Sejumlah pengelana yang melintas di pantai barat Sumatera pada kuarter pertama abad
ke-20 sangat terkesan dengan jalan negara yang ada di sana; mereka menulis pantai barat
Sumatera sebagai wilayah dengan jalanan terbaik dan terpanjang yang ada di luar Jawa.
Mereka juga mencatat masyarakat di sana sudah terbiasa dengan berbagai macam
transportasi (Asnan 2001a:4). Sarana dan prasarana transportasi di Sumatera Barat adalah
aset yang paling penting pada abad ke-20. Jalanan itu tidak hanya menghubungkan
berbagai wilayah dan kota di Sumatera Barat, tetapi juga menghubungkan Sumatera
Barat dengan daerah lainnya di Sumatera. Sarana transportasi ini tidak hanya dimiliki
oleh sekelompok orang; ia bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Semenjak 1900, sebuah jalan menghubungkan Sumatera Barat dengan Tapanuli dan
medan. Lalu pada 1916, sebuah jalan lainnya menghubungkan Bukittinggi (Sumatera
Barat) dan Pekanbaru (Riau), dan pada 1921 jalan yang menghubungkan Sumatera Barat
dengan Jambi dan Kerinci dibuka (Colombijn 1996:390-4).
Pedati dan oto-mobil menjadi moda transportasi yang paling umum. Sumatera Barat
dikenal sebagai salah satu dari sedikit wilayah di luar Jawa yang memiliki banyak oto-
mobil. Total jumlahnya di Sumatera Barat pada awal 1920-an diperkirakan lebih dari
3.000-an dan pada akhir 1920 jumlah meningkat dua kali lipat menjadi 7.000 (Harahap
1926:114-5; Willink 1931:755; Schrieke 1955:270).
Kondisi transportasi darat pada abad ke-20, baik dari infrastruktur dan kendaraannya
tidaklah muncul tiba-tiba. Banyak sumber sejarah pada awal abad-20, seperti laporan
bulanan pemerintah daerah—memories van overgave (laporan dari pegawai pemerintah
yang akan pensiun untuk pengganti mereka), laporan dari kamar dagang dan industri di
Padang dan koran—menunjukan kemajuan transportasi pada saat itu merupakan hasil
dari perkembangan dari apa yang terjadi pada masa sebelumnya sebelumnya (Asnan
2001a:5). Artikel ini menjelaskan perkembangan dan kondisi transportasi jalan di pantai
barat Sumatera pada abad ke-19. Abad ini dianggap penting karena pada masa-masa itu
lah embrio dari wilayah administratif Sumatera Barat hari ini dibentuk. Formasi dari unit
administrasi Sumatera Barat dan kemakmuran kawasan ini pada abad ke-19, berkaitan
erat dengan perkembangan transportasi.
Kondisi geografis
Pantai barat Sumatra, atau Sumatera Barat, adalah nama yang diperkenalkan dan
dipopulerkan oleh orang-orang Barat, khususnya oleh para pegawai Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC). Pada awalnya nama ini hanya berarti geografis, tetapi
setelah VOC membuka kantor di sana, nama ini memperoleh signifikansi politiknya.
Wilayah ini menjadi unit administrasi bernama ‘Hofdcomptoir van Sumatra’s Westkust’.
Pada saat yang sama, daerah administrasi itu hanya terdiri dari beberapa kota pantai yang
terbatas dalam lingkungan kekuasaan mereka.
Setelah kebangkrutan VOC, East India Company secara singkat menguasai daerah ini,
tetapi pada 1819 Inggris menyerahkannya kepada pemerintah Hindia-Belanda. Pada
1825, Belanda membentuk wilayah administrasi setingkat residentie di
Padang, Residentie Padang. Pada 1837, statusnya dinaikan menjadi gouvernement dan
dinamakan Gouvernement Sumatra’s Westkust. Satu perbedaan penting antara
pemerintahan VOC dan Hindia-Belanda adalah pada daerah kekuasaannya. Pada masa
kolonial Hindia-Belanda, kekuasaannya membentang jauh sampai ke pedalaman dan
hampir seluas apa yang dikenal dengan Provinsi Sumatera Barat sekarang.
Gouvernement Sumatra’s Westkust terdiri atas dua bagian; pantai, bernama Padangsche
Benedenlanden dan pedalaman, Padangsche Bovenlanden. Terdapat perbedaan yang
signifikan antara pantai dan pedalaman. Ketinggian rata-rata wilayah pantai adalah 50
meter sedangkan pedalaman sekitar 650 meter di atas permukaan laut. Hampir semua
pemukiman di daerah pedalaman berlokasi di perbukitan dan lereng gunung. Secara
geografis Padangsche Benedenlanden berada di pantai dataran rendah. Dataran rendah
adalah carik sempit, karena di beberapa tempat gunung membentang sampai ke laut.
Beberapa sungai mengalir ke pantai yang di muaranya terdapat sejumlah desa nelayan
dan kota-kota pantai.
Jalan setapak
Sampai pertengahan abad ke-19, jalan setapak adalah satu-satunya infrastruktur, yang
memungkinkan hubungan antara kawasan pantai dan pedalaman, untuk transportasi darat.
Semenjak awal sejarah kawasan ini, jalan setapak telah digunakan orang-orang dari
pedalaman untuk memperoleh garam dari pantai. Berbicara mengenai ‘awal sejarah’,
menyinggung tambo, historiografi lokal Minangkabau, saya merujuk pada periode
sebelum kehadiran kerajaan Minangkabau pada 1340 (Toeah 1989:53).
Sampai pertengahan abad ke-19, terdapat paling tidak lima kelompok jalan setapak yang
menghubungkan kawasan pedalaman dengan pantai (Asnan 2000:131-3). Dimulai dari
utara, yang tergolong dalam kelompok pertama, yaitu Pasaman. Terdapat dua jalan
setapak yang dikenal di daerah ini: satu yang menghubungkan Air Bangis dan Rao, yang
lainnya Sasak dengan Lundar dan Bondjol. Kelompok kedua ada di Agam dan terdiri dari
sebuah jalan dari Danau Maninjau ke Bukittinggi. Kelompok ketiga adalah kelompok
Padang Panjang. Jalanan ini menghubungkan kota pantai Pariaman, Ulakan, Koto Tangah
dan Padang via Kayu Tanam di ujung Lembah Anai dengan Padang Panjang di puncak
lembah. Di Padang Panjang, jalan ini bercabang menuju Bukittinggi dan Tanah Datar.
Kelompok keempat adalah Tanah Datar, menghubungkan kota-kota pantai seperti Koto
Tangah dan Padang ke Tanah Datar, via Danau Singkarak. Thomas Stanford Raffles pada
1818 menggunakan rute ini. kelompok kelima adalah Solok, terdiri dari dua jalan.
Pertama menghubungkan Padang dan XIII Koto Solok, ketika Raffles
memasuki Padangsche Bovenlanden pada 1818, ia mengikuti jalan ini. Jalan kedua
menghubungkan Bandar X dan wilayah selatan Solok.
Pembagian jalan setapak ini menjadi lima kelompok tidak hanya berdasarkan posisi
geografisnya, tetapi juga karena jenis hubungan antara masyarakat di pantai dan
pedalaman. Kelompok pertama, misalnya, berlokasi di Pariaman, juga merepresentasikan
hubungan darah antara orang-orang yang hidup di Air Bangis dan Sasak di pantai dengan
mereka yang tinggal di Rao, Lundar dan Bondjol di pedalaman. Tambo dari Air Bangis
dan Sasak menceritakan nenek moyang mereka berasal dari Rao, Lundar dan Bondjol
(Tambo Air Bangis n.d.:4-5) dan para pedagang di Air Bangis dan Sasak mewakili
anggota suku yang berhubungan dengan berbagai tempat di pedalaman. Sepanjang garis
yang sama, orang-orang di Pariaman, Koto Tangah, Padang dan Bandar X berhubungan
dengan nenek moyang mereka dari Agam, Tanah Datar dan Solok (Saleh 1965:160;
Amran 1981:312; Tambo Kambang n.d:1).
Pada awalnya, sampai abad ke-15, jalanan setapak hanya digunakan oleh orang-orang
pegunungan yang membutuhkan garam. Mereka bepergian ke wilayah pantai untuk
membuat dan memperoleh garam. Hal ini sebagian menjelaskan mengapa orang-orang
yang hidup di pantai secara umumnya berasal dari pedalaman dalam jangkauan garis ini.
Dengan kemunculan beberapa pos dagang di kawasan pantai, hubungan antara wilayah
pantai dengan pedalaman berubah menjadi hubungan ekonomi. Muncul jalan setapak
yang dikenal dengan ‘jalan dagang’ dan dilalui oleh para pedagang. J.A van Rijn van
Alkemade (1985:321) menyatakan pergantian fungsi utama jalan setapak dari jalan jalan
garam menjadi jalan dagang terjadi pada abad ke-14 atau 15. Beberapa komoditi diangkut
melalui jalan dagang ini. Emas menjadi produk pertama dan yang paling penting yang
diangkut di hampir semua jalan; kemudian terdapat beberapa komoditas lainnya seperti
kayu lignum aloe, kamper, damar, lilin, madu dan hasil-hasil hutan lainnya. Dari pantai
diangkut kain, katun, sutra dan ikan kering dan tentu saja garam.
Jalanan setapak ini hanya bisa dilalui manusia dan kuda. Mereka yang biasa
menggunakan jalan adalah para pedagang yang membawa sendiri barang dagangannya
atau dibawa oleh kuli. Para kuli ini biasanya adalah warga setempat, atau budak dari
Pulau Nias. Barang-barang ini biasanya dibawa dengan cara dipikul. Rata-rata, setiap
orang dapat mengangkut sampai 20-30 kilogram,[1] sementara kuda dapat mengangkut
100 sampai 150 kilogram.[2]
Penduduk lokal dan pedagang umumnya berjalan pada siang hari. Perjalan dimulai pada
subuh sekitar pukul 5 atau 6 pagi dan mereka berjalan berkelompok untuk menghindari
perampokan. Sebuah kelompok pedagang biasanya berasal dari desa yang sama atau
sebuah kawasan, baik di pedalaman atau pantai. Mereka dapat berjalan sejauh sekitar 30
kilometer sehari, rata-rata perjalanan dari pedalaman ke pantai atau sebaliknya
membutuhkan waktu enam sampai 10 hari (De Stuers 1850:148). Satu kelompok
biasanya terdiri atas sepuluh sampai dua belas orang dan dipimpin oleh seseorang dari
golongan sosial-ekonomi yang lebih tinggi dari yang lainnya, seperti seorang penghulu,
yang merupakan seorang pedagang kaya dan menguasai seni bela diri dengan kekuatan
majis. Kebiasaan berkelompok para pedagang tetap dilanjutkan meskipun di kemudian
hari keamanan di jalan telah ditegakan.
Penduduk lokal, pedagang dan pengelana yang menggunakan jalan setapak ini harus
membayar uang jalan pada pos tertentu, biasanya berlokasi di perbatasan nagari.
Dibayarkan kepada penghulu setempat. Karena banyaknya nagari yang ada di sepanjang
jalan, mereka harus membayarkan uang jalan beberapa kali. Raffles, misalnya, ia
mencatat telah membayar uang jalan sebanyak 26 kali dalam perjalanannya pada 1818 ke
Padangsche Bovenlanden (Raffles 1830: 344-62). Tidak diketahui pasti berapa yang
harus dibayarkan pada setiap tempat. Namun jumlahnya tidak selalu sama, di beberapa
tempat bisa lebih mahal, di tempat lainnya bisa saja lebih murah. Bayarannya tidak harus
dengan uang tunai; dalam beberapa contoh pembayaran dalam bentuk barang juga
diterima. Jumlahnya ditentukan oleh orang-orang di nagari tersebut. Jika bayarannya
dengan uang tunai, maka digunakan untuk keperluan nagari. Jika dibayarkan dengan
barang, maka barang tersebut harus memiliki signifikansi dan arti penting bagi nagari
bersanhkutan. Sebagai contoh, seorang wakil dari Nederlandsche Handel Maatschappij
(NHM) di padang dalam perjalanannya dari Air Bangis ke pedalaman diminta untuk
membayar dengan kain. Penghulu nagari itu menjelaskan nagari mereka membutuhkan
kain untuk sekelompok warga miskin yang kehilangan properti mereka dalam sebuah
kebakaran (Asnan 2001a:11).
Sejumlah pasar didirikan di beberapa nagari yang ada di sepanjang jalan setapak. Hal ini
adalah sebuah perkembangan alami, karena hampir semua para pengelana adalah
pedagang. Mereka mengunjungi hampir semua pasar pada rute tertentu. Untuk
meningkatkan perkembangan fungsi pasar, nagari-nagari yang dilewati jalan setapak
menyediakan tempat bernaung dan istirahat dimana para pengelana bisa makan dan
bermalam (Iskandar 1990:66-70).
Terpisah dari jalan setapak di antara lembah pegunungan dan pantai barat, ada beberapa
jalan setapak yang menghubungkan pedalaman dengan bagian timur Sumatera. Tetapi,
berbeda dengan yang ada di Barat, jalanan di kawasan itu tidak mencapai pantai. Orang-
orang hanya bisa menempuhnya sampai ke tempat-tempat yang dikenal
dengan pangkalan, panambatan dan pamuatan. Ketiga jenis tempat ini memiliki akses
transportasi sungai. Secara harfiah, ketiga kata tersebut adalah tempat dimana perahu
berhenti, bersandar, memuat dan membongkar barang. Tempat-tempat itu adalah pasar
dalam arti sosial, ekonomi dan kultural. Pangkalan, panambatan dan pamuatan adalah
tempat dimana para pedagang dari ujung hilir sungai dengan perahu bertemu dengan para
pedagang yang berjalan dari pedalaman untuk
berdagang. pangkalan, panambatan dan pamuatan berlokasi di pinggir sungai di hulu
sungai yang mengalir ke pantai timur Sumatra (Asnan 2001b:329). Beberapa jalan
setapak yang popular dari pedalaman ke pangkalan, panambatan dan pamuatan adalah,
dari utara ke selatan; jalan dari Rao ke Pamuatan Rambah (di Sungai Rokan), jalan dari
Payakumbuh ke Pangkalan Koto Baru (di Sungai Kampar Kanan) dan jalan dari Tanah
Datar ke Sijunjung ke Pangkalan Kureh (di Sungai Kuantan).
Hubungan antara orang-orang di pedalaman dengan mereka yang di pantai barat lebih
dekat dibanding hubungan dengan Sumatera Timur. Orang-orang di pantai, mewakili
penghulu mereka, bertindak sebagai wakil antara pedagang pedalaman dengan orang
asing. Dobbin menyebut mereka adalah broker di pantai (Dobbin 1983:71). Ketika
hubungan Sumatra dengan dunia luar semakin meningkat, jalan setapak memperoleh arti
politis melebihi makna ekonomi yang telah dimiliki sebelumnya. Arti politis ini menjadi
jelas ketika Belanda meluaskan pengaruhnya dari pos mereka di kota-kota pantai ke
daerah pedalaman.
Perkembangan jalan
Namun, jalanan itu dianggap tidak memadai bagi pergerakan militer Belanda. Jalanan
sempit itu harus diubah menjadi jalan yang lebih lebar. Peningkatan jalan setapak itu
dilakukan setelah Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengunjungi pantai barat
pada 1833. Van den Bosch, yang juga dikenal sebagai pencetus tanam paksa,
berkeinginan kuat agar tentaranya memenangkan perang secepat mungkin. Salah satu
cara untuk mewujudkan keinginannya, ia memerintahkan pemerintah kolonial setempat
untuk membangun jalan yang menghubungkan pelabuhan utama, Padang, dengan
pedalaman.
Pengembangan berbagai fasilitas di sepanjang jalan berkaitan dengan status jalan utama
untuk jalan Padang-Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh dan Padang Panjang-
Batusangkar. Status ini berdasarkan kenyataan bahwa jalanan itu adalah rute yang sering
dilalui baik oleh pemerintah dan para pedagang. Seperti yang akan kita lihat nanti, jalan
yang sama menjadi jalan utama digunakan untuk mengangkut kopi dari pedalaman ke
pelabuhan di barat, Pariaman dan Padang.
Setelah 1848, pemerintah mulai membangun jalanan sekunder. Jalan tipe ini digunakan
terutama untuk menghubungkan beberapa kota dalam sebuah kawasan di Sumatera Barat
atau memfasilitasi proses pengangkutan kopi dari beberapa nagari ke gudang
penyimpanan kopi pemerintah di ibukota distrik. Contohnya, rute Solok-Alahan Panjang,
Solok-Batipuh, Solok-Sijunjung, Sijunjung-Batusangkar dan Buo dan Air Bangis-Lundar.
Semua rute itu selesai pada awal 1860-an. Para pekerja yang membangun jalan itu terdiri
atas kuli-kuli dan masyarakat lokal yang sedang melakukan kerja paksa (herendiensten).
[3]
Peningkatan dalam kualitas dan kuantitas jalan setelah 1848 berhubungan dengan
perintah penanaman kopi dan sistem pengangkutan, yang diimplementasikan pada 1847.
Setiap keluarga petani dalam sebuah wilayah dengan iklim dan tanah yang cocok diminta
untuk menanam dan memelihara setidaknya 150 batang kopi. Semua kopi yang
dihasilkan harus diangkut ke gudang pemerintah. Kopi-kopi itu dibayar dengan harga
yang ditentukan oleh pemerintah kolonial. Gudang-gudang ini dibangun di hampir
seluruh distrik di pantai barat. untuk pembayaran, petani menerima pembayaran dengan
uang tunai dengan harga yang telah ditentukan sebelumnya.
Semua jalanan sekunder ini menghubungkan gudang kopi ke ibukota atau kota penting di
wilayah itu. Kopi yang diproduksi di Limapuluh Koto, sebagai contoh, dibawa ke
Payakumbuh, kopi yang diproduksi di Agam diangkut ke Bukittinggi dan kopi di Tanah
Datar ke Batusangkar. Semua kopi dari wilayah itu dibawa ke Padang atau Pariaman
dengan jalan utama dari Padang Panjang, via Lembah Anai dan Kayutanam.
Pembangunan jalan mencapai puncaknya pada akhir abad ke-19. Pembukaan beberapa
perkebunan besar pada 18870-an menopang ekspansi pembangunan itu. Jalan sampingan
cabang dari jalanan sekunder di Solok, Tanah Datar, Lima Puluh Kota dan Pasaman
dibangun ketika beberapa perkebunan besar dibuka di daerah tersebut. Pembukaan
sejumlah perkebunan baru itu juga meningkatkan jumlah transportaannemers.
Sebagai hasil dari semua aktivitas pembangunan ini, Gouvernement van Sumatra’s
Westkust pada 1900 menjadi provinsi dengan jalan terpanjang dan jembatan terbesar di
luar Jawa. Jalanan kelas I (standar jalan tertinggi) membentang sekitar 153 km,
sedangkan jalan kelas II sekitar 651 km dan 2.525 km jalan kelas III.[5] Terdapat enam
jembatan lengkung (broogbruggen) dengan panjang lebih dari sepuluh meter dan 115
jembatan lengkung dengan kepanjangan kurang dari sepuluh meter. Terdapat 1.783
jembatan kompleksitas teknik sedang (ligger dan vakbruggen), dengan rata-rata
panjangnya 8 meter. Selain itu terdapat 792 jembatan temporer (noodbruggen) dan 2.092
gorong-gorong (kleine doorlaten) (Asnan 2000:231).
Moda Transportasi
Sejalan dengan perkembangan infrastruktur jalan dan jembatan, jenis kendaraan baru
muncul, menambah variasi moda transportasi di daerah ini. Selain kuli dan kuda, moda
transportasi populer lainnya adalah pedati dan bendi (S…X 1881:921). Dari kedua jenis
moda transportasi ini, pedati menjadi lebih penting karena digunakan secara luas di
daerah ini. Pedati terdiri dari sebuah bagian beratap di atas dua rodanya, ditarik oleh
seekor kerbau. Seekor kerbau dapat menarik beban 8-10 pikul (500-620 kg). biaya
transportasi per pedati dari pantai ke pedalaman berkisar dari f 0.20 sampai f 0.40 per ton
per km. Harga ini dianggap tinggi, disebabkan karena, pertama, monopoli yang dilakukan
oleh transportaannemers dan, kedua, ketidakpastian menemukan barang untuk
membayar biaya saat perjalan turun ke pantai (Kamerling 1895:1078).
Variasi harga per ton per km berhubungan dengan tujuan. Terdapat tiga standar harga di
Sumatra Barat: pertama, dari kota pelabuhan di pantai ke kota di perbatasan pantai dan
pedalaman: kedua, dari perbatasan ke kota pertama yang ditemui di pedalaman dan
ketiga, perjalanan di antara kota-kota di pedalaman. Contoh terbaik dari variasi ini adalah
jalan utama menuju Lembah Anai. Harga untuk seekor pedati dari Padang atau Pariaman
ke Kayu Tanam adalah f 0.20 per ton per km. Harga untuk seksi kedua, antara Kayu
Tanam dan Padang Panjang, dengan pendakian curam dan berliku, adalah f 0.40. Seksi
ini terkenal dengan perampokannya. Seksi ketiga, dari Padang Panjang ke Batusangkar
atau Bukittinggi ke Payakumbuh dan harganya f 0.30 per ton per km. Jalan-jalan di
lembah dataran tinggi yang datar lebih aman dan relatif mudah untuk dilewati oleh
pedati. Rute antara Padang dan Pariaman dan Kayutanam dilayani pedati dari pantai;
seksi dari Kayu Tanam dan padang Panjang dilayani pedati dari pantai dan Padang
Panjang. Jalur Padang Panjang-Batusangkar, Padang Panjang-Bukittinggi dan
Bukittinggi-Payakumbuh dilayani oleh pedati dari masing-masing daerah itu (Buys
1886:20-4). Gerobak-gerobak yang ditarik kerbau itu dimiliki oleh orang-orang lokal
atau transportaannemers.
Pedati dikendarai dalam kelompok, dengan kuli dan orang-orang menuntun kuda beban.
Sebuah perjalanan biasanya dimulai pada subuh, sekitar pukul 5 atau 6 pagi. Perjalanan
dalam kelompok mengurangi resiko perampokan (Kielstra 1886:274). Meskipun
beberapa pos penjagaan militer telah dibangun, pada paruh kedua abad ke-19, sejumlah
perampokan sering dilaporkan di rute ini. Contohnya, pada 1868, beberapa perampokan
terhadap pedati dilaporkan di Lembah Anai (Sumatra-Courant 12-12-1868). Setelah
sebuah rel kereta dibangun dekat jalan utama Padang-Padang Panjang-Solok, frekuensi
penyerangan pada pengguna jalan secara signifikan menghilang.
Pembangunan jalan semasa Perang Padri tidak hanya penting terhadap pembentukan
militer dan hegemoni politik Belanda, tetapi juga dalam kepentingan ekonomi lebih lanjut
bagi pemerintah dan masyarakat lokal. Jaringan jalanan baru di dataran tinggi dan jalan
utama dari Padang dan Pariaman adalah alasan bergantinya orientasi perdagangan
masyarakat pedalaman dari timur ke pantai barat. Setelah 1833, pemerintah kolonial lokal
mendorong kota-kota pantai untuk memainkan peran kunci dalam perdagangan Sumatra.
Perubahan pola perdagangan dari timur ke pantai barat didukung oleh kemunculan
Padang, Pariaman, Air Bangis dan Painan sebagai bandar di Sumatra. Pada akhir abad-
19, Padang merupakan pelabuhan terbesar dan tersibuk di Sumatra, kota itu setara dengan
Batavia, Semarang, Surabaya dan Makassar. Lima pelabuhan ini dikelompokan sebagai
pelabuhan kelas A, yang melayani pelayaran nasional dan internasional dan mengurus
ekspor-impor berbagai macam komoditas. Pariaman, Air Bangis dan Painan masuk dalam
pelabuhan kelas B, yang melayani pelayaran antar pulau dan pelayaran pantai dan
diizinkan untuk menangani ekspor-impor beberapa komoditas tertentu. Kesuksesan
banda-bandar itu, seperti yang dicatat oleh sejumlah penulis, berhubungan dengan
kehadiran jalan (Bickmore 1868:414; Pruys van der Hoeven 1864:59; Willink 1931:758-
8).
Seperti jalan setapak, pembangunan jalan telah mempengaruhi pergerakan manusia. Jalan
yang baru dibangun menyediakan kesempatan baru untuk melakukan perjalanan. Ketika
masa jalan setapak, orang-orang pergi dari nagari mereka di pedalaman ke daerah
berpopulasi jarang di rantau, pada masa jalan pergerakan itu adalah dari nagari ke kota.
Pergerakan ke perkotaan itu diinspirasi dari motif-motif ekonomi (orang-orang ingin
menjadi pedagang atau untuk mendapatkan pekerjaan) dan pertimbangan sosial (mereka
yang ingin mendapatkan pendidikan lebih tinggi).
Jalan mendorong perpindahan dalam arti kiasan. Salah satu contoh dari perubahan
vertikal adalah kemunculan jenis baru wiraswasta (Cina dan Melayu) yang dikenal
dengan transportaannemers pada seperempat terakhir abad ke-19. Contoh lainnya adalah
kemunculan elit-elit sosial baru pada daerah urban, yang dihasilkan oleh kesuksesan
ekonomi dan pendidikan. Dari perspektif ekonomi, jalanan meningkatkan jumlah pasar,
mengubah metode distribusi sejumlah komoditas dan juga memperburuk dan
menghancurkan hubungan antar pedagang.
Setelah perluasan jalanan, jumlah pasar di Sumatra Barat meningkat secara signifikan.
Pada 1820 dan 1830-an hanya ada sekitar 80 pasar, tetapi antara 1850 dan 1880an,
jumlah ini meningkat tajam menjadi lebih dari 120. Hampir semua dari pasar baru ini
berlokasi di sepanjang jalan atau persimpangan (Dobbin 1983:48; Buys 1886:59,63).[6]
Metode distribusi barang-barang juga turut berubah. Untuk waktu yang lama orang-orang
dan para pedagang membawa minyak kelapa dari pantai ke pedalaman dengan dipikul,
dalam bambu yang berongga. Dalam perjalanan ke pedalaman mereka akan menjual
minyak itu langsung pembeli di setiap pasar yang mereka lewati. Setelah jalan selesai,
distributor minyak kelapa mulai menggunakan pedati. Minyak tidak lagi dijual langsung
kepada pembeli di pasar kecil, tetapi ke agen-agen di kota-kota yang relatif besar seperti
Sicincin atau Padang Panjang; para agen ini yang kemudian akan menjualnya kepada
pembeli kecil.
Dengan adanya infrastruktur transportasi dan moda transportasi baru juga menyentuh
keseimbangan persaingan para pedagang yang telah ada sebelumnya. Contoh terbaiknya
adalah rivalitas antara pedagang Cina dan Melayu di Pariaman. Cia Biauw,
seoran Kapitein Cina di Pariaman, menjadi pemegang hak untuk mengangkut garam dan
sejumlah komoditas lainnya dari Pariaman ke Padang Panjang di pedalaman. Pada akhir
abad ke-19, pemerintah mencabut monopoli ini, memberikan kesempatan terhadap semua
pedagang untuk mendistribusikan dan menjual garam serta komoditas yang dilindungi
lainnya, setelah banyak pedagang yang ingin mencoba peruntungan mereka dalam bidang
ini. Regulasi baru ini mendistribusikan hubungan antara pedagang Cina dan Melayu.
Kedua pihak sepenuhnya mengangkut garam dan komoditas lainnya dari Pariaman ke
Padang Panjang, sebagai contoh, dengan mengumpulkan sebanyak mungkin pedati.
Awalnya, Cia Biauw dan rekan-rekannya memenangkan persaingan, mereka merekrut
semua pedati di pasar Pariaman. Namun selalu ada pedati yang datang terlambat ke pasar
dan harga mereka lebih murah dari pedati yang datang lebih pagi. Pedagang Melayu
menyewa pedati yang terlambat itu, hal ini mengurangi biaya produksi pengangkutan
yang membuat mereka dapat menjual barang dengan lebih murah. Tentu saja, pedagang
di pedalaman menunggu pedati Melayu yang datang terlambat, untuk mencari harga yang
lebih murah. Akhirnya, garam dan barang-barang pedagang Cina lainnya menumpuk di
gudang, menjadi kering dan kehilangan nilainya. Setelah enam bulan, pedagang China
mundur dari kompetisi dan seluruh penjualan garam dan komoditas lainnya antara
Pariaman dan Padang Panjang yang jatuh ke tangan para pedagang Melayu (Saleh 1965:
217-22).
Dari 1930-an sampai 1980-an, pembangunan rute transportasi darat di pantai barat
Sumatra mulai mengendur. Tetapi tidak berarti ia mati. Setelah kemerdekaan, transportasi
jalan kembali diminati ketika harganya menjadi lebih menarik dibanding kereta api. (*)
* Artikel ini terbit pertama kali di Bijdragen tot de Taal-, Land- en Voleknkunde, On
the Road The Social Impact of New Roads in Southeast Asia 158 (2002), no: 4 Leiden,
727-741 dengan judul Transportation on the West of Sumatra in the Nineteenth
Century. Dialihbahasakan oleh Haldi Patra. Diterbitkan kembali oleh Garak.id atas
izin penulis, Gusti Asnan, untuk tujuan pendidikan non-profit.
Catatan Kaki:
[1] Kielstra 1889:235. Lihat juga Arsip Nasional Indonesia, Jakarta (ANRI), Sumatra’s
Westkust (SWK) 125/3, jaarlijks Verslag van Sumatra’s Westkust 1819-1827.
[3] Pruys van der Hoeven 1864:11, 32. Lihat juga ANRI, SWK 128/22, Algemeen
Verslag van Sumatra’s Westkust 1874)
[5] Klasifikasi jalan berdasarkan kapasitas maksimum jalan. Pada awal abad 20, semua
kelas memiliki lebar 3 meter, dengan maksimum berat kendaraan yang dapat melintasi
masing-masing 2.750 kg, 2.000 kg dan 1.500 kg untuk kelas I, II dan III.
[6] Lihat juga ANRI, SWK 125/3. Jaarlijks Verslag van Sumatra’s Westkust 1819-27;
ANRI, SWK 127/1, Algemeen Verslag van Sumatra’s Westkust 1857.
Referensi
Amran, Rusli. 1981. Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Amran, Rusli. 1985. Sumatra Barat; Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Asnan, Gusti. 2000. Trading and shipping activities; The West Coast of Sumatra
1819- 1906.Jakarta: Yayasan Rusli Amran.
Asnan, Gusti. 2001a ‘Catatan para pengelana tentang daerah, sejarah dan masyarakat
Sumatera Barat’, Paper, Seminar Outsiders Write about West Sumatra, Padang, 14
August.
Asnan, Gusti. 2001b. ‘Dari sungai ke jalan raya; Perubahan sosial ekonomi di daerah
perbatasan Sumbar-Riau pada awal abad XX’, in: Edi Sedyawati and Susanto Zuhdi
(eds), Arung Samudra; Persembahan memperingati sembilan windu A.B. Lapian, pp.
323-37. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya-LPUI.
Bickmore, Albert S. 1868. Travel in the East Indian Archipelago. London: Murray.
Colombijn, Freek. 1996. ‘The development of the transport network in West Sumatra
from pre-colonial times to the present’, in: J.Th. Lindblad (ed.), Historicalfoundations of
national economy in Indonesia, 1890s-1990s, pp. 385-400.Amsterdam: North-Holland.
Harahap, Parada. 1926. Dari pantai ke pantai; Perdjalanan ke Soematra, October- Dec.
1925 dan Maart-April 1926. Weltevreden: Bintang Hindia.
Iskandar, N. St. 1990. Hulubalang Raja; Kejadian di Pesisir Minangkabau 1662-
1667. Jakarta:Balai Pustaka.
Kamerling, Z.H. 1895. ‘De vroegere en tegenwoordige toestand van den handel,
nijverheid en landbouw op Sumatra’s Westkust en de vooruitzichten daarin voor de
volgende jaren’, De Indische Gids 17,11:1059-88.
Kielstra, E.B. 1886. ‘Ter Westkust van Sumatra’. De Gids 50 [vierde serie 4], 11:268-75.
Kielstra, E.B. 1889. ‘Sumatra’s Westkust van 1833-1835’, Bijdragen tot de Taal-, Land-
en Volkenkunde 38:467-514.
Pruys van der Hoeven, A. 1864. Een woord over Sumatra. Volume II: Sumatra’s
Westkust en Palembang.Rotterdam: Nijgh.
Raffles, Sophia. 1830. Memoirs of the life and public services of Sir Thomas Stamford
Raffles, F.R.S. &c. particularly in the government of Java, 1811-1816, and of Bencoolen
and üs dependencies, 1817-1824, London: Murray.
Reitsma, S.A. 1943. De Staatsspoorweg ter Sumatra’s Westkust {S.S.S.). Den Haag:
MoormansPeriodieke Pers. Rijn van Alkemade, J.A. van, 1885. ‘Een verbinding tusschen
de West- en Oostkust van Sumatra’, DeIndische Gids 7,1:59-67.
Saleh, Mohammad. 1965. Riwajat hidup dan perasaian saja; Moehammad Saleh Datoek
Orang Kaja Besar [edited by S.M. Latif]. Bogor: Penerbit Dana Buku
MoehammadSaleh. [First impression 1933.]
Schrieke, B. 1955. Indonesian sociological studies; Selected writings ofB. Schrieke (Part
One).The Hague/Bandung: Van Hoeve.
Stuers, H.J.J.L. de. 1850. De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van
Sumatra.Volume II. Amsterdam: Van Kampen.
Willink, W.1931. ‘Het Autoverkeer ter Sumatra’s Westkust’, Tijdschrift van het
Aardrijkskundig Genootschap 48:753-9
https://garak.id/transportasi-di-pantai-barat-sumatera-pada-abad-ke-19/