Anda di halaman 1dari 4

Makassar (Lontara Makassar: ᨀᨚᨈ ᨆᨀᨔᨑ, transliterasi: Kota Mangkasara' , Lontara Makassar:

ᨀᨚᨈ ᨍᨘᨄᨉ, transliterasi: Kota Jumpandang; Lontara Bugis: ᨀᨚᨈ ᨆᨃᨔ, transliterasi: Kota
Mangkasa' , Lontara Bugis: ᨀᨚᨈ ᨍᨘᨄᨉ, transliterasi: Kota Juppandang) adalah ibu
kota provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Sebelumnya, kota yang sejak 1971 hingga 1999 dikenal
secara resmi sebagai Ujung Pandang[1] ini merupakan kota terbesar di wilayah Indonesia Timur dan
pusat kota terbesar ketujuh di Indonesia dari jumlah penduduk
setelah Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan Palembang.[10][11][12] Kota ini terletak di
pesisir barat daya pulau Sulawesi, menghadap Selat Makassar. Sebagian besar penduduk yang
mendiami kota ini adalah suku Makassar atau Tu MANGKASARAK (paling dominan) dan pendatang
dari orang-orang Bugis, Jawa, Mandar, Toraja, Sunda, Tionghoa dan lain-lain.
Menurut Bappenas, Makassar adalah salah satu dari empat pusat pertumbuhan utama di Indonesia,
bersama dengan Medan, Jakarta, dan Surabaya.[13][14] Dengan memiliki wilayah seluas 175,77 km²
dan jumlah penduduk lebih dari 1,4 juta jiwa, kota ini berada di urutan ketujuh kota terbesar
di Indonesia dari jumlah penduduk
setelah Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan Palembang.[12][15][16] Makanan khas
Makassar yang umum dijumpai di pelosok kota adalah Coto Makassar, Roti Maros, Jalangkote,
Bassang, Kue Tori, Pallu butung, Pisang Ijo, Sop Saudara dan Sop Konro.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Lambang Kota Makassar pada zaman penjajahan Belanda


Raja Gowa ke-9 Tumaparisi Kallonna (1510-1546) diperkirakan adalah tokoh pertama yang benar-
benar mengembangkan kota Makassar.[17] Ia memindahkan pusat kerajaan dari pedalaman ke tepi
pantai, mendirikan benteng di muara Sungai Jeneberang, serta mengangkat seorang syahbandar
untuk mengatur perdagangan.[17]
Pada abad ke-16 hingga abad ke-17, Makassar menjadi pusat perdagangan yang dominan di
Indonesia Timur, sekaligus menjadi salah satu kota terbesar di Asia Tenggara. Raja-raja Makassar
menerapkan kebijakan perdagangan bebas yang ketat, di mana seluruh pengunjung ke Makassar
berhak melakukan perniagaan di sana dan menolak upaya VOC (Belanda) untuk memperoleh
hak monopoli di kota tersebut.
Selain itu, sikap yang toleran terhadap agama berarti bahwa meskipun Islam semakin menjadi
agama yang utama di wilayah tersebut, pemeluk agama Kristen dan kepercayaan lainnya masih
tetap dapat berdagang di Makassar. Hal ini menyebabkan Makassar menjadi pusat yang penting
bagi orang-orang Melayu yang bekerja dalam perdagangan di Kepulauan Maluku dan juga menjadi
markas yang penting bagi pedagang-pedagang dari Eropa dan Arab. Semua keistimewaan ini tidak
terlepas dari kebijaksanaan Raja Gowa-Tallo yang memerintah saat itu (Sultan Alauddin, Raja
Gowa, dan Sultan Awalul Islam, Raja Tallo).
Hotel Oranje pada tahun 1920-an.
Kontrol penguasa Makassar semakin menurun seiring semakin kuatnya pengaruh Belanda di
wilayah tersebut dan menguatnya politik monopoli perdagangan rempah-rempah yang diterapkan
Belanda melalui VOC. Pada tahun 1669, Belanda, bersama dengan La Tenri Tatta Arung Palakka
dan beberapa kerajaan sekutu Belanda Melakukan penyerangan terhadap kerajaan Islam Gowa-
Tallo yang mereka anggap sebagai Batu Penghalang terbesar untuk menguasai rempah-rempah di
Indonesia timur. Setelah berperang habis-habisan mempertahankan kerajaan melawan beberapa
koalisi kerajaan yang dipimpin oleh belanda, akhirnya Gowa-Tallo (Makassar) terdesak dan dengan
terpaksa menanda tangani Perjanjian Bongaya.
Meningkatnya penghuni kota di Indonesia, maka timbul kebutuhan untuk menerapkan pembentukan
Kotapraja seperti yang berlaku di Negeri Belanda. Kebutuhan nampak dalam peraturan
desentralisasi tahun 1903 yang memungkinkan terbentuknya Kotapraja (Gemeente) setelah tahun
1905.
Realisasi dari keinginan pembentukan pemerintahan Kotapraja itu akhirnya berhasil diwujudkan.
Makassar pada waktu itu merupakan pelabuhan terpenting di kawasan timur Indonesia yang juga
ibu kota Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden dan akhirnya mendapat kedudukan sebagai
daerah Kotapraja (gemeente) pada tahun 1906.
Menurut catatan sejarah, cikal bakal lahirnya Kota Makassar berawal dari 1 April 1906. Saat itu
pemerintah Hindia Belanda membentuk dewan pemerintahan Gemeentee di Kampung Baru, yang
terletak di kawasan Pantai Losari dan Benteng Fort Rotterdam. Kawasan ini yang berkembang
menjadi kota Makassar hingga kini disebut hari kebudayaan makassar, sebelumnya merupakan hari
jadi Kotamadya Ujung Pandang.[18][19]
Nama Makassar sendiri sempat diganti menjadi Ujung Pandang di masa pemerintahan Orde Baru,
tepatnya pada 31 Agustus 1971. Meski begitu, sebutan Ujung Pandang sudah dikenal sejak tahun
1950-an.
Usaha perluasan wilayah pemerintahan Kotamadya Makassar akhirnya berhasil dapat diwujudkan
pada tahun 1971, dari luas wilayah 21 km² menjadi 175 km² berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 1971 tanggal 1 September 1971. Perluasan wilayah ini diikuti pula dengan
perubahan nama Kotamadya Makassar menjadi Kotamadya Ujung Pandang.
Perlu diketahui bahwa perubahan nama Kotamadya, Makassar menjadi Kotamadya Ujung Pandang
yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971 itu, sesungguhnya pada tahun 1964
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong Kotapraja Makassar telah disetujui
pergantian nama Kotapraja Makassar menjadi Kotapraja Ujung Pandang yang dituangkan dalam
Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong Kotapraja Makassar Nomor
29/DPRD-GR tanggal 24 September 1964.
Nama Kota Ujung Pandang yang diresmikan pemakaiannya pada tanggal 14 September 1971,
berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1971 yang dinyatakan berlaku tanggal 1
September 1971, merupakan perubahan nama dari Kota Makassar yang telah diperluas.
Dengan perubahan nama Makassar menjadi Ujung Pandang telah mendapat tanggapan dari
berbagai tokoh tokoh masyarakat di Sulawesi Selatan. Salah satu tanggapan mengenai
pengembalian nama Makassar, pada tanggal 17 Juli 1976 diajukan petisi yang ditandatangani oleh
Prof. Dr. A. Zainal Abidin Farid S. H., Dr. Mattulada, dan Drs. H. Dg Mangemba, tiga budayawan
terkemuka Makassar menuntut pengembalian nama Makassar. Usaha-usaha pengembalian nama
Makassar terus bergulir, pada tanggal 21 Agustus 1995, Walikotamadya Ujung Pandang, H. Malik B.
Masry, SE, MS mengadakan seminar yang hasil rekomendasi untuk pengembalian nama Kota
Makassar.
Selanjutnya pada tanggal 21 Agustus 1999 diterbitkan Keputusan Pimpinan Dewan perwakilan
Rakyat Daerah Kotamadya Ujung Pandang Nomor 05/Pim/DPRD/VIII/1999 yang memuat
persetujuan DPRD Kotamadya Ujung Pandang atas rencana perubahan nama Ujung Pandang
menjadi Makassar yang diusulkan oleh Walikota Drs. H. Baso Amiruddin Maula, S.H, M.Si. Akhirnya
pada tanggal 13 Oktober 1999, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 yang
menetapkan pengembalian nama Kotamadya Ujung Pandang menjadi Kota Makassar dalam
wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.[20]

Geografi[sunting | sunting sumber]


Makassar adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di bagian Selatan Pulau
Sulawesi yang dahulu disebut Ujung Pandang, terletak antara 119º24’17’38” Bujur Timur dan
5º8’6’19” Lintang Selatan yang berbatasan sebelah Utara dengan Kabupaten Maros dan
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Kecamatan Liukang Tupabiring), sebelah Timur Kabupaten
Maros (Kecamatan Mocongloe) dan Kabupaten Gowa (Kecamatan Pattallassang), sebelah
selatan Kabupaten Gowa (Kecamatan Somba Opu dan Barombong) dan Kabupaten
Takalar (Kecamatan Galesong Utara), serta sebelah Barat dengan Selat Makassar. Kota Makassar
memiliki topografi dengan kemiringan lahan 0-2°(datar) dan kemiringan lahan 3-15° (bergelombang).
Luas Wilayah Kota Makassar tercatat 175,77 km persegi.
Kota Makassar adalah kota yang terletak dekat dengan pantai yang membentang sepanjang koridor
barat dan utara dan juga dikenal sebagai “Waterfront City” yang di dalamnya mengalir beberapa
sungai seperti Sungai Tallo, Sungai Jeneberang, dan Sungai Pampang) yang kesemuanya
bermuara ke dalam kota. Kota Makassar merupakan hamparan daratan rendah yang berada pada
ketinggian antara 0-25 meter dari permukaan laut.[21]

Batas wilayah[sunting | sunting sumber]

Peta Administrasi Kota Makassar


Secara administratif, batas wilayah Kota Makassar adalah sebagai berikut:

Utara Kabupaten Maros dan Pangkajene dan


Kepulauan

Timur Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa

Selatan Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar

Barat Selat Makassar

Letak Kota Makassar adalah di bagian selatan dari Pulau Sulawesi. Perkembangan wilayah Kota
Makassar dimulai di sepanjang pesisir pantai yang berada di antara dua sungai besar, yaitu sungai
Jeneberang dan sungai Tallo. Perbatasan Makassar bagian utara merupakan pedalaman yang
didiami suku Bugis sedangkan perbatasan selatan didiami oleh suku Makassar. Perkembangan kota
Makassar sebagai kota perdagangan dan kota pelabuhan ditunjang oleh wilayah utara. Wilayah
pedalaman membawa komoditas sumber daya alam ke Makassar untuk dijual ke pasar. Bagian
barat dari kota Makassar adalah selat Makassar dan terdapat sejumlah pulau kecil.
Pulau-pulau ini digunakan sebagai penunjang perkembangan kota, yakni sebagai pelindung dan
memenuhi kebutuhan kota Makassar. Keberadaan pulau-pulau kecil digunakan sebagai pencegah
gangguan badai dan ombak yang mengganggu perahu atau kapal-kapal yang melakukan
perdagangan di pelabuhan Makassar. Masyarakat kota Makassar di pulau-pulau kecil ini sebagian
besar dihuni oleh orang-orang suku Makassar yang mata pencahariannya berhubungan dengan
laut.[22]

Iklim[sunting | sunting sumber]


Kota Makassar memiliki kondisi iklim tropis yang bertipe iklim tropis muson (Am), hal tersebut
ditandai dengan kontrasnya jumlah rata-rata curah hujan di musim penghujan dan musim kemarau.
Musim hujan biasanya berlangsung sejak bulan November hingga bulan Maret dan musim kemarau
berlangsung dari bulan Mei hingga bulan September. Wilayah Kota Makassar memiliki suhu udara
rata-rata berkisar antara 26,°C sampai dengan 29 °C. Rata-rata curah hujan per tahun di wilayah ini
berkisar antara 2700–3200 milimeter.

Anda mungkin juga menyukai