Anda di halaman 1dari 8

Pura Mangkunegaran didirikan sebagai akibat dari konflik-konflik yang terjadi dalam perebutan tahta

yang tidak berkesudahan di masa sebelumnya. Pada tahun 1746, Raden Mas Said dan Pangeran
Mangkubumi bersatu untuk memberantas Kompeni Belanda. Pada tahun 1748, Pangeran
Mangkubumi dan Raden Mas Said menggempur Surakarta dan mengancam istana. Hubungan
persekutuan antara Raden Mas Said dengan Mangkubumi semakin erat setelah Raden Mas Said
menikah dengan Raden Intan atau Raden Bendoro (putri tertua Mangkubumi). Keharmonisan
Mangkubumi dan Raden Mas Said ditanggapi Kompeni Belanda dengan melakukan politik adu
domba. Hasilnya adalah keduanya saling berselisih dan Mangkubumi berpihak kepada Kompeni
Belanda. Perselisihan keduanya berakhir dengan terciptanya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Isi
dari Perjanjian Giyanti adalah sebagai berikut.

1. Gelar Raja Kabanaran (Pangeran Mangkubumi) menjadi Sultan


(Hamenkubuwono I).
2. Krajaan yang baru akan berpusat di Kota Yogyakarta Hayuningrat, di Desa Beringharjo,
wilayah Mataram.
3. Masing-masing kerajaan menguasai separuh tanah Jawa.

Pura Mangkunegaran berdiri pada tanggal 17 Maret 1757 atau bertepatan hari Sabtu Legi pada
tanggal 5 Jumadilawal, tahun Alip Windu Kuntara, tahun Jawa 1638 terjadilah penandatangan
Perjanjian Salatiga yang melibatkan antara Sunan Pakubuwana III dengan Raden Mas Said atau
Pangeran Samber Nyawa di Salatiga dan disaksikan oleh perwakilan Sultan Hamengkubuwana I
dan VOC. Berdasarkan perjanjian tersebut, Penguasa Mangkunegaran berhak menyandang gelar
pangeran (yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo), namun tidak berhak menyandang gelar
sunan atau sultan. Selain itu, Mangkunegara memerintah di wilayah Kedaung, Matesih,
Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara, dan Kedu. Pura Mangkunegaran
memiliki peran penting dalam budaya dan tradisi Jawa. Sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa,
Pura Mangkunegaran juga merupakan wadah tempat berkumpulnya akademisi dan masyarakat
umum yang memiliki panggilan untuk melestarikan serta mengembangkan kesenian dan
kebudayaan. Selain itu, Pura Mangkunegaran juga memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan
benda-benda pusaka.
Tujuan Kunjungan
- Mengetahui sejarah berdirinya Pura Mangkunegar
- Mengenal koleksi dan benda-benda pusaka yang ada di
Pura Mangkunegaran
- Mengamati seni dan arsitektur Pura Mangkunegaran
- Meningkatkan rasa cinta tanah air
- Meningkatkan wawasan mengenai sejarah dan kebudayaan jawa

Lokasi Geografis

1. Letak Geografis
Pura Mangkunegaran terletak di bagian utara kota Surakarta, tepatnya di Jl. Ronggowarsito,
Keprabon, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57131. Lokasi bangunan ini tidak
jauh dari kawasan Ngarsopuro di Jalan Slamet Riyadi.
2. Fasilitas-fasilitas di Sekitar Pura Mangkunegaran
Tempat parkir, Musholla, Restoran, Warung Makan, dan Kafe,

Gaya Arsitektur

Pura Mangkunegaran dibangun dengan menggunakan gaya arsitektur Jawa dan gaya arsitektur
Empire, sebuah gaya arsitektur asal Prancis yang berkembang pada abad ke-18 hingga abad ke-19
dan diperkenalkan ke Hindia Belanda pada awal abad ke-19 dan berkembang pada abad ke-
20.Penggunaan arsitektur Eropa dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, adanya gable (struktur
atap yang tersusun dari dua bidang atap yang saling berlawanan arah) dan dormer (jendela atau
lubang angin yang ditambatkan pada bagian atap) pada seluruh bangunan Pura Mangkunegaran.
Kedua, penggunaan susunan atap bersegi banyak pada bagian sayap Pringgitan dan Pracimayasa.
Ketiga, penggunaan tiang besi bergaya kolonial sebagai penahan tambahan bagi atap emperan di
semua bagian Pura Mangkunegaran. Keempat, penggunaan ornamen hias yang cenderung
ditemukan di gedung-gedung berarsitektur Eropa seperti relief malaikat, kaca patri, lampu gantung,
dan hiasan-hiasan bergaya Eropa. Kelima, orientasi bangunan utama yang menghadap ke halaman
yang luas serta orientasi bangunan penunjang yang menghadap ke bangunan utama dengan tujuan
agar raja bisa mengawasi langsung bagaimana pegawainya bekerja.
Sementara itu, arsitektur Jawa pada Pura Mangkunegaran dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama,
penggunaan ornamen-ornamen arsitektur Jawa, seperti bentuk atap, tiang saka, dan ragam hias
Jawa. Kedua, penggunaan konsep aling-aling yang berfungsi sebagai perintang agar orang luar
tidak bisa melihat bagian dalam Pura Mangkunegaran secara langsung. Ketiga, penggunaan
kosmologi Jawa dalam fisik Pura Mangkunegaran. Posisi bangunan utama Pura Mangkunegaran di
bagian inti menggambarkan posisinya sebagai pusat dari mandala. Bangunan Pura Mangkunegaran
yang menghadap ke selatan, arah yang diasosiasikan dengan Ratu kidul sebagai penguasa Laut
Selatan, melambangkan hubungan istana dengan entitas gaib. Hubungan ini memiliki dua fungsi,
yaitu sebagai bentuk legitimasi politik dan meminta perlindungan non- fisik. Keempat, pembagian
ruang dalam Pura Mangkunegaran yang berdasarkan arsitektur Jawa. Dalam arsitektur Jawa,
pembagian ruangan sebuah rumah dibagi berdasarkan tingkat privasi. Semakin dalam sebuah ruang
maka semakin tinggi privasinya. Pembagian ruangan pada Pura Mangkunegaran dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu: Pendhapa Ageng dan bangunan kantor yang dapat dikunjungi orang biasa, kemudian
ada Pringgitan yang hanya dapat dikunjungi oleh tamu, dan Dalem Ageng yang hanya dapat
dimasuki oleh keluarga Mangkunegara dan abdi dalem.
Makna Simbolis dalam Desain
Secara arsitektur kompleks bangunannya memiliki bagian-bagian yang menyerupai keraton, seperti
memiliki pamédan, pendopo ageng, pringgitan, dalem ageng, dan keputrèn. Seluruh kompleks
dikelilingi oleh tembok, hanya bagian pamédan yang diberi pagar besi. Setelah pintu gerbang utama
akan tampak pamedan, yaitu lapangan luas yang dulunya diperuntukkan menjadi tempat latihan
prajurit pasukan berkuda Mangkunegaran. Di sebelah timur pamedan terdapat markas militer
pasukan infanteri dan kavaleri Legiun Mangkunegaran yang memiliki semacam bangunan benteng.
Pintu gerbang kedua menuju halaman dalam tempat berdirinya Pendopo Ageng yang berukuran
3.500 meter persegi. Pendopo yang dapat menampung lima sampai sepuluh ribu orang orang ini,
selama bertahun- tahun dianggap pendopo yang terbesar di Indonesia. Di depan pendopo, terdapat
empat patung singa jantan khas Eropa yang menghadap ke arah yang berbeda-beda. Patung ini
berasal dari Berlin, Jerman. Terdapat banyak perdebatan mengenai patung singa ini karena
beberapa sumber mengatakan bahwa patung singa ini mengadopsi gaya khas Tionghoa, namun
kebenarannya bahwa patung ini diambil dari Eropa yang dibawakan oleh Pangeran Mangkunegaran
yang saat itu telah selesai sekolah di Amsterdam.Bangunan yang terkesan terbuka dengan atap
sirap kayu itu disangga oleh empat tiang utama bernama Saka Guru. Tiang-tiang kayu jati berbentuk
persegi tersebut diambil dari pepohonan yang tumbuh di hutan Donoloyo yang dahulu dimiliki
Mangkunegaran, di perbukitan Wonogiri. Pada bagian atapnya terdapat hiasan motif simbolis magis
dan religius yang disebut Kumudawati, memiliki arti teratai putih. Ornamen langit Kumudawati
memiliki makna dan arti filosofi tersendiri. Makna tersebut diklasifikasikan menjadi beberapa bagian,
diantaranya corak dan berdasarkan hari pasaran. Berdasarkan corak, motif batik modang berwarna
merah, melambangkan semangat perjuangan. Klasifikasi yang kedua adalah berdasarkan hari
pasaran, pasaran legi yang menggambarkan virgo dalam makna Yunani-nya; pasaran pahing yang
menggambarkan singa atau leo dalam makna Yunani-nya; lalu pasaran pon yang dilambangkan
dengan jemparing yaitu busur panah atau sama dengan sagitarius dalam makna Yunani-nya;
pasaran wage yang dilambangkan dengan jambangan atau bejana lengkap dengan tutupnya atau
sama dengan aquarius; pasaran kliwon yang disimbolkan dengan traju/timbangan atau neraca yang
sama dengan libra Seluruh bangunan ini didirikan tanpa menggunakan paku. Bagian- bagian lain
yang ada di pendopo ini juga memiliki keunikan tersendiri seperti lantai pendopo yang bahannya
berasal dari marmer Italia yang apabila cuaca semakin panas maka lantai tersebut semakin sejuk
dan dingin. Empat set gamelan juga diletakkan di area pendopo, yaitu gamelan Kyai Segoro Windu,
ditabuh setiap hari Sabtu, pukul 10.00–12.00, Kyai Pamerdasih, Kyai Baswara, dan Kyai Lipur Sari
yang dibunyikan secara rutin pada hari Rabu, pukul 10.00–12.00 untuk mengiringi latihan tari
sedangkan tiga set gamelan lainnya digunakan pada saat upacara resmi tertentu. Warna kuning dan
hijau yang mendominasi pendopo adalah warna pari anom yang merupakan warna khas keluarga
Mangkunegaran. Pada mulanya orang-orang yang hadir di pendopo duduk bersila di lantai. Kursi
baru diperkenalkan pada akhir abad ke-19 waktu pemerintahan Mangkunegara VI. Hiasan langit-
langit pendopo yang berwarna terang melambangkan astrologi Hindu-Jawa dan di langit-langit ini
tergantung deretan lampu gantung antik yang bernama Robyong berjumlah 40, diimpor dari
Belanda. Material yang digunakan, yaitu besi. Menandakan masa produksi dari lampu tersebut telah
memasuki masa architecture of iron (setelah revolusi industri) dengan design mengacu pada gaya
Art Nouveau di mana motif dan bentuk cenderung berasal dari stilasi tumbuhan. Tempat di belakang
pendopo terdapat sebuah beranda terbuka, yang bernama Pringgitan. Sumber lain mengatakan
bahwa Pringgitan atau Paringgitan, diambil dari bahasa Jawa yang berarti wayang, adalah sebuah
tempat yang dulunya digunakan Sri Paduka Mangkunegaran untuk menerima tamu penting dan
menonton pertunjukkan wayang kulit. Selain itu juga pringgitan menjadi galeri untuk menampilkan
lukisan-lukisan karya pelukis terkenal Basuki Abdullah. Terdapat lambang Mangkunegaran, terdiri
dari mahkota adipati, mengingatkan bahwa Pura Mangkunegaran sendiri adalah kadipaten yang
dipimpin oleh adipati. Padi dan kapas, melambangkan keadilan dan kesuburan. Huruf M dan N, yang
berarti Mangkunegaran, angka 1866, tahun selesainya pembangunan Pura Mangkunegaran. Pita
merah dan putih dengan panah, melambangkan laki-laki dan perempuan serta pertahanan. Di
Pringgitan ini dapat dilihat patung-patung dari Belgia dan China yang terbuat dari emas yang
mengambil model orang Eropa. Wajah Eropa ini dapat dilihat dari raut muka, bentuk mata, rambut
yang ikal. fungsi dari patung pada pendopo pringgitan memberikan nilai estetika sehingga orang
tahu bahwa manusia memiliki cerita sendiri yang tidak terlepas dari alam sekitar. Tidak hanya
patung, bentuk hiasan juga memberikan kesenangan dan kepuasan batin bagi mereka yang
memandang hiasan tersebut. Berikutnya adalah ruang inti dari Pura Mangkunegaran yaitu Dalem
Ageng, sebuah ruangan seluas 1.000 meter persegi, yang secara tradisional merupakan ruang tidur
pengantin Sri Paduka Mangkunegaran, sekarang berfungsi sebagai museum. Selain memamerkan
petanen (tempat persemayaman Dewi Sri) berlapiskan tenunan sutera yang menjadi pusat perhatian
pengunjung, museum ini juga memamerkan perhiasan, peralatan rumah tangga, senjata-senjata,
pakaian-pakaian, medali-medali, perlengkapan wayang, uang logam, gambar adipati-adipati
Mangkunegaran serta berbagai benda-benda seni. Dalem ageng memiliki titik utama yaitu tempat
pengantin yang dominan dilapisi dengan kain merah bermotif, bagian ini diapit oleh dua ruangan
yang berfungsi sebagai ruang meditasi untuk menenangkan diri dalam mengambil keputusan
kepemerintahan dari seorang adipati. Perhiasan yang dipamerkan adalah mulai dari bagian anting,
cincin hingga penutup kepala yang dinamakan badong. Menurut penuturan seorang pemandu benda
ini ditemukan di daerah sebelah selatan Gunung Lawu. Alat ini digunakan sebagai perlengkapan
meditasi seorang pendeta khususnya untuk sembahyang. Sedangkan makna benda tersebut bagi
kita adalah peringatan agar jangan mudah tergoda oleh hawa nafsu. Peralatan rumah tangga seperti
cangkir, sendok, piring, gelas yang dilapisi emas dengan berbagai kadar yang berbeda-beda.
Benda-benda ini disebut benda ampilan yang artinya benda yang dapat dipinjam oleh putri domas
untuk keperluan acara pernikahan. Benda-benda yang disebutkan di atas adalah hanya sebagian
dari keindahan yang ditampilkan di ruang dalem ageng. Pada bagian ini juga terdapat dampar yang
digunakan duduk oleh Pangeran Mangkunegaran sehingga bawahan yang ingin menghadap raja
harus berjalan berlutut mulai dari batas yang telah ditentukan. Di bagian tengah Pura
Mangkunegaran di belakang Dalem Ageng, terdapat tempat kediaman keluarga Mangkunegaran.
Tempat ini, yang masih memiliki suasana tenang seperti rumah pedesaan milik para bangsawan,
sekarang digunakan oleh para keluarga keturunan pangeran adipati. Taman di bagian dalam yang
ditumbuhi pohon-pohon yang berbunga dan semak-semak hias, juga merupakan cagar alam dengan
sangkar berisi burung, patung-patung klasik bergaya Eropa, serta kolam air mancur. Menghadap ke
taman terbuka, terdapat sebuah bangunan bernama Beranda Dalem (atau sering disebut
Pracimoyasa) yang bersudut delapan, sebuah ruangan yang digunakan sebagai tempat, andrawina,
perhelatan dengan tamu-tamu penting. Di samping ruangan pertemuan ini terdapat ruangan yang
menjadi satu yaitu sebuah ruang makan yang dihiasi dengan atap kaca dan beberapa benda koleksi
seperti gading gajah yang dipahat dengan cermat sekali dan beberapa lukisan gaya Jawa dan Bali.
Di ruangan ini juga terdapat ornamen Reverse Glass Painting atau kaca patri, sebuah karya seni
yang dipopulerkan oleh Jean-Baptiste Glomy dari Perancis pada tahun 1711-1786 dan menyebar
luas ke Asia pada pertengahan abad 18 hingga abad 19. Namun lukisan yang terdapat didalam
ornamen ini merupakan lukisan masyarakat Jawa dengan bentuk seperti wayang, yang menandakan
adanya percampuran antara seni tradisional Jawa dengan teknik melukis dari Eropa. Selain itu, di
dalam lingkungan Pura Mangkunegaran juga terdapat Perpustakaan Rekso Pustoko yang didirikan
pada tahun 1867 oleh Mangkunegara IV. Perpustakaan tersebut terletak di lantai dua, diatas Kantor
Dinas Urusan Istana di sebelah kiri pamedan. Perpustakaan yang daun jendela kayunya dibuka
lebar-lebar agar sinar matahari dapat masuk, sampai sekarang masih digunakan oleh para
sejarawan dan pelajar. Mereka dapat menemukan manuskrip yang bersampul kulit, buku-buku
berbagai bahasa terutama Bahasa Jawa, banyak koleksi-koleksi foto yang bersejarah dan data-data
mengenai perkebunan dan pemilikan Mangkunegaran yang lain.

Aspek Keagamaan
Adapun kehidupan agama yang menjadi kepercayaan di Mangkunegaran yakni Hindu, Budha, Islam,
dan Kristen. Tumbuh kembangnya kehidupan beragama di wilayah Mangkunegaran tidak dapat
terlepas dari akar historis lahirnya Mangkunegaran. Sebelum terbentuknya Mataram Islam,
masyarakat di wilayah Mataram Kuno lebih dulu menganut agama Hindu- Budha sebagai
kepercayaan mereka. Kenyataan demikian merupakan sebuah realita bahwa pengaruh Majapahit
cukup besar dalam menyebarkan ajarannya selama kurun waktu 233 tahun bertahta di tanah Jawa
dimulai pada tahun 1294 dan berakhir 1527. Pasca tunduknya Majapahit di bawah Kesultanan
Demak pada tahun 1478-1527, Jawa lebih didominasi oleh pengaruh Islam. Termasuk sampai
terbentuknya Mataram Islam juga tidak luput dari pengaruh Islam dari Kesultanan Demak. Istilah
tradisi telah melekat dan terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Kata tersebut sangat terkenal di
Indonesia karena memiliki beragam tradisi yang tersebar di penjuru wilayah Indonesia. Tradisi di
Indonesia sangat beragam, namun tidak setiap daerah mampu melestarikan tradisi setempat.
Banyak masyarakat yang meninggalkan tradisi dari leluhur mereka karena terkikis oleh zaman dan
budaya dari luar, maka dari itu kita sebagai anak muda insan pariwisata Indonesia harus
melestarikan tradisi yang kita punya agar tidak hilang dan tidak diambil hak cipta oleh negara lain
dengan cara melestarikan tradisi tersebut secara turun temurun. Tradisi yang telah menjadi budaya
akan menjadi suatu sumber dalam berakhlak. Hal dasar dari pengertian tradisi adalah adanya suatu
informasi yang disampaikan dan diteruskan ke setiap generasi selanjutnya misalnya dalam bentuk
lisan maupun tulisan. Karena tanpa adanya suatu komunikasi yang baik, tradisi juga bisa saja
menjadi hilang. Tradisi secara otomatis dapat memberikan pengaruh terhadap aksi dan reaksi yang
akan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Adanya sebuah tradisi di masyarakat adalah supaya
manusia kaya tentang nilai sejarah dan budaya untuk menciptakan kehidupan yang harmonis
(Adriana, 2013). Dimana semua hal tersebut dengan mudah akan terwujud jika sesama manusia
bisa saling menghargai, menghormati, dan juga dapat menjalankan budaya tradisinya dengan baik
dan benar sesuai dengan nilai dan aturan yang sudah ada. Istana Mangkunegaran masih
menjunjung tinggi adat istiadat Jawa yang tidak dimiliki semua kota di tanah Jawa. Hal ini masih
ditunjukkan masih banyak tradisi di Istana Mangkunegaran yang masih dilakukan sampai sekarang.
Istana Mangkunegaran, sebagai salah satu pusat kebudayaan penerus tradisi Mataram, melakukan
ritual pencucian pusaka, kirab pusaka, dan laku tirakat pada malam satu Sura. Satu Sura
merupakan hari pertama dalam kalender Jawa yang disebut masyarakat Jawa dengan beragam
kegiatan pada malam hari sebelumnya. Kegiatan yang dilakukan merupakan upaya untuk
introspeksi diri terkait perbuatan yang telah lalu, dengan tujuan untuk memahami makna tahun baru
Jawa yang pada akhirnya dikembalikan kepada diri sendiri sebagai pencipta tradisi dan dilakukan
secara turun-temurun. Satu sura adalah nama bulan pertama dalam penanggalan Jawa. Nama
"Sura" diambil dari salah satu perayaan keagamaan pada bulan pertama penanggalan Islam, yaitu
perayaan Asyurra yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Bulan Sura berimpit dengan bulan
Muharram, meskipun awal atau akhirnya dapat berbeda. Pada tanggal 1 Sura, yang menurut
hitungan penanggalan Jawa dimulai sebelum jatuh waktu maghrib menjelang malam pada hari
sebelumnya, dilakukan beberapa tradisi di sejumlah tempat di Pulau Jawa maupun oleh kelompok
pengikut aliran spiritual tertentu (Aryanti & Zafi, 2020).
Tradisi bulan Sura adalah upaya untuk menemukan jati diri agar selalu eling lan waspada sangkan
paraning dumadi (Siburian & Malau, 2018). Artinya adalah, seseorang harus tetap ingat siapa diri
mereka dan dari mana mereka berasal. Satu Sura dianggap sebagai bulan yang sakral atau bulan
yang suci, karena pada bulan Sura banyak dilakukan kegiatan perenungan, bertakafur, dan menjadi
berintrospeksi untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Salah satu kegiatan yang dilakukan
adalah lelaku, yaitu kegiatan untuk mengendalikan hawa nafsu dengan hati yang benar-benar
ikhlas. Hal tersebut dilakukan agar seseorang mencapai ketenangan hidup di dunia dan di akhirat
dengan cara semedi atau lek-lekan semalam suntuk tanpa tidur.
Perayaan Kirab Satu Sura di Istana Mangkunegaran dulunya dilaksanakan di dalam tembok,
tepatnya mengelilingi Pendopo Ageng oleh keluarga Istana Mangkunegaran saja, namun setelah
perubahan zaman pada masa Orde Baru adanya peralihan posisi dari pusat pemerintahan menjadi
pusat budaya. Setelah masa Orde Baru, prosesi tradisi kirab dilaksanakan pada malam Tahun Baru
Jawa dengan mengelilingi tembok luar sebanyak satu kali yang dilakukan oleh keluarga, sentana,
narapraja, abdi dalem, kerabat besar Mangkunegaran, serta masyarakat luas. Kirab pusaka bukan
sekedar parade untuk bersenang-senang, tetapi merupakan kegiatan penuh makna, sebab seluruh
peserta tidak boleh melakukan pembicaraan atau tapa bisuyang dimaknai sebagai pencegahan
untuk mengontrol pembicaraan yang berawal dari mulut ke mulut, agar tidak menimbulkan fitnah
bagi orang lain. Selain itu, seluruh peserta kirab tidak boleh menggunakan alas kaki, sebagai makna
bahwa manusia selalu berhubungan dengan bumi atau duniawi dan manembah (berbakti atau
mengabdi) kepada Yang Kuasa dalam keadaan suci (Aryanti & Zafi, 2020). Tradisi perayaan Satu
Sura lainnya yang dilakukan di Istana Mangkunegaran adalah jamasan pusaka atau mencuci benda
pusaka untuk merawat warisan dari para leluhur. Pusaka sendiri mengandung banyak makna
karena merupakan hasil karya cipta yang memiliki falsafah kehidupan, kearifan lokal, sumber
inspirasi, dan motivasi kehidupan. Jamasan pusaka tidak hanya dalam bentuk keris, namun
mencakup sejumlah barang, termasuk tombak. Istana Mangkunegaran memiliki banyak sekali
tradisi-tradisi yang masih dilestarikan oleh keluarga Istana Mangkunegaran sampai sekarang antara
lain Tingalan Dalem Jumenengan, Nyadran, Ruwahan, Tradisi Kirab Pusaka Satu Sura.

Kearifan Lokal
Pura Mangkunegaran, meski secara politik posisinya di bawah Kasunanan Surakarta, mereka juga
menciptakan seni, tradisi, dan budaya sendiri, yang hingga saat ini masih terawat dan terus
dikembangkan. Pura Mangkunegaran menjalin hubungan dengan masyarakat sekitar dengan
mengizinkan masyarakat untuk ikut serta dalam pelatihan Karawitan atau Tari. Hal ini dilakukan
untuk memperkenalkan seni dan budaya Jawa kepada masyarakat luas. Pura Mangkunegaran
memiliki berbagai benda pusaka yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Untuk menjaga
kebersihan benda-benda tersebut, Pura Mangkunegaran melakukan ritual khusus dalam
membersihkannya. Ritual ini dilakukan oleh petugas kebersihan yang telah terlatih dan memiliki
pengetahuan tentang benda pusaka. Selain itu, Pura Mangkunegaran memiliki sejarah yang
panjang dan kaya. Untuk memperkenalkan sejarah istana kepada wisatawan, Pura Mangkunegaran
menyediakan tour guide yang akan memandu wisatawan selama berkunjung. Dengan berbagai
upaya tersebut, Pura Mangkunegaran berharap bisa terus menjaga seni, tradisi, dan budaya Jawa
agar tetap lestari dan dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Benda atau Koleksi Bersejarah di Pura

1. Patung Singa : Di depan pendopo, pengunjung akan disambut oleh 4 patung singa jantan
yang menghadap ke arah yang berbeda.Patung ini berasal dari Berlin, Jerman.Patung Singa ini juga
ditukar tambah dengan 2 kain batik motif parang yang menjadi ciri khas motif batik di Pura
Mangkunegaran ini.Bahan pembuatan patung ini berbeda, yang depan terbuat dari perunggu
sedangkan yang belakang terbuat dari semen. Bisa dicek dengan mengetuk badan patung singa,
maka bunyi yang dihasilkan akan berbeda. Keempatnya dilapisi oleh warna emas. Singa merupakan
simbol kekuasaan dan penjaga sebuah tempat.Patung Singa itu sendiri artinya ada dua.Yang
pertama singa adalah simbol kekuasaan.Kedua, dalam tradisi Jawa singa disimbolkan penjaga suatu
tempat.Simbol patung singa dan menjadi harapan besar perlindungan dan keselamatan yang abadi
untuk keluarga Mangkunegaran hingga keturunannya.

2. Gamelan : Pada bangunan Pendhapa Ageng disimpan gamelan pusaka dan legendaris, antara
lain: Kyai Kenyut Mesem,Kyai Segoro Windu dan Kyai Lipur Sari. Kyai Lipur Sari merupakan gamelan
terbaru. Gamelan ini ditabuh setiap hari Rabu pukul 10.00 untuk mengiringi latihan tari dan seni
pertunjukan bagi wisatawan.Lalu ada gamelan Kyai Segoro Windu,yang ditabuh atau dibunyikan
hanya setiap hari Sabtu Pukul 10.00 - 12.00 saja.Biasanya hanya dibunyikan saja.Selanjutnya
gamelan paling sakral bernama Kyai Kenyut Mesem. Gamelan ini merupakan peninggalan Kerajaan
Demak. Kyai Kenyut Mesem untuk mengiringi upacara kenaikan tahta dan tari- tarian sakral.
Gamelan ini masih asli, hanya kulit kendang yang diganti secara berkala dan berusia sudah lebih dari
250 tahun. Kyai Kenyut Mesem berbeda dengan gamelan yang lain,karena gamelan ini memiliki mitos
ada penunggu di dalamnya.Selain itu,gamelan ini memiliki hal mistis apabila gamelan ini dipindahkan
dari tempat aslinya maka bunyinya akan berbeda.Jadi gamelan Kyai Kenyut Mesem ini tidak pernah
dipindahkan.

3. Lampu Robyong : Pada Pendopo Ageng di Pura Mangkunegaraan ini terdapat koleksi lampu
yang dikenal dengan nama Lampu Robyong.Terdapat 40 Lampu Robyong yang menghiasi atap langit
Pendopo Ageng.Dahulu,Lampu Robyong di beli oleh Gubernur Hindia Belanda dan didapatkan di
Istana Buitenzorg atau sekarang lebih dikenal dengan Istana Bogor.

4. Patung Dewi Sri : Patung vas bunga di Pura Mangkunegaran Solo dikenal dengan nama
Patung Dewi Sri. Patung ini terbuat dari batu marmer dan terletak di halaman depan istana. Patung ini
dibuat oleh seniman Italia bernama A.C. Verhulst pada tahun 1814. Patung ini merupakan salah satu
koleksi seni yang paling terkenal di Pura Mangkunegaran. Patung ini sering menjadi objek foto
wisatawan yang berkunjung ke Pura Mangkunegaran. Patung ini menggambarkan Dewi Sri, dewi
kesuburan dalam mitologi Hindu. Dewi Sri digambarkan sebagai wanita cantik dengan tubuh ramping
dan mengenakan pakaian tradisional Jawa. Di tangannya, Dewi Sri memegang sebuah vas bunga
yang berisi padi. Patung ini melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan.

5. Perhiasan : Terdapat koleksi perhiasaan di dalam Dalem Ageng dimana perhiasan itu ialah
koleksi milik Putri,Adipati,dan Keturunan dari Mangkunegaran.Koleksi Perhiasaan ini tertata rapi di
dalam etalase penyimpanan.
6. Krobongan : Krobyongan ini biasa disebut dengan tempat untuk menaruh sesaji. Dan di
depan Krobongan tersebut terdapat kursi untuk melaksanakan proses sesaji.Krobongan juga
bertempat di Dalem Ageng.

7. Harimau asli yang diawetkan : Harimau pada zaman dahulu digunakan sebagai barang untuk
barter dengan barang lain.Alasan diawetkan karena sebagai sejarah untuk mengingat peradaban
pada masa lampau.Harimau ini juga terletak di Dalem Ageng.

8. Patung Kesuburan : Patung Kesuburan terdapat di Dalem Ageng dimana patung ini merupakan
simbol untuk berdoa agar mendapatkan kesuburan dalam setiap pasangan pengantin.Dan biasanya
pada malam jumat dikalungkan bunga untuk ritual.

9. Koleksi Cangkir : Keluarga di Pura Mangkunegaraan ini suka mengoleksi cangkir atau tempat
minum,Terdapat koleksi cangkir di sekitar ruang taman Puteri.Kebanyakan koleksi cangkir ini berasal
dari Italia.

10. Lukisan : Terdapat 2 lukisan di dalam ruang makan keluarga yang berada di kanan kiri pintu
masuk.Lukisan ini bercerita tentang kehidupan masyarakat di Bali dan Keagamaan di Bali.Lukisan ini
diberikan oleh Raja Karangasem Bali.

11. Sofa Kaca : Terdapat sofa dengan gabungan kaca dengan gaya gunungan kakung dan
gunungan setri. Kursi ini diletakkan di ruang makan keluarga di samping meja dan kursi makan.

12. Ukiran Gading Gajah : Ukiran ini berada di atas meja di ruang tempat makan keluarga.Dimana
ukiran ini merupakan terbuat dari gading gajah asli.Ukiran ini diukir di Bali dengan waktu pengukiran 7
bulan dan 2 bulan waktu pengiriman dari Bali ke Solo menggunakan kereta kencana atau kereta
kuda.Ukiran ini bercerita tentang Arjuna Wiwaha.

14. Koleksi Foto Keluarga : Terdapat koleksi foto keluarga keturunan Mangkunegaraan yang
tersebar di beberapa sudut.Seperti foto Mangkunegaran IX,foto Soekarno yang berkunjung ke
Mangkunegaran,dan foto Mangkunegaran X.

15. Koleksi Batik : Dalam ruang pameran terdapat koleksi batik khas dari Mangkunegaraan.Diantara
koleksi batik tersebut terdapat beberapa motif batik khas Mangkunegaran yaitu motif semen wijaya
kusuma,motif semen kokrosono parang kumudawati,dan motif parang mangkunegaran.

Upaya Pemeliharaan dan Perlindungan


- Program Pemeliharaan Koleksi Benda Bersejarah
Mangkunegaran adalah salah satu keraton di Jawa Tengah yang memiliki koleksi benda-
benda bersejarah yang sangat berharga. Benda-benda koleksi tersebut terdiri dari berbagai
macam, mulai dari benda-benda seni, benda-benda budaya, hingga benda-benda sejarah.
Untuk menjaga kelestarian benda-benda koleksi tersebut, Mangkunegaran memiliki program
pemeliharaan yang terintegrasi. Program pemeliharaan tersebut meliputi :
a. Pembersihan dan Perawatan Rutin
b. Pemantauan Kondisi
c. Pemeliharaan Khusus
- Tindakan untuk melindungi benda bersejarah di Mangkunegaran
a. Terdapat ruangan khusus untuk menyimpan koleksi yang tidak boleh dimasuki oleh
pengunjung untuk memastikan kemurnian koleksi.
b. Terdapat koleksi dan benda bersejarah yang tidak boleh disentuh atau di potret oleh
pengunjung untuk menghindari kejadian duplikasi.
c. Pemeliharaan koleksi dilakukan oleh abdi ageng yang berpengalaman.
d. Pemeliharaan koleksi disusun rapi,seperti ada yang dimasukkan di etalase.

Aktivitas yang Dapat Dilakukan saat Kunjungan


1. Rangkaian Kegiatan di Pura
a. Membeli tiket terlebih dahulu untuk memasuki kawasan pura mangkunegaran,
dengan HTM Rp 30.000.
b. Untuk masuk ke pura mangkunegaran diwajibkan untuk memakai tour guide, dan
biaya tour guide seikhlasnya diluar dari tiket masuk.
c. Lokasi yang pertama dikunjungi yaitu pendopo ageng. Tour guide mulai menjelaskan
tentang sejarah berdirinya pura mangkunegaran dan juga menjelaskan sejarah dari
pendopo ageng beserta isi-isi nya, seperti gamelan, patung, lampu gantung, lukisan
yang ada di atap-atap langit, tiang, dan keramik.
d. Selanjutnya tour guide mengajak lokasi selanjutnya yaitu ndalem ageng. Tetapi pada
lokasi ini, tidak diperbolehkan masuk per tanggal 20 Juni tahun 2023 dan juga tidak
diperbolehkan mengambil gambar maupun video. Sehingga tour guide menjelaskan
fungsi ndalem ageng dan juga menjelaskan isi-isi yang ada di ndalem ageng hanya
dari depan pintu saja.
e. Kemudian tour guide mengajak ke lokasi selanjutnya yaitu taman keputren (taman
nya para putri) dan juga bale warni (kamarnya para putri). Tour guide menjelaskan
beberapa bagian dari taman keputrian, seperti tempat duduk untuk para putri, gelas-
gelas antik, dan foto-foto keluarga dari beberapa mangkunegaran. Di dalam taman
keputrian juga terdapat pracimayasa (ruang keluarga yang berbentuk segi 8). Dan
sebelah dari pracimayasa ada ruang makan keluarga.
f. Pada perjalanan menuju lokasi terakhir, tour guide juga menjelaskan beberapa
koleksi di sepanjang jalan yang dilewati dan juga mengajak ke toko yang menjual
aksesoris jaman dahulu, seperti kipas, kain, tas, dan masih banyak lagi.
g. Lokasi terakhir yang dikunjungi yaitu selasar pracimatuin. Sebelum melihat selasar
prracimatuin, tour guide mengajak untuk melihat pameran Angsukayana (perjalanan
batik) mangkunegaran. Pada pameran angsukayana terdapat kain yang digunakan
oleh penari mangkunegaran dari tahun pertama hingga saat ini. Setelah keluar dari
pameran Angsukayana, tour guide langsung mengajak ke selasar pracimatuin, tetapi
hanya diluarnya saja.

2. Partisipasi Dalam Kegiatan Keagamaan

a. Kirab pusaka : Di pura mangkunegaran setiap malam satu suro mengadakan kirab
pusaka dengan tidak boleh melakukan pembicaraan (Tapa Bisu) yang dimaknai
sebagai pencegahan untuk mengontrol pembicaraan yang berawal dari mulut, agar
tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain.
b. Lelaku : Kegiatan untuk mengendalikan hawa nafsu dengan hati yang benar-benar
ikhlas. kegiatan ini dilakukan pada malam satu suro. Lelaku dapat dilakukan di
puncak gunung, makam leluhur atau wali, goa, tepi laut, dan lain-lain.
c. Jamasan pusaka atau mencuci benda pusaka : Jamasan pusaka merupakan tradisi
untuk merawat atau memetri warisan dari para leluhur. Pusaka itu sendiri
mengandung banyak makna karena merupakan buah hasil karya cipta yang memiliki
falsafah kehidupan, kearifan, sumber inspirasi, dan motivasi kehidupan. Jamasan
pusaka mencakup sejumlah barang, termasuk tombak karena benda pusaka tidak
hanya keris. Tradisi ini dilakukan ketika malam satu suro.

Anda mungkin juga menyukai