinsi, anjungan-anjungan provinsi baru seperti Bangka Belitung, Banten, Sulawesi Barat,
Maluku Utara, Gorontalo, Kepulauan Riau, dan Papua Barat telah dibangun di sudut Timur
Laut TMII, walaupun ukuran dan luas anjungan provinsi baru ini jauh lebih kecil dari
anjungan provinsi yang telah dibangun sebelumnya.
Bangunan keagamaan

Bangunan keagamaan diwakili oleh beberapa rumah ibadah agama resmi yang diakui di
Indonesia, hal ini untuk menggambarkan toleransi dan keselarasan hubungan antar agama di
Indonesia. Bangunan-bangunan keagamaan antara lain:

Masjid Pangeran Diponegoro


Gereja Katolik Santa Catharina
Gereja Protestan Haleluya
Pura Penataran Agung Kertabhumi
Wihara Arya Dwipa Arama
Sasana Adirasa Pangeran Samber Nyawa
Kuil Konghucu Kong Miao

Sarana rekreasi

Istana Anak-anak Indonesia

Keong Mas

Istana Anak-anak Indonesia


Kereta gantung
Perahu Angsa Arsipel Indonesia
Taman Among Putro
Taman Ria Atmaja
Desa Wisata
Kolam renang Snow Bay
Museum Iptek TMII

Taman

Di TMII terdapat sepuluh macam taman yang menunjukkan keindahan flora dan fauna
Indonesia:

Kubah Taman Burung.

Taman Anggrek
Taman Apotek Hidup
Taman Kaktus
Taman Melati
Taman Bunga Keong Emas
Akuarium Ikan Air Tawar
Taman Bekisar
Taman Burung
Taman Ria Atmaja Park, panggung pagelaran musik
Taman Budaya Tionghoa Indonesia

Museum
Purna Bhakti Pertiwi Museum berbentuk Tumpeng.

Museum Indonesia berarsitektur Bali.

Museum yang ada diperuntukkan untuk memamerkan sejarah, budaya, flora dan fauna, serta
teknologi di Indonesia. Terdapat 16 museum di TMII:

Museum Indonesia
Museum Purna Bhakti Pertiwi
Museum Keprajuritan Indonesia
Museum Perangko Indonesia
Museum Pusaka
Museum Transportasi
Museum Listrik dan Energi Baru
Museum Telekomunikasi
Museum Penerangan
Museum Olahraga

Museum Asmat
Museum Komodo dan Taman Reptil
Museum Serangga dan Taman Kupu-Kupu
Museum Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Museum Minyak dan Gas Bumi
Museum Timor Timur (bekas Anjungan Timor Timur)

Teater atau bioskop

Teater IMAX Keong Emas yaitu teater dengan layar berukuran raksasa, jauh lebih besar
daripada layar bioskop ukuran normal. Di Teater IMAX Keong Mas diputar berbagai film
mulai dari film bertemakan lingkungan dan kebudayaan nusantara sampai film-film box
office yang resolusinya diubah menjadi khusus untuk teater IMAX. Film IMAX yang diputar
antara lain Indonesia Indah II, Force of Nature, T-Rex, Blue Planet, Arabia, Journey to Mecca,
dll. Beberapa film box office yang pernah diputar di sini di antaranya adalah:
o Final Destination 1 (17 Maret 2000)
o Final Destination 2 (31 Januari 2003)
o Final Destination 3 (10 Februari 2006)
o Final Destination 4 (28 Agustus 2009)
o Final Destination 5 (12 Agustus 2011)
Teater Tanah Airku
Teater 4D

Anda mungkin juga menyukai