Anda di halaman 1dari 15

KOTA GEDE L

Makam Raja Raja Mataram


Anggota : Siswo Dwi S 1612130
Adrianus Hendry 161213029
Dominicus Hartland 161213030
Mahatma Daru P 161213031
Kotagede pada dasarnya mempunyai kesamaan dengan
kota-kota lainnya yang ada di jawa, yaitu dibangun
berdasarkan pada konsep kosmologis Jawa- Islam yang
mengacu pada keselarasan, keserasian, dan kesejajaran
antara mikrokosmos yang berupa lingkungan buatan
dengan makrokosmos yang berupa alam semesta, antara
manusia dengan kesadaran sebagai makhluk yang lemah
dengan kesadaran manusia otonom dan
bertanggungawab, antara kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat.
Upaya untuk mendapatkan keserasian tersebut dilakukan
manusia Kotagede dalam keseluruhan kehidupannya,
termasuk dalam perencanaan kota, arsitektur bangunan,
kesenian yang berkembang, vegetasi dan hewan
klangenan yang dimilikinya. Banyaknya kuburan dan
tempat peribadatan di Kotagede mencerminkan
keadiluhungan Kotagede, sebab sebuah penataan ruang
fisik buatan yang masih mengingat perhambaan manusia
di hadapan Tuhan dan disiapkan lahan untuk kematian,
justru mencerminkan kesadaran luhur kemanusiaan
ruang dan waktu, masing-masing dengan nilai
kepentingan dalam keutuhan saling melengkapi.
Sistem Kemapanan kebudayaan Kotagede dapat diamati
karena nilai budaya Jawa Islam yang dijadikan landasan
penataan Kotagede secara konseptual mengatur adanya
tingkatan-tingkatan dalam tata nilai ini pula yang
mengatur bagaimana manusia Kotagede harus
berperilaku serta beraktivitas di dalam ruang maupun
waktu kehidupannya. Kemudian secara tegas
mempengaruhi aspek fisik sebagai wadah
berlangsungnya kegiatan masyarakat Kotagede.
Di makam raja mataram Kotagede ini dimakamkan
Panembahan Senopati yaitu seorang raja Mataram Islam
pertama bersama para keluarganya. Tertulis tahun meninggal
Panembahan Senopati yaitu pada tahun 1601.
Mulai pada tahun 1601, didirikan makam megah di area kota
gede untuk menghormati para pendiri kerajaan Mataram.
Ki Gede Pemanahan, Senapati Ingalaga, Sultan Hadiwijaya,
Jaka Tingkir, Prabu Honyokrowati, Sultan HB II, Paku
Alaman I-IV, Ki Ageng Jurumartani, dan Suryaningrat.
Ada 72 makam dari marmer putih yang merupakan
keluarga dari kerajaan Mataram.
Alamat: Dusun Dondongan, Desa Jagalan, Kotagede, Bantul, Yogyakarta.
Lokasi GPS: 7.828262,110.39986, Waze
Jam buka Senin 09.3016.00, Kamis 09.3016.00 , Jumat 13.0016.00 dan
Minggu 09.0016.00.
Harga tiket masuk gratis.
Parkir Rp. 2000
Kompleks makam pendiri kerjaan Mataram berada sekitar
100 meter dari pasar Kotagede, dikelilingi tembok besar dan
kokoh. Pintu Gapura memasuki kompleks makam ini masih
memiliki ciri arsitektur budaya Hindu bernama Gapura
paduraksa dengan kusen berukir di sebelah selatan masjid
besar Mataram yang menuju ke dalam kompleks Makam
Raja-Raja Mataram. Pada puncak gapura ini terdapat ukiran
kepala Kala bercuping ganda terbuat dari batu kapur, namun
ekspresi raut muka Kala ini tidak begitu garang.
Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dengan ukiran yang indah dan
dijaga oleh sejumlah abdi dalem berbusana adat Jawa. Ada 3 gapura yang harus
dilewati sebelum masuk ke bangunan makam. Uniknya, kita diharapkan untuk
menggunakan busana adat jawa untuk memasuki area makam. Pengalaman
menarik menggunakan busana layaknya abdi dalem kerajaan Jawa kuno. Kita
akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju
bangunan makam.
Persis di seberang jalan dari depan kompleks makam, kita bisa melihat
sebuah rumah tradisional Jawa. Namun bila mau berjalan 50 meter ke arah
selatan, kita akan melihat sebuah gapura tembok dengan rongga yang
rendah dan plakat yang yang bertuliskan "cagar budaya.
Selain itu, ada lagi hal yang menarik dari Makam-Makam Raja Mataram
yang terletak di Kota Gede ini, yaitu adanya Sendang Seliran. Sendang
seliran ini berada di bagian selatan tembok Makam Raja-raja Mataram
Kotagede Yogyakarta. Sendang seliran ini terbagi menjadi dua, yaitu
Sendang Seliran Lanang (untuk laki-laki) di sebelah utara dan Sendang
Seliran Wadon (untuk perempuan) di sisi lainnya. Menurut cerita yang
beredar, Sendang Seliran tersebut dikerjakan sendiri (bahasa Jawa:
diselerani) oleh Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati, oleh
karena itu Sendang ini dinamakan Sendang Seliran yang berasal dari kata
diselerani yang berarti pembu-atannya di kerjakan oleh manusia sendiri.
Reruntuhan benteng ini memiliki ukuran seluas 400 x
400 meter lengkap dengan parit yang ketika di zaman
kerajaan dulu, digunakan sebagai benteng pertahanan
keraton. Tembok benteng ini memiliki ketebalan 4 kaki
yang berbuat dari bongkahan batu berukuran besar.
Kesimpulan

Sebagaimana dapat dilihat dalam gambar bangunan


di atas. Kotagede dapat dikategorikan sebagai produk
akulturasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan unsur-
unsur pendukung yang membentuk Kotagede
memiliki unsur-unsur percampuran dan
kesinambungan (continuity).
Keunikannya adalah bahwa percampuran berbagai unsur (Hindu,
Budha, Islam ataupun Kejawen) tidak dalam posisi saling
mengalahkan, tetapi bersinergi dalam memperkuat keharmonisan
khas Jawa. Kondisi tersebut diduga kuat terutama karena
karakteristik tujuan tertinggi manusia Jawa adalah kebahagiaan
(eudaimonia). Etika Jawa mengarahkan manusia pada suatu jalan
yang menjamin pengalaman keselamatan dan ketenteraman hati.
Manusia Jawa menemukan rasa selamat dalam keselarasannya
dengan masyarakat (yang sekaligus berarti bahwa ia juga selaras
dengan kekuatan-kekuatan kosmos).

Segi sosial bagi orang Jawa merupakan faktor menentukan dalam


usahanya untuk mencapai ketenteraman hati. Etika Jawa
menjelaskan bahwa seseorang tidak akan dapat memenuhi
tuntutan-tuntutannya apabila belum sampai ke pengertian itu
("durung ngerti').
THX

Anda mungkin juga menyukai