Anda di halaman 1dari 8

MAKNA BANGUNAN GAPURA MASJID AGUNG KRATON SURAKARTA

Teguh Nur Karim


181221077
Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
Institut Agama Islam Negeri Surakarta
teguhnurkarim@gmail.com

ABSTRAK

Masjid merupakan produk budaya yang terkait sistem ide dan aktifitas masyarakat. Secara fisik,
Bentuk Masjid Agung Surakarta didasari oleh pandangan hidup yang berakar pada kepercayaan
masyarakat penghuninya, yang memiliki keyakinan agama Islam-Jawa yang berkaitan dengan
Hindu-Budha. Secara khusus, penelitian ini bertujuan (1) melakukan identifikasi dan
menganalisis unsur-unsur arsitektur bangunan gapura Masjid Agung Surakarta, (2) menganalisis
makna unsur-unsur arsitektur bangunan gapura Masjid Agung Surakarta, (3) menelusuri dan
menganalisis nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam makna bentuk dan struktur
unsur-unsur arsitektur bangunan gapura Masjid Agung Surakarta. Penelitian ini menggunakan
metode pengumpulan data mengunakan observasi, wawancara dan studi dokumentasi. untuk
menemukan arti/ pesan melalui tanda-tanda yang didapat pada unsur-unsur arsitektur bangunan
gapura Masjid Agung Surakarta. Hasil yang diperoleh menjelaskan bahwa (1) Gapuro
merupakan akses utama kedalam area Masjid Agung Surakarta, yang diambil dari bahasa Arab
yaitu ghofuro yang artinya keadaan yang telah diampuni oleh Allah atas dosa-dosa, (2) Terdapat
tiga pintu masuk pada gapura utama kompleks masjid Agung Surakarta (3) Pembangunan
gapura utama mengacu gaya arsistektur Persia itu selesai pada tahun 1901.

Keyword : Gapura, Masjid Agung, Budaya Jawa, Islam, Surakarta

PENDAHULUAN

Kota Surakarta, berdasarkan sejarahnya selain merupakan salah satu di antara kota-kota
pusat pemerintahan di Pulau Jawa pada masa Mataram-Islam, juga bekas istana (Darsiti
Suratman, 2000) atau kota negara (A. Bagoes P. Wiryomartono, 1995) bagi raja Mataram.
Istana atau Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang didirikan pada tahun 1746 oleh
Susuhunan (Sunan) Paku Buwono (PB) II ini bertempat kedudukan pemerintahannya di Keraton
Surakarta yang berlokasi di desa Sala (R.M. Sajid, 1983). Pada tahun 1755 Keraton Surakarta
dipecah menjadi dua (palihan nagari), menjadi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang
dikemudian hari menjadi kota Surakarta dan Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
yang di kemudian hari menjadi kota Yogyakarta. Selanjutnya Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat dipecah lagi menjadi dua bagian: Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (di
bagian selatan kota Surakarta) dan Pura Mangkunegaran (di bagian utara kota). Tata ruang kota
Surakarta merupakan kota tradisional Mataram-Islam disusun dari empat komponen: Keraton,
Alun-Alun, Masjid, dan Pasar yang disebut Catur Tunggal, disusun berdasarkan konsep
kosmogoni dengan orientasi pada sumbu Utara-Selatan dan Timur-Barat. Sumbu Utara-Selatan
merupakan sumbu utama, pada sumbu inilah terdapat jalan Jenderal Sudirman.Dalam

1
perkembangannya pusat kota lama Surakarta khususnya pada jalan Jenderal Sudirman dibangun
oleh Belanda, bangunan-bangunan yang sampai saat ini masih ada: Benteng Vastenburg, Bank
Indonesia De Javasche Bank, dan Gereja Katolik St. Antonius. Selanjutnya juga dibangun
bangunan baru setelah tahun 1945 seperti: Balaikota Surakarta, Bank BNI, Bank Danamon,
Bank Bukopin, Bank Indonesia (BI) baru, dan lain-lain. Sedangkan jalan Slamet Riyadi
merupakan jalan utama kota Surakarta, jalan ini mengarah Timur-Barat tegak lurus pada jalan
Jenderal Sudirman, dan merupakan jalan untuk mencapai dari luar kota menuju pusat kota
Surakarta. Sepanjang jalan Slamet Riyadi banyak dibangun bangunan-bangunan baru, yang
berfungsi untuk komersial seperti hotel dan pusat perbelanjaan. Untuk mengetahui
perkembangan bangunan baru khususnya yang berada di Jalan Slamet Riyadi, perlu dilalukan
penelitain tentang sikap bangunan baru terhadap karakter arsitektur lokal di kota Surakarta 1.
Masjid Agung Surakarta merupakan salah satu simbol keislaman di kasunanan Surakarta.
Tinggunya kesadaran religious Raja dan masyarakat pada saat itu membuat perkembangan
agama Islam dan pengelola masjid sebagai cahaya terang semakin meningkat, ditambah dengan
masyarakat Hindu dan Budha yang banyak berpindah menjadi agama Islam.

Masjid Agung Surakarta pada masa lalu merupakan Masjid Agung Negara Keraton
Surakarta Hadiningrat, segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan dan masjid juga
dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan. Semua pegawai pada
Masjid Agung merupakan abdi dalem Keraton, dengan gelar dari keratin misalnya Kanjeng
Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranon (penghulu) dan Lurah Muadzin. Masjid Agung
dibangun oleh Sunan Paku Buwono III tahun 1763M atau 1689 tahun jawa dan selesai pada
tahun 1768. Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 meter persegi yang
dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling sekitar 3,25 meter. Bangunan
Masjid Agung Surakata keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan
berpuncak mustaka. 2

METODE PENELITIAN

Penelitian kualitatif merupakan salah satu metode penelitian yang bersifat deskriptif dan
cenderung mencari sebuah makna dari data yang didapatkan dari hasilsebuah penelitian. Metode
ini biasanya digunakan seseorang ketika akan meneliti terkait dengan masalah sosial dan
budaya. Menurut Sugiyono (2017) mengatakan bahwa metode penelitian kualitatif sering
disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang masih
alamiah (natural setting).

Penelitian ini mengambil sikap atas makna berdasarkan konteksnya yang disebut
sebagai refrensi yaitu jurnal-jurnal yang relevan, sejarah, dan data pendukung seperti
wawancara oleh pengurus masjid agung Surakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu observasi,wawancara, dan dokumentasi. Data dalam penelitian ini
bersifat kualitatif yaitu digunakan teknik analisis data kualitatif. Secara khusus menggunakan
analisis interaktif yang mencakup tiga alur terpadu yaitu redukasi data, penyajian data,
penarikan simpulan.

1
Djumiko. Agustus 2016.” SIKAP BANGUNAN BARU DALAM MEWUJUDKAN KARAKTER
ARSITEKTURAL KOTA SURAKARTA”.hlm 1-2
2
Adityaningrum, Dewi.2019. ”POLA TATA RUANG MASJID KERAJAAN DI SURAKARTA”. Jurnal
SENTHONG. hlm 841

2
Metode studi kasus yang digunakan adalah metode dari Yin,2008 yang mengungkapkan
bahwa terdapat enam bentuk pengumpulan data dalam studi kasus yaitu: (1) dokumentasi; (2)
rekaman arsip; (3) wawancara biasanya bertipe open-ended; (4) observasi langsung; (5)
observasi partisipan dan (6) perangkat fisik atau kultural. Kemudian, dalam analisis data
terdapat empat bentuk analisis data beserta interpretasinya dalam penelitian studi kasus, yaitu:
(1) pengumpulan kategori; (2) interpretasi langsung, (3) peneliti membentuk pola dan mencari
kesepadanan antara dua atau lebih kategori. (4) pada akhirnya, peneliti mengembangkan
generalisasi naturalistik melalui analisa data. 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. MASJID AGUNG SURAKARTA

Tidak lama setelah pusat kerajaan Kartasura dipindahkan ke Surakarta pada 17 Februari
1745 M atau 14 Suro tahun 1670 Saka, maka12 tahun kemudian sebuah masjid resmi yang
didirikan oleh kerajaan mulai dibangun. Letaknya tidak begitu jauh dari istana,yaitu disebelah
barat alun-alun utara, menghadap ke timur. Untuk mudahnya ditirulah bentuk bangunan yang
mirip MasjidAgungDemakyangdidirikan oleh para Wali penyiar Agama di Jawa. Menurut
Adnan Basit Bangunan Masjid Agung Surakarta itu berbentuk ”Tajuk” ialah bangunan klasik
dengan atap bersusun tiga. Pada masa lalu Masjid Agung Surakarta merupakan Masjid Agung
Negara. Semua pegawai pada masjid agung merupakan abdi dalem keraton,dengan gelar dari
keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom(penghulu) dan lurah
muadzin. Masjid agung dibangun oleh PBIII tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.Masjid
agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180m² yang dipisahkan oleh lingkungan sekitar
dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan masjid agung surakarta secara
keseluruhan merupakan bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka.

* Gambar Masjid Agung Surakarta diambil Observasi hari pertama

3
Adityaningrum, Dewi.2019. ”POLA TATA RUANG MASJID KERAJAAN DI SURAKARTA”. Jurnal
SENTHONG. hlm 840

3
B. GAPURA MASJID AGUNG SURAKARTA

Gapura utama adalah gerbang utama yang mempertemukan kompleks Masjid Agung
Surakarta dengan kawasan Alun-Alun Kraton Surakarta. Terletak di sisi timur kompleks,
membujur utara-selatan. Terdapat tiga pintu masuk pada gapura utama kompleks Masjid Agung
Surakarta. Gerbang utama yang bisa ditemui saat ini bergaya arsistektur pintu gerbang utama
Persia hasil perombakan Sunan Paku Buwana X yang memerintah pada tahun 1893-1939.

Pembangunan gapura utama mengacu gaya arsistektur Persia saat itu selesai pada tahun
1901. Gapura tersebut berbahan batu bata dengan ketebalan 2,35 yang terbagi tiga bagian,
bagian tengah merupakan pintu masuk yang paling besar mempunyai lebar 3,75m dan dapat
diapit oleh kedua pintu di sisi utara dan selatan yang masing-masing mempunyai lebar 2,25m.
Gerbang utama bisa ditemui saat ini bergaya arsitektur Persia.

Pada gerbang utama ini terdapat beberapa simbol-simbolberupa relief dari panil kayu.
Simbol-simbol tersebut diatas masing-masing pintu. Pada bagian atas pintu tengah terdapat
relief dari kayu yang memgambarkan bumi, bulan, bintang dan matahari dengan mahkota raja di
atasnya. Pintu pengapitsisi utara terdapat panil kayu berhias relief huruf arab, terbaca latinnya
sebagai berikut “Allahumaghfirlana zunubana waftahlana abwaba rahmatika,
Allahumaghfirlana zunubana waftahalana abwana fadhlika. Pada pintu pengapit sisi selatan
terdapat pula relief huruf arab yang terbaca latinnya “ Rabbi adkhilni mudkhalla shidqin
wa’akhrijni mukhraja shidqin waj’alli milladunka shulthana nashira.

*Gambar gapura Masjid Agung nampak dari dalam. Diambil observasi hari kedua

Pada masa lalu gapuro utama bentuknya tidaklah seperti yang dilihat sekarang ini,
berdasarkan hasil wawancara bahwasanya gapura ini telah mengalami pembongkaran pada
masa Sunan Paku Buwana X. Pada dasarnya gapura berasal dari bahasa arab ghofuro yang
berarti pengampunan. Gapura ini juga digunakan untuk menjadi salah satu cara walisongo untuk
mengislamkan masyarakat sekitar yang masih beragama hindu-budha. Yaitu dengan
menggunakan metode perantara musik yang berada dibalik gapura Masjid Agung Surakarta,
didalamnya diadakan sebuah perayaan sekaten dengan menggunakan alat-alat musik khas jawa

4
setelah gemelan ditabuh kemudian banyak masyarakat sekitar yang penasaran dan lalu
mendatangi sumber suara musik gamelan jawa tersebut. Dan di depan gapura tersebut sudah ada
penjaganya untuk menghimbau masyarakat sekitar apabila ingin mendengarkan atau “ngelaras”
dalam bahasa jawa diwajibkan memenuhi sayarat untuk bisa masuk yaitu harus mengucapkan
kalimat syahadat terlebih dalulu. Kemudian metode-metode ini ditiru oleh para raja-raja jawa
mataram islam dahulu untuk mengislamkan rakyatnya. Sekarang gapura sudah tidak memiliki
fungsi sebagai dulu namun kini sebagai gerbang utama masjid, dahulu bentuk gapura tidaklah
seperti, dahulu orang orang jawa menyebutnya semar pinangu.

C. BANGUNAN GAPURA MASJID AGUNG SURAKARTA

Bangunan gapura ini pada awalnya berbentuk limasan, kemudian pada masa
pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana X diganti dengan bangunan berbentuk arsitektur
Persia. Gapura Gapura masjid Agung Surakarta selesai dibangun pada tanggal 6 Mulud 1831
tahun Je atau 1901 Masehi. Pembangunan gapura ini menghabiskan dana 100.000 gulden.
Berukuran panjang ± 25 meter, tinggi ± 10 meter, dengan ketebalan ± 2 meter. Posisinya
membujur dari utara ke selatan sejajar dengan tampak depan masjid 4. Gapura ini menjadi akses
utama ke area masjid selain 2 (dua) gapura di sisi selatan yang merupakan akses dari pasar
Klewer dan sisi utara yang merupakan akses dari kampung Kauman. Gapura ini dihubungkan
dengan gapura di sisi utara dan selatan dengan pagar dinding batu bata setinggi 2,5 meter.
Gapura ini juga berfungsi membatasi area halaman masjid dengan area luar, dimana dapat
dilihat dari adanya 3 (tiga ) akses pintu yang dilengkapi dengan daun pintu berupa teralis besi.
Fisik bangunan dibuat dari batu bata yang kokoh dengan finishing cat tembok warna krem tidak
bertekstur. Di atas pintu utama terdapat relief simbol Kraton Kasunanan Surakarta yang terbuat
dari besi, sedangkan di atas dua pintu samping terdapat kaligrafi bertuliskan do’a masuk dan
keluar dari masjid. Pada bagian atas terdapat jam dinding dengan dikelilingi relief bintang.
Sedangkan pada tiap pilar, puncaknya dibuat dengan bentuk kuluk (topi) dan buah keben
terbalik.

Sementara gapura yang menghadap ke alun-alun utara mengingatkan kita pada gerbang-
gerbang gaya Persia. Diatas pintu gerbang utama terdapat hiasan tempel berbentuk bulat telur
dari kayu ukiran yang menggambarkan bulan, bintang, matahari dan bumi sebagai lambang
Keraton Kasunanan Surakarta yang berarti keraton sebagai pemersatu alam. Gerbang
merupakan pintu masuk ke komplek Masjid, dibuat dari dinding batu bata, dengan lubang pintu
masuk berjumlah tiga buah. Pintu masuk ini berbentukpelengkung lancip/patah seperti pada
pelengkungarsitektur Masjid yang ada di Kairo-Mesir, atau mirip pelengkung lancippada
Arsitektur Gothik di Eropa. Pada bagian tengah atas/puncak terdapat bentuk Mahkota dan jam
pada bagian tengahnya, serta dilengkapiempat kubah dengan bentuk parabolic dome. Desain
gerbang semacam ini mengadopsi dari arsitektur luar (Arab dan sekitarnya) yang dipadukan
dengan ciri lokal (Mahkota).

Bangunan Utama Masjid terdiri dari dua ruang, meliputi serambi/pendopo merupakan
ruang tanpa dinding/terbuka, dan ruang sholat utama di bagian dalam bersifat tertutup dengan
4
Yuniati,Lilis.2017.”Pengaruh Kepemimpinan Keratonpada Arsitektur Masjid Agung Surakarta”.
SEMINAR HERITAGE IPLBI. Hlm A452

5
dinding dilengkapi dengan pintudan jendela. Bangunan serambi/pendopo, denahnya berbentuk
segi empat, atap berbentuk joglo susun tiga. Konstruksinya menggunakan tradisional, dibuat
dari kayu, penutup atap menggunakan sirap kayu. Bangunan ruang sholatutama, denah
berbentuk bujur sangkar, atap berbentuk tajug susun tiga. Konstruksinya menggunakan
tradisional, dibuat dari kayu, penutup atap menggunakan sirap kayu. Dengan demikian, desain
Masjid Aggung menggabungkan arsitektur luar (Arab dan sekitarnya) pada gerbang, dan
Arsitektur Tradisinal Jawa pada bangunan utama (serambi/pendopo dan ruang sholatutama).

Dalam istilah Jawa pintu gerbang biasa disebut dengan gapura. Orang Jawa
memberikan arti dengan gapura ditranskrip dengan bahasa Arab 'ghafura' (Al-gaffar) yang
berarti Yang Maha Pengampun. Dengan demikian dapat dipersepsikan gapura manakala
seseorang telah memasuki suatu tempat/area/kawasan/wilayah yang didapatkan tidak lain adalah
kesenangan, kegembiraan, kenyamanan, dan seluruh rasa yang memberikan ketenangan batin.
Terlepas semua rasa kegelisahan, ketidaknyamanan, dan perasaan khawatir yang dapat
membawa rasa tidak nyaman5. Umumnya bangunan masjid dan bangunan peninggalan masa
lalu juga dilengkapi dengan gapura di gerbang masuknya. Tak hanya masjid dan bangunan-
bangun lainnya di kota-kota besar di dunia, tapi juga masjid-masjid dan bangunan yang ada di
Indonesia.
Fungsi Gapura ini adalah sebagai gerbang utama yang mempertemukan kompleks
Masjid Agung Surakarta dengan kawasan Alun-alun Keraton Surakarta. Gapura ini bergaya
arsitektur Pintu Gerbang Utama Persia hasil perombakan Sultan Pakubuwana X. Pada gapura
terdapat 3 pintu, di mana setiap pintu terdapat beberapa simbol. Pada pintu tengah terdapat
relief dari kayu yang menggambarkan bumi, bulan, matahari dan bintang dengan mahkota raja
di atasnya. Sementara itu pintu pengapit sisi utara dan selatan terdapat panil kayu berhias relief
Arab. Gapura berasal dari bahasa Arab yang berarti “Ghafura” yang memiliki arti Tempat
pengampunan, dimana bisa digambarkan bahwa pintu kematian dapat terbuka kapan saja.
sehingga ketika kita membuka pintu ini (Gerbang) umat muslim terpanggil untuk melakukan
ibadah serta dapat berdo’a di dalam masjid ini.

5
Purnengsih,Iis , Kholisya, Umi.Maret 2019.” Representasi Kosmologi Jawa Pada Gapura Kontemporer
Di Desa-Desa Kabupaten Karanganyar”. Cakrawala-Jurnal Humaniora, Vol 19 No. 1.hlm 113

6
*Gambar lambang pada tengah gapura ketika dizoom

KESIMPULAN

Pada masa lalu Masjid Agung Surakarta merupakan Masjid Agung Negara. Semua pegawai
pada masjid agung merupakan abdi dalem keraton,dengan gelar dari keraton misalnya Kanjeng
Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom(penghulu) dan lurah muadzin. Masjid agung
dibangun oleh PBIII tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.Masjid agung merupakan
kompleks bangunan seluas 19.180m² yang dipisahkan oleh lingkungan sekitar dengan tembok
pagar keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan masjid agung surakarta secara keseluruhan
merupakan bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka.

Pada dasarnya gapura berasal dari bahasa arab ghofuro yang berarti pengampunan. Gapura ini
juga digunakan untuk menjadi salah satu cara walisongo untuk mengislamkan masyarakat
sekitar yang masih beragama hindu-budha. Yaitu dengan menggunakan metode perantara musik
yang berada dibalik gapura Masjid Agung Surakarta, didalamnya diadakan sebuah perayaan
sekaten dengan menggunakan alat-alat musik khas jawa setelah gemelan ditabuh kemudian
banyak masyarakat sekitar yang penasaran dan lalu mendatangi sumber suara musik gamelan
jawa tersebut. Dan di depan gapura tersebut sudah ada penjaganya untuk menghimbau
masyarakat sekitar apabila ingin mendengarkan atau “ngelaras” dalam bahasa jawa diwajibkan
memenuhi sayarat untuk bisa masuk yaitu harus mengucapkan kalimat syahadat terlebih dalulu.
Kemudian metode-metode ini ditiru oleh para raja-raja jawa mataram islam dahulu untuk
mengislamkan rakyatnya. Sekarang gapura sudah tidak memiliki fungsi sebagai dulu namun
kini sebagai gerbang utama masjid, dahulu bentuk gapura tidaklah seperti, dahulu orang orang
jawa menyebutnya semar pinangu.

DAFTAR PUSTAKA

Purnengsih,Iis , Kholisya, Umi.Maret 2019.” Representasi Kosmologi Jawa Pada Gapura


Kontemporer Di Desa-Desa Kabupaten Karanganyar”. Cakrawala-Jurnal Humaniora,
Vol 19 No. 1.hlm 113

Yuniati,Lilis.2017.”Pengaruh Kepemimpinan Keratonpada Arsitektur Masjid Agung


Surakarta”. SEMINAR HERITAGE IPLBI. Hlm A452

Adityaningrum, Dewi.2019. ”POLA TATA RUANG MASJID KERAJAAN DI SURAKARTA”.


Jurnal SENTHONG. hlm 840

Djumiko. Agustus 2016.” SIKAP BANGUNAN BARU DALAM MEWUJUDKAN KARAKTER


ARSITEKTURAL KOTA SURAKARTA”.hlm 1-2

Adityaningrum, Dewi.2019. ”POLA TATA RUANG MASJID KERAJAAN DI SURAKARTA”.


Jurnal SENTHONG. hlm 841

7
Yunianti, Esterica.2015.” ESTETIKA UNSUR-UNSUR ARSITEKTUR BANGUNAN
MASJID AGUNG SURAKARTA”. Journal of Arts Education, Vol 4 No.1 Hlm 15-23

Anda mungkin juga menyukai