Anda di halaman 1dari 123

Anwas - Anwar Lahir

Kisah ini menceritakan tentang peristiwa pembunuhan pertama di dunia, perkawinan Sis,
dan kelahiran anak-anak Sis yang bernama Anwas dan Anwar. Kelak, tokoh bernama Anwar
ini akan menjadi dewa pertama yang bergelar Sanghyang Nurcahya.

Sumber yang dipakai dalam penyusunan kisah ini adalah Serat Paramayoga karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan kisah-kisah tradisi dari Timur Tengah.

Kediri, 25 April 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

SITI HAWA MENGIDAM BUAH-BUAHAN SURGA

Di Negeri Kusniya Malebari, Nabi Adam bersama para putra sedang membicarakan sang
istri, yaitu Siti Hawa, yang kali ini sedang mengandung untuk ketiga belas kalinya. Yang
membuat heran adalah Siti Hawa mengidam ingin memakan buah-buahan dari Taman Surga.

Dalam pembicaraan itu Sayidina Kabil sang putra sulung juga menyampaikan keluhan yang
selama ini dipendam dalam hati, yaitu tentang peraturan Nabi Adam dalam menikahkan
putra-putrinya. Sayidina Kabil lahir bersama Siti Aklimah, sedangkan Sayidina Habil lahir
bersama Siti Damimah. Namun, Sayidina Kabil yang berwajah tampan ternyata dinikahkan
dengan Siti Damimah yang berwajah jelek, sedangkan Sayidina Habil yang berwajah jelek
ternyata dinikahkan dengan Siti Aklimah yang berwajah cantik. Selama ini Sayidina Kabil

Page | 1
selalu memendam kekecewaaan dalam hati, namun sekarang ia tidak tahan lagi dan
menyampaikan rasa kesalnya itu kepada sang ayah.

Nabi Adam menjelaskan bahwa peraturan tersebut ditetapkan dengan pertimbangan bahwa
Sayidina Kabil dan Siti Aklimah lahir bersama, maka mereka berasal dari satu benih yang
sama, sehingga tidak baik jika dinikahkan. Sayidina Kabil kecewa dengan jawaban sang
ayah. Ia lalu pamit undur diri meninggalkan pertemuan.

Nabi Adam kembali membicarakan kehamilan Siti Hawa. Dulu mereka berdua telah
melanggar larangan Tuhan Yang Mahakuasa, sehingga harus dikeluarkan dari Taman Surga.
Kini Siti Hawa sedang mengandung dan merindukan kelezatan buah-buahan dari tempat yang
serba indah itu. Putra keenam bernama Sayidina Sis mengajukan diri untuk mewujudkan
idaman sang ibu. Nabi Adam sangat yakin pada kemampuan Sayidina Sis dan memberikan
restu kepadanya untuk berangkat.

SITI HAWA MENCERITAKAN KELAHIRAN SAYIDINA SIS

Nabi Adam masuk ke dalam puri dan disambut Siti Hawa. Kepada sang istri, ia menceritakan
jalannya pertemuan, di mana Sayidina Sis bersedia mengusahakan terwujudnya buah-buahan
dari Taman Surga. Ia juga menceritakan kekecewaan Sayidina Kabil karena beristrikan Siti
Damimah yang buruk rupa.

Siti Hawa mengungkit cerita masa lalu di mana antara dirinya dan sang suami pernah
berselisih paham mengenai tata cara perkawinan putra-putri mereka. Nabi Adam
berpendapat, putra pertama hendaknya dinikahkan dengan putri kedua, sedangkan putra
kedua dinikahkan dengan putri pertama. Putra ketiga dinikahkan dengan putri keempat,
sedangkan putra keempat dinikahkan dengan putri ketiga. Begitulah seterusnya. Di lain
pihak, Siti Hawa berpendapat putra pertama hendaknya dinikahkan dengan putri pertama,
putra kedua dinikahkan dengan putri kedua, dan seterusnya, dengan alasan mereka sudah
berjodoh sejak dalam kandungan.

Perbedaan pendapat itu membuat keduanya berselisih tanpa ada yang mau mengalah, sampai
akhirnya mereka memutuskan untuk meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Masing-masing lalu mengeluarkan benih dari dalam tubuh untuk ditempatkan di dalam
pusaka Cupumanik Astagina. Benih Nabi Adam ditempatkan pada tutup cupumanik,
sedangkan benih Siti Hawa ditempatkan di badan cupumanik. Setelah beberapa hari, atas
kehendak Tuhan, benih milik Nabi Adam berubah menjadi calon janin, sedangkan benih Siti
Hawa tidak berubah. Karena itulah, Siti Hawa mengaku pasrah dan menyerahkan keputusan
tentang tata cara pernikahan putra-putri supaya dijalankan sesuai pendapat Nabi Adam.

Setelah Nabi Adam dan Siti Hawa pergi, Malaikat Jibril datang atas perintah Tuhan Yang
Mahakuasa untuk menyatukan calon janin tersebut dengan benih Siti Hawa sehingga menjadi
bayi hidup, yang kemudian diberi nama Sayidina Sis. Dengan demikian, anak pertama
sampai kelima selalu lahir sepasang laki-laki perempuan, sedangkan putra keenam ini hanya
seorang laki-laki, yaitu Sayidina Sis tersebut. Tidak lama kemudian muncul angin topan yang
menerbangkan Cupumanik Astagina entah ke mana.

Siti Hawa mengakhiri ceritanya. Nabi Adam berusaha menenangkan perasaan istrinya, dan
menganggap keluhan Sayidina Kabil tadi adalah ujian rumah tangga belaka. Maka ia pun
mengajak Siti Hawa untuk lebih menguatkan iman dan senantiasa berserah diri kepada Tuhan

Page | 2
Yang Mahakuasa, semoga apa pun yang akan terjadi bisa mendatangkan kebaikan bagi umat
manusia.

KEBERANGKATAN SAYIDINA SIS MENCARI BUAH-BUAHAN SURGA

Sayidina Habil memerintahkan empat orang adiknya, yaitu Sayidina Israil, Sayidina Israwan,
Sayidina Basradiwan, dan Sayidina Yasis untuk mengantarkan keberangkatan Sayidina Sis
dalam mewujudkan idaman sang ibu. Di tengah perjalanan, Sayidina Sis dan keempat
saudaranya itu diganggu oleh kaum setan pengikut Malaikat Ajajil yang dulu diusir dari
Taman Surga karena menolak perintah Tuhan. Terjadilah pertempuran di mana para setan
tersebut dapat diusir pergi.

Sesampainya di tepi hutan, Sayidina Sis berpisah dengan keempat saudaranya untuk
melanjutkan perjalanan seorang diri. Sayidina Israil, Sayidina Israwan, Sayidina Basradiwan,
dan Sayidina Yasis lalu kembali ke Kusniya Malebari dan mendoakan perjalanan Sayidina
Sis supaya berhasil dan selalu mendapatkan perlindungan.

SAYIDINA SIS MENDAPATKAN ANUGERAH

Seorang diri Sayidina Sis memasuki hutan belantara untuk kemudian bertafakur meminta izin
Tuhan Yang Mahakuasa supaya bisa mendapatkan buah-buahan Taman Surga. Setelah empat
puluh hari bertafakur mengheningkan cipta, Malaikat Jibril pun datang menyampaikan
perintah Tuhan, bahwa Sayidina Sis diizinkan naik ke Taman Surga untuk memetik buah-
buahan yang menjadi idaman ibunya. Sayidina Sis sangat gembira, dan ia pun berangkat
dengan pertolongan Malaikat Jibril.

Di dalam Taman Surga, Malaikat Jibril mengantarkan Sayidina Sis memetik buah-buahan
yang diinginkan Siti Hawa. Setelah dirasa cukup, Malaikat Jibril kemudian menyampaikan
keputusan Tuhan yang kedua, yaitu menikahkan Sayidina Sis dengan seorang bidadari
bernama Dewi Mulat. Malaikat Jibril menyampaikan kehendak Tuhan bahwa kelak Sayidina
Sis akan menurunkan manusia-manusia utama, dan sebagian di antaranya akan menjadi nabi
dan raja. Maka itu, yang menjadi istri Sayidina Sis haruslah wanita utama pula.

Sayidina Sis sangat bersyukur. Ia kemudian membawa Dewi Mulat turun ke dunia dan
membangun rumah tangga di Kusniya Malebari. Buah-buahan dari Taman Surga pun
dipersembahkan kepada Siti Hawa yang menerimanya dengan suka cita.

Setelah tiba saatnya, Siti Hawa pun melahirkan sepasang putra-putri seperti biasa. Nabi
Adam memberi nama putra putrinya itu, masing-masing Sayidina Kayumaras dan Siti
Indunmaras.

SAYIDINA KABIL MEMBUNUH SAYIDINA HABIL

Pada suatu hari, Sayidina Kabil datang menemui Sayidina Habil di rumahnya untuk meminta
supaya Siti Aklimah diceraikan dan diserahkan kepadanya. Sayidina Habil sebenarnya sangat
menyayangi kakak sulungnya, namun ia juga tidak berani melanggar keputusan sang ayah.
Merasa tersinggung, Sayidina Kabil menantang Sayidina Habil untuk mengadakan kurban.
Barangsiapa yang diterima sesajinya maka dialah yang berhak memperistri Siti Aklimah.
Sayidina Habil bersedia menuruti tantangan itu dengan harapan sang kakak bisa mendapatkan
petunjuk Tuhan supaya sadar.

Page | 3
Maka, kedua bersaudara itu lantas mempersiapkan sesaji masing-masing. Karena Sayidina
Kabil seorang petani, maka kurban yang ia sajikan pun berwujud hasil bumi, seperti buah-
buahan dan palawija. Namun karena ia bersifat kikir, maka yang dipilih adalah buah-buahan
dan palawija yang buruk, sedangkan yang baik disisihkan untuk dijual dan dipakai sendiri.
Sementara itu Sayidina Habil seorang peternak, maka ia pun mengurbankan hewan-hewan
peliharaannya. Karena ia bersifat murah hati dan penuh iman, maka yang dipilihnya sebagai
sesaji adalah hewan-hewan yang terbaik pula.

Tuhan Yang Mahakuasa kemudian mengirim api dari langit untuk membakar sesaji yang
dipersembahkan Sayidina Habil, sebagai pertanda bahwa kurbannya telah diterima. Sayidina
Kabil sangat kesal dan bertambah iri. Karena kedengkian dan kecemburuannya sudah
memuncak, ia pun mengambil sebongkah batu dan memukul kepala Sayidina Habil hingga
pecah.

Melihat adiknya mati, Sayidina Kabil menjadi kebingungan bercampur sedih. Ia tidak tahu
harus bagaimana lagi. Tiba-tiba terlihat olehnya dua ekor burung gagak sedang berkelahi.
Gagak yang menang kemudian mengubur bangkai gagak yang mati di dalam tanah. Merasa
mendapatkan petunjuk, Sayidina Kabil pun menguburkan mayat Sayidina Habil seperti gagak
itu.

Sayidina Kabil kemudian menemui Siti Aklimah untuk menikahinya. Siti Aklimah menolak
karena takut melanggar perintah sang ayah. Sayidina Kabil tidak peduli, dan ia pun memukul
Siti Aklimah sampai pingsan, kemudian membawanya lari meninggalkan Negeri Kusniya
Malebari sejauh-jauhnya.

MALAIKAT AJAJIL MEMPEROLEH ANAK PEREMPUAN

Malaikat Ajajil dulu diusir dari Taman Surga karena menolak perintah Tuhan Yang
Mahakuasa untuk bersujud memberikan penghormatan kepada Nabi Adam. Kini ia
mendengar kehendak Tuhan bahwa keturunan Sayidina Sis akan menjadi manusia-manusia
utama. Maka, ia pun bertafakur memohon kepada Tuhan supaya diizinkan memiliki seorang
putri. Ia berharap melalui putrinya itu bisa lahir keturunan Sayidina Sis yang bisa menjadi
raja dan penguasa umat manusia.

Tuhan Yang Mahaadil pun mengabulkan permohonan Malaikat Ajajil. Atas kehendak-Nya,
dari sebagian tubuh Malaikat Ajajil tercipta seorang perempuan yang berwajah sama persis
dengan Dewi Mulat, yang kemudian diberi nama Dewi Dlajah. Malaikat Ajajil lalu membawa
putrinya itu ke Negeri Kusniya Malebari supaya bisa mengandung benih Sayidina Sis.

Malaikat Ajajil memasuki rumah Sayidina Sis secara diam-diam dan menculik Dewi Mulat
untuk ditukar dengan Dewi Dlajah. Beberapa hari kemudian, setelah mengetahui Dewi
Dlajah telah disetubuhi Sayidina Sis yang tidak bisa membedakan istrinya, Malaikat Ajajil
pun mengembalikan Dewi Mulat dan membawa pulang Dewi Dlajah.

LAHIRNYA SAYIDINA ANWAS DAN SAYIDINA ANWAR


Sembilan bulan kemudian, Dewi Dlajah melahirkan bersamaan dengan terbenamnya
matahari. Namun anehnya, anak yang lahir itu berwujud segumpal darah yang berkilauan.
Malaikat Ajajil mengambil darah tersebut lalu membawanya pergi ke Negeri Kusniya
Malebari.

Page | 4
Sementara itu pada hari yang sama, Dewi Mulat lebih dulu melahirkan bersamaan dengan
terbitnya matahari. Yang dilahirkannya adalah dua orang anak. Anak yang satu berwujud
bayi normal, sedangkan yang satunya berwujud seberkas cahaya.

Malaikat Ajajil datang secara gaib lalu menangkap seberkas cahaya tersebut dan
disatukannya dengan darah berkilauan yang ia bawa dari Dewi Dlajah. Atas kehendak Tuhan,
persatuan tersebut menciptakan seorang bayi laki-laki, namun tubuhnya tidak bisa diraba dan
selalu memancarkan cahaya seperti sinar rembulan.

Nabi Adam datang dan memberi nama kedua cucunya tersebut. Yang berwujud bayi normal
diberi nama Sayidina Anwas, sedangkan yang berwujud bayi bercahaya diberi nama Sayidina
Anwar. Nabi Adam meramalkan bahwa Sayidina Anwas kelak akan menurunkan para nabi,
sedangkan Sayidina Anwar kelak tidak mau mengikuti agamanya dan memilih jalan hidup
sendiri, namun keturunannya juga banyak yang menjadi raja dan tokoh besar di dunia. Hal ini
membuat Sayidina Sis bimbang dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada takdir Tuhan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 5
Sanghyang Nurcahya

Kisah ini menceritakan perjalanan hidup Sayidina Anwar sampai akhirnya menjadi dewa
pertama bergelar Sanghyang Nurcahya.

Sumber dari penyusunan kisah ini adalah Serat Paramayoga, yang dipadukan dengan Serat
Arjunasasrabahu dan Serat Kandha, dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 28 April 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

NABI ADAM MENINGGAL DUNIA

Di Negeri Kusniya Malebari, Nabi Adam telah berusia 990 tahun dan kini dalam keadaan
sakaratulmaut menjelang wafat. Di sekitarnya telah berkumpul semua anggota keluarga,
mulai dari istri, para putra-putri, serta cucu dan cicit. Namun ada seorang yang belum datang,
yaitu Sayidina Anwar putra Sayidina Sis. Nabi Adam mengetahui kalau Sayidina Anwar saat
ini sedang berkelana di Hutan Ambalah di Tanah Keling, dan berguru kepada Malaikat Ajajil.

Tidak lama kemudian Sayidina Anwar datang dan menyampaikan rasa prihatin atas keadaan
sang kakek. Sayidina Sis bertanya apakah benar putranya itu telah berguru kepada Malaikat

Page | 6
Ajajil di Hutan Ambalah. Jika memang benar, ia melarang keras Sayidina Anwar
berhubungan lagi dengan Malaikat Ajajil karena dulu telah dikeluarkan dari Taman Surga
oleh Tuhan Yang Mahakuasa atas kesombongannya yang menolak memberikan
penghormatan kepada Nabi Adam.

Sayidina Anwar mengakui dirinya memang telah berkelana sampai ke Hutan Ambalah di
Tanah Keling, dan berguru kepada seorang pertapa tua. Pertapa tua itu telah mengajarinya
berbagai macam ilmu kesaktian, antara lain kemampuan terbang, menghilang, amblas bumi,
menyelam di air, serta berubah wujud. Mengenai Malaikat Ajajil, ia mengaku tidak kenal dan
tidak tahu-menahu.

Nabi Adam menjelaskan bahwa pertapa tua itu tidak lain adalah Malaikat Ajajil yang sedang
menyamar. Ia berwasiat agar Sayidina Anwar tidak lagi berhubungan dengannya dan supaya
kembali ke agama yang benar.

Tidak lama kemudian muncul dua malaikat yang diutus Tuhan untuk datang ke Kusniya
Malebari. Mereka adalah Malaikat Izrail yang bertugas menjemput roh Nabi Adam, dan
Malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan keputusan Tuhan untuk menunjuk Sayidina Sis,
putra keenam, sebagai nabi menggantikan sang ayah, dan mengangkat Sayidina Kayumaras,
putra ketiga belas, sebagai raja Kusniya Malebari yang baru, dengan bergelar Sultan
Kayumutu.

Demikianlah, Nabi Adam pun meninggal dunia. Para anggota keluarga serentak memanjatkan
doa mengantarkan kepergian rohnya.

SAYIDINA ANWAR MENINGGALKAN KUSNIYA MALEBARI

Empat puluh hari setelah meninggalnya Nabi Adam, terjadi percakapan antara dua orang
putra Nabi Sis, yaitu Sayidina Anwas dan Sayidina Anwar mengenai rahasia kehidupan.
Menurut Sayidina Anwas, agama Nabi Adam adalah agama yang paling benar dan harus
diikuti tanpa penolakan. Semua kitab peninggalan sang kakek bisa dijadikan petunjuk untuk
menjalani kehidupan yang benar, karena isi kitab tersebut berasal dari apa yang diajarkan
Tuhan Yang Mahakuasa kepada Nabi Adam. Maka, mencari agama lain adalah suatu
perbuatan sia-sia belaka.

Sayidina Anwar tidak setuju. Menurutnya, ilmu Tuhan itu sangat luas tak terbatas dan tidak
bisa ditampung hanya dalam kitab-kitab saja. Untuk mempelajari rahasia kehidupan, maka
harus mempelajari pula bagaimana alam bekerja. Alam memiliki hukum sebab-akibat yang
berjalan sesuai ketentuan Tuhan. Apalagi melihat Nabi Adam ternyata meninggal dunia
dalam usia 990 tahun membuat Sayidina Anwar merasa sangat kecewa. Ia berpendapat, jika
memang agama yang diajarkan Nabi Adam itu benar, harusnya dapat menghindarkannya dari
kematian seperti kaum malaikat yang hidup abadi.

Sayidina Anwas tidak setuju, karena makhluk bernama manusia dan malaikat jelas berbeda
secara penciptaan. Manusia berasal dari saripati tanah dan harus kembali menjadi tanah.
Namun Sayidina Anwar tetap bersikeras bahwa manusia bisa mencapai kehidupan abadi
seperti malaikat jika mau berusaha. Setelah membulatkan tekad, ia pun memutuskan untuk
pergi berkelana lagi demi mendapatkan kehidupan abadi tersebut.

Sayidina Anwas berusaha menghalangi niat adiknya itu. Terpaksa ia menggunakan kekerasan

Page | 7
supaya sang adik menghentikan langkah. Kedua bersaudara itu lalu terlibat pertarungan seru.
Karena Sayidina Anwar jauh lebih sakti, maka ia pun dapat meloloskan diri.

Sayidina Anwas sangat sedih bercampur malu. Ia bersumpah meskipun ilmu kesaktian
adiknya lebih tinggi, namun kelak akan ada keturunannya yang bisa mengalahkan keturunan
Sayidina Anwar.

SAYIDINA ANWAR MENDAPATKAN TIRTAMARTA KAMANDANU

Setelah sampai di perbatasan Kusniya Malebari, Sayidina Anwar bertemu Malaikat Ajajil
yang memperkenalkan diri sebagai kakeknya dari pihak ibu. Malaikat Ajajil juga
menceritakan bahwa dirinya dulu menyamar sebagai pertapa tua yang telah mengajarkan
segala macam ilmu kesaktian sewaktu Sayidina Anwar bertapa di Hutan Ambalah di Tanah
Keling.

Sayidina Anwar bertanya alasan apa yang membuat Nabi Adam berwasiat agar dirinya tidak
lagi berhubungan dengan Malaikat Ajajil. Malaikat Ajajil pun menceritakan latar belakang
permasalahan ini. Dulu di Taman Surga, ia adalah pemuka kaum malaikat, bahkan disebut-
sebut sebagai makhluk yang paling tekun beribadah kepada Tuhan. Sampai akhirnya Tuhan
berkehendak memilih manusia bernama Adam sebagai khalifah di muka bumi. Para malaikat
menyampaikan keluhan kepada Tuhan bahwa manusia hanyalah makhluk yang suka berbuat
kerusakan. Tuhan lalu mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada Nabi Adam sehingga
para malaikat pun mengaku kalah. Maka ketika Tuhan memerintahkan kepada para malaikat
untuk menyatakan tunduk dan memberikan penghormatan kepada Nabi Adam, mereka pun
serentak mematuhi, kecuali Malaikat Ajajil sang pemuka. Malaikat Ajajil tetap pada
pendiriannya, bahwa manusia adalah makhluk yang mudah berubah-ubah hatinya, sehingga
tidak layak mendapatkan penghormatan. Karena menolak perintah Tuhan itulah, Malaikat
Ajajil pun dikeluarkan dari Taman Surga.

Sayidina Anwar mendengarkan cerita itu dengan seksama, dan merasa pendapat Malaikat
Ajajil ada benarnya, namun menentang perintah Tuhan jelas adalah perbuatan yang keliru. Ia
tidak mau terlibat dalam permusuhan antara Nabi Adam dan Malaikat Ajajil karena keduanya
adalah sama-sama kakek baginya. Ia hanya ingin bisa hidup abadi seperti kaum malaikat.
Malaikat Ajajil berjanji akan membimbing cucunya itu dalam mewujudkan cita-citanya.
Sayidina Anwar sangat gembira dan bersedia mematuhi segala nasihatnya. Mereka berdua
lalu berangkat menuju ke Kutub Utara untuk mencari sumber keabadian tersebut, yang konon
akan memancar dari mustika awan mendung di sana.

Malaikat Ajajil dan Sayidina Anwar akirnya sampai di Tanah Lulmat yang terletak di balik
Kutub Utara. Di sana Sayidina Anwar kemudian bertapa memohon kemurahan Tuhan.
Setelah sekian lama bertapa melawan hawa dingin, datanglah sekumpulan awan mendung
yang berasal dari Lautan Rahmat. Dari awan mendung tersebut memancar keluar air
keabadian yang disebut Tirtamarta Kamandanu.

Atas nasihat Malaikat Ajajil, Sayidina Anwar segera mandi dan meminum air keabadian
tersebut. Setelah itu ia pun berniat menampung air yang masih terus memancar agar kelak
bisa diminum anak cucunya. Namun ia tidak tahu bagaimana caranya dan juga tidak memiliki
wadah yang tepat. Memahami hal itu, Malaikat Ajajil pun menyerahkan Cupumanik Astagina
milik Nabi Adam dan Siti Hawa. Dulu cupumanik tersebut menjadi wadah benih yang
mereka keluarkan saat peristiwa lahirnya Nabi Sis. Cupumanik itu kemudian terhempas oleh

Page | 8
angin topan dan ditemukan Malaikat Ajajil di dalam lautan.

Sayidina Anwar menerima cupumanik itu. Meskipun ukurannya kecil, namun memiliki daya
kesaktian mampu menampung semua air keabadian yang dipancarkan awan mendung
tersebut sampai habis. Setelah dirasa cukup, keduanya lalu pergi meninggalkan Tanah
Lulmat.

SAYIDINA ANWAR MENDAPATKAN LATA MAHOSADI

Sesampainya di luar Kutub Utara, Malaikat Ajajil pamit pergi meninggalkan Sayidina Anwar
yang kemudian melanjutkan perjalanan pulang sendiri. Di tengah jalan, Sayidina Anwar
menemukan Pohon Rewan, yaitu sejenis pohon ajaib yang tidak memiliki daun sama sekali,
tapi bisa hidup sehat. Suara hatinya berkata bahwa akar pohon gundul tersebut bernama Oyod
Mimang, merupakan pusaka yang sangat ampuh.

Sayidina Anwar lalu mengambil Oyod Mimang itu dan menjadikannya sebagai pusaka yang
diberi nama Lata Mahosadi. Keampuhan akar pohon ini adalah dapat digunakan untuk
menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan bisa menghidupkan orang mati.

Akan tetapi, karena menyimpan Lata Mahosadi tanpa persiapan, tiba-tiba pikiran Sayidina
Anwar menjadi bingung. Ia tidak tahu ke mana arah jalan pulang menuju Kusniya Malebari.
Maka, ia pun berjalan secara serabutan dan akhirnya terlunta-lunta selama ribuan tahun.

SAYIDINA ANWAR BERGURU KEPADA DUA MALAIKAT

Sesampainya di Laut Hitam, Sayidina Anwar menyaksikan pemandangan aneh. Ia melihat


dua orang manusia tergantung-gantung di angkasa, di atas laut. Sayidina Anwar bertanya, dan
kedua orang itu mengaku bernama Malaikat Harut dan Malaikat Marut.

Kedua malaikat tersebut dulu pernah menyampaikan keluhan kepada Tuhan, bahwa
keputusan Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah di bumi adalah keliru. Banyak sekali
keturunan Nabi Adam yang berbuat kerusakan dan menuruti hawa nafsu. Jika yang menjadi
khalifah adalah bangsa malaikat, tentu bumi akan lebih makmur.

Kedua malaikat juga berkata, jika mereka memiliki hawa nafsu seperti manusia, pasti mereka
tetap bisa mengendalikannya dan tidak mungkin terjerumus ke dalam kejahatan. Tuhan Yang
Mahakuasa lalu memberikan ujian dengan cara mengisi mereka berdua dengan hawa nafsu
dan menurunkannya ke bumi. Ternyata pada akhirnya mereka gagal juga menjalani ujian
tersebut karena terlena oleh pujian sehingga mengajarkan ilmu sihir kepada umat manusia
dengan sesuka hati. Kini, Malaikat Harut dan Malaikat Marut harus menjalani hukuman
dengan tergantung-gantung di atas Laut Hitam.

Sayidina Anwar sangat tertarik dan ingin menjadi murid mereka. Kedua malaikat lalu
mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti ilmu perbintangan, ilmu bumi, ilmu
kebijaksanaan, serta ilmu berbicara dengan berbagai jenis makhluk hidup.

Sayidina Anwar sangat bersyukur. Ia merasa tidak perlu lagi kembali ke Negeri Kusniya
Malebari karena semua anggota keluarga yang dikenalnya pasti sudah meninggal dunia.
Maka, ia lantas menanyakan di mana letak Surga dan Neraka karena ingin melihat bagaimana
keadaan di dalam sana. Kedua malaikat berbohong dengan mengatakan bahwa Surga dan

Page | 9
Neraka terletak di hulu Sungai Nil.

SAYIDINA ANWAR BERGURU KEPADA SAYIDINA LATA DAN SITI UJWA

Sayidina Anwar yang polos segera mengikuti petunjuk kedua malaikat gurunya. Ia pun
mendatangi Sungai Nil dan berjalan menyusuri sungai terpanjang di dunia tersebut. Dalam
perjalanannya itu ia bertemu paman dan bibinya yang bernama Sayidina Lata dan Siti Ujwa,
putra-putri Nabi Adam dan Siti Hawa nomor lima belas.

Sayidina Anwar sangat terkejut melihat paman dan bibinya itu masih hidup. Ternyata mereka
berdua dulu kabur dari Kusniya Malebari karena tidak bersedia dinikahkan dengan saudara
yang lain, sebagaimana yang pernah dikeluhkan Sayidina Kabil. Mereka juga tidak mengikuti
agama Nabi Adam dan memilih mencari jalan kehidupan sendiri, sehingga akhirnya
menemukan cara agar bisa tetap awet muda.

Sayidina Anwar kemudian berguru kepada paman dan bibinya tersebut, dan ia memperoleh
ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara melihat masa depan. Setelah dirasa cukup,
Sayidina Anwar lalu melanjutkan perjalanan menuju hulu Sungai Nil.

SAYIDINA ANWAR MELIHAT ISI SURGA DAN NERAKA

Sayidina Anwar telah sampai di hulu Sungai Nil yang berupa rawa-rawa sangat luas bernama
Rawa Jambirijahiri. Ia sangat kecewa dan merasa telah ditipu oleh Malaikat Harut dan
Malaikat Marut karena di tempat itu ternyata sama sekali tidak terdapat Surga dan Neraka.
Yang ada di sana hanyalah pemandangan Gunung Kapsi yang berkali-kali menyemburkan api
mengerikan.

Sayidina Anwar melihat air yang mengisi rawa-rawa tersebut ternyata bersumber dari mata
air di Gunung Kapsi. Maka ia pun melanjutkan perjalanan mendaki gunung tersebut. Di
puncak gunung, ia bertemu seorang kakek tua yang mengaku sebagai penguasa Surga dan
Neraka.

Kakek tua itu tidak lain adalah Malaikat Ajajil yang sedang menyamar. Ia mengatakan bahwa
Sayidina Anwar yang berhati tulus dalam mematuhi petunjuk kedua gurunya, berhak
menerima anugerah Tuhan berupa Permata Retnadumilah. Melalui permata tersebut, Sayidina
Anwar dapat menyaksikan keindahan Surga dan kengerian Neraka.

Si kakek tua lalu mengajarkan berbagai macam ilmu baru kepada Sayidina Anwar, antara lain
ilmu panitisan atau bersatu dengan makhluk lain, ilmu memasuki alam kematian, dan ilmu
memutarbalikkan waktu. Setelah selesai, kakek tua itu memerintahkan kepada Sayidina
Anwar untuk bertapa ke Pulau Lakdewa yang terletak di Samudera Hindia. Sayidina Anwar
pun mohon pamit dan berangkat.

SAYIDINA ANWAR BERTAPA DI PULAU LAKDEWA

Sayidina Anwar telah sampai di Pulau Lakdewa dan bertapa di puncak sebuah gunung. Ia
bertapa dengan cara menatap jalannya Matahari. Jika pagi hari wajahnya menghadap ke
timur, jika siang hari wajahnya menghadap ke atas, dan jika sore hari wajahnya menghadap
ke barat, kemudian jika malam hari ia berendam di air.

Page | 10
Setelah tujuh tahun bertapa seperti itu dengan sabar dan tekun, Sayidina Anwar pun menjadi
makhluk halus yang berbadan rohani, tinggal di alam Sunyaruri, yaitu alam para jin. Di alam
itu tiada barat, tiada timur, tiada utara, tiada selatan, tiada atas, tiada bawah. Terang tanpa
siang, gelap tanpa malam. Ruang dan waktu menjadi satu, sudah musnah semua tiada nama,
dan segalanya berada dalam rengkuhan Tuhan Yang Mahakuasa.

Sayidina Anwar kemudian mendapatkan perintah Tuhan untuk segera berkeluarga, karena
keturunan Sayidina Anwas saja saat ini sudah mencapai zaman Nabi Musa. Sayidina Anwar
patuh dan segera bertapa di dalam gua untuk mendapatkan jodoh yang tepat.

PRABU NURHADI MENCARI MENANTU

Tersebutlah raja jin di Pulau Maladewa bernama Prabu Nurhadi, yang masih keturunan Jan
Banujan, leluhur para jin di dunia. Ia memerintah didampingi saudaranya yang bernama Patih
Amir. Pada suatu hari, putri tunggal Prabu Nurhadi yang bernama Dewi Nurrini bermimpi
didatangi seorang kakek tua yang memberi tahu bahwa jodohnya yang bernama Sayidina
Anwar sudah dekat, dan saat ini bertapa di sebuah gua. Kakek tua itu mengabarkan bahwa
perkawinan Dewi Nurrini dengan Sayidina Anwar kelak akan menurunkan raja-raja Tanah
Hindustan dan Tanah Jawa.

Dewi Nurrini menceritakan apa yang dialaminya kepada sang ayah. Prabu Nurhadi lalu
mengutus Patih Amir untuk pergi menyelidiki laki-laki yang digambarkan sang putri dalam
mimpinya itu. Patih Amir pun mohon diri dan berangkat.

Perjalanan Patih Amir akhirnya sampai di Pulau Lakdewa dan ia menemukan seorang laki-
laki di dalam gua yang tubuhnya bercahaya tapi tidak menyilaukan, seperti sinar bulan
purnama. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayidina Anwar
seperti yang ia cari, Patih Amir pun mengajaknya pergi ke Pulau Maladewa untuk bertemu
Prabu Nurhadi dan Dewi Nurrini.

SAYIDINA ANWAR MENIKAH DENGAN DEWI NURRINI

Prabu Nurhadi menerima kedatangan Sayidina Anwar dan Patih Amir. Dilihatnya sosok
Sayidina Anwar ternyata berwajah tampan dan tubuhnya bercahaya seperti bulan purnama,
membuat hatinya sangat berkenan. Dewi Nurrini juga yakin kalau Sayidina Anwar ini sesuai
dengan petunjuk yang diberikan si kakek tua dalam mimpi. Maka pernikahan di antara
mereka pun dilangsungkan di Pulau Maladewa, dan Sayidina Anwar berganti nama menjadi
Sanghyang Nurcahya.

Singkat cerita, Dewi Nurrini telah mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang
diberi nama Sanghyang Nurrasa. Prabu Nurhadi merasa sudah tiba saatnya untuk
mengundurkan diri dari takhta Kerajaan Maladewa, dan menyerahkannya kepada sang
menantu. Maka sejak saat itu, Sanghyang Nurcahya menjadi pemimpin Kerajaan Maladewa,
yang namanya kemudian diganti menjadi Kahyangan Pulau Dewa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 11
Wisuda Sanghyang Wenang

Kisah ini menceritakan perjalanan hidup Sanghyang Nurrasa, putra Sanghyang Nurcahya
yang dilanjutkan dengan putranya yang bernama Sanghyang Wenang.

Sumber dari penyusunan cerita ini adalah Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 01 Mei 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

SANGHYANG NURRASA MENINGGALKAN PULAU DEWA

Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Nurcahya dihadap Sanghyang Nurrasa dan Patih
Amir. Yang dibicarakan adalah rencana Sanghyang Nurcahya untuk mewariskan takhta
beserta semua pusaka kepada Sanghyang Nurrasa yang dianggap telah cukup dewasa. Namun
Sanghyang Nurrasa merasa belum memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab
berat ini.

Sanghyang Nurcahya lalu memerintahkan putra tunggalnya itu untuk segera menikah
sehingga memiliki istri yang bisa diajak berunding dalam memutuskan permasalahan. Lagi-
lagi Sanghyang Nurrasa menolak karena masih ingin menambah ilmu dan pengalaman,
apalagi dirinya belum mengetahui siapa wanita yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup.
Sanghyang Nurcahya marah dan mengusir Sanghyang Nurrasa pergi meninggalkan

Page | 12
Kahyangan Pulau Dewa.

Sepeninggal Sanghyang Nurrasa, Patih Amir memohon supaya Sanghyang Nurcahya


mengampuni Sanghyang Nurrasa dan memerintahkannya kembali. Namun Sanghyang
Nurcahya menjelaskan bahwa kemarahannya tadi hanyalah pura-pura untuk mengukur
sampai sejauh mana keteguhan hati dan kedalaman ilmu putranya. Sanghyang Nurcahya lalu
memerintahkan Patih Amir untuk mengawasi perjalanan Sanghyang Nurrasa dari kejauhan.
Sang Patih menurut dan segera berangkat.

SANGHYANG NURRASA BERTAPA DI PULAU DARMA

Sanghyang Nurrasa berkelana sampai tiba di Pulau Darma dan bertapa di puncak sebuah
gunung. Beberapa waktu kemudian datang seorang jin bernama Patih Parwata bersama
pasukannya. Patih Parwata marah karena ada orang asing berani bertapa di wilayah Kerajaan
Pulau Darma. Mereka pun mengganggu Sanghyang Nurrasa supaya menghentikan tapa brata
tersebut.

Sanghyang Nurrasa bangun dan menghadapi Patih Parwata. Keduanya lalu mengadu
kepandaian yang dilanjutkan dengan pertempuran adu kesaktian. Meskipun seorang diri,
namun Sanghyang Nurrasa mampu menghadapi mereka semua tanpa terdesak sama sekali.
Patih Amir yang mengintai dari persembunyian akhirnya muncul dan melerai pertempuran
tersebut sebelum jatuh korban di antara mereka.

Kepada Patih Parwata, Patih Amir memperkenalkan Sanghyang Nurrasa sebagai cucu dari
Prabu Nurhadi. Ternyata Patih Parwata adalah kakak kandung Prabu Nurhadi dan Patih Amir
sendiri. Patih Parwata sangat gembira mengetahui bahwa Sanghyang Nurrasa ternyata masih
anggota keluarganya. Ia pun mengundang Sanghyang Nurrasa dan Patih Amir untuk
berkunjung ke Kerajaan Pulau Darma.

SANGHYANG NURRASA MENIKAH DENGAN DEWI RAWATI

Raja jin di Kerajaan Pulau Darma bernama Prabu Rawangin adalah adik dari Patih Parwata,
sehingga terhitung masih saudara Prabu Nurhadi dan Patih Amir pula. Prabu Rawangin
menyambut baik kedatangan Sanghyang Nurrasa dan langsung merasa suka kepadanya.
Maka, Prabu Rawangin pun berniat menjadikan Sanghyang Nurrasa sebagai menantu, yaitu
dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Rawati.

Prabu Rawangin menceritakan beberapa hari yang lalu Dewi Rawati telah bermimpi
mendapat petunjuk bahwa jodohnya sudah dekat, dan merupakan cucu dari Nabi Sis. Tak
disangka laki-laki yang dimaksud dalam mimpi tersebut kini sudah hadir dan masih anggota
keluarga sendiri dari pihak ibu. Menanggapi hal ini, Sanghyang Nurrasa meminta
pertimbangan kepada Patih Amir, dan Patih Amir pun menyarankan supaya menerima
perjodohan tersebut. Sanghyang Nurrasa akhirnya bersedia menjadi menantu Prabu
Rawangin.

Maka, diadakanlah upacara pernikahan antara Sanghyang Nurrasa dengan Dewi Rawati.
Tujuh hari kemudian Sanghyang Nurrasa mendapat izin memboyong sang istri untuk
menetap di Kahyangan Pulau Dewa.

SANGHYANG NURCAHYA MEWARISKAN KAHYANGAN PULAU DEWA

Page | 13
Sanghyang Nurcahya dan Dewi Nurrini menyambut kedatangan Sanghyang Nurrasa dan
Dewi Rawati dengan suka cita. Sanghyang Nurcahya kemudian menyatakan pengunduran
dirinya sebagai penguasa Kahyangan Pulau Dewa. Ia telah menulis semua pengalaman
hidupnya dalam sebuah kitab gaib bernama Pustaka Darya, dan menyerahkannya kepada
Sanghyang Nurrasa bersama pusaka-pusaka yang lain, yaitu Tirtamarta Kamandanu,
Cupumanik Astagina, Lata Mahosadi, dan Retna Dumilah.

Setelah Sanghyang Nurrasa meminum Tirtamarta Kamandanu, Sanghyang Nurcahya


kemudian menitis ke dalam dirinya, bersatu jiwa raga dengan putranya tersebut. Sejak saat
itu, Sanghyang Nurrasa pun menjadi pemimpin tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa.

KELAHIRAN ANAK-ANAK SANGHYANG NURRASA

Beberapa bulan kemudian, Dewi Rawati melahirkan putra berupa Sotan, yaitu suara tanpa
rupa, berjumlah dua dan saling berebut siapa yang lebih tua. Sanghyang Nurrasa lalu
mengheningkan cipta memasuki alam gaib dan membina semua rahsa, sehingga kedua suara
itu dapat dikumpulkan dan diberi wujud. Yang bersuara besar dijadikan anak pertama, diberi
nama Sang Supi, bergelar Sanghyang Darmajaka, atau Sanghyang Wening, sedangkan yang
bersuara kecil dijadikan anak kedua, diberi nama Sang Jaji, bergelar Sanghyang Wenang.

Beberapa tahun kemudian Dewi Rawati melahirkan anak ketiga, berwujud Akyan atau jin
sejati, yang oleh Sanghyang Nurrasa diberi nama Sanghyang Taya. Ketiga putra Sanghyang
Nurrasa itu sama-sama suka bertapa dan belajar ilmu kesaktian, dan yang paling menonjol di
antara mereka adalah Sanghyang Wenang.

PRABU HARI MENYERANG PULAU DEWA

Tersebutlah seorang raja jin bernama Prabu Hari dari Kerajaan Keling. Ia mendengar adanya
penguasa bernama Sanghyang Nurrasa di Kahyangan Pulau Dewa yang telah banyak
menundukkan kaum jin. Prabu Hari merasa penasaran dan berniat mencoba ilmu kesaktian
Sanghyang Nurrasa. Bersama Patih Sangadik dan sekutunya yang bernama Prabu Sikanda
dari Kerajaan Selongkandi, mereka pun berangkat menyerang Pulau Dewa.

Sesampainya di sana, Sanghyang Nurrasa justru menyambut kedatangan mereka dengan


ramah. Tak disangka, Sanghyang Nurrasa ternyata sudah mengetahui maksud dan tujuan para
jin tersebut dan menyerahkan semua urusan kepada para putra.

Maka, Prabu Hari pun berhadapan dengan Sanghyang Wenang. Meskipun baru bertemu,
namun Sanghyang Wenang dapat menebak asal-usul Prabu Hari, yaitu putra Jin Saraba.
Adapun Jin Saraba adalah saudara dari Prabu Nurhadi, Prabu Rawangin, Patih Parwata, dan
Patih Amir. Juga ada lagi saudara mereka yang lebih tua bernama Prabu Palija, raja Kerajaan
Keling sebelumnya. Setelah Prabu Palija turun takhta, Kerajaan Keling diserahkan kepada
putranya yang bergelar Prabu Sangadik. Namun Prabu Sangadik dapat dikalahkan oleh
sepupunya sendiri, yaitu Prabu Hari tersebut. Prabu Sangadik lalu menyerahkan Kerajaan
Keling kepada sepupunya itu, juga mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi
Wisawati. Prabu Hari kemudian menikahi Dewi Wisawati, sedangkan Prabu Sangadik
ditetapkan sebagai patih.

Prabu Hari malu sekaligus marah karena asal-usulnya dapat ditebak. Ia pun menyerang

Page | 14
Sanghyang Wenang dan terjadilah pertempuran. Namun pertempuran itu dapat dimenangkan
oleh Sanghyang Wenang. Di sisi lain, Prabu Sikanda juga dapat dikalahkan oleh Sanghyang
Darmajaka, sedangkan Patih Sangadik menyerah kalah kepada Sanghyang Taya.

SANGHYANG NURRASA MENGUNDURKAN DIRI

Sanghyang Nurrasa sangat senang melihat kemenangan putra-putranya, terutama kepada


Sanghyang Wenang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Ia pun mengubah permusuhan
menjadi persahabatan dengan melamar putri-putri Prabu Sikanda dan Prabu Hari untuk
menjadi menantunya. Kedua raja jin sangat gembira dan menerima lamaran tersebut dengan
senang hati.

Maka, diadakanlah pernikahan antara Sanghyang Darmajaka dengan Dewi Sikandi putri
Prabu Sikanda, serta Sanghyang Wenang dengan Dewi Sahoti putri Prabu Hari. Adapun
Sanghyang Taya kelak akan bertemu jodohnya di lain waktu, demikian nasihat Sanghyang
Nurrasa.

Tidak hanya itu, Prabu Sikanda juga menyerahkan Kerajaan Selongkandi kepada Sanghyang
Darmajaka untuk menjadi penguasa di sana, sedangkan Prabu Hari menyerahkan Kerajaan
Keling kepada Sanghyang Wenang. Namun Sanghyang Nurrasa memiliki rencana lain, yaitu
mengangkat Sanghyang Wenang sebagai ahli waris Kahyangan Pulau Dewa. Adapun
Kerajaan Keling sebaiknya diserahkan kepada putra Sanghyang Wenang yang kelak lahir dari
Dewi Sahoti.

Setelah keputusan diambil, Sanghyang Nurrasa lalu menyerahkan semua pusaka peninggalan
Sanghyang Nurcahya kepada Sanghyang Wenang, lalu ia pun menitis dan bersatu jiwa raga
dengan putra keduanya itu. Maka, sejak saat itu Sanghyang Wenang menjadi penguasa
tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa dengan bergelar Sanghyang Jatiwisesa, sedangkan
Sanghyang Darmajaka menjadi penguasa Kahyangan Selongkandi dengan bergelar
Sanghyang Purbawisesa. Sementara adik mereka, yaitu Sanghyang Taya memakai gelar
Sanghyang Pramanawisesa.

Page | 15
Sanghyang Wenang

KELAHIRAN SANGHYANG TUNGGAL

Setahun kemudian, Sanghyang Wenang membangun kahyangan baru yang melayang-layang


di atas Gunung Tunggal, yang masih di dalam wilayah Pulau Dewa. Bersamaan dengan itu,
Dewi Sahoti melahirkan putra pertama yang berwujud Akyan, dengan diliputi cahaya merah,
kuning, hitam, dan putih. Sanghyang Wenang memandikan putranya itu dengan Tirtamarta
Kamandanu sehingga keempat cahaya pun bersatu ke dalam diri si bayi yang langsung
berubah dewasa.

Sanghyang Wenang kemudian memberi nama putra pertamanya itu Sanghyang Tunggal,
sesuai nama Kahyangan Gunung Tunggal yang ditempatinya.

Page | 16
Pulau Dewa Lebur

Kisah ini menceritakan tentang peperangan antara Sanghyang Wenang melawan Nabi
Suleman yang berakhir dengan kehancuran Pulau Dewa, dan disambung dengan berdirinya
Kahyangan Tengguru.

Sumber dari penyusunan kisah ini adalah Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita,
dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 07 Mei 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

NAGA ANANTAWASESA MEMINTA PERLINDUNGAN

Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Wenang menerima kedatangan sang mertua, yaitu
Prabu Hari, beserta Patih Sangadik. Yang dibicarakan adalah rencana Prabu Hari untuk turun
takhta dan menyerahkan Kerajaan Keling kepada cucunya, yaitu Sanghyang Tunggal.
Namun, Sanghyang Wenang menjelaskan bahwa saat ini putra pertamanya itu sedang pergi
berkelana. Rupanya Sanghyang Tunggal mewarisi sifat turun-temurun dari para leluhur yang
suka mengembara dan melakukan tapa brata.

Sanghyang Wenang juga menceritakan bahwa Dewi Sahoti saat ini sedang mengandung
untuk yang kedua kalinya dan mungkin sebentar lagi akan melahirkan. Prabu Hari sangat

Page | 17
senang mendengar berita gembira ini dan tidak sabar menunggu kelahiran cucunya.

Tiba-tiba datang seorang raja jin berwujud ular besar bernama Naga Anantawasesa dari
Kerajaan Saptapratala yang mengaku ingin menjadi pengikut Sanghyang Wenang. Tadinya ia
adalah penganut agama Nabi yang diajarkan oleh Nabi Suleman di Kerajaan Bani Israil,
namun kemudian tertarik untuk berpindah menjadi penganut agama Dewa. Hal ini didengar
oleh pemuka bangsa jin yang mengabdi kepada Nabi Suleman, bernama Jin Sakar. Terjadilah
perselisihan di mana Jin Sakar memaksa Naga Anantawasesa supaya kembali memeluk
agama Nabi. Naga Anantawasesa menolak dan terjadilah pertempuran. Karena jumlah
pasukan Jin Sakar lebih banyak, ia pun terdesak dan melarikan diri menuju Kahyangan Pulau
Dewa untuk meminta perlindungan.

Tidak lama kemudian, Jin Sakar datang menyusul dan meminta supaya Naga Anantawasesa
diserahkan kepadanya. Jin Sakar juga memperingatkan Sanghyang Wenang agar
meninggalkan agama Dewa dan kembali kepada agama yang benar, yaitu yang sudah turun-
temurun sejak zaman Nabi Adam. Apalagi saat ini yang menjadi pemuka agama adalah Nabi
Suleman, yang juga merajai bangsa manusia, jin, dan segala jenis binatang di wilayah Bani
Israil.

Sanghyang Wenang mengatakan bahwa masalah agama adalah masalah keyakinan yang tidak
bisa dipaksakan. Prabu Hari kesal melihat ulah Jin Sakar dan menantangnya keluar.
Pertemuan pun dibubarkan.

KELAHIRAN SANGHYANG HENING DAN DEWI SUYATI

Sanghyang Wenang menemui istrinya, Dewi Sahoti yang hendak melahirkan. Tidak lama
kemudian lahirlah sepasang Akyan, laki-laki dan perempuan, yang masing-masing
memancarkan cahaya. Sanghyang Wenang memandikan keduanya dengan Tirtamarta
Kamandanu, sehingga memiliki wujud bayi dan dalam waktu singkat berubah pula menjadi
dewasa.

Sanghyang Wenang lalu memberi nama untuk mereka berdua. Yang laki-laki diberi nama
Sanghyang Hening, sedangkan yang perempuan diberi nama Dewi Suyati.

JIN SAKAR MENJADI PENGIKUT SANGHYANG WENANG

Prabu Hari berhadap-hadapan dengan Jin Sakar. Terjadilah pertempuran antara pasukan jin
Kahyangan Pulau Dewa melawan pasukan jin Kerajaan Bani Israil. Pada mulanya pihak
Pulau Dewa terdesak kewalahan. Namun kemudian Sanghyang Wenang turun ke medan laga
dan mengeluarkan Aji Pangabaran, membuat Jin Sakar dan para prajuritnya terkulai lemas
tanpa daya dan menyerah kalah.

Jin Sakar mohon ampun dan menyatakan diri tunduk kepada Kahyangan Pulau Dewa.
Sanghyang Wenang lalu bertanya mengapa Nabi Suleman bisa begitu berkuasa terhadap
segala jenis makhluk hidup, mulai dari manusia, jin, serta binatang. Jin Sakar menceritakan
bahwa Nabi Suleman memiliki cincin pusaka pemberian Tuhan bernama Cincin
Maklukatgaib yang menjadi daya kesaktiannya.

Sanghyang Wenang tertarik dan ingin memiliki cincin pusaka tersebut. Prabu Hari menasihati
bahwa menginginkan benda milik orang lain adalah perbuatan yang tidak baik. Namun

Page | 18
Sanghyang Wenang mengabaikan nasihat mertuanya dan tetap memerintahkan Jin Sakar
untuk pergi mencurinya.

Jin Sakar menyatakan sanggup dan segera berangkat meninggalkan Kahyangan Pulau Dewa
menuju ke Negeri Bani Israil. Sementara itu, Prabu Hari menjenguk Dewi Sahoti yang baru
saja melahirkan dan menemui kedua cucu barunya dengan penuh suka cita. Setelah itu, ia dan
Patih Sangadik mohon pamit pulang ke Kerajaan Keling.

Sanghyang Wenang

JIN SAKAR MENCURI CINCIN MAKLUKATGAIB

Jin Sakar tiba di tempat tujuan dan diam-diam menyusup ke dalam kamar tidur Nabi
Suleman. Ketika Sang Nabi sedang mandi, Cincin Maklukatgaib ditinggal di dalam kamar
tidurnya. Jin Sakar yang sudah hafal kegiatan sehari-hari Nabi Suleman pun dapat mencuri
cincin tersebut dan memakainya di jari. Ketika Nabi Suleman selesai mandi dan hendak
mengambil cincin itu, Jin Sakar lebih dulu menyerangnya sampai pingsan dan kemudian
melemparkan tubuhnya ke laut.

Setelah memakai cincin pusaka tersebut, Jin Sakar menjadi lupa diri. Ia pun menyamar
sebagai Nabi Suleman dan duduk di atas takhta memimpin segenap rakyat Bani Israil. Setelah
empat puluh hari bersenang-senang, Jin Sakar akhirnya teringat pada Sanghyang Wenang. Ia
lalu meninggalkan Kerajaan Bani Israil dan kembali menuju Kahyangan Pulau Dewa.

NABI SULEMAN MENDAPATKAN KEMBALI CINCIN MAKLUKATGAIB

Rupanya perbuatan Jin Sakar mencuri Cincin Maklukatgaib dan menyamar menjadi Nabi
Suleman telah diketahui oleh para jin lainnya. Mereka pun mengejar Jin Sakar dan berhasil

Page | 19
menyusulnya. Terjadilah pertempuran di atas laut. Jin Sakar terdesak kewalahan dan Cincin
Maklukatgaib pun jatuh ke dalam laut. Ia kemudian melarikan diri kembali ke Kahyangan
Pulau Dewa.

Sementara itu, nasib Nabi Suleman yang telah dibuang ke laut oleh Jin Sakar ternyata dapat
diselamatkan oleh para pencari ikan dalam keadaan sakit parah. Ia pun dirawat di desa
nelayan dan setiap hari berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa supaya diberi kesembuhan.

Doa tersebut akhirnya dikabulkan. Cincin Maklukatgaib yang jatuh ke laut telah digigit oleh
seekor ikan, dan ikan itu kemudian ditangkap para nelayan. Mengetahui ada yang aneh pada
mulut ikan tersebut, para nalayan pun mempersembahkannya kepada Nabi Suleman.

Nabi Suleman sangat gembira bisa menemukan kembali Cincin Maklukatgaib dan langsung
mendapat kesembuhan. Ia pun berterima kasih kepada para nelayan dan segera kembali ke
Kerajaan Bani Israil.

SANGHYANG TUNGGAL BERKELUARGA

Di Kahyangan Selongkandi, Sanghyang Darmajaka telah memiliki lima orang anak, bernama
Dewi Darmani, Sanghyang Darmana, Sanghyang Triyarta, Sanghyang Caturkaneka, dan
Sanghyang Pancaresi. Adapun Dewi Darmani telah dinikahkan dengan Sanghyang Tunggal,
putra sulung Sanghyang Wenang. Dari perkawinan itu telah lahir tiga orang putra, yaitu
Sanghyang Rudra, Sanghyang Darmastuti, dan Sanghyang Dewanjali.

Telah cukup lama Sanghyang Tunggal tinggal di Kahyangan Selongkandi. Pada suatu hari ia
bermimpi melihat Kahyangan Pulau Dewa hancur lebur karena bencana alam besar-besaran.
Seketika ia pun merasa cemas terhadap keselamatan orang tuanya. Maka, ia lantas mohon
pamit kepada Sanghyang Darmajaka untuk pulang ke Pulau Dewa. Sanghyang Darmajaka
pun memberikan izin, serta berharap Sanghyang Wenang sekeluarga selalu mendapatkan
perlindungan dari Tuhan Yang Mahakuasa.

NABI SULEMAN MENGHANCURKAN PULAU DEWA

Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Wenang menerima kedatangan Jin Sakar yang baru
kembali dari menjalankan tugas di Kerajaan Bani Israil. Jin Sakar memohon ampun karena
dirinya telah lupa diri sehingga pada akhirnya gagal mendapatkan Cincin Maklukatgaib.
Sanghyang Wenang menerima laporan tersebut dengan perasaan pasrah kepada takdir Tuhan.
Ia juga merasa bersalah karena tidak sepantasnya menginginkan benda milik orang lain yang
bukan menjadi haknya.

Sanghyang Wenang kemudian menyambut kedatangan Sanghyang Tunggal, putra sulungnya.


Mereka lalu saling becerita tentang keadaan masing-masing. Sampai akhirnya, Sanghyang
Tunggal menceritakan mimpi buruk yang telah dialaminya. Baru saja Sanghyang Tunggal
mengakhiri cerita, tiba-tiba terjadi bencana alam besar-besaran melanda Pulau Dewa.
Ternyata Nabi Suleman telah datang secara diam-diam untuk menghukum Jin Sakar dan para
pengikutnya yang telah berkhianat. Ia memasang pusaka Kasang Tumbal, sehingga
menyebabkan Pulau Dewa diguncang gempa bumi dan banjir besar, serta Gunung Tunggal
pun meletus hebat.

Para jin pengikut Pulau Dewa menjadi kocar-kacir dan berteriak-teriak mohon ampun.

Page | 20
Sanghyang Wenang merasa tidak mampu menghadapi tumbal yang dipasang Nabi Suleman
dan memutuskan untuk pergi mengungsi. Selain itu ia juga mengetahui cerita zaman dulu,
bahwa Sayidina Anwas pernah bersumpah akan ada keturunannya yang bisa mengalahkan
keturunan Sayidina Anwar, dan inilah saatnya sumpah itu menjadi kenyataan.

Dalam keadaan gawat itu, Naga Anantawasesa mengusulkan supaya Sanghyang Wenang
sekeluarga mengungsi saja ke tempat tinggalnya di Kerajaan Saptapratala yang terletak di
dalam perut bumi. Sanghyang Wenang akhirnya menerima usulan tersebut dan segera
berangkat dengan dipandu raja jin berwujud ular besar itu.

SANGHYANG WENANG MEMBANGUN KAHYANGAN TENGGURU

Beberapa tahun kemudian Prabu Hari datang menemui Sanghyang Wenang di Kerajaan
Saptapratala dan menyampaikan berita bahwa Nabi Suleman telah meninggal dunia karena
usia tua. Sanghyang Wenang sekeluarga pun muncul kembali ke permukaan bumi, namun
saat itu Pulau Dewa sudah hancur berkeping-keping menjadi pulau-pulau kecil.

Sanghyang Wenang kemudian pindah ke Pegunungan Himalaya dan mendirikan kahyangan


baru yang tidak kalah indahnya di puncak Gunung Tengguru. Sementara itu, Prabu Hari
menyatakan turun takhta dan menyerahkan Kerajaan Keling kepada Sanghyang Tunggal.
Sanghyang Tunggal lalu memboyong Dewi Darmani dan ketiga putra mereka untuk tinggal
di sana.

Sementara itu, Naga Anantawasesa yang telah berjasa besar dengan menyediakan Kerajaan
Saptapratala sebagai tempat pengungsian Sanghyang Wenang sekeluarga juga mendapatkan
anugerah. Ia pun menjadi menantu Sanghyang Wenang, yaitu dinikahkan dengan Dewi
Suyati.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 21
Batara Guru Lahir

Kisah ini menceritakan kelahiran Batara Antaga, Batara Ismaya, dan Batara Guru yang
berasal dari sebutir telur, serta awal mula Batara Antaga dan Batara Ismaya berubah
menjadi buruk rupa, dan berganti nama menjadi Togog dan Semar, yang dilanjutkan dengan
kisah pengangkatan Batara Guru menjadi penguasa Kahyangan Tengguru.

Kisah ini saya susun berdasarkan Serat Paramayoga yang dipadukan dengan Serat
Purwacarita, dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 10 Mei 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

SANGHYANG TUNGGAL INGIN BERPUTRA LAGI

Di Kahyangan Keling, Sanghyang Tunggal dihadap para putra, yaitu Sanghyang Rudra,
Sanghyang Darmastuti, dan Sanghyang Dewanjali. Mereka membicarakan kisah perjalanan
Page | 22
hidup sang leluhur, yaitu Sanghyang Nurcahya dalam Kitab Pustaka Darya. Ternyata pada
mulanya Sanghyang Nurcahya adalah makhluk berbadan jasmani, dan setelah menjalani tapa
brata bertahun-tahun, akhirnya berubah wujud menjadi makhluk berbadan rohani yang
tinggal di alam halus.

Sanghyang Tunggal ingin sekali memiliki anak yang bisa berbadan jasmani juga rohani,
sehingga kelak bisa menjadi pemimpin Triloka, atau tiga alam, yaitu alam atas, alam tengah,
dan alam bawah. Dengan demikian, para dewa tidak hanya memimpin bangsa jin saja, tetapi
juga mampu memimpin umat manusia seperti Nabi Suleman, tokoh yang telah mengalahkan
ayahnya. Maka, ia pun memutuskan untuk pergi bertapa demi mencapai keinginan tersebut.
Untuk selanjutnya, takhta Kahyangan Keling diserahkan kepada Sanghyang Rudra yang
kemudian bergelar Sanghyang Darmadewa.

SANGHYANG TUNGGAL PERGI BERTAPA

Sanghyang Tunggal kemudian berpamitan kepada sang istri, yaitu Dewi Darmani untuk pergi
bertapa mewujudkan cita-citanya. Dewi Darmani mengizinkan serta merelakan Sanghyang
Tunggal jika harus menikah lagi demi mendapatkan anak yang berbadan jasmani dan rohani.
Sanghyang Tunggal pun mengajak istrinya untuk berserah diri kepada Tuhan semoga
mendapatkan jalan yang terbaik.

Setelah dirasa cukup, Sanghyang Tunggal lalu berangkat meninggalkan Kahyangan Keling
dan bertapa di tepi pantai dengan duduk di atas batu karang.

PRABU REKATATAMA MENCARI MENANTU

Tersebutkah raja jin berwujud kepiting dari Kerajaan Telengsamodra, bernama Prabu
Rekatatama. Ia memiliki seorang putri cantik bernama Dewi Rekatawati yang telah bermimpi
menikah dengan seorang dewa bernama Sanghyang Tunggal. Demi untuk mewujudkan
mimpi putrinya itu, Prabu Rekatatama pun berangkat mencari keberadaan Sanghyang
Tunggal.

Prabu Rekatatama berhasil menemukan Sanghyang Tunggal yang bertapa di tepi pantai. Ia
berusaha membangunkan calon menantunya itu namun tidak berhasil. Bahkan, daya perbawa
Sanghyang Tunggal justru membuat Prabu Rekatatama terlempar dan jatuh pingsan.

Setelah sadar dari pingsan, Prabu Rekatatama kemudian mengheningkan cipta, mengerahkan
kesaktiannya untuk membawa pergi Sanghyang Tunggal dengan cara gaib.

SANGHYANG TUNGGAL MENIKAH DENGAN DEWI REKATAWATI

Sanghyang Tunggal terbangun dari tapa dan terkejut karena tahu-tahu dirinya sudah berada di
dalam keraton bawah laut. Di hadapannya sudah ada seorang raja jin kepiting dan putri
cantik, yang tidak lain adalah Prabu Rekatatama dan Dewi Rekatawati.

Prabu Rekatatama menyampaikan maksudnya untuk melamar Sanghyang Tunggal sebagai


suami putrinya. Sanghyang Tunggal mendapat firasat bahwa dengan cara inilah ia dapat
mencapai cita-cita memiliki putra berbadan jasmani dan rohani. Maka, ia pun menerima
lamaran tersebut.

Page | 23
TERCIPTANYA TIGA PUTRA DARI SEBUTIR TELUR

Singkat cerita, Dewi Rekatawati telah mengandung anak Sanghyang Tunggal. Ketika tiba
waktunya, ternyata yang ia lahirkan adalah sebutir telur. Sanghyang Tunggal sangat marah
dan membanting telur tersebut. Namun telur itu melesat terbang ke angkasa meninggalkan
Kerajaan Telengsamodra. Sanghyang Tunggal semakin penasaran dan segera terbang pula
untuk mengejarnya.

Telur ajaib itu melesat sampai ke Kahyangan Tengguru. Sanghyang Wenang terkejut dan
berusaha menangkapnya. Namun telur aneh itu begitu gesit, dan baru bisa ditangkap setelah
Sanghyang Wenang mengerahkan kesaktiannya.

Sanghyang Tunggal datang menghadap dan menceritakan bahwa telur tersebut adalah
anaknya yang terlahir dari Dewi Rekatawati. Sanghyang Wenang paham isi hati putranya,
maka ia pun mengheningkan cipta memohon izin Tuhan supaya telur di tangannya itu bisa
berubah menjadi anak.

Selesai bersamadi, Sanghyang Wenang lalu menyiram telur itu dengan air keabadian
Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, cangkang telur pun terbuka dan berubah menjadi
seorang laki-laki yang diberi nama Batara Antaga. Selanjutnya putih telur juga berubah
menjadi seorang laki-laki yang diberi nama Batara Ismaya. Dan yang terakhir, kuning telur
berubah menjadi laki-laki pula dan diberi nama Batara Manikmaya.

Sanghyang Tunggal sangat senang melihat ketiga putranya itu ternyata lahir sesuai harapan,
yaitu bisa berbadan jasmani dan rohani. Ia juga meramalkan kelak dari Batara Ismaya akan
lahir sepuluh anak, dan dari Batara Manikmaya lahir sembilan anak, sehingga melalui mereka
keturunan bangsa dewa akan berkembang biak di muka bumi.

Page | 24
Sanghyang Tunggal.

SANGHYANG TUNGGAL MENJADI SANGHYANG PADAWENANG

Sanghyang Wenang kemudian menyampaikan niatnya untuk menyerahkan takhta Kahyangan


Tengguru kepada Sanghyang Tunggal beserta seluruh pusaka peninggalan leluhur.
Sanghyang Tunggal tunduk dan patuh terhadap keputusan sang ayah. Maka, Sanghyang
Wenang pun memberikan tambahan berbagai macam ilmu kesaktian, kemudian ia menitis,
bersatu jiwa raga ke dalam diri Sanghyang Tunggal.

Sejak hari itu, Sanghyang Tunggal menjadi pemimpin Kahyangan Tengguru. Karena ia
merasa ilmu pengetahuan dan wibawa sang ayah jauh lebih besar, maka ia pun mengganti
nama menjadi Sanghyang Padawenang.

PERSELISIHAN BATARA ANTAGA DAN BATARA ISMAYA

Beberapa tahun kemudian terjadilah perselisihan antara Batara Antaga dan Batara Ismaya.
Mereka berdua sama-sama merasa berhak menjadi ahli waris Sanghyang Tunggal. Batara
Antaga sebagai anak tertua merasa yang paling berhak naik takhta. Namun hal itu dibantah
oleh Batara Ismaya yang mengetahui sejarah leluhur, bahwa Sanghyang Nurrasa dulu
menunjuk Sanghyang Wenang sebagai ahli waris, padahal Sanghyang Darmajaka lebih tua.

Kedua kakak beradik itu lalu bertarung adu kesaktian. Namun keduanya sama-sama kuat
sehingga sulit menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Akhirnya, mereka pun
memanggil Batara Manikmaya untuk menjadi saksi dan memberikan penilaian yang adil
terhadap persaingan tersebut.

Batara Manikmaya lalu mengusulkan supaya Batara Antaga dan Batara Ismaya menelan
gunung ke dalam perut dan mengeluarkannya melalui dubur. Dengan cara ini dapat diketahui
siapa yang lebih sakti dan siapa yang lebih pintar. Keduanya pun setuju. Batara Antaga yang
mula-mula memilih salah satu gunung di Pegunungan Himalaya, kemudian berusaha
menelannya dalam sekali lahap. Setelah berusaha sekuat tenaga, gunung tersebut pun masuk
ke dalam perut Batara Antaga, namun tidak bisa keluar. Karena tadi ia telah memaksakan diri
melahap gunung, maka mulutnya kini menjadi robek dan lebar, matanya pun melotot besar,
serta tubuhnya menjadi bulat dan gemuk.

Batara Ismaya maju dan memilih sebuah gunung yang lebih besar. Dengan sabar dan telaten
ia memakan gunung itu perlahan-lahan hingga semua masuk ke dalam perutnya setelah
beberapa hari. Namun ia juga tidak mampu mengeluarkannya melalui dubur. Karena tidak
tidur selama berhari-hari, kini wujud Batara Ismaya menjadi berubah jelek, dengan mata
sembab dan hidung ingusan. Selain itu, karena gunung yang ditelannya lebih besar daripada
yang ditelan Batara Antaga, akibatnya tubuhnya pun menjadi lebih gemuk dan lebih bulat
daripada sang kakak.

Page | 25
Batara Antaga menjadi Togog.

Batara Ismaya menjadi Semar.

BATARA MANIKMAYA MEMENANGKAN PERLOMBAAN

Sanghyang Padawenang datang dan sangat murka melihat ulah kedua putranya. Ia pun
mengumumkan bahwa Batara Manikmaya adalah yang berhak mewarisi takhta Kahyangan
Tengguru, sedangkan mereka berdua diperintah untuk pergi bertapa di alam Sunyaruri. Kelak
jika saatnya tiba, Sanghyang Padawenang akan memberikan perintah kepada mereka supaya
muncul ke alam nyata dan menjadi pengasuh keturunan Batara Manikmaya. Batara Antaga
hendaknya menjadi pengasuh golongan raksasa, sedangkan Batara Ismaya menjadi pengasuh
golongan manusia.

Batara Antaga dan Batara Ismaya mematuhi keputusan sang ayah, namun mereka tidak bisa
menerima begitu saja kalau Batara Manikmaya langsung diangkat menjadi ahli waris
Kahyangan Tengguru. Mereka meminta Batara Manikmaya harus bisa membuktikan kalau
dirinya juga bisa menelan dan mengeluarkan gunung sesuai perlombaan yang telah
ditetapkan tadi.

Batara Manikmaya setuju. Ia lalu memilih gunung paling indah di Himalaya, yaitu Gunung
Kaelasa untuk dimasukkan ke dalam perut. Berbeda dengan kedua kakaknya, ia lebih dulu
mengheningkan cipta dan mengubah gunung itu menjadi sangat kecil sehingga dapat dengan

Page | 26
mudah ditelan dan dikeluarkan lagi melalui dubur. Setelah itu, gunung tersebut dikembalikan
ke ukuran asli dan diletakkan ke tempat semula.

Batara Antaga dan Batara Ismaya mengakui kepandaian dan kesaktian Batara Manikmaya,
dan mereka pun merelakan takhta Kahyangan Tengguru menjadi milik si adik bungsu.
Namun Batara Ismaya mengeluhkan wujudnya yang telah berubah menjadi buruk rupa,
sehingga mustahil ada wanita yang sudi menjadi istrinya. Padahal Sanghyang Padawenang
dulu pernah meramalkan bahwa ia kelak akan memiliki sepuluh anak.

Sanghyang Padawenang menjawab bahwa urusan jodoh itu sudah diatur oleh Tuhan Yang
Mahakuasa. Jelek atau tampan bukanlah ukuran untuk mendapatkan jodoh. Usai berkata
demikian ia lantas mendatangkan seorang wanita yang tidak lain adalah keponakannya
sendiri, yaitu Dewi Senggani putri Sanghyang Hening. Wanita inilah yang ditakdirkan
menjadi jodoh Batara Ismaya.

BATARA MANIKMAYA MEMPEROLEH KUTUKAN

Melihat kedua kakaknya telah berubah menjadi buruk rupa, tiba-tiba timbul sifat sombong
dalam diri Batara Manikmaya yang merasa paling tampan dibanding mereka berdua.
Sanghyang Padawenang prihatin mendengar kesombongan itu. Ia pun meramalkan bahwa
Batara Manikmaya kelak akan menerita empat jenis cacat, yaitu berkaki pincang, berleher
belang, bertaring dua, dan berlengan empat.

Batara Manikmaya menyesali kesombongannya dan memohon ampun. Namun Sanghyang


Padawenang mengatakan bahwa itu semua telah menjadi takdir Tuhan dan semoga menjadi
pengingat agar Batara Manikmaya lebih berhati-hati dalam perkataan dan perbuatan.

BATARA MANIKMAYA MENJADI RAJA DEWA

Singkat cerita, Batara Ismaya telah menikah dengan Dewi Senggani dan mendapatkan
sepuluh anak, yaitu Batara Wungkuam, Batara Kuwera, Batara Siwah, Batara Wrehaspati,
Batara Surya, Batara Candra, Batara Yamadipati, Batara Temburu, Batara Kamajaya, dan
Batari Darmanastiti. Setelah itu ia pun mohon pamit dan berangkat bersama Batara Antaga
menuju ke alam Sunyaruri untuk mulai bertapa. Sejak saat itu Batara Antaga memakai nama
Kyai Togog, sedangkan Batara Ismaya memakai nama Kyai Semar.

Setelah keberangkatan kedua putranya, Sanghyang Padawenang lalu menyerahkan takhta


Kahyangan Tengguru dan segala pusaka warisan leluhur kepada Batara Manikmaya,
sedangkan ia sendiri hidup menyepi dengan membangun kahyangan baru bernama
Kahyangan Awang-Awang Kumitir. Batara Manikmaya kemudian menjadi raja para dewa
dengan bergelar Batara Tengguru, atau disingkat Batara Guru.

Page | 27
Batara Guru Krama

Kisah ini menceritakan bagaimana Batara Guru menaklukkan Lembu Andini menjadi
kendaraannya, serta perkawinan Batara Guru dengan Dewi Umayi yang kemudian bergelar
Batari Uma. Juga dikisahkan bagaimana Batara Guru menyebarkan agama Dewa ke
segenap penjuru Daratan Asia.

Kisah ini disusun dengan sumber Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita yang
dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryosaputro,
dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 14 Mei 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Page | 28
SINAR TEJA DARI TENGGARA

Batara Guru di Kahyangan Tengguru menerima kedatangan para putra Batara Ismaya, yaitu
Batara Wungkuam, Batara Siwah, Batara Wrehaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya,
Batara Candra, Batara Kuwera, Batara Temburu, dan Batara Kamajaya. Rupanya sebelum
berangkat menuju alam Sunyaruri untuk bertapa, Batara Ismaya telah berpesan kepada
mereka supaya mengabdi kepada Batara Guru di Kahyangan Tengguru.

Batara Guru menerima pengabdian para keponakannya itu dengan senang hati. Batara Guru
lalu membicarakan adanya sinar teja, atau semacam pelangi tegak lurus yang berasal dari
wilayah Pegunungan Himalaya di sebelah tenggara Kahyangan Tengguru. Batara Guru
mengetahui bahwa sinar teja itu berasal dari seekor sapi betina bernama Lembu Andini yang
dipertuhankan oleh masyarakat di sekitar sana.

Batara Guru lalu memerintahkan Batara Wungkuam dan adik-adiknya untuk menaklukkan

Page | 29
sapi tersebut. Para keponakan pun mohon izin kemudian berangkat segera.

LEMBU ANDINI MENGALAHKAN PARA DEWA

Lembu Andini adalah sapi betina yang dapat berbicara. Ia dihadap pengikutnya dari Kerajaan
Himaka yang bernama Prabu Japaran dan Patih Parasdya. Seluruh rakyat Kerajaan Himaka
telah memuja dan menyembah Lembu Andini bagaikan Tuhan. Dalam pertemuan itu Lembu
Andini meramalkan akan datang pasukan dewa yang dikirim Batara Guru untuk
menaklukkannya. Prabu Japaran pun diperintahkan menghadapi kedatangan mereka itu.

Tidak lama kemudian, para putra Batara Ismaya telah tiba dan langsung dihadang pasukan
Prabu Japaran. Batara Wungkuam meminta Prabu Japaran supaya meninggalkan
penyembahan terhadap Lembu Andini dan menganut agama Dewa. Prabu Japaran menolak
dan ganti meminta para dewa supaya menyembah Lembu Andini. Perdebatan itu berlanjut
dengan pertempuran. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, para dewa berhasil memukul
mundur Prabu Japaran beserta pasukannya.

Lembu Andini datang ke pertempuran. Batara Wungkuam dan para adik berusaha
menangkapnya namun mereka tidak mampu menandingi kekuatan dan kesaktian sapi betina
itu. Bahkan, daya perbawa yang dipancarkan Lembu Andini justru membuat para putra
Batara Ismaya itu terlempar kembali ke Kahyangan Tengguru.

BATARA GURU MENGALAHKAN LEMBU ANDINI

Melihat para keponakan tak kuasa menghadapi kesaktian Lembu Andini, Batara Guru pun
berangkat sendiri. Setelah berhadapan dengan Lembu Andini, mereka langsung terlibat adu
kepandaian. Ternyata Batara Guru dapat menebak asal-usul Lembu Andini yang merupakan
anak seorang jin bernama Jin Rohpatanam.

Lembu Andini marah sekaligus malu karena kalah dalam adu kepandaian. Ia pun menyerang
Batara Guru dan terjadilah pertarungan. Setelah bertempur cukup lama, akhirnya Lembu
Andini menyerah tak berdaya terkena daya kesaktian Batara Guru yang mengerahkan Aji
Pengabaran. Batara Guru kemudian menaiki punggung Lembu Andini dan menjadikannya
kendaraan.

Prabu Japaran dan pasukannya datang ke tempat itu. Mereka terkejut melihat ada seorang
laki-laki menaiki punggung sapi betina yang mereka sembah selama ini. Lembu Andini
menjelaskan bahwa sejak hari ini ia memeluk agama Dewa, dan Batara Guru yang berdiri di
atas punggungnya adalah raja para dewa. Prabu Japaran dan yang lain masih bimbang dan
ragu. Namun setelah Batara Guru memancarkan kesaktiannya, mereka pun meringkuk tak
berdaya dan menjadi pengikutnya pula.

Batara Guru lalu membawa Lembu Andini naik ke Kahyangan Tengguru dan sejak saat itu
sang sapi betina menjadi kendaraannya. Batara Guru pun mendapatkan julukan baru sebagai
Sanghyang Pasupati, yang berarti penguasa hewan ternak.

AGAMA DEWA BERKEMBANG DI DARATAN ASIA

Sejak zaman Sanghyang Nurcahya sampai Sanghyang Tunggal, agama Dewa hanya dianut
oleh makhluk berbadan rohani, yaitu para dewa, jin, dan siluman. Begitu Batara Guru

Page | 30
berkuasa, pemeluk agama Dewa menjadi berkembang pesat, yaitu merambah para makhluk
berbadan jasmani, antara lain bangsa manusia dan raksasa. Hal ini karena Batara Guru bisa
berbadan jasmani sekaligus rohani sehingga bisa menjadi penguasa di alam kasar dan alam
halus.

Setelah Lembu Andini menyerah kalah dan menjadi kendaraan Batara Guru, para
pengikutnya pun ikut takluk pula. Prabu Japaran adalah raja manusia yang mengawali
memeluk agama Dewa. Batara Guru kemudian menyebarkan agama Dewa ke Tanah
Tiongkok.

Setelah rakyat di segenap Tanah Hindustan dan Tanah Tiongkok menganut agama Dewa,
Batara Guru pun mendapat julukan baru sebagai Sanghyang Jagadnata, yang berarti
pemimpin dunia.

Batara Guru Manikmaya.

ULAM TIRBAH DARI RAWA SIBLISTAN

Batara Guru kemudian bermaksud menyebarkan agama Dewa ke arah barat, yaitu Tanah
Persi. Namun ia mendengar kabar bahwa orang-orang Persi saat ini menyembah seekor ikan
bernama Ulam Tirbah bagaikan Tuhan. Maka, ia pun berangkat menuju Rawa Siblistan,
tempat ikan ajaib itu berada.

Batara Guru telah sampai di Rawa Siblistan dan bertemu dengan Ulam Tirbah. Ternyata
Ulam Tirbah seekor ikan betina berukuran raksasa. Batara Guru memerintahkan supaya Ulam
Tirbah bertobat menghentikan penyembahan atas dirinya dan menjadi penganut agama Dewa.
Ulam Tirbah marah dan mengadu kesaktian dengan Batara Guru. Sampai akhirnya, Batara
Guru mengerahkan kesaktiannya membuat air rawa-rawa berubah menjadi panas sehingga

Page | 31
Ulam Tirbah menyerah kalah.

Batara Guru kemudian menebak asal-usul Ulam Tirbah pada mulanya seorang wanita cantik
bernama Dewi Umayi, putri Saudagar Umaran yang masih keturunan Nabi Saleh. Ia memiliki
keinginan menjadi istri penguasa dunia namun melakukan sesat jalan saat bertapa, sehingga
berubah wujud menjadi ikan betina.

Batara Guru berpesan supaya Ulam Tirbah bersabar karena tidak lama lagi akan tiba
waktunya ia berubah kembali menjadi Dewi Umayi. Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun
meninggalkan Rawa Siblistan kembali ke Kahyangan Tengguru.

KERAJAAN PERSI TERKENA WABAH PENYAKIT

Setelah Ulam Tirbah mengalami kekalahan, Kerajaan Persi tiba-tiba diserang wabah
penyakit. Banyak penduduknya yang tewas menjadi korban. Bahkan, raja negeri ini yang
bernama Prabu Dirjasta juga terserang penyakit dan meninggal dunia.

Putra mahkota bernama Pangeran Dastandar menggantikan sang ayah menjadi raja. Ia
mendapatkan petunjuk dari para ahli nujum, bahwa Ulam Tirbah yang disembah bangsa Persi
sekarang telah tunduk kepada raja dewa bernama Batara Guru. Para ahli nujum pun
menyarankan supaya Prabu Dastandar pergi memohon kepada Batara Guru untuk membantu
melenyapkan wabah penyakit tersebut dari Kerajaan Persi.

SAUDAGAR UMARAN MENCARI PUTRINYA

Prabu Dastandar pun berangkat dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Namun ia tidak tahu
harus pergi ke mana supaya bisa bertemu Batara Guru. Maka ia pun memutuskan untuk
bertanya kepada Ulam Tirbah di Rawa Siblistan.

Di tengah jalan Prabu Dastandar bertemu seorang saudagar bernama Umaran yang ditemani
keponakannya bernama Patih Turkan. Saudagar Umaran adalah raja Kerajaan Merut, yaitu
negeri para pedagang. Ia mengaku telah kehilangan putrinya yang bernama Dewi Umayi.
Menurut petunjuk di alam mimpi, putrinya itu akan muncul di Rawa Siblistan berkat
pertolongan Batara Guru.

Prabu Dastandar merasa kebetulan karena ia sendiri juga ingin bertemu Batara Guru. Maka,
ia pun menawarkan diri kepada Saudagar Umaran dan Patih Turkan untuk menjadi penunjuk
jalan menuju Rawa Siblistan. Ketiga orang itu lantas pergi bersama-sama.

ULAM TIRBAH MENJADI DEWI UMAYI

Prabu Dastandar, Sudagar Umaran, dan Patih Turkan telah sampai di Rawa Siblistan. Prabu
Dastandar mengadakan puja samadi dan kemudian Ulam Tirbah pun muncul ke permukaan.
Ulam Tirbah mengatakan bahwa dirinya tidak lagi pantas disembah karena sudah tunduk
kepada Batara Guru dan menjadi penganut agama Dewa.

Tiba-tiba Batara Guru datang di Rawa Siblistan. Daya perbawanya yang memancar membuat
Prabu Dastandar, Sudagar Umaran, dan Patih Turkan jatuh pingsan. Setelah mereka bertiga
sadar segera buru-buru menyembah kepada Batara Guru. Batara Guru menjelaskan kepada
Saudagar Umaran bahwa putrinya yang selama ini hilang dan dicari-cari tidak lain adalah

Page | 32
Ulam Tirbah tersebut.

Batara Guru kemudian berkata kepada Ulam Tirbah bahwa sudah saatnya ia sembuh dari
kutukan. Dengan kesaktiannya, Batara Guru mengembalikan Ulam Tirbah ke wujud semula,
yaitu menjadi Dewi Umayi yang cantik jelita. Saudagar Umaran sangat gembira bisa bertemu
kembali dengan putrinya yang telah lama hilang itu.

Batara Guru menceritakan kepada Saudagar Umaran awal mula Dewi Umayi berubah wujud
menjadi ikan besar adalah karena sesat jalan sewaktu bertapa untuk bisa menjadi istri
penguasa dunia. Karena saat ini Batara Guru telah mendapat julukan sebagai Sanghyang
Jagadnata, maka Dewi Umayi pun disarankan untuk menjadi istrinya saja jika masih ingin
mewujudkan cita-cita tersebut. Saudagar Umaran sangat gembira mendengarnya, dan Dewi
Umayi juga menurut dan tunduk terhadap lamaran Batara Guru.

BATARA GURU MENIKAHI DEWI UMAYI

Batara Guru juga dapat menebak asal-usul Saudagar Umaran, yang merupakan keturunan
Nabi Saleh. Di Kerajaan Merut, Saudagar Umaran memiliki istri bernama Dewi Nurweni,
yang telah melahirkan tiga orang putri bernama Dewi Umari, Dewi Umayi, dan Dewi Umani.
Adapun Dewi Umari yang sulung telah menjadi istri Patih Turkan. Karena Batara Guru
menjadikan Dewi Umayi sebagai ratu kahyangan, maka Dewi Umani hendaknya menjadi ratu
kerajaan, yaitu dengan menjadi istri Prabu Dastandar, raja Kerajaan Persi. Batara Guru juga
dapat menebak bahwa pemuda berpakaian rakyat jelata yang tadi bersamadi memanggil
Ulam Tirbah muncul ke permukaan tidak lain adalah Prabu Dastandar sendiri yang sedang
menyamar.

Saudagar Umaran sangat gembira menerima saran tersebut. Prabu Dastandar pun menurut
dan membuka penyamaran. Namun ia memohon kepada Batara Guru supaya membantu
melenyapkan wabah penyakit yang melanda Kerajaan Persi. Batara Guru mengabulkan
permohonan itu. Dengan ilmu kesaktiannya, ia mengirimkan angin segar yang meniup dan
memusnahkan semua bibit penyakit yang selama ini meresahkan rakyat Kerajaan Persi.

Prabu Dastandar sangat berterima kasih. Ia kemudian mengikuti Saudagar Umaran menuju
Kerajaan Merut untuk menikah dengan Dewi Umani, sedangkan Batara Guru membawa
Dewi Umayi ke Kahyangan Tengguru untuk dijadikan ratu di sana. Sejak saat itu, Dewi
Umayi resmi menjadi istri Batara Guru, dengan bergelar Batari Uma. Dengan demikian,
inilah pertama kalinya keturunan Sayidina Anwar bertemu dengan keturunan Sayidina Anwas
menjadi satu keluarga.

Page | 33
Dewi Umayi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 34
Bathara Cingkarabala dan Bathara Balaupata
Diposting oleh Cah Samin di 10:55 AM

Cingkarabala dan Balaupata adalah putra bungsu Prabu Patanam, raja Dahulagiri, sebuah kerajaan tua
yang hanya muncul di era Kedewataan. Pada masa itu diceritakan bahwa udara masih segar, manusia
belum banyak dan hubungan antara manusia dan raksasa sangat dekat dengan para dewa di
Kahyangan. Cingkarabala dan Balaupata berwujud Raksasa kembar, adik dari Lembu Nandini dan
Lembu Nandana.

Suatu saat, Cingkarabala-Balaupata bersama Lembu Nandini dan Lembu Nandana merencanakan
untuk menyerbu Kahyangan. Namun rencana tersebut didengar oleh Bathara Surya, dewa matahari.
Kemudian Bathara Surya melaporkannya kepada Bathara Guru yang saat itu masih belum lama
menjabat sebagai raja Tribuana dan belum mengalami kelumpuhan. Bathara Guru lalu meminta
petunjuk kepada Sang Hyang Tunggal, pemomong para dewa. Sang Hyang Tunggal menyarankan
Bathara Guru untuk mencegah rencana putra-putra Dahulagiri tersebut.

Bathara Guru lalu turun untuk mendatangi Dahulagiri.Pada saat itu Bathara Guru sendirian dari
puncak Gunung Mahameru, dan langsung mememui putra-putra raja Dahulagiri tersebut untuk
mengingatkan mereka agar membatalkan rencana mereka untuk menyerbu Kahyangan. Namun apa
yang dilakukan Bathara Guru itu justru membuat putra-putra raja Dahulagiri marah dan kemudian
mereka menantang Bathara Guru untuk berperang. Suasana semakin memanas, kemudian Bathara
Antaga dan Bathara Ismaya yang mengetahui hal tersebut akhirnya menyusul Bathara Guru untuk
meredakan suasana. Namun suasana justru semakin panas karena putra-putra raja Dahulagiri tersebut
bersikeras tidak mau membatalkan rencana mereka untuk menyerbu Kahyangan.

Untuk mencegah putra-putra raja Dahulagiri melanjutkan rencana mereka untuk menyerbu
Kahyangan, kemudian Bathara Antaga, Bathara Ismaya, dan Bathara Guru menerima tantangan untuk
berperang melawan Lembu Nandana, Lembu Nandini, Cingkarabala, dan Balaupata. Dalam
peperangan tersebut, Bathara Antaga melawan Lembu Nandana, Bathara Ismaya melawan
Cingkarabala dan Balaupata yang mempunyai kesaktian jika salah satunya tewas, maka saudara
kembarnya akan melompati jasad saudara kembarnya dan kemudian bisa hidup kembali. Sedangkan
Bathara Guru melawan Lembu Nandini. Bathara Antaga, Bathara Ismaya, dan Bathara Guru hanya
dengan tangan kosong, sementara Lembu Nandana, Lembu Nandini, Cingkarabala dan Balaupata
menggunakan senjata dan tanduk. Namun akhirnya putra-putra raja Dahulagiri berhasil dikalahkan
dan menyerah.

Karena kagum dengan kemampuan putra-putra raja Dahulagiri tersebut, Bathara Antaga dan Bathara
Ismaya menyarankan Bathara Guru untuk mengangkat mereka sebagai dewa di Kahyangan. Bathara

Page | 35
Guru menyetujui saran tersebut, kemudian mengangkat Lembu Nandana sebagai ibu/leluhur bagi para
sapi di dunia, Lembu Nandini sebagai wahana untuk Bathara Guru, sedangkan Cingkarabala dan
Balaupata diangkat sebagai penjaga gapura Kahyangan (Selamatangkep), yaitu gerbang yang menuju
ke Kahyangan Suralaya dan sekaligus sebagai dewa perlindungan.

Dalam menjalankan tugasnya, Bathara Cingkarabala dan Bathara Balaupata membawa senjata berupa
Gada yang sekeras intan. Bathara Cingkarabala dan Bathara Balaupata bekerja sama dengan Bathara
Indra selaku Senapati Kahyangan dan Bathara Wisnu, dewa penjaga manusia. Senjata Gada tersebut
pernah digunakan beberapa kali untuk berperang melawan para raksasa yang menyerbu Kahyangan
dengan maksud jahat untuk menjarah senjata para dewa dan mengambil para bidadari. Raksasa yang
pernah mereka lawan adalah Nilarudraksa, Rahwana, Kala Pracona dan Patih Sekipu, serta Jathasura
dan Mahesasura.

Oleh masyarakat di era modern, patung Bathara Cingkarabala dan Bathara Balaupata selalu
ditempatkan di depan gerbang kampung ataupun komplek perumahan, rumah, museum, hotel, atau
tempat bisnis lainnya. Selain untuk estetika, digunakan juga sebagai simbol perlindungan dari mara
bahaya yang akan menyerang. Patung Bathara Cingkarabala dan Bathara Balaupata sering ditemukan
di restoran-restoran yang ada di Jawa dan Bali.

Dalam versi lain diceritakan bahwa Cingkarabala adalah saudara kembar dari Balaupata. Mereka
berdua adalah putra Bathara Bremani. Kakaknya yang sulung bernama Manumayasa. Berbeda dengan
kakaknya yang lahir sebagai manusia biasa, Cingkarabala dan Balaupata berwujud raksasa. Oleh
Bathara Guru, Cingkara dan Balaupata diangkat menjadi dewa untuk menjaga Selamatangkep, yaitu
gerbang yang menuju ke Kahyangan Suralaya.

Ada juga versi yang menceritakan bahwa Cingkarabala dan Balaupata bukanlah anak dari Bathara
Bremani, melainkan anak dari Maharesi Gopatama, saudara kandung Lembu Andini.

Ada juga versi yang menceritakan bahwa Cingkarabala dan Balaupata bukanlah anak dari Bathara
Bremani, melainkan anak dari Maharesi Gopatama, saudara kandung Lembu Andini.

Page | 36
Lima Dewa Lahir

Kisah ini menceritakan kelahiran lima putra Batara Guru dari hasil pernikahan dengan
Batari Uma atau Dewi Umayi. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra,
Batara Bayu, dan Batara Wisnu. Kisah dilanjutkan dengan pertempuran pasukan dewata
melawan Prabu Kalamercu yang mengakibatkan Batara Guru menderita cacat kaki kirinya,
serta dikisahkan pula para dewa menyerang Kerajaan Bani Israil.

Sumber yang digunakan untuk menyusun kisah ini adalah Serat Paramayoga yang dipadukan
dengan Serat Purwacarita, dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 29 Mei 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

KELAHIRAN EMPAT PUTRA BATARA GURU

Tepat setahun setelah perkawinan Batara Guru dengan Batari Uma lahirlah seorang putra
yang diiringi dengan gempa bumi melanda banyak tempat. Putra pertama itu diberi nama
Batara Sambu, yang kemudian dimandikan dengan air keabadian Tirtamarta Kamandanu
sehingga langsung tumbuh menjadi dewasa seketika.

Dua tahun kemudian Batari Uma melahirkan lagi seorang putra yang diiringi dengan letusan
gunung berapi di banyak tempat. Putra kedua itu diberi nama Batara Brahma, yang kemudian
dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah dewasa.

Page | 37
Dua tahun berikutnya Batari Uma melahirkan seorang putra yang diiringi dengan hujan petir
dan banjir besar melanda di banyak tempat. Putra ketiga itu diberi nama Batara Indra, yang
kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu pula sehingga langsung berubah
dewasa seketika.

Dua tahun setelah itu, Batari Uma kembali melahirkan seorang putra yang diiringi dengan
angin topan dan badai melanda di banyak tempat. Putra keempat itu diberi nama Batara Bayu,
yang kemudian dimandikan dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah
menjadi dewasa seketika.

KELAHIRAN PUTRA KELIMA YANG ISTIMEWA

Pada suatu hari Batara Guru menerima kedatangan Sanghyang Padawenang yang ingin
melihat perkembangan Kahyangan Tengguru. Batara Guru menceritakan kepada sang ayah
tentang keberhasilannya menyebarluaskan Agama Dewa, sehingga kini tidak hanya dianut
oleh makhluk halus saja, tetapi juga diikuti bangsa manusia, raksasa, dan binatang beraneka
ragam.

Sanghyang Padawenang senang melihat keempat cucunya, namun merasa masih kurang puas.
Ia lalu menasihati Batara Guru supaya memiliki seorang anak yang benar-benar sempurna
lahir batin, berhati murni, serta memiliki kesaktian luar biasa, sehingga kelak bisa menjadi
pemelihara ketertiban dunia. Untuk itu, Batara Guru dan Batari Uma tidak perlu lagi
melakukan persetubuhan seperti manusia biasa, tetapi menggunakan tapa brata dan
mengheningkan cipta.

Mengenai perkembangan Agama Dewa, Sanghyang Padawenang merasa sangat puas dengan
usaha yang dilakukan Batara Guru. Namun ia juga berpesan supaya Batara Guru tidak
menyebarkan Agama Dewa ke sebelah barat Tanah Persi yang bernama Kerajaan Bani Israil,
karena penduduk di daerah sana tidak ditakdirkan untuk menjadi pengikut para dewa. Setelah
dirasa cukup, Sanghyang Padawenang pun kembali ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir.

Batara Guru lalu menyampaikan hal itu kepada sang istri, dan mereka pun masuk ke dalam
Sanggar Pemujaan untuk melakukan puja samadi dan mengheningkan cipta, dengan disertai
ajian Asmaracipta, Asmaragama, dan Asmaraturida. Setelah berhari-hari melakukan puja
samadi, Batari Uma pun mengandung untuk yang kelima kalinya.

Bulan demi bulan berlalu, akhirnya lahir seorang putra berkulit gelap yang diiringi dengan
gempa bumi, gunung meletus, hujan petir, dan topan badai. Bahkan, kelahiran putra kelima
ini sampai membuat Kahyangan Tengguru berguncang hebat, sehingga para dewa yang
sedang menghadap Batara Guru jatuh dari tempat duduk masing-masing, termasuk Batara
Guru pun ikut jatuh dari takhta Madeprawaka.

Batara Guru sangat gembira menyambut kelahiran putra kelima yang istimewa ini, yang
kemudian diberi nama Batara Wisnu. Sama seperti keempat kakaknya, ia juga dimandikan
dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga langsung berubah dewasa.

Setelah kelahiran putra kelima tersebut, Batara Guru tidak lagi menyetubuhi Batari Uma,
sehingga Batara Wisnu pun menjadi anak bungsu dalam perkawinan mereka.

Page | 38
KEDATANGAN MUSUH DARI TUNGGULWESI

Pada suatu hari Batara Guru di Kahyangan Tengguru menerima kedatangan Patih
Kalamarkata yang menyampaikan surat tantangan dari rajanya, yang bernama Prabu
Kalamercu, seorang jin penguasa Kerajaan Tunggulwesi. Surat tantangan itu berisi keinginan
Prabu Kalamercu untuk mencoba kesaktian sang raja dewata. Batara Sambu dan para adik
meminta Batara Guru untuk tidak menanggapi tantangan tersebut, dan mereka berlima yang
akan maju menghadapi musuh.

Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Tunggulwesi yang dipimpin Prabu Kalamercu
dan Patih Kalamarkata melawan pasukan dewata yang dipimpin Batara Sambu bersaudara.
Tidak salah kiranya jika raja dan patih itu berani menantang Kahyangan Tengguru, karena
kesaktian mereka memang luar biasa. Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, dan
Batara Bayu dapat dipukul mundur oleh mereka.

Batara Wisnu maju menghadapi musuh. Kesaktiannya memang terlihat melebihi keempat
kakaknya, di mana ia berhasil mengalahkan Patih Kalamarkata. Namun, untuk menghadapi
kesaktian Prabu Kalamercu ternyata masih belum cukup hebat. Raja jin ini lebih
berpengalaman dalam pertempuran dan mampu memukul mundur Batara Wisnu pula.

Melihat kelima putranya terdesak, Batara Guru pun maju ke medan pertempuran dengan
mengendarai Lembu Andini. Terjadilah perang tanding ramai antara dirinya melawan Prabu
Kalamercu. Selama menjadi raja kahyangan, baru kali ini Batara Guru menemukan musuh
yang sedemikian kuatnya. Bahkan, tombak Trengganaweni dan tombak Kalaminta yang
menjadi pusaka andalannya juga tidak mampu melukai tubuh Prabu Kalamercu. Sebaliknya,
Prabu Kalamercu justru berhasil membuatnya terdesak sampai ke Pegunungan Himalaya
yang berbatu terjal. Bahkan, raja jin itu akhirnya dapat menghempaskan tubuh Batara Guru
hingga terlempar dari punggung Lembu Andini.

Batara Guru jatuh ke dalam jurang terjal dan kaki kirinya pun terperosok masuk ke sela-sela
batu cadas. Dalam keadaan terjepit ia masih berusaha menghadapi serangan Prabu
Kalamercu. Karena kemenangan sesaat itu, Prabu Kalamercu sempat lengah sehingga
kesempatan itu digunakan oleh Batara Guru untuk mengerahkan ajian Kemayan, yang
membuat raja jin tersebut roboh lunglai dengan tubuh lemas tidak berdaya.

BATARA GURU MENDAPATKAN CACAT PERTAMA

Batara Sambu dan para adik beramai-ramai menolong sang ayah keluar dari himpitan batu
cadas. Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata sudah menyerah kalah dan mohon ampun
atas kelancangan mereka yang berani menyerang Kahyangan Tengguru. Sebagai permohonan
maaf, Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata membangun dua buah balai penghadapan
yang sangat indah di dalam Kahyangan Tengguru dalam waktu sekejap.

Melihat keindahan kedua balai tersebut, Batara Guru pun mengampuni kedua musuhnya dan
mempersilakan mereka pulang kembali ke Kerajaan Tunggulwesi. Untuk mengenang
kejadian tersebut, Batara Guru memberi nama kedua balai itu dengan sebutan Balai
Marcukunda dan Balai Marakata.

Sepeninggal Prabu Kalamercu dan Patih Kalamarkata, Batara Guru mengambil pusaka Lata
Mahosadi untuk mengobati kaki kirinya yang terluka parah akibat terjepit batu cadas tadi.

Page | 39
Namun anehnya, Lata Mahosadi yang biasanya sangat mujarab ternyata kali ini tidak mampu
mengobati kaki kiri tersebut sehingga menjadi cacat untuk selamanya.

Seketika Batara Guru teringat ramalan Sanghyang Padawenang bahwa kelak dirinya akan
menderita empat jenis cacat karena dulu pernah menyombongkan diri sebagai yang paling
tampan, setelah kedua kakaknya, yaitu Batara Antaga dan Batara Ismaya berubah menjadi
buruk rupa. Batara Guru pun pasrah atas kehendak Tuhan Yang Mahakuasa jika memang ini
sudah menjadi suratan takdir baginya.

Karena kaki kirinya lumpuh, Batara Guru pun mendapat julukan baru sebagai Sanghyang
Lengin.

BATARA GURU MENIKAHKAN PARA PUTRA

Setelah para putranya dirasa cukup matang, Batara Guru berkenan menikahkan mereka
dengan para bidadari cucu Sanghyang Pancaresi. Adapun Sanghyang Pancaresi adalah putra
bungsu Sanghyang Darmajaka, kakak sulung Sanghyang Wenang.

Putra Sanghyang Pancaresi bernama Maharesi Guruweda memiliki tiga orang putri, bernama
Dewi Susti yang dinikahkan dengan Batara Sambu, Dewi Saci yang dinikahkan dengan
Batara Brahma, dan Dewi Wiranci yang dinikahkan dengan Batara Indra.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Pancadewa memiliki putri bernama Dewi
Swamnyana yang dinikahkan dengan Batara Sambu, serta Dewi Saraswati dan Dewi Rarasati
yang keduanya dinikahkan dengan Batara Brahma.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Wiksmaka memiliki putri bernama Dewi
Srilaksmi dan Dewi Srilaksmita yang keduanya dinikahkan dengan Batara Wisnu.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Satya memiliki putri bernama Dewi Sri
Satyawarna, juga dinikahkan dengan Batara Wisnu.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Janaka memiliki putri bernama Dewi
Nignyata, juga dinikahkan dengan Batara Wisnu.

Putra Sanghyang Pancaresi yang bernama Maharesi Soma memiliki putri bernama Dewi
Sumi yang dinikahkan dengan Batara Bayu. Dewi Sumi memiliki kakak bernama Dewi Ratih
yang telah dinikahkan dengan Batara Kamajaya, putra Batara Ismaya. Konon pasangan ini
disebut-sebut sebagai yang paling tampan dan paling cantik di dunia.

Demikianlah, silsilah para dewa pun berkembang biak sedemikian rupa. Ada dewa yang
menikah dengan bidadari, ada yang menikah dengan manusia biasa, ada pula yang menikah
dengan golongan jin ataupun siluman.

BATARA GURU BERNIAT MENYERANG BANI ISRAIL

Batara Guru telah memiliki kekuasaan besar yang membentang dari Tanah Persi dan
Hindustan ke arah utara dan timur jauh. Namun, ia merasa kurang puas jika belum bisa
menaklukkan daerah barat Persi yang bernama Kerajaan Bani Israil. Meskipun Sanghyang
Padawenang pernah menasihatinya supaya tidak menyebarkan Agama Dewa ke wilayah

Page | 40
Kerajaan Bani Israil, namun Batara Guru tidak menghiraukannya. Selain itu, Batara Guru
juga penasaran ingin membalaskan kekalahan Sanghyang Wenang di mana Nabi Suleman
dulu pernah menghancurkan Kahyangan Pulau Dewa.

Beberapa bulan sebelum rencana penyerangan ini, Batara Guru telah menurunkan wabah
penyakit di wilayah Bani Israil, namun masyarakat di sana tetap tegar tidak mau memeluk
Agama Dewa. Kesabaran Batara Guru akhirnya habis. Ia pun memerintahkan empu
kahyangan, yaitu Batara Ramayadi, untuk membuat senjata-senjata ampuh. Adapun Batara
Ramayadi ini adalah putra Sanghyang Ramaprawa, atau cucu Sanghyang Hening, sehingga
masih terhitung keponakan Batara Guru.

Batara Ramayadi menghadap bersama putranya, yang bernama Batara Anggajali. Mereka
berdua telah menyelesaikan perintah Batara Guru dan mempersembahkan berbagai macam
senjata ampuh sebagai pusaka Kahyangan Tengguru. Batara Guru menerimanya dengan
senang hati, lalu menyerahkan senjata-senjata itu kepada para putra sebagai bekal untuk
menyerang Kerajaan Bani Israil.

PERTEMPURAN ANTARA PARA DEWA MELAWAN BANI ISRAIL

Para dewata dipimpin Batara Sambu telah tiba di wilayah Kerajaan Bani Israil.
Dilatarbelakangi dendam kekalahan Sanghyang Wenang di tangan Nabi Sulaiman ratusan
tahun silam membuat para dewa semakin bernafsu menghancurkan kerajaan tersebut. Banyak
rumah dan bangunan dihancurkan, serta rakyat jelata tewas menjadi korban.

Seorang pendeta Kerajaan Bani Israil yang bernama Pendeta Usmanajid dan putranya yang
bernama Pendeta Usmanaji berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberi
pertolongan. Muncullah tiba-tiba angin besar yang meniup dan menghempaskan para dewa
kembali ke Kahyangan Tengguru, kecuali Batara Wisnu.

Batara Wisnu lalu berhadapan dengan Pendeta Usmanajid. Mereka pun terlibat perdebatan
adu kepandaian. Dalam hal kesaktian memang Batara Wisnu lebih unggul, tetapi dalam hal
ilmu kesempurnaan, ia harus mengakui kehebatan Pendeta Usmanajid yang lebih
berpengalaman.

Pertempuran di antara mereka berdua akhirnya berubah menjadi persahabatan. Batara Wisnu
kemudian berteman baik dengan Pendeta Usmanaji, putra Pendeta Usmanajid, dan saling
bertukar ilmu selama beberapa hari. Setelah berbicara panjang lebar, ternyata hakikat Agama
Dewa dan Agama Nabi sama-sama baik dan sama-sama bertujuan mendekatkan diri dengan
Tuhan Yang Mahakuasa. Hanya saja, perbedaan tata cara ibadah telah membuat para
pemeluk kedua agama ini sering terlibat pertengkaran dan perkelahian yang tidak sedikit
menelan korban jiwa.

Batara Wisnu kemudian mohon pamit kembali ke Kahyangan Tengguru dengan membawa
perasaan sukacita.

Page | 41
Batara Wisnu.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 42
Jaka Sengkala

Kisah ini menceritakan kelahiran dan kehidupan masa muda Jaka Sengkala, putra Batara
Anggajali. Ia kelak bergelar Ajisaka, yaitu orang yang mengisi Pulau Jawa dengan penduduk
dari bangsa manusia.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber dari Serat Paramayoga karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 09 Juni 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Page | 43
PRABU SAKIL BERTEMU BATARA ANGGAJALI

Tersebutlah seorang raja keturunan Nabi Ismail bernama Prabu Sakil yang memerintah
Kerajaan Najran. Raja ini suka sekali berdagang ke seberang lautan dengan berdandan
sebagai saudagar. Pada suatu hari, kapal yang ditumpangi Prabu Sakil dan para pengikutnya
hancur dihantam badai. Seluruh penumpang tewas, kecuali Prabu Sakil yang terapung-apung
di lautan dengan berpegangan pada sebilah papan kayu.

Batara Anggajali saat itu sedang duduk di atas ombak laut sambil mengerjakan perintah
Batara Guru untuk membuat senjata-senjata pusaka kahyangan. Ketika melihat Prabu Sakil
terapung-apung, ia pun bergegas menolong dan membawanya naik ke daratan.

Setelah sadar dari pingsan, Prabu Sakil berterima kasih atas pertolongan Batara Anggajali.
Mereka pun berkenalan dan saling menceritakan asal-usul masing-masing. Sebagai ungkapan
terima kasih, Prabu Sakil memohon dengan sangat agar Batara Anggajali sudi singgah di
Kerajaan Najran barang beberapa hari.

Batara Anggajali tidak tega untuk menolak. Maka dengan kesaktiannya, ia pun menggendong
Prabu Sakil dan membawanya terbang di udara, sehingga dalam sekejap saja mereka sudah
sampai di ibu kota Kerajaan Najran.

BATARA ANGGAJALI MENIKAHI DEWI SAKA

Prabu Sakil sangat menyukai pribadi Batara Anggajali dan berterus terang ingin
menjadikannya menantu. Saat itu ia telah memiliki seorang putri remaja bernama Dewi Saka
yang hendak dijodohkan dengan dewa pembuat senjata tersebut.

Batara Anggajali menerima lamaran Prabu Sakil dengan senang hati. Maka dilangsungkanlah
pernikahan antara dirinya dengan Dewi Saka. Namun ia juga tidak bisa lama-lama
meninggalkan tugas yang diberikan Batara Guru. Setelah sang istri mengandung, Batara
Anggajali pun mohon pamit kembali ke tengah lautan untuk melanjutkan pembuatan senjata-
senjata pusaka.

Page | 44
Batara Anggajali.

KELAHIRAN JAKA SENGKALA

Sudah lebih dari sembilan bulan mengandung, namun Dewi Saka belum juga melahirkan.
Segala macam pengobatan sudah diusahakan oleh Prabu Sakil namun belum juga berhasil.
Sampai akhirnya, usia kandungan mencapai dua tahun, barulah Dewi Saka melahirkan bayi
laki-laki berkulit putih bersih, dengan mata berwarna merah berkilat-kilat. Bayi itu diberi
nama Jaka Sengkala, karena kelahirannya tergolong aneh dan tidak seperti bayi-bayi lain
pada umumnya.

Sejak kecil Jaka Sengkala sudah memiliki keistimewaan. Ia tidak minum air susu ibunya,
tetapi menghisap ujung jari sendiri. Ketika berusia delapan tahun ia sudah menamatkan
semua ilmu yang diajarkan para ulama. Setelah tumbuh dewasa ia pun memiliki berbagai
macam kesaktian, antara lain mampu terbang di angkasa.

Pada suatu hari Jaka Sengkala meminta ibunya untuk menceritakan siapa sebenarnya ayah
kandungnya. Setelah didesak terus-menerus, Dewi Saka akhirnya bercerita, bahwa Jaka
Sengkala sebenarnya adalah cucu seorang dewa pembuat senjata, bernama Batara Anggajali,
yang saat ini berada di atas Samudera Hindia.

Jaka Sengkala sangat penasaran ingin bertemu ayahnya dan tidak bisa ditahan lagi. Ia pun
mohon pamit kepada kakek dan ibunya untuk pergi mencari Batara Anggajali. Dengan berat
hati Prabu Sakil dan Dewi Saka pun melepas kepergian Jaka Sengkala yang sangat mereka
kasihi itu dan mendoakannya supaya selalu mendapatkan perlindungan Tuhan Yang
Mahakuasa.

Page | 45
JAKA SENGKALA BERTEMU AYAHNYA

Jaka Sengkala terbang meninggalkan Kerajaan Najran dan sampai di atas Samudera Hindia.
Di tengah lautan ia melihat Batara Anggajali sedang duduk tenang di atas ombak lautan
sambil tangannya bekerja membuat senjata-senjata pusaka. Jaka Sengkala yakin orang itu
adalah ayah kandungnya dan ia pun segera memperkenalkan diri. Mengetahui pemuda itu
adalah anak Dewi Saka, Batara Anggajali sangat gembira dan menerimanya sebagai putra.

Jaka Sengkala sangat kagum melihat kesaktian sang ayah dalam membuat senjata yang tidak
menggunakan api, namun cukup jarinya memijat-mijat besi saja. Ia pun menyatakan ingin
tinggal bersama sang ayah. Namun Batara Anggajali berkata bahwa sebaiknya Jaka Sengkala
pulang ke Najran saja supaya bisa hidup mulia di sana sebagai raja yang kelak menggantikan
kakeknya. Jaka Sengkala mengaku tidak suka kemewahan dan ingin hidup sebagai murid
sang ayah saja. Karena baginya, Batara Anggajali adalah yang paling sakti di dunia.

Batara Anggajali menolak anggapan itu. Ia mengatakan bahwa ayahnya, atau kakek dari Jaka
Sengkala yang bernama Batara Ramayadi jauh lebih sakti darinya. Jika membuat senjata,
Batara Ramayadi tidak perlu menggunakan tangan tapi cukup dengan memandang saja, besi
baja akan lunak dengan sendirinya.

Jaka Sengkala pun mengurungkan niat untuk berguru kepada ayahnya dan menyatakan ingin
berguru kepada sang kakek saja. Batara Anggajali melepaskan kepergian putranya itu dan
menunjukkan arah yang harus ditempuh jika ingin bertemu Batara Ramayadi.

JAKA SENGKALA BERTEMU KAKEKNYA

Jaka Sengkala akhirnya berhasil menemukan Batara Ramayadi yang sedang duduk di atas
awan mega sedang sibuk membuat berbagai senjata pusaka. Tanpa perlu Jaka Sengkala
memperkenalkan diri, ternyata Batara Ramayadi sudah dapat menebak kalau ia adalah
cucunya sendiri, yaitu putra Batara Anggajali.

Jaka Sengkala menyampaikan niatnya ingin berguru kepada sang kakek yang dianggapnya
paling sakti di dunia. Kini ia melihat dengan mata sendiri bagaimana sang kakek membuat
senjata tanpa perlu menggunakan tangan. Cukup dengan dipandang saja, segala macam besi
dan baja akan lunak dengan sendirinya. Namun, Batara Ramayadi menolak sebutan paling
sakti tersebut, karena ia hanyalah seorang empu pembuat senjata. Para dewa di Kahyangan
Tengguru jauh lebih sakti, dan yang paling sakti adalah Batara Guru, sang raja para dewa.
Adapun dewa lainnya yang memiliki kesaktian setara dengan Batara Guru adalah putra
bungsunya yang bernama Batara Wisnu.

Jaka Sengkala terlihat kecewa karena kakeknya ternyata bukan yang paling sakti. Ia
kemudian mohon pamit untuk berangkat menemui Batara Wisnu. Batara Ramayadi
mengizinkan dan menunjukkan arah yang harus ditempuh menuju tempat tinggal Batara
Wisnu tersebut.

JAKA SENGKALA BERTEMU BATARA WISNU

Berkat petunjuk sang kakek, Jaka Sengkala berhasil menemukan Gunung Tengguru dan tiba
di kahyangan tempat tinggal Batara Wisnu. Tanpa harus memperkenalkan diri, Batara Wisnu
dapat menebak asal-usul Jaka Sengkala sekaligus mengetahui perasaan kecewa dalam hati

Page | 46
pemuda itu terhadap ayah dan kakeknya yang ternyata bukan manusia paling sakti di dunia.
Jaka Sengkala sangat senang melihat kepandaian Batara Wisnu dalam menebak asal-usul
serta isi hatinya. Ia pun menyatakan ingin berguru kepadanya. Batara Wisnu mengatakan jika
Jaka Sengkala ingin menjadi murid maka harus bisa menyesuaikan diri dengan perilaku
kehidupannya.

Jaka Sengkala menyatakan siap untuk menyesuaikan diri dengan perilaku Batara Wisnu.
Batara Wisnu pun menguji Jaka Sengkala. Dalam sekejap tubuh Batara Wisnu sudah
menghilang dari pandangan dan kemudian amblas ke dalam perut bumi, setelah itu terbang ke
angkasa, dan mendarat di Kutub Utara, kemudian menuju ke Kutub Selatan dalam waktu
sekejap. Anehnya, ke mana pun Batara Wisnu pergi, Jaka Sengkala selalu dapat
menyertainya.

Batara Wisnu mengatakan bahwa Jaka Sengkala tidak perlu lagi belajar kesaktian karena
pada dasarnya ia telah sakti sejak lahir. Batara Wisnu juga menjelaskan bahwa di dunia ini
tidak ada makhluk yang memiliki kesaktian paling sempurna, karena yang sempurna
hanyalah Tuhan Yang Mahasempurna. Maka, ilmu yang paling tinggi derajatnya bukanlah
ilmu kesaktian yang membuat manusia tidak terkalahkan, tetapi ilmu pengetahuan yang
membuat manusia semakin dekat dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Itulah ilmu kesempurnaan
yang seharusnya dipelajari dan diamalkan.

Jaka Sengkala pun memohon supaya Batara Wisnu mengajarkan ilmu kesempurnaan tersebut
agar ia dapat mendekati Tuhan Yang Mahakuasa. Batara Wisnu menyarankan supaya Jaka
Sengala berguru kepada sahabatnya saja yang bernama Pendeta Usmanaji di Kerajaan Bani
Israil. Jaka Sengkala menurut dan berangkat menuju arah yang ditunjukkan kepadanya.

JAKA SENGKALA MENJADI MURID PENDETA USMANAJI

Jaka Sengkala akhirnya bertemu dengan Pendeta Usmanaji dan menceritakan apa yang
disampaikan Batara Wisnu kepadanya. Pendeta Usmanaji berkenan menerimanya sebagai
murid dan mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan dan hakikat kebenaran.

Setelah mempelajari semua ilmu dari sang guru, Jaka Sengkala berubah menjadi sosok
rendah hati dan tidak lagi angkuh seperti sebelumnya. Pendeta Usmanaji meramalkan bahwa
kelak Jaka Sengkala akan menjadi manusia yang dipilih Tuhan untuk mengisi Pulau Jawa
dengan penduduk manusia. Jaka Sengkala juga diramalkan kelak berhasil memperoleh
keabadian berkat meminum Tirtamarta Kamandanu di Tanah Lulmat, namun waktunya masih
lama.

Pendeta Usmanaji menyarankan agar saat ini Jaka Sengkala pergi ke Kerajaan Surati untuk
bertemu ayahnya sambil menunggu takdir Tuhan lebih lanjut. Rupanya Pendeta Usmanaji
mendapatkan berita bahwa Batara Guru sangat senang melihat hasil kerja Batara Anggajali
dalam menciptakan senjata-senjata kahyangan, sehingga ayah Jaka Sengkala itu pun
mendapatkan hadiah berupa Kerajaan Surati.

Jaka Sengkala menuruti nasihat sang guru. Dengan berat hati ia pun mohon pamit. Pendeta
Usmanaji melepas kepergian muridnya itu dan meramalkan kelak mereka akan bertemu lagi
di Pulau Jawa yang terletak di seberang tenggara.

Page | 47
JAKA SENGKALA TIBA DI KERAJAAN SURATI

Dari Kerajaan Bani Israil menuju Kerajaan Surati, Jaka Sengkala tidak lagi terbang di
angkasa seperti yang sudah-sudah, tetapi lebih memilih berjalan kaki menyusuri jalur darat.
Sesampainya di tempat yang dituju, ia disambut dengan hangat oleh sang ayah, yaitu Batara
Anggajali. Adapun saat itu Batara Anggajali telah menjadi raja dengan bergelar Prabu
Iwasaka.

Jaka Sengkala pun diangkat sebagai pangeran mahkota Kerajaan Surati dengan bergelar
Raden Ajisaka.

Page | 48
Dara Wisa

Kisah ini menceritakan tentang kehancuran Kahyangan Tengguru akibat serangan burung
dara berbisa buatan Nabi Isa. Batara Guru terpaksa mengungsi ke sebuah pulau panjang
yang kemudian diberi nama Pulau Jawa. Di pulau itu, ia membangun tempat tinggal baru
bernama Kahyangan Argadumilah.

Kisah ini disusun berdasarkan Serat Paramayoga yang dipadukan dengan naskah-naskah
lainnya, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 17 Juni 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

RENCANA BATARA GURU MENYERANG BANI ISRAIL

Batara Guru di Kahyangan Tengguru bersama para putra, yaitu Batara Sambu, Batara
Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu sedang membicarakan rencana
menyerang Kerajaan Bani Israil dan menyebarluaskan Agama Dewa di sana. Rupanya Batara
Guru masih penasaran karena sampai sekarang belum juga bisa menaklukkan negeri para
nabi tersebut.

Batara Wisnu memohon supaya sang ayah mengurungkan niat, karena tidak baik
memaksakan agama kepada orang lain. Lagipula, Kerajaan Bani Israil saat ini sudah menjadi
jajahan Kerajaan Rum, dan bukan lagi sebuah negeri yang merdeka.

Batara Guru marah dan menuduh Batara Wisnu telah bersekongkol dengan kaum Bani Israil.
Batara Guru tetap pada pendirian untuk memaksakan Agama Dewa kepada penduduk Bani
Israil, sebagai balasan atas perbuatan Nabi Sulaiman yang telah menghancurkan Kahyangan
Pulau Dewa dahulu kala. Mengenai Kerajaan Rum yang saat ini berkuasa, itu bisa diatur
nanti. Bila perlu, setelah menaklukkan Kerajaan Bani Israil, pasukan dewata akan bergerak
menaklukkan Kerajaan Rum sekalian.

Batara Wisnu tidak berani membantah lagi. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Sambu
untuk mengumpulkan dan memimpin pasukan dewata serta memulai penyerangan.

PASUKAN DEWATA MENYERANG BANI ISRAIL

Batara Sambu dan para adik, yaitu Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara
Wisnu, serta beberapa sepupu, yaitu Batara Wrehaspati, Batara Kuwera, Batara Yamadipati,
Batara Surya, Batara Candra, Batara Temburu, dan Batara Kamajaya menyusun rencana
penyerangan terhadap Kerajaan Bani Israil sesuai perintah Batara Guru. Sebenarnya Batara
Sambu juga kurang setuju terhadap rencana ini. Akan tetapi, ia tidak memiliki keberanian
seperti Batara Wisnu dalam menentang perintah sang ayah. Ia hanya bisa berharap semoga
peperangan kali ini bisa berjalan dengan baik tanpa menjatuhkan banyak korban. Setelah
dirasa cukup, mereka pun menyiapkan pasukan dewata dan berangkat menuju ke arah barat.

Page | 49
Sesampainya di wilayah Kerajaan Bani Israil, pasukan dewata mulai mengadakan
pengrusakan. Para penduduk dipaksa untuk meninggalkan Agama Nabi dan beralih memeluk
Agama Dewa. Hanya Batara Wisnu yang terlihat diam saja dengan perasaan sangat prihatin.

Pasukan Kerajaan Bani Israil dengan dibantu pasukan Kerajaan Rum mengadakan
perlawanan, namun mereka semua tidak mampu menghadapi kekuatan para dewa. Pasukan
dewata terus-menerus maju menguasai wilayah Bani Israil.

Batara Sambu.

NABI ISA MENCIPTAKAN BURUNG DARA BERBISA

Pada saat itu hidup seorang keturunan Sayidina Anwas yang bernama Nabi Isa. Ia didatangi
para murid yang memohon supaya Nabi Isa turun tangan menyelamatkan Kerajaan Bani Israil
dari kehancuran. Nabi Isa lantas mengambil tanah liat dan membentuknya menjadi boneka
burung dara. Setelah meniupnya, secara ajaib tiba-tiba boneka tanah liat itu hidup menjadi
burung dara sungguhan yang dapat terbang di angkasa, tentu saja atas izin Tuhan Yang
Mahakuasa.

Burung dara ajaib itu melesat ke angkasa dan menyerang para dewa. Paruhnya mampu
menyemburkan bisa panas yang melukai kulit para dewa. Selain itu, burung tersebut juga
mampu terbang cepat dan sangat gesit sehingga para dewa tidak mampu menangkapnya.
Melihat keadaan telah berbalik, Batara Sambu pun memerintahkan pasukan dewata supaya
mundur kembali ke Gunung Tengguru.

Page | 50
BATARA GURU MENGUNGSI KE SEBERANG TIMUR

Batara Sambu dan pasukan dewata telah kembali dan menghadap Batara Guru untuk
menyampaikan apa yang telah terjadi. Tak disangka, burung dara ajaib tetap mengejar dan
merusak bangunan kahyangan. Para dewa dan bidadari pontang-panting berlarian terkena
semburan bisa panas dari paruhnya.

Batara Guru sendiri juga kesulitan untuk menangkap burung dara ciptaan Nabi Isa tersebut.
Dalam keadaan terdesak inilah Batara Guru baru menyadari kesalahannya yang telah
melanggar pesan Sanghyang Padawenang untuk tidak mengganggu penduduk Bani Israil.

Batara Guru merasa sangat berduka dan segera memerintahkan semua dewa dan bidadari
untuk mengungsi meninggalkan Kahyangan Tengguru. Para dewa lalu masuk ke dalam Balai
Marcukunda, sedangkan para bidadari masuk ke dalam Balai Marakata. Batara Bayu yang
perkasa lalu mengangkat kedua balai tersebut dan membawanya terbang sekencang-
kencangnya ke arah timur dengan mengerahkan kekuatan angin.

Setelah menyeberangi Samudra Hindia, Batara Bayu sampai di sebuah pulau yang
membentang panjang dari ujung utara-barat dan berbelok ke timur. Pulau tersebut tidak lain
adalah gabungan Sumatra, Jawa, dan Bali di masa sekarang yang saat itu masih satu
kesatuan. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Bayu untuk berhenti di Tanah Padang, di
bagian Pulau Sumatra sekarang.

BATARA WISNU MEMUSNAHKAN DARA BERBISA

Setelah Batara Bayu menurunkan kedua balai, tak disangka burung dara ajaib masih
mengejar dan kembali menyemburkan bisa panas ke arah para dewa dan bidadari. Batara
Guru curiga melihat Batara Wisnu yang tetap segar bugar, sama sekali tidak terluka oleh
semburan bisa panas tersebut.

Batara Wisnu terpaksa mengaku, bahwa ia diam-diam menjalin persahabatan dengan Pendeta
Usmanaji dari Bani Israil, dan pernah bertukar ilmu dengan orang itu sehingga ia mampu
menangkal semburan bisa panas burung dara tersebut. Batara Guru sangat marah dan
menuduh putra bungsunya itu telah berkhianat.

Batara Wisnu berduka mendapat tuduhan demikian. Ia lantas mohon izin untuk maju
menghadapi si burung dara. Batara Ramayadi melaporkan bahwa dirinya telah menyelesaikan
sebuah senjata ampuh bernama Cakra Sudarsana. Senjata tersebut berwujud piringan bergigi
tajam, yang kemudian dipinjamkan kepada Batara Wisnu atas izin Batara Guru.

Batara Wisnu maju menerima Cakra Sudarsana, kemudian melemparkannya ke arah burung
dara berbisa sambil mengucapkan doa permohonan kepada Tuhan Yang Mahakuasa di dalam
hati. Kali ini si burung dara tidak bisa lagi menghindar. Begitu terkena senjata Cakra
Sudarsana, burung ajaib itu langsung hancur berkeping-keping menjadi bara api yang jatuh di
kaki Gunung Marapi.

Batara Guru sangat senang melihat keberhasilan Batara Wisnu dan meminta maaf atas
tuduhan tadi. Ia juga menetapkan bahwa senjata Cakra Sudarsana mulai saat ini resmi
menjadi pusaka pribadi Batara Wisnu. Batara Wisnu sangat berterima kasih dan
menerimanya dengan suka cita.

Page | 51
PARA DEWA TERKENA RACUN CALAKUTA

Tersebutlah seorang raja siluman bernama Danghyang Calakuta yang menguasai segenap
hewan berbisa di Kerajaan Wisabawana yang terletak di kaki Gunung Marapi. Ia sangat
terkejut karena tiba-tiba saja ada sejumlah kepingan bara api yang jatuh menimpa tempat
tinggalnya. Akibatnya, terjadilah kebakaran hebat yang membuat banyak hewan berbisa anak
buahnya tewas menjadi korban.

Danghyang Calakuta sangat marah dan menyelidiki apa yang sebenarnya telah terjadi.
Setelah mengetahui kalau bara api tersebut berasal dari bangkai burung dara yang dibunuh
dewa, maka ia pun merencanakan pembalasan yang setimpal. Dengan kesaktiannya,
Danghyang Calakuta lalu mencampurkan racun ganas ke dalam sebuah telaga jernih di kaki
Gunung Marapi.

Sementara itu, para dewa dan bidadari merasa sangat kehausan akibat dikejar-kejar burung
dara berbisa tadi. Mereka lalu menemukan telaga jernih di kaki Gunung Marapi dan segera
minum sepuas-puasnya dengan riang gembira. Sungguh aneh, begitu meminum air telaga itu,
mereka semua langsung roboh tak sadarkan diri.

Batara Guru yang belum sempat meminum air telaga tersebut segera melakukan
penyelidikan. Setelah mengetahui kalau air telaga itu mengandung racun, maka ia pun
menghirup habis racun dalam telaga tersebut dan menghentikannya di kerongkongan.
Akibatnya, sejak saat itu Batara Guru pun memiliki leher belang biru sebagai cacat nomor
dua, sehingga ia mendapatkan julukan baru sebagai Sanghyang Nilakanta.

Batara Guru kemudian menyembuhkan para dewa dan bidadari yang keracunan
menggunakan Lata Mahosadi. Setelah sembuh dan bangkit dari sekarat, mereka dipersilakan
minum kembali karena air telaga saat ini sudah bebas dari racun.

BATARA GURU MENGELILINGI PULAU PANJANG

Batara Guru kemudian bertemu dengan Danghyang Calakuta yang telah menebarkan racun di
telaga tadi. Terjadilah pertarungan di antara mereka yang berakhir dengan kemenangan
Batara Guru. Danghyang Calakuta mohon ampun dan menceritakan apa yang telah terjadi
pada tempat tinggalnya di Wisabawana, sehingga ia nekat melakukan pembalasan dengan
meracuni air telaga yang hendak diminum para dewata.

Batara Guru yang saat ini sedang mengalami masa prihatin merasa tidak ada gunanya
memperpanjang kesalahpahaman. Ia pun menerima permohonan ampun Danghyang
Calakuta, dan memintanya untuk menjadi pemandu jalan. Rupanya Batara Guru tertarik
melihat pulau panjang tersebut dan ingin berjalan-jalan mengelilinginya.

Danghyang Calakuta dengan senang hati mengantarkan Batara Guru memeriksa keadaan
pulau dari ujung utara-barat menuju selatan-timur. Pulau tersebut sangat indah dan subur,
dengan gunung-gunung yang berbaris-baris, namun penghuninya hanya terdiri dari kaum
bekasakan dan makhluk halus saja. Setelah selesai berkeliling, Batara Guru pun berterima
kasih kepada Danghyang Calakuta dan mengangkatnya sebagai anggota dewata dengan
bergelar Batara Calakuta. Batara Guru kemudian memberi nama pulau panjang tempatnya
tingal kini dengan sebutan Pulau Jawa.

Page | 52
BATARA GURU MEMBANGUN KAHYANGAN ARGADUMILAH

Dalam perjalanan mengelilingi Pulau Jawa, Batara Guru tertarik pada sebuah gunung indah
bernama Gunung Mahendra, yang pada zaman sekarang disebut Gunung Lawu. Ia merasa
cocok berada di sana dan ingin membangun kahyangan baru sebagai tempat tinggal
sementara. Kelak jika sudah aman, ia tentu akan kembali lagi ke Kahyangan Tengguru di
Pegunungan Himalaya.

Dengan kesaktiannya, Batara Guru pun membangun sebuah kahyangan di puncak Gunung
Mahendra tersebut, yang kemudian ia beri nama Kahyangan Argadumilah. Setelah dirasa
cukup, Balai Marcukunda dan Balai Marakata lalu ditempatkan di dalam kahyangan baru
tersebut, sehingga pemandangan di Kahyangan Argadumilah kini sama persis seperti
pemandangan di Kahyangan Tengguru.

JAKA SENGKALA MENJADI RAJA

Sementara itu di Kerajaan Surati, Prabu Iwasaka telah mendengar berita mengenai
kepindahan Batara Guru ke Pulau Jawa karena dikejar-kejar burung dara berbisa ciptaaan
Nabi Isa. Prabu Iwasaka merasa sangat prihatin dan berniat menyusul ke sana. Ia pun kembali
menjadi Batara Anggajali dan menyerahkan takhta Kerajaan Surati kepada putranya, yaitu
Jaka Sengkala.

Jaka Sengkala menggantikan ayahnya menjadi pemimpin Kerajaan Surati dengan bergelar
Prabu Ajisaka. Setelah upacara pelantikan putranya selesai, Batara Anggajali kemudian
melesat terbang menyusul Batara Guru ke Pulau Jawa dan bergabung dengan para dewata di
Kahyangan Argadumilah.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 53
Batara Kala Lahir

Kisah ini menceritakan tentang kelahiran Batara Kala yang terjadi dari kama salah Batara
Guru, dilanjutkan dengan peristiwa Batari Uma berubah wujud menjadi Batari Durga.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 23 Juni 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

BATARA GURU MENGAJAK BATARI UMA BERPESIAR

Meskipun telah membangun Kahyangan Argadumilah yang tidak kalah indahnya dibanding
Kahyangan Tengguru, namun perasaan Batara Guru masih sangat kecewa atas kekalahannya
melawan mukjizat Nabi Isa. Ia hanya bisa menyesali perbuatannya yang telah menyerang
Kerajaan Bani Israil dan melanggar nasihat Sanghyang Padawenang.

Untuk menghibur diri, Batara Guru mengajak Batari Uma pergi berpesiar menikmati
keindahan Pulau Jawa. Batari Uma awalnya tidak bersedia karena ia mendapatkan firasat
akan terjadi hal yang tidak baik. Namun Batara Guru terus-menerus mendesak sehingga
Batari Uma akhirnya menurut juga.

Page | 54
LAHIRNYA KAMA SALAH

Batara Guru dan Batari Uma pun berangkat dengan mengendarai Lembu Andini. Mereka
terbang di angkasa menikmati keindahan Pulau Jawa dari atas. Ketika melewati Laut Selatan,
saat itu hari sudah menjelang senja. Sinar matahari terbenam yang kemerah-merahan
menerpa tubuh Batari Uma sehingga membuatnya terlihat semakin cantik.

Tiba-tiba saja Batara Guru terbangkit nafsu birahinya. Maklum saja, sejak kelahiran Batara
Wisnu yang melalui ajian Asmaragama, Asmaracipta, dan Asmaraturida, ia tidak pernah lagi
melakukan persetubuhan dengan sang istri, sehingga kali ini nafsunya bagaikan meledak dan
berkobar-kobar.

Batara Guru pun mengajak Batari Uma bersetubuh di atas punggung Lembu Andini saat itu
juga. Batari Uma menolak karena malu, namun Batara Guru terus memaksa dan mengancam
hendak menggunakan kekerasan. Batari Uma mengingatkan Batara Guru selaku raja dewata
tidak sepantasnya bersikap seperti raksasa. Ucapan Batari Uma yang sedang terdesak itu
berubah menjadi kutukan. Seketika, Batara Guru pun mendapatkan cacat ketiga, yaitu
memiliki dua buah taring panjang seperti raksasa. Maka, sejak saat itu Batara Guru
mendapatkan julukan baru, yaitu Sanghyang Randuwana, yang bermakna "memiliki taring
seperti buah randu hutan".

Batara Guru sangat murka atas kutukan yang menimpa dirinya. Keinginannya bersetubuh pun
berubah menjadi niat untuk memerkosa istri sendiri. Tubuh Batari Uma kemudian diangkat
dan didudukkan di atas pangkuannya. Karena nafsu birahi sudah tak terkendalikan, air mani
Batara Guru pun memancar keluar. Namun Batari Uma meronta menghindarinya sehingga air
mani tersebut jatuh ke laut. Tiba-tiba saja air laut yang terkena tumpahan air mani sang raja
dewata langsung mendidih dan mengepulkan asap.

KAMA SALAH BERUBAH WUJUD MENJADI RAKSASA

Dengan perasaan kecewa bercampur malu, Batara Guru memutuskan pulang ke Kahyangan
Argadumilah. Tiba-tiba datang dewa penjaga lautan yang bernama Batara Baruna menghadap
kepadanya. Batara Baruna ini adalah putra Batara Gangga, putra Batara Hermaya, putra
Sanghyang Hening, yaitu paman Batara Guru.

Batara Baruna melaporkan bahwa di Laut Selatan telah tercipta api berkobar-kobar yang
menewaskan banyak ikan dan binatang air. Batara Baruna mengaku kesulitan memadamkan
api tersebut, karena semakin dipadamkan justru semakin bertambah besar. Kedatangannya ke
Kahyangan Argadumilah ini adalah untuk memohon bantuan kepada Batara Guru supaya
turun tangan menyelamatkan segenap binatang laut.

Batara Guru paham bahwa api tersebut sesungguhnya berasal dari "kama salah", yaitu luapan
nafsu birahi salah tempat yang tadi tumpah dan membuat air laut mendidih. Rupanya
gelembung kama salah tersebut kini telah berkembang dan tumbuh menjadi api yang
berkobar-kobar. Batara Guru lalu memerintahkan Batara Sambu supaya memimpin para adik
dan para sepupu untuk memadamkan kobaran Kama Salah tersebut.

Batara Sambu dan pasukan dewata telah tiba di Laut Selatan dan mengepung api yang
berkobar-kobar itu. Mereka lantas mengerahkan segala cara untuk memadamkan api Kama
Salah. Namun, bukannya padam, api tersebut justru berkobar semakin besar. Para dewa lantas

Page | 55
melemparkan berbagai senjata pusaka ke dalam kobaran api. Namun, secara ajaib api itu
justru berubah wujud menjadi raksasa mengerikan. Semakin para dewa menghujaninya
dengan senjata, raksasa itu justru semakin bertambah besar dan kuat.

Raksasa Kama Salah itu lalu mengamuk melakukan serangan balasan. Para dewa pun kocar-
kacir dibuatnya. Mereka berhamburan terbang kembali ke Kahyangan Argadumilah. Si Kama
Salah terus mengejar sambil menanyakan siapa dirinya, dan siapa orang tuanya.

Kama Salah.

KAMA SALAH MENDAPAT NAMA BATARA KALA

Kama Salah mengejar para dewa sampai memasuki Kahyangan Argadumilah. Batara Guru
dengan tenang menyambut kedatangannya dan menyuruhnya duduk di lantai. Kama Salah
heran melihat wujud Batara Guru yang jauh lebih kecil dari dirinya namun berani
memberikan perintah begitu saja. Batara Guru pun memperkenalkan diri sebagai raja dewata,
penguasa seluruh dunia. Kama Salah merasa kebetulan, karena Batara Guru pasti bisa
menceritakan siapa asal-usulnya, dan siapa orang tuanya.

Batara Guru bersedia menceritakan asal-usul Kama Salah apabila raksasa tersebut
memberikan sembah bakti yang tulus kepadanya. Kama Salah pun membungkuk
menghaturkan sembah. Pada saat itulah Batara Guru tiba-tiba memangkas rambut raksasa itu.
Kama Salah terkejut dan mendongak. Secepat kilat Batara Guru memotong dua buah
taringnya, dan menusuk lidahnya hingga semua bisa di dalam mulut raksasa itu mengalir
keluar. Begitu kehilangan dua buah taring dan bisa di lidahnya, tubuh Kama Salah langsung
lemas tak berdaya dan terkulai di lantai.

Page | 56
Batara Guru kemudian memperkenalkan dirinya sebagai ayah dari Kama Salah. Sejak hari itu
Kama Salah diakuinya sebagai putra, dan diberi nama Batara Kala, karena lahir pada saat
senjakala. Putra nomor enam itu lalu diperintahkan untuk tinggal di Pulau Nusakambangan
yang terletak di Laut Selatan. Batara Kala berterima kasih dan berangkat menuruti perintah
sang ayah.

Batara Guru kemudian menyerahkan kedua taring Batara Kala yang dipotongnya tadi kepada
Batara Ramayadi dan Batara Anggajali supaya ditempa menjadi senjata. Kedua empu
kahyangan itu lalu mengubah taring-taring tersebut menjadi dua bilah keris pusaka, yang
diberi nama Keris Kalanadah dan Keris Kaladite.

BATARI UMA DIKUTUK MENJADI BATARI DURGA

Berita tentang Batara Guru memiliki anak berwujud raksasa besar dan mengerikan telah
membuatnya merasa sangat malu. Ia pun menimpakan kesalahan kepada Batari Uma yang
seharusnya tidak menolak sewaktu diajak bersetubuh di atas punggung Lembu Andini tadi.
Batara Guru pun menemui Batari Uma dan menceritakan segalanya. Ia memarahi Batari Uma
sebagai istri tidaklah pantas menolak perintah suami.

Batari Uma balas mengatakan bahwa terciptanya Batara Kala tidak lain karena kesalahan
Batara Guru sendiri yang tidak dapat mengendalikan nafsu birahi. Jawaban ini membuat
Batara Guru tersinggung dan semakin marah. Batara Guru lalu menjambak rambut sang istri
dan memukuli badannya. Kedua kaki Batari Uma diangkat sehingga tubuhnya pun tergantung
dengan kepala di bawah.

Batari Uma menjerit memohon ampun dengan suara yang melengking menyayat hati. Batara
Guru tidak peduli dan menyebut jeritan Batari Uma itu seperti suara raksasi. Karena Batara
Guru memiliki ajian Kawastrawam, membuat apa yang ia ucapkan menjadi kenyataan.
Seketika wujud Batari Uma pun berubah menjadi raksasi buruk rupa.

Batara Guru menyesali kutukannya, namun semua sudah terlambat. Sejak saat itu Batari Uma
diganti namanya menjadi Batari Durga dan diperintahkan untuk tinggal di Hutan
Setragandamayit, memimpin para hantu dan siluman. Kelak ia akan berubah cantik kembali
jika diruwat oleh seorang yang paling muda dari lima bersaudara Pandawa.

Batari Uma yang telah berganti nama menjadi Batari Durga itu pun menerima keputusan sang
suami dengan perasaan sedih. Ia lalu berangkat meninggalkan Kahyangan Argadumilah dan
pergi ke Hutan Setragandamayit untuk membangun kahyangan pribadi di sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 57
Cupu Linggamanik

Kisah ini menceritakan awal mula Batara Narada diangkat menjadi penasihat kahyangan
oleh Batara Guru, serta dilanjutkan dengan pengangkatan Batara Anantaboga sebagai dewa
penguasa para ular, serta awal mula Batara Guru memiliki empat lengan dan menikahi
Batari Umaranti.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Paramayoga karya Ngabehi Ranggawarsita
yang dipadukan dengan beberapa sumber lain dalam Ensiklopedia Wayang Purwa terbitan
Balai Pustaka.

Kediri, 29 Juni 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

BATARA GURU MEMBANGUN KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA

Di Kahyangan Argadumilah, Batara Guru bersama para putra, yaitu Batara Sambu, Batara
Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu sedang membicarakan berita
meninggalnya Nabi Isa yang kemudian dibangkitkan kembali dan diangkat naik ke Surga.
Tak terasa sudah lima belas tahun para dewata berkahyangan di Pulau Jawa, dan inilah
saatnya untuk kembali lagi ke Pegunungan Himalaya.

Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun memimpin perjalanan para dewata kembali menuju
Gunung Tengguru. Kahyangan Argadumilah di Gunung Mahendra seketika menjadi kosong
tak berpenghuni setelah kepergian mereka.

Sesampainya di Pegunungan Himalaya, para dewata sangat prihatin melihat keadaan


Kahyangan Tengguru yang porak poranda akibat serangan burung dara berbisa ciptaan Nabi
Isa dulu. Batara Guru berpendapat, kahyangan yang sudah rusak sebaiknya tidak ditempati

Page | 58
lagi. Ia kemudian terbang ke angkasa untuk melihat ke sekeliling Pegunungan Himalaya.
Akhirnya, pilihan pun jatuh kepada sebuah gunung bernama Gunung Kailasa.

Batara Guru lalu membangun kahyangan baru di atas Gunung Kailasa tersebut. Balai
Marcukunda dan Balai Marakata ditempatkan di dalamnya, serta dibangun pula sepasang
pintu gerbang bernama Kori Selamatangkep yang bisa membuka dan menutup sendiri
tergantung tamu yang datang berniat baik ataukah buruk.

Kahyangan baru tersebut akhirnya selesai dibangun dan diberi nama Kahyangan
Jonggringsalaka, karena memancarkan sinar putih keperakan. Para dewa juga membangun
kahyangan pribadi sebagai tempat tinggal masing-masing. Batara Sambu tinggal di
Kahyangan Suwelagringging, Batara Brahma tinggal di Kahyangan Duksinageni, Batara
Indra tinggal di Kahyangan Karang Kaindran, Batara Bayu tinggal di Kahyangan
Swargapanglawung, Batara Wisnu tinggal di Kahyangan Utarasegara, Batara Yamadipati
tinggal di Kahyangan Yamaniloka, Batara Kamajaya tinggal di Kahyangan Cakrakembang,
dan masih banyak lagi yang lainnya.

PARA DEWA BERTEMU MAHARESI KANEKAPUTRA

Beberapa tahun kemudian Batara Guru melihat adanya sinar teja atau pelangi tegak lurus di
sebelah selatan Pegunungan Himalaya. Ia pun memerintahkan para putra untuk menyelidiki
asal-usul sinar teja tersebut. Batara Sambu lalu berangkat bersama keempat adiknya.

Para dewa itu terbang menuju selatan dan akhirnya sampai di Samudera Hindia. Mereka
melihat seorang laki-laki bertapa dengan duduk samadi di atas ombak laut sambil tangannya
menggenggam sebuah cupu yang bersinar indah. Batara Sambu dan yang lain pun
membangunkan laki-laki itu dan menanyakan apa maksud dan tujuannya bertapa.

Laki-laki itu mengaku bernama Maharesi Kanekaputra yang bertapa ingin menjadi penasihat
raja dewa. Batara Sambu dan para adik pun menertawakannya, kecuali Batara Wisnu yang
memiliki firasat kalau laki-laki ini benar-benar memiliki kesaktian dan ilmu pengetahuan
yang sangat tinggi.

Maharesi Kanekaputra tidak peduli dan kembali bertapa. Batara Sambu merasa diacuhkan,
dan ia pun memerintahkan para adik untuk membangunkan petapa itu dengan paksa. Tiba-
tiba saja tubuh Maharesi Kanekaputra mengeluarkan tenaga dahsyat yang mendorong para
dewa itu terlempar kembali ke utara, kecuali Batara Wisnu yang sejak awal tidak ikut
mengganggunya. Batara Wisnu mohon pamit dengan hormat lalu melesat menyusul kakak-
kakaknya.

BATARA GURU MENGHADAPI MAHARESI KANEKAPUTRA

Batara Guru datang menemui Maharesi Kanekaputra setelah mendapat laporan kekalahan
putra-putranya. Batara Guru sangat heran mengapa ada seorang maharesi yang bertapa ingin
menjadi penasihat kahyangan. Maka, selaku raja dewa ia pun mengajukan beberapa
pertanyaan untuk menguji ilmu pengetahuan petapa tersebut.

Maharesi Kanekaputra menjawab setiap pertanyaan Batara Guru dengan gaya bercanda,
namun setiap jawabannya selalu benar. Batara Guru merasa kagum sekaligus kesal melihat
Maharesi Kanekaputra yang tingkah lakunya seperti pelawak itu. Maka, ia pun tak kuasa

Page | 59
menahan diri dan menyebut lawan bicaranya itu seperti badut. Ucapan tersebut disertai Aji
Kawastrawam sehingga wujud Maharesi Kanekaputra dalam sekejap berubah bentuk menjadi
laki-laki bertubuh pendek dan gemuk seperti badut, dengan wajah lucu yang selalu
mendongak ke atas.

Batara Guru menyesali ucapannya namun semuanya sudah terlambat. Ia kemudian


menelusuri asal-usul Maharesi Kanekaputra yang tidak lain adalah kakak sepupunya sendiri,
yaitu putra Sanghyang Caturkaneka, atau cucu Sanghyang Darmajaka. Batara Guru pun
memohon maaf dan mengabulkan keinginan Maharesi Kanekaputra menjadi penasihat
kahyangan, karena selama ini ia sering berbuat khilaf karena terlalu berkuasa tanpa ada yang
mengendalikan. Maharesi Kanekaputra menerima permohonan tersebut, dan ia pun memakai
nama Batara Narada.

Sejak saat itu Batara Narada menjadi penasihat Batara Guru, dan ia mendapatkan Kahyangan
Sidiudal-udal sebagai tempat tinggal. Ia juga menyerahkan Cupu Linggamanik yang selalu
digenggamnya sewaktu bertapa kepada Batara Guru sebagai pelengkap pusaka Kahyangan
Jonggringsalaka. Cupu Linggamanik tersebut adalah pemberian ayahnya, yaitu Sanghyang
Caturkaneka yang berisikan air Tirta Mayahadi.

Batara Narada.

BATARA ANANTABOGA DAN BATARA BASUKI

Pada suatu hari Cupu Linggamanik tiba-tiba terbang sendiri meninggalkan ruang pusaka
Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru memerintahkan para dewa untuk mencari ke mana
hilangnya cupu pusaka tersebut.

Cupu Linggamanik ternyata masuk ke Kahyangan Saptapretala di dasar bumi dan ditemukan

Page | 60
oleh seekor naga yang sedang bertapa. Naga itu bernama Adisesa yang langsung menangkap
cupu pusaka tersebut dengan mulutnya.

Para dewa datang dan menuduh Naga Adisesa telah mencuri Cupu Linggamanik. Naga
Adisesa tidak terima dan terjadilah pertempuran. Tidak lama kemudian muncul adik Naga
Adisesa bernama Naga Basuki yang segera membantu sang kakak. Para dewa terdesak
kewalahan dan akhirnya kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melaporkan apa yang
terjadi.

Batara Guru dan Batara Narada kemudian datang ke Kahyangan Saptapratala untuk menanyai
Naga Adisesa dan Naga Basuki secara baik-baik. Ternyata Batara Guru dapat menebak asal-
usul kedua naga tersebut yang terhitung masih kerabat sendiri. Ayah Batara Guru yaitu
Sanghyang Tunggal memiliki adik perempuan bernama Dewi Suyati yang menikah dengan
jin berwujud naga bernama Anantawasesa. Dari perkawinan itu lahir dua ekor naga bernama
Anantaswara dan Anantadewa. Anantaswara memiliki anak perempuan bernama Dewi Basu,
sedangkan Anantadewa memiliki putra bernama Anantanaga. Anantanaga dan Dewi Basu
kemudian dinikahkan, sehingga lahir dua ekor naga bernama Adisesa dan Basuki tersebut.

Karena Batara Guru datang secara baik-baik, Naga Adisesa pun menyerahkan Cupu
Linggamanik dengan cara yang baik pula. Sebagai rasa terima kasih, Naga Adisesa dan Naga
Basuki diangkat menjadi dewa dan masing-masing diberi gelar Batara Anantaboga dan
Batara Basuki. Batara Anantaboga ditunjuk sebagai pemimpin para ular yang hidup di darat,
sedangkan Batara Basuki menjadi pemimpin para ular yang hidup di air.

Setelah dirasa cukup, Batara Guru dan Batara Narada pun kembali ke Kahyangan
Jonggringsalaka dengan membawa Cupu Linggamanik.

KELAHIRAN BAYI DARI BUAH RANTI

Sejak kepergian Batari Uma menjadi Batari Durga yang tinggal di Kahyangan
Setragandamayit, Batara Guru merasa kesepian dan kehilangan rekan untuk dimintai
pertimbangan. Ia pun meminta kepada mertuanya, yaitu Saudagar Umaran untuk dicarikan
istri yang wajahnya mirip dengan Batari Uma. Saudagar Umaran tidak tahu bagaimana
caranya, namun ia juga tidak berani menolak permintaan sang raja dewata.

Saudagar Umaran kemudian pulang ke Kerajaan Merut dan bersamadi di kebun buah ranti di
pekarangan istananya. Setelah beberapa lama, tapa brata Saudagar Umaran tersebut akhirnya
dikabulkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Tiba-tiba saja ada sebutir buah ranti yang
membesar ukurannya sedikit demi sedikit. Saudagar Umaran lalu membuka buah ranti
berukuran besar tersebut, ternyata di dalamnya berisikan seorang bayi.

Akan tetapi, bayi ajaib itu tiba-tiba terbang melesat ke arah timur. Saudagar Umaran pun
bergegas mengejar ke mana perginya. Ternyata bayi itu melayang-layang memasuki
Kahyangan Jonggringsalaka dan membuat suasana menjadi gempar. Para dewa berusaha
menangkapnya namun tidak ada yang mampu. Saudagar Umaran datang melapor kepada
Batara Guru bahwa bayi itu adalah bayi ajaib yang tercipta dari dalam buah ranti di
pekarangan istananya.

Batara Guru pun turun tangan berusaha ikut menangkap si bayi namun selalu gagal. Ia
merasa sangat kesal dan berkata andai saja dirinya memiliki empat lengan, tentu bisa

Page | 61
menangkap bayi tersebut. Seketika ucapan yang disertai Aji Kawastrawam itu menjadi
kenyataan. Tiba-tiba saja lengan Batara Guru berubah menjadi empat. Tanpa pikir lagi, ia pun
melesat dan berhasil menangkap kedua tangan dan kedua kaki si bayi menggunakan keempat
lengannya itu.

BATARA GURU MENIKAHI BATARI UMARANTI

Batara Guru mengamati wujud si bayi ajaib yang ternyata memiliki kelamin ganda. Ia lalu
meruwat bayi tersebut menggunakan siraman air Tirta Mayahadi dalam Cupu Linggamanik,
sehingga kelamin laki-laki pada si bayi musnah dan yang tertinggal hanya kelamin
perempuan saja. Batara Guru lalu menyiramkan Tirta Mayahadi untuk yang kedua kalinya.
Secara ajaib, bayi itu langsung berubah menjadi perempuan dewasa seketika.

Batara Guru dan Saudagar Umaran sangat gembira karena wajah perempuan tersebut sama
persis dengan Batari Uma. Batara Guru juga berkenan menjadikannya sebagai istri sebagai
pengganti Batari Uma. Perempuan itu lalu diberi nama Batari Umaranti, karena tercipta dari
buah ranti.

Pernikahan antara Batara Guru dengan Batari Umaranti akhirnya dikaruniai tiga orang putra,
yaitu Batara Mahadewa, Batara Cakra, dan Batara Asmara.

Batara Guru berlengan empat.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 62
Batara Gana Lahir

Kisah ini menceritakan kelahiran Batara Ganesa atau Ganapati, yaitu dewa berkepala
gajah, serta awal mula Prabu Ajisaka menjadi Empu Sengkala.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja yang
dipadukan dengan Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit
pengembangan.

Kediri, 2 Juli 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

PRABU AJISAKA KEHILANGAN TAKHTA

Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Sambu untuk sementara memimpin pertemuan,


karena saat ini Batara Guru sedang bertapa di Gunung Tengguru, dengan tujuan menyerap
sisa-sisa daya perbawa yang tertinggal di kahyangan lama untuk dipindahkan ke kahyangan
baru.

Page | 63
Tiba-tiba datang Prabu Ajisaka, putra Batara Anggajali, yang melaporkan bahwa Kerajaan
Surati telah hancur diserang musuh raksasa bernama Prabu Nilarudraka dari Kerajaan
Glugutinatar. Prabu Ajisaka mohon ampun karena tidak mampu mempertahankan negeri
anugerah Batara Guru tersebut. Ia juga melaporkan bahwa selama para dewa berkahyangan di
Tanah Jawa, Prabu Nilarudraka dan pasukannya telah banyak menaklukkan raja-raja di Tanah
Hindustan.

Tidak lama kemudian datang utusan Prabu Nilarudraka yang bernama Patih Senarudraka
menghadap Batara Sambu untuk meminta supaya Prabu Ajisaka diserahkan kepadanya.
Tidak hanya itu, ia juga meminta agar para dewa mengakui kekuasaan Prabu Nilarudraka.

Batara Sambu marah mendengar permintaan tersebut. Ia pun mempersilakan Patih


Senarudraka menunggu di luar karena permintaan tersebut akan dihadapi dengan
pertempuran.

PARA DEWA KALAH PERANG MELAWAN PATIH SENARUDRAKA

Patih Senarudraka memimpin pasukan raksasa menghadapi pasukan dewata yang dipimpin
langsung oleh Batara Sambu. Perang besar pun terjadi. Para dewa merasa kesulitan tidak
mampu mengalahkan kekuatan para raksasa Kerajaan Glugutinatar tersebut. Akhirnya, Batara
Sambu pun menarik mundur pasukan dewata dan menutup rapat-rapat gerbang Kori
Selamatangkep.

Melihat pihak lawan mundur ke dalam kahyangan, Patih Senarudraka pun mendirikan
perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa, untuk mengepung jalur masuk menuju Kahyangan
Jonggringsalaka. Sementara itu, Prabu Nilarudraka yang menduduki Kerajaan Surati
mengirim kabar bahwa dirinya telah bergerak untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang
lain.

PARA DEWA MEMINTA PETUNJUK SANGHYANG PADAWENANG

Setelah para dewa masuk kembali ke dalam Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Narada
menyarankan agar Batara Sambu meminta petunjuk Sanghyang Padawenang di Kahyangan
Awang-Awang Kumitir. Batara Sambu pun menugasi Batara Wisnu dan Batara Kamajaya
untuk pergi ke sana. Kedua dewa itu mohon pamit dan berangkat dengan mengerahkan Aji
Panglimunan sehingga tidak terlihat oleh pasukan Patih Senarudraka yang berkemah.

Sesampainya di Kahyangan Awang-Awang Kumitir, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya


segera meminta petunjuk Sanghyang Padawenang dalam menghadapi serangan Kerajaan
Glugutinatar. Menghadapi Patih Senarudraka saja sudah sulit, apalagi menghadapi Prabu
Nilarudraka. Bahkan, Batara Wisnu yang sangat sakti saja tidak mampu mengalahkan
mereka.

Sanghyang Padawenang menjelaskan bahwa takdir kematian Prabu Nilarudraka bukan di


tangan Batara Wisnu, tetapi di tangan adiknya yang kelak lahir dari Dewi Parwati, putri
Kerajaan Giriprawata. Namun saat ini Batara Guru sedang bertapa di Gunung Tengguru,
sehingga perlu dibangunkan dan dipertemukan dengan putri tersebut.

Setelah mendapatkan penjelasan, Batara Wisnu dan Batara Kamajaya pun mohon pamit
untuk kemudian berangkat menemui Batara Guru di Gunung Tengguru.

Page | 64
BATARA GURU MEMBAKAR BATARA KAMAJAYA

Batara Guru sedang tekun bersamadi di puing-puing bekas reruntuhan Kahyangan Tengguru.
Batara Wisnu dan Batara Kamajaya datang menghadap. Mereka berusaha membangunkan
Batara Guru namun tidak berhasil. Batara Kamajaya akhirnya mohon izin untuk
menggunakan Panah Pancawisaya, yang berguna untuk membangkitkan gairah dan rasa cinta
di hati Batara Guru.

Setelah Batara Wisnu mengizinkan, Batara Kamajaya pun melepaskan Panah Pancawisaya
dan mengenai dada Batara Guru. Seketika Batara Guru dalam samadinya pun bermimpi
melihat seorang putri cantik bernama Dewi Parwati putri Kerajaan Giriprawata. Namun
begitu terbangun, ia sangat marah karena mengetahui ternyata itu semua adalah ulah Batara
Kamajaya yang berusaha membangkitkan nafsu birahinya. Tak kuasa menahan murka, Batara
Guru pun bertriwikrama menjadi Sanghyang Rudrapati, yang memiliki mata ketiga di dahi.
Mata ketiga itu lalu memancarkan sorot api yang langsung membakar Batara Kamajaya
menjadi abu.

Batara Wisnu memohon supaya Batara Guru meredam kemarahan dan ia pun menceritakan
apa yang telah terjadi. Setelah menyadari duduk permasalahannya, Batara Guru pun kembali
ke wujud semula dan merasa berduka. Ia lalu memerintahkan Batara Wisnu mengumpulkan
abu jenazah Batara Kamajaya dan membawanya pulang ke Kahyangan Jonggringsalaka. Ia
sendiri kemudian terbang menuju Kerajaan Giriprawata untuk menikahi Dewi Parwati sesuai
petunjuk Sanghyang Padawenang.

BATARA GURU MENIKAHI DEWI PARWATI

Di Kerajaan Giriprawata, Prabu Himawan dan Dewi Minawati menyambut kedatangan


Batara Guru dengan penuh hormat. Mereka berdua menerima dengan suka cita saat Batara
Guru menyampaikan maksud kedatangannya ingin melamar Dewi Parwati, putri mereka,
sebagai istri.

Maka dilangsungkanlah pernikahan antara Batara Guru dengan Dewi Parwati. Setelah itu,
Batara Guru kemudian mohon pamit memboyong Dewi Parwati untuk tinggal di Kahyangan
Jonggringsalaka.

BATARA GURU MENGHIDUPKAN BATARA KAMAJAYA DAN BATARI RATIH

Sesampainya di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dan Dewi Parwati melihat para
dewa dan bidadari sedang berkabung di hadapan abu jenazah berjumlah dua. Rupanya Batari
Ratih sangat berduka mengetahui Batara Kamajaya mati terbakar, dan ia pun melakukan bela
pati ikut membakar diri menyusul sang suami.

Para dewa memohon kepada Batara Guru supaya menghidupkan kembali pasangan suami-
istri tersebut. Batara Guru lalu menyiram kedua abu jenazah itu menggunakan air kehidupan
Tirtamarta Kamandanu. Secara ajaib, kedua abu jenazah pun berubah wujud menjadi Batara
Kamajaya dan Batari Ratih seperti sedia kala.

Page | 65
Batara Kamajaya.

KELAHIRAN BATARA GANAPATI

Sudah lima bulan lamanya Patih Senarudraka berkemah di kaki Gunung Jamurdipa
mengepung Kahyangan Jonggringsalaka. Sementara itu Dewi Parwati sudah mengandung
pula. Para dewa berharap bayi yang akan dilahirkannya itulah yang kelak bisa mengalahkan
musuh dari Kerajaan Glugutinatar.

Sementara itu Prabu Nilarudraka telah menaklukkan kerajaan-kerajaan di segenap penjuru


Tanah Hindustan. Kerajaan terakhir yang ia kalahkan adalah Kerajaan Giriprawata, di mana
ia berhasil menawan Prabu Himawan dan Dewi Minawati. Maka, tiba saatnya Prabu
Nilarudraka bergabung dengan Patih Senarudraka di kaki Gunung Jamurdipa untuk bersama-
sama menyerbu Kahyangan Jonggringsalaka.

Para dewa menjadi panik mendengar Prabu Nilarudraka telah datang di perkemahan Gunung
Jamurdipa. Padahal, usia kandungan Dewi Parwati belum mencapai masa kelahiran. Para
dewa akhirnya bertekad untuk bertempur mati-matian melawan Prabu Nilarudraka dan Patih
Senarudraka dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada.

Batara Guru mengajak Dewi Parwati menyaksikan para dewa mempersiapkan pasukan di
halaman Kahyangan Jonggringsalaka yang disebut Repat Kepanasan. Pada saat melihat gajah
yang dikendarai Batara Indra, Dewi Parwati menjerit ngeri. Gajah tersebut bernama Gajah
Erawata yang berukuran sangat besar, membuat Dewi Parwati ketakutan dan janin yang ada
di dalam rahimnya ikut berontak.

Melihat keadaan yang tidak baik itu, Batara Guru pun menggunakan kesaktiannya untuk
membantu sang istri melahirkan sebelum waktunya. Akhirnya, lahirlah seorang bayi laki-laki

Page | 66
yang anehnya berkepala gajah. Para dewa terheran-heran, namun mereka berharap bayi
berwujud aneh inilah yang bisa mengalahkan musuh sesuai ramalan Sanghyang Padawenang.

Batara Guru kemudian menyiram putranya yang berkepala gajah itu menggunakan Tirtamarta
Kamandanu. Secara ajaib, bayi tersebut langsung berubah dewasa dan diberi nama Batara
Ganapati atau Batara Ganesa.

BATARA GANAPATI MENGALAHKAN PATIH SENARUDRAKA

Di perkemahan pasukan Glugutinatar, Prabu Nilarudraka sedang menyusun rencana


penyerbuan bersama Patih Senarudraka. Tiba-tiba mereka mendengar pasukan dewata telah
membuka gerbang Kori Selamatangkep dan melakukan serangan balasan dengan dipimpin
seorang dewa yang baru lahir bernama Batara Ganapati.

Patih Senarudraka maju menghadapi Batara Ganapati. Begitu berhadap-hadapan, Patih


Senarudraka langsung tertawa geli melihat ada seorang dewa bertubuh gagah tapi berkepala
gajah. Sungguh ajaib, gara-gara menertawakan wujud Batara Ganapati, seketika seluruh
tubuh Patih Senarudraka pun berubah menjadi seekor gajah. Ia sangat menyesal mengetahui
kesaktian Batara Ganapati dan menyatakan tunduk kepadanya.

Melihat patihnya berubah menjadi gajah dan menyerah kepada musuh, Prabu Nilarudraka
sangat marah dan maju menyerang Batara Ganapati. Pertempuran sengit pun terjadi. Kedua
pihak sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Prabu Nilarudraka ternyata benar-benar perkasa
sehingga pantas kalau ia berani menaklukkan para raja di Tanah Hindustan dan kemudian
menyerbu kahyangan. Tidak ada satu pun senjata yang mampu melukai kulitnya.

Akan tetapi, setelah bertempur sekian lama Batara Ganapati akhirnya berhasil mematahkan
kedua taring Prabu Nilarudraka dan menusukkannya ke leher raja raksasa tersebut. Begitu
tertusuk taringnya sendiri, Prabu Nilarudraka langsung roboh kehilangan nyawa.

BATARA GANAPATI MENDAPAT KAHYANGAN GLUGUTINATAR

Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap para dewa dalam suasana suka cita
karena pihak musuh telah berhasil dihancurkan. Kerajaan Glugutinatar milik Prabu
Nilarudraka kini diubah menjadi kahyangan tempat tinggal Batara Ganapati. Para raja yang
ditawan dan kerajaannya direbut Prabu Nilarudraka juga dibebaskan dan dikembalikan ke
negeri masing-masing. Termasuk di antara mereka adalah Prabu Himawan dan Dewi
Minawati dari Kerajaan Giriprawata.

Sementara itu, Patih Senarudraka yang kini berwujud gajah telah menyatakan sumpah setia
kepada Batara Guru. Ia kemudian mendapatkan nama baru, yaitu Gajah Sena, dan diserahkan
kepada Batara Bayu untuk mengabdi kepadanya.

PRABU AJISAKA MENJADI EMPU SENGKALA

Batara Guru lalu menerima kedatangan Batara Anggajali bersama putranya, yaitu Prabu
Ajisaka. Setelah Kerajaan Surati direbut Prabu Nilarudraka, Prabu Ajisaka mengungsi ke
Kahyangan Jonggringsalaka dan banyak membantu sang ayah dalam membuat senjata-
senjata kahyangan untuk menghadapi pasukan raksasa Glugutinatar. Kini Prabu Ajisaka telah
menguasai segala ilmu pembuatan senjata, dan ia telah berganti nama menjadi Empu

Page | 67
Sengkala.

Batara Guru sangat senang melihat pengabdian Empu Sengkala, namun tidak
mengizinkannya kembali ke Kerajaan Surati yang telah hancur itu. Batara Guru meramalkan,
kelak Empu Sengkala akan mendapatkan tugas untuk mengisi Pulau Jawa di seberang lautan
dengan penduduk manusia. Maka, sebelum saat itu tiba, Empu Sengkala pun diperintahkan
untuk bertapa di pulau panjang tersebut.

Empu Sengkala mematuhi perintah sang raja dewa dan ia segera mohon pamit berangkat ke
Pulau Jawa.

Batara Ganapati

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

kisah sebelumnya ; daftar isi ; kisah selanjutnya

Page | 68
Penumbalan Tanah Jawa

Kisah ini menceritakan bagaimana awal mula Pulau Jawa diisi penduduk manusia. Juga
dikisahkan bagaimana Empu Sengkala membantu memasang tumbal di Pulau Jawa yang
angker sehingga menjadi aman untuk dihuni manusia.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 10 Juli 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Empu Sengkala.

EMPU SENGKALA BERANGKAT KE PULAU JAWA

Batara Anggajali di tempat pembuatan senjata kahyangan menerima kedatangan Empu


Sengkala yang hendak pergi bertapa di Pulau Jawa atas perintah Batara Guru. Batara
Anggajali pun membekali putranya itu dengan mengajarkan beberapa tambahan ilmu
kesaktian dan nasihat kehidupan. Setelah dirasa cukup, ia lalu memberikan doa restu agar
sang putra selalu mendapatkan keselamatan dalam perjalanannya.

Setelah berlayar menyeberangi lautan luas, Empu Sengkala akhirnya tiba di Pulau Jawa yang
saat itu masih tersambung dengan Pulau Sumatra dan Pulau Bali. Butuh waktu seratus tiga
hari bagi Empu Sengkala untuk berkeliling menjelajahi pulau tersebut dari Tanah Aceh di

Page | 69
ujung barat laut sampai ke Bali. Pulau tersebut benar-benar sepi dan hanya dihuni oleh para
makhluk halus, siluman, bekasakan, dan binatang buas.

Setelah selesai berkeliling, Empu Sengkala lalu membangun tempat tinggal di Gunung
Dihyang, dengan diberi nama Padepokan Purwapada.

EMPU SENGKALA MENCIPTAKAN PENANGGALAN

Empu Sengkala mulai bertapa di Padepokan Purwapada. Karena daya perbawa yang ia
pancarkan, tidak ada makhluk halus yang berani mengganggunya. Setelah beberapa hari
bertapa ia pun didatangi oleh Batari Srilaksmi yang memancarkan cahaya putih. Batari
Srilaksmi mengajarkan kepadanya ilmu Asmaragama, Asmaranala, Asmaratura,
Asmaraturida, dan Asmarandana. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke
kahyangan.

Pada hari kedua, Empu Sengkala didatangi Batara Kala yang memancarkan cahaya kuning.
Batara Kala mengajarkan berbagai macam ilmu sihir, kemayan, dan panggendaman. Setelah
Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.

Pada hari ketiga, Empu Sengkala didatangi Batara Brahma yang memancarkan cahaya merah.
Batara Brahma mengajarkan berbagai macam ilmu ramalan dan kemampuan melihat masa
depan. Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.

Pada hari keempat, Empu Sengkala didatangi Batara Wisnu yang memancarkan cahaya
hitam. Batara Wisnu mengajarkan berbagai macam ilmu kesaktian dan siasat peperangan.
Setelah Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.

Pada hari kelima, Empu Sengkala didatangi Batara Guru yang memancarkan cahaya
mancawarna. Batara Guru mengajarkan ilmu kesempurnaan dan ilmu panitisan. Setelah
Empu Sengkala memahaminya, ia pun kembali ke kahyangan.

Untuk mengenang peristiwa tersebut, Empu Sengkala kemudian membuat sebuah


penanggalan yang dalam satu pekan terdiri atas lima hari, yaitu hari Sri, Kala, Brahma,
Wisnu, dan Guru. Pada hari Sri ia bersamadi menghadap ke timur, pada hari Kala bersamadi
menghadap ke selatan, pada hari Brahma bersamadi menghadap ke barat, pada hari Wisnu
bersamadi menghadap ke utara, dan pada hari Guru bersamadi menunduk ke bumi, serta
mendongak ke angkasa.

Penanggalan yang diciptakan Empu Sengkala tersebut kemudian diberi nama Tahun
Suryasengkala dan Tahun Candrasengkala. Jika Suryasengkala didasarkan pada peredaran
bumi terhadap matahari, maka Candrasengkala didasarkan pada peredaran bulan terhadap
bumi.

PENDUDUK NEGERI RUM MENGISI PULAU JAWA

Tersebutlah raja Kerajaan Rum bernama Maharaja Galbah. Pada suatu hari ia memimpin
pertemuan dengan dihadap sang putra bernama Pangeran Oto, dan menteri utama bernama
Patih Amirulsamsu. Yang dibicarakan adalah perihal mimpi Maharaja Galbah, yaitu ia
mendapatkan perintah dari suara gaib agar mengisi Pulau Jawa di seberang lautan timur.
Pulau tersebut sangat subur namun hanya dihuni kaum bekasakan dan makhluk halus, tanpa

Page | 70
ada manusia sama sekali di dalamnya.

Maharaja Galbah bertanya kepada para pendeta kerajaan dan mereka menjelaskan bahwa
suara gaib dalam mimpi tersebut adalah perintah Tuhan Yang Mahakuasa agar dilaksanakan.
Maka, Maharaja Galbah pun mengutus Patih Amirulsamsu untuk memimpin sebagian
penduduk Kerajaan Rum pindah dan bermukim di Pulau Jawa.

Patih Amirulsamsu berangkat dengan membawa dua puluh ribu orang penduduk Rum
menyeberang lautan luas. Sesampainya di Pulau Jawa, orang-orang Rum tersebut bergotong
royong membuka hutan dan mendirikan perkampungan. Setelah dirasa cukup, Patih
Amirulsamsu lalu kembali untuk melapor kepada Maharaja Galbah.

Sepeninggal Sang Patih, orang-orang Rum di Pulau Jawa banyak yang jatuh sakit dan
meninggal karena tidak tahan hawa panas serta diganggu makhluk halus, atau ada pula yang
dimangsa binatang buas. Dalam waktu tiga tahun saja yang tersisa hanya tinggal dua puluh
orang dan mereka memutuskan untuk pulang ke Negeri Rum.

PANDITA USMANAJI BERANGKAT KE PULAU JAWA

Maharaja Galbah sangat sedih mendengar laporan bahwa dari dua puluh ribu orang yang
menghuni Pulau Jawa hanya tersisa dua puluh orang saja dan mereka memilih pulang
kembali ke Negeri Rum. Patih Amirulsamsu berpendapat bahwa Pulau Jawa terlalu angker
untuk ditempati manusia, dan untuk itu perlu dipasangi tumbal penakluk makhluk halus. Sang
Patih melaporkan bahwa di Negeri Bani Israil hidup seorang pendeta berilmu tinggi bernama
Pandita Usmanaji yang kiranya bisa melaksanakan tugas berat ini.

Kerajaan Bani Israil sudah lama menjadi negeri jajahan Kerajaan Rum, sehingga Maharaja
Galbah dapat leluasa memanggil Pandita Usmanaji untuk menghadap dan menerima perintah
darinya. Pandita Usmanaji tiba di kerajaan dan menyatakan siap melaksanakan perintah itu.
Ia lalu mohon pamit berlayar ke Pulau Jawa dengan diiringi sejumlah pendeta lainnya.

EMPU SENGKALA MEMBANTU PENUMBALAN PULAU JAWA

Setelah berlayar beberapa bulan, rombongan Pandita Usmanaji akhirnya tiba dan mendarat di
Pulau Jawa. Berkat kesaktiannya, Pandita Usmanaji dapat merasakan bahwa di pulau tersebut
ternyata ada seorang manusia sedang bertapa di Gunung Dihyang. Didatanginya gunung
tersebut dan ditemuinya sang pertapa, yang ternyata Empu Sengkala, muridnya sendiri.

Empu Sengkala sangat terharu dan gembira bisa bertemu sang guru di pulau sunyi ini. Ia pun
menceritakan semua pengalaman hidupnya sejak berpisah dulu, antara lain pernah menjadi
raja Kerajaan Surati dan akhirnya mendapatkan perintah dari Batara Guru untuk bertapa di
Pulau Jawa. Tak terasa sudah enam tahun lamanya Empu Sengkala bertapa dan ia pun sempat
mendengar berita adanya orang-orang Rum yang bermukim di Pulau Jawa namun mengalami
nasib malang.

Pandita Usmanaji lalu mengajak Empu Sengkala untuk membantunya memasang tumbal
supaya Pulau Jawa yang angker menjadi lebih aman dan nyaman untuk ditempati manusia.
Mereka pun mulai bekerja, dengan memasang lima buah tumbal, yaitu yang empat ditanam di
empat penjuru mata angin dan satu lagi dipasang di tengah-tengah pulau. Setelah pemasangan
tumbal selesai, Pandita Usmanaji dan rombongan membawa serta Empu Sengkala

Page | 71
meninggalkan Pulau Jawa.

Hari berikutnya, terjadilah bencana alam di segenap penjuru pulau. Gempa bumi, gunung
meletus, badai halilintar, disertai suara bergemuruh terjadi di mana-mana yang kemudian
diikuti suara jerit tangis para makhluk jahat. Mereka pun berlarian menuju Laut Selatan untuk
mencari perlindungan.

EMPU SENGKALA MENDAPAT PERINTAH DARI MAHARAJA GALBAH

Pandita Usmanaji tiba di Kerajaan Rum dan melaporkan keberhasilannya kepada Maharaja
Galbah. Maharaja Galbah juga sangat berterima kasih atas bantuan Empu Sengkala dan
memberikan gelar Pandita Isaka kepadanya. Pandita Usmanaji lalu mohon pamit pulang ke
Negeri Bani Israil dengan mengajak Empu Sengkala ikut serta. Di sana Empu Sengkala pun
mendapatkan banyak tambahan ilmu pengetahuan dan ilmu kesaktian darinya.

Pada suatu hari Patih Amirulsamsu datang ke Bani Israil untuk menyampaikan surat perintah
Maharaja Galbah kepada Empu Sengkala. Bagaimanapun juga perintah Tuhan Yang
Mahakuasa untuk menempatkan penduduk manusia di Pulau Jawa harus tetap dilaksanakan.
Hanya saja, perintah tersebut tidak menjelaskan bahwa yang harus ditempatkan di sana
adalah penduduk Kerajaan Rum, sehingga Maharaja Galbah kini memerintahkan Empu
Sengkala untuk mencari penduduk negeri lain yang cocok dengan keadaan Pulau Jawa
sehingga bisa bermukim di sana dengan nyaman.

Empu Sengkala menyatakan bersedia dan ia pun mohon restu kepada Pandita Usmanaji,
kemudian berangkat menuju ke timur.

EMPU SENGKALA MEMIMPIN PENGISIAN PULAU JAWA

Empu Sengkala tiba di Kahyangan Jonggringsalaka menghadap Batara Guru untuk meminta
petujuk dalam melaksanakan perintah Tuhan Yang Mahakuasa melalui mimpi Maharaja
Galbah tersebut. Batara Guru selaku pemimpin tertinggi di Tanah Hindustan dan sekitarnya
memberikan izin kepada Empu Sengkala untuk mengumpulkan orang-orang Keling,
Benggala, dan Siam karena mereka memiliki tubuh yang cocok dengan keadaan alam di
Pulau Jawa.

Empu Sengkala kemudian menemui ayahnya, yaitu Batara Anggajali. Sang ayah memberikan
restu dan menyertakan putra-putranya yang lain untuk membantu pekerjaan Empu Sengkala
tersebut. Mereka adalah Empu Bratandang, Empu Braruni, dan Empu Braradya, yaitu anak-
anak Batara Anggajali yang lahir dari istri kedua.

Empu Sengkala ditemani ketiga adiknya berlayar membawa dua puluh ribu orang yang
mereka kumpulkan dari Keling, Benggala, dan Siam, sesuai perintah Batara Guru. Setelah
mendarat di Pulau Jawa, orang-orang itu kemudian diajak bergotong royong membuka hutan
dan pegunungan untuk dijadikan tempat permukiman.

Setelah sepuluh tempat permukiman berdiri, Empu Sengkala lalu memilih sepuluh orang
yang paling pandai di antara para penduduk untuk mendapatkan tambahan pelajaran darinya.
Mereka bernama Jangga, Wisaka, Kutastaka, Malipata, Wiswandana, Kurmanda, Kusalya,
Anuwilipa, Suskadi, dan Sarada.

Page | 72
Setelah mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan, kesepuluh orang itu lalu disebar untuk
menjadi pemimpin para penduduk. Setelah dirasa cukup, Empu Sengkala pun kembali ke
Negeri Rum, sedangkan ketiga adiknya kembali ke Tanah Hindustan.

EMPU SENGKALA MENINJAU PULAU JAWA

Tujuh belas tahun kemudian Empu Sengkala kembali mendapatkan perintah untuk berlayar
ke Pulau Jawa. Kali ini yang memberikan perintah adalah Maharaja Oto, yaitu putra
Maharaja Galbah. Maharaja baru itu memerintahkan Empu Sengkala pergi meninjau keadaan
Pulau Jawa sebagaimana wasiat terakhir Maharaja Galbah sebelum meninggal. Jika
penduduk Pulau Jawa sudah berkembang pesat dan hidup aman tenteram, tentu roh Maharaja
Galbah bisa merasa tenang di alam baka.

Empu Sengkala lalu berangkat disertai sejumlah orang Rum sebagai pengiring. Setelah tiba di
Pulau Jawa, mereka gembira melihat para penduduk semakin berkembang dan jumlah mereka
meningkat pesat. Orang-orang Rum yang datang tersebut menjadi tertarik dan sebagian dari
mereka memilih untuk ikut menetap di Pulau Jawa.

Empu Sengkala lalu menunjuk seorang bernama Tamus untuk menjadi pemimpin orang-
orang Rum yang menetap di Pulau Jawa. Setelah dirasa cukup, Empu Sengkala kemudian
kembali ke Negeri Rum untuk menyampaikan laporan kepada Maharaja Oto.

EMPU SENGKALA MENDAPATKAN AIR KEABADIAN

Setelah menyampaikan laporan kepada Maharaja Oto tentang keadaan penduduk di Pulau
Jawa, Empu Sengkala kembali menemui Pandita Usmanaji di Kerajaan Bani Israil. Pada
suatu malam ia bermimpi mendengar suara gaib yang menyuruhnya pergi ke Kutub Utara
mencari sebuah tempat bernama Tanah Lulmat dan bertapa di sana. Setelah berunding
dengan sang guru, ia pun mohon restu dan berangkat melaksanakan mimpi tersebut.

Setelah bersusah payah, Empu Sengkala akhirnya sampai juga di Tanah Lulmat. Setelah
bertapa beberapa bulan, tiba-tiba muncul mustika awan yang memancarkan air keabadian
Tirtamarta Kamandanu seperti yang pernah dialami Sayidina Anwar ribuan tahun silam.
Terdengar pula suara gaib yang memerintahkan Empu Sengkala untuk meminum air tersebut.
Setelah meminumnya, Empu Sengkala seketika mendapatkan kehidupan kekal dan tetap awet
muda selamanya.

Setelah itu, suara gaib kembali terdengar yang kali ini mengatakan bahwa kelak Empu
Sengkala harus datang lagi ke Pulau Jawa untuk menumpas angkara murka dan mengajarkan
ilmu pengetahuan kepada penduduk di sana. Namun peristiwa tersebut masih berselang
ratusan tahun dari saat ini. Untuk menunggu datangnya saat itu, Empu Sengkala
diperintahkan untuk tinggal di Tanah Hindustan sebagai brahmana.

Suara gaib tersebut kemudian menghilang tidak terdengar lagi. Empu Sengkala lalu
meninggalkan Tanah Lulmat dan pergi menemui Pandita Usmanaji di Negeri Bani israil,
untuk kemudian mohon pamit berangkat ke Tanah Hindustan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 73
Mahadewa Buda

Kisah ini menceritakan tentang Batara Guru yang menjelma sebagai seorang pertapa
bernama Resi Mahadewa Buda untuk mengajarkan agama dan tata cara kehidupan kepada
para penduduk Pulau Jawa. Ia kemudian mendirikan Kerajaan Medang Kamulan dan
menjadi raja bergelar Sri Padukaraja Mahadewa Buda.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 11 Juli 2013

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

BATARA GURU MENDAPAT TUGAS KE PULAU JAWA

Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para putra, yaitu
Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu. Mereka
membicarakan tentang orang-orang Keling, Benggala, dan Siam yang telah berkembang biak
di Pulau Jawa selama seratus tahun. Pada mulanya mereka yang datang bersama Empu
Sengkala masih tekun beribadah sesuai ajaran Agama Dewa. Namun kini, anak keturunan
mereka banyak yang tidak beriman dan hanya sibuk mencari makan atau berkembang biak
saja.

Tidak lama kemudian Sanghyang Padawenang datang dari Kahyangan Awang-Awang


Kumitir. Batara Guru menghaturkan sembah dan menceritakan keadaan Pulau Jawa yang
penduduknya saat ini sudah jauh dari agama dan hidup seperti hewan saja. Sanghyang
Padawenang merasa sangat prihatin mendengarnya. Maka, ia pun memerintahkan Batara
Guru supaya pergi ke Pulau jawa untuk mengajarkan ilmu agama kepada para penduduk di
sana. Batara Guru mematuhi perintah tersebut dan menyerahkan kepemimpinan Kahyangan
Jonggringsalaka untuk sementara waktu kepada Batara Sambu dengan didampingi Batara
Narada.

BATARA GURU MENJELMA MENJADI RESI MAHADEWA BUDA

Sebelum berangkat ke Pulau Jawa, Batara Guru lebih dulu berpamitan kepada sang istri, yaitu
Batari Umaranti. Ia juga meninggalkan Lembu Andini di Kahyangan Jonggringsalaka untuk
menemani Batari Umaranti. Setelah dirasa cukup, Batara Guru lalu menjelma menjadi
seorang resi dengan menyembunyikan segala bentuk cacat tubuhnya, seperti berlengan
empat, bertaring, berkaki pincang, dan berleher belang. Nama gelar yang ia pakai adalah Resi
Mahadewa Buda.

Resi Mahadewa Buda pun berangkat ke Pulau Jawa dan mulai mengajarkan Agama Dewa.
Para penduduk yang berusia tua menyambut gembira kedatangan Sang Resi, karena mereka
samar-samar masih teringat tentang agama yang pernah dianut para leluhur yang dulu datang
ke Pulau Jawa bersama Empu Sengkala. Sementara itu, para penduduk yang berusia muda
pun belajar agama mulai dari awal.

Page | 74
Tidak hanya itu, selain bangsa manusia juga banyak pula jenis makhluk lain yang ikut belajar
Agama Dewa kepada Resi Mahadewa Buda. Mereka adalah kaum raksasa, siluman, bahkan
segala jenis binatang pun banyak pula yang berguru kepadanya.

Setelah berkelana menjelajahi Pulau Jawa untuk mengajarkan agama, Resi Mahadewa Buda
lalu membangun sebuah padepokan di Gunung Kamula sebagai tempat tinggalnya. Di
padepokan tersebut ia menerima murid dan pengikut yang semakin banyak jumlahnya dan
juga beraneka ragam jenisnya.

RESI MAHADEWA BUDA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG KAMULAN

Setelah mengajarkan ilmu agama selama empat puluh tahun, Resi Mahadewa Buda menerima
kedatangan Batara Narada dari Tanah Hindustan, yang menyampaikan perintah Sanghyang
Padawenang supaya mengajarkan pula tata cara pemerintahan kepada masyarakat Jawa yang
sudah semakin berkembang kehidupannya itu.

Maka, Batara Guru pun mengubah padepokan di Gunung Kamula menjadi sebuah pusat
pemerintahan, yang diberi nama Kerajaan Medang Kamulan. Ia menjadi raja di sana dengan
bergelar Sri Padukaraja Mahadewa Buda, sedangkan Batara Narada menjadi menteri utama
bergelar Patih Narada.

KISAH SENA SI TUNANETRA MEMOHON KEADILAN

Pada suatu hari Sri Padukaraja Mahadewa Buda menerima kedatangan seorang penduduk
bernama Sena yang menghadap memohon keadilan. Ia mengeluh mengapa Tuhan Yang
Mahakuasa menciptakan dirinya tidak sempurna, yaitu menderita tunanetra sejak lahir.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda menasihati agar Sena tidak mencela ciptaan Tuhan. Namun,
Sena terus-menerus memohon supaya diberi mata yang lebar agar bisa melihat pemandangan
dunia. Sri Padukaraja Mahadewa Buda pun mengabulkannya. Sena berterima kasih dan
meninggalkan pertemuan.

Tidak lama kemudian, Sena kembali lagi datang menghadap Sri Padukaraja Mahadewa Buda
dan mengeluh ternyata memiliki mata lebar tidaklah enak, karena mudah kemasukan debu. Ia
memohon agar diberi mata yang sempit saja. Sri Padukaraja Mahadewa Buda
mengabulkannya. Sena pun berterima kasih dan mohon pamit keluar ruangan.

Namun, baru saja berada di luar istana, Sena terjatuh karena matanya silau melihat halilintar
menyambar di angkasa. Ia pun kembali menghadap dan memohon kepada Sri Padukaraja
Mahadewa Buda supaya matanya dikembalikan buta saja. Sri Padukaraja Mahadewa Buda
mengabulkannya dan memberikan nasihat bahwa Tuhan Yang Mahakuasa telah menciptakan
setiap makhluk hidup dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Apa yang sangat
diinginkan oleh seseorang belum tentu menjadi sumber kebahagiaannya, dan apa yang tidak
disukai seseorang belum tentu menjadi sumber penderitannya. Jika ada bagian tubuh yang
memiliki kekurangan, tentu ada bagian tubuh lain yang memiliki kelebihan.

Sena merenungkan nasihat tersebut dan ia pun mendapatkan pencerahan. Setelah


meninggalkan istana Medang Kamulan, ia banyak belajar ilmu pengobatan dan akhirnya
menjadi seorang dukun yang memberikan pengobatan kepada masyarakat luas.

Page | 75
SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MEMINDAHKAN MEDANG KAMULAN

Setelah lima tahun bertakhta di Gunung Kamula, Sri Padukaraja Mahadewa Buda teringat
dulu ia pernah dikejar-kejar burung dara berbisa ciptaan Nabi Isa sehingga pindah ke Pulau
Jawa dan membangun sebuah kahyangan baru di Gunung Mahendra. Kahyangan tersebut
diberi nama Kahyangan Argadumilah, dan kini menjadi tempat kosong setelah lama
ditinggalkan. Teringat pada kenangan tersebut, Sri Padukaraja Mahadewa Buda ingin sekali
memindahkan pusat kerajaan Medang Kamulan dari Gunung Kamula ke Gunung Mahendra
tersebut.

Demikianlah, Sri Padukaraja Mahadewa Buda dengan dibantu Patih Narada dan para menteri
pun membangun kembali bekas Kahyangan Argadumilah di puncak Gunung Mahendra
menjadi sebuah istana, yaitu pusat Kerajaan Medang Kamulan yang baru. Istana yang baru
ini tentu saja jauh lebih indah dan lebih megah daripada istana lama di Gunung Kamula.

MEDANG KAMULAN DISERANG KERAJAAN GUA GOBAJRA

Pada suatu hari Sri Padukaraja Mahadewa Buda melihat cahaya kemilau dari arah Laut
Selatan. Patih Narada pun dikirim untuk pergi menyelidiki. Ternyata cahaya itu berasal dari
seorang pertapa raksasa bernama Begawan Danu. Ketika ditanya apa tujuannya bertapa, ia
menjawab ingin dijadikan maharesi pujangga Kerajaan Medang Kamulan. Patih Narada lalu
membawanya pergi menemui Sri Padukaraja Mahadewa Buda.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda menerima Patih Narada yang datang membawa Begawan
Danu. Setelah memberikan beberapa ujian kecerdasan, Sri Padukaraja tertarik dan menyukai
ilmu pengetahuan yang dimiliki Begawan Danu. Maka, pertapa raksasa itu pun dikabulkan
keinginannya, yaitu diangkat menjadi maharesi pujangga Kerajaan Medang Kamulan.

Tidak lama kemudian tiba-tiba datang serangan dari Kerajaan Gua Gobajra yang dipimpin
raja raksasa bernama Prabu Danuka, anak Begawan Danu. Rupanya telah terjadi salah
paham, di mana Prabu Danuka mengira ayahnya ditangkap Patih Narada untuk dimasukkan
penjara.

Ketika pertempuran ramai tersebut berlangsung, Begawan Danu muncul dan langsung
melerai. Setelah segala kesalahpahaman dijelaskan, Prabu Danuka sangat malu dan memohon
ampun kepada Sri Padukaraja Mahadewa Buda.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENDAPATKAN SEPASANG RAKSASA


KEMBAR

Di antara pasukan Prabu Danuka ada dua orang raksasa kembar bernama Ditya Cingkarabala
dan Ditya Balaupata yang menarik perhatian Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Kedua raksasa
kembar itu adalah putra Patih Gopatana, menteri utama pengikut Prabu Danuka. Rupanya Sri
Padukaraja Mahadewa Buda sangat terkesan melihat kekuatan dan kesaktian sepasang
raksasa kembar tersebut saat bertempur melawan pasukannya tadi. Ia pun meminta mereka
supaya tetap tinggal di Gunung Mahendra sebagai penjaga pintu gerbang Kerajaan Medang
Kamulan.

Patih Gopatana sangat senang dan mengizinkan jika kedua putranya diterima menjadi abdi
Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Kedua raksasa kembar itu pun menurut dan patuh terhadap

Page | 76
perintah tersebut. Maka, sejak saat itu mereka pun menjadi sepasang abdi penjaga pintu
gerbang Kerajaan Medang Kamulan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Andini - Andana

Kisah ini menceritakan Sri Padukaraja Mahadewa Buda atau Batara Guru mengutuk Lembu
Andini menjadi pelangi, dan kemudian memperoleh kendaraan baru bernama Lembu Andana
yang berkelamin jantan. Kisah dilanjutkan dengan kepergian Batara Guru meninggalkan
Pulau Jawa karena berbuat tidak adil kepada para penduduk.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 19 Juli 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

KERAJAAN MEDANG KAMULAN KEMBAR DUA

Sri Padukaraja Mahadewa Buda di Kerajaan Medang Kamulan dihadap Patih Narada serta
para resi dan punggawa yang disebut kaum jawata. Mereka membicarakan adanya berita
bahwa bekas Kerajaan Medang Kamulan yang lama di Gunung Kamula telah diduduki
seorang raja dari Tanah Hindustan bernama Prabu Sri Rajadurga.

Tidak lama kemudian datang utusan Prabu Sri Rajadurga yang bernama Patih Rajasatya
menyampaikan surat tantangan dari rajanya. Surat tantangan itu menyebutkan bahwa, apabila
Sri Padukaraja Mahadewa Buda kalah perang, maka Kerajaan Medang Kamulan di Gunung
Mahendra harus diserahkan untuk menjadi satu dengan Medang Kamulan di Gunung
Kamula. Setelah menyampaikan surat tersebut, Patih Rajasatya lalu mundur dan kembali ke
perkemahan rajanya.

Page | 77
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Sri Padukaraja Mahadewa Buda segera
memerintahkan Patih Narada mempersiapkan pasukan jawata Gunung Mahendra. Setelah
dirasa cukup, pertemuan pun dibubarkan.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENGALAHKAN PRABU SRI


RAJADURGA

Pertempuran pun terjadi antara pasukan Medang Kamulan Gunung Mahendra melawan
pasukan Medang Kamulan Gunung Kamula. Setelah kedua pihak kalah dan menang silih
berganti, akhirnya Sri Padukaraja Mahadewa Buda turun sendiri ke medan perang
menghadapi Prabu Sri Rajadurga. Terjadilah pertarungan sengit yang cukup lama, di mana
akhirnya Prabu Sri Rajadurga dapat ditaklukkan dan menyerah kalah.

Ternyata Prabu Sri Rajadurga dan Patih Rajasatya tidak lain adalah penjelmaan kedua istri
Batara Guru sendiri, yaitu Batari Umaranti dan Batari Parwati. Sri Padukaraja Mahadewa
Buda bertanya mengapa mereka menyamar sebagai laki-laki dan menantang perang seperti
ini. Batari Umaranti menjawab bahwa dirinya telah dihasut oleh Lembu Andini supaya
memberontak kepada Sri Padukaraja Mahadewa Buda alias Batara Guru yang kini bertakhta
di Pulau Jawa.

LEMBU ANDINI DIKUTUK MENJADI PELANGI

Sri Padukaraja Mahadewa Buda sebenarnya sudah lama curiga bahwa Lembu Andini masih
menyimpan dendam atas kekalahannya dulu dan selama ini terpaksa bersedia menjadi
kendaraan baginya. Selain itu, Lembu Andini juga memendam perasaan kesal karena Batara
Guru telah mengutuk Batari Umayi menjadi raksasi.

Itulah sebabnya, dalam penjelmaan sebagai Sri Padukaraja Mahadewa Buda kali ini, Batara
Guru sengaja tidak mengajak serta Lembu Andini, tetapi meninggalkannya di Kahyangan
Jonggringsalaka. Batara Guru ingin melihat apakah Lembu Andini akan terbongkar sifat
aslinya atau tidak. Ternyata kecurigaannya itu kini telah terbukti nyata.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda kemudian mengerahkan Aji Pameling membuat Lembu
Andini seketika hadir di hadapannya. Lembu Andini ketakutan dan serbasalah melihat Sri
Padukaraja Mahadewa Buda telah mengetahui bahwa dirinya yang menghasut Batari
Umaranti dan Batari Parwati untuk melakukan pemberontakan. Namun bagaimanapun juga,
ia harus rela menerima hukuman dari sang raja dewa.

Meskipun Lembu Andini mengakui kesalahannya, namun Sri Padukaraja Mahadewa Buda
tetap tidak lupa atas semua jasa-jasanya. Maka, sebagai hukuman, Lembu Andini pun dipecat
sebagai kendaraan dan dikutuk menjadi pelangi supaya tetap bisa bermanfaat bagi
kahyangan, yaitu sebagai tangga bagi para bidadari apabila turun ke bumi.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda kemudian mengampuni kesalahan Batari Umaranti dan
Batari Parwati serta menerima mereka sebagai permaisuri di Medang Kamulan Gunung
Mahendra. Batari Umaranti lalu diberi nama gelar menjadi Dewi Maheswari, sedangkan
Batari Parwati menjadi Dewi Sati.

Page | 78
SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MENAKLUKKAN LEMBU ANDANA

Sri Padukaraja Mahadewa Buda memerintahkan para jawata untuk mencari sapi yang mirip
dengan Lembu Andini sebagai kendaraan pengganti. Sepasang raksasa penjaga gerbang, yaitu
Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata melaporkan bahwa mereka memiliki saudara tiri
berwujud sapi jantan bernama Lembu Andana yang juga sakti seperti Lembu Andini. Lembu
Andana tersebut adalah putra Ditya Gopatana yang lahir dari Dewi Sungkawa, sedangkan
Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata lahir dari Dewi Amatri.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda lalu mengirim pasukan Medang Kamulan untuk menjemput
Lembu Andana yang saat ini sedang bertapa di Gunung Kampud. Begitu mengetahui dirinya
akan dijadikan sebagai kendaraan, Lembu Andana pun bangun dari tapa dan mengamuk
menghadapi para prajurit jawata tersebut. Dalam waktu singkat pasukan Medang Kamulan
dibuat kocar-kacir dan berlarian kembali ke Gunung Mahendra.

Setelah menerima laporan, Sri Padukaraja Mahadewa Buda memutuskan berangkat sendiri ke
Gunung Kampud untuk menangkap Lembu Andana. Maka, terjadilah pertarungan sengit
antara mereka berdua. Setelah bertempur cukup lama, Lembu Andana akhirnya menyerah
kalah dan tunduk menjadi kendaraan Sri Padukaraja Mahadewa Buda.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda melihat wujud Lembu Andana sangat mirip dengan Lembu
Andini, hanya berbeda jenis kelamin saja. Jika Lembu Andini berkelamin betina, maka
Lembu Andana berkelamin jantan. Oleh karena itu, Lembu Andana pun diganti namanya
menjadi Lembu Nandini, dan sejak itu resmi menjadi kendaraan Sri Padukaraja Mahadewa
Buda jika kelak kembali ke kahyangan.

SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA MEMAKSAKAN MIMPI

Pada suatu malam, Sri Padukaraja Mahadewa Buda bermimpi menemukan sebongkah
permata di puncak Gunung Mahendra, dan esok harinya ternyata ia benar-benar menemukan
permata tersebut. Maka, ia lalu mengumumkan barangsiapa mimpi melakukan sesuatu, maka
esok harinya harus mewujudkan mimpi tersebut. Misalnya, jika ada orang yang bermimpi
mandi, maka esoknya ia harus mandi seperti pada mimpinya itu.

Peraturan baru ini membuat rakyat menjadi gembira sekaligus resah. Mereka yang bermimpi
bagus tentu akan merasa senang, sedangkan yang bermimpi buruk pasti akan merasa susah.
Misalnya, ada kijang bermimpi dimangsa harimau, maka esok harinya ia harus merelakan diri
untuk diterkam harimau.

Namun, Sri Padukaraja Mahadewa Buda ternyata melakukan perbuatan tidak adil. Pada suatu
hari ada seorang raksasa bernama Ditya Atmira yang memiliki anak perempuan bernama Ken
Waktri. Mereka menghadap ke Medang Kamulan karena Ken Waktri semalam bermimpi
menjadi istri Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Sri Padukaraja Mahadewa Buda bersedia
melaksanakan mimpi tersebut, namun ia juga mengaku telah bermimpi hanya sebentar saja
menjadi suami Ken Waktri karena untuk selanjutnya Ken Waktri menjadi istri Batara
Cingkarabala.

Mau tidak mau Ditya Atmira dan Ken Waktri pun melaksanakan keputusan tersebut. Maka
dilaksakanlah pernikahan antara Sri Padukaraja Mahadewa Buda dengan Ken Waktri, yang
kemudian disusul dengan pernikahan Ken Waktri dengan Batara Cingkarabala saat itu juga.

Page | 79
SRI PADUKARAJA MAHADEWA BUDA KEMBALI MENJADI BATARA GURU

Tersebutlah seekor bunglon bijaksana yang merasa prihatin mendengar keluh kesah
penduduk Medang Kamulan yang terdiri dari berbagai jenis makhluk hidup itu. Para
penduduk manusia, raksasa, gandarwa, siluman, dan binatang banyak yang kecewa terhadap
kewajiban melaksakan mimpi yang telah ditetapkan Sri Padukaraja Mahadewa Buda.

Si bunglon dapat merasakan bahwa kebijaksanaan Sri Padukaraja Mahadewa Buda jauh
menurun setelah kedatangan Dewi Maheswari dan Dewi Sati. Sang raja yang lama tidak
berjumpa kedua istrinya itu kini lebih banyak bersenang-senang untuk memuaskan kerinduan
sehingga tidak lagi memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan baik.

Maka, setelah membulatkan tekad, si bunglon memberanikan diri datang ke Gunung


Mahendra menghadap Sri Padukaraja Mahadewa Buda. Ia menyampaikan keluhan para
penduduk bahwa kewajiban melaksanakan mimpi adalah keputusan yang sangat
memberatkan dan tidak masuk akal. Bagaimanapun juga tidak semua mimpi adalah petunjuk
Tuhan, bahkan banyak di antaranya hanyalah bunga tidur belaka.

Sri Padukaraja Mahadewa Buda merasa sangat malu melihat ada seekor bunglon telah
menegur kebijaksaannya yang dirasa memang tidak masuk akal. Maka, ia pun memutuskan
kembali menjadi Batara Guru dan pergi meninggalkan Pulau Jawa. Batara Narada, Batari
Umaranti, Batari Parwati, Batara Cingkarabala, Batara Balaupata, dan para jawata lainnya
juga ikut serta meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan sehingga Gunung Mahendra
menjadi sepi seketika.

LIMA DEWA BERSIAP MELANJUTKAN TUGAS BATARA GURU

Batara Guru dan rombongannya telah kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka di Tanah


Hindustan. Tidak lama kemudian Sanghyang Padawenang datang dan menegur kegagalan
Batara Guru dalam memakmurkan Pulau Jawa karena terlena oleh peraturan melaksanakan
mimpi yang tidak masuk akal. Batara Guru mohon ampun dan berniat memerintahkan kelima
putranya untuk melanjutkan tugas memakmurkan Pulau Jawa tersebut.

Setelah Sanghyang Padawenang menerima usulan itu, Batara Guru pun memerintahkan
Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu supaya
mempersiapkan diri menjadi lima raja yang mengatur Pulau Jawa. Kelima dewa itu
menyatakan bersedia dan berjanji melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 80
Pertiwi Cahya

Kisah ini menceritakan peperangan antara Sri Maharaja Sakra melawan raja raksasa Prabu
Danuka, yang dilanjutkan dengan perkawinan Sri Maharaja Suman dan Batari Pertiwi.
Setelah itu terjadilah perselisihan di antara kelima maharaja yang kemudian ditengahi oleh
sepuluh brahmana penjelmaan putra-putra Batara Ismaya yang dipimpin Brahmana Balika
atau Batara Siwah.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 26 Juli 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

PRABU DANUKA MENYERANG KERAJAAN MEDANG GANA

Di Kerajaan Gua Gobajra, raja raksasa Prabu Danuka dihadap Patih Kiswaraja dan para
menteri, serta putranya yang bernama Ditya Danupati. Mereka mendengar berita bahwa lima
maharaja yang berkuasa di Pulau Jawa baru saja menumpas Prabu Hiranyakasipu dari
Kerajaan Lengkapura dan sejak saat itu mereka menjadi sangat benci terhadap kaum raksasa.
Bahkan, kelima maharaja itu juga telah memerintahkan pembantaian terhadap kaum raksasa
yang dianggap sebagai makhluk tidak berguna.

Prabu Danuka sangat murka dan menuduh kelima maharaja telah berbuat tidak adil, karena
pada zaman Sri Padukaraja Mahadewa Buda dulu, semua jenis makhluk hidup dilindungi
tanpa pilih kasih. Maka, Prabu Danuka pun memerintahkan Patih Kiswaraja dan Ditya
Danupati mempersiapkan pasukan Gua Gobajra untuk menyerang kelima maharaja tersebut.

Sasaran pertama Prabu Danuka adalah Kerajaan Medang Gana di Gunung Mahameru. Sri
Maharaja Sakra menjelaskan bahwa berita pembantaian kaum raksasa yang didengar Prabu
Danuka itu tidak benar, bahkan Sri Maharaja Sunda dari Kerajaan Medang Gili telah
mengambil Prabu Banjaranjali sebagai menantu. Namun demikian, Prabu Danuka tidak
percaya dan tetap menggempur Kerajaan Medang Gana. Perang besar pun terjadi. Karena
pihak raksasa lebih kuat dan persiapannya lebih matang, Sri Maharaja Sakra dan Patih Resi
Kapila akhirnya melarikan diri setelah bertempur sekuat tenaga melawan musuh.

SRI MAHARAJA SAKRA MENDAPAT BANTUAN PASUKAN WANARA

Sri Maharaja Sakra dan Patih Resi Kapila dalam pelarian ke arah barat bertemu pasukan
wanara, yaitu sebangsa kera yang memiliki kecerdasan seperti manusia dan biasa hidup di
hutan pegunungan Tanah Hindustan. Pemimpin pasukan wanara ini bernama Kapi
Malawapati, yang ternyata adalah sahabat baik Patih Resi Kapila saat masih menjadi Batara
Gangga dulu. Kapi Malawati dan pasukannya sengaja datang dari Tanah Hindustan ke Pulau
Jawa adalah untuk menyusul sahabatnya itu dan ingin ikut serta mengabdi kepada Sri
Maharaja Sakra.

Sri Maharaja Sakra sangat gembira mendapatkan bala bantuan. Ia menceritakan bahwa saat

Page | 81
ini Kerajaan Medang Gana telah direbut musuh dari Kerajaan Gua Gobajra yang dipimpin
Prabu Danuka. Kapi Malawapati segera mohon pamit untuk kemudian berangkat menyerang
para raksasa tersebut.

Sesampainya di Kerajaan Medang Gana, pasukan wanara langsung menggempur pasukan


raksasa Gua Gobajra. Pertempuran besar pun terjadi. Melihat banyak prajurit raksasa yang
tewas dibunuh para wanara, Prabu Danuka sangat marah dan mengamuk melakukan
pembalasan. Kapi Malawapati segera maju menghadapinya. Raja kaum wanara itu
mengheningkan cipta mengerahkan Aji Bayurota. Dari tubuhnya keluar angin topan dahsyat
yang bergulung-gulung menewaskan Prabu Danuka dan Patih Kiswaraja beserta pasukan
mereka. Ditya Danupati sendiri berhasil lolos dari maut dan memilih pulang ke Gua Gobajra
beserta para prajurit yang masih hidup.

MUNCULNYA CAHAYA PERTIWI

Setelah pertempuran besar itu, Sri Maharaja Sakra bersama Patih Resi Kapila dan Kapi
Malawapati memperbaiki bangunan istana Medang Gana yang rusak parah. Sri Maharaja
Sakra lalu mengundang keempat maharaja lainnya untuk ikut merayakan syukuran atas
keberhasilan Negeri Medang Gana lolos dari bahaya.

Lima maharaja telah berkumpul di Kerajaan Medang Gana, menikmati pertunjukan musik
dan tari yang digelar di sana. Tiba-tiba dari dalam tanah memancar keluar seberkas cahaya
teja yang menjulang tegak lurus ke angkasa. Kelima maharaja terkejut dan berusaha
menyelidiki asal-usul cahaya tersebut.

Sri Maharaja Suman segera menjelma menjadi babi hutan dan menggali tanah tempat cahaya
itu keluar menggunakan taringnya, sedangkan Sri Maharaja Sunda menjelma menjadi burung
elang untuk kemudian terbang ke angkasa mengejar ujung cahaya. Seampainya di atas, si
burung elang mencakar cahaya tersebut hingga pecah berantakan.

Tiba-tiba muncul seorang bidadari cantik dari dalam tanah yang digali si babi hutan. Bidadari
itu mengaku bernama Batari Pertiwi, putri Batara Nagaraja. Melihat itu, babi hutan segera
kembali ke wujud Sri Maharaja Suman, sedangkan burung elang kembali ke wujud Sri
Maharaja Sunda.

RAMALAN BATARI PERTIWI

Batari Pertiwi kemudian duduk berhadap-hadapan dengan lima maharaja di Kerajaan Medang
Gana. Ia menyampaikan nasihat supaya mereka berlima tetap menjaga kerukunan dan
persatuan, jangan saling iri di antara sesama saudara karena hanya akan menimbulkan
perpecahan. Kelima maharaja itu merasa tidak mungkin akan terjadi perselisihan di antara
mereka. Namun demikian, mereka tetap berjanji untuk saling setia satu sama lain dan selalu
menjaga kerukunan.

Batari Pertiwi kemudian menjelaskan bahwa di antara kelima maharaja tadi ada dua orang
yang berusaha keras menemukan asal-usul sumber cahaya teja yang terpancar tadi, yaitu Sri
Maharaja Sunda dan Sri Maharaja Suman. Yang satu menjelma menjadi burung elang, dan
yang satu lagi menjelma menjadi babi hutan. Atas usaha yang dilakukan keduanya, Batari
Pertiwi pun meramalkan kelak keturunan merekalah yang akan berkuasa turun-temurun di
Tanah Jawa.

Page | 82
Sri Maharaja Suman sangat tertarik melihat kecantikan Batari Pertiwi dan ia pun mengajukan
lamaran untuk menikahinya. Batari Pertiwi menerima lamaran tersebut karena ia memang
ditakdirkan berjodoh dengan Batara Wisnu yang saat ini telah menjelma sebagai Sri Maharaja
Suman tersebut. Batari Pertiwi juga memberikan hadiah kepada Sri Maharaja Sunda alias
Batara Brahma atas usahanya mengejar cahaya teja tadi. Hadiah tersebut berupa Permata
Mustikabumi, sumber dari cahaya teja yang memancar dari tanah tadi. Sri Maharaja Sunda
bersenang hati menerimanya dan menyimpan permata pusaka itu baik-baik.

Setelah dirasa cukup, keempat maharaja lalu mohon pamit kepada Sri Maharaja Sakra untuk
pulang ke negara masing-masing.

LIMA MAHARAJA BERSELISIH

Tidak lama setelah peristiwa di Kerajaan Medang Gana tersebut, terjadilah perselisihan di
antara para pengikut lima maharaja. Ramalan Batari Pertiwi akhirnya menjadi kenyataan.

Awal dari perselisihan itu adalah seorang penduduk Kerajaan Medang Pura bernama Kodeya
yang pergi mengunjungi saudaranya di Kerajaan Medang Gili, bernama Puyika. Namun
Puyika justru menipu Kodeya sehingga habis seluruh harta dan perhiasan yang dibawanya.
Kodeya lalu menghadap Sri Maharaja Sunda dan meminta keadilan, namun Sri Maharaja
Sunda justru menyalahkannya dan membela Puyika.

Kodeya pulang ke Kerajaan Medang Pura dengan perasaan kecewa lalu mengadukan nasib
sialnya kepada Sri Maharaja Suman. Karena Sri Maharaja Suman tidak mempunyai cara
untuk mendapatkan kembali harta dan perhiasan Kodeya, maka ia pun berjanji akan
melakukan pembalasan dengan cara lain. Apabila ada penduduk Medang Gili yang memasuki
Medang Pura, semua orang harus mempermalukannya.

Pada suatu hari ada seorang pemburu dari Kerajaan Medang Gili bernama Pastima yang
mengejar kijang berkulit ungu sampai masuk ke wilayah Kerajaan Medang Pura. Di sana ia
kehilangan jejak dan pandangan matanya kemudian tertuju pada seekor burung derkuku.
Pastima berusaha menangkapnya, namun ketahuan Salibana, pemilik burung tersebut.
Salibana dan para tetangganya lalu beramai-ramai menangkap Pastima dan menelanjanginya.
Mereka melakukan hal itu adalah untuk melaksanakan perintah Sri Maharaja Suman.

Demikianlah, sejak kejadian itu banyak terjadi perselisihan antara warga Medang Gili dan
Medang Pura, yang akhirnya berkembang menjadi perselisihan dengan warga tiga kerajaan
lainnya. Perselisihan itu kadang disertai perkelahian, bahkan pertempuran. Lima maharaja
saling menyalahkan dan membela penduduk kerajaan masing-masing. Tidak hanya itu,
bahkan Agama Dewa pun terpecah menjadi lima aliran, yaitu Agama Sambu, Agama
Brahma, Agama Indra, Agama Bayu, dan Agama Wisnu.

KEDATANGAN SEPULUH BRAHMANA

Perselisihan di antara kelima maharaja itu akhirnya terdengar oleh Batara Guru di Kahyangan
Jongringsalaka. Maka, ia pun mengirim kesepuluh keponakannya, yaitu anak-anak Batara
Ismaya untuk mejadi juru damai di antara mereka. Kesepuluh keponakan itu pun mohon
pamit berangkat ke Tanah Jawa dengan menjelma sebagai kaum brahmana.

Anak-anak Batara Ismaya itu adalah:

Page | 83
Batara Wungkuam menjadi Brahmana Weda,
Batara Siwah menjadi Brahmana Balika,
Batara Wrehaspati menjadi Brahmana Trista,
Batara Yamadipati menjadi Brahmana Graksa,
Batara Surya menjadi Brahmana Grisma,
Batara Candra menjadi Brahmana Walanta,
Batara Kuwera menjadi Brahmana Hima,
Batara Temburu menjadi Brahmana Patuk,
Batara Kamajaya menjadi Brahmana Tadi, dan
Batari Darmanastiti menjadi Brahmana wanita Yukti.

Di antara kesepuluh brahmana tersebut, yang dipilih menjadi pemimpin rombongan adalah
Brahmana Balika, di mana ia mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan wawasan agama
dari Batara Guru.

Kesepuluh brahmana tersebut akhirnya tiba di Pulau Jawa dan bermukim di bekas Kerajaan
Medang Kamulan di Gunung Mahendra. Mereka lalu mengirim undangan supaya kelima
maharaja datang dan berkumpul di gunung tersebut.

PEMBAGIAN TUGAS LIMA MAHARAJA

Kelima maharaja telah berkumpul di Gunung Mahendra. Kesepuluh brahmana mengaku


diutus Batara Guru untuk menjadi penengah dalam perselisihan mereka. Maka
diumumkanlah sebuah sayembara, barangsiapa bisa mengembangkan aksara A, I, U, E, dan
O, maka dia berhak menjadi maharaja tertinggi di Tanah Jawa. Ternyata kelima maharaja itu
tidak mampu dan menyatakan tunduk terhadap semua keputusan para brahmana.

Kesepuluh brahmana lalu menetapkan pembagian rakyat di Tanah Jawa. Mulai saat ini, Sri
Maharaja Maldewa di Kerajaan Medang Prawa hanya boleh memimpin binatang terbang, dan
ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Kagapati.

Sri Maharaja Suman di Kerajaan Medang Pura hanya boleh memimpin binatang air, dan ia
pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Matsyapati.

Sri Maharaja Bima di Kerajaan Medang Gora hanya boleh memimpin binatang darat, dan ia
pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Mregapati.

Sri Maharaja Sunda di Kerajaan Medang Gili hanya boleh memimpin manusia dan raksasa,
dan ia pun mendapatkan nama baru, yaitu Sri Maharaja Prajapati.

Sri Maharaja Sakra di Kerajaan Medang Gana hanya boleh memimpin para resi dan jawata,
yaitu orang-orang yang tidak lagi tertarik keinginan duniawi. Ia pun mendapatkan nama baru,
yaitu Sri Maharaja Surapati.

BRAHMANA BALIKA MENDIRIKAN KERAJAAN MEDANG SIWANDA

Setelah kelima maharaja menerima keputuan tersebut dan pulang ke negara masing-masing,
para brahmana pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara
Guru, kecuali satu orang saja yang tetap tinggal di Tanah Jawa untuk mengawasi kelima

Page | 84
maharaja agar tidak berselisih lagi. Brahmana yang tetap tinggal di Gunung Mahendra
tersebut adalah sang pemimpin rombongan, yaitu Brahmana Balika alias Batara Siwah.

Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan wawasan agama yang didapatkannya dari Batara
Guru sebelum berangkat, Brahmana Balika lalu mengajarkan Agama Dewa kepada
masyarakat Tanah Jawa yang datang kepadanya. Semakin lama, jumlah murid dan
pengikutnya semakin banyak. Akhirnya, Brahmana Balika pun mengangkat dirinya sebagai
raja bergelar Sri Maharaja Balya, serta membangun kembali bekas Kerajaan Medang
Kamulan di Gunung Mahendra yang ditempatinya menjadi sebuah negeri baru bernama
Kerajaan Medang Siwanda.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 85
Suralaya Binangun

Kisah ini menceritakan tentang Batara Siwah yang menjadi raja di Kerajaan Medang
Siwanda bergelar Sri Maharaja Balya, di mana kebijakannya telah berhasil membuat
keempat maharaja lainnya merasa tersaingi dan kembali menjadi dewa, kecuali Sri
Maharaja Surapati yang tetap bertahan, dan kemudian membangun Kahyangan Suralaya
sebagai cabang Kahyangan Jonggringsalaka.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 2 Agustus 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

KISAH NADRIKA MEMINTA KEADILAN

Sri Maharaja Prajapati di Kerajaan Medang Gili dihadap kedua patihnya, yaitu Resi Drasta
dan Resi Kusamba. Mereka sedang membicarakan permasalahan para penduduk yang terdiri
dari bangsa manusia dan raksasa. Tiba-tiba datang seorang manusia bernama Nadrika yang
menghadap untuk memohon keadilan. Nadrika menceritakan bahwa istrinya telah tewas
dimangsa raksasa. Akan tetapi, karena ia tidak mengetahui siapa nama raksasa itu sehingga
Sri Maharaja Prajapati mengaku kesulitan untuk memutuskan perkara. Sri Maharaja Prajapati
hanya bisa memberikan saran supaya Nadrika menikah lagi dengan perempuan lain.

Nadrika sangat kecewa terhadap keputusan Sri Maharaja Prajapati tersebut. Ia lalu pergi ke
Gunung Mahendra untuk memohon keadilan kepada Sri Maharaja Balya, pemimpin Kerajaan
Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya sangat prihatin mendengar kisah Nadrika. Ia lalu
memberikan daun rontal yang sudah ditulisi mantra Rajah Sengkali untuk membunuh kaum
raksasa. Nadrika sangat berterima kasih dan segera membawa pulang daun rontal tersebut.

Sesampainya di Kerajaan Medang Gili, Nadrika pun menaruh daun rontal itu di jalanan dan

Page | 86
mengintainya dari tempat persembunyian. Ada seorang raksasa bernama Ditya Srenggampa
sedang mencari mangsa tanpa sadar melangkahi daun rontal tersebut. Seketika raksasa itu
menjadi lemas dan kemudian roboh di tanah kehilangan nyawa.

Nadrika sangat gembira namun sekaligus ketakutan karena khawatir para raksasa yang lain
akan mengejarnya untuk membalas dendam. Berpikir demikian, Nadrika pun meninggalkan
Kerajaan Medang Gili untuk kemudian mengabdi kepada Sri Maharaja Balya di Kerajaan
Medang Siwanda.

KISAH INDUK BANTENG MEMINTA KEADILAN

Pada suatu hari ada seekor induk banteng yang kehilangan anak karena dimangsa harimau. Ia
datang ke Kerajaan Medang Gora, menghadap Sri Maharaja Mregapati untuk meminta
keadilan. Namun Sri Maharaja Mregapati justru memutuskan supaya si induk banteng
membalas dengan cara memangsa anak harimau.

Si induk banteng merasa kecewa, kemudian pergi menghadap Sri Maharaja Balya di
Kerajaan Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya sangat prihatin dan memberikan kekuatan
pada tanduk banteng sehingga bisa lebih keras dan runcing untuk bisa digunakan sebagai
senjata melawan harimau. Si induk banteng sangat berterima kasih dan mohon pamit kembali
ke Kerajaan Medang Gora.

Maka, sejak itu banteng memiliki kemampuan untuk menghadapi serangan harimau dengan
menggunakan kedua tanduknya.

SRI MAHARAJA MATSYAPATI KEMBALI MENJADI BATARA WISNU

Pada suatu hari Sri Maharaja Matsyapati di Kerajaan Medang Pura dihadap pemimpin ikan
karena banyak rakyatnya yang mati dimangsa bangau. Sri Maharaja Matsyapati mengaku
tidak bisa memberikan pengadilan, karena bangau termasuk binatang terbang yang tunduk
kepada Sri Maharaja Kagapati di Kerajaan Medang Prawa.

Si pemimpin ikan merasa kecewa dan pergi menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan
Medang Siwanda untuk memohon keadilan. Sri Maharaja Balya merasa prihatin dan
memberikan minyak sakti kepada si pemimpin ikan yang bisa digunakan untuk menghindari
serangan bangau. Si pemimpin ikan berterima kasih dan membagikan minyak itu kepada
rakyatnya. Namun karena jumlahnya terbatas, maka ada ikan yang mendapatkan minyak, ada
pula yang tidak kebagian. Ikan yang mendapatkan minyak menjadi licin tubuhnya sehingga
bisa berenang lebih gesit dan sulit ditangkap bangau.

Sri Maharaja Matsyapati sangat malu mendengar Sri Maharaja Balya ternyata memiliki
kebijaksanaan melebihi dirinya. Ia pun meninggalkan Kerajaan Medang Pura dan kembali ke
Tanah Hindustan sebagai Batara Wisnu.

Sri Maharaja Prajapati di Kerajaan Medang Gili yang mendengar berita ini segera
menjadikan Kerajaan Medang Pura sebagai negara bawahan, dengan menempatkan Resi
Drasta sebagai wakil di sana. Namun Resi Drasta merasa tidak mampu mengemban
kewajiban, sehingga ia kembali menjadi Batara Langsur dan pulang ke Tanah Hindustan.

Mendengar itu, Sri Maharaja Prajapati lalu mengirim Resi Kusamba untuk mewakilinya

Page | 87
sebagai raja bawahan di Kerajaan Medang Pura.

TIGA MAHARAJA KEMBALI KE TANAH HINDUSTAN

Sri Maharaja Kagapati, Sri Maharaja Prajapati, dan Sri Maharaja Mregapati semakin hari
semakin kehilangan wibawa karena rakyatnya banyak yang meminta perlindungan kepada Sri
Maharaja Balya, kemudian menjadi penduduk Kerajaan Medang Siwanda pula. Para
penduduk itu juga melepaskan agama mereka masing-masing, untuk kemudian memeluk
agama yang diajarkan Sri Maharaja Balya, yang disebut Agama Siwah. Semakin hari, jumlah
pemeluk Agama Siwah semakin bertambah banyak dan mengalahkan jumlah pemeluk agama
lainnya.

Akhirnya, ketiga maharaja tersebut tidak kuat lagi menahan rasa malu. Mereka pun
memutuskan kembali ke Tanah Hindustan, yaitu Sri Maharaja Kagapati kembali menjadi
Batara Sambu, Sri Maharaja Prajapati kembali menjadi Batara Brahma, dan Sri Maharaja
Mregapati kembali menjadi Batara Bayu.

Sementara itu, Sri Maharaja Surapati menjadi satu-satunya raja yang hidup tenang tanpa
merasa tersaingi oleh wibawa Sri Maharaja Balya. Hal itu karena rakyat Kerajaan Medang
Gana adalah kaum resi dan jawata yang sudah tidak tertarik keinginan duniawi, sehingga
jarang terjadi perselisihan di antara mereka.

Dengan demikian, di Tanah Jawa kini hanya tertinggal dua orang maharaja saja, yaitu Sri
Maharaja Balya yang memimpin Kerajaan Medang Siwanda di Gunung Mahendra, serta Sri
Maharaja Surapati yang memimpin Kerajaan Medang Gana di Gunung Mahameru. Selain
mereka, juga ada Resi Kusamba yang menjadi raja bawahan di Kerajaan Medang Pura di
Gunung Gora.

BATARA INDRA MEMBANGUN KAHYANGAN SURALAYA

Pada suatu hari Sri Maharaja Surapati di Kerajaan Medang Gana menerima kedatangan
Batara Narada dan Batara Wrehaspati. Kedua dewa itu datang untuk menyampaikan perintah
Batara Guru supaya Sri Maharaja Surapati mendirikan kahyangan di Gunung Mahameru
sebagai perwakilan Kahyangan Jonggringsalaka di Gunung Kailasa. Hal ini dikarenakan
banyak penduduk Tanah Jawa yang tekun beribadah memeluk Agama Dewa dan mengurangi
keterikatan duniawi, sehingga mereka pantas diangkat menjadi dewa dan tinggal di
kahyangan.

Sri Maharaja Surapati berterima kasih telah mendapatkan kepercayaan dari Batara Guru. Ia
pun kembali memakai nama Batara Indra yang juga bergelar Batara Surapati. Dengan dibantu
Batara Narada dan Batara Wrehaspati, ia lalu membangun Kerajaan Medang Gana menjadi
sama persis dengan Kahyangan Jonggringsalaka, dan diberi nama Kahyangan Suralaya.

Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun pamit meninggalkan Kahyangan Suralaya,
sedangkan Batara Wrehaspati tetap tinggal di sana. Jika Batara Indra menjadi wakil Batara
Guru, maka Batara Wrehaspati menjadi wakil Batara Narada di Tanah Jawa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 88
Murwakala

Kisah ini menceritakan Batara Kala mencari mangsa berupa para manusia yang tergolong
Sukerta dan Sengkala. Namun usahanya digagalkan oleh Batara Wisnu yang menyamar
sebagai Ki Dalang Kandabuwana.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita yang dipadukan dengan buku Murwakala Cerita Religius karya Wijanarko
dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 05 Agustus 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Page | 89
Batara Kala.

BATARA GURU MENETAPKAN JENIS MANGSA BATARA KALA

Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka dihadap Batara Narada dan para dewa lainnya.
Mereka membicarakan perkembangan Pulau Jawa yang saat ini hanya memiliki dua orang
penguasa saja, yaitu Batara Indra di Kahyangan Suralaya dan Sri Maharaja Balya di Kerajaan
Medang Siwanda.

Tidak lama kemudian datanglah Batara Baruna, dewa penguasa lautan yang datang bersama
Batara Kala, penguasa Pulau Nusakambangan. Batara Baruna melaporkan perbuatan Batara
Kala yang terus-menerus memangsa ikan di laut, sehingga banyak binatang air menjadi
korban. Batara Baruna meminta Batara Kala berhenti memangsa ikan karena jika hal itu terus
dilakukan, maka jumlah ikan di lautan akan habis. Lagipula Batara Kala terlahir dari buih
samudera, sehingga tidak sepantasnya memangsa sesama penghuni laut.

Page | 90
Atas laporan itu, Batara Kala pun memohon keadilan kepada Batara Guru untuk diberikan
jenis makanan lain, karena jika ia tidak boleh memangsa ikan lantas bagaimana caranya
untuk mengisi perut dan menambah tenaga?

Batara Guru pun memutuskan supaya Batara Kala memangsa manusia saja, yaitu mereka
yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Sukerta adalah manusia yang boleh dimangsa
karena kelahirannya, sedangkan Sengkala adalah manusia yang boleh dimangsa karena salah
perbuatan.

Adapun yang termasuk golongan Sukerta antara lain:


- Ontang-anting, yaitu anak tunggal tanpa saudara
- Kedana-kedini, yaitu dua bersaudara laki-laki perempuan
- Uger-uger lawang, yaitu dua bersaudara laki-laki
- Kembang sepasang, yaitu dua bersaudara perempuan
- Gotong mayit, yaitu tiga bersaudara jenis kelamin sama
- Sendang kapit pancuran, yaitu tiga bersaudara yang perempuan di tengah
- Pancuran kapit sendang, yaitu tiga bersaudara yang laki-laki di tengah
- Saramba, yaitu empat bersaudara laki-laki semua
- Serimpi, yaitu empat bersaudara perempuan semua
- Pandawa, yaitu lima bersaudara laki-laki semua
- Pandawi, yaitu lima bersaudara perempuan semua
- Pipilan, yaitu lima bersaudara dengan satu laki-laki
- Padangan, yaitu lima bersaudara dengan satu perempuan
- Wungkus, yaitu anak yang lahir dalam bungkus
- Wungkul, yaitu anak yang lahir tanpa ari-ari
- Tiba sampir, yaitu anak yang lahir berkalung tali pusar
- Tiba ungker, yaitu anak yang lahir tercekik tali pusar
- Jempina, yaitu anak yang lahir sebelum waktunya
- Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan
- Wahana, yaitu anak yang lahir dalam keramaian
- Julungwangi, yaitu anak yang lahir saat matahari terbit
- Julungsungsang, yaitu anak yang lahir tengah hari
- Julungsarab, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam
- Julungpujud, yaitu anak yang lahir petang hari
- Siwah, yaitu anak dengan keterbelakangan mental
- Kresna, yaitu anak yang lahir berkulit hitam gelap
- Wungle, yaitu anak yang lahir berkulit putih bule
- Walika, yaitu anak yang memiliki taring
- Wungkuk, yaitu anak yang punggungnya bungkuk
- Dengkak, yaitu anak yang mendongak ke depan
- Butun, yaitu anak yang mendongak ke belakang
- Wujil, yaitu anak yang terlahir kerdil
- Kembar, yaitu dua anak yang lahir sehari dengan kelamin sama
- Dampit, yaitu dua anak yang lahir sehari dengan kelamin beda
- Gondang kasih, yaitu dua anak lahir sehari berkulit putih dan hitam
- Tawang gantungan, yaitu dua anak yang lahir beda hari
- Sukrenda, yaitu dua anak yang lahir terbungkus

Sementara itu yang dimaksud golongan Sengkala, antara lain:


- Orang yang tidak menutup pintu dan jendela pada saat senja

Page | 91
- Orang yang tidur di dipan tanpa tikar
- Orang yang tidur di kasur tanpa seprei
- Orang yang punya sumur tepat di depan rumah
- Orang yang punya sumur tepat di belakang rumah
- Orang yang punya tanah pekarangan miring
- Orang yang menggulingkan dandang saat menanak nasi
- Orang yang menaruh dandang di tungku padahal belum mencuci beras
- Orang yang mematahkan cobek
- Orang yang tidak menyisakan beras di lumbung
- Orang yang menyapu di malam hari
- Orang yang mengelap kotoran dengan kain yang dipakai
- Orang yang membuang sampah di kolong
- Orang yang sering telanjang
- Orang yang berdiri di depan pintu
- Orang yang bergelantungan di pintu
- Orang yang sering bertopang dagu
- Orang yang sering berdiri dengan satu kaki
- Orang yang suka bersiul
- Orang yang suka menggigit kuku
- Orang yang memotong kuku malam hari
- Orang yang makan sambil berjalan
- Orang yang makan sambil tiduran
- Orang yang duduk di atas bantal
- Orang yang berjalan bertiga pada saat tengah hari tanpa bercakap-cakap
Dan banyak lagi yang lainnya.

Batara Kala sangat senang mendengar betapa banyak jenis manusia yang bisa dimangsanya
itu. Batara Guru lalu menyerahkan sebuah pusaka berwujud golok, bernama Bedama yang
harus digunakan Batara Kala untuk membunuh mangsanya terlebih dahulu sebelum dimakan.
Batara Kala menerima senjata itu, kemudian mohon pamit kembali ke Pulau Jawa untuk
mencari mangsa.

BATARA WISNU MENDAPAT TUGAS MENJADI JURU RUWAT

Setelah Batara Kala meninggalkan kahyangan, Batara Narada pun mengajukan keberatan atas
apa yang menjadi keputusan Batara Guru tadi. Jika semua orang dengan ketentuan Sukerta
dan Sengkala tersebut dimangsa oleh Batara Kala, maka penduduk Pulau Jawa akan
berkurang banyak, bahkan seluruh manusia di dunia juga akan ikut habis.

Batara Guru menyadari kekeliruannya. Ia pun memanggil Batara Wisnu dan Batara Brahma
untuk bersama-sama Batara Narada meruwat para manusia di Pulau Jawa yang termasuk
golongan Sukerta dan Sengkala supaya terhindar dari ancaman Batara Kala. Batara Wisnu
segera mengubah wujudnya menjadi seorang dalang bernama Ki Dalang Kandabuwana,
sedangkan Batara Brahma menjadi penabuh gender wanita bernama Nyai Seruni, dan Batara
Narada menjadi penabuh kendang bernama Panjak Kalunglungan.

Batara Wisnu juga mengajak serta adik-adiknya yang lahir dari Batari Umaranti, yaitu Batara
Mahadewa, Batara Cakra, dan Batara Asmara untuk menyamar sebagai para penabuh
gamelan. Bersama-sama mereka lalu berangkat ke Pulau Jawa.

Page | 92
BATARA KALA MEMBERI NAMA KALABANG DAN KALAJENGKING

Sesampainya di Pulau Jawa, Batara Kala merasa letih dan beristirahat di bawah pohon asam.
Ketika sedang tidur, tiba-tiba kakinya digigit seekor lipan. Seketika ia pun terbangun namun
tidak marah melihat binatang itu, bahkan menjadikannya sebagai anak buah. Ia lalu memberi
nama baru untuk lipan, yaitu Kalabang, artinya kala yang berwarna merah.

Batara Kala melanjutkan tidur. Tiba-tiba kakinya dicapit seekor ketunggeng yang kemudian
menyuntikkan ekornya yang tajam. Batara Kala terbangun namun tidak marah, dan
menjadikan ketunggeng sebagai anak buah. Ia lalu memberi nama baru untuk ketunggeng,
yaitu Kalajengking, artinya kala yang menungging.

BATARA KALA HENDAK MEMANGSA BATARA GURU

Batara Kala memandang ke atas dan tiba-tiba melihat Batara Guru dan Batari Umaranti
mengendarai Lembu Nandini sedang terbang di angkasa untuk meninjau keadaan Pulau Jawa.
Kebetulan saat itu sedang tengah hari, dan mereka bertiga juga tidak bercakap-cakap,
sehingga termasuk golongan Sengkala. Maka, Batara Kala pun segera terbang menghadang
mereka bertiga.

Batara Guru heran mengapa Batara Kala ingin memakan dirinya. Batara Kala mengaku tidak
peduli meskipun Batara Guru adalah ayahnya, yang jelas saat ini sudah masuk ke dalam
golongan Sengkala sehingga boleh dimangsa. Batara Guru pasrah jika memang dirinya harus
dimangsa oleh anak sendiri. Namun sebelumnya, ia ingin bermain tebak-tebakan lebih dulu
dengan Batara Kala. Yang ia tanyakan adalah makna kalimat Hong, eka egul, eka wancah,
dwi srogi, tri nabi, sapta trisu cahya, astha pada.

Batara Kala tidak bisa menjawabnya. Batara Guru pun menjelaskan makna kalimat tersebut
secara panjang lebar, yaitu satu ekor, satu tali hidung, dua tanduk, tiga pusar, tujuh mata,
dan delapan kaki yang tidak lain dalah penggambaran Batara Guru, Batari Umaranti, dan
Lembu Nandini.

Setelah menerima penjelasan tersebut, Batara Kala bersiap memangsa mereka bertiga, akan
tetapi saat itu matahari sudah agak condong ke barat sehingga Batara Guru berkata bahwa
dirinya bertiga sudah bukan lagi golongan Sengkala sehingga tidak boleh dimangsa. Batara
Kala merasa kalah cerdik dan tertunduk malu. Pada saat itulah Batara Guru secara cepat
menuliskan rajah pada dahi, rongga mulut, dada, dan punggung Batara Kala. Ia kemudian
berpesan bahwa barangsiapa bisa membaca tulisan rajah tersebut maka Batara Kala harus
menghormatinya sebagai perwakilan Batara Guru.

Batara Kala mematuhi pesan tersebut dan kemudian berangkat melanjutkan perjalanan.

BATARA KALA MENGEJAR JAKA JATUSMATI

Tersebutlah seorang pemuda bernama Jaka Jatusmati, yang merupakan anak tunggal Nyai
Prihatin dari Desa Medangkawit. Pada suatu hari ia mandi di Telaga Nirmala untuk
menghilangkan nasib buruknya. Tiba-tiba muncul Batara Kala hendak memangsanya karena
tahu kalau ia anak tunggal. Jaka Jatusmati pun berlari sekencang-kencangnya, dan Batara
Kala selalu mengejar ke mana pun ia pergi.

Page | 93
Dalam pelariannya, Jaka Jatusmati banyak melewati orang-orang Sengkala, antara lain ada
orang yang memasang atap rumah tapi tiangnya belum dikuatkan, ada orang yang
merobohkan dandang saat menanak nasi, ada pula orang yang mematahkan cobek saat
menggiling bumbu. Batara Kala yang tetap mengejar Jaka Jatusmati tidak memangsa orang-
orang itu, tetapi mengutuk mereka akan kehilangan harta benda. Dengan demikian, menjadi
mangsa Batara Kala tidak berarti harus mati badan, tetapi juga bisa mati sandang pangan.

Sampai akhirnya, ia pun melihat ada sebuah pertunjukan wayang di Desa Medangwantu,
yang dimainkan oleh Ki Dalang Kandabuwana.

Orang yang mengadakan hajatan menanggap wayang tersebut bernama Buyut Wangkeng
yang ingin mendamaikan anak dan menantunya, yaitu Rara Primpen dan Buyut Geduwal.
Awalnya, Rara Primpen sejak menjadi pengantin tidak pernah mau melayani suaminya,
bahkan sampai minta bercerai. Buyut Wangkeng pun menasihatinya dengan sabar, sehingga
Rara Primpen akhirnya bersedia melanjutkan rumah tangga dengan Buyut Geduwal, asalkan
sang ayah menanggap wayang untuknya. Maka, Buyut Wangkeng pun mengundang Ki
Dalang Kandabuwana untuk mendalang di rumahnya.

BATARA KALA TUNDUK KEPADA KI DALANG KANDABUWANA

Jaka Jatusmati yang tiba di rumah Buyut Wangkeng segera menyusup ke atas panggung
wayang dan berbaur dengan para penabuh gamelan. Batara Kala yang datang menyusul
menjadi bengong karena tertarik melihat pertunjukan wayang, sehingga lupa kepada
buruannya. Sebaliknya, para penonton langsung ketakutan dan berlarian ke segala arah begitu
melihat ada raksasa tinggi besar tiba-tiba muncul di antara mereka.

Ki Dalang Kandabuwana pun menghentikan pentas dan menemui Batara Kala. Batara Kala
meminta supaya pentas dilanjutkan karena ia sudah terlanjur suka. Ki Dalang Kandabuwana
bersedia melanjutkannya asalkan Batara Kala membayar tebusan dengan cara menyerahkan
senjata Bedama. Batara Kala pun menyerahkan senjata itu kepada Ki Dalang Kandabuwana.

Tiba-tiba Batara Kala melihat Jaka Jatusmati ikut menabuh gamelan dan ia pun menangkap
pemuda itu untuk dimangsa. Akan tetapi, begitu teringat pada pesan Batara Guru, ia segera
meminta kembali senjata Bedama dari tangan Ki Dalang Kandabuwana untuk menyembelih
Jaka Jatusmati. Ki Dalang Kandabuwana bersedia menyerahkan Bedama, asalkan ditukar
dengan Jaka Jatusmati. Batara Kala setuju, dan ia pun menyerahkan Jaka Jatusmati dan
menerima Bedama.

Begitu menerima Bedama, Batara Kala baru ingat kalau Jaka Jatusmati sudah lepas dari
tangannya. Ia pun meminta supaya pemuda itu diserahkan kepadanya. Ki Dalang
Kandabuwana bersedia menyerahkannya asalkan ditukar dengan Bedama. Batara Kala lalu
menyerahkan Bedama tersebut, dan ia pun menerima Jaka Jatusmati, begitu seterusnya.

Batara Kala semakin bingung. Ketika ia lengah dan mulutnya ternganga, tiba-tiba saja Ki
Dalang Kandabuwana membaca tulisan rajah di rongga mulutnya, juga rajah-rajah lainnya di
dahi, punggung, dan dada. Batara Kala heran ternyata orang yang dihadapinya ini bisa
membaca tulisan-tulisan tersebut. Ki Dalang Kandabuwana juga menjelaskan nama-nama
rajah tersebut, yaitu pada dahi disebut Sastra Carakabalik, pada rongga mulut disebut Sastra
ing Telak, pada dada disebut Sastra Bedati, dan pada punggung disebut Sastra Trusing Gigir.

Page | 94
Seketika Batara Kala teringat bahwa jika ada orang yang bisa membaca tulisan rajah pada
tubuhnya, maka ia harus dihormati sebagai wakil Batara Guru. Oleh sebab itu, Batara Kala
lalu duduk bersimpuh di hadapan Ki Dalang Kandabuwana dengan sikap pasrah dan lemas
tak bertenaga.

Ki Dalang Kandabuwana menjelaskan bahwa dirinya memang mendapat tugas untuk


meruwat orang-orang yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala. Mereka yang sudah
diruwat tidak boleh dimangsa oleh Batara Kala. Batara Kala menyatakan patuh terhadap
ketentuan tersebut. Ia lalu mohon pamit kembali ke Pulau Nusakambangan.

KI DALANG KANDABUWANA MENGADAKAN RUWATAN MASSAL

Setelah Batara Kala pergi, Ki Dalang Kandabuwana dan para pengikutnya lalu mengadakan
upacara Ruwatan terhadap orang-orang yang termasuk golongan Sukerta dan Sengkala.
Setelah meruwat mereka, ia juga mengajarkan mantra penolak gangguan jahat Batara Kala
yang berbentuk Tembang Prawiralalita, berbunyi:
Yamaraja Jaramaya, Yamarani Niramaya, Yasilapa Palasiya, Yamidora Radomiya,
Yamidosa Sadomiya, Yadayuda Dayudaya, Yasiyaca Cayasiya, Yasihama Mahasiya.

Selain itu ia juga mengajarkan laku brata sebanyak lima perkara kepada masyarakat Jawa
untuk menghindari ancaman Batara Kala, yaitu:
- Puasa, menahan makan dan minum
- Berjaga, tidak tidur sampai orang lain tidur
- Membisu, mengurangi banyak bicara
- Wahdat, mengurangi persetubuhan dengan jarak seratus hari, atau paling tidak empat
puluh hari
- Bersabar, mengurangi marah.

Setelah mengajarkan itu semua, Ki Dalang Kandabuwana kembali ke wujud Batara Wisnu
dan kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka bersama para dewa lainnya untuk melaporkan
bahwa tugas telah selesai dilaksanakan. Batara Guru menerima laporan tersebut dengan
senang hati dan berpesan agar Batara Wisnu tetap waspada karena setiap saat Batara Kala
bisa datang kembali untuk membuat kekacauan di Pulau Jawa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 95
Resi Siwandakara

Kisah ini menceritakan persekutuan antara Batara Siwah dalam wujud Sri Maharaja Balya
dengan Batara Kala dalam wujud Resi Siwandakara. Mereka berniat menaklukkan
Kahyangan Suralaya, namun dikalahkan oleh seorang cebol dan seekor banteng sakti,
penjelmaan Batara Wisnu dan Batara Brahma.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 10 Agustus 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Resi Siwandakara.

BATARA KALA MENJADI RESI SIWANDAKARA

Di Pulau Nusakambangan, Batara Kala merenungi nasibnya yang gagal mencari mangsa
golongan Sukerta dan Sengkala akibat campur tangan Ki Dalang Kandabuwana penjelmaan
Batara Wisnu. Ia merasa iri pada kehebatan kakaknya itu, dan memutuskan untuk pergi
bertapa agar bertambah ilmu kesaktiannya.

Batara Kala pun memilih Hutan Tulyan sebagai tempatnya bertapa. Berbulan-bulan lamanya
ia bersamadi mengendalikan hawa nafsu, membuat kesaktian dan kecerdasannya berkembang
pesat. Tidak hanya itu, ia juga menyusun jenis agama baru sebagai pecahan Agama Dewa,

Page | 96
yang disebut dengan nama Agama Kala. Semakin hari jumlah murid dan pengikutnya
semakin bertambah banyak. Ia lalu mendirikan padepokan sebagai tempat mengajar dan
berganti nama menjadi Resi Siwandakara.

SRI MAHARAJA BALYA MENGIRIM SERANGAN KE HUTAN TULYAN

Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda dihadap Resi Kuramba selaku raja
bawahan di Kerajaan Medang Pura. Mereka membicarakan adanya agama baru bernama
Agama Kala yang diajarkan oleh seorang brahmana berwujud raksasa, bernama Resi
Siwandakara. Sri Maharaja Balya merasa resah karena banyak pengikut Agama Siwah yang
beralih memeluk Agama Kala. Maka, Resi Kuramba pun dikirim untuk memanggil Resi
Siwandakara datang ke Medang Siwanda.

Resi Kuramba membawa pasukan gabungan Medang Siwanda dan Medang Pura mendatangi
Resi Siwandakara di padepokan Hutan Tulyan. Terjadilah percakapan antara dirinya dengan
resi berwujud raksasa itu yang berlanjut dengan perdebatan adu kepandaian. Resi Kuramba
kalah perbawa dan memaksa Resi Siwandakara ikut dengannya ke Medang Siwanda dengan
menggunakan kekerasan.

Resi Siwandakara melawan sehingga terjadilah pertempuran. Resi Kuramba dan pasukannya
merasa terdesak kewalahan. Mereka tidak mampu menghadapi kesaktian Resi Siwandakara,
sehingga terpaksa mundur kembali ke Kerajaan Medang Siwanda.

SRI MAHARAJA BALYA MEMELUK AGAMA KALA

Sri Maharaja Balya menerima laporan Resi Kuramba yang gagal menjalankan tugasnya.
Hatinya tersinggung mendengar Resi Kuramba memuji-muji kepandaian dan kesaktian Resi
Siwandakara. Sri Maharaja Balya sangat murka dan mengusir pergi Resi Kuramba dari
Kerajaan Medang Siwanda. Resi Kuramba lalu kembali ke wujud semula, yaitu Batara
Singajalma, dan ia melesat pergi menuju kahyangan.

Sri Maharaja Balya kemudian berangkat sendiri ke Hutan Tulyan menemui Resi
Siwandakara. Keduanya terlibat perdebatan adu kepandaian yang dilanjutkan dengan
pertarungan adu kesaktian. Akhirnya, Sri Maharaja Balya harus mengakui bahwa lawannya
lebih unggul, dan ia pun menyatakan tunduk kepada Agama Kala.

Sri Maharaja Balya lalu membawa Resi Siwandakara bergabung di Kerajaan Medang
Siwanda sebagai patih. Bersama-sama mereka menyebarkan Agama Kala sehingga
berkembang semakin luas dengan jumlah pengikut yang semakin banyak. Di antara para raja
yang bergabung dengan mereka adalah seorang raja gandarwa bernama Prabu Waka dan
seorang raja raksasa bernama Prabu Citraksa.

SRI MAHARAJA BALYA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA

Agama Dewa di Pulau Jawa kini hanya tinggal dua aliran saja yang berkembang pesat, yaitu
Agama Kala dan Agama Indra. Para pengikut kedua aliran ini banyak yang terlibat
perselisihan dan perkelahian, karena sama-sama merasa paling benar. Batara Indra sendiri
akhirnya turun tangan dan mengirim surat ke Kerajaan Medang Siwanda supaya Sri Maharaja
Balya beralih memeluk Agama Indra. Tentu saja hal ini membuat Sri Maharaja Balya sangat
marah dan segera mengirim pasukan untuk menyerang Kahyangan Suralaya.

Page | 97
Pasukan Kerajaan Medang Siwanda yang dipimpin Patih Siwandakara, Prabu Waka, dan
Prabu Citraksa berangkat menyerbu Gunung Mahameru. Sesampainya di sana mereka
berhadapan dengan pasukan Kahyangan Suralaya yang dipimpin Kapi Malawapati.
Pertempuran besar pun terjadi. Pihak kahyangan mengalami kekalahan di mana Kapi
Malawapati tewas di tangan Patih Siwandakara.

Melihat panglimanya mati, pasukan jawata pun kocar-kacir dan mundur ke dalam Kahyangan
Suralaya, kemudian menutup pintu gerbang rapat-rapat.

KEDUA PIHAK MEMBUAT SENJATA PUSAKA

Di dalam Kahyangan Suralaya, Batara Indra memerintahkan para jawata untuk membuat
berbagai senjata pusaka demi menghadapi kekuatan Sri Maharaja Balya. Para jawata tersebut
adalah anggota keluarga Batara Ramayadi dan Batara Anggajali yang berjumlah lima belas
orang.

Kelima belas jawata pembuat senjata itu adalah Batara Ramayana, Batara Ramakandi, Batara
Ramakandeya, Batara Isakandi, Batara Ramadewa, Batara Dewayana, Batara Widayana,
Batara Kanditan, Batara Kandihawa, Batara Ramabada, Batara Janabada, Batara Indrabada,
Batara Hirabada, Batara Amidabada, dan Batara Sekandrabada.

Mendengar hal itu, Patih Siwandakara segera menyusup ke Gunung Mahameru dan
memasang tumbal penolak balak untuk menarik kekuatan gaib senjata-senjata pusaka buatan
kelima belas jawata tersebut. Hal ini diketahui Batara Bayu yang datang ke Kahyangan
Suralaya untuk membantu Batara Indra. Ia pun mengirimkan angin topan yang
menghempaskan Patih Siwandakara beserta para pengikutnya hingga kembali ke Kerajaan
Medang Siwanda.

Patih Siwandakara segera melapor kepada Sri Maharaja Balya mengenai usaha Batara Indra
yang memerintahkan para empu jawata membuat senjata pusaka. Untuk mengimbangi hal itu,
Sri Maharaja Balya pun memerintahkan menantunya yang bernama Batara Wiswakadi untuk
membuat senjata pusaka pula. Batara Wiswakadi segera melaksanakan perintah tersebut
bersama sepupunya yang bernama Batara Wiswakarma.

UNDANGAN DUA JIN WANITA DARI LAUTAN

Pada suatu hari datang dua orang jin wanita bersaudara dari Kerajaan Madyasamodra,
bernama Ratu Adiyana dan Patih Adiyati. Mereka menghadap Sri Maharaja Balya di
Kerajaan Medang Siwanda untuk mendapatkan pelajaran Agama Kala. Sri Maharaja Balya
menerima kedatangan mereka dengan senang hati dan memenuhi apa yang mereka inginkan.

Setelah menamatkan pelajaran dan memperoleh segala ilmu pengetahuan, Ratu Adiyana dan
Patih Adiyati pun mengundang Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara untuk
mengajarkan Agama Kala kepada rakyat di negeri mereka. Permintaan itu disetujui. Mereka
lalu berangkat bersama-sama pergi ke Kerajaan Madyasamodra yang terletak di tengah
lautan.

Para penduduk jin di Kerajaan Madyasamodra menyambut baik pelajaran Agama Kala yang
disampaikan Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara. Kemudian Sri Maharaja Balya

Page | 98
menikahi Ratu Adiyana, sedangkan Patih Siwandakara menikahi Patih Adiyati. Mereka pun
hidup bersenang-senang di Kerajaan Madyasamodra sampai waktu yang cukup lama.

Setelah enam tahun berlalu, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara baru sadar kalau
mereka sudah begitu lama tinggal di Kerajaan Madyasamodra, sehingga lupa pada kewajiban
di Kerajaan Medang Siwanda. Keduanya pun memutuskan untuk kembali ke Kerajaan
Medang Siwanda, demi melanjutkan rencana menyerang Kahyangan Suralaya yang sudah
tertunda sekian lama. Ratu Adiyana dan Patih Adiyati menyatakan siap membantu, dan
mereka pun membawa serta pasukan jin Madyasamodra untuk menambah kekuatan pihak
Medang Siwanda.

SRI MAHARAJA BALYA KALAH PERANG

Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka memerintahkan Batara Brahma dan Batara


Wisnu untuk membantu Batara Indra menghadapi angkara murka Sri Maharaja Balya dan
Patih Siwandakara. Batara Wisnu lalu mengubah wujudnya menjadi seorang cebol bernama
Jaka Wamana, sedangkan Batara Brahma mengubah wujudnya menjadi seekor banteng sakti
bertubuh besar.

Jaka Wamana menggiring si banteng besar menghadang rombongan Sri Maharaja Balya yang
sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya
terkejut dan menanyakan asal-usul serta tujuan orang cebol itu yang berani menghadang
perjalanannya. Jaka Wamana menjawab bahwa ia telah turun dari langit untuk menghukum
keserakahan Sri Maharaja Balya.

Sri Maharaja Balya mengejek Jaka Wamana yang bertubuh cebol, tidak mungkin memiliki
cukup kesaktian untuk melawan seorang maharaja. Jaka Wamana menjawab bahwa kesaktian
itu hanyalah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Sri Maharaja Balya tersinggung dan
memperkenalkan bahwa dirinya adalah orang yang hendak dihukum Jaka Wamana itu. Jaka
Wamana dan si banteng besar segera menantang Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara
berkelahi. Tantangan itu diterima, dan terjadilah pertempuran di antara mereka.

Sri Maharaja Balya mengerahkan segenap kekuatan, namun tidak mampu menandingi
kesaktian Jaka Wamana. Begitu pula dengan Patih Siwandakara juga tidak mampu
mengalahkan banteng besar yang dihadapinya. Akhirnya, Sri Maharaja Balya dan Patih
Siwandakara pun mengubah wujud masing-masing menjadi raksasa sebesar gunung.
Anehnya, Jaka Wamana juga mampu mengubah wujudnya menjadi raksasa yang jauh lebih
besar lagi. Kakinya amblas ke dasar bumi, sedangkan kepalanya melebihi tingginya tujuh
lapis angkasa. Bahkan, tangannya mampu meraih bebatuan meteor yang melayang-layang di
luar angkasa.

Sementara itu, si banteng besar juga telah mengubah wujudnya menjadi gunung api yang
berkobar-kobar membakar segalanya. Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara tidak kuat
menghadapi hawa panas yang membara, ditambah dengan hujan batu meteor yang
dilemparkan raksasa penjelmaan Jaka Wamana. Akhirnya, mereka tidak kuat menahan sakit
dan menyerah kalah.

Sri Maharja Balya bertobat menyadari kesalahan dan keserakahannya. Ia lalu kembali ke
wujud Batara Siwah dan pulang ke Tanah Hindustan menghadap Batara Guru. Sementara itu,
Patih Siwandakara kembali ke wujud Batara Kala dengan perasaan sangat kecewa dan

Page | 99
dendam kesumat. Ia memilih pulang ke tempat tinggalnya di Pulau Nusakambangan untuk
kembali bertapa demi menambah kesaktian.

BATARA BRAHMA MENJADI RAJA MEDANG SIWANDA

Ratu Adiyana dan Patih Adiyati berlutut memohon ampun di hadapan Jaka Wamana dan si
banteng api, begitu pula dengan para pengikut Sri Maharaja Balya yang lain. Jaka Wamana
lalu kembali ke wujud Batara Wisnu, sedangkan si banteng api kembali ke wujud Batara
Brahma. Mereka memberikan pengampunan kepada kedua jin wanita itu, serta menerima
pengabdian para pengikut Sri Maharaja Balya yang terdiri dari berbagai golongan.

Batara Brahma dan Batara Wisnu kemudian berbagi tugas menangani para pengikut Sri
Maharaja Balya tersebut. Batara Brahma bertugas memimpin para pengikut yang berwujud
makhluk kasar, yaitu bangsa manusia, raksasa, dan binatang; sedangkan Batara Wisnu
memimpin pengikut yang berwujud makhluk halus, yaitu bangsa jin, siluman, peri, dan
gandarwa.

Batara Brahma kemudian menduduki takhta Kerajaan Medang Siwanda dengan bergelar Sri
Maharaja Budawaka, serta menikahi Dewi Adiyana sebagai permaisuri. Sementara itu, Batara
Wisnu menikahi Dewi Adiyati dan masuk ke alam sunyaruri untuk menjadi pemimpin di
sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 100
Maharaja Birawa

Kisah ini menceritakan Batara Kala yang menjelma sebagai Sri Maharaja Birawa untuk
membalas dendam kepada Batara Brahma dan Batara Wisnu. Ia juga memerangi Batara
Indra di Kahyangan Suralaya, namun pada akhirnya dapat dikalahkan oleh Batara Wisnu
dalam wujud Brahmana Kestu.

Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 15 Agustus 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

BATARA KALA MENJADI SRI MAHARAJA BIRAWA

Batara Kala yang sangat kecewa atas kekalahannya berusaha menghimpun kekuatan untuk
membalas dendam. Ia bertapa siang malam selama beberapa bulan sehingga kesaktiannya
meningkat pesat. Setelah para pengikutnya bertambah banyak pula, ia pun meninggalkan
Pulau Nusakambangan dan membangun sebuah kerajaan baru di Hutan Tulyan, yang diberi
nama Kerajaan Medang Kamulan, meniru nama kerajaan yang dulu didirikan oleh Batara
Guru di Gunung Mahendra. Sebagai raja di sana, ia memakai gelar Sri Maharaja Birawa.

Pada suatu hari Sri Maharaja Birawa menerima kedatangan tiga orang empu kahyangan, yaitu
putra Batara Isakandi yang bernama Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi.
Ketiga bersaudara itu memohon perlindungan kepada Sri Maharaja Birawa karena dikejar-
kejar hendak dibunuh seorang raksasa sakti bernama Ditya Danupaya, putra Ditya Danupati,
atau cucu Prabu Danuka yang mendendam kepada para dewa.

Sri Maharaja Birawa bersedia memberikan perlindungan kepada mereka bertiga. Ditya
Danupaya akhirnya datang dan menantang perang Sri Maharaja Birawa apabila tidak mau

Page | 101
menyerahkan ketiga buruannya itu. Maka, terjadilah pertempuran seru di antara mereka yang
akhirnya dimenangkan oleh Sri Maharaja Birawa. Ditya Danupaya menyerah kalah dan
pasrah hidup mati. Melihat ketulusan raksasa itu, Sri Maharaja Birawa pun menerimanya
sebagai kawan. Bahkan, Ditya Danupaya juga diangkat sebagai menteri utama Kerajaan
Medang Kamulan, bergelar Patih Danupaya.

Sri Maharaja Birawa juga menerima pengabdian Batara Sukadi, Batara Reksakadi, serta
Batara Rasikadi, dan menjadikan mereka sebagai pembuat pusaka kerajaan. Selain itu, ia juga
menikahi adik perempuan Patih Danupaya yang bernama Dewi Danupadi.

SRI MAHARAJA BIRAWA MENGHANCURKAN KERAJAAN MEDANG


SIWANDA

Sri Maharaja Birawa lalu menyusun rencana untuk membalas dendam kepada Batara Brahma
dan Batara Wisnu. Ia pun memerintahkan Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara
Rasikadi untuk membuat senjata-senjata ampuh. Setelah tugas selesai dilaksanakan, Sri
Maharaja Birawa dan Patih Danupaya berangkat memimpin pasukan menyerang Kerajaan
Medang Siwanda.

Di Kerajaan Medang Siwanda, Sri Maharaja Budawaka yang merupakan penjelmaan Batara
Brahma tidak menduga akan datangnya serangan mendadak dari Kerajaan Medang Kamulan
tersebut. Pertempuran besar pun terjadi. Kerajaan Medang Siwanda mengalami kehancuran,
sedangkan Sri Maharaja Budawaka melarikan diri ke arah barat.

SRI MAHARAJA BUDAWAKA MEMBANGUN KERAJAAN GILINGAYA

Perjalanan Sri Maharaja Budawaka akhirnya sampai di wilayah Kerajaan Medang Gili, yaitu
negeri yang dulu pernah dipimpinnya saat menjadi Sri Maharaja Sunda. Namun, Kerajaan
Medang Gili tersebut sekarang sudah terbengkalai dan tidak terawat, karena kosong tidak
memiliki raja.

Di negeri itu, Sri Maharaja Budawaka ditolong dan diberi makan oleh seorang tua bernama
Kyai Sudana. Sri Maharaja Budawaka sangat berterima kasih dan mengajak Kyai Sudana
beserta keluarganya membangun kembali Kerajaan Medang Gili. Ia kemudian mengangkat
anak Kyai Sudana yang bernama Jaka Suweda menjadi menteri utama, bergelar Patih
Suweda. Adapun nama Kerajaan Medang Gili untuk selanjutnya diganti menjadi Kerajaan
Gilingaya.

SRI MAHARAJA BIRAWA MENYERANG KAHYANGAN SURALAYA

Setelah puas mengalahkan Sri Maharaja Budawaka dan mengusirnya pergi, Sri Maharaja
Birawa lalu berniat menyerang Kahyangan Suralaya yang dipimpin Batara Indra. Rancana ini
tidak disetujui Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi. Karena mereka bertiga
berani terang-terangan menentang rencana ini, Sri Maharaja Birawa pun marah besar. Ketiga
putra Batara Isakandi itu memilih melarikan diri meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan
karena takut menghadapi amukan raja raksasa tersebut.

Sri Maharaja Birawa dan Patih Danupaya kemudian berangkat memimpin pasukan Medang
Kamulan menyerang Kahyangan Suralaya. Perang besar pun terjadi di kaki Gunung
Mahameru. Batara Indra dan pasukan Dorandara terdesak kalah. Pada saat itulah Batara Bayu

Page | 102
datang membantu dan berhasil membunuh Patih Danupaya, kemudian ia bertempur melawan
Sri Maharaja Birawa.

Batara Bayu dan Sri Maharaja Birawa sama-sama mengadu kesaktian sampai waktu yang
cukup lama. Batara Bayu merasa kesulitan mengalahkan lawannya itu. Ia akhirnya
mengerahkan angin topan yang menerbangkan tubuh Sri Maharaja Birawa beserta para
prajuritnya yang masih hidup kembali ke Kerajaan Medang Kamulan.

BRAHMANA KESTU MENGALAHKAN SRI MAHARAJA BIRAWA

Batara Indra takut kalau Sri Maharaja Birawa datang kembali dengan kekuatan yang lebih
besar. Ia lalu mengheningkan cipta mengerahkan Aji Pameling memanggil adiknya, yaitu
Batara Wisnu yang memiliki kesaktian paling tinggi di antara sesama saudara. Batara Wisnu
pun datang dari Alam Sunyaruri dan menyatakan sanggup menghadapi Sri Maharaja Birawa.

Batara Wisnu lalu mengubah wujudnya menjadi seorang brahmana, bergelar Brahmana
Kestu. Ia mendatangi Kerajaan Medang Kamulan dan menantang Sri Maharaja Birawa adu
kesaktian. Tantangan itu diterima dan mereka pun bertarung seru. Karena sampai sekian lama
tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, Sri Maharaja Birawa lalu menantang
Brahmana Kestu adu kepandaian wawasan.

Sri Maharaja Birawa mengajukan teka-teki yang berbunyi:

Tuwuh doning mudratirta,


Seta ti kang purwandaya,
Mapatra pita laksmita,
Sirang puspa maharakta,
Mang bapte kang pala kresna,
Mesi nanda mancawarna,
Ma sadrasa marta wisa,
Taman kena pisahahna.

Yang artinya:
Tumbuhnya di tengah air, putih batang pohonnya, daun kuning bersinar, bunganya merah
menyala, buahnya berwarna hitam, berisi emas permata aneka warna, rasanya enam jenis bisa
menjadi obat atau racun, tidak dapat terpisahkan.

Brahmana Kestu menjawab teka-teki tersebut:


Tumbuhnya pramana di dalam budi, pohon pramana suci, daunnya birahi, bunganya amarah,
buahnya kesentosaan, isinya pancaindera dan akal yang berjumlah enam, jika keluarnya baik
bisa menjadi obat, jika keluarnya buruk bisa menjadi racun, tidak dapat dipisahkan karena
jika dipisah tentu menimbulkan kematian.

Sri Maharaja Birawa sangat malu karena teka-tekinya dapat ditebak oleh Brahmana Kestu. Ia
pun menyerah kalah dan menyatakan tunduk terhadap segala keputusan Brahmana Kestu.
Maka, Brahmana Kestu lalu menjatuhkan hukuman buang kepada Sri Maharaja Birawa
supaya tinggal di Hutan Krendawana.

Sri Maharaja Birawa sanggup menjalani hukuman tersebut. Ia lalu kembali ke wujud Batara
Kala dan berangkat menuju Hutan Krendawana bersama istrinya, yaitu Dewi Danupadi yang

Page | 103
telah diganti namanya menjadi Dewi Kali.

BRAHMANA KESTU MENJADI RAJA MEDANG KAMULAN

Setelah Sri Maharaja Birawa kalah dan berangkat menjalani pembuangan, para pengikutnya
pun menyatakan tunduk kepada Brahmana Kestu serta menyerahkan takhta kerajaan kepada
brahmana penjelmaan Batara Wisnu tersebut.

Brahmana Kestu menerima takhta Kerajaan Medang Kamulan itu dan ia pun menjadi raja
dengan bergelar Sri Maharaja Budakresna.

Sri Maharaja Birawa

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 104
Prabu Hiranyakasipu

Kisah ini menceritakan tentang kelima putra Batara Guru yang menjadi raja di Pulau Jawa
dan bertakhta di lima pegunungan. Kisah dilanjutkan dengan serangan Prabu Hiranyakasipu
raja Lengkapura, leluhur Prabu Rahwana yang akhirnya tewas di tangan Batara Wisnu
dalam wujud Narasinga. Juga dikisahkan perkawinan anak-anak Prabu Hiranyakasipu
dengan anak-anak Batara Brahma.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 22 Juli 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

LIMA DEWA BERANGKAT KE TANAH JAWA

Di Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru dihadap Batara Narada dan para dewa lainnya.
Yang dibicarakan adalah rencana untuk melanjutkan penyebaran Agama Dewa dan
pembangunan di Pulau Jawa, yaitu dengan mengirim kelima putra yang lahir dari Batari
Umayi untuk menjadi raja di sana. Mereka adalah Batara Sambu, Batara Brahma, Batara
Indra, Batara Bayu, dan Batara Wisnu.

Kelima dewa pun meminta restu kepada Batara Guru dan Batara Narada, kemudian mereka
mohon pamit berangkat menuju ke Pulau Jawa.

LIMA DEWA MEMBANGUN KERAJAAN DI PUNCAK GUNUNG

Sesampainya di Pulau Jawa, kelima dewa putra Batara Guru pun mencari tempat yang cocok

Page | 105
untuk mendirikan kerajaan masing-masing. Mereka menelusuri Pulau Jawa yang
membentang panjang dari Tanah Aceh sampai Tanah Bali, dan masing-masing akhirnya
memilih pegunungan sebagai ibu kota kerajaan mereka.

Batara Sambu turun di Gunung Rajabasa, di daerah Sumatra sebelah selatan, lalu mendirikan
Kerajaan Medang Prawa di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Maldewa.

Batara Brahma turun di Gunung Mahera, di daerah Banten, lalu mendirikan Kerajaan
Medang Gili di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Sunda.

Batara Wisnu turun di Gunung Gora, di daerah Tegal, lalu mendirikan Kerajaan Medang Pura
di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Suman.

Batara Indra turun di Gunung Mahameru, di daerah Jawa sebelah timur, lalu mendirikan
Kerajaan Medang Gana di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Sakra.

Batara Bayu turun di Gunung Karang, di daerah Bali, lalu mendirikan Kerajaan Medang Gora
di sana. Ia memakai nama Sri Maharaja Bima.

Kelima maharaja tersebut memerintah di wilayah masing-masing dengan derajat yang setara,
tidak ada yang lebih unggul dan tidak ada yang lebih rendah di antara mereka.

TUJUH DEWA MENJADI RESI

Setahun kemudian, datanglah tiga orang resi penjelmaan dewa ke Pulau Jawa untuk
membantu penyebaran agama. Mereka adalah Resi Atrakelasa, Resi Drasta, dan Resi
Kusamba. Adapun Resi Atrakelasa adalah penjelmaan Batara Wanda, putra Batara
Brahmastya, putra Sanghyang Pancaresi; sedangkan Resi Drasta adalah penjelmaan Batara
Langsur, putra Sanghyang Citragotra, putra Sanghyang Pancaresi; dan Resi Kusamba adalah
penjelmaan Batara Singajalma, juga putra Sanghyang Citragotra.

Dua tahun kemudian datang lagi empat orang resi ke Pulau Jawa. Mereka adalah Resi Prawa,
Resi Boma, Resi Bana, dan Resi Kosara. Adapun Resi Prawa adalah penjelmaan Batara
Kulika, putra Batara Sanggana, atau cucu Sanghyang Hening. Kemudian Resi Boma adalah
penjelmaan Batara Suksena, dan Resi Bana adalah penjelmaan Batara Suksrana, keduanya
adalah kakak beradik putra Batara Nihoya, adik dari Batara Sanggana. Terakhir adalah Resi
Kosara merupakan penjelmaan Batara Gangga, putra Batara Hermaya, adik dari Batara
Nihoya.

PARA RESI MENJADI PATIH DI LIMA KERAJAAN

Tahun demi tahun berlalu, ketujuh resi itu memiliki pengikut yang semakin banyak. Mereka
kemudian berpencar untuk mengunjungi kelima kerajaan yang dipimpin oleh lima dewa
dengan membawa pengikut masing-masing.

Resi Atrakelasa mengunjungi Kerajaan Medang Prawa. Ia disambut dengan baik oleh Sri
Maharaja Maldewa dan diangkat sebagai patih di sana.

Resi Drasta dan Resi Kusamba mengunjungi Kerajaan Medang Gili. Mereka disambut
dengan baik oleh Sri Maharaja Sunda, dan keduanya diangkat sebagai patih di sana.

Page | 106
Resi Prawa mengunjungi Kerajaan Medang Gana. Ia disambut baik oleh Sri Maharaja Sakra
dan diangkat sebagai patih di sana, dengan nama baru Patih Resi Kapila.

Resi Boma dan Resi Bana mengunjungi Kerajaan Medang Gora. Mereka disambut baik oleh
Sri Maharaja Bima dan diangkat sebagai patih di sana.

Yang terakhir adalah Resi Kosara mengunjungi Kerajaan Medang Pura. Ia disambut baik
oleh Sri Maharaja Suman dan diangkat sebagai patih di sana.

PRABU HIRANYAKASIPU MENDAPAT ANUGERAH DARI BATARA GURU

Tersebutlah seorang raja raksasa bernama Prabu Hiranyakasipu dari Kerajaan Lengkapura.
Kerajaan Lengkapura ini terletak di Pulau Srilangka, yaitu bekas Kahyangan Selongkandi
yang dulu ditempati Sanghyang Darmajaka, kakak Sanghyang Wenang. Pada suatu hari
Sanghyang Darmajaka memutuskan untuk membangun tempat tinggal baru bernama
Kahyangan Imamaya, sehingga Kahyangan Selongkandi menjadi kosong tak berpenghuni.
Akhirnya, bekas kahyangan itu diambil alih oleh bangsa raksasa yang dipimpin Ditya
Hiranyakasipu, dan dibangun menjadi kerajaan bernama Lengkapura. Itulah sebabnya,
Kerajaan Lengkapura memiliki keindahan luar biasa bagaikan kahyangan para dewa.

Prabu Hiranyakasipu ini merupakan pemuja Batara Guru yang setia dan pernah menjalankan
tapa brata sangat berat selama belasan tahun. Batara Guru berkenan menerima tapa brata
tersebut dan bersedia mengabulkan apa saja permintaan Prabu Hiranyakasipu, kecuali jika ia
meminta kehidupan abadi. Ternyata yang diminta Prabu Hiranyakasipu adalah ilmu
kesaktian, yaitu tidak bisa dikalahkan oleh dewa, manusia, raksasa, binatang, jin, juga
tubuhnya tidak bisa terkena penyakit dan tidak bisa terluka oleh senjata jenis apa pun. Batara
Guru mengabulkan permintaan tersebut. Setelah mendapatkan kesaktian yang diinginkannya,
Prabu Hiranyakasipu sangat berterima kasih dan mohon pamit kembali ke Kerajaan
Lengkapura.

Namun, setelah mendapatkan kesaktian justru sifat Prabu Hiranyakasipu berubah menjadi
angkara murka. Ia banyak menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Tanah Hindustan,
dengan dibantu adiknya yang bernama Prabu Hiranyawreka raja Kerajaan Kasipura. Sampai
akhirnya mereka mendengar di seberang timur terdapat sebuah pulau yang sangat indah dan
subur bernama Pulau Jawa yang dipimpin oleh lima raja bersaudara. Maka, berangkatlah
kedua raja raksasa itu menuju ke sana untuk menjadikan pulau tersebut sebagai daerah
jajahan.

PRABU HIRANYAKASIPU MENYERANG PULAU JAWA

Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka mendarat di Pulau Jawa. Yang menjadi
sasaran pertama adalah Kerajaan Medang Prawa yang terletak paling barat. Perang besar pun
terjadi. Sri Maharaja Maldewa terdesak kalah dan melarikan diri ke tenggara untuk
berlindung di Kerajaan Medang Gili.

Sri Maharaja Sunda di Kerajaan Medang Gili menerima kedatangan Sri Maharaja Maldewa,
dan ia merasa sangat khawatir mendengar apa yang telah dialami kakaknya itu. Ia lalu
mengundang ketiga saudara yang lain supaya datang dengan membawa bala tentara masing-
masing. Ia sangat yakin negerinya akan menjadi sasaran Prabu Hiranyakasipu yang

Page | 107
berikutnya. Maka, ia pun berniat menggabungkan kekuatan lima kerajaan dengan berkumpul
di Medang Gili.

Ketiga maharaja telah datang di Kerajaan Medang Gili dengan membawa pasukan lengkap,
serta menunggang kendaraan masing-masing. Sri Maharaja Sakra datang dengan
mengendarai Gajah Erawata, Sri Maharaja Bima mengendarai Gajah Sena, sedangkan Sri
Maharaja Suman mengendarai Garuda Brihawan.

PRABU HIRANYAKASIPU TEWAS MELAWAN BATARA NARASINGA

Sesuai dugaan, Prabu Hiranyakasipu dan Prabu Hiranyawreka pun datang menyerbu
Kerajaan Medang Gili. Pertempuran kembali berlangsung di mana pasukan raksasa Kerajaan
Lengkapura dan Kasipura menghadapi gabungan pasukan jawata dari lima kerajaan.
Kendaraan Sri Maharaja Suman yang bernama Garuda Brihawan ikut maju menerjang dan
berhasil menewaskan Prabu Hiranyawreka.

Prabu Hiranyakasipu sangat marah melihat adiknya tewas. Ia pun mengamuk memukul
mundur pasukan jawata. Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkannya, juga tidak
ada satu senjata pun yang dapat melukai kulitnya.

Dalam keadaan gawat tersebut, Batara Narada datang dari Kahyangan Jonggringsalaka
menemui lima maharaja untuk menceritakan riwayat Prabu Hiranyakasipu. Begitu
mengetahui kesaktian macam apa yang dimiliki Prabu Hiranyakasipu, Sri Maharaja Suman
pun mendapat akal untuk mengalahkan raja raksasa tersebut. Ia lalu mengubah wujudnya
menjadi manusia berkepala singa dengan memakai nama Batara Narasinga.

Maka terjadilah perang tanding seru antara Prabu Hiranyakasipu melawan Batara Narasinga.
Setelah bertarung cukup lama, Prabu Hiranyakasipu akhirnya terluka parah dengan perut
robek terkena kuku-kuku tajam di kedua tangan Batara Narasinga.

Prabu Hiranyakasipu yang sekarat merasa heran mengapa anugerah Batara Guru tidak bisa
melindungi dirinya dari serangan lawan yang satu ini. Batara Narasinga menjelaskan bahwa
dirinya adalah manusia berkepala hewan, sehingga tidak bisa disebut manusia, juga tidak bisa
disebut binatang. Ia juga tidak menggunakan senjata untuk mengalahkan Prabu
Hiranyakasipu, tetapi menggunakan cakar untuk merobek perutnya. Prabu Hiranyakasipu
akhirnya meninggal karena luka-lukanya. Namun, ia sempat bersumpah bahwa kelak ia akan
menitis bersatu jiwa raga dengan seorang keturunannya yang bernama Prabu Rahwana untuk
menyebarkan kejahatan dan angkara murka.

RADEN BANJARANJALI MENYERAHKAN DIRI

Prabu Hiranyakasipu memiliki putra berwujud raksasa muda bernama Ditya Banjaranjali.
Berbeda dengan sang ayah yang kejam dan angkara murka, Ditya Banjaranjali bersifat
lembut dan berbudi luhur. Dengan sikap tulus ia menyerahkan diri kepada lima maharaja dan
siap menerima hukuman. Sri Maharaja Sunda selaku tuan rumah menyerahkan keputusan
kepada Batara Narasinga, karena dialah yang berhasil mengalahkan Prabu Hiranyakasipu.

Batara Narasinga kembali ke wujud Sri Maharaja Suman, kemudian mengamati putra Prabu
Hiranyakasipu tersebut. Ia dapat melihat bahwa Ditya Banjaranjali benar-benar tulus dan
tidak menyembunyikan maksud jahat. Maka, ia pun membebaskan raksasa muda itu dari

Page | 108
segala hukuman dan mengizinkannya pulang ke Kerajaan Lengkapura untuk menjadi raja di
sana.

ANAK-ANAK SRI MAHARAJA SUNDA DATANG KE PULAU JAWA

Berita bahwa Kerajaan Medang Gili mengalami kerusakan parah setelah perang besar
melawan Prabu Hiranyakasipu terdengar sampai ke Tanah Hindustan. Para putra Batara
Brahma pun berangkat menuju ke Pulau Jawa untuk membantu sang ayah membangun
kembali Kerajaan Medang Gili.

Karena Batara Brahma telah menjelma menjadi manusia bergelar Sri Maharaja Sunda, maka
putra-putranya pun ikut menjelma sebagai manusia dengan bergelar Raden untuk yang laki-
laki, dan Dewi untuk yang perempuan. Inilah awal mula adanya pangeran bergelar Raden.
Sementara itu, gelar Dewi sudah lazim dipakai sejak zaman sebelumnya.

Para putra Sri Maharaja Sunda tersebut adalah Raden Maricibrahma dan Raden
Naradabrahma yang lahir dari Batari Sacika; kemudian Raden Brahmanasa, Raden
Brahmanadewa, Raden Brahmanakanda, dan Raden Brahmanaresi yang lahir dari Batari
Saraswati; dan selanjutnya adalah Raden Brahmaniskala, Raden Brahmanityasa, Raden
Brahmaniyara, Raden Brahmaniyari, Raden Brahmaniyodi, Raden Brahmaniyasa, Raden
Brahmaniyasa, Dewi Brahmaniwati, Dewi Brahmanisri, Dewi Brahmaniyati, Dewi
Brahmaniyuta, Dewi Dresanala, dan Dewi Dresawati yang kesemuanya lahir dari Batari
Rarasati.

PRABU BANJARANJALI MEMPERSEMBAHKAN KEDUA ADIKNYA

Pada suatu hari Prabu Banjaranjali yang telah menjadi raja Kerajaan Lengkapura datang
kembali ke Pulau Jawa dengan sikap persahabatan. Kali ini ia datang untuk
mempersembahkan kedua adiknya yang cantik kepada Sri Maharaja Sunda sebagai
permintaan maaf karena dulu ayahnya telah banyak berbuat kerusakan di Kerajaan Medang
Gili. Kedua putri itu bernama Dewi Kasipi dan Dewi Kistapi.

Sri Maharaja Sunda heran mengapa Prabu Banjaranjali memiliki dua orang adik berwujud
manusia cantik, sedangkan dia berwujud raksasa. Prabu Banjaranjali menjelaskan bahwa ibu
mereka bukan berasal dari bangsa raksasa, melainkan seorang manusia bernama Dewi Nariti,
putri Prabu Nasa dari Kerajaan Banapura. Jika Prabu Banjaranjali berwujud raksasa seperti
sang ayah, maka kedua adiknya berparas cantik seperti sang ibu.

Sri Maharaja Sunda sangat berkenan menerima kedua putri itu dan berniat menjadikan
mereka sebagai menantu. Akan tetapi, terjadilah perselisihan di antara para putranya yang
memperebutkan kedua putri tersebut. Mereka yang berebut adalah Raden Maricibrahma,
Raden Naradabrahma, Raden Brahmanasa, Raden Brahmanadewa, Raden Brahmanaresi,
Raden Brahamaniskala, dan Raden Brahmanityasa. Sri Maharaja Sunda bingung menentukan
pilihan dan khawatir akan terjadi perkelahian di antara para putranya itu.

Pada saat itulah Sri Maharaja Suman datang di Kerajaan Medang Gili dengan mengendarai
Garuda Brihawan. Ia mengusulkan supaya diadakan sayembara saja di antara para putra yang
berselisih tersebut. Sri Maharaja Sunda setuju dan segera bersamadi memohon petunjuk
Tuhan Yang Mahakuasa. Tiba-tiba dari langit turun sebuah kitab gaib yang jatuh ke tangan
Sri Maharaja Sunda.

Page | 109
Sri Maharaja Sunda pun mengumumkan barangsiapa bisa membaca dan menafsirkan isi kitab
gaib tersebut, berhak menikahi Dewi Kasipi dan Dewi Kistapi. Ternyata yang mampu
membacanya hanyalah Raden Brahmanityasa namun ia tidak mampu menafsirkannya. Isi
kitab tersebut berbunyi Diya heng diyan darya.

Raden Brahmaniyasa yang tidak ikut memperebutkan kedua putri mengajukan diri untuk
mencoba menerjemahkan kalimat gaib tersebut. Menurut penafsirannya, kalimat itu
mengandung makna: kedua putri dimiliki oleh kelapangan hati.

Sri Maharaja Sunda sangat berkenan terhadap penafsiran itu. Ia lantas mengumumkan bahwa
Dewi Kasipi akan dinikahkan dengan Raden Brahmanityasa, sedangkan Dewi Kistapi dengan
Raden Brahmaniyasa. Keputusan ini membuat para putra yang lain merasa kesal bercampur
malu. Raden Maricibrahma, Raden Naradabrahma, Raden Brahmanasa, Raden
Brahmanadewa, Raden Brahmanaresi, dan Raden Brahamaniskala memilih pergi
meninggalkan Pulau Jawa dan kembali ke Tanah Hindustan.

PRABU BANJARANJALI DAN GARUDA BRIHAWAN MENJADI MENANTU


MEDANG GILI

Sri Maharaja Suman kemudian menjelaskan maksud kedatangannya di Kerajaan Medang Gili
adalah untuk menagih hadiah atas bantuannya membunuh Prabu Hiranyakasipu dan Prabu
Hiranyawreka. Adapun hadiah yang diminta Sri Maharaja Suman adalah supaya Sri Maharaja
Sunda menikahkan seorang putrinya dengan Garuda Brihawan.

Sri Maharaja Sunda agak bimbang jika putrinya harus menikah dengan seekor burung. Hal ini
sudah dipertimbangkan oleh Sri Maharaja Suman. Maka sebelum berangkat ke Medang Gili
tadi, Sri Maharaja Suman sempat mengajarkan ilmu kesaktian kepada Garuda Brihawan
supaya bisa mengubah wujud menjadi manusia.

Setelah melihat Garuda Brihawan berubah wujud menjadi laki-laki tampan, Sri Maharaja
Sunda sangat berkenan dan setuju menyerahkan Dewi Brahmanisri kepadanya. Selain itu, Sri
Maharaja Sunda juga senang melihat ketulusan Prabu Banjaranjali menyerahkan kedua
adiknya. Sebagai tali asih, Sri Maharaja Sunda pun menyerahkan Dewi Brahmaniwati
sebagai istri Prabu Banjaranjali.

Maka, diadakanlah pernikahan antara empat pasang pengantin di Kerajaan Medang Gili
tersebut. Mereka adalah Prabu Banjaranjali dengan Dewi Brahmaniwati; Garuda Brihawan
dengan Dewi Brahmanisri; Raden Brahmanityasa dengan Dewi Kasipi; serta Raden
Brahmaniyasa dengan Dewi Kistapi.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 110
Budawaka - Budakresna

Kisah ini menceritakan tentang hilangnya putri Sri Maharaja Budawaka yang berhasil
ditemukan oleh Batara Rasikadi. Setelah itu dilanjutkan dengan kisah peperangan antara Sri
Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja Budakresna, yang akhirnya dilerai oleh
Sanghyang Rudra.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 17 Agustus 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Budawaka - Budakresna
PUTRI SRI MAHARAJA BUDAWAKA HILANG DICULIK ORANG

Sri Maharaja Budawaka di Kerajaan Gilingaya sedang bersedih karena putrinya yang lahir
dari permaisuri Dewi Rarasati, yang bernama Dewi Brahmaniyari telah hilang entah ke mana.
Patih Suweda dan para punggawa juga berusaha mencari ke segala penjuru namun tidak
mendapatkan hasil.

Tiba-tiba datanglah tiga orang dewa empu putra Batara Isakandi, yaitu Batara Sukadi, Batara
Reksakadi, dan Batara Rasikadi yang memohon supaya diterima mengabdi di Kerajaan
Gilingaya. Mereka bertiga mengaku telah diusir oleh Sri Maharaja Birawa karena berani
menentang niatnya yang ingin menyerang Kahyangan Suralaya.

Page | 111
Sri Maharaja Budawaka bersedia menerima pengabdian ketiga dewa empu tersebut asalkan
dibantu mencari ke mana hilangnya Dewi Brahmaniyari. Batara Sukadi segera
mengheningkan cipta dan mendapatkan petunjuk bahwa sang dewi saat ini berada di
Kahyangan Saptapratala yang terletak di dalam perut bumi. Namun, ia mengaku tidak
mengetahui caranya untuk bisa sampai ke sana.

Batara Reksakadi mengaku mengetahui jalan menuju Kahyangan Saptapratala, tetapi ia tidak
berani menghadapi kesaktian Batara Anantaboga. Batara Rasikadi kemudian mengajukan diri
untuk mencari Dewi Brahmaniyari dan ia mengaku berani menghadapi kesaktian Batara
Anantaboga. Maka, Batara Reksakadi pun menggambarkan peta jalan menuju Kahyangan
Saptapratala untuk dipelajari Batara Rasikadi.

BATARA RASIKADI MEREBUT DEWI BRAHMANIYARI

Dengan berbekal peta buatan kakaknya, Batara Rasikadi berhasil memasuki Kahyangan
Saptapratala. Ternyata Dewi Brahamaniyari memang benar-benar berada di sana karena telah
diculik oleh Batara Basuki, adik Batara Anantaboga.

Kedatangan Batara Rasikadi disambut dengan baik oleh Batara Anantaboga. Batara Rasikadi
berterus terang menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk menjemput pulang Dewi
Brahmaniyari. Batara Anantaboga mempersilakan Batara Rasikadi melaksanakan niatnya,
asalkan ia bersedia mengajari Batara Basuki ilmu pertempuran. Permintaan ini sebenarnya
adalah sindiran, bahwa Batara Rasikadi harus merebut Dewi Brahmaniyari melalui
perkelahian.

Batara Rasikadi yang tidak memahami sindiran tersebut segera mengajari Batara Basuki
jurus-jurus perkelahian. Awalnya mereka hanya berlatih bersama namun lama-lama menjadi
pertarungan sungguhan. Setelah sekian lama, Batara Rasikadi terlihat lebih unggul dan
pertarungan itu akhirnya dihentikan oleh Batara Anantaboga. Ia mempersilakan Batara
Rasikadi membawa pulang Dewi Brahmaniyari karena putri Kerajaan Gilingaya itu memang
bukan jodoh Batara Basuki.

SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENGAMBIL MENANTU

Batara Rasikadi membawa Dewi Brahmaniyari kembali ke Kerajaan Gilingaya dan


menghadapkannya kepada Sri Maharaja Budawaka. Sungguh gembira hati Sri Maharaja
Budawaka dan ia pun berkenan menerima pengabdian Batara Sukadi, Batara Reksakadi, dan
Batara Rasikadi.

Akan tetapi, ketiga dewa empu bersaudara itu kemudian mengajukan permohonan untuk bisa
menikahi Dewi Brahmaniyari. Ternyata mereka telah jatuh hati kepada sang dewi dan
masing-masing menganggap diri paling berjasa dan merasa paling berhak menjadi suaminya.
Batara Rasikadi mengatakan bahwa dirinya telah berjasa membawa pulang Dewi
Brahmaniyari. Batara Reksakadi mengatakan bahwa perbuatan itu bisa terjadi berkat peta
yang digambarkannya. Sementara itu, Batara Sukadi berpendapat, bahwa peta tersebut bisa
digambar adalah karena ia yang pertama kali mendapatkan petunjuk tentang keberadaan sang
dewi yang disembunyikan di Kahyangan Saptapratala.

Sri Maharaja Budawaka bingung menentukan pilihan, apalagi persaingan ketiga bersaudara

Page | 112
itu semakin memanas dan berubah menjadi pertengkaran. Tiba-tiba datang pula seorang raja
raksasa bernama Prabu Jambuwana dari Kerajaan Prajantaka yang mengaku telah mendapat
perintah dewata melalui mimpi supaya mempersunting salah satu putri Sri Maharaja
Budawaka demi kemakmuran negerinya.

Hal ini tentu saja membuat Sri Maharaja Budawaka bertambah bingung. Maka, ia pun
berjanji akan menerima lamaran Prabu Jambuwana tersebut, asalkan dibantu memberikan
keadilan kepada ketiga dewa bersaudara yang sedang bertengkar itu. Prabu Jambuwana
segera mempelajari apa yang sebenarnya telah terjadi, kemudian ia menyampaikan pendapat
bahwa Dewi Brahmaniyari hanya pantas diserahkan kepada laki-laki yang berani bertaruh
nyawa demi melindunginya.

Sri Maharaja Budawaka sangat senang mendengar pendapat itu dan segera mengumumkan
bahwa Dewi Brahmaniyari akan dinikahkan dengan Batara Rasikadi. Di lain pihak, Batara
Sukadi dan Batara Reksakadi juga mendapatkan hadiah pengganti atas jasa-jasa mereka, yaitu
masing-masing diangkat sebagai raja bawahan di negeri Citrahoya dan Wameswara. Sesuai
janjinya di awal tadi, lamaran Prabu Jambuwana pun diterima pula. Raja raksasa itu diizinkan
menikahi adik Dewi Brahmaniyari yang bernama Dewi Brahmaniyoni.

Maka, dilangsungkanlah upacara pernikahan di Kerajaan Gilingaya terhadap kedua pasangan


tersebut, yaitu Batara Rasikadi dengan Dewi Brahmaniyari, serta Prabu Jambuwana dengan
Dewi Brahmaniyoni.

PRABU JAMBUWANA MENYERANG KERAJAAN MEDANG KAMULAN

Prabu Jambuwana kemudian memboyong Dewi Brahamaniyoni untuk tinggal di Kerajaan


Prajantaka. Pada suatu hari Dewi Brahmaniyoni bercerita tentang riwayat ayahnya, bahwa Sri
Maharaja Budawaka adalah penjelmaan Batara Brahma yang pada mulanya menjadi
penguasa di Kerajaan Medang Siwanda menggantikan Sri Maharaja Balya. Kemudian pada
suatu hari Sri Maharaja Budawaka dikalahkan oleh raja Kerajaan Medang Kamulan sehingga
terusir meninggalkan Medang Siwanda. Sri Maharaja Budawaka kemudian membangun
Kerajaan Gilingaya dan menjadi raja di sana sampai saat ini.

Prabu Jambuwana selaku menantu merasa berkewajiban untuk membalaskan kekalahan Sri
Maharaja Budawaka. Ia pun memimpin pasukan raksasa Kerajaan Prajantaka berangkat
menyerang Kerajaan Medang Kamulan. Sesampainya di sana terjadilah pertempuran besar.
Melihat pasukan Medang Kamulan terdesak, Sri Maharaja Budakresna akhirnya turun sendiri
ke medan perang dan melepaskan senjata Cakra Sudarsana ke arah Prabu Jambuwana. Begitu
terkena senjata berbentuk cakram bergigi tajam tersebut, Prabu Jambuwana pun tewas dengan
tubuh terpotong menjadi dua.

SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENYERANG SRI MAHARAJA BUDAKRESNA

Setelah suaminya tewas, Dewi Brahmaniyoni kembali ke Kerajaan Gilingaya untuk mengadu
kepada sang ayah. Sri Maharaja Budawaka sangat terkejut bercampur marah. Ia pun
memutuskan untuk menyerang Kerajaan Medang Kamulan demi membalaskan kematian
menantunya, sekaligus membalaskan dendamnya atas kekalahan yang telah lalu.

Begitu tiba di Kerajaan Medang Kamulan, Sri Maharaja Budawaka langsung berhadapan
dengan Sri Maharaja Budakresna. Ia teringat bahwa raja Medang Kamulan yang dulu

Page | 113
mengalahkannya berwujud raksasa, bernama Sri Maharaja Birawa, namun kini yang
menghadapinya ternyata berwujud manusia bernama Sri Maharaja Budakresna. Rupanya
telah terjadi pergantian raja di Medang Kamulan, namun hal ini tidak dipedulikan Sri
Maharaja Budawaka. Ia yakin bahwa Sri Maharaja Budakresna adalah anggota keluarga Sri
Maharaja Birawa dan bisa menjadi sasaran pelampiasan balas dendamnya.

Maka, terjadilah pertarungan antara Sri Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja
Budakresna. Pertarungan itu memakan waktu selama beberapa hari, sedangkan mereka kalah
dan menang silih berganti. Tidak jelas siapa yang lebih unggul di antara mereka berdua.
Sampai akhirnya datang seorang dewa turun dari kahyangan yang melerai perkelahian itu.

Dewa yang datang tersebut adalah Sanghyang Rudra, kakak Batara Guru lain ibu.
Kehadirannya adalah untuk menjelaskan bahwa pertarungan antara Sri Maharaja Budawaka
dan Sri Maharaja Budakresna sebaiknya tidak perlu dilanjutkan, karena masing-masing
adalah penjelmaan Batara Brahma dan Batara Wisnu. Mereka berdua adalah saudara kandung
sesama putra Batara Guru yang sejak dulu saling akrab namun kini tidak saling mengenali.

Sri Maharaja Budawaka sangat malu begitu mengetahui bahwa Sri Maharaja Budakresna
ternyata adiknya sendiri. Ia pun meminta maaf kepada Sri Maharaja Budakresna atas segala
kesalahannya. Di lain pihak, Sri Maharaja Budakresna juga merasa sangat malu tidak bisa
mengenali penjelmaan kakaknya. Maka, untuk membuang sial dan menghapuskan kenangan
buruk itu, Sri Maharaja Budakresna mengganti nama Kerajaan Medang Kamulan menjadi
Kerajaan Purwacarita.

Setelah dirasa cukup, Sanghyang Rudra pun pamit kembali ke Kahyangan Keling, sedangkan
Sri Maharaja Budawaka kembali ke Kerajaan Gilingaya.

BATARA RASIKADI MENJADI RAJA NEGERI GILINGAYA

Sri Maharaja Budawaka telah kembali ke Kerajaan Gilingaya, namun ia masih sangat malu
dan menyesali kebodohannya yang tidak bisa mengenali penjelmaan Batara Wisnu dalam
wujud Sri Maharaja Budakresna. Karena perasaan malunya yang teramat sangat itu, ia pun
tidak bersemangat lagi menjadi raja Gilingaya, dan memilih kembali ke wujud Batara
Brahma. Maka, setelah mewariskan takhta Kerajaan Gilingaya kepada sang menantu, yaitu
Batara Rasikadi, ia pun kembali ke tempat tinggalnya di Kahyangan Daksinageni.

Sepeninggal sang mertua, Batara Rasikadi dilantik menjadi raja Kerajaan Gilingaya yang
baru, dengan bergelar Prabu Brahmakadali. Adapun kedudukan sebagai menteri utama tetap
dijabat oleh Patih Suweda.

Sementara itu, melihat sang adik menjadi raja, Batara Sukadi dan Batara Reksakadi merasa
sakit hati. Mereka sangat malu dan keberatan hidup di bawah perintah Prabu Brahmakadali.
Keduanya lalu pergi tanpa pamit meninggalkan Kerajaan Gilingaya.

Batara Sukadi memilih pergi ke Kerajaan Purwacarita untuk mengabdi kepada Sri Maharaja
Budakresna, sedangkan Batara Reksakadi pergi berkelana ke Tanah Hindustan di mana ia
berhasil menaklukkan Kerajaan Kasipura dan menjadi raja di sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Page | 114
Geger Sejatining Sri

Kisah ini menceritakan terciptanya tujuh bidadari unggulan Kahyangan Suralaya, yaitu
Batari Supraba dan adik-adiknya, serta mengisahkan pertempuran antara Prabu
Brahmakadali melawan Sri Maharaja Budakresna yang disebabkan oleh kesalahpahaman.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 05 September 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

TERCIPTANYA TUJUH BIDADARI UNGGULAN

Di Kahyangan Suralaya, Batara Indra dihadap Batara Wrehaspati dan para jawata, sedang
membicarakan tentang sebuah permata indah bernama Mustika Mulat yang jatuh dari langit.
Atas petunjuk yang diterima dari Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka, permata
tersebut hendaknya dicipta menjadi tujuh bidadari unggulan, dengan melibatkan bantuan
keempat saudara lainnya.

Untuk itu, Batara Indra pun mengirimkan undangan kepada Batara Sambu, Batara Brahma,
Batara Bayu, dan Sri Maharaja Budakresna (Batara Wisnu) di tempat tinggal masing-masing.
Kini, keempatnya telah hadir di Kahyangan Suralaya. Batara Indra segera mengajak mereka

Page | 115
untuk mengheningkan cipta mengelilingi Mustika Mulat tersebut, sesuai petunjuk Batara
Guru.

Berkat puja samadi yang dilakukan kelima dewa, Mustika Mulat pun berubah wujud menjadi
tujuh orang bidadari yang sangat cantik jelita. Batara Indra kemudian memberi mereka nama
Batari Supraba, Batari Wilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang,
Batari Irimirim, dan Batari Tunjungbiru.

Batara Indra sangat senang dan mengangkat ketujuh bidadari itu sebagai anak. Mereka
bertujuh lalu diperintahkan mengelilingi taman Kahyangan Suralaya, dan setelah itu
melakukan tarian Bedaya di hadapan para jawata. Inilah awal mula Pulau Jawa mengenal
tarian Bedaya yang kelak akan banyak dimainkan di keraton-keraton.

BATARA SUKADI MENJADI PATIH SIPTAGATI

Setelah pertemuan di Kahyangan Suralaya usai, para dewa pun kembali ke tempat tinggal
masing-masing. Dalam perjalanan pulang tersebut, Sri Maharaja Budakresna melihat ada
sebongkah batu meteor meluncur jatuh dari luar angkasa. Batu meteor itu segera
ditangkapnya menggunakan kesaktian. Setelah diperiksa dengan seksama, ternyata batu
meteor itu mengandung logam yang bermutu tinggi. Dikarenakan bentuknya seperti bunga
padma, maka Sri Maharaja Budakresna pun memberinya nama Tosan Padma.

Sri Maharaja Budakresna lalu membawa pulang Tosan Padma ke Kerajaan Purwacarita dan
menyerahkannya kepada Batara Sukadi supaya ditempa menjadi senjata pusaka. Batara
Sukadi segera melaksanakan perintah tersebut dengan baik, dan akhirnya berhasil mengubah
Tosan Padma menjadi empat bilah keris pusaka.

Sri Maharaja Budakresna sangat berkenan melihat keempat keris pusaka tersebut. Ia lalu
memberikan anugerah kepada Batara Sukadi dengan mengangkatnya sebagai menteri utama
Kerajaan Purwacarita, bergelar Patih Siptagati.

PRABU BRAHMAKADALI MEMINTA SEJATINING SRI

Pada suatu hari Sri Maharaja Budakresna di Kerajaan Purwacarita menerima kedatangan
Patih Suweda dari Kerajaan Gilingaya. Patih Suweda datang untuk menyampaikan surat
Prabu Brahmakadali yang ingin meminta Sejatining Sri. Apabila Sri Maharaja Budakresna
mengizinkan, maka Prabu Brahmakadali akan datang secara pribadi ke Kerajaan Purwacarita.

Sri Maharaja Budakresna sangat murka membaca surat tersebut, karena dianggap sebagai
penghinaan baginya. Ia menuduh Prabu Brahmakadali berniat kurang ajar, karena meminta
Sejatining Sri berarti meminta permaisurinya. Hal ini dikarenakan para istri Batara Wisnu
(Sri Maharaja Budakresna) banyak yang memiliki nama depan Sri, antara lain Dewi
Srilaksmi, Dewi Srilaksmita, Dewi Sriyani, dan Dewi Sri Satyawarna.

Sri Maharaja Budakresna pun mengusir Patih Suweda agar kembali kepada rajanya dan
melapor bahwa permintaannya ditolak. Tidak hanya itu, ia juga memerintahkan Patih
Siptagati untuk memimpin pasukan menggempur Kerajaan Gilingaya.

Page | 116
PRABU BRAHMAKADALI GUGUR

Patih Suweda tiba di Kerajaan Gilingaya dan melaporkan kegagalannya kepada Prabu
Brahmakadali. Tidak lama kemudian, pasukan Purwacarita yang dipimpin Patih Siptagati
datang menyerbu. Patih Suweda segera keluar memimpin pasukan Gilingaya menghadapi
serangan tersebut. Pertempuran besar pun terjadi, di mana Patih Suweda akhirnya tewas di
tangan Patih Siptagati.

Prabu Brahmakadali maju memimpin langsung pasukan Gilingaya. Kali ini ganti pihak
Purwacarita yang terpukul mundur. Bahkan, Patih Siptagati gugur pula di tangan Prabu
Brahmakadali yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri itu.

Sri Maharaja Budakresna yang mendengar pasukannya terdesak mundur segera melesat
terbang dan mendarat di medan pertempuran. Ia lalu bertarung menghadapi Prabu
Brahmakadali dan melepaskan senjata Cakra Sudarsana. Begitu terkena pusaka berbentuk
cakram tersebut, Prabu Brahmakadali pun gugur seketika.

BRAHMANA DEWAHESA MENYADARKAN SRI MAHARAJA BUDAKRESNA

Batara Rudra (kakak tiri Batara Guru) di Kahyangan Keling merasa prihatin mendengar
berita pertempuran antara Kerajaan Purwacarita melawan Kerajaan Gilingaya. Jika dulu ia
pernah melerai pertempuran antara Sri Maharaja Budawaka dan Sri Maharaja Budakresna,
maka kini ia merasa perlu untuk datang kembali ke Pulau Jawa.

Batara Rudra mengubah wujud menjadi seorang brahmana, bergelar Brahmana Dewahesa
menuju Kerajaan Purwacarita. Ia menemui Sri Maharaja Budakresna dan mengatakan bahwa
pertempuran yang telah terjadi hanyalah karena kesalahpahaman belaka. Ia menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan Sejatining Sri bukanlah meminta permaisuri, tetapi Prabu
Brahmakadali ingin meminta kepada Sri Maharaja Budakresna supaya mengajarkan
Sejatining Ilmu Keraton.

Brahmana Dewahesa menyebut kedua pihak sama-sama keliru. Sri Maharaja Budakresna
dinyatakan bersalah karena terlalu menuruti amarah, sedangkan Prabu Brahmakadali juga
bersalah karena sebagai pihak yang lebih muda ia seharusnya berterus terang dan bukannya
main tebak-tebakan seperti itu.

Sri Maharaja Budakresna sangat malu dan menyesali kesalahannya yang terburu nafsu. Ia
lalu kembali ke wujud Batara Wisnu dan mohon pamit untuk pulang ke Kahyangan
Utarasegara, meninggalkan Kerajaan Purwacarita.

BRAHMANA DEWAHESA MENJADI RAJA GILINGAYA

Sepeninggal Batara Wisnu, Brahmana Dewahesa lalu pergi ke Kerajaan Gilingaya dan
memperbaiki negeri tersebut dari kerusakan. Bala tentara yang masih tersisa dan segenap
penduduk merasa sangat gembira seolah mendapatkan pemimpin baru. Mereka pun sepakat
meminta Brahmana Dewahesa untuk menjadi raja Gilingaya yang baru, bergelar Sri Maharaja
Dewahesa.

Sementara itu, Kerajaan Purwacarita yang ditinggal pergi oleh Batara Wisnu kini menjadi
kosong seperti kota mati. Hal itu dikarenakan tidak ada lagi raja yang bertakhta di sana.

Page | 117
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

Rembuculung Tigas

Kisah ini menceritakan Batara Indra mendapatkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba
sebagai pusaka Kahyangan Suralaya, serta bagaimana Batara Wisnu memenggal kepala
Ditya Kalarahu yang juga bernama Ditya Rembuculung.

Kisah ini merupakan mitos asal-usul terjadinya gerhana matahari dan rembulan yang
disusun dari sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa yang dipadukan dengan Serat
Pustakaraja Purwa (balungan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan beberapa
pengembangan seperlunya.

Kediri, 08 September 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Batara Indra

BATARA GURU MENGUNJUNGI KAHYANGAN SURALAYA

Pada suatu hari Batara Guru dan Batara Narada berkunjung ke Kahyangan Suralaya. Batara
Indra dan Batara Wrehaspati menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan Batara
Guru duduk di takhta Balai Marcukunda. Batara Guru sangat berkenan melihat hasil kerja
Batara Indra yang telah membangun Kahyangan Suralaya di Gunung Mahameru sebagai

Page | 118
cabang Kahyangan Jonggringsalaka di Gunung Kailasa. Mulai dari Balai Marcukunda, Balai
Marakata, Taman Nadisara, Repat Kepanasan, Kori Selamatangkep, Balai Paparyawarna,
Sumur Golang Galing, Wot Ogal Agil, sampai Gunung Jamurdipa dan Kawah
Candradimuka, semua dibuat sama persis dengan aslinya.

Demikianlah, jika di Kahyangan Jonggringsalaka Batara Guru berwenang mengangkat


manusia yang berbudi luhur menjadi dewa, maka di Kahyangan Suralaya pun Batara Indra
memiliki wewenang yang sama. Akan tetapi, Batara Indra mengaku tidak bisa memberikan
umur panjang kepada dewa yang telah ia angkat karena di Kahyangan Suralaya tidak terdapat
air kehidupan Tirtamarta Kamandanu.

Batara Guru menasihati Batara Indra supaya tidak berkecil hati, karena kedatangannya ini
justru untuk memberikan petunjuk bahwa Tirtamarta Kamandanu memiliki kembaran
bernama Tirtamarta Siwamba, yang bisa menjadi milik Kahyangan Suralaya. Jika dulu
Tirtamarta Kamandanu diperoleh sang leluhur Sanghyang Nurcahya melalui tapa brata di
Kutub Utara, maka Tirtamarta Siwamba bisa diperoleh jika para dewa bekerja sama dengan
para raksasa dan para naga mengangkat Gunung Mandaragiri di Laut Selatan.

BATARA INDRA MENGUNDANG PARA DEWA DAN NAGA

Setelah menerima petunjuk tersebut, Batara Indra segera mengutus Batara Wrehaspati untuk
berkeliling mengundang para dewa dan para naga di tempat masing-masing. Tidak lama
kemudian, para dewa itu pun berdatangan di Kahyangan Suralaya. Mereka adalah Batara
Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara Wungkuam, Batara Siwah,
Batara Kuwera, Batara Surya, Batara Candra, Batara Temburu, Batara Yamadipati, Batara
Kamajaya, Batara Mahadewa, Batara Cakra, Batara Asmara, Batara Ganapati, dan Batara
Penyarikan. Sementara itu, kaum naga yang hadir adalah Batara Anantaboga dan Batara
Basuki.

Kini tinggal urusan mengundang para rakasasa yang membuat Batara Indra merasa enggan.
Bagaimanapun juga para raksasa ada di bawah perintah Batara Kala, sedangkan Batara Kala
pernah berselisih dengan Kahyangan Suralaya pada saat menjelma sebagai Sri Maharaja
Birawa dulu.

Batara Guru selaku orang tua berusaha adil tidak memihak Batara Indra maupun Batara Kala.
Ia hanya mengingatkan bahwa Gunung Mandaragiri hanya bisa diangkat jika para dewa
bekerja sama dengan para raksasa dan para naga. Dengan demikian, Tirtamarta Siwamba bisa
diperoleh dan nantinya akan sangat berguna pada saat Batara Indra mengangkat dewa baru.
Barangsiapa meminum Tirtamarta Siwamba, maka khasiatnya sama dengan meminum
Tirtamarta Kamandanu, yaitu memperoleh umur panjang dan awet muda sampai kelak hari
kiamat atau mahapralaya tiba.

Setelah memantapkan hati, Batara Indra akhirnya berangkat menuju Hutan Krendawana
untuk mengundang Batara Kala dan para raksasa. Batara Wrehaspati dan beberapa dewa
lainnya ikut pergi mengawalnya.

BATARA INDRA DISERANG MURID-MURID BATARA KALA

Batara Kala masih menjalani masa pembuangan di Hutan Krendawana sebagai hukuman atas
kekalahannya saat menjadi Sri Maharaja Birawa dulu. Di situ ia dihadap para murid yang

Page | 119
terdiri dari kaum raksasa. Adapun pemimpin para raksasa itu bernama Ditya Kalarahu
bersama anaknya, yang bernama Ditya Jantaka. Dalam pertemuan itu Batara Kala
mengumumkan bahwa Ditya Kalarahu telah menamatkan semua pelajaran darinya, dan
berhak menerima murid sendiri untuk ikut menyebarkan Agama Kala. Maka, Batara Kala pun
mengangkat Ditya Kalarahu sebagai pendeta bergelar Resi Rembuculung, sedangkan Ditya
Jantaka ditunjuk sebagai pembantunya, bergelar Putut Jantaka.

Tidak lama kemudian ada seorang murid datang melapor bahwa Batara Indra sedang dalam
perjalanan menuju Hutan Krendawana dengan dikawal para dewa. Batara Kala marah
mengira kakaknya itu berniat menyerangnya untuk melanjutkan permusuhan dulu. Maka, ia
pun memerintahkan Resi Rembuculung dan Putut Jantaka untuk menghadang serangan
tersebut.

Resi Rembuculung dan Putut Jantaka segera memimpin para raksasa untuk bersama-sama
menyerang rombongan Batara Indra. Menghadapi serangan mendadak itu, Batara Indra dan
rombongan terpaksa membela diri. Maka, terjadilah pertempuran ramai di tepi Hutan
Krendawana tersebut.

PARA RAKSASA MENERIMA UNDANGAN KE KAHYANGAN SURALAYA

Setelah bertempur cukup lama, Resi Rembuculung dan pasukannya mulai terdesak mundur.
Mengetahui hal ini, Batara Kala segera terjun langsung menghadapi Batara Indra.
Pertarungan sengit pun terjadi di antara mereka, karena masing-masing masih menyimpan
dendam lama. Batara Indra sampai lupa bahwa tujuan kedatangannya adalah untuk
mengundang para raksasa, bukan untuk berperang.

Tiba-tiba Batara Wisnu datang menyusul dan segera melerai kedua saudaranya yang sedang
bertarung itu. Melihat kedatangannya, Batara Kala justru semakin marah karena teringat
beberapa kali Batara Wisnu pernah mengalahkan dirinya, antara lain sebagai Ki Dalang
Kandabuwana, Jaka Wamana, dan Brahmana Kestu. Namun, Batara Wisnu berusaha
menyabarkannya dan mengatakan bahwa itu semua ia lakukan sama sekali bukan demi
kepentingan pribadi, tetapi demi memelihara ketertiban Pulau Jawa.

Setelah suasana lebih tenang, Batara Wisnu pun menjelaskan bahwa kedatangan Batara Indra
ke Hutan Krendawana bukan untuk menantang perang, tetapi untuk mengundang Batara Kala
dan para raksasa supaya membantu para dewa mengangkat Gunung Mandaragiri di Laut
Selatan dan mengeluarkan air kehidupan Tirtamarta Siwamba dari dalamnya.

Batara Kala bersedia memenuhi undangan tersebut asalkan dua syaratnya dikabulkan, yaitu ia
dibebaskan dari hukuman pembuangan, serta murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut
meminum Tirtamarta Siwamba. Batara Indra selaku pemimpin Kahyangan Suralaya
menyatakan setuju mengabulkan kedua syarat tersebut. Ia berjanji akan meminumkan
Tirtamarta Siwamba kepada siapa saja yang berhasil mencapai kesempurnaan dan berbudi
luhur, tak peduli apakah mereka penganut Agama Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu,
ataupun Kala, semua mendapatkan hak yang sama.

Mendengar janji tersebut, Batara Kala merasa lega. Ia pun mengajak Resi Rembuculung dan
para raksasa lainnya untuk menyertai Batara Indra dan Batara Wisnu menuju ke Kahyangan
Suralaya.

Page | 120
PARA DEWA MENDAPATKAN TIRTAMARTA SIWAMBA

Setelah para dewa dan raksasa berkumpul di Kahyangan Suralaya, maka pekerjaan mencari
Tirtamarta Siwamba pun dimulai. Bersama-sama mereka berangkat menuju ke Laut Selatan,
sampai akhirnya menemukan sebuah pulau di mana Gunung Mandaragiri berada.

Batara Guru memberikan petunjuk, bahwa Tirtamarta Siwamba hanya bisa diperoleh dengan
cara mengangkat Gunung Mandaragiri, tetapi harus dengan cara memutarnya perlahan-lahan.
Apabila gunung tersebut diangkat secara langsung justru air kehidupan akan musnah dan
gagal diperoleh.

Untuk itu, Batara Anantaboga dan Batara Basuki pun mengubah wujud mereka menjadi naga.
Karena Gunung Mandaragiri sangat besar, maka kedua naga itu harus menyambung tubuh
mereka supaya bisa membelit dan mengelilingi gunung tersebut secara sempurna.
Selanjutnya, para dewa dan para raksasa berjajar-jajar menjadikan tubuh kedua naga itu
sebagai pegangan, lalu mereka bersama-sama bergerak memutar Gunung Mandaragiri secara
perlahan-lahan (pada zaman sekarang seperti membuka baut, di mana kedua naga yang
membelit gunung berfungsi sebagai kunci ring).

Sedikit demi sedikit, Gunung Mandaragiri pun terangkat dan di bawahnya terlihat sebuah
lubang yang bersinar terang. Batara Guru dan Batara Narada mendatangi lubang tersebut dan
ternyata sebuah sumur alami berisi air jernih, yaitu Tirtamarta Siwamba yang dicari-cari.
Batara Guru segera mengeluarkan cupu pusaka buatan Batara Ramayadi yang meniru khasiat
Cupumanik Astagina warisan Sanghyang Nurcahya. Dengan menggunakan cupu pusaka
tersebut sebagai wadah, maka Tirtamarta Siwamba dalam sumur alami itu dapat ditampung
semuanya.

Setelah Batara Guru memberi aba-aba, para dewa dan raksasa kembali memutar Gunung
Mandaragiri untuk meletakkannya di tempat semula.

Batara Guru menyerahkan cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba itu kepada Batara Indra
supaya dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, ia dan Batara Narada pun
berpamitan untuk kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.

RESI REMBUCULUNG MENCURI TIRTAMARTA SIWAMBA

Batara Kala kemudian menagih janji Batara Indra bahwa dirinya dibebaskan dari hukuman
buang dan murid-muridnya juga diberi hak untuk ikut meminum Tirtamarta Siwamba. Batara
Indra mengabulkan permintaan pertama, bahwa mulai saat ini Batara Kala boleh
meninggalkan Hutan Krendawana dan kembali hidup di Pulau Nusakambangan. Mengenai
permintaan kedua akan dikabulkan jika ada raksasa berbudi luhur yang mencapai
kesempurnaan hidup, tentu dapat diangkat menjadi dewa dan boleh meminum Tirtamarta
Siwamba.

Batara Kala memegang janji tersebut dan ia pun pamit untuk pulang ke Pulau
Nusakambangan. Ia berencana membangun tempat tinggal di sana yang diberi nama
Kahyangan Selamangumpeng. Mengenai Hutan Krendawana untuk selanjutnya diserahkan
kepada Resi Rembuculung dan Putut Jantaka supaya menjadi tempat mereka mengajarkan
Agama Kala.

Page | 121
Batara Indra dan para dewa lalu kembali ke Kahyangan Suralaya, sedangkan Resi
Rembuculung dan para raksasa kembali ke Hutan Krendawana. Di tengah jalan Resi
Rembuculung tiba-tiba ingin mencuri Tirtamarta Siwamba karena ia berpikir jangan-jangan
Batara Indra kelak akan mengingkari janji. Maka, berangkatlah ia seorang diri menuju
Kahyangan Suralaya untuk melaksanakan niat tersebut.

Sementara itu, Batara Indra dan para dewa sedang mengadakan pesta syukuran atas
keberhasilan mereka mendapatkan Tirtamarta Siwamba. Memanfaatkan keadaan itu, Resi
Rembuculung dapat menyelinap masuk ke dalam ruang penyimpan pusaka dan berhasil
mencuri cupu pusaka berisi Tirtamarta Siwamba.

BATARA WISNU MEREBUT KEMBALI TIRTAMARTA SIWAMBA

Batara Wisnu yang waspada dapat mengetahui kalau Resi Rembuculung telah mencuri
Tirtamarta Siwamba. Diam-diam ia pun mengikuti raksasa itu kembali ke rombongannya.

Resi Rembuculung disambut Putut Jantaka dan para raksasa lainnya. Ketika Tirtamarta
Siwamba hendak dibagi-bagikan, tiba-tiba Batara Wisnu muncul dalam wujud seorang
wanita cantik bernama Dewi Malini. Kecantikannya membuat para raksasa itu mabuk
kepayang dan masing-masing ingin memilikinya. Mereka pun saling bertengkar dan
berkelahi sendiri. Pada saat itulah Dewi Malini merebut Tirtamarta Siwamba dan
membawanya kembali ke Kahyangan Suralaya dalam wujud Batara Wisnu.

Begitu Tirtamarta Siwamba telah lenyap, para raksasa baru menyadari kesalahan mereka.
Resi Rembuculung berniat mengejar Batara Wisnu, namun Putut Jantaka mencegahnya. Putut
Jantaka mengingatkan supaya sang ayah percaya kepada janji Batara Indra saja. Namun, Resi
Rembuculung tidak menghiraukan saran anaknya itu. Ia merasa ilmunya sudah sempurna dan
pantas mendapatkan Tirtamarta Siwamba saat ini juga. Setelah membulatkan tekad, ia pun
berangkat sendiri mengejar ke Kahyangan Suralaya.

BATARA WISNU MEMENGGAL KEPALA RESI REMBUCULUNG

Resi Rembuculung menyelinap ke dalam Kahyangan Suralaya dan melihat Batara Wisnu
menyerahkan Tirtamarta Siwamba kepada Batara Indra. Kebetulan hari itu Batara Indra
berniat meminumkan Tirtamarta Siwamba kepada para dewa baru yang belum pernah
meneguk Tirtamarta Kamandanu. Resi Rembuculung melihat para dewa baru itu sedang
berbaris di hadapan Batara Indra. Memanfaatkan acara tersebut, ia segera mengubah
wujudnya menjadi seorang dewa pula dan menyelinap masuk ke dalam barisan.

Batara Surya dan Batara Candra kebetulan memergoki Resi Rembuculung saat berubah
wujud dan menyusup ke dalam barisan. Mereka segera melaporkan hal itu kepada Batara
Wisnu. Maka, pada saat-saat genting di mana dewa jelmaan Resi Rembuculung sedang
mendapatkan giliran meneguk Tirtamarta Siwamba, pada saat itulah Batara Wisnu
melepaskan senjata Cakra Sudarsana yang secara tepat memenggal kepala raksasa itu.

Tirtamarta Siwamba yang sudah terlanjur diteguk oleh Resi Rembuculung membuat kepala
yang terpenggal itu tetap hidup dan melayang-layang di udara. Ia pun membuka mulutnya
lebar-lebar lalu menelan tubuh Batara Surya dan Batara Candra demi melampiaskan sakit
hatinya.

Page | 122
Batara Wisnu segera mengubah tubuh Resi Rembuculung yang tanpa kepala menjadi lesung
dan memerintahkan para bidadari untuk menabuhnya menggunakan alu. Begitu lesung
tersebut ditabuh, Resi Rembuculung merasa mual dan ia pun memuntahkan kembali Batara
Surya dan Batara Candra. Kepala tanpa badan itu kemudian melayang pergi dan mengancam
kelak akan datang lagi untuk membalas dendam dengan cara menciptakan gerhana matahari
ataupun bulan.

Batara Wisnu pun memberikan saran kepada Batara Indra untuk menyebarkan perintah
kepada masyarakat Pulau Jawa supaya menabuh lesung jika terjadi gerhana. Dengan cara
demikian, kepala Resi Rembuculung akan mengembalikan sinar matahari ataupun rembulan
yang ditutupinya. Batara Indra menerima saran tersebut dan segera menyampaikannya
kepada Sri Maharaja Dewahesa, yaitu satu-satunya raja yang saat itu bertakhta di Tanah
Jawa.

Batara Surya dan Batara Candra.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

kisah sebelumnya ; daftar isi ; kisah selanjutnya

Page | 123

Anda mungkin juga menyukai