Anda di halaman 1dari 39

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan adalah seluruh gagasan manusia yang harus dibiasakan

dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu

(Koentjaraningrat,1987: 9). Menurut Imam Sutardjo kebudayaan merupakan

peradaban batin, kehalusan budi, keluhuran batiniah, ketinggian perkembangan

ilmu pengetahuan dan kesenian (2008: 10). Lebih lanjut menurut Alo Liliweri

kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan,

kesenian, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang

dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat (2011: 107).

Bangunan merupakan hasil dari kebudayaan dan kreativitas seni yang

menggambarkan totalitas dari cipta, rasa, dan karsa pemiliknya (Sunarmi, Guntur,

Utomo Tri Prasetyo, 2007: 139). Manusia dengan menggunakan kecerdasan

intelektual, emosional dan spiritual mampu melahirkan berbagai karya seni dan

budaya termasuk seni bangunan atau arsitekturnya. Bangunan adalah representasi

kearifan lokal dan kecerdasan lokal yang tidak hanya sebagai media bertahan

hidup akan tetapi sebagai pemicu dan pemacu gairah hidup (Sunarmi, Guntur,

Utomo Tri Prasetyo, 2007: 5).

Bangunan kompleks Pura Mangkunegaran merupakan hasil dari

kebudayaan yang memiliki keindahan struktur, tata ruang, tata letak dan tata

estetikanya. Pura Mangkunegaran terdiri dari bangunan-bangunan yang tidak

hanya mengagumkan secara fisik semata, namun dalam pembangunannya telah

melalui proses pemikiran yang commit to user


mendalam sehingga setiap elemen bangunan

1
perpustakaan.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id

mengandung makna simbolis dalam rangka untuk memperoleh ketenteraman dan

keselamatan. Oleh karena itu, bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran tidak

dibangun dengan sederhana. Bangunan-bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran menggambarkan bahwa untuk menuju pada kesempurnaan hidup

harus melewati tahapan-tahapan yang sangat panjang dan berliku.

Pura Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757 di tengah-tengah kota

Surakarta, menghadap ke arah selatan. Tepatnya berada di wilayah Kelurahan

Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Kotamadya Surakarta. Luas bangunan

kompleks Pura Mangkunegaran adalah 93.396 m² atau 302,50m x 308,25m.

Bangunan kompleks Pura Mangkunegaran tidak tampak jika dilihat dari luar

karena dikelilingi dinding tembok yang tebal dan tinggi, ada bagian tembok yang

tingginya mencapai 5m. Pura Mangkunegaran berbatasan dengan Jalan

Ronggowarsito pada bagian selatan atau bagian depan. Pada bagian barat

berbatasan dengan Jalan Kartini. Bagian belakang atau bagian utara berbatasan

dengan Jalan RM. Said. Sedangkan bagian timur Pura Mangkunegaran berbatasan

dengan Jalan Teuku Umar (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 41).

Pura Mangkunegaran didirikan oleh Raden Mas Said yang dikenal dengan

sebutan Pangeran Sambernyawa atau Sultan Adiprakoso Senapati Ingalaga Lelana

Jayamisesa Prawira Adiningrat. Kemudian Raden Mas Said bertahta sebagai

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara (KGPAA) Mangkunegara I

yang memerintah pada tahun 1757-1759. KGPAA Mangkunegara I membangun

Pura Mangkunegaran dengan bentuk sederhana, belum sebesar dan sekompleks

sekarang (Roswitha Pamoentjak Singgih, 1896: 1). Pembangunan kompleks Pura

Mangkunegaran dilakukan secara bertahap dari masa pemerintahan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id

Mangkunegara I hingga pada masa pemerintahan Mangkunegara IX, yang sedang

berkuasa pada saat ini.

Pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara II yaitu pada tahun

1796-1835, mulai dilakukan pengembangan ketataprajaan dengan meningkatkan

kesejahteraan narapraja, punggawa, dan masyarakat. KGPAA Mangkunegara II

mulai melanjutkan pembangunan kompleks Pura Mangkunegaran dengan

membangun pendhapa ageng pada tahun 1815. KGPAA Mangkunegara III yang

memerintah pada tahun 1835-1853 kemudian melanjutkan pembangunan dengan

membangun prangwedanan, pracima sana, purwa sana, bale peni, bale warni,

bale kencur, bangsal tosan, mandra sana, langen praja, reksa wahana, reksa

pradipta (Moh. Dalyana, 1939: 5).

KGPAA Mangkunegara IV yang memerintah pada tahun 1853-1881,

memperluas bangunan kompleks Pura Mangkunegaran dengan membangun pagar

tembok. Pagar tembok yang tebal dan tinggi dibangun mengelililingi kompleks

Pura Mangkunegaran, selain itu Mangkunegara IV juga menambahkan perabotan

pada bangunan-bangunan yang sudah ada sebelumnya. Pada tahap selanjutnya,

pembangunan dilakukan oleh KGPAA Mangkunegara V. KGPAA

Mangkunegara V yang memerintah pada tahun 1881-1896 membangun taman-

taman seperti ujung puri dan pracima yasa. Sedangkan KGPAA Mangkunegara

VI yang memerintah pada tahun 1896-1916 membangun panti pamarasan serta

menambah taman-taman seperti nguntarayasa dan pracimayasa (Moch Dalyana,

1939: 5).

Pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara VII yaitu pada tahun

1916-1944, sudah tidak membuat bangunan baru. KGPAA Mangkunegara VII


commit to user
melakukan perbaikan pada bangunan-bangunan yang rusak dan menambah hiasan
perpustakaan.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id

pada langit-langit pendhapa ageng. Mangkunegara VII memiliki keinginan untuk

memadukan karya seni dan filsafat atau ajaran-ajaran yang terkandung di dalam

serat-serat piwulang. Keinginan mangkunegara VII kemudian dituangkan dalam

bentuk hiasan singup pendhapa ageng yang disebut dengan kumudawati.

Kumudawati disalin oleh abdi dalem Kraton Surakarta yang bernama Raden

Ngabei Atmasupama. Kumudawati yang semula dilukis di kertas kemudian

disalin pada kain putih, lalu diletakkan di langit-langit pendhapa ageng.

Kumudawati memiliki lima motif yaitu motif lidah api atau modhang, atribut

dewa mata angin, simbol watak hari, simbol watak tahun, dan warna-warna magis.

Kelima motif dalam batik kumudawati berisi nilai-nilai filosofis yang diambil dari

karya-karya sastra semasa pemerintahan mangkunegara IV (S. Ilmi Albiladiyah,

1999: 65).

KGPAA Mangkunegara VIII dan IX sudah tidak melakukan

pembangunan, akan tetapi mengadakan pemeliharaan dan perbaikan seperti

mengecat ulang, mengganti lantai, menambah hiasan dan perabotan pada

bangunan-bangunan yang sudah ada. Bangunan-bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran dibangun melalui proses yang sangat panjang yaitu dari masa

pemerintahan KGPAA Mangkunegara I hingga pada masa pemerintahan

Mangkunegara IX atau pada saat ini. Akan tetapi pada saat ini beberapa bangunan

di kompleks Pura Mangkunegaran telah mengalami kerusakan dan ada yang sudah

dibongkar.

Bangunan-bangunan inti di kompleks Pura Mangkunegaran yang pada saat

ini masih utuh yaitu Bale kencur, Bale peni, Bale warni, Dalem ageng, Gedhong

wireng, Karti pura, Kasatriyan, Langen praja, Mandra pura, Pacaosan,


commit to user
Pakretan, Pamedan, Panti putra, Panti putri, Pendhapa ageng, Petanen, Pracima
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id

sana, Prangwedanan, Pringgitan, Purwa sana, Reksa busana, Reksa hastana,

Reksa pradipta, Reksa pura, Reksa pustaka, Reksa sunggata, Reksa wahana,

Reksa warastra, Reksa wilapa, dan Senthong.

Istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran memiliki

makna filosofis yang sangat menarik untuk diteliti agar nilai-nilai yang

terkandung dalam istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran dapat diajarkan kepada generasi penerus bangsa. Bangunan-

bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran banyak mendapat pengaruh dari

arsitektur Eropa, akan tetapi struktur tata bangunan dan penggunaan istilah-istilah

nama bangunannya tetap mempertahankan kebudayaan Jawa.

Berikut adalah beberapa contoh istilah-istilah nama bangunan di kompleks

Pura Mangkunegaran yang dianalisis berdasarkan bentuk, makna leksikal dan

makna gramatikal, serta makna kultural.

1. Pringgitan [priŋgitan]

Pada data (1) terdapat kata pringgitan yang berbentuk polimorfemis yang

berasal dari kata dasar ringgit yang mendapat konfiks pa-/-an. Makna leksikal

dari ringgit menurut Prawiroatmojo (1981: 145) adalah wayang. Makna

gramatikal dari pringgitan adalah bangunan di Kompleks Pura

Mangkunegaran yang terletak di antara pendhapa ageng dan dalem ageng

yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan pertunjukkan wayang kulit

dan untuk menerima tamu resmi kenegaraan. Adapun makna kultural dari

pringgitan adalah manusia harus bisa membedakan kebaikan dan keburukan

sehingga manusia dapat memilih jalan yang benar di dalam hidupnya. Seperti

dalam ungkapan “Becik ketitik ala ketara”. Ungkapan tersebut berarti


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

kebenaran pasti suatu saat akan terlihat dan keburukan yang disembunyikan

sekalipun suatu saat juga pasti akan ketahuan.

2. Dalem ageng [daləm agəŋ]

Pada data (2) di atas terdapat satuan lingual dalem ageng yang berbentuk frasa

nomina karena intinya yaitu kata dalem termasuk dalam kategori nomina,

sedangkan atributnya adalah kata ageng yang termasuk dalam kategori

adjektif. Makna leksikal dari dalem menurut Prawiroatmojo (1993: 88) adalah

(1) dalam, (2) rumah, sedangkan ageng adalah besar (Prawiroatmojo, 1993:

4). Makna gramatikal dari dalem ageng adalah bangunan utama di kompleks

Pura Mangkunegaran yang berbentuk limasan yang sangat luas dan terletak di

belakang pringgitan. Makna kultural dari dalem ageng adalah seorang raja

atau seseorang yang memiliki kekuasaan besar hendaknya dapat mengayomi

masyarakat agar makmur dan sejahtera. Seseorang di dalam menjalani

kehidupan harus senantiasa menjalankan kewajibannya dengan baik karena

pada akhirnya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Tuhan.

Penggunaan istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang berlaku di Pura

Mangkunegaran. Budaya yang berlaku di Pura Mangkunegaran tentunya berbeda

dengan budaya di daerah lain. Penyebutan bahwa setiap daerah memiliki ciri khas

berdasarkan penutur dan budaya setempat disebut dengan istilah linguisik

antropologi, di samping etnolinguistik (Harimurti Kridalaksana, 2008: 86).

Etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah

terbentuknya kebudayaan yang berkaitan dengan bahasa. Istilah etnolinguistik

berasal dari kata etnologi dan linguistik. Etnologi berarti ilmu yang mempelajari
commit to user
tentang suku-suku tertentu dan linguistik berarti ilmu yang mengkaji seluk beluk
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa (Sudaryanto, 1993: 9)

yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan

oleh para ahli etnologi (kini antropologi budaya). Menurut Harimurti

Kridalaksana (2008: 52) etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki

hubungan antara bahasa dan masyarakat yang belum memiliki tulisan.

Menurut Wakit Abdullah (2013: 10) etnolinguistik yaitu jenis linguistik

yang menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana,

unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual,

peristiwa budaya, foklor, dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan

mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial masyarakat. Adapun

beberapa penelitian dengan kajian etnolinguistik yang pernah dilakukan antara

lain sebagai berikut.

BRM. Surya Triyono, 2009, dalam skripsi yang berjudul “Istilah-Istilah

Bangunan dalam Lingkup Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat

(Suatu Tinjauan Etnolinguistik)” membahas tentang bentuk dan makna istilah

nama bangunan dalam lingkup Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat.

Adina Diah Sitraresmi, 2009, dalam skripsi yang berjudul “Istilah

Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyi Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta

Hadiningrat (Suatu Tinjauan Etnolinguistik)” membahas tentang bentuk dan

makna istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyi Setomi di Siti Hinggil Keraton

Surakarta Hadiningrat.

Titis Setyowati, 2010, dalam skripsi yang berjudul “Istilah Alat-Alat

Pertukangan Mebel dan Perkembangannya di Desa Sanggrahan Kecamatan

Nogosari Kabupaten Boyolali (Kajian Etnolinguistik)” mengkaji tentang


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

bentuk dan makna dari istilah alat-alat pertukangan mebel serta perkembangannya

di Desa Sanggrahan Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.

Muh Taufik, 2010, dalam skripsi yang berjudul “Istilah-Istilah dalam Keris

Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta (Kajian Etnolinguistik)”

membahas tentang istilah, makna dan bentuk dari istilah-istilah dalam keris sabuk

inten warangka ladrang gaya Surakarta.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian

mengenai Istilah-istilah Nama Bangunan di Kompleks Pura Mangkunegaran

(Suatu Kajian Etnolinguistik). Secara signifikan penelitian Istilah-istilah Nama

Bangunan di Kompleks Pura Mangkunegaran akan membahas bentuk, makna

leksikal dan makna gramatikal, serta makna kultural.

Alasan peneliti memilih judul tersebut adalah sebagai berikut.

1. Istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran memiliki

keunikan dan mengandung nilai-nilai filosofis yang dapat dijadikan pedoman

di dalam kehidupan masyarakat.

2. Istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran harus

dipelajari dan dilestarikan oleh generasi penerus agar tidak punah.

3. Ingin mengetahui bentuk, makna leksikal dan makna gramatikal serta makna

kultural istilah-istilah namabangunan di kompleks Pura Mangkunegaran yang

berkaitan dengan pandangan hidup.

4. Menurut peneliti, penelitian mengenai istilah-istilah nama bangunan di

kompleks Pura Mangkunegaran belum pernah dilakukan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis.

1. Manfaat Teoretis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi teori linguistik,

khususnya linguistik Jawa dan hubungan antara bahasa dengan budaya Jawa yang

berkaitan dengan istilah-istilah nama bangunan di Kompleks Pura

Mangkunegaran.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah penelitian bahasa

Jawa khususnya kajian etnolinguistik.

b. Sebagai bentuk dokumentasi budaya dalam bentuk tulisan mengenai

istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran.

c. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang bentuk, makna leksikal

dan makna gramatikal serta makna kultural istilah-istilah nama bangunan

di kompleks Pura Mangkunegaran.

d. Dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk penelitian etnolinguistik

selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang diteliti di dalam penelitian Istilah-istilah Nama Bangunan di

Kompleks Pura Mangkunegaran yaitu :

1. Bagaimanakah bentuk istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran ?

(Masalah ini dikaji untuk menggambarkan bentuk istilah-istilah nama

bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran yang berupa monomorfemis dan

polimorfemis).

2. Bagaimanakah makna leksikal dan tomakna


commit user gramatikal istilah-istilah nama
bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran ?
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

(Masalah ini dikaji untuk menjelaskan makna leksikal dan makna gramatikal

istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran).

3. Bagaimanakah makna kultural istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran ?

(Masalah ini dibahas untuk menjelaskan makna kultural istilah-istilah nama

bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran yang diperoleh dari keterangan

informan maupun dari sumber tertulis).

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk monomorfemis dan polimorfemis istilah-istilah nama

bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran.

2. Mendeskripsikan makna leksikal dan makna gramatikal istilah-istilah nama

bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran.

3. Menjelaskan makna kultural istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran.

D. Batasan Masalah

Penelitian istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran, permasalahannya dibatasi agar masalah tidak terlalu luas dan

tidak keluar dari pokok pembahasan. Untuk mempermudah penelitian, maka

penulis membatasi permasalahan yang dikaji sebanyak 30 istilah-istilah nama

bangunan inti di kompleks Pura Mangkunegaran yang kemudian akan dianalisis

mengenai bentuk, makna leksikal dan makna gramatikal, serta makna kultural.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

E. Landasan Teori

Landasan teori adalah dasar atau landasan yang bersifat teoritis yang relevan

dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Landasan teori yang

digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut.

1. Pengertian Etnolinguistik

Istilah etnolinguistik berkaitan dengan konsep teoretis tentang

anthropological linguistics yang bervariasi dengan linguistics anthropological

yang merupakan kajian bahasa dan budaya sebagai sub bidang utama dari

antropologi (Duranti dalam Abdullah, 2013: 7). Lebih lanjut Subroto (dalam

Abdullah, 1999: 7) dalam kajiannya menjelaskan bahwa etnolinguistik sebagai

jenis linguistik yang kajiannya memfokuskan pada temuan-temuan yang akan

disumbangkan dalam sistem kebudayaan seperti tata bahasa, kosakata, dan

pemahaman makna kontekstualnya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 309) menyebutkan bahwa

etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa

dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mengenal tulisan.

Sedangkan menurut Harimurti Kridalaksana etnolinguistik adalah cabang

linguistik yang mempelajari bahasa dalam konteks budaya, mencoba mencari

makna tersembunyi yang ada di balik pemakaian bahasa, merupakan disiplin

interpretatif yang mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman budaya yang

bermula dari fakta kebahasaan (2008: 59).

Menurut Koentjaraningrat etnolinguistik yaitu suatu ilmu bagian yang asal

mulanya erat bersangkutan dengan ilmu antropologi, objek penelitiannya berupa

commit
kata-kata, pelukisan-pelukisan dari to userpelukisan-pelukisan tentang tata
ciri-ciri,

bahasa dari bahasa-bahasa lokal yang tersebar di berbagai tempat di muka bumi,
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

terkumpul bersama-sama dengan bahan tentang unsur kebudayaan suatu suku

bangsa (1992: 2).

Etnolinguistik yaitu jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap

dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam

dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, foklor, dan

lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik

budaya dan struktur sosial masyarakat (Wakit Abdullah, 2013: 10). Dari beberapa

pengertian para ahli mengenai etnolinguistik di atas dapat disimpulkan bahwa

etnolinguistik adalah jenis linguistik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan

kebudayaan masyarakat yang terkait dengan pola pikir dan pandangan hidup.

Pada intinya, etnolinguistik mencoba melakukan klasifikasi kognisi,

pandangan hidup, pandangan dunia, dan pola pikir masyarakat penuturnya yang

bertolak dari data empiris kebahasaan dan sangat bertumpu pada dimensi leksikon

beserta dimensi semantik bahasa dan budaya pemiliknya. Pengklasifikasian yang

tampak pada sistem tata bahasa dapat mencerminkan pikiran atau psikologi

penuturnya. Budaya dan pandangan hidup suatu masyarakat dapat tercermin dari

bahasa yang mereka gunakan. Istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan dalam

istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran mencerminkan

pandangan hidup dan pola pikir masyarakat pemakainya.

2. Pengertian Istilah

Istilah adalah perkataan yang khusus mengandung arti yang tertentu di

lingkungan suatu ilmu pengetahuan, pekerjaan atau kesenian (Poerwadarminta,

1976: 388). Menurut Harimurti Kridalaksana


commit to useristilah adalah kata atau gabungan
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang

khas dalam bidang tertentu (2008: 97).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan (2005:446) istilah

adalah (1) kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna,

konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu; (2) sebutan;

makna; (3) kata atau ungkapan khusus. Disamping itu, Prawiroatmaja (1993: 287)

mengungkapkan bahwa istilah yaitu “tembung (tetembungan) sing mengku teges,

kaanan, sipat, lan sapiturute kang mirunggan ing babagan tartamtu”„kata yang

mengandung makna, keadaan, sifat, dan sebagainya yang khususnya pada bagian

tertentu‟.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa istilah adalah

ungkapan khusus yang terdiri dari kata atau gabungan kata yang mengandung arti

tertentu dalam bidang tertentu. Istilah dapat dikatakan terlepas dari konteks karena

meskipun terdiri dari kata yang terlepas dari suatu kalimat tetap mempunyai

makna yang jelas. Dalam penelitian ini istilah-istilah nama bangunan di kompleks

Pura Mangkunegaran yang ditemukan kemudian dianalisis menurut bentuk,

makna leksikal dan makna gramatikal, serta makna kultural yang termuat di

dalamnya.

3. Pengertian Makna

Menurut Harimurti Kridalaksana (2008: 113) makna adalah : (1) maksud

pembicara, (2) pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku

manusia, (3) hubungan, dalam arti kesepadanan/ ketidaksepadanan antara bahasa

dengan alam di luar bahasa/ antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya, (4)

cara menggunakan lambang-lambang bahasa,


commit to usersedangkan makna leksikal adalah
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dll; makna leksikal

ini dipunyai unsur-unsur bahasa yang lepas dari konteks.

a. Makna Leksikal

Makna leksikal (lexical meaning, semantic meaning: bahasa Inggris)

adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-lain;

makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau

konteksnya (Harimurti Kridalaksana, 2008: 149). Menurut pendapat Abdul Chaer

makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil

observasi panca indra kita atau makna apa adanya (2007: 289). Kamus-kamus

dasar biasanya hanya memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang

dijelaskannya. Akan tetapi perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang bukan

dasar, juga ada yang memuat selain makna leksikal, namun memuat makna kias

dan makna-makna yang terbentuk secara metaforis (Abdul Chaer, 2007: 289).

Makna leksikal merupakan makna suatu kata dari unsur-unsur bahasa sebagai

lambang benda yang terlepas dari konteksnya.

b. Makna Gramatikal

Menurut Harimurti Kridalaksana makna gramatikal adalah makna yang

terbentuk akibat bergabungnya unsur yang satu dengan lainnya dalam pelbagai

tataran gramatikal, seperti hubungan antar kata satu dengan kata lain dalam frasa

atau klausa (2008: 148). Makna gramatikal istilah-istilah nama bangunan di

kompleks Pura Mangkunegaran yaitu makna bahasa yang terbentuk karena

hubungan antar unsur dalam pelbagai tataran gramatikal sehingga melalui unit

lingualnya dapat digunakan untuk menguak pola pikir masyarakat kaitannya

dengan budaya yang berkembang di kompleks Pura Mangkunegaran.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

c. Makna kultural

Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki masyarakat dalam

hubungan dengan budaya tertentu (Wakit Abdullah, 1993: 3). Makna kultural

dimaksudkan untuk lebih dalam memahami makna ekspresi verbal maupun non

verbal suatu masyarakat yang berhubungan dengan sistem pengetahuan terkait

pola pikir, pandangan hidup, serta pandangan terhadap dunia suatu masyarakat.

Makna kultural dari istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura

mangkunegaran dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang di Pura

Mangkunegaran.

4. Pengertian Bentuk

Berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian, penulis menggunakan bentuk

istilah berupa monomorfemis, polimorfemis, dan frasa :

a. Monomorfemis

Menurut Harimurti Kidalaksana (2008: 157) monomorfemis terdiri dari

satu kata atau morfem, morfem merupakan satu bahasa terkecil yang maknanya

relative stabil dan tidak dibagi atas bagian lebih kecil misalnya (ter-) (di-).

Pendapat lain menurut Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem

akan menyusun sebuah kata, mempunyai makna dan berkategori jelas, sedangkan

kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis. Penggolongan kata

menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah menggolongkan

berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.

Semua kata yang tergolong kata dasar pada istilah-istilah nama bangunan

di kompleks Pura Mangkunegaran dapat dikatakan morfem bebas dengan

pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri


commit sendiri dengan makna tertentu tanpa
to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

dilekati imbuhan, dengan kata lain subjeknya belum mengalami proses morfologis

atau belum mendapat tambahan apapun.

Contoh bentuk monomorfemis :

Senthong [sənTɔŋ]

Senthong merupakan bentuk monomofmenis karena terdiri dari satu

morfem dan belum mengalami proses morfologis. Senthong adalah bangunan

yang berada di bagian belakang dalem ageng. Senthong pada Pura

Mangkunegaran terdapat dua bagian, yaitu senthong kiwa dan senthong tengen.

Senthong digunakan untuk upacara sesaji yang dipersembahkan untuk Dewi Sri.

Dewi Sri merupakan simbol dari kesuburan.

b. Polimorfemis

Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang

berupa rangkaian morfem. Proses morfologis meliputi (1) pengimbuhan atau

afiksasi (penambahan afiks). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan, di

tengah, di belakang, atau di depan dan belakang morfem dasar. Afiks yang

ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks, yang ditengah disebut sisipan

atau infiks, yang dibelakang disebut akhiran atau sufiks, yang di depan dan

belakang disebut sirkumfiks atau konfiks (2) pengulangan atau reduplikasi adalah

proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal

(Harimurti Kridalaksana, 2008: 186), dan (3) pemajemukan atau komposisi yaitu

proses morfologis yang membentuk satu kata dari dua (atau lebih dari dua)

morfem dasar atau proses pembentukan dua kata baru dengan jalan

menggabungkan dua kata yang telah ada sehingga melahirkan makna baru.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

1. Afiksasi atau imbuhan

Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk

dasar. Dalam proses ini terlibat unsur-unsur (1) dasar atau bentuk dasar, (2) afiks,

dan (3) makna gramatikal yang dihasilkan (Abdul Chaer, 2007: 177). Afiks adalah

sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah

dasar dalam proses pembentukan kata. Afiks yang ditambahkan di muka bentuk

dasar disebut prefiks, afiks yang diimbuhkan di tengah bentuk dasar dinamakan

infiks, dan afiks yang diimbuhkan pada posisi akhir bentuk dasar disebut sufiks

(Abdul Chaer, 2007: 178). Sedangkan konfiks adalah afiks yang berupa morfem

terbagi, yang bagian pertama berposisi pada awal bentuk dasar dan bagian kedua

berposisi pada akhir bentuk dasar (Abdul Chaer, 2007:179). Karena konfiks

merupakan morfem terbagi, maka kedua bagian dari afiks itu dianggap sebagai

satu kesatuan dan pengimbuhannya dilakukan sekaligus, tidak ada yang lebih

dahulu dan tidak ada yang lebih kemudian. Adapun contohnya adalah sebagai

berikut.

a. Kasatriyan [kasatriyan]

Ka- + satriya + -an kasatriyan

Konfiks ka-/-an+ N Nomina

Kasatriyan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata

dasar satriya yang mendapat konfiks ka-/-an.

Kasatriyan adalah bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran yang berada di

timur, difungsikan untuk abdi dalem yang mengelola silsilah keluarga besar Pura

Mangkunegaran.

b. Pacaosan [ pacaɔsan]
commit to user
Pa- + caos + -an pacaosan
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

Konfiks pa-/-an + N Nomina

Pacaosan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata

dasar caos yang mendapat konfiks pa-/-an.

Pacaosan adalah bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran yang berada di

kanan bale peni, digunakan untuk abdi dalem yang siap untuk dipanggil sewaktu-

waktu.

2. Kata Majemuk atau Komposisi

Kata majemuk adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus

sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantik yang

khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan, pola khusus tersebut

membedakannya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata majemuk

(Harimurti Kridalaksana, 2008: 99). Menurut Abdul Chaer kata majemuk adalah

sebuah kata yang memiliki makna baru yang tidak merupakan gabungan makna

unsur-unsurnya (2007: 186). Suatu komposisi dikatakan kata majemuk kalau

unsur-unsurnya tidak dapat dipertukarkan tempatnya dan tidak dapat disisipi apa-

apa tanpa merusak komposisi itu (Abdul Chaer, 2007: 187). Dari pendapat di atas

dapat disimpulkan bahwa kata majemuk adalah gabungan dua kata atau lebih yang

memiliki makna baru yang berbeda dari unsur-unsur pembentuknya dan unsur-

unsur pembentuknya tidak dapat disisipi.

Contoh : Bale kencur, Bale warni, Gedhong wireng, Karti Pura, Langen praja,

Mandra pura, Pracima sana, Prangwedanan, Purwa sana, Reksa Busana, reksa

hastana, Reksa pradipta, Reksa pura, Reksa pustaka, Reksa sunggata, Reksa

wahana, Reksa warastra, dan Reksa wilapa.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

3. Frasa

Menurut Harimurti Kridalaksana frasa adalah gabungan dua kata atau

lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang

(2008: 66). Pendapat tersebut sama seperti yang diuraikan dalam KBBI (2005:

281) bahwa frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang non predikatif.

Sedangkan menurut M. Ramlan frasa merupakan satuan gramatikal yang terdiri

atas dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksudnya

frasa selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa, yaitu subjek, predikat, objek,

pelengkap, dan keterangan (2005: 139).

Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua

kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa

(Djoko Kentjono, 1982: 57). Ciri-ciri frasa adalah terdiri dari dua kata atau lebih,

dapat diisi unsur apapun dan tidak mengubah makna, mempunyai makna yang

berhubungan dengan komponen pembentuknya dan dapat diuraikan menurut

komponen pembentuknya, serta mempunyai unsur pusat inti dan unsur

pendamping sebagai atributnyanya. Contohnya bentuk kata pendhapa ageng

mempunyai unsur pusat inti pendhapa sebagai inti frasa, sedangkan ageng sebagai

pendamping atau atributnya.

5. Pura Mangkunegaran

a. Sejarah Berdirinya Pura Mangkunegaran

Kadipaten Mangkunegaran didirikan oleh Raden Mas Said pada masa

pemerintahan Pakubuwana III. Raden Mas Said adalah putera dari Amangkurat

IV yang juga masih bersaudara dengan Pakubuwana II. Raden Mas Said

merupakan kakak dari Pakubuwana II yang


commit seayah namun berlainan ibu. Raden
to user
Mas Said sebenarnya berhak menjadi raja, akan tetapi yang diangkat adalah
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

Pakubuwana II. Kemudian Raden Mas Said disingkirkan ke luar negeri oleh

Pakubuwana II dengan campur tangan Belanda. Campur tangan penjajah

Belanda dalam urusan pemerintah swapraja ini membuat Raden Mas Said

semakin sakit hati (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 1).

Pada saat pemerintahan Pakubuwana II, orang yang paling dianggap

membahayakan kedudukan Pakubuwana II adalah Raden Mas Said. Pada

tanggal 30 Juni 1742 terjadi peperangan dan Kartasura akhirnya berhasil

dikuasai oleh musuh. Pakubuwana II akhirnya terpaksa menyingkir ke

Magetan, lalu menuju ke Ponorogo. Bersamaan dengan terjadinya perang,

beberapa pangeran mengangkat senjata melawan Pakubuwana II. Pangeran-

pangeran tersebut yaitu Pangeran Buminata, Pangeran Singasari, Pangeran

Pamot, Raden Mas Said, dan Martapura. Pangeran Mangkubumi yang

merupakan saudara dekat dari Pakubuwana II juga tak ketinggalan ikut

melakukan perlawanan. Para pengikut Pakubuwana II tidak ada yang berani

melakukan perlawanan terhadap Raden Mas Said dan Martapura. Pada

akhirnya Pakubuwana II mengambil keputusan untuk mengadakan sayembara.

Sayembara tersebut ditujukan kepada siapa saja yang dapat menumpas

pemberontakan dari Raden Mas Said dan Martapura maka akan diberikan

hadiah tanah Sukawati. Karena didorong untuk menjaga kewibaan dan

mengharapkan hadiah, maka Pangeran Mangkubumi menyanggupi

Pakubuwana II untuk memadamkan pemberontakan.Pangeran Mangkubumi

akhirnya berhasil mematahkan perlawanan Raden Mas Said dan Martapura.

Akan tetapi hadiah berupa tanah Sukawati yang dijanjikan Pakubuwana II tidak

dipenuhi (Yoseph Bayu Sunarman, 2010: 44).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

Pangeran Mangkubumi merasa sakit hati dan memberontak terhadap

Pakubuwana II dengan mengajak lima pangeran lain. Raden Mas Said pada

saat itu bergelar Susuhunan Adi Prakosa yang berkedudukan di Penambahan.

Raden Mas Said menghadapi pasukan Sunan dan Kompeni yang menuju ke

Kedawang. Tetapi pasukan Raden Mas Said mengalami kekalahan (Yoseph

Bayu Sunarman, 2010: 45).

Raden Mas Said kemudian bertapa di Redi Bagan atau Mangadeg.

Setelah bertapa kurang lebih selama tiga bulan, Raden Mas Said memperoleh

pusaka berupa bendera dan genderang. Pusaka bendera dan genderang tersebut

diambil dari dahan pohon besar di tempat Raden Mas Said bertapa.

Berdasarkan cerita rakyat, jika dalam peperangan benderanya dikelebetkan

maka musuhnya akan menjadi tercerai berai dan jika genderangnya dipukul

maka musuh-musuhnya menjadi sakit perut. Menurut para ahli, pusaka tersebut

hanyalah sebagai simbol bahwa bendera dan genderang sebagai sarana untuk

membangkitkan semangat berperang melawan musuh dan selalu pantang

mundur.

Raden Mas Said kemudian menghadap Pangeran Mangkubumi ke

Girigal setelah selesai bertapa. Hubungan antara Pangeran Mangkubumi

dengan Raden Mas Said semakin erat setelah Raden Mas Said diangkat

menjadi menantu oleh Pangeran Mangkubumi. Raden Mas Said menikah

dengan putri dari Pangeran Mangkubumi yang bernama Raden Ajeng Inten.

Raden Ajeng Inten yang dikenal dengan sebutan Raden Bendara Putri Sulung

dari Pangeran Mangkubumi. Pada saat itu Pakubuwana II mengundurkan diri

dari tahta kerajaan. Raden Mas Said pada kesempatan tersebut diangkat
commit to user
menjadi Senopati Gubernur (Yoseph Bayu Sunarman, 2010: 46).
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

Direktur Van Hogendorff atas nama Gubernur Jenderal Sustuf William

Baron Van Imhof tidak mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai pengganti

Pakubuwana II. Oleh karena itu diangkatlah Putera Mahkota yang pada saat itu

baru berumur 16 tahun menjadi raja yang bergelar Sunan Pakubuwana III. Pada

tanggal 11 Desember 1749, Pakubuwana II menyerahkan kerajaan Mataram

kepada Kompeni (Belanda) sebagai hak milik yang sah atas kehendak sendiri,

tidak terpaksa, dan tanpa memakai perjanjian. Pergantian dari Pakubuwana II

ke Pakubuwana III bukanlah berdasarkan hak, akan tetapi hanyalah suatu

anugerah belaka dari Belanda. Sejak saat itulah raja-raja Mataram hanyalah

sebagai boneka Belanda (Yoseph Bayu Sunarman, 2010: 46).

Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi memindahkan pusat

perlawanan dari Gemantar ke Waringin. Pasukan Pangeran Mangkubumi

menggunakan cara yaitu dengan menggabungkan pasukan Kompeni dan para

sunan untuk menyerang Mataram. Akhirnya pasukan Pangeran Mangkubumi

berhasil menyerang Mataram dan pusat perlawanan lalu dipindahkan ke

Kebanaran (Kulon Progo). Sejak saat itu Pangeran Mangkubumi dikenal

dengan sebutan Sunan Kabanaran. Pada saat itu terjadilah pertentangan antara

Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said. Pertentangan ini terjadi

karena putri tanduk hasil dari Ponorogo tidak diserahkan kepada Pangeran

Mangkubumi, tetapi diambil sendiri oleh Raden Mas Said (Yoseph Bayu

Sunarman, 2010: 47).

Belanda meminta agar Raden Mas Said mau berdamai dengan Pangeran

Mangkubumi. Akan tetapi Raden Mas Said mau berdamai apabila dirinya

dinobatkan menjadi raja Mataram. Pangeran mangkubumi lalu murka dan


commit to user
menyerang pasukan Raden Mas Said. Pertentangan antara Pangeran
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

Mangkubumi dan Raden Mas Said kemudian dimanfaatkan oleh Belanda.

Belanda berusaha mendamaikan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said

dengan mengajak berunding di luar kota Surakarta. Karena desakan dari

Belanda, akhirnya Pangeran Mangkubumi mau menerima usul tersebut.

Perundingan dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 1757 di Grogol (Yoseph

Bayu Sunarman, 2010: 48).

Setelah ditanda tanganinya Perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret

1757, Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji (pangeran yang

merdeka langsung dibawah raja) dengan mendapat hak-hak istimewa dalam

upacara kerajaan dan tunjangan berupa tanah lungguh sebesar 4000 karya.

Sebagai Pangeran Miji, Raden Mas Said bergelar sebagai Pangeran

Mangkunegara I atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara. Pada

tahun 1757 itulah Pangeran Mangkunegara mendirikan Pura Mangkunegaran

sebagai tempat tinggalnya. Wilayah kekuasaan kadipaten Mangkunegaran

antara lain Keduwung, Larah, Matesih, Pacitan dan Gunung Kidul. Pura

Mangkunegaran mulai dibangun dengan bentuk sederhana, belum sebesar

sekarang. Barulah pada masa pemerintahan Mangkunegara II mulai dialakukan

pembangunan lebih lanjut.

Wilayah kekuasaan Mangkunegaran mencapai 2.845,14 km² dan

memiliki pemerintahan sendiri berdasarkan tridarma. Tridarma tersebut yaitu

mulat sarira hangrasa wani, melu handarbeni, dan hanggondeli praja. Mulat

sarira hangrasa warni yang berarti kenalilah dirimu sendiri dan jadikanlah

kuat dan pandai. Melu handarbeni yang berarti merasa memiliki dan menjaga,

jadi semua warga masyarakat Mangkunegaran merasa memiliki


commit to user
Mangkunegaran. Tridarma yang terakhir yaitu wajib melu hanggondeli yang
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

berarti siap berkorban, melindungi dan mengamankan (Yoseph Bayu

Sunarman, 2010: 49).

Sebelum jaman Jepang dan jaman kemerdekaan, Mangkunegaran sudah

memiliki pemerintahan yang masyarakatnya maju dan mampu mengikuti

perkembangan jaman. Tetapi setelah jaman kemerdekaan, yaitu pada tanggal

17 Agustus 1945, maka secara otomatis Mangkunegaran masuk menjadi salah

satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Mangkunegaran

sudah tidak memiliki kekuasaan lagi. Sehingga sampai sekarang Pura

Mangkunegaran dijadikan sebagai cagar budaya dan sebagai objek wisata bagi

wisatawan domestik maupun mancanegara.

b. Kompleks Pura Mangkunegaran

Kompleks Pura Mangkunegaran berada di wilayah Kelurahan

Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Kotamadya Surakarta. Luas bangunan

Kompleks Pura Mangkunegaran adalah 93.396m² atau 302,50m x 308,25m.

Batas-batas yang mengelilingi Kompleks Pura Mangkunegaran yaitu sebelah

selatan atau bagian depannya adalah Jalan Ronggowarsito, sebelah barat

berbatasan dengan Jalan Kartini, sebelah utara atau bagian belakang berbatasan

dengan Jalan R.M Said dan disebelah timur berbatasan dengan Jalan Teuku

Umar (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 41).

Bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran di mulai dari bagian

selatan yaitu pamedan, pamedan merupakan lapangan yang luas yang pada

jaman dahulu digunakan untuk latihan pasukan Legiun Mangkunegaran.

Selanjutnya setelah melewati pintu gerbang utama, dibagian kanan terdapat

bangunan reksa wahana. Bangunan-bangunan di kompleks Pura


commit to user
Mangkunegaran yang berada di bagian timur yaitu prangwedanan, panti putra,
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

panti putri, reksa pustaka, mandara pura, pacaosan, kasatriyan, reksa busana,

reksa warastra, dan reksa wilapa. Sedangkan bangunan yang ada di bagian

utara adalah bale kencur dan taman-taman. Bangunan kompleks Pura

Mangkunegaran yang berada di bagian barat adalah gedhong wireng, karti

pura, langen praja, pracima sana, reksa pradipta, reksa sunggata. Bangunan

kompleks Pura Mangkunegara yang berada di tengah yaitu pendhapa ageng,

pakretan, pringgitan, dalem ageng, senthong, petanen, bale peni, dan bale

warni. Seluruh bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran dikelilingi oleh

tembok yang tinggi dan tebal.

Bangunan-bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran dibangun

secara bertahap. Pembangunan dimulai pada saat Pemerintahan KGPAA

Mangkunegara I yang membangun Pura Mangkunegara dengan bentuk yang

sederhana. Pembangunan kompleks Pura Mangkunegaran dilanjutkan oleh

KGPAA Mangkunegara II sampai KGPAA Mangkunegara IX. Sehingga

bangunan di Pura Mangkunegaran menjadi kompleks seperti yang terlihat pada

saat ini. Akan tetapi bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran tidak

selengkap bangunan Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Karena pada awal

berdirinya Pura Mangkunegaran, Raden Mas Said atau KGPAA Mangkunegara

I diberikan larangan yaitu tidak diperbolehkan membangunan bangsal-bangsal

tertentu seperti bangsal witana. Selain itu, Mangkunegara juga dilarang untuk

membuat alun-alun dan menanam beringin kembar. Sebagai pengganti alun-

alun, maka Pangeran Sambernyawa membuat pamedan.

1. Mangkunegara I

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran


commit to user
Sambernyawa atau Raden Mas said lahir di keraton Kartasura, 7 April 1725 dan
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

meninggal dunia pada tanggal 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun di

Surakarta. Raden Mas Said yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa

atau Sultan Adiprakoso Senapati Ingalaga Lelana Jayamisesa Prawira Adiningrat.

Kemudian Raden Mas Said bertahta sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati

Arya Mangkunegara (KGPAA) Mangkunegara I yang memerintah pada tahun

1757-1759. Raden Mas Said merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia.

Ayah Raden Mas Said bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan

ibunya bernama R.A Wulan. Raden Mas Said membangun Pura Mangkunegaran

dalam bentuk sederhana.

Raden Mas Said memiliki banyak sekali prajurit, sebanyak 144 di

antaranya adalah prajurit wanita. Prajurit wanita terdiri dari satu peleton prajurit

bersenjata kerabijn (senapan ringan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu

peleton, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegara I tercatat

sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang.

Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran ketika Raden Mas

Said melawan Sunan, Sultan, dan VOC. Teknik yang digunakan oleh Raden Mas

Said adalah dhedhemitan dan weweludan. Selama 16 tahun berperang, Raden Mas

Said mengajari wanita desa untuk mengangkat senjata dan menunggang kuda di

medan perang (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 31).

2. Mangkunegara II

KGPAA Mangkunegara II atau Pangeran Surya Mataram merupakan raja

kedua di Pura Mangkunegaran. mangkunegara II adalah cucu sekaligus penerus

tahta dari Mangkunegara I. Ayahnya adalah Pangeran Arya Prabuwijaya, putra

dari Mangkunegara I yang meninggal dalam usia muda, sedangkan ibunya adalah
commit to user
Ratu Alit, cucu dari Pakubuwana III.
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

Mangkunegara II adalah seorang penguasa yang dalam pemerintahannya

disibukkan dengan perluasan wilayah. KGPAA Mangkunegara II mulai

melanjutkan pembangunan kompleks Pura Mangkunegaran dengan membangun

pendhapa ageng pada tahun 1815 (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 33).

3. Mangkunegara III

KGPAA Mangkunegara III adalah raja ketiga di Pura Mangkunegaran.

Nama kecilnya adalah Raden Mas Sarengat dan gelarnya yaitu Pangeran Arya

Prabu Prangwadana. Mangkunegara III lahir pada tanggal 16 Januari 1803.

Mangkunegara III adalah cucu dari Mangkunegara II yang dilahirkan oleh putrid

BRAy. Sayati, yang menikah dengan Pangeran Natakusuma.

KGPAA Mangkunegara III yang memerintah pada tahun 1835-1853

kemudian melanjutkan pembangunan dengan membangun prangwedanan,

pracima sana, purwa sana, bale peni, bale warni, bale kencur, bangsal tosan,

mandra sana, langen praja, reksa wahana, dan reksa pradipta (Moh. Dalyana,

1939: 5).

4. Mangkunegara IV

KGPAA Mangkunegara IV adalah raja ke empat di Pura Mangkunegaran

yang lahir pada tanggal 3 Maret 1811 dengan nama kecil Raden Mas Sudira.

Ayahnya yaitu KPH Adiwijaya I dan ibunya adalah putri Mangkunegara II yang

bernama Raden Ajeng Sekeli. KGPAA Mangkunegara IV yang memerintah pada

tahun 1853-1881, memperluas bangunan kompleks Pura Mangkunegaran dengan

membangun pagar tembok mengelilingi Pura mangkunegaran. Selain itu

Mangkunegara IV juga mendirikan pabrik gula di Colomadu dan memprakarsai

pembangunan stasiun Balapan Solo. Mangkunegara IV juga mendirikan


commit to user
perpustakaan reksa pustaka dan menulis Serat Wedhatama serta menulis
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

komposisi gamelan yang terkenal yaitu Ketawang Puspawarna. Dapat dikatakan

bahwa pada masa pemerintahan Mangkunegara IV, Mangkunegaran berada pada

puncak kebesarannya (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 36).

5. Mangkunegara V

Mangkunegara V adalah penerus mangkunegaran yang bertahta relatif

singkat, yaitu pada tahun 1881-1896. Mangkunegara V melanjutkan

pembangunan Pura Mangkunegaran dengan membangun taman-taman seperti

ujung puri dan pracima yasa. Pada masa pemerintahan Mangkunegara V,

kesenian Jawa mulai mengalami kemunduran karena kecilnya dana yang mengalir

ke Pura Mangkunegaran. Pada saat itu produksi gula di pasaran Eropa mengalami

penurunan, sehingga berakibat pada keuangan kerajaan. Namun Mangkunegara V

juga masih mementingkan perkembangan kesenian wayang wong gaya Surakarta.

Mangkunegara V juga memberikan ijin kepada seorang warga Tionghoa yang

bernama Gam Kang untuk mendirikan group wayang orang professional di

Surakarta dengan nama Wayang Wong Sriwedari (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 37).

6. Mangkunegara VI

Mangkunegara VI memerintah pada tahun 1896-1916 memiliki nama kecil

BRM. Suyitna. Mangkunegara VI merupakan adik dari Mangkunegara V yang

lahir pada tanggal 1 Maret 1857, ayahnya adalah Mangkunegara IV dan ibunya

adalah RAy. Dunuk. Mangkunegara VI tampil sebagai penguasa yang membawa

pembaharuan dan perubahan, yaitu dengan mengedepankan keungan dan

ekonomi sehingga kas kerajaan yang hampir kosong mulai ditingkatkan kembali.

Mangkunegara VI memberikan peninggalan yang sampai saat ini masih sering

dikunjungi wisatawan yaitu Pemandian Sapta Tirta dan menambah taman-taman


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

seperti nguntarayasa dan pracimayasa di Pura Mangkunegaran (Moch Dalyana,

1939: 5).

7. Mangkunegara VII

Mangkunegara VII memerintah pada tahun 1916-1944, ayahnya adalah

Mangkunegara V. Mangkunegara VII menggantikan pamannya Mangkunegara VI

untuk memerintah Pura Mangkunegaran, karena pada 11 Januari 1916

Mangkunegara VI mengundurkan diri. Mangkunegara VII merupakan penguasa

yang dianggap berpandangan modern pada jamannya. Beliau berhasil

meningkatkan komoditas perkebunan mendukung berkembangnya seni dan

budaya Jawa. KGPAA Mangkunegara VII melakukan perbaikan pada bangunan-

bangunan yang rusak dan menambah hiasan pada langit-langit pendhapa ageng

Pura Mangkunegaran. Mangkunegara VII memiliki keinginan untuk memadukan

karya seni dan filsafat atau ajaran-ajaran yang terkandung di dalam serat-serat

piwulang. Keinginan mangkunegara VII kemudian dituangkan dalam bentuk

hiasan singup pendhapa ageng yang disebut dengan kumudawati. Kumudawati

disalin oleh abdi dalem Kraton Surakarta yang bernama Raden Ngabei

Atmasupama. Kumudawati yang semula dilukis di kertas kemudian disalin pada

kain putih, lalu diletakkan di langit-langit pendhapa ageng (S. Ilmi Albiladiyah,

1999: 38).

8. Mangkunegara VIII

Mangkunegara VIII lahir di Kartasura pada tanggal 7 April 1925.

Mangkunegara VIII adalah penguasa terakhir yang mengalami masa colonial

Belanda dan yang pertama kali mengalami masa Indonesia merdeka.

Mangkunegara VIII di masa pemerintahannya sudah tidak melakukan


commit to user
pembangunan, akan tetapi mengadakan perbaikan pada bangunan-bangunan yang
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

mengalami kerusakan. Mangkunegara VIII dalam kancah kesenian sangat berjasa

dalam menggali kembali Tari Bedaya Anglir Mendung, sebuah tarian ciptaan

Mangkunegara I yang menghilang. Selain menemukan kembali Tari Bedaya

Anglir Mendung, beliau juga menciptakan tarian kerakyatan yang disebut Tari

Gambyong Retno Kusumo (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 39).

9. Mangkunegara IX

Mangkunegara IX lahir pada tahun 1951 dan merupakan putra laki-laki

kedua dari Mangkunegara VIII yang memerintah pada saat ini. Pada masa

remaja, beliau bernama Pangeran Kusuma. Pada masa pemerintahannya,

Tarian Dirada Meta yang menggambarkan perjuangan dari Pangeran

Mangkunegara I mulai dipentaskan di luar Pura Mangkunegaran.

Mangkunegara IX juga sudah tidak melakukan pembangunan, akan tetapi

mengadakan perawatan dan perbaikan pada bangunan yang mengalami

kerusakan (S. Ilmi Albiladiyah, 1999: 39).

6. Masyarakat Bahasa

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut

suatu sistem adat-istiadat yang bersifat kontinyu dan terikat oleh rasa identitas

bersama (Koentjaraningrat, 1987: 146-147). Menurut Poerwadarminta (1976: 636)

masyarakat merupakan pergaulan hidup, sehimpunan orang yang hidup bersama

disuatu tempat dengan ikatan-ikatan atau aturan tertentu. Dapat dikatakan bahwa

masyarakat merupakan suatu perkumpulan manusia yang hidup bersama di suatu

tempat secara turun menurun dan terdiri atas golongan-golongan.

Masyarakat yang menggunakan bahasa yang relatif sama dan penilaian`

yang sama terhadap norma-norma sertatopemakaian


commit user bahasa yang dipergunakan

dalam suatu masyarakat itu, dapat dikatakan dengan masyarakat bahasa. Menurut
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

Harimurti Kridalaksana (2008: 134) masyarakat bahasa yaitu kelompok orang

yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam

kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standar yang sama. Dengan

adanya bahasa, maka masyarakat dapat memberikan istilah-istilah nama bangunan

di kompleks Pura Mangkunegaran.

F. Data dan Sumber Data

1. Data Penelitian

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993: 3). Data adalah bahan

penelitian yang bisa berupa dokumen pribadi, data tulis, catatan lapangan, tuturan,

dokumen, dan lain-lain. Data dalam penelitian ini berupa data lisan dan data tulis.

Data lisan sebagai data primer yaitu berupa tuturan dari informan tentang istilah-

istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran, sedangkan data tulis

sebagai data sekunder yaitu buku-buku yang berkaitan dengan penelitian sebagai

data pendukung. Data lisan istilah-istilah yang ditemukan pada nama bangunan di

kompleks Pura Mangkunegaran adalah :

1. Bale kencur [bale kəncƱr]

2. Bale peni [bale pεni]

3. Bale warni [bale warni]

4. Dalem ageng [daləm agəŋ]

5. Gedhong wireng [gəDɔŋ wirεŋ]

6. Karti pura [karti purɔ]

7. Kasatriyan [kasatriyan]

8. Langen praja [laŋen prɔjɔ]


commit to user
9. Mandra pura [mɔndrɔ purɔ]
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

10. Pacaosan [pacaɔsan]

11. Pakretan [pakretan]

12. Pamedan [pamədan]

13. Panti putra [panti putrɔ]

14. Panti putri [panti putri]

15. Pendhapa ageng [pənDɔpɔ agəŋ]

16. Petanen [pətanɛn]

17. Pracima sana [pracimɔ sɔnɔ]

18. Prangwedanan [praŋwədanan]

19. Pringgitan [priŋgitan]

20. Purwa sana [pƱrwɔ sɔnɔ]

21. Reksa busana [rəksɔ busɔnɔ]

22. Reksa hastana [rəksɔ hastɔnɔ]

23. Reksa pradipta [rəksɔ pradiptɔ]

24. Reksa pura [rəksɔ purɔ]

25. Reksa pustaka [rəksɔ pustɔkɔ]

26. Reksa sunggata [rəksɔ suŋgɔtɔ]

27. Reksa wahana [rəksɔ wahɔnɔ]

28. Reksa warastra [rəksɔ warastrɔ]

29. Reksa wilapa [rəksɔ wilɔpɔ]

30. Senthong [sənTɔŋ]

2. Sumber Data

commit to
Sumber data adalah si penghasil user
atau si pencipta bahasa yang sekaligus

tentu saja si penghasil atau pencipta data yang dimaksud, biasanya disebut dengan
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

narasumber (Sudaryanto, 1990: 35). Sumber data dalam penelitian istilah-istilah

nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran yaitu berasal dari informan

yang terpilih dan memiliki kriteria yang telah ditentukan.

Informan dalam penelitian ini ada dua, yaitu informan inti dan informan

pendukung. Informan inti adalah (1) kerabat Pura Mangkunegaran yang

mengetahui seluk-beluk bangunan Pura Mangkunegaran yaitu RM. Budi

Pujihastono dan R.Ay. Ng. Th. Amani Pudjiastuti , (2) informan pendukung yaitu

abdi dalem Pura Mangkunegaran yaitu R.Ngt.Ng. Dra. Darweni, M.Hum. dan KP.

Widijatmo Sontodipura.

Kriteria informan dalam penelitian ini adalah :

a. Penutur bahasa Jawa asli.

b. Orang yang paham terhadap budaya Jawa dan memiliki pemahaman

tentang istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran.

c. Umur kurang lebih 40 tahun.

d. Memiliki waktu yang cukup untuk diwawancarai.

e. Memiliki alat ucap yang lengkap dan sempurna.

f. Sehat jasmani dan rohani.

Informan yang dimintai keterangan adalah :

a. RM. Budi Pujihastono, sebagai kerabat Pura Mangkunegaran.

b. R.Ngt.Ng. Dra. Darweni, M.Hum. sebagai staf perpustakaan Reksa

Pustaka dan dosen Akademi Seni Mangkunegaran Surakarta.

c. KP. Widijatmo Sontodipura sebagai sumber sejarah perpustakaan Reksa

Pustaka Mangkunegaran.

d. R.Ay. Ng. Th. Amani Pudjiastuti staf perpustakaan Reksa Pustaka


commit to user
Mangkunegaran.
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

G. Metode dan Teknik

1. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian dalam penelitian ini yaitu penelitian deskriptif kualitatif.

Penelitian deskriptif kualitatif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk

mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap,

persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Dalam penelitian

kualitatif data yang dikumpulkan berbentuk kata bukan angka, yang selanjutnya

diolah dengan cermat sehingga menghasilkan penafsiran yang objektif. Istilah

deskriptif diartikan memberi gejala bahasa secara cermat dan teliti berdasarkan

fakta kebahasaan yang secara empiris hidup pada penuturnya.

Menurut Edi Subroto (1992: 7) deskriptif kualitatif adalah peneliti yang

mencatat dengan teliti dan cermat data berwujud kata-kata, kalimat-kalimat,

wacana, gambar-gambar, foto, catatan harian, memorandum, video-tape.

Penelitian deskriptif kualitatif mempunyai dua tujuan utama yaitu pertama

menggambarkan serta mengungkapkan istilah-istilah nama bangunan di komplek

Pura Mangkunegaran dan kedua menggambarkan serta menjelaskan istilah-istilah

nama bangunan di komplek Pura Mangkunegaran.

2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis dan

menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2008: 136). Dalam

penyediaan data, peneliti menggunakan metode cakap (wawancara).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

a. Metode Cakap ( Wawancara)

Metode cakap yaitu percakapan dan terjadi kontak antara peneliti

penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1993: 137). Teknik dasar dalam

penelitian ini adalah teknik pancing dan teknik lanjutannya adalah teknik cakap

semuka, teknik rekam dan teknik catat yang akan diuraikan di bawah ini :

1) Teknik Pancing

Teknik pancing digunakan untuk memancing data dan informan.

Untuk mendapatkan data pertama-tama peneliti harus dengan segenap

kecerdikan dan kemampuan memancing seseorang atau beberapa orang agar

berbicara mengenai istilah-istilah nama bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran.

2) Teknik Cakap Semuka

Teknik cakap semuka digunakan pada saat pemancingan dengan

bersemuka atau tatap muka secara langsung. Dalam hal ini percakapan

dikendalikan oleh peneliti dan diarahkan sesuai dengan kepentingan untuk

memperoleh data selengkap-lengkapnya. Teknik ini digunakan karena untuk

menghindari kekurangan pemahaman informan terhadap pertanyaan.

3) Teknik Rekam

Teknik rekam dilakukan dengan merekam penggunaan bahasa oleh

penutur bahasa Jawa dengan menggunakan alat rekam dengan tujuan agar

transkripsi fonetisnya lebih tepat. Teknik ini untuk menjaga apabila terjadi

kesalahan pada waktu mendengarkan, teknik rekam ini juga bisa diputar

berulang-ulang sehingga peneliti dapat cepat memahami tentang istilah-

istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

4) Teknik Catat

Teknik catat dilakukan dengan cara mencatat hal-hal yang diperlukan

dari suatu peristiwa yang terjadi. Pencatatan dapat dilakukan pada waktu

pengamatan atau segera setelah pengamatan berlangsung. Hal ini dilakukan

agar hal-hal yang penting sehubungan dengan peristiwa tutur yang sedang

diamati ini tidak terlupakan atau terlewatkan.

3. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yang berjudul “Istilah-

istilah Nama Bangunan di Kompleks Pura Mangkunegaran” adalah metode

ditribusional dan metode padan. Kedua metode ini digunakan dalam upaya

menemukan kaidah pada tahap analisis data, berikut penjelasannya :

1) Metode distribusional

Metode distribusional dapat juga disebut dengan metode agih. Metode

ini adalah metode analisis data yang penentunya unsur dari bahasa yang

bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto,1993: 15). Metode ini digunakan untuk

menganalisis bentuk dari istilah nama bangunan di kompleks Pura

Mangkunegaran yang berbentuk polimorfemis dan monomorfemis.

Teknik yang digunakan adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL).

Teknik ini digunakan untuk membagi satuan bagian yang langsung

membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto,1993: 31). Teknik

Bagi Unsur Langsung (BUL) digunakan untuk menganalisis bentuk istilah

nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran, apakah berbentuk

monomorfemis atau polimorfemis.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

2) Metode Padan

Metode padan adalah metode analisis data yang penentuannya di luar,

terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (language) yang bersangkutan

(Sudaryanto, 1993: 13). Berdasarkan alat penentunya metode padan

dibedakan menjadi lima sub jenis diantaranya yaitu:

i. Metode referensial yaitu metode yang alat penentunya ialah kenyataan

yang ditunjukkan oleh bahasa atau referent bahasa.

ii. Metode fonetis artikulatoris dengan alat penentu organ pembentuk bahasa

atau organ wicara.

iii. Metode translational dengan alat penentunya bahasa lain atau langue lain.

iv. Metode ortografis yaitu metode dengan alat penentunya perekam dan

pengawet bahasa yaitu tulisan.

v. Metode pragmatis yaitu metode yang alat penentunya orang yang menjadi

mitra wicara.

Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, metode yang digunakan

adalah metode referensial. Metode referensial digunakan untuk menganalisis

makna leksikal dan makna gramatikal serta makna kultural dari istilah-

istilah nama bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran.

Adapun penerapan kedua metode analisis data yang dipakai sebagai

berikut :

a) Pringgitan [priŋgitan]

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

Pringgitan berasal dari kata ringgit. Makna leksikal dari ringgit

menurut Prawiroatmojo (1981: 145) adalah wayang. Makna gramatikal dari

pringgitan adalah bangunan di Kompleks Pura Mangkunegaran yang

digunakan sebagai tempat untuk melakukan pertunjukkan wayang kulit dan

untuk menerima tamu resmi kenegaraan yang terletak di antara pendhapa

ageng dan dalem ageng. Makna kultural dari pringgitan adalah manusia harus

bisa membedakan kebaikan dan keburukan sehingga manusia dapat memilih

jalan yang benar di dalam hidupnya. Seperti dalam ungkapan “becik ketitik

ala ketara”. Ungkapan tersebut berarti kebenaran pasti suatu saat akan terlihat

dan keburukan yang disembunyikan sekalipun suatu saat juga pasti akan

ketahuan (Wawancara, 18 Maret 2015).

b) Bale peni [bale pɛni]

Makna leksikal dari bale menurut Prawiroatmojo (1993: 24) adalah balai,

sedangkan peni adalah (1) indah, (2) bagus, (3) cantik (Purwadi, 2004: 110).

Makna gramatikal dari bale peni adalah


commit to balai
user atau bangunan di kompleks Pura
Mangkunegaran yang digunakan sebagai tempat tinggal atau kediaman pribadi
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

Mangkunegara dan putra laki-lakinya. Makna kultural dari balai peni adalah

seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan harus memiliki kewibawaan.

Seorang pemimpin dapat menjaga kewibawaannya dengan bersikap adil dan

bijaksana sehingga akan ditaati dan dihormati oleh bawahannya.

4. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil penelitian ini menggunakan metode deskriptif

yaitu informal dan formal. Metode deskriptif merupakan metode yang semata-

mata hanya berdasarkan pada fakta dan atau fenomena-fenomena secara empiris

hidup pada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993: 62)

Metode deskriptif informal yaitu perumusan dengan kata-kata biasa atau

sederhana agar dapat mempermudah pemahaman kita terhadap hasil penelitian.

Sedangkan metode deskriptif formal adalah perumusan yang menggunakan tanda-

tanda atau lambang-lambang (menggunakan dokumentasi yang berupa foto

sebagai lampiran dalam hasil penelitian).

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, batasan masalah, teori, data dan sumber data, metode dan teknik, dan

sistematika penulisan.

Bab II Pembahasan, bab ini merupakan analisis dari pembahasan bentuk, makna

leksikal dan makna gramatikal, serta makna kultural dari istilah-istilah nama

bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran.

Bab III Penutup, bab ini berisi kesimpulan dan saran.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai