Anda di halaman 1dari 21

Selisik Seluk Beluk Kota Lama Semarang

Kota tanpa bangunan berserajah adalah kota yang kehilangan identitasnya , ungkapan
demikian sepertinya tepat sekali untuk menggambarkan kondisi bangunan bersejarah di kota-
kota di Indonesia yang mulai hilang satu persatu. Apabila di kota itu tidak ada lagi bangunan
bersejarahnya, maka kota itu akan terlihat sama dengan kota lainnya dan akhirnya akan terlihat
membosankan bagi penghuninya. Meskipun demikian, ada juga kota-kota yang bangunan
bersejarahnya relatif utuh dan akhirnya bisa menjadi ikon kota itu seperti Semarang dengan
Kawasan Kota Lamanya. Bagaimanakah seluk beluk bangunan bersejarah di kota lama Semarang
?

Kota Dagang yang Tak Pernah Lengang

Pemandangan kota Semarang pada tahun 1770 ( sumber : commons.wikimedia.org ).

Percaya atau tidak, sebagian besar area kota Semarang dahulunya ternyata masih berupa dasar
laut. Fakta sejarah menunjukan bahwa letak permukiman awal di Semarang ternyata berada di
Simongan dan Bergota. Permukiman masyarakat di Bergota didirkan oleh seorang penyebar
agama Islam bernama Ki Ageng Pandan Arang bersama pengikutnya sekitar 1476. Sementara
permukiman masyarakat di Simongan dirintis oleh para awak kapal yang mengikuti ekspedisi
pelayaran Laksamana dari Tiongkok bernama Cheng Ho. Armada Cheng Ho berlabuh di
Semarang karena ada seorang komandannya yang sakit. Setelah sang komandan sembuh, Cheng
Ho meneruskan pelayaran kembali tapi komandan tersebut beserta sebagian awak kapal tinggal
di Simongan. Awal abad ke-16, erosi dari Sungai Garang membentuk dataran alluvial yang
membuat garis pantai bergeser ke utara. Oleh karena itu, pengganti Ki Ageng Pandan Arang, Ki
Ageng Pandan Arang II memindahkan permukimannya ke utara. Lokasi permukiman tersebut
berada di sebelah barat kota lama Semarang ( Brommer dkk, 1995;7 ).

Perkembangan kawasan kota lama Semarang dari tahun 1719, 1741, 1866, hingga 1917.
Perhatikan pada peta tahun 19719 dan 1741, di dekat Kali Semarang terdapat benteng
berbentuk segi lima bernama benteng Vijfhoek ( sumber : maps.library.leiden.edu ).

Pada masa kerajaan Demak, Ki Ageng Pandan Arang II diangkat menjadi bupati. Lalu pada 1575,
kerajaan Mataram Islam mengambil alih Semarang. Kota ini berkembang pesat menjadi pintu
perdagangan kerajaan Mataram Islam dan pelabuhan penting di pesisir utara Jawa. Pada 1678,
kota Semarang dihadiahkan kepada VOC oleh Amangkurat II sebagai hadiah karena sudah
membantu menumpas pemberontakan Trunojoyo di Jawa Timur. Bagai mendapat durian runtuh,
tentu saja VOC dengan senang hati menerima hadiah itu. VOC kemudian memindahkan pusat
pemerintahan Pantai Utara-Timur Jawa dari Jepara ke Semarang pada 1708. Di tahun yang sama,
VOC mendirikan sebuah benteng berbentuk segi lima dengan bastion di setiap sudutnya. Benteng
ini dikenal sebagai benteng Vijfhoek. Dari benteng inilah VOC mengatur kekuasaanya di pesisir
utara Jawa dan di dalam benteng ini pula, orang-orang Belanda tinggal. Lokasi benteng yang dulu
berdiri di Sleko ini berada persis di seberang pusat kota pribumi dan hanya dipisahkan oleh Kali
Semarang, sehingga VOC dapat mengawasi gerak-gerik orang pribumi. Pertengahan abad ke-18,
Semarang menjadi sebuah kota pelabuhan yang cukup maju. Oleh karena itu Semaranng disebut
sebagai Batavia Kedua. Dari sini, beras, kayu, kapuk, dan kopi diekspor keluar ( Poerwanto dan
Soenarso, 2012 ; 47 ).
Perkiraaan tembok keliling yang dahulu pernah mengeliling pemukiman Eropa.

Seiring dengan bertambahnya masyarakat Eropa, dibangunlah permukiman Eropa di luar


dinding benteng. Bentuk kota lama Semarang mulai terbentuk. Pada 1741, meletus
pemberontakan Tionghoa dan rakyat Mataram. Permukiman orang Eropa dikepung dan untuk
bertahan, VOC mendirikan tanggul pertahanan dari kayu. Belajar dari pengepungan, benteng segi
lima tadi dirobohkan untuk memberi ruang baru untuk tembok pertahanan yang mengelilingi
pemukiman Eropa. Namun usia tembok ini tidak bertahan lama. Pada masa Daendels ( 1808-
1811 ), seperti halnya tembok kota Batavia, tembok kota Semarang ini dianggap tidak berguna
oleh Daendels dan atas perintahnya, tembok keliling ini dibongkar. Jalan utama yang melintas di
tengah kota lama dijadikan sebagai bagian dari Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Paruh awal
abad ke-19, pemerintah kolonial mulai memperluas permukiman Eropa di sepanjang jalan
Bojong ( Pratiwo, 2010;33 ).

Pemandangan udara kota Semarang pada tahun 1930. Waktu itu Semarang sudah berkembang
pesat menjadi kota niaga yang ramai. Menurut Baldinger, beberapa faktor yang menyebabkan
majunya perniagaan di Semarang antara lain, upah buruh yang cukup rendah, mudah
mendapatkan bahan mentah, harga tanah murah, dan perdagangan berjalan lancar. Sayangnya
majunya perekonomian Semarang belum didungkung dengan baiknya sarana transportasi ;
pelabuhan masih belum teratur dan stasiun kereta masih belum tersambung ( sumber foto :
commons.wikimedia.org ).

Praktik cultuurstelsel yang diterapkan oleh pemerintah kolonial pada 1830 semakin
meningkatkan peran Semarang sebagai pelabuhan ekspor untuk produk pertanian hasil
kebijakan cultuurstelsel seperti gula dan indigo dari daerah pedalaman Jawa Tengah. Roda
perekonomian Semarang semakin cepat berputar dengan dibukanya wilayah jajahan kepada
penanam modal swasta pada 1870. Bagai cendawan di musim hujan, banyak firma dagang,
perusahaan transportasi, lembaga keungan dan perusahaan jasa yang mendirikan kantornya di
kawasan kota lama. Perlahan kawasan kota lama bertransfromasi menjadi semacam distrik bisnis
atau dalam bahasa Belanda disebut zakencentrum. Namun di masa yang sama, orang-orang
Eropa mulai meninggalkan kawasan kota lama sebagai tempat hunian karena buruknya kondisi
lingkungan di kota lama. Orang Eropa lebih memilih untuk memindahkan huniannya ke Bojong
atau di perbukitan selatan Semarang.

Paska kemerdekaan, kawasan kota lama Semarang perlahan mulai menujukan gejala
kemunduran. Kantor-kantor yang dulu berdiri megah banyak yang kosong dan sedikit investor
yang mau menggunakan kantor-kantor lama. Kawasan bersejarah ini menjadi sepi di malam hari
dan dahulu kadang menjadi tempat mangkal para penjaja seks. Kemunduran kawasan ini
diperparah dengan kondisi lingkungan yang kerap terkena banjir rob yang diatasi secara tambal
sulam tanpa penanganan jangka panjang. Untuk melindungi kawasan bersejarah ini, sejak tahun
1992 pemerintah mulai menetapkan kawasan kota lama sebagai kawasan cagar budaya. Beberapa
proyek rehabilitasi mulai dijalankan meski ada beberapa hambatan seperti kekurangan dana.
Meskipun demikian, proyek-proyek ini ada yang berhasil sehingga kota lama Semarang terlihat
lebih baik dibandingkan dengan kota bersejarah lain di Jawa. Dengan atmosfir tempo doeloenya
yang masih kental, kawasan kota lama Semarang menjadi salah satu destinasi wisata unggulan
kotaa Semarang.

Dari Oudestad ke Kampung Melayu


Pada tulisan kali ini, selain kawasan kota Eropa, saya juga akan sekilas menyinggung kawasan
alun-alun lama dan kampung melayu. Adapun untuk kawasan pecinan akan dibahas pada tulisan
tersendiri. Kawasan kota Eropa, kota lama, atau oudestad terletak di sebelah barat Kali
Semarang. Di sinilah orang-orang Eropa mendirikan permukimannya untuk pertama kalinya di
Semarang. Awalnya masih tinggal di dalam tembok benteng ( intramuros ) namun perlahan
berkembang pula permukiman di luar benteng ( extra muros ). Di kawasan oudestad ini, kita
dapat jumpai berbagai bangunan bergaya Eropa dengan rentang waktu dari abad ke-18, 19,
hingga 1930an yang memiliki kekhasan tersendiri.
Paradeplein, jantung kota lama Semarang. Di sini kerap diadakan pentas drum band militer. (
sumber : colonialarchitecture.eu ).

Jantung oudestad terletak di sebuah lapangan yang dahulu digunakan sebagai lapangan parade
sehingga lapangan ini disebut sebagai paradeplein. Kita sekarang mengenalnya sebagai Taman
Srigunting. Membentang di sebelah selatan Taman Srigunting, Jalan Letjend. Suprapto
membelah kawasan oudestad menjadi dua bagian. Pada zaman Belanda, jalan ini
bernama Heerenstraat dan merupakan jalan utama di Kota Lama. Pada masa Daendels, jalan ini
menjadi bagian dari Jalan Raya Pos. Sepanjang jalan ini dahulu pernah berdiri toko-toko untuk
kaum elite dan hotel. Karena menjadi jalan utama, jalan ini nyaris tidak pernah sepi dari
kendaraan dan karena tidak ada pedestrian, maka jalan ini sedikit tidak ramah untuk pejalan
kaki.

Restoran Ikan Bakar Cianjur, menempati gedung dari abad ke-18.

Saat ini, sedikit sekali bangunan dari masa VOC yang masih bisa dijumpai di kawasan ini. Selain
Gereja Blenduk, bangunan yang tersisa dari masa VOC adalah bangunan yang sekarang menjadi
Restoran Ikan Bakar Cianjur. Bangunan yang diperkirakan didirikan pada tahun 1780 ini dulunya
dihuni oleh seorang pendeta dari gereja Blenduk. Selanjutnya bangunan ini menjadi kantor
pengadilan yang khusus menangani perkara orang Eropa. Bangunan ini merupakan contoh satu-
satunya rumah bergaya Indis tertutup abad ke-18 di Semarang.
Dekor lubang angin bergaya barok.

Atap pelananya cukup curam. Bagian depan rumah tidak beranda sehingga fasad depan rumah
langsung menyentuh jalan. Bukaan jendela tidak dilengkapi dengan semacam kanopi dan hanya
mengandalkan teritisan atap yang kecil sehingga antispasi panas dan hujan kurang optimal.
Terlihat bahwa bangunan ini masih belum mengenal konsep bangunan tropis dan terkesan
seperti bangunan Eropa yang dipindahkan ke Indonesia. Apabila masuk ke dalam, kita dapat
melihat ukiran kayu bergaya barok di atas pintu masuk. Bangunan ini sempat kosong selama
bertahun-tahun namun untungnya pada tahun 2007, bangunan ini diadaptasi sebagai restoran.

Di tengah-tengah kota lama, kita dapat menjumpai bangunan yang menjadi kantor, gudang, dan
toko milik perusahaan Eropa. Kebanyakan bangunan ini didirikan dari rentang akhir abad ke-19
hingga tahun 1942.

Bangunan yang searang ditempati oleh Perusahaan Asuransi Jiwasraya ini, dulunya juga
ditempati oleh perusahaan asuransi juga. Namanya Nederlandsch-Indisch Lijfrente
Maatschappij ( Nillmij ). Gedung ini didirikan tahun 1916. Rancangannya dibuat oleh arsitek
yang namanya menjadi ikon sejarah kota Semarang, Ir. H. Thomas Karsten. Bangunan yang
memiliki kubah ini memiliki hiasan art deco dengan lubang centilasi yang dekoratif. Sebagai
upaya adaptasi terhadap iklim lokal, maka bangunan ini diberi beranda keliling.

Di seberang gedung Nillmij, terdapat bangunan bergaya geomoteris modern yang dahulu
menjadi kantor perusahaan dagang Borneo-Sumatra Maatschappij ( Borsumij ). Bangunan ini
dibuat tahun 1939 dengan rancangan dari arsitek J.K.L Blankenberg. Saat ini menjadi kantor
Indonesian Trading Center. Di sebelah utara bangunan ini terdapat gudang milik Borsumij
yang masih menyatu dengan kantor.
Persis di seberang Taman Srigunting, terdapat bangunan yang mengingatkan kita
pada saloon ala wildwest. Bangunan dari akhir abad ke-19 ini dahulunya merupakan Toko
Ziken, toko retail pertama di Semarang. Bata merahnya yang khas berasal dari pabrik yang
sama dengan bata di Gereja Gedangan. Di atas pintu masuk, terdapat tulisan Marba, singkatan
dari Martha Badjuri, seorang imigran dari negeri Yaman, nenek moyang pemilik bangunan ini.
Gaya arsitektur Spanish Colonial cukup menonjol. Seperti halnya banguna Restoran Ikan
Bakar Cianjur, gedung ini tidak dilengkapi semacam beranda atau teritisan.

Bangunan yang memiliki gable seperti lonceng ini dahulu ditempati oleh toko kebutuhan
sehari-hari milik H.Spiegel. Sempat tidak terawat selama bertahun-tahun, bangunan ini
berhasil diperbaiki dan sekarang dimanfaatkan sebagai caf pada lantai satu dan
sebagai workspace pada lantai dua. Dai balkon yang ada di atas pintu masuk, kita dapat
melihat pemandangan jantung kawasan kota lama.
Bangunan yang sekarang digunakan sebagai Galeri Semarang ini dulunya merupakan kantor
perusahaan dagang milik Francis Peek yang dibangun pada tahun 1895. Oleh karena itu
bangunan ini kadang disebut sebagai Peekhouse. Bangunan ini berdiri di bekas rumah yang
dahulu pernah dipakai sebagai gereja darurat untuk umat Katolik sebab pada waktu itu gereja
Katolik belum dibangun.

Bangunan Gereja Blenduk sebelum dirombak tahun 1893. ( sumber : Locale Techniek ).

Tepat di jantung kota lama, berdiri Gereja Blenduk dengan kubahnya yang anggun membelah
langit kota lama, di tengah-tengah kepungan bangunan sekular. Meskipun banyak bangunan
kantor di kota lama dengan gaya arsitektur yang lebih modern dan menarik, namun gereja inilah
yang akhirnya menjadi ikon utama kota lama Semarang. Bangunan gereja yang aslinya bernama
GPIB Imannuel ini sudah ada sejak tahun 1753. Pada waktu itu, bangunan ini masih berbentuk
seperti rumah tradisional Jawa.
Gereja Blenduk.

Pada 1793, bangunan lama diganti dengan bangunan gereja bundar bersisi delapan, dengan tiga
pintu masuk dan sebuah kubah. Seratus tahun kemudian, bangunan gereja dirombak di bawah
pimpinan H.P.A. de Wilde dan W. Weestmas. Dua menara bergaya barok dan
sebuah portico klasik ditambahkan di bagian depan. Perombakan ini diperingati pada batu
prasasti yang ada di dalam gereja.

Bagian dalam gereja.

Denah gereja ini berbentuk segi delapan, sehingga seluruh jemaat dapat memandang ke arah
mimbar. Denah ini merupakan denah khas gereja reformasi, dimana terjadi pergeseran fokus
jemaat yang semula berfokus ke arah altar, bergeser menjadi berfokus ke arah mimbar tempat
pendeta memberikan khotbah. Di dalam gereja ini masih bisa kita lihat orgel bergaya barok pada
salah satu balkon.
Bekas toko buku Van Dorp, toko buku terkenal di Semarang. Toko buku ini membuka cabang
di kota-kota besar lain seperti Batavia, Surabaya, dan Bandung. Selain menjual buku, Van
Dorp juga menjual alat-alat tulis dan membuka usaha percetakan.

Bekas kantor perusahaan asuransi Liverpool & London & Globe Insurance.

Sebuah bangunan tua di Jalan Branjangan. Dahulu jalan ini bernama Oudestadhuisstraat (
Jalan Balai Kota Lama ) karena di sini pada zaman VOC pernah terdapat Balai Kota.
Apabila kita menyusuri setiap jalan-jalan di sela kota lama, kita dapat menemukan berbagai
bangunan kantor dengan gaya arsitektur yang menarik. Ada yang saat ini masih dipakai, namun
ada juga yang sudah ditinggalkan begitu saja. Selain itu kita juga dapat menemukan berbagai
bangunan rumah dari abad ke-19. Rumah ini memiliki balkon pada bagian lantai dua. Seringkali
rumah ini merupakan kombanasi dari rumah di lantai atas dan toko pada lantai bawah.

Contoh rumah-rumah dari abad ke-19.

Bangunan pabrik rokok Praoe Lajar terletak di jalan Merak. Dulunya bangunan ini
merupakan kantor dari firma Maintz& co. Pada persitiwa pertempuran lima hari, bangunan ini
mengalami rusak berat dan akhirnya dibangun kembali. Jalan Merak sendiri dulunya bernama
Noorderwaalstraat atau Jalan Dinding Utara sebagai pengingat bahwa dahulu di jalan ini
pernah terdapat tembok yang mengelilingi kota lama Semarang.

Gedung Bank Mandiri yang berada di Jalan Kepodang ini dahulunya adalah
kantor Nederlansch Indisch-Handel Bank. Jalan Kepodang sendiri dahulunya
bernama Hogerndorpstraat. Di sepanjang jalan ini pernah berkantor firma-firma terkenal
seperti Oei Tiong Ham Concern, Escompto Maatschappij, Spaarbank dan lain-lain. Di jalan
ini pula dahulu pernah ada kantor surat kabar yang menjadi corong orang-orang Belanda yang
memperjuangkan politik etis, De Locomotief. Sayangnya bangunan yang seharusnya menjadi
monument pers Indonesia ini kini sudah runtuh akibat ditelantarkan dalam waktu lama.

Bekas kantor firma Escompto yang dibangun tahun 1912.

Salah satu sisa kantor redaksi harian De Locomotief. Terlihat ornamen kala di atas pintu
masuk yang aslinya sering ditemukan pada pintu masuk candi.

Bangunan bergaya ekletik ini dahulunya merupakan kantor pertama De Javaasche


Bank cabang Semarang yang dibangun awal abad ke-20. Desain gedung ini dibuat oleh biro
arsitek Hulswit-Fermont en Cuypers yang juga merancang kantor De Javaasche Bank di
tempat lain. Pada tahun 1934, De Javaasche Bank pindah ke kantor baru di Bojong. Bangunan
saat ini digunakan oleh PT Telkom.
Pemandagan udara Kali Semarang tahun 1930 ( sumber : Semarang beeld van een stad ).

Di sepanjang tepi kali Semarang, kita dapat menjumpai deretan bangunan-bangunan bersejarah
yang sejajar dengan sungai. Apabila kawasan ini dapat ditata, mungkin akan menjadi kawasan
pedestrian yang menarik. Dahulu, Kali Semarang dapat dilalui oleh perahu-perahu kecil yang
membawa muatan dari kapal besar yang membuang jangkar di lepas pantai. Dari lepas pantai,
perahu kecil menyusuri Kali Semarang dan kemudian merapat ke gudang-gudang yang ada di
tepi sungai. Namun seiring dengan terjadinya pendangkalan Kali Semarang, maka dibuatlah
pelabuhan baru di sebelah utara kota. Kini yang berlayar di Kali Semarang bukanlah perahu-
perahu kayu, melainkan sampah-sampah rumah tangga yang dibuang oleh orang tidak
bertanggung jawab. Wilayah timur dan barat kali Semarang dihubungkan oleh sebuah jembatan
yang dikenal sebagai jembatan Berok, pelesetan dari kata brug dalam bahasa Belanda yang
berarti jembatan.

Kantor cabang Bank Mandiri ini dulunya merupakan kantor dari perusahaan Nederlansche
Handel Maatschappij, perusahaan dagang yang didirikan pada 1824 oleh raja Willem I paska
bubarnya VOC. Pada masa tanam paksa, perusahaan ini mengumpulkan dan
memperdangankan semua hasil tanam paksa. Oleh karena itu NHM kadang disebut sebagai
VOC kecil . Perusahaan NHM membuka cabang di Semarang pada tahun 1826. Bangunan
yang ada sekarang dibangun pada tahun 1908. Sebelumnya di tempat yang sama pernah
berdiri rumah penguasa VOC dan menjadi kantor pertama NHM di Semarang. Pada 1854,
bangunan lama habis dilalap si jago merah, lalu di bekas bangunan tadi dibangun Societeit
Amicita.
Persis di kiri Bank Mandiri, kita bisa melihat sebuah bangunan tua berlanggam art deco yang
dirancang oleh arsitek Ir. H. Th. Karsten pada 1930. Dahulu gedung ini ditempati oleh
perusahaan pelayaan Stoomvart Maatschappij Nederland yang didirikan tahun 1870 untuk
melayani pelayaran penumpang dan barang antara Belanda dan Koloni. Gedung ini sekarang
menjadi kantor PT. Djakarta Llyod

Gedung tua yang sekarang menjadi kantor PT.Pelni ini dahulunya adalah kantor
dari Koninkljike Paketvaart Maatschappij, perusahaan pelayaran penumpang dan barang
antar pulau di Hindia-Belanda yang didirikan pada tahun 1888. Gedung kantornya sendiri
baru dibangun tahun 1917. Bangunan yang dirancang biro arsitek A.I.A di bawah pimpinan
F.J.L. Ghijsels ini memiliki dua menara sudut berbentuk lonceng. Interior gedung ini
dilengkapi dengan kaca patri warna dengan gambar jangkar. Tampak depan gedung ini
terkesan rapi dan tidak berlebihan, sesuai dengan semboya Ghijsles Simplicity is the shortest
path to beauty .

Gedung Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden dengan menara kembarnya. Salah satu
menara pernah runtuh, namun kemudian dibangun kembali dalam bentuk semula.
Bekas kantor Koloniaale Bank.

Bekas kantor Handelsverniging Semarang.

Masih di tepi Kali Semarang, tepatnya di Jalan Mpu Tantular, tampak tiga bangunan kantor besar
yang ditempati oleh Handelsverniging Semarang, Koloniale Bank, dan Cultuur Maatschappij
der Vorstenlanden. Dua perusahaan terakhir merupakan investor perkebunan-perkebunan lokal.
Menara syahbandar Semarang ( sumber : media-kitlv.nl )

Reruntuhan menara syahbandar di masa sekarang.

Di kampung Sleko, berdiri reruntuhan yang membentuk seperti menara. Menara ini dahulunya
adalah menara pengawas dan kantor Syahbandar yang dibangun tahun 1825. Dahulu, dari puncak
menara ini dapat terlihat pemandangan kota lama dan pelabuhan Semarang. Di tempat yang,
sama pernah berdiri sebuah benteng milik VOC yang kita kenal sebagi benteng Vijfhoek. Menara
syahbandar ini merupakan salah satu bukti kejayaan Semarang sebagai kota maritim kolonial di
masa lampau.

Bekas kantor Javaasche Houthandel Maatschappij.

Bekas kantor Lindeteves-Stokvis.

Tidak jauh di sebelah utara kota lama, tepatnya di kampung Bandarhajo, berdiri dua bangunan
kolonial yang saling berhadapan dan sama-sama dalam kondisi terlantar. Bangunan pertama
adalah bekas kantor firma Lindeteves-Stokvis yang mengimpor berbagai bahan bangunan.
Dinding depan gedung ini runtuh belum lama ini. Sementara di seberangnya, terdapat bekas
kantor firma Javaasche Houthandel Maatschappij. Firma ini bergerak dalam perdagangan kayu
dari hutan-hutan di Jawa.

Stasiun Tawang.

Stasiun Jurnatan. ( sumber : media-kitlv.nl ).

Bekas kantor SJS.

Untuk mendukung transportasi di kota lama, dibangunlah dua stasiun. Stasiun pertama adalah
Stasiun Tawang di sebelah utara dan Stasiun Jurnatan di sebelah selatan. Stasiun Tawang
dibangun pada tahun 1914 oleh perusahaan Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschppij ( NIS
) untuk menyambut Pameran Kolonial Internasional dan juga untuk menggantikan stasiun lama
di Kemijen yang dianggap sudah tidak representatif. Sementara itu Stasiun Jurnatan dibangun
pada tahun 1882 oleh perusahaan Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij. Apabila Stasiun
Tawang melayani rute Semarang-Vorstenlanden, maka Stasiun Jurnatan menghubungkan
Semarang dengan kota-kota yang ada di wilayah timur Semarang seperti Demak, Pati, Kudus,
Rembang, Blora, dan lain-lain. Stasiun ini juga melayani kereta trem yang dulu pernah malang
melintang di sepanjang jalan kota Semarang. Riwayat Stasiun Jurnatan berakhir pada tahun 1974
dan pada tahun 1980an, bangunan Stasiun dibongkar dan menjadi ruko.

Alun-alun Semarang. Di kejauhan tampak masjid kauman dengan atap tumpangnya. Tampak
sebuah trem yang melintas di tengah alun-alun Semarang ( sumber : media-kitlv.nl ).

Sebagian lahan alun-alun Semarang yang terlihat paska kebakaran Pasar Johar.
Gedung Kantor Pos Besar Semarang.

Dari kawasan kota tua Eropa, kita bergerak ke sebelah barat kali Semarang yang dahulunya
merupakan pusat permukiman orang pribumi. Layaknya kota tradisional Jawa, area ini memiliki
alun-alun sebagai jantungnya, kemudian masjid di sebelah barat, dan kediaman penguasa lokal
di sebelah selatan. Dari ketiga elemen tadi, hanya masjid saja yang masih tersisa. Pada awal abad
ke-20, pemerintah kolonial mendirikan berbagai bangunan yang memakan lahan alun-alun
seperti kantor pos, kantor telepon, dan terminal. Pada tahun 1920an, di sebelah timur masjid
dibuka Stadtuin. Sejak tahun 1970an, lahan alun-alun mulai berkurang setelah Metro Hotel dan
STIE BPD dibangun serta Pasar Yaik diperluas, sehingga Semarang nyaris tidak memiliki alun-
alun lama dan akhirnya banyak orang yang mengira jika Lapangan Simpanglima adalah Alun-
alun Semarang. Sementara itu di sini juga ada sebuah kampung bernama Kampung Kanjengan.
Di lokasi ini dahulu pernah berdiri kediaman bupati Semarang sampai tahun 1960an.

Kampung Melayu pada permulaan abad ke 20 ( sumber : media-kitlv.nl ).

Di sebelah utara pemukiman pribumi, terdapat sebuah perkampungan yang dikenal sebagai
Kampung Melayu. Meski tidak setenar kawasan kota Lama Semarang, kawasan ini patut untuk
ditelusuri karenaa kawasan ini akan memberikan gambaran kepada kita mengenai
multikulutralisme kota Semarang. Dahulu, selain orang Jawa, Tionghoa, dan Eropa, kota
Semarang juga dihuni oleh orang Melayu, Banjar dan Arab. Oleh karena itu kadang kita bisa
menemukan orang berparas Arab di kawasan ini. Kebanyakan orang Arab yang tinggal di sini
berasal dari Hadramaut, Yaman. Mereka di sini kebanyakan berprofesi sebagai pedagang.
Semejak kawasan ini terus tergenang banjir rob, banyak orang-orang yang meninggalkan
perkampungan ini. Jalan-jalan teru ditinggikan sehingga bangunan semakin tenggelam.

Masjid Layur.

Menara masjid layur dilihat dari luar. Menara ini dulunya adalah mercusuar.

Salah satu bangunan bersejarah yang tenggelam adalah masjid Layur. Masjid yang aslinya
memiliki dua lantai ini sekarang tinggal tersisa satu lantai saja. Diperkirakan masjid ini sudah
ada sejak tahun 1743. Para ulama dan pedagang dari Yaman yang mendirikannya. Masjid ini
memiliki sebuah menara yang menjadi ikon dari Kampung Melayu. Menara ini sendiri aslinya
bukanlah menara masjid, melainkan mercusuar yang dibangun tahun 1883. Pada masa itu,
pelabuhan lama Semarang masih berada di sepanjang Kali Semarang yang disebut Kleine
Boom. Sebelum tahun 1970an, di sepanjang jalan Kampung Melayu pernah dilalui oleh arak-
arakan Sam Poo Kecil. Meskipun melalui kawasan yang dihuni etnis berbeda, perayaan tadi
berlangsung dengan aman tanpa gangguan.

Demikianlah tulisan panjang Jejak Kolonial mengenai Kota Lama Semarang, sebuah gambaran
mengenai metropolis kota pelabuhan dari masa kerajaan Demak hingga masa sekarang.
Meskipun kegiatan pelestarian kota lama Semarang belum bisa dikatakan berhasil, namun
setidaknya pelestarian kota lama patut mendapat apresiasi positif karena pengambil kebijakan
dan masyarakat sudah kompak bergerak untuk menyelamatkan berbagai warisan sejarah yang
ada. Semoga hal ini dapat menjadi contoh untuk kota-kota lainnya.

Referensi

ir. H. Th. Baldinger " Semarang als industrie-stad " dalam Locale Techniek bulan Maret-April
1938.

Brommer dkk. 1995. Semarang, Beeld van een stad. Purmerend : Asia Maior.

Leushuis, Emile. 2014. Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit
Ombak.

Poerwanto, L.M.F dan Soenarso, R. 2012. Menapak Jejak-Jejak Sejarah Kota Lama Semarang.
Bandung; Bina Manggala Widya.

Pratiwo. 2010. Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta : Penerbit
Ombak.

http://yogifajri.blogspot.co.id/search/label/kota%20lama

Anda mungkin juga menyukai