Anda di halaman 1dari 11

Cagar Budaya di Indonesia

1. Tugu Proklamasi

Tugu Proklamasi adalah tugu peringatan proklamasi kemerdekaan Republik


Indonesia yang berdiri di kompleks Taman Proklamasi di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat.
Taman tersebut berlokasi di bekas kediaman Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Rumah
tersebut, telah dihancurkan, adalah lokasi pembacaan proklamasi kemerdekaan. Pada
kompleks juga terdapat monumen dua patung Sukarno-Hatta berukuran besar yang berdiri
berdampingan, mirip dengan dokumentasi foto ketika naskah proklamasi pertama kali
dibacakan. Di tengah-tengah dua patung proklamator terdapat patung naskah proklamasi
terbuat dari lempengan batu marmer hitam, dengan susunan dan bentuk tulisan mirip
dengan naskah ketikan aslinya.

Sejarah
Kompleks Taman Proklamasi terletak di sebidang tanah tempat bekas kediaman
Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Presiden Sukarno menyatakan kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945 dari teras depan rumah ini. Rumah tersebut kemudian
dikenal sebagai Gedung Proklamasi. Untuk menandai ulang tahun pertama kemerdekaan
Indonesia, sebuah tugu peringatan – dalam bentuk obelisk kecil – dibangun pada tahun 1946
oleh kelompok Ikatan Wanita Djakarta. Tugu peringatan ini, dikenal sebagai Tugu Peringatan
Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia, dibangun di halaman depan Gedung Proklamasi.
Kemudian tugu tersebut dinamai ulang sebagai Tugu Proklamasi.
Sejak saat itu, para pemuda dan pelajar Indonesia mengadakan upacara tahunan untuk
merayakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Menyusul pemindahan
penuh kedaulatan Indonesia pada tahun 1950, Taman Proklamasi setiap tahun dikunjungi
oleh Presiden dan Wakil Presiden Indonesia setiap tahun. untuk meletakkan bunga dan
menghormati prajurit yang gugur. Upacara tersebut juga dihadiri oleh tamu dari negara lain.
Sejak 1956, popularitas Taman Proklamasi sebagai tempat berkumpulnya upacara
mulai menurun. Terlepas dari anjuran para sesepuh kota agar rumah tersebut direnovasi,
pada malam hari tanggal 15 Agustus 1960, Sukarno memerintahkan pembongkaran rumah
dan peringatan Tugu Proklamasi. Menurut Sukarno, Tugu Proklamasi sebenarnya adalah
Tugu Linggarjati. Pernyataannya tersebut tidak jelas, tetapi tampaknya Sukarno berpikir
bahwa baik rumah dan monumen tersebut tidak cukup besar untuk menjadi monumen
nasional meskipun signifikansi historisnya cukup penting. Tiga potongan marmer dari Tugu
Proklamasi kemudian disimpan di rumah Yos Masdani sebagai kenang-kenangan. Tugu
peringatan rencananya akan dibangun kembali pada tahun 1972 di bawah usulan gubernur
Ali Sadikin. Pada 1 Januari 1961, Presiden Sukarno meresmikan pembangunan Tugu Petir,
yang kemudian juga dikenal sebagai Monumen Proklamasi.
Pada tahun 1972, pembangunan Gedung Proklamasi yang modernis – sekarang
Gedung Perintis Kemerdekaan – dimulai. Pada tahun yang sama, Tugu Proklamasi yang
dihancurkan sebelumnya dibangun kembali dengan desain serupa. Pada 17 Agustus 1980,
monumen terakhir Taman Proklamasi, Monumen Pahlawan Proklamator Sukarno-Hatta yang
berukuran besar, diresmikan oleh Presiden Suharto.

2. Gedung Bank Indonesia Kebon Sirih

Gedung Bank Indonesia (BI) terletak di Jalan Mohammad Husni Thamrin No. 2 RT. 02
RW. 03 Kelurahan Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta.
Lokasi gedung ini berada di sebelah selatan Gedung PT Indosat Persero Tbk, atau di depan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pada awalnya, gedung BI menempati
gedung peninggalan De Javasche Bank yang selesai dibangun secara lengkap pada 1935.
Gedung lama itu dikenal dengan sebutan BI Kota, karena lokasinya berada di Kawasan Kota
Tua Jakarta. Sekarang, gedung BI Kota tersebut telah disulap menjadi Museum BI.
Pemikiran untuk membangun gedung baru yang lebih luas dan megah, awalnya
dilandasi akan kecukupan ruang yang digunakan untuk aktivitas perkantoran BI yang kian
bertambah tahun kian bertambah pekerjaannya. Bangunan yang ada di Jakarta Kota dirasa
sudah tidak memadai lagi untuk menjadi kantor BI Pusat. Oleh karena itu, Presiden Soekarno
merasa perlu untuk membangun gedung baru yang terletak di kawasan pusat pemerintahan
Republik Indonesia. Lalu, dipilihlah lokasinya di daerah Thamrin. Pembangunan gedungnya
dimulai pada tahun 1958 dan selesai pada tahun 1962. Selama empat tahun tersebut,
berhasil dibangun gedung dengan sembilan lantai, dan memiliki luas bangunan 18.000 m².
Seluruh sisi gedung dipasang roster beton yang berfungsi sebagai penahan masuknya sinar
matahari secara sporadis. Sedangkan, setiap sisi dari gedung tersebut dilapisi oleh batu alam
berwarna krem.
Presiden Soekarno mempercayakan desain gedung baru BI tersebut kepada
Frederich Silaban, seorang arsitek yang dijuluki oleh Soekarno sebagai arsitek by the grace of
God karena sering kali menemukan bangunan yang miring tanpa menggunakan alat bantu
modern. Frederich Silaban adalah seorang arsitek generasi awal negeri ini yang lahir di
Bonandolok, Sumatera Utara pada 16 Desember 1912. Dia adalah seorang arsitek otodidak.
Pendidikan formalnya hanya setingkat STM (Sekolah Teknik Menengah). Namun, karena dia
tekun dalam menggeluti pekerjaannya, membuahkan beberapa kemenangan sayembara
perancangan arsitektur. Sehingga, dunia profesipun mengakuinya sebagai arsitek.
BI memiliki dua kantor utama, yaitu Kantor BI Kota dan Kantor BI Thamrin. Keduanya
mempunyai makna historis yang penting bagi Indonesia. Gedung yang pertama adalah
gedung warisan kolonial hasil arsitek berkebangsaan Belanda yang menjadi penanda
panjangnya perjalanan bank sirkulasi dan bank sentral di Indonesia. Namun kemudian,
gedung yang pertama ini terus difungsikan sebagai Museum BI sejak 15 Desember 2006.
Sedangkan, gedung kedua atau gedung yang baru tersebut dikembangkan menjadi Kompleks
Perkantoran BI Pusat yang terpadu.

3. Situs Liang Bua

Sejarah
Situs Liang Bua merupakan situs peninggalan dari zaman prasejarah dan telah banyak
dikunjungi serta dijadikan tempat penelitian oleh peneliti dalam maupun luar negeri. Situs ini
merupakan sebuah goa hunian (okupasi) manusia prasejarah yang memiliki rangkaian atau rentetan
“sequence” sangat panjang dan berlangsung sejak kala plestosen hingga helosen yaitu dari budaya
Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, sampai dengan budaya Paleometalik. Situs Liang Bua pertama kali
ditemukan oleh seorang misionaris Belanda yaitu Pastor Theodore Verhoeven pada tahun 1957.
Pastor Theodore Verhoeven adalah seorang guru yang pernah mengajar di Seminari Mataloko
Kabupaten Manggarai, Flores. Gua Liang Bua ini digunakan sebagai tempat untuk mengajar murid-
muridnya. Merasa tertarik dengan berbagai temuan tinggalan budaya seperti gerabah, dan artefak
batu yang sangat melimpah di dalam gua maka kemudian untuk pertama kalinya pada tahun 1965
Pastor melakukan penelitiannya dengan penggalian secara amatir untuk mengetahui apakah
di tempat tersebut dipakai sebagai tempat aktivitas manusia pada masa lalu. Hal ini ditunjukan
dengan adanya bukti-bukti temuan ertefak berupa alat-alat batu, 7 rangka manusia dengan berbagai
jenis bekal kuburnya (funeral gift) yang umumnya berasal dari periode Paleoetalik dan Neolitik,
selain itu ditemukan juga tulang binatang, sisa-sisa makanan berupa kerang dan ditemukan juga
kuburan di dalam gua tersebut. Melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Pastor pihak Puslit
Arkenas melakukan penelitian lebih lanjut secara intensif pada tahun 1973 dan tahun 1979. Dari
hasil Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) memperkuat dugaan temuan yang dilakukan
sebelumnya oleh Pastor Theodore Verhoeven, bahwa tempat atau gua tersebut telah lama dihuni
oleh manusia masa lalu dengan ditemukannya alat-alat dari zaman Paleolitikum, Mesolitikum,
Neolitikum, hingga sampai zaman Maleonatalikum (logam awal).
Selanjutnya penelitian lebih lanjut dilakukan pada tahun 2001 sampai 2004 oleh Dr. R.P
Soejono dan bekerja sama dengan peneliti asing Mike Morwood dari University Of New England
(Australia). Menurut penelitian yang dilakukan oleh tim gabungan ini menunjukan bahwa di daerah
ini juga dulunya pernah ada atau pernah hidup binatang purba jenis gajah purba (Stegodon).
Ditemukan juga jenis fauna endemik seperti jenis pigmy stegodon, komodo, biawak, tikus, burung-
burung besar, dan kura-kura pada layer Plestisen (bagian bawah). Selain itu ditemukan juga fosil
tulang dari tubuh manusia purba kecil dengan tinggi sekitar 106 cm, dan berjenis kelamin
perempuan. Fosil manusia purba kerdil ini diberi nama Homo Florosiensis (Manusia Flores).
Fosil manusia purba ini diperkirakan berasal dari sekitar 13.000 tahun yang lalu, bersamaan
dengan gajah-gajah besar, kadal-kadal raksasa seperti komodo yang sampai saat ini dilindungi di
sekitar Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Berdasarkan bukti-bukti temuan arkeologis yang
didapatkan dalam penelitian selama ini telah memprediksikan bahwa Liang Bua merupakan suatu
situs gua hunian (okupasi) manusia prasejarah yang terus berlanjut. Sampai saat ini Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional secara berkelanjutan tetap melakukan penelitian di Situs Liang Bua.

4. Mahkota Sultan Banten Koleksi Museum Nasional No. Inv. E 619

Sejarah
Mahkota Sultan Banten Koleksi Museum Nasional Nomor Inventaris E 619 ini berasal
dari Kesultanan Banten, Jawa Barat (1526-1832 Masehi). Kesultanan Banten merupakan
kesultanan penting dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Nusantara serta menjadi
gerbang ke Jawa dan Sumatra (Ambary, 1996: 50-52).
Mahkota ini merupakan regalia (pusaka) Kesultanan Banten yang menggambarkan
kebudayaan Islam Nusantara. Hal ini dapat dilihat pada ragam hias bermotif flora. Setelah
Kesultanan Banten runtuh (1832), mahkota ini diambil alih oleh Belanda dan disimpan di
Bataviaasch Genootschap (kini Museum Nasional).

5. Perkampungan Adat Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato Nagari Sijunjung

Perkampungan ini dihuni oleh 9 suku utama yaitu Chaniago, Piliang, Malayu, Tobo,
Bodi, Panai, Patopang, Bendang, dan Malayu Tak Timbago. Aktivitas-aktivitas budaya seperti
batoboh (kegiatan ekonomi dalam hal menggarap pertanian), bakaua (syukuran atas
limpahan hasil panen) masih dipraktekan bersama oleh kesembilan suku tersebut. Termasuk
tradisi mambantai adaik (menyembelih kerbau dan makan bersama yang dilakukan saat
memasuki puasa dan setelah puasa) yang secara turun temurun dilakukan di lokasi yang
tetap.
Pada kawasan seluas 157,1 hektare ini terdapat 76 rumah gadang sebagai himpunan
terbanyak dalam satu lokasi di wilayah Sumatera Barat. Penempatan rumah-rumah gadang
itu ditata sesuai tradisi permukiman lama khas budaya Minangkabau. Fungsi utama dari
rumah gadang adalah sebagai simbol kekerabatan kaum sebagai media untuk mewariskan
nilai-nilai adat Minangkabau, sesuai falsafah Alam Takambang Jadi Guru (alam sebagai guru)
yang dianut turun-temurun.
Keseluruhan rumah gadang di Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato terbuat dari
kayu dengan gaya dan ukuran yang beragam, terkumpul di tempat yang sama. Bentuk
dasarnya berupa persegi empat panjang dengan empat atau lima ruang di dalamnya.
Konstruksi bangunan dibuat yang mengembang ke atas, diakhiri dengan atap gonjong
berbentuk pelana melengkung dan meninggi. Terdapat rumah gadang yang memiliki 2
gonjong hingga 8 gonjong. Jumlah anjuang, yaitu bagian bangunan yang lantainya
ditinggikan, umumnya hanya dijumpai pada salah satu sisi saja. Pintu masuk ke dalam rumah
sering diberi tambahan baru berupa teras dengan anak tangga terbuat dari susunan bata.

Sejarah
Menurut sumber-sumber tradisi pembentukan awal konsep nagari mulai dikenal pada abad
ke XIV. Sistem nagari terbentuk karena terpenuhinya syarat menurut adat, yaitu bataratak
(menetap), badusun (sudah berkumpul), bakoto (kumpulan beberapa dusun) dan banagari.
Pembentukannya diawali dengan perumusan beberapa tokoh yang berkumpul di Batang
Kandih sekitar abad ke XIV. Menurut legenda, dalam perjalanan rapat mereka melihat salah
satu anak gadis tercebur ke lumpur dan tidak ada yang dapat mengangkat, sehingga harus
menggunakan kemampuan spiritual dengan menggunakan tongkat ”di-junjuang”. Dari
peristiwa tersebut muncul ide penamaan nagari ”Si Puti Junjuang”, namun karena pelafalan
masyarakat akhirnya diberi nama Sijunjung. Perkampungan ini diperkirakan mulai ada sejak
masa Kerajaan Pagaruyung (abad XVI) yang memperlihatkan bentuk pola pemukiman
Minangkabau.
Semua rumah gadang yang diduga pemukiman awal berada di pinggir jalan. Di
perkampungan ini terdapat beberapa suku yang dibagi menjadi dua yaitu suku induk dan
anak suku yang berjumlah 9. Rumah gadang berfungsi sebagai simbol untuk menjaga dan
mempertahankan sistem budaya matrilineal sekaligus penanda perkauman dalam
kekerabatan. Rumah gadang juga merupakan simbol ekologis yang terlihat dari tata
pekarangan serta jenis tanaman yang ditanam.
Keistimewaan:
1. konsepsi harmonisasi dan toleransi keselarasan Koto Piliang dan Bodi Chaniago;
2. menerapkan syarat-syarat fisik sebuah nagari (banagari – sistem pemerintahan tradisonal
berbasis himpunan desa); dan
3. Pola penataan permukiman linear yang mengikuti aliran sungai dan jalan.

6. Tugu Jong Soematra


Tugu Jong Sumatra / Tugu Pemoeda merupakan sebuah tugu yang terletak di
Padang, Sumatera Barat. Tugu ini berbentuk lingga yoni dengan bagian atas yang berbentuk
runcing dan melebar di bagian bawahnya. Di bagian atas tugu ini terdapat sebuah bentuk
lingkaran yang menempel dengan bagian atas tugu yang berbentuk runcing segi empat. Di
bagian bawah tugu terdapat sebuah tumpak yang mempunyai bentuk seperti trapesium.
Di beberapa bagian tugu ini, tepatnya di bagian sisi di masing-masing tumpak
terdapat beberapa nisan yang berisi tulisan. Nisan pertama bertuliskan “Peringatan Rapat
Besar Kesatoe J.S.B (Jong Sumatranen Bond). Di atas nisan ini, terdapat sebuah nisan lain
yang bertuliskan “Perkoempoelan Pemoeda Soematra Dalam Rapat Besar di Kota
Jakarta…..”. Namun sayang, tulisan pada nisan ini tidak dapat terbaca seluruhnya.
Pada sisi lain bagian tumpak, tepatnya di sebelah kiri nisan pertama terdapat nisan
yang bertuliskan angka “1910”. Di sisi sebelah kiri nisan angka 1910 terdapat sebuah nisan
yang bertuliskan “Kekallah Agama Islam.” Sisi terakhir terdapat sebuah nisan bertuliskan
“Tersiarnja Pergerakan Anak Sumatera”. Bentuk tugu ini hampir mirip dengan Tugu
Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia yang terdapat di Jakarta.
Sejarah
Awal abad ke-20 banyak organisasi kepemudaan yang muncul di Hindia Belanda.
Organisasi kepemudaan pertama yang berdiri adalah Boedi Oetomo yang berdiri pada 20
Mei 1908. Berbagai organisasi kepemudaan lain kemudian juga muncul, salah satunya
adalah Jong Sumatranen Bond (JSB). Organisasi ini berdiri untuk mempererat hubungan
pemuda-pemuda yang berasal dari Sumatera. JSB didirikan pada 9 Desember 1917 di
Jakarta.
Pada 4-6 Juli 1919 JSB mengadakan kongres pertama di Padang. Kongres ini dihadiri
oleh beberapa perwakilan JSB yang ada di Jawa dan Sumatra. Kongres ini juga dihadiri oleh
Residen Sumatera Barat Le Febore yang mempunyai simpati terhadap gerakan pemuda.
Di akhir Kongres, JSB juga meresmikan pembangunan sebuah tugu. Peletakan batu pertama
dilakukan pada 6 Juli 1919 oleh Mevrouw M.J.J. Ahrends Overgauw istri Mr. Ahrend yang
waktu itu adalah Asisten Residen yang merangkap sebagai Walikota Padang. Tugu ini
dibangun sebagai peringatan Kongres Pertama JSB. Hal tersebut diperkuat dengan tulisan
awal yang ada di tugu, yaitu Terherinnering aan het 1ste Congres van JSB (mengenang
Kongres Pertama JSB).
Perubahan tulisan pada tugu terjadi setelah JSB dibubarkan. Di salah satu sisi tugu
tertulis angka 1917 yang merupakan tahun berdirinya JSB. Sedangkan pada sisi lain bertulis
angka tahun 1930 yang merupakan tahun dibubarkannya JSB.

7. Museum Kereta Api Ambarawa

Sejarah
Ambarawa merupakan daerah pangkalan militer pemerintah Hindia Belanda.
Ambarawa mulai menjadi daerah pangkalan militer setelah Perang Diponegoro (1825-1830)
karena letaknya yang strategis diantara Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta.
Pembangunan Stasiun Kereta Api Ambarawa pada awalnya bertujuan untuk memperlancar
mobilisasi militer dari Semarang menuju Benteng Willem I di Ambarawa. Pada 21 Mei 1878
Stasiun Willem I atau yang sekarang lebih dikenal dengan Stasiun Ambarawa diresmikan
penggunaannya oleh pemerintah Hindia Belanda. Stasiun ini diberi nama Willem I sesuai
dengan raja pertama Belanda yaitu, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau (1772-1843).
Pembangunan stasiun dan jalur kereta api di daerah Ambarawa dilakukan oleh perusahaan
swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Stasiun Willem I kemudian
mulai digunakan untuk lintas Semarang-Kedungjati-Ambarawa.
Jalur Semarang – Kedungjati – Ambarawa masih aktif hingga 1 Juni 1970. Setelah itu,
jalur ini ditutup pengoperasiannya karena kalah bersaing dengan angkutan jalan raya. Pada 9
April 1976, Stasiun Ambarawa diubah menjadi museum dan diresmikan penggunaannya oleh
Gubernur Jawa Tengah saat itu, Supardjo Rustam. Di museum ini tersimpan berbagai koleksi
yang berhubungan dengan kereta api seperti lokomotif, dan peralatan penunjang
perkeretaapian.

8. Istana Bung Hatta


Bangunan Cagar Budaya Istana Bung Hatta berciri gaya arsitektur kolonial, namun
atap bangunan terbuat dari sirap. Ruangan yang terdapat di istana ini terdiri atas taman
yang terdapat pada bagian halaman, ruang utama, ruang tamu, ruang rapat, dan kamar-
kamar yang luas berjumlah 8, namun ada penambahan sehingga kamarnya berjumlah 12.
Pada halaman depan terdapat koridor yang disangga oleh pilar-pilar berbentuk silinder. Di
dalam kompleks bangunan terdapat dua patung Bung Hatta masing-masing terletak di
bagian depan bangunan (patung separuh badan) dan di sisi samping bangunan (patung
seluruh badan) yang berukuran tinggi 2 meter. Istana ini terletak dekat dengan Jam Gadang,
menghadap ke Gunung Marapi dan Bukit Barisan.
Istana ini memiliki interior yang sederhana, jauh dari kesan megah. Hal ini
mencerminkan karakter Bung Hatta yang merupakan sosok sederhana dan bersahaja. Di
dalam bangunan ini terdapat banyak foto-foto yang menceritakan perjalanan hidup Bung
Hatta, mulai dari masa kecil hingga Bung Hatta menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia
yang pertama.

Sejarah
Pada masa kolonial Belanda, Istana Bung Hatta digunakan sebagai kantor Residen
Padangse Bovenlanden dan Asisten Residen Agam. Kemudian pada masa pendudukan
Jepang difungsikan sebagai rumah Panglima Pertahanan Jepang (Seiko Seikikan Kakka).
Kemudian setelah Indonesia merdeka, gedung ini dikenal dengan nama Rumah Tamu Agung
dan pernah dijadikan sebagai tempat tinggal dan kantor wakil presiden Bung Hatta selama
bertugas di Bukittinggi pada tahun 1947-1948.
Setelah pemecahan Provinsi Sumatera Tengah menjadi tiga wilayah pada tahun
1958, Gubernur Sumatera Barat pertama Kaharudin Datuk Rangkayo Basa mendirikan
bangunan baru yang hingga kini dinamakan Gedung Negara Tri Arga pada tahun 1961.

9. Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh

Lukisan dibuat di permukaan kanvas menggunakan cat minyak dan memenuhi seluruh
kanvas, dibingkai dengan kayu berukir. Lukisan dibuat dengan gaya Romantisisme. Lukisan
ini merupakan lukisan sejarah pertama di Asia Tenggara di antara sejarah lukisan aliran
Eropa.
Lukisan ini menggambarkan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda yang
menandai berakhirnya perlawanan Diponegoro pada tahun 1830. Sang Pangeran dibujuk
untuk hadir di Magelang membicarakan kemungkinan gencatan senjata, namun
kenyataannya Pangeran Diponegoro dan pengikutnya ditangkap lalu diasingkan.
Lukisan ini merupakan lukisan pertama yang dibuat oleh Raden Saleh Syarif Bustaman (1814-
1880), pelukis ternama Indonesia, menggambarkan peristiwa penangkapan Pangeran
Diponegoro sebagai salah satu momen sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan
penjajahan.

Sejarah
Petunjuk sejarah pertama mengenai lukisan karya Raden Saleh ini tertulis dalam
surat Raden Saleh yang ditujukan kepada Adipati Ernst II dari Sachsen-Coburg dan Gotha
pada tanggal 12 Maret 1857. Dalam surat tersebut tertulis, antara lain telah menyelesaikan
sebuah lukisan historis, yang menggambarkan tentang penangkapan Kepala Suku Jawa,
Dipanegara, yang saya lukiskan untuk Paduka Yang Mulia Belanda. Surat ini mengungkapkan
keberanian Raden Saleh menawarkan lukisan kepada Raja Belanda yang menjajah tanah
Jawa.
Pada awalnya Raden Saleh mendapat ilham komposisi lukisan historis Penangkapan
Pangeran Diponegoro dari lukisan Pengunduran Diri Charles V karya Gallait yang
menggambarkan bangkitnya kekuatan nasional yang sangat mendesak diperlukan banyak
orang selama bertahun-tahun setelah invasi pasukan Jerman. Hal paling utama yang sejalan
dengan komposisi lukisan Gallait adalah semangat kebangkitan nasional yang digambarkan
oleh Raden Saleh sebagai bentuk kemarahan terhadap pengkhianatan Belanda (Krauss,
2012:78).
Karya lukisan yang berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro merujuk pada
peristiwa nyata yang memang terjadi masa lalu. Lukisan ini merupakan respon dari lukisan
Nicolaas Pieneman (1809-1860) yang ditugaskan untuk mendokumentasikan momen
penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Pemerintah Belanda. Ketika peristiwa penangkapan
Pangeran Diponegoro (28 Maret 1830), Raden Saleh tengah berada di Eropa. Diduga Raden
Saleh melihat lukisan Pieneman tersebut saat ia tinggal di Eropa. Perbedaan lukisan antara
Raden Saleh dengan Pieneman ini dipandang sebagai rasa nasionalisme pada diri Raden
Saleh.
Beberapa perbedaan penting antara lukisan Raden Saleh dan Pieneman:
1. Pieneman menggambarkan Diponegoro dengan wajah lesu dan pasrah, Raden Saleh
menggambarkan Diponegoro dengan raut tegas dan menahan amarah.
2. Pieneman memberi judul lukisannya Penyerahan Diri Diponegoro, Raden Saleh memberi
judul Penangkapan Diponegoro.
3. Lukisan bendera Belanda yang dibuat oleh Pieneman tidak ditampilkan dalam lukisan
karya Raden Saleh.
Raden Saleh mulai membuat sketsa lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro
pada tahun 1856 dan menyelesaikan lukisan cat minyaknya setahun kemudian. Dia
mengabarkan lukisan tersebut kepada temannya di Jerman, Duke Ernst II dari Sachsen-
Coburg dan Gotha, dengan judul “Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des
javanischen Häuptings Diepo Negoro” (lukisan bersejarah tentang penangkapan seorang
pemimpin Jawa Diponegoro).
Raden Saleh kemudian memberikan lukisan tersebut kepada Raja Belanda, Willem
III, untuk menggambarkan pandangan Raden Saleh atas penangkapan Pangeran Diponegoro
yang berbeda dengan pandangan Pieneman.
Pada tahun 1975 lukisan tersebut diserahkan kepada Indonesia oleh pihak Kerajaan Belanda
bersamaan dengan realisasi perjanjian kebudayaan antara Indonesia-Belanda pada 1969.
Riwayat Penanganan
Pada tahun 2013 lukisan tersebut direstorasi pernisnya oleh Susanne Erhards, ahli restorasi
dari Jerman, dengan dukungan Yayasan Arsari Djojohadikusumo dan Goethe Institute
Indonesia. Pada tanggal 27 September 2013 dilakukan serah terima hasil restorasi lukisan
Raden Saleh oleh Yayasan Arsari Djojohadikusumo kepada Sekretariat Negara. Pada
Desember 2014 Lukisan ini dipindahkan dari Istana Merdeka ke Istana Kepresidenan
Yogyakarta dan menjadi salah satu koleksi Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta.

10. Arca Buddha Dipangkara Koleksi Museum Nasional No. Inv. 6057

Arca Buddha Dipangkara merupakan arca Buddha tertua di Indonesia, terbuat dari
perunggu. Arca ini disebut Buddha Dipangkara, karena dianggap sebagai pelindung para
pelaut penganut Buddha (Jan Fontein, R. Soekmono, Satyawati Suleiman, 1972: 149 gambar
no. 22).
Arca ini dibuat dengan teknik à cire perdue, yaitu teknik tuang logam yang
menggunakan model dari lilin dilapis dengan tanah liat. Arca Buddha Dipangkara koleksi
Museum Nasional Jakarta bernomor Inventaris 6057 sejak ditemukan dalam kondisi rusak
pada bagian telinga kiri dan hidung. Kedua kaki arca hilang sebatas paha, kedua lengan
kanan dan kiri patah hingga pergelangan tangan karena terbakar saat pameran di Paris
tahun 1931. Ikatan rambut (u??isa) di atas kepala sudah hilang, dan sikap tangan (hasta-
mudra) kemungkinan besar abhaya-mudra.
Arca ini merupakan arca Buddha perunggu berdiri terbesar yang ditemukan di
Indonesia (Fontein, Soekmono, Suleiman, 1972: 149 gambar no.22).
Arca ini menggunakan jubah dengan banyak lipatan menutupi bahu kirinya, bahu kanannya
terbuka, dan mata arca digambarkan setengah terbuka, memperlihatkan ciri gaya seni arca
Amarawati, India Selatan dari abad II sampai V.
Sejarah
Menurut Bernert Kempers, Arca Buddha Dipangkara ditemukan pada tahun 1921 di
Desa Sempaga, sebelah utara Kota Mamuju, pesisir Provinsi Sulawesi Barat.
Arca ini dibawa ke Jakarta, disimpan di Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen, kini bernama Museum Nasional.

Anda mungkin juga menyukai