Anda di halaman 1dari 16

Kota Padang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


"Padang" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain dari Padang, lihat Padang (disambiguasi).
Kota Padang
‫كوتا ڤادڠ‬
Sumatera Sumatera Barat

Dari atas searah jarum jam: Pemandangan Padang dari Taman


Sitti Nurbaya, Pantai Padang, Tour de Singkarak, Masjid Raya
Sumatera Barat, Masjid Raya Ganting, Lapangan Imam Bonjol,
Pelabuhan Teluk Bayur, pemandangan muara Batang
Arau,Museum Adityawarman

Lambang
Semboyan: Padang Kota Tercinta

Kota Padang
‫كوتا ڤادڠ‬
Letak Padang di Indonesia
Koordinat: 0°57′0″LU 100°21′11″BT
Negara  Indonesia
Hari jadi 7 Agustus 1669
Pemerintahan
 • Wali kota Mahyeldi Ansharullah
Populasi (2012)[1]
 • Total 871.534 jiwa
Zona waktu WIB (UTC+7)
Kode telepon +62 751
Kecamatan 11[2]
Desa/kelurahan 104
Situs web www.padang.go.id

Kota Padang adalah kota terbesar di pantai barat Pulau Sumatera sekaligus ibu kota dari provinsi Sumatera Barat,
Indonesia. Kota ini memiliki wilayah seluas 694,96 km² dengan kondisi geografi berbatasan dengan laut namun
memiliki daerah perbukitan yang ketinggiannya mencapai 1.853 mdpl. Berdasarkan Data Agregat Kependudukan
per Kecamatan (DAK2) tahun 2012, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 871.534 jiwa yang didominasi
oleh etnis Minangkabau dan mayoritas masyarakat di kota ini menganut agama Islam.

Sejarah Kota Padang tidak terlepas dari peranannya sebagai kawasan rantau Minangkabau, yang berawal dari
perkampungan nelayan di muara Batang Arau lalu berkembang menjadi bandar pelabuhan yang ramai setelah
masuknya Belanda di bawah bendera Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hari jadi kota ini ditetapkan
pada 7 Agustus 1669, yang merupakan hari terjadinya pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan
monopoli VOC. Selama penjajahan Belanda, kota ini menjadi pusat perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-
rempah. Memasuki abad ke-20, ekspor batu bara dan semen mulai dilakukan melalui Pelabuhan Teluk Bayur.

Saat ini Kota Padang menjadi pusat perekonomian dengan jumlah pendapatan per kapita tertinggi di Sumatera Barat.
[3]
Selain itu, kota ini juga menjadi pusat pendidikan dan kesehatan di wilayah Sumatera bagian tengah, disebabkan
keberadaan sejumlah perguruan tinggi (termasuk Universitas Andalas, kampus tertua di luar Pulau Jawa) dan
fasilitas kesehatan yang cukup lengkap. Di kalangan masyarakat Indonesia, nama kota ini banyak dikenal sebagai
sebutan lain untuk etnis Minangkabau, dan juga digunakan untuk menyebut masakan khas mereka yang umumnya
dikenal sebagai masakan Padang.[4]

Sejarah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Kota Padang

Muara Padang pada tahun 1883-1889 (litografi berdasarkan cat air oleh Josias Cornelis Rappard)

Tidak ada data yang pasti siapa yang memberi nama kota ini Padang. Diperkirakan kota ini pada awalnya berupa
sebuah lapangan atau dataran yang sangat luas sehingga dinamakan Padang. Dalam bahasa Minang, kata padang
juga dapat bermaksud pedang.[5] Menurut tambo setempat, kawasan kota ini dahulunya merupakan bagian dari
kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari Dataran Tinggi Minangkabau (darek). Tempat
permukiman pertama mereka adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang
bernama Seberang Padang.[6] Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan sepanjang pesisir
barat Sumatera berada di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung.[7] Namun, pada awal abad ke-17 kawasan ini telah
menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.[8][9]

Kehadiran bangsa asing di Kota Padang diawali dengan kunjungan pelaut Inggris pada tahun 1649.[10] Kota ini
kemudian mulai berkembang sejak kehadiran bangsa Belanda di bawah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
pada tahun 1663, yang diiringi dengan migrasi penduduk Minangkabau dari kawasan luhak.[11] Selain memiliki
muara yang bagus, VOC tertarik membangun pelabuhan dan permukiman baru di pesisir barat Sumatera untuk
memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman Minangkabau. Selanjutnya pada tahun 1668, VOC
berhasil mengusir pengaruh Kesultanan Aceh dan menanamkan pengaruhnya di sepanjang pantai barat Sumatera,
sebagaimana diketahui dari surat Regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung yang berisi permintaan dilakukannya
hubungan dagang kembali dan mendistribusikan emas ke kota ini.[12] Dalam perkembangan selanjutnya, pada 7
Agustus 1669 terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC. Meski dapat diredam
oleh VOC, peristiwa tersebut kemudian diabadikan sebagai tahun lahir Kota Padang.[13]
Gerbang bertuliskan ucapan selamat datang dalam bahasa Belanda yang dibuat untuk menyambut kedatangan
Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum di Padang pada Maret 1916

Beberapa bangsa Eropa silih berganti mengambil alih kekuasaan di Kota Padang. Pada tahun 1781, akibat rentetan
Perang Inggris-Belanda Keempat, Inggris berhasil menguasai kota ini.[14][15] Namun, setelah ditandatanganinya
Perjanjian Paris pada tahun 1784 kota ini dikembalikan kepada VOC.[16] Pada tahun 1793 kota ini sempat dijarah dan
dikuasai oleh seorang bajak laut dari Perancis yang bermarkas di Mauritius bernama François Thomas Le Même,
yang keberhasilannya diapresiasi oleh pemerintah Perancis waktu itu dengan memberikannya penghargaan. [17]
Kemudian pada tahun 1795, Kota Padang kembali diambil alih oleh Inggris. [14] Namun, setelah peperangan era
Napoleon, pada tahun 1819 Belanda mengklaim kembali kawasan ini yang kemudian dikukuhkan melalui Traktat
London, yang ditandatangani pada 17 Maret 1824.[18] Pada tahun 1837, pemerintah Hindia-Belanda menjadikan
Padang sebagai pusat pemerintahan wilayah Pesisir Barat Sumatera (Sumatra's Westkust) yang wilayahnya meliputi
Sumatera Barat dan Tapanuli sekarang.[19] Selanjutnya kota ini menjadi daerah gemeente sejak 1 April 1906 setelah
keluarnya ordonansi (STAL 1906 No.151) pada 1 Maret 1906.

Menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang pada 17 Maret 1942, Kota Padang telah ditinggalkan begitu saja
oleh Belanda karena kepanikan mereka. Pada saat bersamaan Soekarno sempat tertahan di kota ini karena pihak
Belanda waktu itu ingin membawanya turut serta melarikan diri ke Australia.[20] Kemudian panglima Angkatan
Darat Jepang untuk Sumatera menemuinya untuk merundingkan nasib Indonesia selanjutnya. [21] Setelah Jepang
dapat mengendalikan situasi, kota ini kemudian dijadikan sebagai kota administratif untuk urusan pembangunan dan
pekerjaan umum.[22]

Berita kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru sampai ke Kota Padang sekitar akhir bulan Agustus.
Namun, pada 10 Oktober 1945 tentara Sekutu telah masuk ke Kota Padang melalui Pelabuhan Teluk Bayur, dan
kemudian kota ini diduduki selama 15 bulan.[23] Pada tanggal 9 Maret 1950, Kota Padang dikembalikan ke tangan
Republik Indonesia setelah sebelumnya menjadi negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui surat
keputusan Presiden RIS nomor 111. Kemudian, berdasarkan Undang-undang Nomor 225 tahun 1948, Gubernur
Sumatera Tengah waktu itu melalui surat keputusan nomor 65/GP-50, pada 15 Agustus 1950 menetapkan Kota
Padang sebagai daerah otonom. Wilayah kota diperluas, sementara status kewedanaan Padang dihapus dan
urusannya pindah ke Wali kota Padang.[22]

Pada 29 Mei 1958, Gubernur Sumatera Barat melalui Surat Keputusan Nomor 1/g/PD/1958, secara de facto
menetapkan Padang menjadi ibu kota provinsi Sumatera Barat, dan secara de jure pada tahun 1975, yang ditandai
dengan keluarnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Kemudian,
setelah menampung segala aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 tahun 1980, yang menetapkan perubahan batas-batas wilayah Kota Padang sebagai
pemerintah daerah.[24] Saat ini, Kota Padang sedang diusulkan untuk berubah status menjadi kota metropolitan.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 2012, wilayah Metropolitan Padang meliputi
Kota Padang, Lubuk Alung (Kabupaten Padang Pariaman), Kota Pariaman, Arosuka (Kabupaten Solok), Kota
Solok, dan Painan (Kabupaten Pesisir Selatan).[25]

Panorama Kota Padang di sehiliran Batang Arau pada abad ke-19.

Geografi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Geografi Kota Padang
Salah satu sudut Kota Padang dari udara

Kota Padang terletak di pantai barat pulau Sumatera, dengan luas keseluruhan 694,96 km² atau setara dengan 1,65%
dari luas provinsi Sumatera Barat.[26] Lebih dari 60% luas Kota Padang (± 434,63 km²) merupakan daerah perbukitan
yang ditutupi hutan lindung, sementara selebihnya merupakan daerah efektif perkotaan. Kota Padang memiliki garis
pantai sepanjang 84 km dan pulau kecil sebanyak 19 buah (di antaranya yaitu Pulau Sikuai dengan luas 4,4 ha di
Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Pulau Toran seluas 25 ha dan Pulau Pisang Gadang di Kecamatan Padang
Selatan).[27][28] Daerah perbukitan membentang di bagian timur dan selatan kota. Bukit-bukit yang terkenal di Kota
Padang di antaranya adalah Bukit Lampu, Gunung Padang, Bukit Gado-Gado, dan Bukit Pegambiran.

Secara geografis, Kota Padang termasuk salah satu daerah rawan gempa bumi. Pada tahun 1833, Residen James du
Puy melaporkan terjadi gempa bumi yang diperkirakan berkekuatan 8.6–8.9 skala Richter di Padang yang
menimbulkan tsunami.[29] Sebelumnya pada tahun 1797, juga diperkirakan oleh para ahli pernah terjadi gempa bumi
berkekuatan 8.5–8.7 skala Richter, yang juga menimbulkan tsunami di pesisir Kota Padang dan menyebabkan
kerusakan pada kawasan Pantai Air Manis.[29]

Sungai Batang Arau

Pada 30 September 2009, kota ini kembali dilanda gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter,[30] dengan titik pusat
gempa di laut pada 0.84° LS dan 99.65° BT dengan kedalaman 71 km, yang menyebabkan kehancuran 25%
infrastruktur yang ada di kota ini.[31] Dalam kunjungan serta mengawasi secara langsung proses evakuasi dan
pemulihan karena bencana ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta seluruh aparat pemerintah untuk
mengutamakan kegiatan tanggap darurat kemudian dilanjutkan dengan rehabilitasi serta rekonstruksi. [32] Pada 27
Oktober 2010 presiden kembali ke kota ini untuk meninjau dan memastikan kegiatan tanggap darurat atas bencana
gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Kepulauan Mentawai.[33]

Ketinggian di wilayah daratan Kota Padang sangat bervariasi, yaitu antara 0 m sampai 1.853 m di atas permukaan
laut dengan daerah tertinggi adalah Kecamatan Lubuk Kilangan. Suhu udaranya cukup tinggi, yaitu antara 23 °C–
32 °C pada siang hari dan 22 °C–28 °C pada malam hari, dengan kelembabannya berkisar antara 78%–81%.[34] Kota
Padang memiliki banyak sungai, yaitu 5 sungai besar dan 16 sungai kecil, dengan sungai terpanjang yaitu Batang
Kandis sepanjang 20 km. Tingkat curah hujan Kota Padang mencapai rata-rata 405,58 mm per bulan dengan rata-
rata hari hujan 17 hari per bulan. Tingginya curah hujan membuat kota ini cukup rawan terhadap banjir. Pada tahun
1980 2/3 kawasan kota ini pernah terendam banjir karena saluran drainase kota yang bermuara terutama ke Batang
Arau tidak mampu lagi menampung limpahan air tersebut.[35]
[sembunyikan]Data iklim Kota Padang
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Tahun
Presipitasi mm (inci) 340 250 300 370 300 270 270 320 380 480 510 460 4290
Sumber: Weatherbase [36]

Tata ruang
Kota Padang memiliki karakteristik ruang perkotaan yang menghadap Samudera Hindia dan dikelilingi oleh jajaran
Pegunungan Bukit Barisan. Perkembangan kawasan urban di Padang bergerak ke arah utara dan timur dari kawasan
kota tua di muara Batang Arau.[37] Penataan wilayah kota saat ini mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang Tahun 2010–2030. Wilayah barat Padang yang berdekatan
dengan pantai merupakan kawasan jantung perkotaan yang menjadi pusat bisnis, sedangkan wilayah timur
dikembangkan sebagai kawasan permukiman dan pusat pendidikan.[38][39] Pemindahan pusat pemerintahan Kota
Padang ke wilayah timur (Air Pacah, Kecamatan Koto Tangah) pada tahun 2010 adalah salah satu upaya
mengurangi konsentrasi penduduk di kawasan pusat kota.

Panorama Kota Padang dari Gunung Padang pada 28 Juni 2013. Padang memiliki ruang perkotaan yang menghadap
Samudera Hindia ke arah barat dan dikelilingi Pegunungan Bukit Barisan dari arah timur.

Arsitektur

Masjid Raya Sumatera Barat merupakan salah satu bentuk modernisasi arsitektur tradisional di Kota Padang

Dari sisi arsitektur bangunan yang ada di Kota Padang saat ini berada dalam transformasi penemuan kembali tradisi
dalam bentuk ekspresi arsitektur modern tetapi tradisional.[40] Kota ini secara umum mampu mengimbangi
perkembangan bentuk arsitektur impor yang terus muncul di setiap kota di Indonesia dengan seni arsitektur
tradisionalnya.[41] Hal ini juga terlihat selain pada bangunan dijumpai juga bermacam gapura pada beberapa ruas
jalan dengan ciri khas atap gonjong.[42] Gonjong ini merupakan salah satu bagian simbol etnik, merepresentasikan
makna filosofi Minangkabau yang terabstrasikan ke dalam bentuk bangunan.[43] Walaupun saat ini telah terjadi
pergeseran nilai budaya mengancam eksistensi nilai-nilai yang masih asli, masyarakat Minang pun merasa bahwa
citra arsitektur vernakular mereka cukup terwakili oleh atap gonjong saja.[44]

Sebelumnya dari sehiliran Batang Arau menuju Muara Pantai Padang terdapat beberapa bangunan tua dengan ciri
arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan gaya model untuk daerah tropis antaranya NHM (Nederlansche Handels-
Maatschappij), Padangsche Spaarbank, De Javansche Bank, dan NV Internatio yang didirikan sebelum 1920 dan
menjadi saksi bisu jejak kolonial yang tertinggal.[45]

Taman dan hutan kota

Ruang Terbuka Hijau (RTH) Imam Bonjol di pusat Kota Padang.

Sejak tahun 1995, Pemerintah Kota Padang telah mulai mengembangkan hutan kota termasuk Ruang Terbuka Hijau
(RTH) yang berfungsi meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman dan indah, sekaligus
sebagai salah satu sarana rekreasi terutama bagi warga kotanya.[46] Selain tetap mempertahankan beberapa RTH
yang telah ada seperti RTH Imam Bonjol[47] dan RTH Taman Melati, pemerintah kota berencana membangun hutan
kota pada kawasan Delta Malvinas yang berada pada sehiliran Batang Kuranji.[48]

Sementara pada Kecamatan Lubuk Kilangan, terdapat Taman Hutan Raya Bung Hatta, yang merupakan kawasan
konservasi pelestarian plasma nutfah flora hutan seluas 240 ha.[49] Taman Hutan Raya ini berbatasan dengan
Kabupaten Solok, dan telah dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam, sarana pendidikan dan penelitian serta juga
berfungsi hidroorologi dan penangkal polusi khususnya bagi Kota Padang.[50]

Kota Padang mendapat piala Adipura untuk pertama kalinya pada tahun 1986 dari Presiden Soeharto atas
prestasinya menjadi salah satu kota terbersih di Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1991 kota ini juga memperoleh
Adipura Kencana.[13] Hingga tahun 2009 Kota Padang telah mendapat 17 kali penghargaan Adipura selama 4
periode penilaian.[51]

Kependudukan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kependudukan Kota Padang

Kota Padang merupakan kota dengan jumlah penduduk paling banyak di provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan data
kependudukan tahun 2008, diketahui rasio jenis kelamin 99.13, sedangkan jumlah angkatan kerja 344.497 orang
dengan jumlah pengangguran 50.343 orang.[26] Pada tahun 2009 kota ini bersama dengan kota Makassar, Denpasar,
dan Yogyakarta, ditetapkan oleh Kemendagri sebagai empat kota proyek percontohan penerapan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Indonesia.[52][53][54]
Tahun 1819 1874 1930 1971 1980 1990 2008 2010 2012
Jumlah 25.00 52.05 195.91 480.60 631.26 856.81 833.58 871.53
8.500
penduduk 0 4 2 7 3 5 4 4
Sejarah kependudukan Kota Padang
Sumber:[1][11][26][55]

Etnis

Uda dan Uni Kota Padang 2012 dengan pakaian tradisional etnis Minangkabau.

Penduduk Padang sebagian besar berasal dari etnis Minangkabau.[56] Etnis lain yang juga bermukim di sini adalah
Jawa, Tionghoa, Nias, Mentawai, Batak, Aceh, dan Tamil. Orang Minang di Kota Padang merupakan perantau dari
daerah lainnya dalam Provinsi Sumatera Barat. Pada tahun 1970, jumlah pendatang sebesar 43% dari seluruh
penduduk, dengan 64% dari mereka berasal dari daerah-daerah lainnya dalam provinsi Sumatera Barat. Pada tahun
1990, dari jumlah penduduk Kota Padang, 91% berasal dari etnis Minangkabau. [11]

Orang Nias sempat menjadi kelompok minoritas terbesar pada abad ke-19. VOC membawa mereka sebagai budak
sejak awal abad ke-17. Sistem perbudakan diakhiri pada tahun 1854 oleh Pengadilan Negeri Padang. Pada awalnya
mereka menetap di Kampung Nias, namun kemudian kebanyakan tinggal di Gunung Padang. Cukup banyak juga
orang Nias yang menikah dengan penduduk Minangkabau. Selain itu, ada pula yang menikah dengan orang Eropa
dan Tionghoa. Banyaknya pernikahan campuran ini menurunkan persentase suku Nias di Padang.[57]

Belanda kemudian juga membawa suku Jawa sebagai pegawai dan tentara, serta ada juga yang menjadi pekerja di
perkebunan. Selanjutnya, pada abad ke-20 orang Jawa kebanyakan datang sebagai transmigran. Selain itu, suku
Madura, Ambon dan Bugis juga pernah menjadi penduduk Padang, sebagai tentara Belanda pada masa perang Padri.
Penduduk Tionghoa datang tidak lama setelah pendirian pos VOC. Orang Tionghoa di Padang yang biasa disebut
dengan Cina Padang, sebagian besar sudah membaur dan biasanya berbahasa Minang.[57] Pada tahun 1930 paling
tidak 51% merupakan perantau keturunan ketiga, dengan 80% adalah Hokkian, 2% Hakka, dan 15% Kwongfu.
Suku Tamil atau keturunan India kemungkinan datang bersama tentara Inggris. Daerah hunian orang Tamil di
Kampung Keling merupakan pusat niaga. Sebagian besar dari mereka yang bermukim di Kota Padang sudah
melupakan budayanya.[58] Orang-orang Eropa dan Indo yang pernah menghuni Kota Padang menghilang selama
tahun-tahun di antara kemerdekaan (1945) dan nasionalisasi perusahaan Belanda (1958). [57]

Agama

Masjid Raya Ganting, merupakan masjid tertua di Padang

Mayoritas penduduk Kota Padang memeluk agama Islam. Kebanyakan pemeluknya adalah orang Minangkabau.
Agama lain yang dianut di kota ini adalah Kristen, Buddha, dan Khonghucu, yang kebanyakan dianut oleh penduduk
bukan dari suku Minangkabau. Beragam tempat peribadatan juga dijumpai di kota ini. Selain didominasi oleh
masjid, gereja dan klenteng juga terdapat di Kota Padang.

Masjid Raya Ganting merupakan masjid tertua di kota ini, yang dibangun sekitar tahun 1700. Sebelumnya masjid ini
berada di kaki Gunung Padang sebelum dipindahkan ke lokasi sekarang. Beberapa tokoh nasional pernah salat di
masjid ini di antaranya Soekarno, Hatta, Hamengkubuwana IX dan A.H. Nasution.[59] Bahkan Soekarno sempat
memberikan pidato di masjid ini.[60] Masjid ini juga pernah menjadi tempat embarkasi haji melalui pelabuhan
Emmahaven (sekarang Teluk Bayur) waktu itu, sebelum dipindahkan ke Asrama Haji Tabing sekarang ini.[61]

Gereja katholik dengan arsitektur Belanda telah berdiri sejak tahun 1933[62] di kota ini, walaupun French Jesuits
telah mulai melayani umatnya sejak dari tahun 1834, seiring bertambahnya populasi orang Eropa waktu itu.[63]

Dalam rangka mendorong kegairahan penghayatan kehidupan beragama terutama bagi para penganut agama Islam
pada tahun 1983 untuk pertama kalinya di kota ini diselenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat
nasional yang ke-13.[63]

Pemerintahan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemerintahan Kota Padang dan Daftar Wali Kota Padang

Masa kolonial

Balai Kota Padang tempo dulu

Pertumbuhan beberapa kawasan yang sedemikian pesat telah menimbulkan masalah baru bagi pemerintah kolonial
Hindia-Belanda. Meskipun mekanisme dan kegiatan pemerintahan telah bertambah maju, namun pemerintahan
Hindia Belanda yang mencakup kepulauan yang terpencar-pencar dan saling berjauhan itu tidak dapat terawasi
secara efektif. Keadaan tersebut akhirnya menyebabkan warga kolonial menginginkan pemodelan urusan
pemerintahannya sebagaimana model di negeri Belanda sendiri, yaitu sistem kekotaprajaan yang diperintah oleh
seorang wali kota dan bertanggung jawab kepada Dewan Kotapraja. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka pada
tanggal 1 Maret 1906, berdasarkan ordonansi (STAL 1906 No.151) yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal J.B.
van Heutsz sistem pemerintahan desentralisasi mulai diperkenalkan di Hindia Belanda.

Sejak 1 April 1906 termasuk Kota Padang telah berstatus gemeente (kota), yang kemudian diiringi dengan
pembentukan Dewan Kotapraja. Tugas utamanya adalah perbaikan tingkat kesehatan masyarakat dan transportasi,
termasuk penanganan masalah-masalah bangunan, pemeliharaan jalan dan jembatan serta penerangan jalan-jalan,
begitu pula pengontrolan sanitasi, kebersihan selokan dan sampah-sampah, pengelolaan persediaan air, pengelolaan
pasar dan rumah potong, perluasan kota dan kawasan permukiman, tanah pekuburan, dan pemadam kebakaran. [64]

Pada tahun 1928 Mr. W.M. Ouwerkerk dipilih sebagai Burgemeester (wali kota) yang memerintah Kota Padang
hingga tahun 1940. Ia kemudian digantikan oleh D. Kapteijn sampai masuknya tentara pendudukan Jepang tahun
1942. Dalam meningkatkan layanan pemerintahan pada tahun 1931 dibangunlah gedung Gemeente Huis (Balai
Kota) dengan arsitektur gaya balai kota Eropa berciri khas sebuah menara jam yang berlokasi di Jalan Raaffweg
(sekarang Jalan Mohammad Yamin, Kecamatan Padang Barat).

Awal kemerdekaan

Wali Kota Padang kedua Bagindo Azizchan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional era kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr. Abubakar Jaar diangkat sebagai wali kota pertama Kota Padang
dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Mr. Abubakar Jaar merupakan seorang pamong sejak zaman Belanda, [65]
yang kemudian menjadi residen di Sumatera Utara.[66] Pada tanggal 15 Agustus 1946 dipilih Bagindo Azizchan
sebagai wali kota kedua,[67] atas usulan Residen Mr. St. M. Rasjid,[68][69] seiring dengan keadaan negara dalam situasi
darurat perang akibat munculnya agresi Belanda. Kemudian pada tanggal 19 Juli 1947, Belanda melancarkan sebuah
serangan militer dalam Kota Padang. Bagindo Azizchan yang waktu itu berada di Lapai ikut tewas terbunuh sewaktu
menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan Kota Padang.[70]

Untuk menghindari kekosongan pemerintahan, Said Rasad dipilih sebagai pengganti, dan menjadi Wali kota ketiga.
Kemudian ia memindahkan pusat pemerintahan ke Kota Padangpanjang.[22] Namun, pada bulan September 1947,
Belanda menunjuk Dr. A. Hakim, untuk menjadi wali kota Padang.[22]

Pada awal tahun 1950-an, sewaktu Dr. Rasidin menjadi wali kota Padang, ia mengeluarkan kebijakan pelarangan
penggunaan becak sebagai sarana transportasi angkutan umum di Kota Padang, karena dianggap kurang manusiawi.
[22]
Kemudian pada tahun 1956 B. Dt. Pado Panghulu, seorang penghulu dari Kota Bukittinggi, terpilih sebagai wali
kota Padang berikutnya.[65] Tidak lama kemudian, pecah ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Ketegangan memuncak pada tanggal 15 Februari 1958, dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) dideklarasikan. Selanjutnya, PRRI yang dianggap sebagai pemberontak [71] oleh pemerintah pusat
dihancurkan dengan pengiriman kekuatan militer terbesar yang tercatat dalam sejarah Indonesia.[72] Akibat peristiwa
ini juga, terjadi eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain.[73]

Setelah PRRI pada tanggal 31 Mei 1958, Z. A. St. Pangeran dilantik menjadi wali Kota Padang yang ketujuh,
dengan setumpuk beban berat. Selain melanjutkan pembangunan, ia juga harus memulihkan kondisi psikologis
masyarakat yang tercabik akibat perang saudara.[73] Namun pada pertengahan tahun 1966, dia dipaksa mundur dari
jabatannya oleh para mahasiswa.[23]

Orde Baru dan otonomi daerah

Balai Kota Padang di Jalan Bagindo Azizchan, Air Pacah.

Setelah runtuhnya demokrasi terpimpin pasca Gerakan 30 September, dan kemudian muncul istilah Orde Baru, pada
tahun 1966, Drs. Azhari ditunjuk menjadi wali kota oleh pihak militer menggantikan wali kota sebelumnya yang
dianggap cendrung berpihak kepada PKI waktu itu.[23][63] Pada tahun 1967, ia digantikan oleh Drs. Akhiroel Yahya
sebagai wali kota berikutnya.[13]

Pada tahun 1971, Drs. Hasan Basri Durin ditunjuk menjadi pejabat wali kota mengantikan wali kota sebelumnya.
Tahun 1973 dia terpilih menjadi wali kota definitif, memimpin Kota Padang selama dua periode sampai tahun 1983,
[74]
sebelum digantikan oleh Syahrul Ujud S.H.,[75] yang menjadi wali Kota Padang selama dua periode berikutnya.
Selanjutnya, pada tahun 1993, terpilih seorang mantan wartawan Drs. Zuiyen Rais, M.S.,[76] yang juga memimpin
Kota Padang selama dua periode sampai pada tahun 2003.

Dalam suasana reformasi pemerintahan dan era otonomi daerah, Drs. Fauzi Bahar, M.M, terpilih kembali pada tahun
2009 untuk masa jabatan kedua kalinya sebagai wali Kota Padang dalam pemilihan langsung pada kali pertama,
sedangkan pada masa jabatan sebelumnya pada tahun 2004 dia masih dipilih melalui sistem perwakilan di DPRD
kota.[77]

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011 pada tanggal 18 April 2011, pusat
pemerintahan Kota Padang secara resmi dipindahkan dari Kecamatan Padang Barat ke Kecamatan Kototangah.[78] Di
samping untuk mengurangi konsentrasi masyarakat di kawasan pantai dan mendekatkan pelayanan kepada
masyarakat di timur dan utara kota, pemindahan ini juga dilakukan mengingat lokasi pusat pemerintahan kota
sebelumnya berada pada zona yang dikategorikan bahaya terhadap kemungkinan terjadinya bencana tsunami.[79]
Kompleks pusat pemerintahan dibangun di kawasan eks Terminal Regional Bingkuang (TRB) di Air Pacah dan
mulai diresmikan penggunaannya pada 30 September 2013.[80]

Sesuai dengan konstitusi yang berlaku, DPRD kota merupakan perwakilan rakyat. Untuk Kota Padang, anggota
DPRD kota adalah sebanyak 45 orang.[77] Pengaruh reformasi politik dan pemerintahan juga membawa perubahan
peta politik di Kota Padang. Walaupun sebelumnya pada pemilu periode 1999-2004, anggota DPRD Kota Padang
masih didominasi oleh partai Golkar, selanjutnya pemilu legislatif 2004-2009, seiring dengan perubahan beberapa
regulasi penyelenggaraan otonomi daerah, PAN mulai mengerogoti dominasi partai Golkar dan secara bersama
menguasai parlemen kota.[82] Kemudian dari hasil pemilu legislatif 2009-2014, tersusun DPRD Kota Padang dari
perwakilan sembilan partai. Hasil pemilu legislatif 2014, tersusun DPRD Kota Padang dari perwakilan sebelas
partai. Hasil pemilu menunjukkan, Partai Gerindra dan PAN menguasai DPRD Kota Padang. [81]

Pendidikan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pendidikan di Kota Padang dan Perguruan Tinggi di Padang

Kampus Universitas Andalas (Unand) di Limau Manis. Unand adalah universitas tertua di luar Jawa.

Kota Padang sejak dari zaman kolonial Belanda telah menjadi pusat pendidikan di Sumatera Barat. Tercatat pada
tahun 1864, jumlah pelajar yang terdaftar di sekolah yang ada di kota ini sebanyak 237 orang. [83]

Untuk memberikan pelayanan dan kemudahan bagi siswa dan orang tua murid, pemerintah kota bekerja sama
dengan UNP dan Telkom sejak 1 Juli 2010 kembali menyelenggarakan Penerimaan Siswa Baru (PSB) Online untuk
sekolah negeri jenjang SMP dan SMA, dengan perbaikan pola dan sistem dibandingkan tahun sebelumnya. [84][85]
Sistem yang telah diterapkan sejak tahun 2006 ini,[84] akan memotivasi sekaligus memudahkan seluruh siswa yang
akan melanjutkan pendidikannya di masing-masing tingkatan pendidikan. Mereka dapat memilih sekolah favoritnya
berdasarkan rangking nilai yang mereka dapat dan diketahui secara langsung dan transparan. [86]

Saat ini, telah berdiri sejumlah perguruan tinggi di Kota Padang. Universitas Andalas yang berlokasi di Limau
Manis merupakan universitas tertua di luar Jawa. Universitas ini diresmikan oleh Wakil Presiden pertama
Mohammad Hatta pada tahun 1955. Perguruan tinggi negeri lainnya yakni Politeknik Negeri Padang yang juga
berlokasi di Limau Manis, Universitas Negeri Padang (sebelumnya bernama IKIP Padang) di Air Tawar, Institut
Agama Islam Negeri Imam Bonjol di Lubuk Lintah, Politeknik Kesehatan Padang di Siteba, dan Akademi
Teknologi Industri Padang di Tabing. Beberapa perguruan tinggi swasta juga berada di kota ini, seperti Universitas
Bung Hatta yang terletak di pinggir pantai Ulak Karang, Institut Teknologi Padang yang terletak di jalan Gajah
Mada, dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat yang terletak di Pasir Jambak.

Perpustakaan Daerah Sumatera Barat terletak di Kota Padang termasuk salah satu perpustakaan terbaik di Indonesia,
dengan jumlah koleksi yang mencapai 30.000 judul, termasuk fasilitas dan pengelolaan yang maksimum, serta
jumlah pengunjung pustaka yang tinggi.[87] Setelah gempa bumi kegiatan Perpustakaan Daerah Sumatera Barat sejak
1 Februari 2010 untuk sementara dipindahkan ke Tabing, menunggu pembangunan gedung baru yang sebelumnya
mengalami kerusakan parah.[88]
SD atau SMP atau SMA MA SMK
Pendidikan MI negeri MTs negeri negeri negeri Perguruan
formal dan negeri dan dan dan dan tinggi
swasta swasta swasta swasta swasta
Jumlah
477 129 49 10 42 58
satuan
Data sekolah di Kota Padang
Sumber:[89][90][91]

Kesehatan

Sebagai salah satu pusat kesehatan di Pulau Sumatera, Kota Padang telah memiliki fasilitas kesehatan yang cukup
lengkap. Selain memiliki beberapa rumah sakit yang bertaraf nasional dan internasional, rumah sakit tersebut juga
telah didukung oleh beberapa perguruan tinggi yang berkaitan dengan kesehatan. Rumah Sakit Umum Dr. M.
Djamil yang didirikan oleh pemerintah pusat pada tahun 1953 merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah
Sumatera bagian tengah.[93] Rumah sakit ini telah berafiliasi dengan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan
Politeknik Kesehatan Padang. Setelah gempa 30 September 2009, kondisi bangunan dan peralatan rumah sakit ini
memprihatinkan.[94] Rumah Sakit M. Djamil saat ini tengah berusaha memperbaiki program Hospital Disaster untuk
mengantisipasi kejadian serupa nantinya.[95]

Pemerintahan Kota Padang sendiri juga telah memiliki rumah sakit yang bernama Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Rasidin.[96] Untuk memberikan pelayanan yang maksimal, pemerintahan Kota Padang juga telah mendirikan
sebanyak 20 buah puskesmas dan 58 buah puskesmas pembantu pada wilayah kecamatan di kota ini. Untuk tahun
2007, satu puskesmas di Kota Padang rata-rata melayani 41.000 orang. Angka ini lebih tinggi dari konsep ideal
wilayah puskesmas yang hanya untuk melayani 30.000 orang saja, sehingga jika ditinjau dari penyebaran, sarana
kesehatan sudah memadai. Namun jika ditinjau dari aspek mutu pelayanan kesehatan masih jauh dari yang
diharapkan.[92]

Selain itu, di kota ini juga terdapat sejumlah rumah sakit yang dikelola oleh BUMN, Kepolisian, TNI AD dan pihak
swasta. Pada tahun 2013, PT Semen Padang meresmikan Semen Padang Hospital yang merupakan rumah sakit
bertaraf internasional pertama di Sumatera Barat.[97] Rumah Sakit Tentara Dr. Reksodiwiryo yang dikelola oleh TNI
AD terletak pada kawasan cagar budaya Ganting. Rumah sakit ini berdiri pada komplek bangunan peninggalan
zaman Belanda dan sebelumnya merupakan tempat peristirahatan para tentara kolonial. [68] Rumah Sakit Selasih
merupakan rumah sakit swasta yang dikelola secara bersama dengan pihak Kumpulan Perubatan Johor (KPJ) Sdn
Bhd dari Malaysia,[98] namun akibat gempa bumi 30 September 2009 rumah sakit ini mengalami kerusakan berat.[99]

Pelayanan umum
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pelayanan umum Kota Padang

Untuk melayani kebutuhan akan air bersih, pemerintah kota melalui PDAM Kota Padang sampai tahun 2007 telah
memiliki 13 unit sumur bor dan Instalasi Pengolahan Air Lengkap (IPAL) di wilayah Gunung Pangilun dan Instalasi
Pengolahan Air (IPA) di wilayah Lubuk Minturun, Ulu Gadut, Pegambiran dan Bungus.[100] Sekitar 60% akan
kebutuhan air bersih dipasok dari perusahaan pemerintah daerah ini.[101] Selain itu pada tahun 2006 kota ini
diharapkan telah memiliki fasilitas untuk penyediaan air siap minum.[102]

Sedangkan untuk mengantisipasi kebutuhan akan energi listrik, di kota ini telah dibangun PLTU Teluk Sirih unit I
yang terletak di Kecamatan Bungus Teluk Kabung dan ditargetkan selesai pada Desember 2011 dengan kapasitas
1x112 MW.[103] Namun karena banyaknya kendala selama pembangunan konstruksinya, proyek ini kemungkinan
baru dapat diselesaikan pada bulan Juli 2012.[104][105][106]
Untuk jaringan telekomunikasi, hampir di setiap kawasan dalam kota ini telah terjangkau jaringan telepon genggam.
Pada kawasan tertentu telah tersedia layanan gratis internet tanpa kabel (Wi-Fi) atau dikenal juga dengan hotspot
yang terdapat pada beberapa perguruan tinggi, pusat perbelanjaan, hotel, bahkan kantor polisi.[107][108]

Dalam menangani masalah sampah, pemerintah kota memfungsikan lahan pada Kecamatan Koto Tangah di TPA
Air Dingin seluas 30.3 ha, yang berjarak 17 km dari pusat kota serta berjarak 7 km dari kawasan permukiman. Dari
1.432 m³ sampah per hari yang dihasilkan di Kota Padang, hanya 800 m³ sampah per hari yang dapat dikelola di
TPA tersebut.[109] Selain itu kota ini juga masih terkendala dengan jumlah armada untuk mengangkut sampah yang
tidak sebanding dengan banyaknya sampah, idealnya kota ini memiliki 150 buah kendaraan pengangkut sampah
yang saat ini baru tersedia sebanyak 63 buah.[110]

TPU Tunggul Hitam

Penyediaan sarana Tempat Pemakaman Umum (TPU) bagi masyarakat merupakan bagian dari tugas pemerintah
dalam partisipasinya kepada rakyat. Dalam hal ini Pemerintah Kota Padang telah menyediakan lahan untuk
penggunaan tersebut pada beberapa kawasan, di antaranya TPU Tunggul Hitam dan TPU Air Dingin.[111]

Sejak dahulu Kota Padang sangat rawan terhadap banjir. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda telah mencoba
menanggulangi di antaranya dengan menata tata ruang dan tata kota terutama memperbaiki beberapa bantaran
sungai yang membelah kota ini,[112] namun belakangan hal ini terabaikan sehingga baru-baru ini banjir sampai
merendam beberapa kawasan di Kota Padang.[113] Sebelumnya beberapa kawasan terutama di Kecamatan Koto
Tangah merupakan kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air namun pemerintah kota menetapkan
kawasan tersebut sebagai daerah perkembangan perumahan sehingga menjadi daerah permukiman padat penduduk.
Perubahan fungsi ini berdampak jika curah hujan cukup tinggi (>223,03 mm/jam) maka terjadi banjir yang
menggenangi kawasa seluas 44.09 Ha dengan tinggi genangan air mencapai 60 cm selama lebih dari 6 jam.[114]
Sementara sistem jaringan drainase Kota Padang terdiri dari 19 areal dengan luas cakupan 3.986 Ha, yang
kesemuanya mengalir ke arah sungai utama yaitu Batang Arau, Batang Kuranji dan Batang Air Dingin.[109]

Kota Padang termasuk kota di Indonesia yang berada pada kawasan berkategori rawan gempa bumi dan tsunami.
Untuk mengantisipasi hal itu pemerintah setempat telah membangun beberapa kawasan tertentu sebagai lokasi
evakuasi terhadap kemungkinan bencana alam tersebut.[115][116] Namun belajar dari pengalaman gempa bumi 30
September 2009, beberapa jalur jalan evakuasi yang telah dirancang sejak tahun 2005 belum dapat memberikan
sistem penyelamatan massive yang baik bagi masyarakat yang umumnya berada di zona merah bahaya tsunami.[117]
Tingginya tingkat kekacauan lalu lintas, serta kurangnya koordinasi pada masyarakat waktu itu,[118] membuat
pemerintah setempat perlu memikirkan mitigasi bencana yang tepat dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi
pada masa depan.[119][120][121]

Pada tahun 2011, di kota ini selesai dibangun gudang Palang Merah Indonesia (PMI) yang ketiga di Indonesia.
Gudang regional ini memiliki kapasitas untuk menampung 2.000 paket family kit, 2.000 paket terpal, 2.000 kotak
hygiene kit, 4.000 paket matras, 4.000 kelambu, 8.000 jerigen, dan 1.000 kantung mayat. Pemerintah berharap
gudang ini dapat berfungsi dalam penanggulangan bencana alam terutama di wilayah Sumatera.[122]

Perhubungan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perhubungan Kota Padang

Angkutan kota di Padang


Stasiun kereta api Tabing, Padang

Pelabuhan Teluk Bayur

Pada awalnya rute utama yang menghubungkan kawasan rantau (Kota Padang) dengan darek (pedalaman
Minangkabau) masa lalu, adalah jalur yang pernah ditempuh Raffles pada tahun 1818 untuk menuju Pagaruyung
melalui kawasan Kubung XIII di Kabupaten Solok sekarang. [123] Saat ini ada tiga ruas jalan utama yang
menghubungkan Kota Padang dengan kota-kota lain di Sumatera. Jalan ke utara menghubungkan kota ini dengan
Kota Bukittinggi, dan di sana bercabang ke Kota Medan dan Pekanbaru. Terdapat pula cabang jalan di dekat Lubuk
Alung ke arah Kota Pariaman. Jalan ke timur menuju Kabupaten Solok dan Kota Solok, yang tersambung dengan
Jalan Lintas Sumatera bagian tengah. Sebelumnya, di Arosuka terdapat persimpangan menuju Kabupaten Kerinci
melalui Kabupaten Solok Selatan. Jalan ke selatan yang menyusuri pantai barat Sumatera menghubungkan Kota
Padang dengan provinsi Bengkulu, melalui Kabupaten Pesisir Selatan.

Terminal Regional Bingkuang (TRB) berada di Air Pacah dan selesai dibangun tahun 1999. Terminal ini
menggantikan Terminal Lintas Andalas di Olo Ladang. Penggunaan TRB ini tidak seperti yang diharapkan, dan
sampai beberapa tahun sesudahnya belum juga dapat menggantikan terminal lama.[124] Setelah gempa tanggal 30
September 2009, TRB dialihfungsikan sebagai kantor pemerintahan daerah Kota Padang untuk sementara waktu.[125]
Namun setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011, tentang persetujuan relokasi pusat
pemerintahan Kota Padang, kawasan TRB kemudian dialih fungsikan menjadi kawasan pusat pemerintahan kota.
Akibatnya saat ini Padang menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang tidak mempunyai terminal. [126] Selanjutnya
sebagai pengganti pemerintah Kota Padang membangun terminal angkutan penyangga pada tiga lokasi yakni, arah
utara di Lubukbuaya, Kecamatan Kototangah, arah selatan di Gaung, Kecamatan Lubukbegalung dan arah timur di
Bandarbuek, Kecamatan Lubukkilangan.

Penemuan cadangan batubara di Kota Sawahlunto mendorong Pemerintah Hindia Belanda membangun rel kereta
api serta rute jalan baru melalui Kota Padangpanjang sekarang, yang diselesaikan pada 1896.[127] Jalur kereta api ini
selain menghubungkan Kota Padang dengan Kota Sawahlunto, juga mencapai kota-kota lain seperti Kota Solok,
Kota Pariaman, Kota Padangpanjang, Kota Bukittinggi dan Kota Payakumbuh. Saat ini rel kereta api yang aktif
hanyalah jalur Pariaman-Padang untuk kereta api wisata, dan Teluk Bayur-Indarung untuk pengangkutan semen.

Saat ini pemerintah Kota Padang juga kedatangan Railbus buatan PT INKA Madiun. Railbus akan melayani rute
Padang ke Bandara Internasional Minangkabau dan sebaliknya. Menjelang infrastruktur selesai, Railbus ini akan
dipergunakan sebagai angkutan penumpang dengan rute Padang—Pariaman dan sebaliknya.[128]

Angkutan dalam kota dilayani oleh bus kota, mikrolet dan taksi. Seperti hal kota-kota besar lainnya di Indonesia,
kemacetan merupakan masalah serius dalam sistem transportasi, dan sebagai target jangka panjang untuk mengatasi
masalah tersebut, kota ini juga menerapkan sistem transportasi bus rapid transportation (BRT) atau yang dikenal
dengan istilah busway.[129] Sementara saat ini di pusat kota masih dapat ditemukan bendi (sejenis kereta kuda),
sedangkan ojek biasanya beroperasi di perumahan dan pinggiran kota.

Kota Padang memiliki beberapa kawasan pelabuhan. Tercatat sejak tahun 1770 diberangkatkan dari pelabuhan kota
ini 0,3 miliar pikul lada dan 0,2 miliar gulden emas per tahunnya.[130] Pelabuhan Muara sekarang ini berfungsi
melayani transportasi laut untuk kapal ukuran sedang terutama untuk tujuan ke atau dari Kabupaten Kepulauan
Mentawai dan kawasan sekitarnya. Sedangkan pelabuhan Teluk Bayur melayani pengangkutan laut untuk ukuran
kapal besar baik ke kota-kota lain di Indonesia maupun ke luar negeri. Pelabuhan Teluk Bayur mulai beroperasi
pada tahun 1892, dan sebelumnya bernama Emmahaven. Sekarang kedua pelabuhan ini dikelola oleh PT Pelindo II.

Sampai tahun 2005, Bandar Udara Tabing melayani perhubungan udara Padang dengan kota-kota lain. Bandar udara
ini yang tidak dapat didarati oleh pesawat berbadan besar, dan karena itu dapat mengimbangi naiknya jumlah calon
penumpang. Pengembangannya terbatas karena posisinya yang terhalang Gunung Pangilun dan Bukit Sariak. [131]
Maka tanggal 23 Juni 1999 ditetapkan lokasi baru pengganti bandar udara ini.[132] Dengan selesainya pembangunan
Bandar Udara Internasional Minangkabau[133] di Ketaping, Kabupaten Padang Pariaman, penerbangan sipil dialihkan
ke bandara baru tersebut dan sekarang melayani tujuan domestik ke Medan, Jakarta, Pekanbaru, Batam, dan
Bandung adapun penerbangan perintis dengan tujuan di dalam Provinsi Sumbar saja seperti ke Sipora, dan Simpang
Ampek serta disekeliling provinsi Sumbar seperti ke Muko-Muko, Padang Sidempuan, Sungaipenuh, dan
Muarabungo dan ada juga penerbangan Internasional dan Haji seperti ke Kuala Lumpur, Penang, Singapura, dan
Jeddah.

Perekonomian
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perekonomian Kota Padang
Lihat pula: Daftar pusat perbelanjaan di Padang dan Daftar hotel di Padang
Kantor Javaansche Bank Padang tempo dulu

Kota Padang sebagai kota pelabuhan sejak abad ke-19 telah mengalami pertumbuhan ekonomi cepat yang didorong
oleh tingginya permintaan kopi dari Amerika. Akibatnya pada tahun 1864 telah berdiri salah satu cabang
Javaansche Bank yakni bank yang bertanggung jawab terhadap mata uang di Hindia Belanda serta telah mengikuti
standar selaras dengan yang ada di negara Belanda. Seiring itu pada 1879 juga telah muncul bank simpan pinjam.
Hal ini mencerminkan tingginya tingkat peredaran uang di kota ini.[134]

Kota ini menempatkan sektor industri, perdagangan dan jasa menjadi andalan dibandingkan dengan sektor pertanian
dalam mendorong perekonomian masyarakatnya. Hal ini terjadi karena transformasi ekonomi kota cenderung
mengubah lahan pertanian menjadi kawasan industri. Walaupun di sisi lain industri pengolahan di kota ini telah
memberikan kesempatan lapangan pekerjaan yang cukup berarti.[135]

Di kota ini terdapat sebuah pabrik semen yang bernama PT Semen Padang dan telah beroperasi sejak didirikan pada
tahun 1910. Pabrik semen ini berlokasi di Indarung dan merupakan pabrik semen yang pertama di Indonesia,[136]
dengan kapasitas produksi 5.240.000 ton per tahun.[137] Hampir 63% dari produksinya[136] (baik dalam bentuk
kemasan zak maupun curah) didistribusikan melalui laut dengan memanfaatkan pelabuhan Teluk Bayur. Selepas
reformasi politik dan ekonomi, masyarakat Minang umumnya menuntut pemerintah pusat untuk melaksanakan spin
off (pemisahan) PT Semen Padang dari induknya PT Semen Gresik,[138][139] yang mana sejak tahun 1995 telah di
merger (penggabungan) secara paksa oleh pemerintah pusat, walau tuntutan akuisisi PT Semen Padang menjadi
perusahaan yang mandiri lepas dari PT Semen Gresik telah dikabulkan Pengadilan Negeri Padang,[140] namun
penyelesaian persoalan tersebut masih belum jelas sampai sekarang. [141] Apalagi ditengarai terjadi kemerosotan
kinerja perusahaan sejak penggabungan tersebut.[142] Hal ini karena pemerintah pusat masih menganggap
restrukturisasi beberapa BUMN melalui pembentukan holding terhadap beberapa BUMN yang memiliki keterkaitan
atau kesamaan usaha merupakan penyelesaian terbaik untuk membangun keunggulan daya saing BUMN tersebut
agar lebih menjamin perolehan laba di atas rata-rata perusahaan pesaing lainnya.[143]

Semen Padang merupakan produsen semen tertua di Indonesia.

Pusat perdagangan di Kota Padang adalah Pasar Raya Padang yang dibangun pada zaman kolonial Belanda oleh
seorang kapiten Cina bernama Lie Saay.[144] Dalam perkembangannya, pasar tradisional ini pernah menjadi sentra
perdagangan bagi masyarakat di Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Bengkulu pada era 1980-an.[145] Selain itu,
aktivitas perniagaan di Padang juga didukung oleh 16 pasar satelit yang tersebar di seluruh pelosok kota, sembilan di
antaranya dimiliki oleh Pemerintah Kota Padang yaitu Pasar Alai, Pasar Bandar Buat, Pasar Belimbing, Pasar
Bungus, Pasar Lubuk Buaya, Pasar Simpang Haru, Pasar Siteba, Pasar Tanah Kongsi, dan Pasar Ulak Karang. [146]

Tidak seperti kebanyakan kota besar di Indonesia, pertumbuhan pusat perbelanjaan modern di Kota Padang terbilang
cukup lamban. Pada tahun 1990-an terdapat setidaknya lima permohonan izin pendirian mal di Kota Padang yang
ditolak oleh Zuiyen Rais, walikota Padang saat itu, karena mengambil lokasi di pusat kota.[147] Pusat perbelanjaan
modern yang beroperasi saat ini di Kota Padang yaitu Plaza Andalas, Basko Grand Mall, Rocky Plaza, dan SPR
Plaza, serta tiga mal yang dalam tahap konstruksi yakni Lippo Plaza, DCC Simpang Haru, dan Padang Green City.
Perekonomian Kota Padang juga ditopang oleh sektor pariwisata dan industri MICE (Meeting, Incentive,
Convention, and Exhibition atau Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran). [148] Hal ini didukung oleh keberadaan
sederet hotel dan gedung pertemuan di kota ini. Hingga saat ini Kota Padang telah memiliki puluhan hotel
berbintang dan kelas melati, termasuk di antaranya satu hotel bintang 5 dan tujuh hotel bintang 4.[149] Minangkabau
International Convention Center (MICC) yang saat ini dalam tahap konstruksi akan menjadi gedung pertemuan
terbesar di Kota Padang.

Pariwisata
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pariwisata Kota Padang

Museum Adityawarman di Padang

Kota Padang yang terkenal akan legenda Sitti Nurbaya dan Malin Kundang saat ini sedang berbenah ke arah
pembangunan kepariwisataan.[150] Kota ini memiliki sebuah museum yang terletak di pusat kota yang bernama
Museum Adityawarman, yang memiliki gaya arsitektur berbentuk rumah adat Minangkabau (Rumah Gadang),
model Gajah Maharam. Di halaman depan museum terdapat dua lumbung padi. Museum ini mengkhususkan diri
pada sejarah dan budaya suku Minangkabau, suku Mentawai dan suku Nias. Museum ini memiliki 6.000 koleksi.

Di kawasan pelabuhan Muara banyak dijumpai beberapa bangunan peninggalan sejak zaman Belanda. Beberapa
bangunan di kawasan tersebut ditetapkan pemerintah setempat sebagai cagar budaya. Di antaranya adalah Masjid
Muhammadan bertarikh 1843, yang merupakan masjid berwarna hijau muda yang dibangun oleh komunitas
keturunan India. Cagar budaya lain, Klenteng Kwan Im yang bernama See Hin Kiong tahun 1861 kemudian
direnovasi kembali tahun 1905 setelah sebelumnya terbakar.[151] Dari sehiliran Batang Arau, terdapat sebuah
jembatan yang bernama jembatan Sitti Nurbaya. Jembatan itu menghubungkan sebuah kawasan bukit yang dikenal
juga dengan nama Gunung Padang. Pada bukit ini terdapat Taman Sitti Nurbaya yang menjadi lokasi kuburan Sitti
Nurbaya.[152] Kawasan bukit ini juga dahulunya menjadi tempat permukiman awal masyarakat etnis Nias di Kota
Padang.[153]

Pulau Sikuai yang difasilitasi resort wisata sekelas hotel berbintang tiga.

Kemudian di pelabuhan Teluk Bayur terdapat beberapa kawasan wisata seperti pantai Air Manis, tempat batu Malin
Kundang berdiri.[154] Selain itu, terus ke selatan dari pusat kota juga terdapat kawasan wisata pantai Caroline, dan
pantai Bungus,[155] serta sebuah resort wisata sekelas hotel berbintang tiga yang terletak di Pulau Sikuai.[156]
Sedangkan ke arah Kecamatan Koto Tangah, terdapat kawasan wisata pantai Pasir Jambak, serta kawasan wisata
alam Lubuk Minturun,[157] yang populer dalam tradisi balimau dan ramai dikunjungi oleh masyarakat terutama sehari
sebelum masuk bulan Ramadan.[158]

Kota ini juga terkenal akan masakannya. Selain menjadi selera sebagian besar masyarakat Indonesia, masakan ini
juga populer sampai ke mancanegara.[159] Makanan yang populer di antaranya seperti Gulai, Rendang, Ayam Pop,
Terung Balado, Gulai Itik Cabe Hijau, Nasi Kapau, Sate Padang dan Karupuak Sanjai. Restoran Padang banyak
terdapat di seluruh kota besar di Indonesia. Meskipun begitu, yang dinamakan sebagai "masakan Padang"
sebenarnya dikenal sebagai masakan etnis Minangkabau secara umum.[4]

Dalam mendorong pariwisata di Kota Padang, pemerintah kota menggelar Festival Rendang untuk pertamakalinya
pada tahun 2011, setelah sebelumnya Rendang dinobatkan oleh CNN International sebagai hidangan peringkat
pertama dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia).[160] Festival yang dipusatkan
di RTH Imam Bonjol tersebut diikuti oleh kelurahan se-Kota Padang dan berhasil memasak 5,2 ton daging, sehingga
tercatat dalam Museum Rekor Indonesia sebagai perlombaan memasak dengan daging dan peserta terbanyak.[161]
Pada tahun yang sama pemerintah kota juga mulai menyelenggarakan Festival Sitti Nurbaya, pergelaran tahunan
yang mengangkat adat dan tradisi Minangkabau.[162]

Olahraga, seni, dan budaya


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Olahraga Kota Padang

Sebuah pertunjukan Barongsai di Padang

Beberapa klub utama sepak bola, di antaranya PS Semen Padang, PSP Padang, dan Minangkabau FC, bermarkas di
kota ini. Ketiga kesebelasan ini menggunakan Stadion Agus Salim sebagai tempat untuk pertandingan laga kandang.
Stadion ini terletak pada kawasan gelanggang olah raga (GOR) yang mulai dibangun sejak tahun 1957.[63]

Kota ini juga memiliki lapangan pacuan kuda. Setiap tahunnya diadakan lomba pacu kuda pada kawasan Tunggul
Hitam yang memiliki panjang lintasan 1.600 m.[163] Perlombaan pacu kuda ini sudah menjadi tradisi dan menjadi
bagian dari budaya masyarakat Minangkabau khususnya. Saat ini terdapat rangkaian perlombaan dengan beberapa
kota/kabupaten lain di Sumatera Barat yang mendapat kesempatan menjadi tuan rumah satu kali tiap tahunnya.
Sementara pesertanya juga ada dari luar Sumatera Barat.[164]

Perlombaan selaju sampan atau dikenal dengan nama lomba perahu naga biasanya diadakan setiap tahunnya di
sungai Banda Bakali. Lomba perahu naga ini kemungkinan dipengaruhi oleh etnis Tionghoa, termasuk kesenian
tarian tradisional Barongsai yang pernah mewakili Kota Padang pada beberapa perlombaan tingkat internasional. [165]

Kejuaraan Tour de Singkarak 2013 di jalanan Kota Padang.

Kota Padang termasuk kota yang menjadi bagian dari tahapan kejuaraan balap sepeda Tour de Singkarak. Kejuaraan
yang secara resmi telah menjadi agenda perhelatan tahunan Union Cycliste Internationale (UCI) tersebut telah
diselenggarakan sejak tahun 2009.[166] Memasuki tahun ke-4 Kota Padang tidak lagi menjadi titik dimulainya Tour
de Singkarak, melainkan menjadi titik akhir yang sebelumnya ditempatkan di Danau Singkarak.[167]

Dalam memperingati hari jadinya, kota ini setiap tahunnya menyelenggarakan pesta telong-telong, berupa perayaan
pada malam hari yang dimeriahkan dengan pemasangan obor atau lampion.[168] Sementara itu menjelang masuk
bulan Ramadhan beberapa masyarakat muslim di kota ini menyelenggarakan tradisi balimau yaitu mandi keramas,
biasanya dilakukan pada kawasan tertentu yang memiliki aliran sungai dan tempat pemandian. [169]

Salah satu tradisi adat Minangkabau yaitu persembahan (pasambahan) dalam upacara pemakaman masih
dilaksanakan pada Kecamatan Kuranji.[170] Sementara pada Kecamatan Pauh dikenal dengan tradisi silat Pauh (silek
Pauah),[171] yang memiliki pengaruh sampai mancanegara[172] serta juga digunakan dalam mengembangkan beberapa
aliran tarekat di Padang.[173]

Kawasan Lubuk Minturun populer dalam tradisi balimau di Padang


Perpaduan budaya berbagai etnis dapat dilihat pada tari Balanse Madam yang berasal dari komunitas Nias di
Padang. Tari yang diciptakan pada abad ke-16 ini dipengaruhi oleh budaya Portugis, Minangkabau dan budaya Nias
sendiri. Pada masa kini tari ini juga ditampilkan oleh masyarakat etnis lain, seperti Minangkabau dan Tamil. [174][175]

Kota ini juga menjadi sumber inspirasi bagi para seniman untuk menuangkan kreasinya, beberapa karya seni yang
berkaitan dengan kota ini antara lain roman/novel berjudul Sitti Nurbaya berkisah tentang wanita yang dipaksa
kawin dengan lelaki bukan pilihannya dan diracun sampai meninggal,[176] karya Marah Rusli,[177] yang kemudian
pada tahun 1990 TVRI mengangkat cerita ini menjadi film layar kaca/sinetron dengan judul Sitti Nurbaya yang
dibintangi oleh Novia Kolopaking, Gusti Randa dan HIM Damsyik. Begitu juga dengan roman Sengsara Membawa
Nikmat karya Tulis Sutan Sati,[178] mengambil latar Kota Padang dan suasana Minangkabau tempo dulu. Roman ini
menceritakan pengembaraan seorang tokoh utamanya bernama Midun,[179] yang kemudian juga diangkat oleh TVRI
tahun 1991 menjadi film layar kaca/sinetron dengan judul yang sama, serta dibintangi oleh Sandy Nayoan dan Desy
Ratnasari.[180] Sementara lagu berjudul Teluk Bayur diciptakan oleh Zainal Arifin dan dinyanyikan oleh Ernie
Djohan menjadi lagu cukup populer di masyarakat tahun 60-an.[181][182][183]

Pers dan media


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pers dan media Kota Padang

Radio Republik Indonesia (RRI) Padang

TVRI Sumatera Barat di Padang

Kota Padang sudah menjadi tempat penerbitan surat kabar sejak zaman Hindia-Belanda. Sumatera Courant
merupakan koran pertama yang terbit di Pulau Sumatera sekitar tahun 1859.[184][185] Di saat bersamaan juga muncul
Padangsche Nieuws en Advertentieblad pada 17 Desember 1859 oleh R.H. Van Wijk Rz. Setelah itu, Kota Padang
banyak menerbitkan koran-koran berbahasa Melayu, Belanda, dan Tionghoa, di antaranya Padangsche Handelsblad
(1871) oleh H.J. Klitsch & Co, Bentara Melayu (1877) oleh Arnold Snackey, Pelita Kecil (1 Februari 1886) oleh
Mahyuddin Datuk Sutan Marajo, Pertja Barat (1892) di bawah pimpinan Dja Endar Moeda, Tjahaya Soematra
(1897) oleh Mahyuddin Datuk Sutan Marajo, De Padanger (1900) oleh J. van Bosse, Warta Berita (1901) oleh
Mahyuddin Datuk Sutan Marajo. Banyaknya surat kabar yang dipimpin Mahyuddin Datuk Sutan Marajo serta
aktivitasnya di dunia pers, menyebabkan di kemudian hari ia dianggap sebagai perintis pers di Sumatera. [186]
Selanjutnya, pada tahun 1911, muncul surat kabar Soenting Melajoe yang merupakan surat kabar khusus perempuan,
yang dikelola oleh Rohana Kudus. Pada tahun yang sama juga muncul surat kabar dua mingguan yang bernama al-
Munir.[187] Berikutnya tahun 1914 muncul Sinar Soematra, kemudian dikelola oleh Liem Koen Hian seorang tokoh
nasionalis Tionghoa, yang menjadi redaksi tahun 1918-1921,[188] pada tahun yang sama juga telah muncul Bintang
Tionghoa, Soeara Rakjat, Warta Hindia, Sri Soematra, Soematra Tengah, dan Oetoesan Melajoe.[189] Hingga saat ini
Kota Padang masih menjadi kota penerbitan surat kabar, di antaranya yang cukup terkenal adalah Harian Haluan dan
Singgalang. Kedua surat kabar ini masih konsisten menyediakan rubrik dalam bahasa Minang.[190]

Beberapa stasiun radio juga terdapat di kota ini, seperti RRI Padang,[191][192] Radio Classy FM.[193] Pronews 90 FM.[194]
Radio Sushi 99.1 FM[195]. Stasiun radio ini memainkan peranan penting, terutama dalam kasus gempa bumi 30
September 2009. Di saat beberapa media komunikasi dan informasi tidak dapat diakses oleh masyarakat, stasiun
radio ini dapat mengudara dan menyampaikan informasi dari pemerintah setempat kepada seluruh masyarakat, 30
menit setelah gempa bumi tersebut. Sedikit banyaknya stasiun radio mengurangi kepanikan yang timbul di
masyarakat saat itu.[196]

TVRI Sumatera Barat, stasiun televisi daerah milik pemerintah, berkedudukan di Kota Padang. Setelah bergulirnya
otonomi daerah, TVRI Sumatera Barat yang pendanaannya dibebankan kepada APBD kota/kabupaten di Sumatera
Barat sempat dipertanyakan oleh beberapa pemerintah kota dan kabupaten yang menuntut komitmen TVRI
Sumatera Barat untuk memberikan kontribusi yang jelas kepada mereka.[197] Selain TVRI Sumatera Barat, juga
terdapat beberapa stasiun TV swasta yang beroperasi di kota ini, di antaranya Padang TV dan Favorit TV.

Anda mungkin juga menyukai