Anda di halaman 1dari 32

BAB IV

PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang pembangunan


kota Semarang baik secara fisik maupun nonfisik dan
bagaimana posisi pedagang kaki lima (PKL) di tengah-tengah
hiruk pikuk pembangunan kota Semarang, khususnya
pembangunan infrastruktur kota yang diawali dari masa
kepemimpinan walikota Soekawi Soetarip hingga
kepemimpinan Soemarno HS. Sebelum dideskripsikan
bagaimana PKL berjuang mempertahankan hidup di tengah
kegiatan pembangunan yang dirancang pemerintah kota,
berikut dikemukakan sejarah perkembangan kota Semarang,
faktor geografi dan demografinya, serta kebijakan pemerintah
dalam hal industri, perdagangan dan jasa yang sedikit banyak
membawa pengaruh terhadap kebijakan pemerintah kota
dalam melakukan penataan PKL.

A. Semarang sebagai Kota Dagang dan Jasa

Kota Semarang merupakan kota pelabuhan penting di


pantai utara Jawa, selain Jakarta, Cirebon, Tegal, Jepara, dan
Surabaya. Semarang berperan penting, karena letak
geografisnya yang strategis, yakni berada di tengah-tengah
kepulauan Indonesia. Kota Semarang juga unik dan indah.
Semarang secara geografis terletak pada posisi 6º.50´- 7º.10´
Lintang Selatan dan garis 109º.35´- 110º.50´ Bujur Timur.
Menurut van Bemmelen, kira-kira 500 tahun yang lalu,
keadaan kota Semarang jauh berbeda dengan kondisi sekarang .
Di kala itu, garis pantai masih jauh menjorok ke dalam hingga
ke bukit Gajahmungkur, Mugas, Mrican, Gunungsawo
Simongan, dan bukit-bukit kecil lainnya. Dalam proses
175
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

berjalannya waktu, terjadilah pendangkalan dan endapan


lumpur, sehingga timbullah suatu dataran baru, yang di
kemudian hari dikenal kota bawah dan kota atas. Adanya kota
atas dan kota bawah inilah yang membuat Semarang menjadi
unik dan indah.
Ketika seseorang memasuki kota Semarang, akan terlihat
suatu pemandangan indah, suatu garis pantai dengan latar
belakang gedung-gedung dan bukit-bukit yang mengelilingi
kota, ditambah lagi jika udara cerah akan tampak pula dari
kejauhan gunung Ungaran, gunung Merbabu, bahkan pula
gunung Merapi dan Telomoyo jika seseorang berada di kota
atas.
Jika berkendaraan ke arah timur menuju Demak, dari
kejauhan akan tampak pula gunung Muria dan apabila
bersepeda ke arah barat menuju Mijen atau Kendal akan
tampak dari kejauhan gunung Sindoro. Keindahan kota
Semarang yang menakjubkan, maka tidak salah ketika kiranya
orang Belanda menyebutnya sebagai Venesia dari timur (Tio
t.th.:7). Rinkes menyebut kota Semarang sebagai “de oude stat”.
Pada zaman Hindu dahulu di daerah Gereja Blenduk sekarang
masih berupa lautan. Semarang memiliki sungai yang namanya
unik, yaitu sungai Kaligarang.
Van Bemmelen menjelaskan bahwa secara geologis, muara
sungai Kaligarang merupakan suatu pelabuhan alam bagi
daerah Semarang yang letaknya di belakang pulau terkenal
yaitu bukit Bergota dan Mugas. Realitasnya, pulau tersebut
merupakan pulau Tirang yang merupakan satu kesatuan pulau
di daerah perbukitan Bergota dan Mugas. Pada abad XV daerah
tersebut masih berupa jazirah. Mengapa pulau tersebut
dinamakan pulau Tirang? Menurut perkiraan Tio (t.th:7),
daerah tersebut merupakan rawa-rawa tempat bermuaranya
sungai-sungai di daerah itu, dan akibatnya lumpur-lumpur yang
terbawa mengendap, terjadilah beting-beting yang oleh para

176
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

nelayan disebut “Trang” atau “Tirangan” atau karena daerah


tersebut terdapat banyak tiram, yaitu sejenis spesies laut catrea
imbricata, sehingga pulau tersebut dinamakan pulau Tirang.
Pada tahun 1678, seorang Belanda, Cornelis Speelman
mencatat betapa ramainya pelabuhan Semarang, melebihi
pelabuhan Jepara yang terletak di sebelah timur Semarang.
Bahkan berabad-abad yang lalu hingga abad ke XVI, di pantai
utara Jawa terdapat beberapa pangkalan dagang penting yang
sering disinggahi kapal-kapal pedagang dari mancanegara. Salah
satu pelabuhan penting yang disinggahi adalah pelabuhan
Jepara. Namun seiring berjalannya waktu, banyak pedagang
dari Arab, Tiongkok dan India yang singgah di pelabuhan
Semarang, karena letaknya yang strategis, alami, indah, dan
datarannya subur.
Pendapatan pajak yang diperoleh dari Semarang pada tahun
1677 melebihi pendapatan serupa yang diperoleh dari
pelabuhan Jepara, sehingga penguasa Belanda pada tahun 1708
menginstruksikan semua pejabat penting dan catatan-catatan
yang berkaitan dengan perdagangan pada waktu itu untuk
dipindahkan ke Semarang. Dari catatan sejarah diketahui pula
bahwa pada zaman Mataram kuno kira-kira abad VIII,
Semarang sudah dikenal sebagai kota pelabuhan penting, yang
jika dilihat sekarang kira-kira terletak di sekitar pasar Bulu di
kaki bukit Bergota, yang terdiri dari beberapa bukit kecil,
seperti bukit Brintik (kini masih bisa dilihat di perbukitan di
belakang gereja Kathedral) dan bukit Mugas, yang sekarang
terdapat gedung PTP dan gedung Unisbank di belakang pom
bensin hingga ke daerah Telogobayem. Di sebelah selatan dan
barat Bergota terdapat bukit Candi dan Simongan, yakni daerah
sekitar Gedong Batu sekarang dan pada waktu itu banyak
pendatang dari daratan Tiongkok yang singgah dan bermukim
di sana.

177
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Para urban dan warga asli kota Semarang pasti akan


berusaha mencari tahu apa arti atau makna “Semarang”. Ada
beberapa versi mengenai asal mula nama Semarang.
Pertama, pada awal abad ke 16 pulau Tirang sudah dihuni
oleh banyak penduduk dan di sana ada sedikit pohon asem.
Konon, karena pohon asem atau asam itu jarang atau arang,
maka daerah yang ada pohon tersebut dinamakan Semarang.
Kedua, cikal bakal Semarang di pulau Tirang, diperkirakan
kawasan tersebut terlerak di bukit Bergota dan Mugas, tumbuh
beberapa pohon asem (asam+tirang = Semarang).
Ketiga, ada seorang kiai bernama Ki Pandan Arang, tinggal
di suatu tempat di tepi pantai dekat bukit Bergota yang subur,
pohonnya cukup banyak dan rindang. Di kemudian hari,
daerah itu disebut dengan Semarang.
Kedatangan Ki Pandan Arang di pulau Tirang ini,
disebutkan dalam Serat Kandaning Ringgit Purwo (SKRP)
naskah KBG nomor 7 sebagai berikut.
Sinigeg wau rumiyin
Kucapen pulo Tirang
Ki Pandan Arang kang nami
Kalanya duk tinuding
Dateng sunan Bonang iku
Kinen truko puniko
Ing Tirang Amper anenggih
Duk semana akatah telukanira
Dalam bahasa Indonesia, artinya adalah sebagai berikut.
Dipotong dahulu ceritera itu
Kisah pulau Tirang
Ki Pandan Arang namanya
Pada waktu ditunjuk
Oleh sunan Bonang
Disuruh membuak tanah itu

178
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

Yaitu di Tirang Amper


Pada waktu itu banyak orang
Yang takluk kepadanya.
Kota Semarang merupakan kota lama. Kota ini diperkirakan
sudah berdiri sejak zaman Hindia Belanda. Tio (t.th.:8-9)
dengan mengutip pandangan Amen Budiman, menyebutkan
bahwa Semarang lahir pada tahun 1398 tahun saka atau tahun
1476 masehi, yakni diawali dengan kedatangan seorang pemuda
di daerah Bergota yang pada waktu itu masih berupa jazirah
bernama Tirang. Pemuda yang di kemudian hari diketahui
bernama Ki Pandan Arang bertugas mengislamkan penduduk
yang bermukim di daerah Tirang. Dengan berjalannya waktu,
pengikut Ki Pandan Arang bertambah banyak hingga di daerah
Tirang makin banyak penduduk yang beragama Islam.
Ki Pandan Arang I yang nama lainnya adalah Ki
Pandanaran diangkat sebagai penguasa pertama kota Semarang.
Ki Pandan Arang meninggal pada tahun 1496, dimakamkan di
Karang Winara (sekarang namanya Bubakan) dan pada masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda makam tersebut
dipindahkan ke Mugas hingga sekarang. Keturunan Ki Pandan
Arang, yaitu Kiai Pandan Arang II atau Sunan Tembayat
ditunjuk oleh pemerintah kerajaan Demak sebagai Bupati
Semarang yang pertama pada tanggal 2 Mei 1547 dan
meresmikan Tirang Amper menjadi pusat kegiatan penyiaran
agama Islam. Pada tanggal 29 April 1978, sidang paripurna
DPRD kota Semarang menetapkan tanggal 2 Mei 1547 sebagai
hari jadi kota Semarang.
Dari legenda atau kisah di atas, diketahui bahwa pada
zaman dahulu di Semarang banyak tumbuh pohon asam atau
asem. Pohon ini banyak manfaatnya. Buah, daun maupun
batangnya, dapat digunakan untuk bumbu masak, obat, dan
keperluan rumah tangga lainnya. Pohon asem yang dahulu
banyak tumbuh di jalan-jalan di kota Semarang seperti jalan

179
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Pemuda, jalan Gajahmada, jalan Ahmad Yani, dan jalan MT.


Haryono, sekarang mulai berkurang jumlahnya. Karena
tuntutan pembangunan, jalan-jalan harus dilebarkan dan pohon
asem yang rindang tersebut diganti pohon lainnya, seperti
angsana yang tentu manfaatnya tidak sebanyak pohon asem,
kecuali hanya sebagai pelindung dari sinar matahari ketika
musim panas. Hampir di ruas jalan-jalan utama di kota
Semarang ditanami pohon angsana, padahal selain manfaatnya
kurang, pohon ini mudah patah ketika datang angin kencang.
Secara topografis, kota Semarang terdiri atas daerah
perbukitan, dataran rendah dan daerah pantai. Daerah pantai
65,22% wilayahnya adalah dataran dengan kemiringan 25%
dan 37,78% merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan
15-40%. Kondisi lereng tanah kota Semarang dibagi menjadi
empat jenis kelerengan.
Pertama,lereng I (0-2%) meliputi kecamatan Genuk,
Pedurungan, Gayamsari, Semarang Timur, Semarang Utara dan
Tugu, serta sebagian wilayah kecamatan Tembalang,
Banyumanik, dan Mijen.
Kedua, lereng II (2-5%), meliputi kecamatan Semarang
Barat, Semarang Selatan, Candisari, Gajahmungkur,
Gunungpati, dan Ngaliyan.
Ketiga, lereng III (15-40%), meliputi area Kaligarang dan
kali Kreo (yang berada di kecamatan Gunungpati), sebagian
wilayah kecamatan Mijen (daerah Wonoplumbon), dan
sebagian wilayah kecamatan Banyumanik, serta kecamatan
Candisari.
Keempat, lereng IV (lebih dari 50%), meliputi sebagian
wilayah kecamatan Banyumanik sebelah tenggara dan sebagian
wilayah kecamatan Gunungpati, terutama di sekitar Kali
Garang dan Kali Kripik.

180
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

Kota bawah yang berupa pantai dan dataran rendah,


memiliki kemiringan antara 0% hingga 5%. Kota bawah yang
sebagian besar tanahnya terdiri atas pasir dan lempung, banyak
digunakan untuk jalan, pemukiman atau perumahan,
bangunan, halaman, kawasan industri, tambak, empang, dan
persawahan.
Lahan yang ada di kota Semarang digunakan untuk
kepentingan ekonomi maupun nonekonomi. Pola tata guna
lahan terdiri atas perumahan, tegalan, kebun campuran, sawah,
tambak, hutan, perusahaan, jasa, industri, dan lainnya, dengan
sebaran perumahan sebesar 33,70%, tegalan sebesar 15,77%,
kebun campuran 13,47%, sawah 12,96%, tambak 6,96%, hutan
3,69%, perusahaan 2,42%, jasa 1,52%, industri 1,26% dan
penggunaan lainnya yang meliputi jalan, sungai, dan tanah
kosong sebesar 8,25% (Bappeda dan BPS Kota Semarang 2010).
Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota
Semarang tahun 2000-2010, telah ditetapkan kawasan yang
berfungsi sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Kawasan lindung meliputi kawasan yang melindungi kawasan
di bawahnya, kawasan lindung setempat, dan kawasan rawan
bencana. Kawasan yang melindungi kawasan di bawahnya
adalah kawasan dengan kemiringan lebih dari 40%, yang
tersebar di wilayah bagian selatan; kawasan lindung setempat
adalah kawasan sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan
waduk, dan sempadan mata air; dan kawasan lindung rawan
bencana adalah kawasan yang mempunyai kerentanan bencana
longsor dan gerakan tanah.
Kawasan yang dikembangkan untuk kepentingan budidaya
meliputi rencana kawasan perdagangan dan jasa, rencana
kawasan pemukiman, perdagangan dan jasa, rencana kawasan
pendidikan, rencana kawasan pemerintahan dan perkantoran,
rencana kawasan industri, rencana kawasan olahraga, rencana
kawasan wisata atau rekreasi, rencana kawasan perumahan dan

181
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

pemukiman, rencana kawasan pemakaman umum, rencana


kawasan khusus (Bappeda dan BPS Kota Semarang 2010).
Untuk kepentingan penelitian ini akan dijelaskan rencana
kawasan perdagangan dan jasa, rencana kawasan pemukiman,
perdagangan dan jasa, dan rencana kawasan industri. Kawasan
perdagangan dan jasa merupakan kawasan yang didominasi
pemanfaatan ruangnya untuk kegiatan komersial perdagangan
dan jasa pelayanan. Pengembangan kawasan ini untuk
mendukung perwujudan kota Semarang sebagai sentra
perdagangan dan jasa dalam skala regional dan nasional.
Kawasan perdagangan dan jasa ditetapkan tersebar pada
setiap Bagian Wilayah Kota (BWK), terutama di pusat-pusat
BWK guna mengurangi tingkat kepadatan dan beban pelayanan
di pusat kota. Arahan pemanfaatan ruang kawasan perdagangan
dan jasa dapat dicermati pada tabel di bawah ini.
Tabel 7. Arahan Pemantapan Kawasan Perdagangan dan Jasa
No. Bentuk Fungsi Lokasi Pemantapan Fungsi
1 Kawasan Kegiatan Kawasan Rencana investasi
. perdagan perdaga- PETAWA- berskala besar dalam
gan dan ngan dan NGI bentuk Kawasan Niaga
jasa jasa modern dan Taman
modern dengan Rekreasi Kota.
standar Pengembangan kawasan
regional/ ini dilakukan tanpa
nasional/ menghilangkan kantong
interna- pemukiman yang telah
sional ada
2 Kawasan Kegiatan Kawasan Kegiatan perdagangan
. perdagan perdagan Pasar dan jasa dengan karakter
gan gan dan Johar, khusus yang berada di
khusus jasa Kawasan pusat kota, dengan tetap
dengan Pasar mempertahankan
karakter Agro keberadaannya karena
khusus merupakan ciri kota
Semarang
3 Perdagan Kegiatan Pusat- Pengembangan
. gan dan perdaga- pusat perdagangan dan jasa
jasa skala ngan dan BWK baru skala subkota
subkota jasa diarahkan untuk memacu
perkembangan daerah

182
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

No. Bentuk Fungsi Lokasi Pemantapan Fungsi


selatan, khususnya di
daerah Pedurungan,
Tembalang, Banyumanik,
Gunungpati, Mijen,
Ngaliyan, dan Tugu
4 Pasar Kegiatan Mijen dan Pasar formal ditingkatkan
. tradisional perdagan Gunungp kualitasnya, terutama
gan di ati dalam hal sarana pasar,
kawasan bidang pemasaran,
perkampu keuangan, serta
ngan peningkatan kapasitas
nonurban pasar dan renovasi pasar.
Pasar formal diharapkan
juga mampu menampung
dan berperan dalam
memecahkan
permasalahan pedagang
informal. Selain itu, juga
diharapkan mampu
menertibkan pasar-
pasar informal agar
menunjang pengisian
pasar-pasar formal yang
ada.
5 Pasar Kegiatan Pasar Pasar ini perlu dicarikan
. loak perdagan Barito dan lokasi yang legal dengan
gan Kokroson tetap mempertimbangkan
o kekhasan kegiatan yang
ada.
Sumber: Bappeda dan BPS Kota Semarang (2010).

Dari arahan pemantapan kawasan perdagangan dan jasa


sebagaimana terdapat dalam tabel di atas, tampak bahwa
perhatian pemerintah kota Semarang terhadap eksistensi,
pertumbuhan, dan perkembangan sektor informal masih
kurang. Kalau ada, masih terbatas pada penataan sektor
informal, khususnya pedagang kaki lima yang berada di sentra
PKL Barito dan Kokrosono, yang sehari-harinya menjual
barang-barang bekas, seperti onderdil mobil dan sepeda motor,
tape recorder, dongkrak, dan lain-lain, meskipun di beberapa
kios juga menjual barang-barang baru.

183
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Demikian pula, pasar-pasar krempyeng yang zaman dahulu


terkenal dengan tradisi bazaar ditertibkan agar bisa masuk
mengisi kios di pasar tradisional. Orientasi pemerintah kota
Semarang adalah mengintegrasikan pasar-pasar informal,
termasuk para pedagangnya ke dalam struktur pasar tradisional
yang sudah ada. Contoh yang paling riil adalah penertiban
pedagang pasar informal yang berdagang di sekitar pasar Bulu.
Mereka ditertibkan karena dianggap menimbulkan
kekumuhan dan kelancaran lalu lintas. Kini pasar Bulu sudah
bersih dari pedagang pasar informal. Pasar krempyeng yang
berada di belakang pasar Bulu juga ditertibkan. Para pedagang
diharapkan sebisa mungkin bergabung dengan para pedagang
yang sudah berjualan di pasar Bulu.
Perhatian kepada pedagang kaki lima (PKL) liar yang
jumlahnya dari waktu ke waktu makin meningkat, tampaknya
masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya rencana
kota dalam membuatkan sentra PKL sesuai dengan kekhasan
mereka, kecuali dibuatnya sentra PKL baru (itu pun bersifat
relokasi dan renovasi) di jalan Menteri Soepeno. Pemerintah
kota Semarang memang telah membuatkan tempat untuk
berdagang atau menjual jasa bagi para PKL, yaitu di Kokrosono
dan pasar Waru, hanya saja di dua lokasi ini tempatnya tidak
memadai bagi para pedagang. Selain kedua tempat ini kumuh
dan kotor, sentra PKL ini ibarat sungai, apa pun bisa
ditampung, padahal PKL memiliki karakteristik sendiri-sendiri,
yang tidak mungkin ditempatkan dalam satu wadah, seperti
halnya sampah yang dibuang ke sungai.
Selain mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa,
Pemerintah kota Semarang juga mengembangkan fungsi
rencana kawasan permukiman, perdagangan dan jasa secara
komprehensif, sebagai berikut.
Pertama,pengembangan fungsi rencana kawasan
permukiman, perdagangan dan jasa dilakukan di kawasan pusat

184
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

kota (Central Bussiness Distric/CBD) Peterongan-Tawang-


Siliwangi atau PETAWANGI.
Kedua, pengembangan jenis kegiatan di kawasan
PETAWANGI ditujukan untuk mendukung terwujudnya
kawasan PETAWANGI sebagai kawasan perdagangan dan jasa
skala pelayanan regional, nasional, dan internasional.
Ketiga, pengembangan kawasan permukiman, perdagangan,
dan jasa di kawasan PETAWANGI dilaksanakan dengan tetap
mempertahankan Kampung Heritage sebagai kawasan
permukiman dan pariwisata.
Keempat, pengembangan kegiatan permukiman di kawasan
ini dilakukan secara vertikal dengan pola rumah susun,
apartemen, atau kondominium.
Sejalan dengan cita-cita menjadikan Semarang sebagai kota
perdagangan dan jasa, pemerintah kota juga mengembangkan
kawasan industri. Kawasan industri ini merupakan kawasan
yang didominasi pemanfaatan ruangnya untuk kegiatan-
kegiatan di bidang industri, seperti pabrik dan pergudangan.
Meskipun demikian, sesuai dengan RTRW kota Semarang
2010-2030, pengembangan kawasan industri dibatasi agar visi
kota Semarang yang lebih mengembangkan sektor tersier, yaitu
perdagangan dan jasa dapat terwujud.
Kawasan industri di Semarang dibagi dalam enam kawasan,
yaitu kawasan industri Genuk, kawasan industri Tugu, kawasan
industri Candi, kawasan industri dan pergudangan Tanjung
Emas, kawasan industri Mijen, dan kawasan industri
Pedurungan. Kawasan industri ini dilakukan secara terpadu
dengan lingkungan sekitarnya, dengan memperhatikan radius
atau jarak dan tingkat pencemaran yang dapat ditimbulkan
serta upaya pencegahan pencemaran terhadap kawasan di
sekitarnya.

185
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Dari waktu ke waktu, penduduk kota Semarang bertambah.


Tahun 2009 sudah mencapai angka 1.506.924 orang dengan
tingkat pertumbuhan 1,71%. Kota dengan penduduk satu juta
lebih, seperti kota Semarang, dikategorikan sebagai kota besar
(Sisk 2002:54). Data perkembangan penduduk kota Semarang
dari tahun 2005 hingga tahun 2009 dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Tabel 8. Jumlah Penduduk Kota Semarang Tahun 2005-2009
No. Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan
Laki-laki Perempuan Jumlah (%)
1. 2005 705.627 713.851 1.419.478 1,45
2. 2006 711.755 722.270 1.434.025 1,06
3. 2007 722.026 732.568 1.454.594 1,43
4. 2008 735.457 746.183 1.481.640 1,86
5. 2009 748.515 758.409 1.506.924 1,71
Sumber: Bappeda dan BPS Kota Semarang (2010).

Peningkatan jumlah penduduk kota Semarang tersebut


dipengaruhi oleh jumlah kelahiran, kematian, dan migrasi.
Pada tahun 2009, penduduk yang lahir sebanyak 25.262 orang,
penduduk yang meninggal 10.373 orang, penduduk yang
pindah atau keluar 34.172, dan penduduk yang datang atau
masuk ke kota Semarang sebanyak 38.518 orang. Data
selengkapnya mengenai perkembangan penduduk kota
Semarang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 9. Perkembangan Penduduk Kota Semarang tahun 2005-2009
No. Tahun Penduduk (jiwa)
Lahir Mati Datang Pindah
1. 2005 19.504 8.172 38.910 29.107
2. 2006 21.445 9.023 42.714 32.557
3. 2007 22.838 10.018 43.151 35.180
4. 2008 24.472 10.018 44.187 37.128
5. 2009 25.262 10.373 35.518 34.172
Sumber: Bappeda dan BPS Kota Semarang (2010:26)

Dari data statistik penduduk di atas, terlihat bahwa dari


kategori penduduk yang lahir, mati, datang, dan pindah, yang
paling banyak adalah penduduk yang datang atau bermigrasi ke
kota Semarang; sedangkan yang paling sedikit adalah yang
meninggal dunia atau mati. Banyaknya penduduk yang datang

186
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

ke kota Semarang dapat dipahami, karena Semarang sebagai


ibukota Jawa Tengah, yang juga merupakan kota perdagangan
dan jasa, menjanjikan “gula-gula” berupa pekerjaan yang
bervariasi yang dapat dimasuki oleh para pendatang.
Sebagaimana analisis yang dibuat oleh BPS kota Semarang
(2009), daya tarik kota Semarang bagi pendatang di antaranya
karena kota Semarang merupakan kota perdagangan, jasa,
industri, dan pendidikan. Kebanyakan para urban ini datang
dari kota-kota di sekitar provinsi Jawa Tengah, yang dahulunya
mengambil kuliah di perguruan tinggi yang ada di kota
Semarang yang kemudian tidak kembali ke kota asalnya atau
para warga desa dari kota-kota di Jawa Tengah yang ingin
mengubah nasib atau mungkin sebagian karena habis masa
tanam, lalu mengisi waktu luang dengan bekerja sebagai
pedagang bakso dan mie ayam di kota Semarang.
PDRB kota Semarang (berdasarkan harga yang berlaku)
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, yakni berturut-turut dari tahun 2005, 2006, 2007,
2008, dan 2009 adalah Rp23.208.224.000.000,00;
Rp26.624.244.000.000,00; Rp30.515.737.000.000,00;
Rp34.540.949.000.000,00; dan Rp38.459.815.000.000,00 (BPS
2009).
Dari angka PDRB kota Semarang tersebut, sumbangan
sektor perdagangan, jasa dan perhotelan paling besar, yaitu
Rp10.884.995.000.000,00 pada tahun 2009 atau 28,30%; disusul
industri pengolahan sebesar Rp9.483.637.000.000,00 atau
24,66% dan sektor bangunan sebesar Rp7.453.706.000.000,00
atau 19,38%. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi
masyarakat kota Semarang didominasi oleh sektor perdagangan,
jasa, dan perhotelan; sektor industri pengolahan, dan sektor
bangunan. Tidak salah kiranya ketika pemerintah memiliki visi
menjadikan kota Semarang sebagai pusat perdagangan dan jasa.

187
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Seiring dengan PDRB kota Semarang, laju pertumbuhan


ekonomi kota Semarang mengalami peningkatan sejak tahun
2005 hingga 2008, hanya saja pada tahun 2009 mengalami
penurunan. Angka-angka pertumbuhan ekonomi kota
Semarang dari tahun 2005 hingga 2009 berturut-turut adalah
5,14%, 5,71%, 5,98%, 6,03% dan 5,47%. Penurunan laju
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 dapat dipahami,
karena pada tahun tersebut banyak peristiwa yang
memengaruhi kinerja ekonomi kota Semarang, di antaranya
adanya krisis finansial global pada tahun 2008 akhir yang
membawa dampak pada kinerja ekonomi tahun 2009, dan juga
adanya kebijakan pemerintah pusat menaikkan tarif dasar
listrik (TDL) dan bahan bakar minyak (BBM).
Berkaitan dengan masalah peningkatan kesejahteraan
masyarakat kota Semarang, terdapat data menarik tentang
kemiskinan penduduk. Meskipun kota Semarang terkenal
sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah dan pusat perdagangan
dan jasa, bukan berarti tidak mengidap penyakit kronis yang
disebut kemiskinan. Meskipun banyak program pengentasan
kemiskinan yang digulirkan pemerintah, kemiskinan di kota
Semarang dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, hanya
tahun 2009 saja yang turun angkanya. Data kemiskinan
penduduk Semarang dari tahun 2005 hingga 2009 selengkapnya
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 10. Rasio Penduduk Miskin terhadap Jumlah Penduduk Kota
Semarang
Uraian Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
Penduduk 94.246 246.448 306.700 491.747 398.009
Miskin
Jumlah 1.419.478 1.434.025 1.454.594 1.481.640 1.506.924
Penduduk
Rasio 6,64% 17,19% 21,08% 33,19% 26,41%
Sumber: Bappeda dan BPS Kota Semarang (2010).

Kota Semarang memiliki luas wilayah 373,70 km². Secara


administratif, kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan dan

188
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

177 kelurahan (BPS 2009:1). Dari 16 kecamatan tersebut,


terdapat 2 kecamatan yang mempunyai wilayah terluas, yaitu
kecamatan Mijen dan kecamatan Gunungpati. Mijen memiliki
luas 57,55 km², sedangkan Gunungpati mempunyai luas 54,11
km². Kedua kecamatan tersebut terletak di bagian selatan yang
merupakan daerah perbukitan, sebagian besar wilayahnya
masih memiliki potensi pertanian dan perkebunan. Kedua
kecamatan ini, terutama Gunungpati terkenal sebagai tempat
penghasil buah durian berkualitas. Jika musim durian tiba,
banyak warga kota bawah berbondong-bondong datang ke
Gunungpati untuk mencicipi nikmatnya buah durian.
Kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah
kecamatan Semarang Selatan, dengan luas 5,93 km², diikuti
kecamatan Semarang Tengah dengan luas 6,14 km². Kota
Semarang secara administratif berbatasan dengan kabupaten
Kendal di sebelah barat, di sebelah timur berbatasan dengan
kabupaten Demak, di sebelah selatan berbatasan dengan
kabupaten Semarang, dan di sebelah utara dibatasi oleh laut
Jawa dengan garis pantai sepanjang 13,6 kilometer.
Kota Semarang mempunyai posisi geostrategi yang bagus,
karena berada pada jalur lalu lintas ekonomi pulau Jawa dan
merupakan koridor pembangunan Jawa Tengah, yang terdiri
dari empat simpul utama pintu gerbang, yaitu koridor pantai
utara, koridor selatan ke arah kota-kota dinamis, seperti
Magelang dan Surakarta yang dikenal dengan koridor Merapi-
Merbabu, koridor timur ke arah Demak dan Grobogan, dan
koridor barat menuju kabupaten Kendal.
Dalam perkembangannya, kota Semarang berkembang
menjadi kota yang memfokuskan pada perdagangan dan jasa.
Berdasarkan lokasinya, kawasan perdagangan dan jasa di kota
Semarang menyebar dan pada umumnya berada di sepanjang
jalan utama. Kawasan perdagangan modern, terutama terdapat
di kawasan Simpanglima, yang merupakan urat nadi

189
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

perekonomian kota Semarang. Di kawasan tersebut, terdapat


tiga pusat perbelanjaan modern, yaitu Matahari, Living Plaza
(eks Ramayana) dan Mall Ciputra, serta pedagang kaki lima
yang berada di bibir bundaran Simpang hingga ujung jalan
Pandanaran, jalan Pahlawan (tahun 2010 dipindahkan ke jalan
Menteri Soepeno dan sebagian dipindahkan kembali ke sekitar
bundaran Simpang Lima), jalan Gajahmada, jalan Ahmad
Dahlan menuju rumah sakit Telogorejo, dan jalan Ahmad Yani.
Selain itu, kawasan perdagangan dan jasa juga terdapat di
sepanjang jalan Pandanaran yang terkenal sebagai pusat jajan
dan oleh-oleh khas Semarang.
Kawasan perdagangan dan jasa lainnya terdapat di
sepanjang jalan Gajahmada, yang dikenal dengan pusat kuliner;
sepanjang jalan Pemuda dengan DP Mall, Paragon City, dan
Pasaraya Sri Ratu sebagai pusat perbelanjaannya; sepanjang
jalan MT Haryono yang dipenuhi toko-toko besar elektronik,
mebel, mobil, sepeda motor, dan lain-lain hingga ke arah
selatan terdapat pusat perbelanjaan Java Supermall.
Di jalan Pahlawan ke arah selatan terdapat bank-bank
nasional dan kantor pemerintah, termasuk di antaranya kantor
Gubernur Jawa Tengah, tempat berkantornya anggota DPRD
provinsi Jawa Tengah, kantor Kejaksaan Tinggi, dan Kepolisian
Daerah Jawa Tengah.
Pusat perdagangan dan jasa juga terdapat di pasar-pasar
tradisional, seperti pasar Johar, pasar Bulu, pasar Peterongan,
dan pasar Kobong. Pusat perdagangan dan jasa juga meluber
hingga ke pinggir kota, seperti Banyumanik dan Ngaliyan.
Kedua kecamatan ini sudah berkembang menjadi pusat
perekonomian baru di luar sentrum ekonomi di kota bawah
yang berada di Simpanglima dan sekitarnya.

190
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

B. Kondisi PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono


sebelum digusur

Penelitian ini mengambil lokasi PKL di kota Semarang,


khususnya di daerah Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono,
mengingat kota Semarang sebagai kota metropolitan telah
berkembang pesat ditandai dengan berdirinya bangunan-
bangunan (mall, hotel, pasaraya) proyek neoliberal.
Perkembangan Semarang tidak hanya ditandai oleh bangunan-
bangunan proyek neoliberal tersebut, tetapi juga ditunjukkan
oleh pesatnya bisnis properti, dikarenakan secara geografis kota
Semarang memiliki keindahan tiada duanya dibandingkan
kota-kota lain di Jawa Tengah, yaitu kota pegunungan yang
tidak bergunung.
Di Semarang, sudah banyak dikembangkan bisnis properti
baik berupa ruko, villa, maupun perumahan. Perumahan yang
telah dikembangkan, di antaranya Syailendra Residence, Graha
Candi Golf, Permata Batursari Plamongan Indah, Pandanaran
Hills, The Fountain Residence, Graha Pesona Jatisari, Bukit
Graha Bhakti Asri, Pudak Payung Sejati, dan puluhan
perumahan lainnya.
Secara geografi, Semarang sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, dibagi dalam dua area, yaitu kota bawah, dan kota
atas. Kota bawah sering dilanda banjir atau rob, dan kota atas,
yang kalau malam hari pemandangannya sangat indah. Kota
bawah, secara geografis, tanahnya terdiri atas pasir dan
lempung, sehingga lahan lebih banyak dimanfaatkan untuk
jalan, pemukiman atau perumahan, bangunan, halaman,
kawasan industri, tambak, empang, dan persawahan (Perda
Kota Semarang Nomor 6 Tahun 2010).
Kota bawah merupakan pusat pemerintahan, perbankan,
perdagangan, perindustrian, pendidikan, kebudayaan, angkutan
atau transportasi, dan perikanan. Kota bawah juga merupakan

191
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

pusat bisnis pasar modern, sehingga tidak heran jika banyak


mall didirikan di kota bawah.
Kota atas dilihat struktur geologinya sebagian besar
lahannya terdiri dari batuan beku. Kota atas yang jauh dari
kemungkinan bencana banjir, banyak didirikan hotel dan
tempat penginapan meskipun jumlahnya tidak sebanyak hotel
yang ada di kota bawah. Namun kota atas kini menjadi idaman
bagi penduduk maupun pendatang yang ingin memiliki rumah
tempat tinggal. Bisnis properti dengan mendirikan perumahan
di kota bawah tidak menarik lagi, karena pemukiman yang
dibangun sudah terlalu padat, bising, dan sering dilanda
kemacetan. Dalam 20 tahun terakhir ini, bisnis tersebut
dialihkan ke kota atas dan daerah periferi, karena selain
pemandangannya bagus, juga jauh dari keramaian dan berhawa
sejuk.
Perkembangan kota Semarang ini memberikan daya tarik
tersendiri bagi masyarakat desa dari kota-kota lain di Jawa
Tengah. Daya tarik kota Semarang bagi warga masyarakat desa,
disebabkan oleh bukan hanya karena Semarang merupakan
ibukota Jawa Tengah, yang menyediakan berbagai fasilitas kota
modern yang tidak dimiliki oleh kota-kota atau desa-desa di
sekitar Semarang, tetapi juga menyediakan kemungkinan
lapangan kerja yang bervariasi yang dapat diakses oleh warga
desa atau warga kota pinggiran yang telah menjadi urban di
kota Semarang.
Dalam 20 tahun terakhir, selain telah berkembang bisnis
properti, di kota Semarang juga telah tumbuh bangunan-
bangunan hotel dan mall. Jika dahulu hanya ada beberapa
hotel, misalnya hotel Patrajasa, Graha Santika, Grand Candi,
Rinjani, Siranda (sekarang bangkrut), Rama (sudah bangkrut),
Santika, Telomoyo, Muria, Grasia, Jelita, Patimura, dan
beberapa hotel kecil lainnya, kini telah berdiri hotel bintang
tiga hingga lima, seperti Horison, Ciputra, Novotel, Gumaya,

192
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

Ibis, Pandanaran, Quest, Dafam, Witz, Semesta, Belle View,


dan yang lain.
Jumlah mall juga makin bertambah. Dahulu Semarang
memiliki Golden Mall (sudah bangkrut), Sri Ratu, Mickey
Mouse (sudah bangkrut), Plasa Simpang Lima, dan Ada Mall,
sekarang makin lengkap dengan kehadiran DP Mall, Java Super
Mall, Paragon City, dan beberapa bangunan pasar modern
lainnya yang berada di pinggiran kota. Selain itu juga
berkembang bangunan Indomart dan Alfamart di seluruh
pelosok kota Semarang. Hal ini menyebabkan Semarang makin
siap memasuki gerbang kota perdagangan dan jasa.
Perkembangan Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa
sudah berlangsung lama, terbukti dengan adanya sentra-sentra
perdagangan, seperti Gang Warung sebagai sentra perdagangan
kain atau tekstil, Pekojan sebagai sentra penjualan bahan
bangunan, Kauman sebagai sentra penjualan pakaian Islam,
seragam militer dan pramuka, Kranggan sebagai sentra
perdagangan emas, tekstil, dan batik, Gang Lombok sebagai
tempat penjualan makanan khas Semarang (Lunpia, Bolang-
baling, Kue Keranjang, dan lain-lain), Gajahmada sebagai
tempat pertokoan aneka barang dan makanan, Depok sebagai
tempat penjualan mebel, perlengkapan rumah tangga, dan pusat
jajan, Agus Salim sebagai kawasan pertokoan peralatan dan
mesin, Barito dan Kokrosono sebagai sentra penjualan barang-
barang bekas (onderdil motor, mobil, dan sepeda serta peralatan
kebutuhan sehari-hari), Kawasan Candi Baru sebagai tempat
pemukiman, perkantoran, dan pendidikan, Kawasan Simpang
Lima sebagai kawasan perdagangan dan hiburan, Pasar Dargo
sebagai sentra perdagangan beras, Tugu, Genuk, dan Candi
sebagai sentra industri kecil, Kawasan Bendan Ngisor dan
Nduwur sebagai sentra perguruan tinggi (AKPELNI, UNTAG,
AKFARMING, STIKUBANK, AKA (sudah bangkrut), IKIP
Veteran, dan Unika Soegijapranata). Masih banyak sentra
industri, perdagangan, dan jasa yang ada di kota Semarang.
193
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Dibandingkan kota-kota besar lainnya, kota Semarang


relatif aman, sehingga banyak investor yang tertarik
menanamkan sahamnya di kota Semarang, baik untuk
mengembangkan bisnis properti, perhotelan, pendidikan,
kuliner, maupun usaha lainnya.
Sebagai dampak dari berkembangnya sektor formal di kota
Semarang, utamanya bisnis properti dan perhotelan, maka
berkembang pesat juga usaha sektor informal. Sentra-sentra
perdagangan, industri, dan jasa (tekstil, makanan/kuliner,
pendidikan, dan yang lain) mendorong tumbuh
berkembangnya sektor informal, terutama pedagang kaki lima
(PKL) yang menjual makanan. Hampir semua tempat di kota
Semarang, siang maupun malam hari, bisa dijumpai para PKL
yang menjual makanan dan minuman. Pusat-pusat kuliner
besar yang biasa dikunjungi warga kota kelas menengah ke atas,
di antaranya Manggala Food Festival, Lombok Ijo, Super
Penyet, Gajahmada Pujasera atau disingkat Gapura, Bakul Desa
(kini telah bangkrut), Kedai Beringin, Marimas Restoran, Pusat
Seafood Cianjur, dan yang lainnya.
Jika para pemodal besar bisa mendirikan pusat-pusat
kuliner dengan membeli atau menyewa tempat untuk
memanjakan lidah warga kota, tidak demikian halnya dengan
kelompok pemodal kecil. Para pedagang kecil yang memiliki
kejelian dalam melihat peluang pasar, memanfaatkan emperan
toko atau pinggir jalan untuk berjualan. Pedagang kecil ini
menjalankan usaha kuliner dengan cara mereka sendiri,
meskipun kadang harus menempati tempat atau ruang publik.
Siang dan malam kota Semarang disemarakkan oleh kehadiran
pedagang mie ayam, bakso, seafood, sate ayam, nasi tempe
penyet, nasi goreng, nasi gimbal, dan lain-lain. Mereka
menempati tempat yang banyak dikunjungi orang, seperti dekat
mall, dekat pasar, dekat kampus, dan pusat keramaian lainnya.

194
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

Dalam sektor informal, selain makanan, berkembang pula


bisnis perdagangan bensin eceran, jasa tambal ban, jasa las
mobil dan motor, jasa sewa mobil angkutan, jasa menjahit
pakaian, jasa menggendong barang bawaan, sol sepatu,
pembuatan stempel, pembuatan nomor sepeda motor dan
mobil, jasa pengurusan STNK dan SIM, penjualan barang-
barang bekas, penjualan sayur keliling, dan berbagai jenis
sektor informal lainnya.
Usaha sektor informal di kota Semarang sangat bervariasi
dan pekerja sektor informal, khususnya PKL banyak
jumlahnya. Penelitian ini tidak dirancang untuk
digeneralisasikan pada populasi lainnya, oleh karenanya PKL
yang diteliti dibatasi pada tiga tempat atau lokasi, yaitu PKL
yang berlokasi di Sampangan, Basudewo, Kokrosono.
Tiga tempat tersebut berlokasi di dekat bantaran sungai
Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. PKL Sampangan menempati
area tepi sungai Kaligarang, berada pada jalur ramai lalu lintas.
Disebut PKL Sampangan karena mereka berdagang di wilayah
Sampangan, tepatnya di sebelah utara pasar Sampangan (lama).
Wilayah Sampangan sangat ramai dan padat manusia, baik
siang maupun malam hari. Selain pasar, juga terdapat Akademi
Perbankan GEGA atau Alfabank, Akademi Sekretaris Santa
Maria, Super Mall, Pom Bensin, dan sejumlah toko besar dan
kecil, baik ke arah utara Sampangan maupun ke arah selatan
Sampangan.
Wilayah Sampangan ini juga mudah diakses oleh para
mahasiswa di kawasan Bendan Ngisor dan Bendan Nduwur.
Demikian pula, para penghuni perumahan Kradenan Asri, Puri
Sartika, Trangkil Sejahtera, Bukit Sukorejo, dan warga
perumahan di wilayah Sekaran dan sekitarnya juga tidak
membutuhkan waktu lama untuk mengakses sentra jasa dan
perdagangan di Sampangan. Tidak mengherankan jika di
Sampangan ini, banyak berdiri usaha warung makanan, seperti

195
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

nasi goreng, gado-gado, nasi gandul, seafood, ayam dan bebek


goreng, nasi ayam penyet, dan lain-lain.
Para PKL yang dahulunya menempati lokasi tepi sungai
Kaligarang (tepatnya anak sungai Kaligarang), karena proyek
pembuatan waduk Jatibarang, sejak bulan April 2010, lokasi
yang mereka tempati diratakan oleh begu dan buldoser. Atas
dasar negosiasi antara paguyuban PKL dengan pihak proyek,
para PKL diizinkan sementara untuk menempati lahan di
sebelah selatan lokasi PKL Sampangan bersebelahan dengan
pasar Sampangan (lama).
Di sebelah utara lokasi PKL Sampangan (mestinya masih
termasuk daerah penggusuran), berdiri kokoh bangunan untuk
jasa makanan, penjahit, mebel, penjualan buah-buahan, dan
bengkel las. Jumlah pedagang kaki lima (PKL) Sampangan
sesungguhnya masih banyak. Bahkan jika ditelusuri hingga ke
arah utara menuju SD Petompon, terdapat PKL dan usaha
sektor informal lainnya, seperti penjual nasi, usaha bengkel
sepeda motor dan mobil, usaha bengkel las, usaha tambal ban,
penjual sticker sepeda motor dan mobil, serta tukang kunci.
Namun, karena yang berkaitan langsung dengan penggusuran,
berlokasi di tepi sungai Kaligarang, utamanya yang berada di
sekitar pasar Sampangan, maka yang dijadikan sebagai unit
analisis penelitian hanyalah mereka yang menempati lokasi
yang terkena penggusuran. Gambar di bawah ini adalah lokasi
PKL Sampangan yang digusur, yang diberi batas pagar bambu.

196
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

Sumber: Dokumen Pribadi


Gambar 12. PKL Sampangan menempati tepi sungai Kaligarang

Tidak berbeda dengan PKL Sampangan, PKL Basudewo juga


menempati tepi bantaran sungai Banjir Kanal Barat, yakni
memanjang dari jembatan Lemah Gempal ke arah utara hingga
jembatan Banjir Kanal Barat. Sebelum digusur pada bulan Juni
2010, jumlah PKL Basudewo kurang lebih 100 orang. Dikatakan
PKL Basudewo, karena mereka beraktivitas di sepanjang jalan
Basudewo.
Wilayah aktivitas PKL Basudewo yang masih digunakan
adalah dari ujung selatan, yaitu jembatan Lemah Gempal
hingga ke arah utara bagian tengah. Bagian tengah ke arah
utara hingga jembatan Banjir Kanal Barat kosong tidak ada PKL
karena sebagian sudah pindah ke sentra PKL Kokrosono.
Sebagian besar PKL bermatapencaharian sebagai pengrajin
mebel. Mebel yang dijual di antaranya kursi, meja, almari,
tempat tidur, tempat televisi, dan rak buku. Lainnya sebagai
penjual bambu, penjual bensin, penjual makanan warungan
(mie ayam, bakso, wedang tape, nasi), bengkel, pengepul
barang-barang bekas, jasa angkutan, warung rokok, dan
lainnya. PKL Basudewo menarik untuk diteliti, karena mereka

197
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

tidak luput dari kebijakan penataan PKL berkaitan dengan


proyek normalisasi sungai Banjir Kanal Barat, seperti halnya
normalisasi sungai Kaligarang yang meminggirkan PKL
Sampangan.
Jauh sebelum mengalami penggusuran pada tahun 2010,
PKL Basudewo bersama dengan PKL Kokrosono pernah
digusur. Bangunan permanen dan semipermanen diratakan
dengan tanah pada tahun 2009. Mereka yang mau direlokasi ke
Sentra PKL Kokrosono atau Sentra PKL Waru diberi dana tali
asih sebesar Rp 500.000,00. Sebanyak 35 orang pedagang atau
35% di antaranya bersedia menerima tali asih dari Pemkot,
sehingga dari jumlah 100 orang PKL, tinggal 65 orang yang
masih beraktivitas di Basudewo.
Berbeda dengan PKL Sampangan, PKL Basudewo memiliki
organisasi yang lebih rapi, apalagi ketua dan pembina kelompok
PKL tersebut memiliki relasi yang luas dengan Paguyuban
Pedagang Kaki Lima Kota Semarang (PPKLS), Lembaga
Bantuan Hukum (LBH), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM),
Organisasi Mahasiswa Ekstra Universiter, seperti GMNI,
KAMMI, dan lain-lain, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
seperti Pattiro, serta Kepolisian, dan DPRD. Terbentuknya
paguyuban PKL Sampangan juga atas inisiatif ketua PKL
Basudewo.

198
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 13. PKL Basudewo menempati area tepi sungai


Banjirkanal Barat sebelum digusur

Berbeda dengan PKL Sampangan dan Basudewo yang


memiliki organisasi atau paguyuban (meskipun tidak begitu
aktif), PKL Kokrosono (yang dikategorikan liar) tidak memiliki
organisasi. Hanya PKL Kokrosono yang terorganisasi saja, yakni
mereka yang berjualan di kios-kios yang disediakan
pemerintah, yaitu yang menempati gedung PKL Kokrosono
blok A hingga H, yang memiliki organisasi yang sudah mapan.
Jumlah PKL Kokrosono liar diperkirakan 100 hingga 120
orang, menempati tepi bantaran sungai Banjir Kanal Barat dari
pinggir jembatan Banjir Kanal Barat memanjang ke arah utara
hingga rel kereta api. Disebut PKL Kokrosono, karena mereka
beraktivitas di sepanjang jalan Kokrosono. Seperti halnya lokasi
PKL Sampangan yang padat manusia, area PKL Kokrosono juga
padat lalu lintas orang dan kendaraan bermotor, apalagi jalan
Kokrosono merupakan jalur menuju pantai Tanjung Mas. Jalan
Kokrosono juga merupakan jalur alternatif bagi masyarakat
menuju perumahan Tanah Mas yang juga padat penduduk. Area
PKL Kokrosono juga ramai, karena jalan Kokrosono

199
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

berpotongan dengan jalan utama pantai utara (pantura) menuju


Monumen Tugu Muda Semarang dan jalan Indraprasta. Di
pertigaan menuju Kokrosono juga terdapat Hotel Siliwangi dan
Bank Syariah. Hampir tiap hari, pertigaan Banjir Kanal Barat ini
selalu dilanda kemacetan, menunjukkan betapa padatnya lalu
lintas di sana.
Jenis perdagangan dan jasa yang ditekuni PKL Kokrosono
adalah perdagangan kaca mata, helm, kipas angin, tape
recorder, radio, kompor gas, peralatan pertanian (cangkul, sabit,
dan lain-lain), peralatan tukang (palu, pasah, drei, meteran, dan
cetok), barang-barang bekas (roda sepeda, gir, sedel, stang, dan
lain-lain), suku cadang motor (shock bekker, lampu, spion, dan
lain-lain), VCD dan DVD, dan penjual nasi. Selain itu, juga ada
bengkel motor dan sepeda, serta jasa reparasi kipas dan alat
elektronik lainnya.
Sebagian besar PKL menjual barang dagangan dengan cara
lesehan, beberapa diantaranya bertenda. Lainnya, ada yang
membawa mobil sebagai tempat untuk berdagang, yaitu penjual
peralatan rumah tangga, pertanian dan pertukangan. Di
samping mereka yang berdagang secara lesehan (disebut sebagai
PKL liar), di sebelah utara rel kereta api juga terdapat PKL
yang menempati sentra PKL Kokrosono. Mereka merupakan
PKL terorganisasi yang dahulunya berada di pinggir jalan dan
sejak penggusuran mereka menempati kios-kios yang
disediakan oleh Pemkot. Meskipun ada pembeli, namun lokasi
PKL Kokrosono terorganisasi ini tidak seramai lokasi PKL yang
menempati areal pinggir jalan di tepi sungai Banjir Kanal Barat.
Keengganan pembeli disebabkan oleh tidak adanya jembatan
yang menghubungkan gedung yang satu dengan gedung
lainnya.

200
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 14. PKL Kokrosono menempati wilayah tepi


sungai Banjir Kanal Barat

Sebagai perbandingan, di dekat sentra PKL Barito yang


menjual barang-barang klitikan, terdapat PKL Kartini. PKL
Kartini ini secara geografis berada di lokasi yang memiliki
tingkat keramaian lalu lintas setara dengan area yang dihuni
PKL Sampangan. Disebut PKL Kartini, karena mereka
menempati lokasi di jalan Kartini yang padat lalu lintas. Jalan
Kartini merupakan penghubung antara jalur dr. Cipto ke sentra
PKL Barito. Karena menghubungkan jalan protokol (dr. Cipto),
ke arah timur, maka lalu lintas jalan Kartini boleh dikata tidak
pernah sepi. Area yang ditempati PKL sesungguhnya
merupakan taman, tetapi karena pemerintah kota terkesan
membiarkan, sehingga mereka leluasa berdagang. Banyak juga
yang diminta untuk pindah ke pasar Waru, tetapi karena
lokasinya jauh dan sepi dari pembeli, maka mereka tetap
bertahan di jalan Kartini.
PKL yang bertahan hidup di jalan Kartini kurang lebih 110
pedagang dan penjual jasa, mulai dari penjual pakaian, penjual
VCD-DVD, penjual bunga, penjual peralatan pertanian dan

201
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

pertukangan, penjual nasi, penjual bakso, penjual es, penjual


pakan burung, hingga penjual hewan piaraan, seperti tupai,
kelelawar, kera, kelinci, ikan hias, dan burung. Pasar di jalan
Kartini dikenal sebagai pasar burung, karena banyaknya burung
yang dijual di sana.
Tidak seperti halnya PKL Sampangan, Basudewo, dan
Kokrosono, PKL Kartini tiap hari ditarik retribusi. PKL Kartini
pun memiliki organisasi yang cukup aktif, seperti halnya
organisasi PKL Sampangan dan Basudewo. Setelah sekian lama
diizinkan beraktivitas di Jalan Kartini, PKL Kartini akhirnya
juga mengalami nasib serupa dengan rekan-rekannya yang
berdagang di Sampangan dan Basudewo, yakni digusur dan
ditertibkan. Sebagai bagian dari penataan ruang kota Semarang,
pada bulan Oktober tahun 2011, Pemkot Semarang
menertibkan PKL Kartini, seperti halnya yang dilakukan
terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono.
Area PKL yang dahulu ramai dikunjungi pembeli, sekarang
tidak ramai lagi, karena bangunan dan lapak PKL telah
dibongkar oleh petugas Satpol PP kota Semarang. Mereka kini
pun mengalami nasib yang sama dengan PKL Sampangan,
Basudewo, dan Kokrosono. Seperti halnya PKL Kokrosono,
sebagian PKL Kartini, seperti penjual batu akik, penjual HP
bekas, dan penjual burung dengan beralaskan kain dan barang
seadanya, masih menjajakan barang dagangan di bekas lokasi
PKL yang telah rata dengan tanah.
Para PKL yang berdagang atau menjalankan usaha di tepi
bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, mulai dari
Sampangan hingga ke Kokrosono, tampaknya memang seperti
rerumputan liar yang tidak sedap dipandang mata di tengah-
tengah keindahan kota Semarang, tetapi rerumputan liar
tersebut sesungguhnya dapat ditata dengan rapi sepanjang ada
komitmen dari pihak pemerintah. Sayangnya pemerintah kota
Semarang hanya memprioritaskan penataan ruang publik di

202
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

dalam kota, utamanya di jalan-jalan protokol yang melintasi


pusat-pusat perkantoran, perbankan, dan bisnis-bisnis besar,
seperti jalan Pahlawan, jalan Pemuda, jalan dr. Sutomo, serta
jalan yang melingkari bundaran Simpang Lima dan Tugu Muda,
sehingga tamansari keindahan kota hanya dapat dinikmati di
sekitar pusat kota tersebut.
Daerah-daerah pinggiran, terutama yang terdapat aktivitas
PKL, kurang ada perhatian. Penataan tepi sungai Kaligarang
dan Banjir Kanal Barat, yang banyak digunakan oleh PKL
untuk menjalankan aktivitas ekonomi, memang telah
dilakukan, tetapi tidak untuk kepentingan PKL. Hal ini tampak
dari kebijakan Pemkot, dengan mengusir mereka ke luar dari
area tempat di mana mereka sehari-hari berdagang dan
menjalankan aktivitas ekonomi lainnya.
Penataan yang dilakukan Pemkot tersebut merupakan
rangkaian dari proyek pembangunan waduk Jatibarang dan
normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat yang
dibiayai oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi Jawa
Tengah, dan pemerintah Jepang ( proyek JICA). Penataan
tersebut sekaligus dimaksudkan sebagai upaya pemerintah kota
Semarang untuk mengakselerasi cita-cita menjadikan kota
Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa.

C. Rangkuman

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Semarang


memfokuskan diri sebagai Kota Pusat Perdagangan dan Jasa.
Selain mengembangkan kawasan perdagangan dan jasa,
pemerintah kota Semarang juga mengembangkan fungsi
rencana kawasan permukiman, perdagangan dan jasa secara
komprehensif.
Pertama, pengembangan fungsi rencana kawasan
permukiman, perdagangan dan jasa dilakukan di kawasan pusat

203
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

kota (Central Bussiness Distric/CBD) Peterongan-Tawang-


Siliwangi atau dikenal dengan nama PETAWANGI.
Kedua, pengembangan jenis kegiatan di kawasan
PETAWANGI ditujukan untuk mendukung terwujudnya
kawasan PETAWANGI sebagai kawasan perdagangan dan jasa
skala pelayanan regional, nasional, dan internasional.
Ketiga, pengembangan kawasan permukiman, perdagangan,
dan jasa di kawasan PETAWANGI dilaksanakan dengan tetap
mempertahankan Kampung Heritage sebagai kawasan
permukiman dan pariwisata.
Keempat, pengembangan kegiatan permukiman di kawasan
ini dilakukan secara vertikal dengan pola rumah susun,
apartemen, atau kondominium.
Sesuai dengan RTRW kota Semarang 2010-2030, kota
Semarang juga mengembangkan kawasan industri, yang
dibatasi pada pengembangan sektor tersier, yaitu perdagangan
dan jasa. Untuk itu, kawasan industri di Semarang dibagi dalam
enam kawasan, yaitu kawasan industri Genuk, kawasan industri
Tugu, kawasan industri Candi, kawasan industri dan
pergudangan Tanjung Emas, kawasan industri Mijen, dan
kawasan industri Pedurungan.
Pengembangan kawasan industri ini didorong oleh sikap
akomodatif Pemkot Semarang kepada para investor. Para
investor diundang tidak hanya untuk mengembangkan
perdagangan dan industri, tetapi juga pengembangan sektor
jasa, termasuk perhotelan. Selain tumbuh hotel-hotel baru, di
Semarang juga berkembang pesat pusat perbelanjaan modern
besar maupun kecil, pusat-pusat hiburan, dan pusat kuliner,
yang sebagian besar berada di kota bawah. Perkembangan
industri, perdagangan, dan jasa menjadikan kota Semarang
semakin berkembang dan menjanjikan kenikmatan bagi warga

204
BAB IV
PKL DI TENGAH PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

kota dan para urban yang ingin mengais rezeki di kota


Semarang.
Daya tarik kota Semarang bagi warga masyarakat desa,
disebabkan oleh bukan hanya karena Semarang merupakan
ibukota Jawa Tengah, yang menyediakan berbagai fasilitas kota
modern yang tidak dimiliki oleh kota-kota atau desa-desa di
sekitar Semarang, tetapi juga menyediakan kemungkinan
lapangan kerja yang bervariasi yang dapat diakses oleh warga
desa atau warga kota pinggiran yang telah menjadi urban di
kota Semarang.
Sebagai dampak dari berkembangnya sektor formal di kota
Semarang, utamanya bisnis properti dan perhotelan,
berkembang pesat juga usaha sektor informal. Sentra-sentra
perdagangan, industri, dan jasa (tekstil, makanan/kuliner,
pendidikan, dan yang lain) mendorong tumbuh
berkembangnya sektor informal, terutama makanan. Hampir
semua tempat di kota Semarang ini, siang maupun malam hari,
bisa dijumpai para PKL yang menjual makanan.
Demikian kompleksnya perkembangan Semarang, baik
dalam aspek ekonomi, sosial, seni dan budaya, maka tumbuh
pesat pula jenis sektor informal yang dapat dimasuki oleh para
pendatang. Dalam sektor informal ini, selain makanan,
berkembang pula bisnis perdagangan bensin eceran, jasa tambal
ban, jasa las mobil dan motor, jasa sewa mobil angkutan, jasa
menjahit pakaian, jasa menggendong barang bawaan, sol sepatu,
pembuatan stempel, pembuatan nomor sepeda motor dan
mobil, jasa pengurusan STNK dan SIM, penjualan barang-
barang bekas, penjualan sayur keliling, dan berbagai jenis
sektor informal lainnya. Salah satu yang menonjol dari
perkembangan sektor informal di kota Semarang adalah
pertumbuhan pedagang kaki lima (PKL).
Pedagang kaki lima (PKL) yang menjadi objek penelitian ini
adalah PKL yang menempati lokasi di tepi sepanjang sungai

205
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, mulai dari Sampangan


hingga Jalan Kokrosono. PKL yang menjalankan aktivitas
ekonomi di Sampangan dinamakan PKL Sampangan, PKL yang
berdagang di Basudewo disebut PKL Basudewo, dan PKL liar
yang berjualan di Kokrosono disebut PKL Kokrosono. Mereka
umumnya para pedagang kecil, mulai dari berdagang nasi,
pakan burung, mebel, hingga berjualan barang-barang klitikan,
seperti spion, kipas, VCD, kaset, alat pertukangan dan pertanian
dan beberapa lainnya membuka bengkel las, bengkel motor dan
sepeda, jasa reparasi alat-alat elektronik.
Pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai
Kaligarang dan Banjir Kanal Barat sejalan dengan visi Pemkot
menjadikan Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa.
Pembangunan waduk dan normalisasi sungai yang jalan dekat
tepian sungai digunakan para PKL untuk berdagang dan
menjual jasa, selain untuk mengatasi banjir, juga untuk
pengembangan ekonomi, khususnya ekonomi pariwisata bagi
kota Semarang. Itulah sebabnya, Pemkot mendukung proyek
pembangunan tersebut, termasuk harus membersihkan
bantaran sungai tersebut dari aktivitas PKL.

206

Anda mungkin juga menyukai