mataram Kotagede Yogyakarta. Di sini tempatnya raja Mataram Islam pertama di Makamkan
yaitu Panembahan Senopati dan beserta keluarganya. Panembahan Senapati wafat pada tahun
1601 dan dimakamkan berdekatan dengan makam ayahnya.
Kompleks makam pendiri kerjaan Mataram berada sekitar 100 meter dari pasar Kotagede,
dikelilingi tembok besar dan kokoh. Pintu Gapura memasuki kompleks makam ini masih
memiliki ciri arsitektur budaya Hindu bernama Gapura paduraksa dengan kusen berukir di
sebelah selatan Masjid Besar Mataram yang menuju ke dalam kompleks Makam Raja-Raja
Mataram. Pada puncak gapura ini terdapat ukiran kepala Kala bercuping ganda terbuat dari batu
kapur, namun ekspresi raut muka Kala ini tidak begitu garang.
Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dengan ukiran yang indah dan dijaga oleh
sejumlah abdi dalem berbusana adat Jawa. Ada 3 gapura yang harus dilewati sebelum masuk ke
bangunan makam. Uniknya, kita diharapkan untuk menggunakan busana adat jawa untuk
memasuki area makam. Pengalaman menarik menggunakan busana layaknya abdi dalem
kerajaan Jawa kuno. Kita akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang
menuju bangunan makam.
Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa yang bisa anda sewa
disana. Pengunjung diperbolehkan untuk masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin,
Kamis, dan Jumat, dengan periode waktu pada pk 08.00 16.00. Pengunjung tidak
diperbolehkan untuk memotret dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam.
Sejumlah tokoh penting yang dimakamkan di sini adalah Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede
Pemanahan, Panembahan Senopati, dan anggota keluarganya. Memasuki makam, suasana
terkesan sepi dan tenang, serta sangat khusuk. Keluarga kerajaan, baik kraton Yogyakarta
maupun Surakarta, masih menjaga kelestarian makam ini dengan sangat baik
Di samping kompleks makam, kita juga bisa mendapati tempat pemandian atau disebut sendang.
sendang itu dikerjakan sendiri oleh Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati. Ada
pemandian khusus pria dan wanita. Konon, air untuk pemandian pria diperoleh dari sumber di
dalam kompleks makam. Sementara, air untuk pemandian wanita, diperoleh dari sumber pohon
beringin di depan gerbang utama.
Ikan-ikan, termasuk diantaranya lele-lele bule berukuran cukup besar, tampak berenang-renang
di Sendang Seliran Lanang Makam Raja-Raja Mataram. Meskipun airnya tidak keruh namun
tidak pula jernih. Jika saja airnya dirawat layaknya kolam renang tentu akan lebih mengesankan.
Komplek Makam raja Mataram Kotagede menjadi bagian tak terpisahkan dari berdirinya
Yogyakarta. Jika anda merencanakan untuk ziarah ke makan ini, maka anda juga perlu untuk
mengunjungi Makam Imogiri Yogyakarta yang juga tempat makam raja-raja Yogyakrta.
Makam ini terletak di Dusun Dondongan, Desa Jagalan Kotagede, Bantul, Yogyakarta. Di lokasi
makam ini terdapat pula Masjid Kotagede yang bagian dari sejarah. Untuk menuju ke lokasi ini
anda bisa menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum menggunakan transjogja
atau anda bisa menggunakan jasa rental mobil jogja. Kotagede juga menawarkan wisata
kerajinan perak Kotagede yang bisa anda jumpai di sekitar jalan Pondorakan.
Makam Raja-Raja Mataram Kotagede Jogja, dengan makam Ki Ageng Pemanahan, Panembahan
Senopati dan makam lainnya, ada di Dusun Dondongan, Desa Jagalan. Saya berjalan kaki dari
Masjid Besar Mataram , melewati gerbang paduraksa tebal tua, dan menuruni undakan.
Lalu terlihat pendopo kecil bernama Bangsal Duda, yang dibangun tahun 1566 Jawa (1644 M)
oleh Sultan Agung, tempat jaga Abdi Dalem Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Seorang pria tengah duduk bersila, satu lagi bangun dari rebahan ketika saya mendekat.
Dari mereka saya tahu bahwa tempat wisata ziarah ini hanya dibuka pada hari-hari tertentu, dan
kebetulan tidak dibuka hari itu. Jika ingin masuk, ada biaya yang harus dibayar, dengan
gambaran yang sangat samar. Meskipun terbilang leluhur, namun jaraknya sangat jauh. Akhirnya
saya memilih tidak masuk, lagi pula peziarah tidak boleh memotret.
Pandangan pada gapura paduraksa dengan kusen berukir menuju ke kompleks Makam Raja-Raja
Mataram Kotagede Jogja. Pada puncak gapura ini terdapat ukiran Kala bercuping ganda terbuat
dari batu kapur dengan ekspresi tidak begitu garang. Sebuah tengara menempel pada tembok
bata telanjang, ditulis dengan huruf latin dalam bahasa Jawa dengan ejaan lama.
Tengara itu menyebutkan Panembahan Senopati bertahta di Mataram pada 1509 tahun Jimawal
(1579 M), wafat dan dikubur di Kotagede pada 1532 tahun Ehe (1601 M). Tahun Jawa umurnya
delapan tahun, urutannya: Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Penanggalan
Jawa ditetapkan Sultan Agung pada 1547 Saka (1625 M) yang selanjutnya disebut 1547 Jawa,
mengikuti sistem kalender bulan.
Saya melintasi gapura paduraksa lainnya di kompleks makam yang disebut Regol Sri Manganti,
dengan tembok kelir di belakangnya, menuju ke area kedua dimana terdapat empat buah bangsal
yang letaknya berhadapan dan di ujungnya terdapat gapura paduraksa tinggi dengan pintu
tertutup, sebagai pembatas ke dalam area utama makam.
Pandangan pada bangsal di sisi sebelah kanan di dekat gapura masuk ke bagian dalam Makam
Raja-Raja Mataram Kotagede Jogja. Sebuah tulisan menempel pada tiang bangsal, berbunyi
Bangsal Pengapit Ler (bangsal pendamping Utara). Pendopo kecil ini merupakan Bangsal
kagem para Putri, digunakan sebagai tempat istirahat bagi pengunjung wanita.
Pada blandar bangsal ada lukisan foto Pakubuwono X yang naik tahta pada 30 Maret 1893
bergelar Sampeyandalem Hingkang Sinoehoen Kanjeng Pakoeboewono Senopati Ing Ngalogo
Ngabdulrahman Sayidin Panoto Gomo Hingkang Kaping X. Ia dianggap waskita dan mendapat
gelar Sunan Penutup, atau raja besar Surakarta yang terakhir. PB X wafat pada 20 Februari 1939.
Di sebelahnya ada lukisan foto Pakubuwono XI yang dinobatkan pada 26 April 1939 dan wafat
beberapa bulan sebelum proklamasi kemerdekaan. Di bangsal ini ada payung dan tombak serta
bendera Gula Kelapa (Merah Putih). Di seberangnya ada Bangsal Pengapit Kidul, bangsal
untuk pria dimana pada blandarnya terdapat foto dua orang Sultan Yogya yang terkenal.
Seorang pria berbaju serba hitam tampak tengah duduk tafakur tepat menghadap gapura berukir
yang tinggi dengan pintu terkunci. Gapura paduraksa itu merupakan gerbang masuk ke bagian
dalam Makam Raja-Raja Mataram Kotagede Jogja. Dari depan gapura ini saya melanjutkan
langkah ke sebelah kiri dimana terdapat dua buah kolam terpisah yang disebut Sendang Seliran.
Pengunjung yang masuk ke makam bagian dalam akan melihat Bangsal Prabayaksa, dimana ada
72 makam dari marmer putih, tempat dibaringkannya jasad Panembahan Senopati, Panembahan
Sedo Krapyak, Hamengku Buwana II (Sultan Sepuh), Paku Alam I, II, III, dan IV, serta jasad Ki
Ageng Mangir yang sebagian tubuhnya berada di luar bangsal.
Ada pula Bangsal Witana dimana disemayamkan jasad Ki Ageng Pemanahan (Ki Ageng
Mataram) dan Ki Juru Mertani. Di Bangsal Tajug terdapat makam Nyai Ageng Nis (isteri Ki
Ageng Pemanahan), Panembahan Jayaprana dan Datuk Palembang. Ki Juru Martani adalah putra
Ki Ageng Saba atau Ki Ageng Madepandan, cucu Sunan Kedul, dan cucu buyut Sunan Giri
pendiri Giri Kedaton.
Sendang Seliran ini berada di bagian selatan tembok Makam Raja-Raja Mataram Kotagede
Jogja, yang terbagi menjadi Sendang Seliran Lanang (untuk laki-laki) di sebelah Utara dan
Sendang Seliran Wadon (perempuan) di sisi lainnya. Menurut cerita, pembuatan sendang itu
dikerjakan sendiri (bahasa Jawa: diselirani) oleh Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan
Senopati.
Cerita lain menyebutkan bahwa sendang itu disebut seliran karena airnya berasal dari makam /
badan (Jawa: selira) Penembahan Senopati. Sejumlah ikan, termasuk lele bule berukuran cukup
besar, tampak berenang-renang di Sendang Seliran Lanang. Meskipun airnya tidak keruh namun
tidak pula jernih. Jika saja airnya dirawat dengan baik tentu akan lebih elok.
Saat keluar saya mampir lagi ke Bangsal Duda dan memotret papan yang menceritakan
pembuatan bangsal ini dan renovasi yang pernah dilakukan. Suasana sepi ketika saya keluar dari
gapura depan Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, melewati deretan rumah Dondhongan
menuju ke Wringin Sepuh dimana Pak Agus menunggu untuk melanjutkan perjalanan ke Situs
Watu Gilang.
Kotagede pada dasarnya mempunyai kesamaan dengan kota-kota lainnya yang ada
di jawa, yaitu dibangun berdasarkan pada konsep kosmologis Jawa- Islam yang
mengacu pada keselarasan, keserasian, dan kesejajaran antara mikrokosmos yang
berupa lingkungan buatan dengan makrokosmos yang berupa alam semesta, antara
manusia dengan kesadaran sebagai makhluk yang lemah dengan kesadaran
manusia otonom dan bertanggungawab, antara kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat.