Anda di halaman 1dari 20

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

OLEH :
Nama : Ni Putu Jayanti Putri Prasita
NIM : 1905521011
Kelas : A Reguler

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
BAB I
ORIENTASI UMUM

1. PENGERTIAN ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI DAN ARSITEKTUR BALI


a. Arsitektur Tradisional Bali
Arsitektur tradisional Bali adalah arsitektur yang diturunkan dari generasi ke generasi dan
menggunakan norma-norma baik yang tertulis maupun tidak.
b. Arsitektur Bali
Arsitektur Bali adalah arsitektur yang dipertahankan dan dikembangkan di Bali.
Arsitektur Bali mencakup arsitektur warisan (kuno), arsitektur tradisional Bali, dan
arsitektur non tradisional yang bergaya Bali.

2. UNSUR UNSUR ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI


a. Norma atau Peraturan Tradisional
 Peraturan Tertulis
-Asta Kosalaning Dewa : Peraturan untuk bangunan peribadatan.
-Asta Kosalaning Pakubon : Peraturan untuk bangunan pakubon.
-Asta Kosalaning Wong Pejah : Peraturan untuk bangunan kelengkapan orang
meninggal.
 Peraturan Tak Tertulis
-Petunjuk lisan para ahli seperti sulinggih yang didasarkan oleh pengalaman atau
hasil pengkajian teoritis.
-Petunjuk niskala terutama yang berkaitan dengan bangunan suci.
b. Ahli Bangunan Tradisional
 Sulinggih
 Undagi
 Sangging
 Tukang
3. SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
a. Arsitektur Zaman Prasejarah di Bali
Kehidupan manusia zaman prasejarah di Bali berpindah-pindah dan lebih
memanfaatkan goa dan pohon besar untuk tempat tinggal, sehingga sulit ditemukan
bentuk bangunan yang dihasilkan, Adapun bukti dari keberadaan manusia pada
zaman prasejarah di Bali dapat dilihat dari alat-alat perburuan dan beberapa hasil
karya yang ditemukan diantaranya:
Alat-alat berburu yaitu kapak perimbas, kapak genggam, pahat genggam,
serut, yang masih kasar dalam pembuatannya yang ditemukan di desa
Sembiran, Singaraja, dan di tepi sebelah timur dan tenggara Danau Batur
(Trunyan).
Di Gua Selonding desa Pecatu Kabupaten Badung ditemukan beberapa buah
alat-alat dari tulang dan kulit-kulit kerang sisa makanan. Alat-alat yang
ditemukan yakni tiga buah alat tusuk (lancipan Muduk), sudip tulang, alat
tusuk dari tanduk rusa, pecahanpecahan kulit kerang dan siput laut, dan gigi-
gigi binatang seperti gigi babi dan rusa yang diduga merupakan sisa-sisa
makanan penduduk. Pada umumnya alat-alat berukuran kecil.
Peninggalan-peninggalan yang berupa alat-alat batu dari masa bercocok tanam
ini ditemukan tersebar hampir di seluruh Bali. Seperti di Palasari, Kediri,
Bantiran, Pulukan, Kerambitan, Payangan, Ubud, Pejeng, Selulung, Kesiman,
Selat, Nusa Penida dan di beberapa desa di Bali Utara. Alat-alat tersebut yang
menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah Pulau Bali telah ditempati.
Sekarang, sejumlah alat-alat tersebut tersimpan di Museum Bali Denpasar dan
Museum Gedung Arca, Bedulu, Gianyar.
b. Perkembangan Arsitektur zaman Hindu di Bali
Perkembangan arsitektur yang bercorak Hindu di Bali tidak lepas dari
munculnya Kerajaan Bali yang dapat diketahui dari prasasti Blanjong (Sanur) yang
berangka tahun 914 M. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pranagari dan Kawi,
sedang bahasanya ialah Bali kuno dan Sanskerta. Raja Bali yang pertama ialah Sri
Kesari Warmadewa. Ia bertakhta di istana Singhadwala dan ialah raja yang
mendirikan Dinasti Warmadewa. Dari perkembangan Dinasti Warmadewa inilah
mulai menghasilkan karya arsitektur Hindu seperti :
Raja Jaya Singha Warmadewa (968-975). Raja ini membangun sebuah
pemandian dari sebuah mata air yang ada di Desa Manukaya. Pemandian itu
disebut Tirtha Empul yang terletak di dekat Tampaksiring.
Raja. Anak Wungsu mulai memerintah pada tahun 1049 M. Selama
pemerintahannya, ia meninggalkan 28 buah prasasti, di antaranya Prasasti
Gua Gajah, Gunung Penulisan, dan Sangit. Menurut pemberitaan prasasti-
prasasti tersebut, Anak Wungsu dicintai rakyatnya dan dianggap penjelmaan
Dewa Wisnu. Ia memerintah selama 28 tahun, sampai tahun 1077 M, dan
wafat pada tahun 1080 M dan dimakamkan di Candi Padas Tampaksiring.
Wujud Arsitektur yang terkait dengan kebudayaan Hindu di Bali antara lain:
Tempat pemujaan dan pertapaan - Sebagai tempat pemujaan Hindu Siwa-
Buddha yang dilengkapi juga dengan tempat pertapaan, yang pada awal
perkembangannya memanfaatkan goa dan tempat-tempat yang dianggap suci
dengan organisasi ruang yang masih sederhana.
Tempat pemandian suci - Sebagai tempat pemandian yang disucikan dan
dianggap mampu membersihkan jasmanai dan rohani manusia. - Penataannya
memanfaatkan mata air yang dianggap suci dengan penataan kawasan berupa
kolam dan bentuk berundag-undag.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah mengalami pengaruh Hindu dari Jawa
(Majapahit) dan Pendeta-Pendeta yang datang ke Bali, Arsitektur Hindu di Bali terus
berkembang. Perkembangan tersebut seperti hirarki ruang untuk kawasan suci Pura,
pemanfaatan bahan, kontruksi bangunan dan penataan lainnya.
Secara arsitektural pahatan Candi Gunung Kawi terdiri dari bagian kaki, badan
dan atap. Kaki candi terdiri dari batur berbentuk perbingkaian, badan atau tubuh dari
perbingkaian pintu semu dan lubang berfungsi sebagai sumuran tempat menyimpan
pedagingan, atap candi terdiri dari bentuk pelipit, menara atap dan puncak atap
berbentuk buah keben. Di depan pahatan 5 candi terdapat tangga dengan 15 anak
tangga serta halaman candi.
c. Karya Arsitektur Zaman Kebudayaan Islam di Bali
Bali mulai dimasuki pengaruh kebudayaan Islam pada sekitar abad XIII dan
XIV Masehi. Hal tersebut dapat dilihat dari arsitektur Islam yang mulai berkembang
di Bali terutama bangunan Masjid.Walaupun dalam masa tersebut masih dalam
bentuk yang sangat sederhana. Terus berkembangnya pengaruh dan kemajuan
peradaban dan juga teknologi yang datang dari pengaruh suku bangsa lain dari
seluruh dunia. Perubahan terus terjadi dalam wujud arsitektur masjid yang ada di
Bali. Tapi sebagai wujud toleransi antar agama Hindu dan Islam terwujud dari
akulturasi arsitektur dalam masjid di Bali terutama penggunaan ornament dan bentuk-
bentuk tertentu seperti Pintu masuk, gerbang dan lain-lain.
Masjid Gelgel merupakan masjid pertama yang ada di Bali yang pada awalnya
memiliki bentuk sederhana dari kontruksi tiang pohon kelapa, bambu dan atap
ilalang. Masjid ini didirikan atas ijin dari Raja Sri Kresna Kepakisan tahun 1357 M.
Masjid Agung Jamik Singaraja Masjid Agung Jamik Singaraja didirkan pada
tahun 1654 Masehi, yang pada awalnya berupa Sekepat sebagai tempat sembahyang
saudagar-saudagar Islam yang masuk ke Bali. Selanjutnya berkembang dan memiliki
Gapura dan Pintu Masuk Khas Bali yang merupakan pemberian Raja Buleleng I Gusti
Anglurah Ketut Jelantik VIII.
d. Karya Arsitektur Zaman Kolonial di Bali
Pengaruh Eropa dan Kolonial di Nusantara juga berimbas ke Bali. Orang
Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda
pada 1597. Dan belanda melalui kongsi dagangnya VOC masuk ke Bali pada 1840-
an. Secara umum pengaruh kolonial terhadap konsep arsitektur di Bali tidak
memberikan pengaruh yang berati terutama dalam konsep arsitektur rumah Bali dan
Tempat pemujaan / Pura Hindu di Bali. Pengaruh arsitektur Kolonial lebih kepada
konsep yang berkembang pada bangunan pemerintahan dan bangunan umum yang
berkembang dari pengaruh arsitektur gaya kolonial / Eropa.
Arsitektur Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau tradisional dalam
perencanaan dan pengembangan kota, permukiman dan bangunan-bangunan. Adanya
pencampuran budaya, membuat arsitektur kolonial di Indonesia menjadi fenomena
budaya unik yang jika diteliti memiliki perbedaan daerah satu dengan lainnya.
Arsitektur kolonial lebih banyak mengadopsi gaya neo-klasik, yakni gaya yang
berorientasi pada gaya arsitektur klasik Yunani dan Romawi. Ciri menonjol terletak
pada bentuk dasar bangunan dengan trap-trap tangga naik (cripedoma). Kolom-kolom
dorik, ionik dan corinthian dengan berbagai bentuk ornamen pada kapitalnya. Bentuk
pedimen, yakni bentuk segi tiga berisi relief mitos Yunani atau Romawi
Bentuk-bentuk tympanum (konstruksi dinding berbentuk segi tiga atau
setengah lingkaran) diletakkan di atas pintu dan jendela berfungsi sebagai hiasan.
Struktur dan Kontruksi Bangunan. Pengaruh Kolonial yang masuk ke Bali dalam
dunia struktur dan kontruksi menjadi pengetahuan baru dalam arsitektur Bali.
Penggunaan bahan bangunan yang memanfaatkan kolom/tiang dan balok beton yang
diadopsi untuk perkembangan arsitektur selanjutnya di Bali. Bangunan Kolonial yang
berkembang di Bali memiliki struktur yang simetris dan memiliki kontruksi yang
cenderung tinggi dan kontruksi atap miring.
Penggunaan ornament pada bangunan kolonial dapat dilihat banyak
menampilkan gaya Eropa seperti hiasan kolom atau tiang khas gaya Romawi.
Pemanfaatan variasi gawel / gable dan biasanya ada variasi tower pada bangunan.
Bentuk-bentuk tympanum (konstruksi dinding berbentuk segi tiga atau setengah
lingkaran) diletakkan di atas pintu dan jendela berfungsi sebagai hiasan. Dari
ornamen yang ada dari pengaruh bangunan dikulturasikan oleh undagi dan seniman
Bali dalam bentuk penerapan ukiran yang terinspirasi dari gaya belanda yaitu berupa
Patra Ulanda (Ukiran Patra Belanda).
Taman Ujung Soekasada dibangun pada tahun 1901 dengan nama kolam
Dirah, artinya kolam tempat pembuangan, bagi orang yang menguasai ilmu hitam.
Kemudian pada tahun 1909, raja Karangasem memerintahkan seorang arsitektur
Belanda, bernama Van Den Hentz dan arsitektur orang Tiongkok, bernama Loto Ang,
untuk mengembangkan kolam Dirah, menjadi tempat peristirahatan Raja
Karangasem. Pembangunan dari taman Ujung Soekasada, juga di bantu oleh
arsitektur orang Bali dari Kerajaan Karangasem. Hal tersebut menjadi sebuah
kulturasi senibangunan yang ada antara gaya Belanda / Eropa dan arsitektur Bali.
e. Arsitektur Zaman Kemerdekaan di Bali
Dalam perkembangan arsitektur di Bali dalam masa kemerdekaan
pembangunan Istana Tampak Siring menjadi tonggak monument pembangunnan
masa kemerdekaan di Bali. Nama Tampaksiring berasal dari dua buah kata bahasa
Bali, yaitu "tampak" dan "siring", yang masing-masing bermakna telapak dan miring.
Konon, menurut sebuah legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu
berasal dari bekas tapak kaki seorang raja yang bernama Maya Denawa. Istana ini
berdiri atas prakarsa Presiden Soekarno yang menginginkan adanya tempat
peristirahatan yang hawanya sejuk jauh dari keramaian kota, cocok bagi Presiden
Republik Indonesia beserta keluarga maupun bagi tamu-tamu negara. Arsitektur yang
diterapkan dalam bangunan Istana Tampak Siring di antaranya :
Istana Tampaksiring menonjolkan ciri keindonesiaan yang sangat kental, yaitu
terlihat dari penggunaan batu alam, pahatan-pahatan dan tiang-tiang kayu gaya
Bali dan keselarasan dengan alam lingkungan tercermin dari pemanfaatan bahan,
bentuk dan ornament bangunan yang ada. Pemakaian ornamen dan hiasan dalam
Istana Tampak Siring banyak menggunakan ornamen khas Bali seperti Gapura /
Pintu masuk istana dibuat dalam bentuk Candi Bentar Khas Bali, Ornamen
pahatan dan hiasan dalam pilar, dinding dan interior istana memakai motif khas
Bali.
Hiasan interior dan ruangan istana dilengkapi dengan hasil karya seniman-
seniman Bali ternama baik berupa Lukisan, Patung, Pahatan dan ornamen lainnya.
f. Perkembangan Arsitektur Zaman Modern di Bali
Perkembangan arsitektur yang sangat pesat di dunia juga berpengaruh pada
perkembangan arsitektur di Bali, terlebih Bali merupakan daerah tujuan wisata yang
sangat terkenal di Dunia. Hal tersebut menjadi salah satu tuntutan untuk menyediakan
fasilitas-fasilitas terkait dengan kepariwisataan khususnya akomodasi pariwisata.
Keadaan tersebut menjadi tonggak berkembangnya arsitektur moderen di Bali.
Peter Neil Muller adalah arsitek asing pertama yang mengembangkan
sepenuhnya konsep arsitektur Bali untuk fungsi baru yaitu hotel. Konsep Berkarya
Peter Muller Peter Muller adalah arsitek asing pertama yang mengembangkan
sepenuhnya konsep arsitektur Bali untuk fungsi baru yaitu hotel. Konsep dan dasar
pemikiran dalam berkarya dari seorang Peter Muler sangat memperhatikan kearifan
lokal yang ada. Muller sangat menghargai keberadaan arsitektur lokal dan dia mampu
menerjemahkan arsitektur lokal tersebut ke dalam karya yang lebih komplek baik
dalam fungsi dan bentuk. Muller secara intensif melakukan studi tentang arsitektur
Bali Konsep tersebut dituangkan dalam rancangan Matahari Hotel yang menjadi
sangat popular dengan keunikannya. Dalam karya-karya Muller selanjutnya banyak
berinteraksi dengan pendeta dan undagi lokal. Muller menerapkan prinsip-prinsip
arsitektur lokal dalam proyek-proyeknya.

4. BATASAN ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI YANG DITINJAU


a. Arsitektur yang masih dimanfaatkan dari generasi ke generasi
b. Diwujudkan dengan tata cara tradisional
c. Dengan atau tanpa peraturan tradisional
d. Dari berbagai masa
e. Tersebar di seluruh Bali

5. KLASIFIKASI FUNGSI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI


a. Bangunan Peribadatan
- Kahyangan Jagat
 Sad Khayangan (Pura Besakih, Batu Katu, Lempuyang, Goa Lawah,
Uluwatu, Pusarin Jagat)
 Dang Kahyangan (Pura Silayukti, Goa Lawah, Uluwatu, Batu Karu,
Rambut Siwi, Tanah Lot, dll)
- Tri Kahyangan
 Desa
 Puseh
 Dalem
- Swagina
- Kawitan
b. Bangunan Perumahan
- Griya : rumah bagawanta/sulinggih
- Puri : rumah untuk kepala wilayah
- Jro : rumah pejabat
- Umah : rumah rakyat biasa
c. Bangunan Sosial
- Bale desa
- Bale banjar
- Bale teruna/teruni
- Bale subak
- Pasar
- Beji

6. KAITAN ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI DENGAN PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU
a. Arsitektur warisan dilindungi dan dilestarikan
b. Arsitektur tradisional Bali dilindungi dan dirangsang
c. Arsitektur non tradisional Bali harus menampilkan karakter dan prinsip-prinsip
bentuk arsitektur tradisional Bali

BAB II
LANDASAN KEAGAMAAN

1. PUSTAKA SUCI AGAMA HINDU (WEDA) TERKAIT ARSITEKTUR BALI


A. Pustaka Suci Weda
Kata Weda berasal dari bahasa sanskerta dari akar kata wid, yang artinya mengetahui
sehingga Weda berarti sebuah buku mengenai pengetahuan suci agama. Bahasa yang
dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sanskerta. Nama sanskerta dipopulerkan oleh
maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sanskerta yang berjudul Astadhyayi yang
sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta. Maha Rsi
Manu membagi jenis Weda ke dalam dua kelompok besar, yaitu Weda Sruti dan Weda
Smriti.
a. Weda Sruti
Weda Sruti adalah kelompok Weda yang ditulis oleh para Maha Rsi melalui pendengaran
langsung dari Wahyu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kelompok Weda Sruti menurut
Bhagawan Manu merupakan Weda yang sebenarnya atau Weda Orisinil. Menurut sifat isinya
Weda ini dibagi atas 3 macam , antara lain :
- Bagian Mantram, terdiri dari empat himpunan (Samhita) yang disebut Catur Weda
Samhita, Yaitu : Rg. Weda, Sama Weda,Yajur Weda, Arthawa Weda
- Bagian Brahmana (Karma Kanda), agian Kedua yang terpenting dari kitab Sruti
adalah bagian yang disebut ‘Brahmana’ atau ‘Karma Kanda’ . Himpunan buku – buku ini
disebut Brahmana. Tiap – tiap mantra (Rg. Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa
Weda) memiliki Brahmana. Brahmana berarti doa. Jadi, kitab Brahmana adalah kitab
yang berisi himpunan doa – doa yang dipergunakan untuk keperluan upacara yadnya.
- Bagian Upanisad / Arnyaka (Jnana Kanda), Aranyaka atau Upanisad adalah himpunan
mantra – mantra yang membahas berbagai aspek teori mengenai keTuhanan.
b. Weda Smrti
Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan
atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis
besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok
Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.
- Kelompok Wedangga
Kata Wedangga, terdiri dari kata Weda dan Angga (bahasa sansekerta). Weda berarti
ilmu pengetahuan suci dan angga berarti bagian atau anggota. Kelompok ini disebut juga
Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu: Siksa (Phonetika),
Wyakarana (Tata Bahasa), Chanda (Lagu), Nirukta (Sinonim/Antonim), Jyotisa
(Astronomi), Kalpa (Ritual).
Diantara ke enam di atas ada dua bagian yang berkaitan dengan arsitektur, yakni
Jyotisa dan Kalpa. Jyotisa berisi tentang ilmu perbintangan termasuk pengaruh-
pengaruhnya terhadap kelahiran dan kehidupan. Pembangunan tradisional juga tergolong
suatu kegiatan untuk menciptakan atau melahirkan suatu bangunan. Sedangkan
kedudukan perbintangan atau benda-benda angkasa lainnya mempengaruhi sifat-sifat
kelahiran di Bumi, termasuk kelahiran karya arsitektur. Pengaruh perbintangan ini
dinyatakan dengan Wewaran, sasih,penanggal maupun pengelong, yang sangat
berpengaruh terhadat penentuan hari-hari baik dalam tahapan-tahapan proses
pembangunan tradisinal yang disebut dengan “ dewasa ayu”. Kalpa, mengandung segi-
segi upacara termasuk upacara yang berkaitan dengan proses pembangunan. Dalam
pembangunan tradisional, aspek upacara ini sangat berpengaruh dalam upaya
mewujudkan bangunan sesuai dengan tujuan.
- Kelompok Upaweda:
Adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga. Kelompok Upaweda
terdiri dari beberapa jenis, yaitu: Itihasa (epos), Purana (cerita kuno), Arthasastra
(pemerintahan), Ayur Weda (kesehatan), Gandharwaweda (seni).
Dari Gandharwaweda yang merupakan ilmu seni ini lahirlah pustaka arsitektur tradisional
bali yaitu Asta Kosala-Kosali.
B. Pustaka Arsitektur Tradisional Bali
Diambil dari kitab suci Smerti Kelompok ke dua yaitu Upaweda bagian ke lima
Gandarwa Weda (Seni).
1. Peraturan Tertulis
GANDARWA WEDA (SENI)

CILPA PRAKACA CILPA SASTRA

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI

• Hasta kosala : tentang bangunan suci dan kematian


• Hasta kosali : tentang bangunan tempat tinggal /
perumahan
• Hasta bumi : tentang tata letak bangunan
• Janantaka : tentang klasifikasi kayu untuk
bangunan
• Bhanakrtih : tentang upacara dalam proses
pembangunan
• Swa karma : tentang dharmaning undagi
Berdasarkan fungsinya rontal yang terkait dengan ATB dibedakan menjadi :
1. Astha Kosalaning Dewa : Peraturan untuk Bangunan peribadatan.
2. Astha Kosalaning Pakubon : Peraturan untuk bangunan pakubon.
3. Astha Kosalaning Wong Pejah : Peraturan Untuk bangunan kelengkapan orang
meninggal.

2. PENJIWAAN AGAMA HINDU DALAM ATB


A. Proses Pembangunan Tradisional
a. Upacara Keagamaan (sarana, mantera, rajah)
Beikut urutan upacara pembangunan :
 Nyakap Karang/Palemahan
 Membangun : 1.Nyukat Karang; 2.Upacara Nanem Dasar; 3.Pidabdab/ilen
 Memakuh
 Melaspas
b. Penentuan dimensi dan jarak (dewa-dewa Hindu)
c. Penentuan hari baik/dewasa ayu (Jyotisa)
B. Tata Ruang Dan Tata Letak Bangunan
a. Pola tri mandala dan sanga mandala (konsep tri loka dan dewata nawa sanga)

b. Pola Natah (perpaduan akasa dan pretiwi)


c. Orientasi hulu – teben
C. Wujud Bangunan
a. Nama-nama ukuran yang dipilih (bhatara asih, prabu anyakra negara, sanga padu
laksmi)
b. Simbol dan corak ragam hias (acintya, Kala, Boma, garuda-wisnu, angsa, dll)

3. HUBUNGAN ATB DENGAN TUJUAN HIDUP


Dalam ajaran agama Hindu ada sebuah sloka yang berbunyi "Moksartham
Jagathita ya ca iti Dharmah" yang artinya tujuan beragama adalah untuk mencapai
kebahagian abadi atau moksa. Yang kemudian dijabarkan dalam ajaran catur purusa artha.
Pengertian Catur Purusa Artha berdasarkan etimologi berasal dari kata catur yang berarti
empat, purusa yang berarti hidup, artha berarti tujuan. Catur purusa artha berarti empat tujuan
hidup sebagai manusia . Hal ini tertulis dalam Brahma Purana 228,45 yaitu "dharma, artha,
kama, moksana sarira sadhanam" artinya : badan yang disebut sarira hanya boleh digunakan
alat untuk mencapai dharma, artha, kama, moksa.
Bagian-bagian Catur purusa artha
- dharma adalah kebenaran absolut, yang mengarahkan manusia untuk berbudi pakerti
luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar hidup. Dharma itulah yang
mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia. keutamaan dharma sesungguhnya
merupakan sumber datangnya kebahagiaan, keteguhan abadi, dan menjadi dasar dari
semua tingkah laku manusia.
- artha adalah kekayaan dalam bentuk benda-benda duniawi yang merupakan penunjang
kehidupan manusia. memiliki harta benda merupakan suatu keharusan , tetapi hal itu
harus didasarkan dharma agar tidak dikusai oleh nafsu keserakahan . artha perlu
diamalkan (dana punia) untuk kepentingan manusia.
- kama adalah keinginan untuk memperoleh kenikmatan(wisaya). Manusia hidup
cenderung untuk memenuhi keinginan . untuk memenuhi kama harus didasarkan oleh
dhama agar tidak melenceng dari ajaran agama dan sebelum kita memenuhi kama kita
harus memiliki artha.
- moksa adalah kelepasan, kemerdekaan dan kebebasan (Nirwana) menunggal dengan sang
pencipta (Sang Hyang Widhi Yasa) sebagai tujuan utama,tertinggi, dan terakhir. moksa
dapat tercapi jika dharma, artha, dan kama sudah terlaksana.
Mencapai tujuan hidup tergantung kepada alam dan Tuhan (membentuk sikap
mental religius-yadnya). Berpikir, berbicara, besikap, dan berbuat yang dilandasi oleh
kebenaran (dharma) adalah modal untuk mencapai tujuan hidup. Membangun wadah
kehidupan (arsitektur) memerlukan ide, musyawarah, sikap, dan perbuatan yang dilandasi
kebenaran.

BAB III
LANDASAN FILOSOFIS

Filsafat Manik Filsafat Tri Hita Filsafat Bahan


Filsafat Undagi
Ring Cecupu Karana Bangunan

1. FILSAFAT MANIK RING CECUPU


Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan harmonis dan
selaras seperti Manik (janin) dalam Cucupu (rahim). Rahim sebagai tempat yang
memberikan kehidupan, perlindungan dan perkembangan janin tersebut , demikian pula
halnya manusia berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam semesta, inilah yang
dikenal dengan konsep Manik Ring Cucupu. Filsafat Manik Cucupu bila dijabarkan
menjelaskan :
1. Alam sebagai lingkungan hidup
2. Alam sebagai sumberdaya kehidupan dan penghidupan
3. Alam sebagai tujuan hidup
4. Membangun Arsitektur meniru alam
Setiap wadah kehidupan atau lingkungan buatan, berusaha diciptakan senilai dengan
bhuana agung, dengan suasana unsur-unsur yang utuh, yaitu : Tri Hita Karana.

2. TRI HITA KARANA


Tri Hita Karana memiliki makna, Tri berarti tiga, Hita berarti kemakmuran, baik,
gembira, senang, lestari dan Karana berarti sebab, sumber (penyebab). Tri Hita Karana
berarti tiga penyebab kemakmuran atau kebahagiaan yang meliputi :
1. Atma (roh/jiwa)
2. Prana (tenaga)
3. Annga (jasad/fisik)
Konsepsi Tri Hita Karana dipakai dalam pola ruang dan pola perumahan tradisional
yang diidentifikasi :
1. Parhyangan / Kahyangan Tiga sebagai unsur atma/jiwa
2. Krama/warga sebagai unsur Prana tenaga
3. Palemahan/tanah sebagai unsur Angga/jasad
Dalam perumahan (tingkat desa) jiwa adalah Parhyangan (pura desa), tenaga adalah
Pawongan (masyarakat) dan jasad adalah Palemahan (wilayah banjar). Pada rumah tinggal
jiwa adalah sanggah pemerajan, tenaga adalah penghuni dan jasad adalah pekarangan.
Sedangkan pada manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah
stula sarira/tubuh manusia.
Unsur Atma/Jiwa Prana/Tenaga Angga/Fisik
Alam Semesta Paramatman (Tuhan Tenaga (yang Unsur-unsur Panca
(Bhuana Agung) Yang Maha Esa) menggerakan alam) Maha Bhuta)
Desa Kahyangan Tiga Pawongan(warga Palemahan (Wilayah
(Pura Desa) desa) Desa)
Banjar Parhyangan (Pura Pawongan(warga Palemahan (Wilayah
Banjar) banjar) Banjar)
Rumah Sanggah (Pemerajan) Penghuni rumah Pekarangan Rumah
Manusia (Bhuana Atman (Jiwa Prana (tenaga, bayu, Angga (badan
Alit) Manusia) sabda, idep) manusia)

Dari Tri Hita Karana memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga (tiga
badan/nilai fisik) berupa Utama Angga(Kepala). Madya Angga(badan) dan Nista Angga
(kaki). Dalam Bhuana Agung konsep Tri Angga sering disebut dengan Tri Loka dengan
bagiannya yaitu Bhur Loka (alam bawah). Bhuah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam
atas).

Unsur Utama Angga Madya Angga Nista Angga


Alam Semesta Swah Loka Bhuah Loka Bhur Loka
Wilayah Gunung Dataran Laut
Perumahan Kahyangan Tiga Pemukiman Setra/Kuburan
Rumah Tinggal Sanggah/Pemerajan Tegak umah Tebe
Bangunan Atap Kolom/Dinding Lantai/Bebaturan
Manusia Kepala Badan Kaki
Masa/Waktu Masa Depan (watamana) Masa Kini (Nagat) Masa Lalu (Atita)

Konsep Triangga memberikan dasar bahwa Arsitektur Tradisional Bali memiliki


bagian-bagian fisik yang memiliki nilai. Secara vertical bagian kepala terletak paling atas
bernilai utama, bagian badan terletak di tengah bernilai madya dan bagian kaki yang terletak
dibawah bernilai nista. Secara horizontal akan membentuk zonasi dengan hirarki nilai sesuai
dengan nilai sumbu alam, antara lain sebagai berikut : bagian hulu/dalam bernilai utama
bagian tengah bernilai madya dan bagian hilir/luar bernilai nista.

3. FILSAFAT UNDAGI
Undagi atau wundagi berasal dari Wu yaitu Tuhan, Nda yaitu asal dan Gi yaitu
Manusia. Undagi dalam diri manusia :
1. Sanghyang Prajapati (Dewanya Undagi)
- Rupanya Merah
- Simbol Hurupnya (Ang)
- Tempatnya di Puncak Hati pada jalan keluar masuknya pikiran
- Jika keluar berujud bhudi mangreka (pikiran untuk membuat baik buruknya
desain)
2. Bhagawan Wiswa Karma (Hamba)
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, Bhagawan Wiswakarma merupakan
dewa para arsitek yang ditugaskan turun ke bumi untuk mengajarkan masyarakat
Bali bagaimana membangun rumah dan lingkungannya.
- Rupanya seperti angin (bayu)
- Simbol hurufnya (Ah)
- Tempatnya di pertemuan rasa pada jalan keluar masuknya tenaga
- Jika keluar, ada pada kedua telapak tangan dan disebut dengan sanghyang
bayu reka
- Ia sebagai kekuatan untuk pembuatan desain

4. FILSAFAT BAHAN BANGUNAN


Berupa bahan kayu sebagai struktur bahan bangunan. Kayu berasal dari kata Ka
(asal) dan yu (budi) yang menjadi budilah yang menentukan baik buruknya. Jiwa-jiwa pada
kayu memiliki roh, tidak boleh menebang sebelum di pralina. Pralina (membunuh) kayu
memerlukan ritual (sarana ritual. Proses ritual). Dipergunakan sesuai dengan kelompoknya
dengan masing-masing kelompok kegunaan memiliki klas-klasnya. Penggolongan
penggunaan kayu :
1. Bangunan Suci (Cendana, menengen, cempaka, majagau, suren)
2. Bangunan Perumahan/Bale (Nangka, jati, sentul, teep, sukun, umbul)
3. Bangunan Dapur dan Lumbung (Wagkal, kutat, bentenu, blalu, dan endep)
BAB IV
LANDASAN ETIK

1. PENGERTIAN ETIKA DAN ETIKET


Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dituliskan bahwa arti etika adalah ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Etika itu berasal dari yunani kuno “ethikos” artinya “timbul dari kebiasaan”. Etika
merupakan suatu ilmu yang objeknya itu berupa manusia, etika juga mempunyai sudut
pandang normatif, maksudnya adalah melihat dari sudut baik dan buruknya mengenai
perbuatan manusia. Pengertian etika secara umum adalah suatu peraturan atau norma yang
bisa digunakan sebagai acuan bagi perilaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang
baik dan buruk yang dilakukan oleh seorang serta merupakan suatu kewajiban dan tanggung
jawab moral.
Etiket adalah sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang, dan menjadi kebiasaan dalam
sebuah masyarakat, baik berwujud kata-kata maupun suatu bentuk perbuatan nyata. Dalam
rangka menjernihkan istilah, maka kita harus perhatikan lagi apa perbedaan antara “etika”
dan “etiket”. Sering kali dua istilah ini dicampuradukkan begitu saja, padahal perbedaan di
antaranya sangat hakiki. “Etika” di sini berarti “moral” sedangkan “etiket” berarti “sopan
santun”. Secara garis besar, perbedaan etika dan etiket adalah sebagai berikut:
 Dilihat dari segi asal kata etika adalah “ethos” ⇔ etiket berasal dari kata “etiquette”
 Etika berlaku ada maupun tidak ada saksi ⇔ etiket berlaku sebab adanya saksi mata
 Etika bersifat absolut ⇔ etiket relatif
 Cara pandang etika ke batiniah ⇔etiket lebih ke lahiriah
 Secara makna etika norma tentang perbuatan ⇔ etiket aturan yang dijalankan

2. DASAR-DASAR HUBUNGAN ANTARA MANUSIA, ARSITEKTUR, DAN ALAM


Arsitektur ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan ruang hidup yang dalam
perkembangannya selalu mengalami perubahan. Jika manusia pada awalnya hanya
membutuhkan ruang bernaung dari ancaman luar, dan pada jaman tersebut lingkungan alami
masih dapat mencukupi kebutuhan manusia. Berbeda halnya dengan manusia pada saat ini, di
mana kebutuhan bahkan gaya hidupnya semakin meningkat dan menuntut berbagai rekayasa
lingkungan untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Maka manusia merancang lingkungan
alam menjadi lingkungan binaan (arsitektur) sedemikian rupa agar dapat berfungsi dengan
baik. Sehingga arsitektur dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh pola hubungan di
antara ketiganya: manusia, lingkungan hidup (lingkungan alami) dan arsitektur (lingkungan
binaan/bangunan). Di Bali, pembinaan hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat
Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Kaya Parisudha.
 Tat Twam Asi : aku adalah engkau, semua ciptaan Tuhan yang hidup memiliki nilai yang
sama.
 Tri Kaya Parisudha: berpikir (manacika), berbicara (wacika), dan berbuat (kayika)
dilandasi dengan kebenaran dan kesucian.
a) Tat Twam Asi dalam Arsitektur Tradisional Bali
 Arsitektur adalah benda yang dihidupkan = bawa maurip;
 Perlakuan terhadap karya arsitektur yang diproses secara tradisional, seperti
memperlakukan mahluk hidup manusia);
 Bangunan, tabu untuk dicederai atau dipotong bagian-bagian tubuhnya.
b) Tri Kaya Parisudha dalam Arsitektur Tradisional Bali
 Berpikir untuk menciptakan lingkungan yang baik internal maupun eksternal;
 Membicarakan secara baik-baik rencana pembangunan yang mungkin akan
menimbulkan gangguan terhadap lingkungan;
 Proses pembangunan fisik dijaga agar tidak atau sedikit mungkin merugikan
tetangga/lingkungan.
c) Landasan Berpikir Dalam Membangun
 Terwujudnya ketenteraman dan kerukunan warga;
 Terjaganya hubungan yang harmonis internal antar anggota keluarga dan dengan
elemen-elemen bangunan di rumah sendiri;
 Terjaganya hubungan yang harmonis eksternal antara satu keluarga dengan
tetangga dan dengan lingkungan yang lebih luas (banjar/desa).

3. HUBUNGAN ARSITEKTUR DENGAN LINGKUNGAN


 Antar tetangga tidak saling merugikan, artinya dalam suatu kawasan, antara bangunan
satu dengan bangunan lainnya tidak saling merugikan para penghuni/pemilik dan orang-
orang di sekitarnya.
 Memperhatikan tata nilai fungsi dalam penempatan fasilitas dalam lingkungan,
contohnya rumah tidak langsung berada di hulu Bale Banjar/ Pura/Puri, dan harus
dibatasi dengan jalan atau tanah kosong (karang tuang).
 Memperhatikan tata nilai masyarakat (stratifikasi sosial tradisional), contohnya rumah
brahmana berada di hulu, rumah penguasa (raja) di tengah atau ring satu di sudut
Catuspatha, rumah pejabat di ring kedua, rumah rakyat di ring ketiga.

4. KONSISTENSI TATA NILAI RUANG DAN BANGUNAN


 Perletakan bangunan yang beragam nilai fungsinya diserasikan dengan struktur hirarkhi
nilai ruangnya;
 Ketinggian lantai disesuaikan nilai fungsi bangunan.

Anda mungkin juga menyukai