Anda di halaman 1dari 5

KOMPLEKS MAKAM IMOGIRI

Makam Raja-raja Mataram di Imogiri atau yang dikenal juga dengan nama Pajimatan
Girirejo Imogiri, adalah suatu kompleks khusus sebagai area pemakaman raja-raja keturunan
Kesultanan Mataram Islam, termasuk raja-raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kompleks pemakaman raja-raja Imogiri terletak di
sebelah selatan Kota Yogyakarta sejauh 17 kilometer. Dari Kota Surakarta, jarak ke Imogiri
adalah sekitar 77 kilometer. Secara administratif, kompleks Makam Raja-raja Mataram di
Imogiri ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sejarah Makam Imogiri

Sejarah berdirinya makam Raja-raja Mataram di Imogiri bermula dari ketika


Kesultanan Mataram Islam dipimpin oleh salah satu raja terbesarnya, yakni Sultan Agung
Adi Prabu Hanyakrakusuma, atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Agung, yang
memerintah pada periode 1613-1645. Sultan Agung adalah raja ketiga Kesultanan Mataram
Islam setelah Panembahan Senopati dan Panembahan Seda Krapyak. Dalam catatan sejarah
bangsa Indonesia, nama besar Sultan Agung sangat dikenal karena selain ia mampu
menguasai hampir seluruh tanah Jawa, Sultan Agung juga dikenal sebagai sosok pejuang
yang gagah berani. Bersama pasukannya, Sultan Agung pernah menyerang markas besar
penjajah Belanda di Batavia pada tahun 1628 dan 1629, kendati dua kali percobaan
penyerangannya itu belum membuahkan hasil yang maksimal.

Keterangan mengenai asal-usul dibangunnya Makam Raja-raja Mataram di Imogiri


dijelaskan dalam buku Riwayat Pasarean Imogiri Mataram. Di kitab itu dituliskan bahwa
sejak awal Sultan Agung memang sudah berkeinginan untuk membangun sebuah kompleks
khusus untuk tempat pemakamannya kelak. Awalnya, Sultan Agung ingin dimakamkan di
tanah suci Mekkah saat beliau meninggal dunia nanti. Namun, keinginan ini tidak
memperoleh izin dari pejabat agama yang berwenang di Arab Saudi. Sultan Agung tak lantas
menyerah. Beliau kemudian mengambil segenggam pasir dari tanah Mekkah. Lalu,
segenggam pasir itu dilemparkan ke tanah Jawa. Konon, tempat di mana pasir itu jatuh, maka
di situlah tempat yang paling baik untuk dijadikan sebagai lokasi makam.
Pasir yang dilemparkan oleh Sultan Agung itu jatuh di sebuah tempat yang benrma
Giriloyo. Namun, tempat itu ternyata telah diincar oleh Gusti Pangeran Juminah dari
Kesultanan Cirebon, yang sekaligus juga paman Sultan Agung, sehingga Sultan Agung
kemudian membatalkan niatnya untuk menjadikan Giriloyo sebagai makamnya kelak. Sultan
Agung lalu mengambil segenggam pasir lagi dari tanah suci dan lantas dilemparkannya ke
tanah Jawa. Lemparan pasir yang kedua ini jatuh di sebuah tempat yang berada di rangkaian
Pegunungan Merak yang terletak di sebelah selatan pusat pemerintahan Kesultanan Mataram
Islam. Di tempat yang bernama Girirejo dan kelak disebut juga dengan nama Imogiri inilah
Sultan Agung membangun kompleks pemakaman untuk dirinya kelak.

Pembagian Lokasi Makam Imogiri

Pembangunan kompleks makam di Imogiri memang khusus diperuntukkan bagi raja-


raja Kesultanan Mataram Islam yang mangkat. Sultan Agung ternyata menjadi Raja
Kesultanan Mataram Islam pertama dan terakhir yang dikuburkan di Imogiri, karena
penggantinya, yakni anak Sultan Agung yang bernama Raden Mas Sayiddin kemudian
menyandang gelar Amangkurat I (1645-1677) dikebumikan bukan di Imogiri atas
permintannya sendiri. Amangkurat I adalah raja Kesultanan Mataram Islam yang terakhir
sebelum terjadi perpecahan di kalangan wangsa Mataram dan kemudian menjadi penyebab
berdirinya Kasunanan Kartasura Hadiningrat. Kerajaan ini pada akhirnya mengalami
perpecahan lagi sehingga muncul dua kerajaan baru sebagai penerus Dinasti Mataram, yakni
Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Meskipun demikian Kesultanan Mataram Islam mengalami perpecahan, raja-raja dari


kerajaan penerusnya, yakni Kasunanan Kartasura Hadiningrat dan kemudian berlanjut pada
era Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tetap
dikebumikan di Imogiri. Sejak munculnya dua kerajaan besar penerus Mataram, yakni
Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, kompleks
pemakaman Raja-raja di Imogiri kemudian diberi sekat untuk memisahkan wilayah di
kompleks pemakaman untuk masing-masing keluarga kerajaan pecahan Mataram yang masih
eksis hingga kini tersebut.

Adapun Raja-raja Kesultanan Mataram Islam beserta keturunannya yang dimakamkan


di Imogiri antara lain: Sultan Agung (1613-1645) raja Kesultanan Mataram Islam, Raja-raja
Kasunanan Kartasura Hadiningrat yakni Sri Susuhunan Prabu Amangkurat II atau
Amangkurat Amral (1680–1702), Sri Susuhunan Prabu Amangkurat III atau Amangkurat
Mas (1702-1705), Sri Susuhunan Pakubuwono I (1705-1719), dan Sri Susuhunan Prabu
Amangkurat IV (1719-1726). Selain itu, seluruh raja yang pernah berkuasa secara turun-
temurun di Kasunanan Surakarta Hadiningrat setelah Kasunanan Kartasura Hadiningrat
runtuh juga dimakamkan di Imogiri, yakni dari Sri Susuhunan Pakubuwono II (1745-1749)
hingga Sri Susuhunan Pakubuwono XII (1944-2004). Kompleks Makam Raja-raja Mataram
di Imogiri juga menjadi tempat persemayaman terakhir bagi raja-raja yang pernah bertahta di
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sampai dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
(1940-1988), kecuali Sri Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) yang dikebumikan di
makam raja-raja Mataram sebelum era Sultan Agung yang berlokasi di Kotagede,
Yogyakarta.

Secara lebih rinci, kompleks pemakaman di Imogiri dibagi menjadi 8 (delapan) kelompok
lokasi, antara lain sebagai berikut:

1. Kesultanan Agungan. Kompleks ini merupakan lokasi untuk makam Sultan Agung
Hanyokrokusumo, permaisuri, Amangkurat II, dan Amangkurat III.
2. Paku Buwanan. Kompleks ini merupakan lokasi untuk makam Sri Susuhunan
Pakubuwono I, Hamangkurat IV, dan Sri Susuhunan Pakubuwono II.
3. Kasuwargan Yogyakarta. Kompleks ini menjadi lokasi untuk makam raja-raja awal
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat,, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono I dan
Sri Sultan Hamengkubuwono III.
4. Besiyaran Yogyakarta. Kompleks ini merupakan lokasi untuk makam raja-raja
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat generasi berikutnya, yaitu dari Sri Sultan
Hamengkubuwono IV, Sri Sultan Hamengkubuwono V, dan Sri Sultan
Hamengkubuwono VI.
5. Saptorenggo Yogyakarta. Kompleks ini masih menjadi lokasi makam raja-raja
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII,
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX
6. Kasuwargan Surakarta. Kompleks ini merupakan lokasi untuk makam raja-raja awal
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dari Sri Susuhunan Pakubuwono III, Sri
Susuhunan Pakubuwono IV, dan Sri Susuhunan Pakubuwono V.
7. Kaping Sangan Surakarta. Kompleks ini menjadi makam untuk raja-raja Kasunanan
Surakarta Hadiningrat yang berikutnya, yaitu dari Sri Susuhunan Pakubuwono VI, Sri
Susuhunan Pakubuwono VII, Sri Susuhunan Pakubuwono VIII, dan Sri Susuhunan
Pakubuwono IX.
8. Girimulya Surakarta. Kompleks ini juga merupakan kompleks makam untuk raja-raja
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yaitu untuk Sri Susuhunan Pakubuwono X, Sri
Susuhunan Pakubuwono XI, dan Sri Susuhunan Pakubuwono XII.

Arsitektur Makam Imogiri

Sultan Agung mempercayakan proyek pembangunan area pemakaman di Imogiri


kepada salah satu orang kepercayaannya yang bernama Kyai Tumenggung Tjitrokoesoemo.
Corak arsitektur pada bangunan-bangunan yang terdapat di kompleks makam Raja-raja
Mataram di Imogiri merupakan perpaduan antara pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam.
Corak peradaban Hindu, misalnya, tampak pada bagian gapura atau pintu masuk atau gapura
yang dibangun dengan corak mirip dengan bentuk candi yang terbelah. Di sekeliling
kompleks makam, terdapat 4 (empat) gapura sebagai gerbang pintu untuk masuk dan keluar
ke area kompleks makam. Keempat gapura itu masing-masing bernama Gapura Kori Supit
Urang, Regol Sri Manganti I, Regol Sri Manganti II, dan Gapura Papak.
Keempat gapura tersebut dihubungkan oleh barisan tembok pagar yang disebut kelir.
Sama seperti macam gapura, terdapat 4 (empat) jenis kelir yang mengelilingi kompleks
Makam Raja-raja di Imogiri. Kelir yang pertama adalah Kelir Gapura Supit Urang yang
memiliki panjang 4,40 x 0,60 meter, kelir ini terbuat dari susunan batu bata yang ditata tanpa
menggunakan semen. Kelir yang kedua dinamakan Kelir Regol Sri Manganti I, kelir ini
berukuran 4,35 x 0,40 meter juga disusun dari batu bata tanpa semen di mana bagian atap
kelir ini berwujud polos sedangkan pada bagian bawahnya beralaskan 17 bidang berbentuk
segi empat dan segi enam. Berikutnya adalah Kelir Regol Sri Manganti II yang terbuat dari
batu bata dengan ukuran 4 x 0,20 meter, kelir ini dihiasi ornamen-ornamen dengan ukiran
yang berpola geometris dan diselingi pola tumbuh-tumbuhan. Yang terakhir adalah Kelir
Gapura Papak, terdiri dari susunan batu putih berbentuk huruf L dan sama sekali tidak
berhias.

Apabila dilihat dari segi penyusunannya, secara umum bentuk makam Raja-raja
Mataram di Imogiri adalah berbentuk segitiga. Terdapat 3 (tiga) bagian yang ada di dalam
kompleks pemakaman yang berbentuk segitiga ini. Bagian pertama yang terletak di bagian
paling atas adalah lokasi makam Sultan Agung Hanyokrokusumo. Bagian kedua berada di
sisi sebelah timur adalah kompleks pemakaman untuk Raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Bagian terakhir, yakni yang terletak di sisi sebelah barat merupakan lokasi
pemakaman untuk para Raja yang pernah bertahta di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Aturan dan Larangan

Sekarang ini, kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri telah menjadi salah satu
tempat tujuan wisata budaya, sehingga dibuka untuk umum kendati pada hari-hari tertentu
kompleks yang dianggap sakral ini ditutup untuk kepentingan keraton. Meskipun dapat
dikunjungi oleh wisatawan, baik pelancong domestik ataupun turis mancanegara, terdapat
beberapa aturan khusus yang harus dipatuhi oleh setiap tamu yang berkunjung. Sejumlah
aturan itu antara lain:

1. Para peziarah diwajibkan berlaku sopan dan menjaga tata krama, baik pikiran, ucapan
dan perbuatan, selama berada di area kompleks Makam Raja-raja di Imogiri.
2. Para peziarah diwajibkan melepas alas kaki sebelum masuk masuk ke area inti
Makam Raja-raja di Imogiri.
3. Para peziarah dilarang memakai perhiasan, terutama yang terbuat dari bahan emas,
selama berada di area kompleks Makam Raja-raja di Imogiri.
4. Para peziarah tidak diperbolehkan membawa kamera atau mengambil gambar di area
kompleks Makam Raja-raja di Imogiri.
5. Bagi pengunjung perempuan yang sedang datang bulan (hadi) dilarang keras masuk
area kompleks Makam Raja-raja di Imogiri.
6. Para peziarah juga harus berpakaian adat Jawa sebelum memasuki area inti
pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri. Untuk peziarah laki-laki minimal harus
memakai perlengkapan seperti blangkon, beskap, kain, sabuk, timang, dan samir.
Sedangkan untuk pengunjung perempuan memakai kemben dan kain panjang.
Perlengkapan pakaian tradisional Jawa ini disediakan oleh pengelola Makam Raja-
raja Mataram di Imogiri.

Sisi Lain Makam Imogiri

Di kompleks Raja-raja Mataram di Imogiri juga terdapat masjid bersejarah yang


didirikan pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Hingga kini, masjid yang
menyimpan riwayat panjang ini masih terawat dengan baik dan masih digunakan untuk
beribadah serta kegiatan-kegiatan agama lainnya. Bentuk bangunan masjid ini masih asli,
begitu pula dengan berbagai perabotan yang ada di dalamnya. Keaslian masjid ini terlihat dari
tiang utama atau soko guru yang terbuat dari kayu jati dengan ditopang oleh umpak
berbentuk persegi yang berasal dari batu kali. Mihrab atau mimbar untuk imam juga masih
tampak asli, berupa relung atau lekukan yang dibuat pada dinding sebelah barat. Ornamen
yang menghiasi mimbar itu berupa ukir-ukiran yang di antaranya ada yang menyerupai
bentuk kala. Selain itu, masih terdapat kolam yang terletak di halaman depan masjid. Baik
soko guru, mihrab, dan kolam di masjid ini sudah ada sejak berdirinya masjid ini, yakni pada
masa Kesultanan Mataram Islam dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Masih ada lagi benda-benda bersejarah yang terdapat di kompleks Makam Raja-raja
Mataram di Imogiri. Salah satunya adalah padhasan (gentong) kuno yang merupakan hadiah
dari negeri-negeri sahabat Kesultanan Mataram Islam. Ada 4 (empat) gentong bersejarah
yang terdapat di kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri. Gentong pemberian dari
Kerajaan Siam (Thailand) diberi nama Nyai Siyem, gentong hadiah dari Kerajaan Rum
(Turki) diberi nama Kyai Mendung, gentong yang berasal dari Aceh diberi nama Kyai
Danumaya, dan gentong pemberian dari Sultan Palembang diberi nama Nyai Danumurti.
Sebagian orang meyakini bahwa air yang ditampung di dalam keempat gentong tersebut
memiliki banyak khasiat. Banyak orang yang percaya bahwa jika meminum air dalam
gentong itu akan terjaga kesehatannya, sembuh penyakitnya, bahkan dipercaya bisa
mendatangkan kesuksesan dalam hidup. Oleh karena itu, banyak di antara peziarah yang
berkunjung ke kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri menyempatkan diri untuk
meminum air dari gentong-gentong itu, bahkan tidak jarang mengambil sedikit untuk dibawa
pulang.

Bencana gempa bumi dahsyat yang mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya pada
tanggal 27 Mei 2006 silam juga berdampak cukup serius terhadap bangunan-bangunan cagar
budaya yang ada di dalam kompleks Makam Raja-raja di Imogiri. Ada beberapa tembok
bangunan makam yang runtuh akibat guncangan gempa bumi di mana pusat gempa berada
tidak seberapa jauh dari lokasi makam. Tidak hanya tembok, bahkan pintu gerbang makam
Sultan Agung Hanyokrokusumo pun ikut rusak akibat gempa. Sejauh ini belum terlihat
adanya renovasi yang maksimal untuk memperbaiki bangunan cagar budaya ini. Beberapa
tembok bangunan yang miring hanya ditopang dengan menggunakan bambu atau kayu,
sedangkan tembok dan pintu yang rusak ditutupi dengan seng.

Anda mungkin juga menyukai