Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI MANADO

Guru pembimbing :
Adithya P. Makahenggeng, S.Pd.I

Disusun oleh :
Faathir Rahman Hasse
Kelas XI IPA2

KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


MADRASAH ALIAH NEGERI 1 KOTAMOBAGU

i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur selalu kita panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada
Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah menunjukan jalan kebaikan dan
kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
guru mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Sejarah Islam Masuk di Manado”
bagi para pembaca dan penulis.
Makalah ini saya susun dengan segala kemampuan dan semaksimal mungkin.
Namun saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah
sempurna, maka dari itu saya sebagai penyusun makalah ini memohon kritik,
saran dan pesan dari semua pembaca makalah ini terutama guru Sejarah
Kebudayaan Islam yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.

Kotamobagu, 15 Mei 2022

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

Bab I Pendahuluan 3

Bab II Pembahasan 4

Bab III Metedologi Penelitian 8

Bab IV Kesimpulan 8

Daftar Pustaka 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Kota Manado adalah ibu kota dari provinsi Sulawesi Utara. Kota Manado sering kali
disebut sebagai Menado. Motto Sulawesi Utara adalah Si Tou Timou Tou, sebuah
filsafat masyarakat Minahasa yang dipopulerkan oleh Sam Ratulangi, yang berarti
“Manusia hidup untuk memanusiakan yang lain” atau “Orang hidup untuk
menghidupkan yang orang lain”.
Islam merupakan agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya yang
terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, dimana pun dan kapan pun, yang ajarannya
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Kota Manado merupakan pengembangan dari sebuah negeri yang bernama
Pogidon. Kota Manado diperkirakan telah terkenal sejak abad ke-16. Menurut sejarah,
pada abad itu jugalah Kota Manado telah didatangi oleh orang-orang dari luar negeri.
Nama “Manado” daratan mulai digunakan pada tahun 1623 menggantikan nama
“Pogidon” atau “Wenang”. Kata Manado sendiri merupakan nama pulau disebelah
pulau Bunaken, kata ini berasal dari bahasa daerah Minahasa yaitu Mana
rou atau Mana dou yang dalam bahasa Indonesia berarti “di jauh”.
Penduduk Muslim di Manado merupakan minoritas hanya 30% penduduknya
beragama Islam dibandingkan dengan penduduk Kristen yang mencapai 68%, dan 2%
lainnya beragama lain.

B.     Rumusan Masalah
Dari penjelasan yang diutarakan di atas, maka dapat diperoleh rumusan masalah di
antanya:
1. Bagaimana sejarah masuknya Islam di Manado?
2. Bagaimana kehidupan penduduk Islam di Manado?
3. Bagaimana perkembangan Islam di Manado?

C.     Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan di atas penulis pun membatasi
penelitiannya terhadap Islam dan perkembangannya.

D.    Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah masuknya Islam di Manado,
mengetahui perkembangan penduduk Islam di Manado dan kehidupan masyarakat
Islam yang berada di Manado.

E.     Manfaat
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan informasi badi masyarakat dan
mahasiswa tentang Islam di Manado.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Kota Manado


Kota Manado merupakan pengembangan dari sebuah negeri yang bernama
Pogidon. Kota Manado diperkirakan dikenal sejak abad ke-16. Menrut sejarah, pada
abad itu jugalah Kota Manado telah didatangi oleh orang-orang dari luar negeri. Nama
“Manado” daratan mulai digunakan pada tahun 1623 menggantikan nama “Pogidon”
atau “wenang”. Kota Manado sendiri merupakan nama pulau disebelah pulau Bunaken,
kata .,,,,,,,,,,,,,,,,,,ini berasal dari bahasa daerah Minahasa yaitu Mana rou atau Mana
dou yang dalam bahasa Indonesia berarti “di jauh”. Pada tahun itu juga, tanah
Minahasa-Manado mulai dikenal dan populer di antara orang-orang Eropa dengan hasil
buminya. Hal tersebut tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah.
Keberadaan Kota Manado dimulai dari adanya besluit Gubernur Jendral Hindia
Belanda tanggal 1 Juli 1919. Dengan besluit itu, Gewest Manado ditetapkan
sebagai Staatsgemeente yang kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya antara lain
Dewan gemeente atau Gemeente Raad  yang dikepalai oleh seorang Walikota
(Burgemeester). Pada tahun 1951, Gemeente Manado menjadi Daerah Bagian Kota
Manado dari Minahasa sesuai Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 3 Mei 1951
Nomor 223. Tanggal 17 April 1951, terbentuklah Dewan Perwakilan Periode 1951-1953
berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor 14. Pada 1953 Daerah Bagian Kota
Manado berubah statusnya menjadi daerah Kota Manado sesuai Peraturan Pemerintah
Nomor 42/1953 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 15/1954. Tahun 1957, Manado
menjadi Kotapraja sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Tahun 1959,
Kotapraja Manado ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II sesuai Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1959. Tahun 1965, Kotapraja Manado berubah status menjadi
Kotamadya Manado yang dipimpin oleh Walikotamadya Manado KDH Tingkat II
Manado sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 yang disempurnakan dengan
Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1974.

B.     Letak Geografis kota Manado


Kota Manado terletak di ujung jazirah utara pulau Sulawesi, pada posisi geografis
124o40’ – 124o50’ BT dan 1o30 – 1o40’ LU. Iklim di kota ini adalah iklim tropis dengan
suhu rata-rata 24o – 27o C. Curah hujan rata-rata 3.187 mm/tahun dengan iklim tekering
di sekitar bulan Agustus dan terbasah pada bulan Januari. Intensitas penyinaran
matahari rata-rata 53% dan kelembaban nisbi ±84%.
Luas wilayah daratan adalah 15.726 hektar. Manado juga merupakan kota pantai
yang memiliki garis pantai sepanjang 18,7 kilometer. Kota ini juga dikelilingi oleh
perbukitan dan barisan pegunungan. Wilayah daratannya didominasi oelh kawasan
berbukit dengan sebagian dataran rendah di daerah pantai. Interval ketinggian dataran
antara 0-40% dengan puncak tertinggi di gunung Tumpa.

C. Pemerintah Manado
Berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) nomor 4 tanggal 27 September 2000
tentang perubahan status desa menjadi kelurahan di kota Manado dan PERDA nomor
5 tanggal 17 September 2000 tentang pemekaran kecamatan dan kelurahan, wilayah
kota Manado yang semula terdiri atas 5 kecamatan dengan 68 kelurahan/desa
dimekarkan menjadi 9 kecamatan dengan 87 kelurahan.

2
Tabel Daftar Kecamatan beserta Luasnya
No Kecamatan Luas Wilayah (hektar) Jumlah Kelurahan
1. Bunaken 5.212,5 8
2. Malalayang 1.640 9
3. Mapanget 4.913,55 11
4. Sario 144,8 7
5. Singkil 587,13 9
6. Tikala 1.588,4 12
7. Tuminting 700,14 10
8. Wanea 659,95 9
9. Wenang 279,5 12

Penduduk kota Manado berasal dari suku Minahasa, karena wilayah Manado
merupakan berada di tanah/daerah Minahasa. Penduduk asli Manado adalah suku
Bantik, suku bangsa lainnya yang ada di Manado saat ini yaitu suku Sanger, suku
Gorontalo, suku Mongondow, suku Arab, suku Babontehu, suku Talaud, suku
Tionghoa, suku Siau, dan kaum Borgo.

D.    Sejarah Masuknya Islam di Manado


Agama Islam yang pertama kali masuk di Manado yaitu melalui Munahasa,
maskunya Islam pertama kali di Minahasa pada tahun 1525 melalui Belang, dibawah
oleh orang-orang Bolaang Mongondow. Kemudian lebih berkembang karena
datangnya pejuang-pejuang kemerdekaan yang dibuang/ditawan oleh penjajah
Belanda, antara lain Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, bersama
pengikutnya.

1.      Kyai Modjo di tondano – Minahasa


Kyai Modjo lahir sekitar tahun 1792 dan kemudian menjadi guru agama Pajang
dekat Delanggu, Surakarta. Nama sebenarnya adalah Muslim Mochammad Khalifah.
Ayah Kyai Modjo bernama Iman Abdul Arif, yang merupakan seorang ulama dusun
tersebut berada dekat Pajang dan merupakan tanah pemberian (perdikan/swatantra)
Raja Surakarta kepada beliau. Ibu Kyai Modjo adalah saudara perempuan Hamengku
Buwono III, dan dengan demikian ditinjau dari hubungan kekerabatan Kyai Modjo
adalah kemenakan Pangeran Diponegoro karena ibu Kyai Modjo bersepupu dengan
Pangeran Diponegoro.
Kyai Modjo mempelajari agama Islam dengan berguru kepada Kyai Syarifudin di
Gading Santren Klaten. Setelah dewasa, ia berguru kepada Kyai Ponorogo. Disinilah
Kyai Modjo mendapatkan pengajaran tentang ilmu kanuragan. Sejak saat itulah beliau
terkenal akan kesaktiannya, disamping terkenal akan pendidikan agama dan
pesantrennya. Ia termasuk salah seorang kepercayaan Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Paku Buwono VIPB VI.
Sepeniggal ayahnya, Kyai Modjo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru agama
di pesantren Modjo di mana banyak putra dan putri dari kraton SoloKraton Yogyakarta
kemungkinan membuat pangeran diponegoro memilih Kyai Modjo sebagai penasehat
agamanya sekaligus panglima perangnya.
Dekadensi moral yang terjadi di keraton kemudian berimbas pada kehidupan
masyarakat luas semakin menderita, telah menjadi sebab keluarga Imam Abdul Ngarip,
khususnya Muhammad Muslim (Kyai Modjo) berserta saudara-saudaranya dan
masyarakat luas mengangkat senjata menetang Belanda. Setelah di tangkap oleh
Belanda pada 17 November 1828 di dusun Kembang Arum, Jawa Tengah, Kyai Modjo
dibawah ke Batavia dan selanjutnya diasingkan ke Tondano – Minahasa (Sulawesi
Utara) hingga wafat di sana pada tanggal 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun.

3
2.      Kyai Hasan Maulani
Pada seperempat abad 18 tarekat Syattariyah adalah tarekat yang peling tersebar
luas di daerah Banyumas. Diperkirakan, tarekat ini bersumber dari murid-murid Syekh
Abdul Mukhyi, Garut, seorang mursyid tarekat Syattariyah yang mendapatkan ijazah
Irsyad-nya dari Syekh Abdurrauf Singkel, Aceh. Di Banyumas, Syattariyah menciptakan
varian baru yang menggabungkan beberapa ajaran tarekat Akmaliyah/Kamaliyah. Kyai
Hasan Maulani adalah guru sekaligus pendiri tarekat Akamaliyah di Cirebon. Akmaliyah
merupakan tarekat yang kental dengan ajaran wahdatul wujud dan sinkretisme Jawa.
Banyaknya pengikut tarekat Akmaliyah menakutkan penguasa saat itu. Hal ini
mendorong Belanda membuang Kyai Hasan Maulani ke Tondano pada tahun 1846.

3.   Pangeran Ronggo Danupoyo


Pangeran Ronggo Danupoyo adalah anak dari Pangeran Aryo Danupoyo atau cucu
dari Sunan Pakubuwono IV di Surakarta Jawa Tengah. Beliau menentang kebijakan
Belanda, dan karena itu dibuang ke Tondano. Di kampung Jawa Tondano Ronggo
Danupoyo menikah dengan putri dari Suratinoyo dan memperoleh 6 orang anak, salah
satu anaknya kembali ke Jawa sedangkan 5 anaknya yang lain (2 laki dan 3
perempuan) tetap tinggal di kampung Jawa Tondano. Dari 2 orang anak laki-lakinya
(Raden Glemboh dan Raden Intu) menurunkan keluarga (fam) Danupoyo sekarang ini.

4.      Imam Bonjol
Peto Syarif yang kemudian lebih dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol dilahirkan
pada tahun 1772 di kampung Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman Sumatra Barat.
Ia dilahirkan dalam lingkungan agama. Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya,
Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama lainnya, seperti Tuanku Nan
Renceh. Imam Bonjol adalah pendiri negeri Bonjol. Dia adalah pemimpin yang peling
terkenal dalam gerakan Padri di Sumatra, yang pada mulanya menentang perjudian,
adu ayam, penggunaan opium, minuman keras, tembakau dan lain-lain, tetapi
kemudian mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda, yang mengakibatkan
perang Padri (1821-1838).
Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berhasil diambil alih oleh Belanda, dan Imam
Bonjol akhirnya menyerah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada
akhirnya dibawah ke Minahasa. Di sana Tuanku Imam Bonjol wafat tanggal 6
November 1864 dalam usia 92 tahun, dikebumikan didesa Lotak Pineleng berjarak 25
km dari Tondano ke arah Manado. Beberapa pengikut Imam Bonjol kemudian menikah
dengan wanita kampung Jawa Tondano adalah Mallim Muda (menikah dengan cucu
Kyai Demak), Haji Abdul Halim (menikah dengan Wonggo-Masloman), Si Gorak
Panjang (menikah dengan putri Nurhamidin), dan Malim Musa. Dari mereka
menurunkan keluarga (fam) Baginda di Minahasa dewasa ini.

5.      K.H. Ahmad Rifa’i


Kyai Haji Ahmad Rifa’i dilahirkan pada 9 Muharam 1200 H atau 1786 di desa
Tempuran Kabupaten Semarang. Beliau seorang ulama keturunan Arab, memimpin
suatu pesantren di Kendal Jawa Tengah. Setelah beberapa kali keluar masuk penjara
Kendal dan Semarang karena dakwanya tegas, dalam usia 30 tahun.
Tahun 1272 H (1856) adalah merupakan tahun permulaan krisis bagi gerakan Kyai
Haji Ahmad Rifa’i. Hal ini disebabkan hampir seluruh kitab karangan disita oleh
pemerintah Belanda, disamping itu para murid dan Ahmad Rifa’i sendiriterus menerus
mendapat tekanan Belanda. Sebelum Haji Ahmad Rifa’i diasingkan dari Kaliwungu
Kendal Semarang, tuduhan yang dikenal hanyalah persoalan menghasut pemerintah
Belanda dan membawa Haji Ahmad Rifa’i dipenjara beberapa hari di Kendal, semarang
dan terakhir di Wonosobo.
Tahun 1859 Ahmad Rifa’i diasingkan Belanda ke Ambon, kemudian diasingkan ke
Tondano pada tahun 1861bergabung dengan grup Kyai Modjo. Dikampung Jawa

4
Tondano K.H Ahmad Rifa’i menciptakan kesenian terbang (rebana) disertai dengan
lagu-lagu, syair-syair, nadzam-nadzam yang diambil dari kitab karangannya. Beliau
wafat di Kampung Jawa Tondano pada Kamis 25 Rabiul Akhir 1286 H atau tahun 1872
(usia 86 tahun) dan dimakamkan dikomplek makan Kyai Modjo.

6.      Sayid Abdullah Assagaf


Sayid Abdullah Assagaf adalah orang Arab yang lahir di Palembang, Sumatra
Selatan. Belanda mengasingkannya di Tondano pada tahun 1880 karena
menganggapnya mengahasut masyarakat untuk melawan Belanda. Di Palembang
Assagaf konon menikah dengan wanita Belanda (Nelly Meijer) putri Residen Bengkulu.
Dari pernikahannya dengan wanita Belanda ini ia memperoleh satu orang anak laki-laki
(Raden Nguren/Nuren). Sebelum menikah dengan Assagaf, Nelly Meijer adalah janda
beranak satu dari perkawinannyya dengan adik sultan Palembang (Mahmud
Badaruddin II). Nelly Meijer dan kedua anaknya kemudian menyusul ke Kempung Jawa
Tondano dan Raden Nguren kemudian menikah dengan wanita Minahasa asal
Remboken. Anak Nelly Meijer yang satunya lagi menikah di Kampung Jawa Tondano
dan menurunkan keluarga (fam) Catradinigrat. Di Kampung Jawa Tondano Sayed
Abdullah Assagaf menikah lagi dengan Ramlah Suratinoyo dan memiliki 7 orang anak,
dan dari mereka menurunkan keluarga (fam) Assagaf di Kampung Jawa Tondano.
Keberadaan Abdullah Assagaf di Kampung Jawa Tondano telah mendistorsi
budaya Kampung Jawa Tondano yang semula sangat kental dengan budaya Jawa.
Abdullah Assagaf berhasil mentransfer dan mengawinkan budaya Arab-Sumatra
dengan budaya Jawa dan melahirkan budaya Jaton generasi ketiga.

7.      Gusti Perbatasari
Pangeran Perbatasari melakukan pemberontakan tehadap Belanda namun
kemudian ia ditangkap di daerah Kutai ketika dalam perjalanan membeli persenjataan
dan tahun 1884 diasingkan ke Kampung Jawa Tondano. Di Kampung Jawa Tondano
Pangeran Perbatasari menikah dengan wanita Jawa Tondano. Satu orang saudara
laki-lakinya (Gusti Amir) kemudian menysul ke Kampung Jawa Tondano dan menikah
dengan wanita Jawa Tondano (fam.Sataruno).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa masuknya Islam di Manado
itu awal mulanya dari di asingkannya para pahlawan ke Kampung Jawa Tondano.
Manado merupakan kota yang selalu dikunjungi orang-orang diluar daerah kota
Manado seperti Gorontalo, Sanger, Minahasa, dll, hal tersebut disebabkan karena kota
Manado pusat perdagangan.
Masuknya Islam di Manado bukan hanya melalui para pahlawan yang diasingkan ke
Tondano, tetapi melalui para pedagang Arab yang singgah di pesisir daerah Manado.
Disamping berdagang mereka juga menyiarkan ajaran agama Islam.Kemudian Islam
masuk di Manado juga melalui jalur pernikahan.

E.     Masuknya Islam di Desa Bailang


Bailang merupakan desa yang terletak didaerah kecamatan Tuminting kota
Manado. Dinamakan desa Bailang karena konon katanya dahulu pada zaman
penjajahan Belanda, tentara Belanda yang masuk di desa Bailang tidak bisa keluar dari
desa Bailang. Hal tersebut dikarenakan tentara Indonesia yang ditugaskan di desa
Bailang membunuh mereka secara diam-diam.
Desa Bailang terdiri dari 5 lingkungan, masyarakat di desa Bailang bervarian
ragamnya, ada suku Gorontalo, Sangir, Minahasa, Bantik, Bugis, Jawa. Walaupun
beraneka ragam tetap aman sejahtera.
Islam masuk di desa Bailang dibawah dari para perantau yang berasal dari
Gorontalo, Jawa, Kotamobagu. Perkembangan Islam di desa Bailang cukup stabil,
masyarakat muslim di desa Bailang sekarang ini gemar-gemarnya mengikuti suatu
jama’ah yang sering masyarakat Bailang kenal dengan sebutan Jama’ah Tabliq.

5
Jama’ah Tabliq awal mulanya tidak begitu berkembang di kalangan masyarakat
desa Bailang akan tetapi sekarang ini masyarakat di desa Bailang banyak yang
mengikuti Jama’ah Tabliq.
Awal mulanya Jama’ah Tabliq ini berasal dari desa Maasing kecamatan Tuminting,
lambat laun sudah menyebar sampai ke desa Bailang. Jama’ah Tabliq ini mengajak
para kaum muslimin untuk lebih taqwa dan beriman kepada Allah, mencintai Rasul dan
mengikuti sunnah Rasul.
Tiap Senin malam para anggota Jama’ah Tabliq berkumpul di Mesjid untuk
mendengarkan siraman-siraman rohani dengan mengajak para masyarakat yang
belum menjadi anggota Jama’ah Tabliq untuk bisa menjadi anggota Jama’ah Tabliq.
Para anggota Jama’ah Tabliq sering keluar kota/desa selama beberapa hari atau
bahkan sampai 40 hari meninggalkan urusan duniawi kemudian mengurusi urusan
akhirat, yaitu menyebarkan agama Islam atau menegakkan ajaran agama Islam.
Dengan adanya Jama’ah tabliq ini masyarakat di desa Bailang lebih terarahkan
dalam hal ketaqwaan kepada Allah SWT, dan juga lebih mencintai Rasul. Tidak semua
masyarakat di desa Bailang mengikuti Jama’ah Tabliq ini, akan tetapi Alhamdulillah
dengan adanya Jama’ah Tabliq ini sudah jarang kita temukan orang-orang yang
biasanya mabuk dijalanan.
Hingga sekarang Jama’ah Tabliq ini masih berperan penting dalam penyebaran
dan penguatan ajaran agama Islam. Insya Allah para Jama’ah Tabliq ini masih diberi
istiomah untuk menjalani profesinya.

6
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di desa Bailang, penelitian dilakukan dari awal bulan


Desember sampai awal bulan Januari tahun 2013. Dalam penulisan karya tulis ini
penulis memiliki sedikit keterlambatan karena disebabkan oleh kemalasan penulis dan
ketidaktahuan penulis.
Metode yang penulis lakukan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode kajian
pustaka dan pengamatan secara langsung dengan indra. Dengan menulis karya tulis
ini, penulis dapat mengambil pelajaran bahwa penyebaran agama Islam itu tidak
semudah dengan menulis suatu karya tulis ilmiah.
Karya tulis ini masih belum sempurna karna kesempurnaan hanya milik Allah dan
kekurangan hanya milik manusia.

7
BAB IV

KESIMPULAN
Dari penulisan karya tulis ini penulis dapat menyimpulkan bahwa proses
masuknya Islam di Manado khususnya di desa Bailang yaitu dengan cara perkawinan,
melalui jalur perdagangan, pengasingan para pahlawan ke Sulawesi Utara.

8
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. 1992. Sejarah Lokal di Indonesia. Gajah Mada Universitas
Press, Yogyakarta.
Gazalba, Sidi.1962. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. LP3ES.
Jakarta. Graafland, N. 1898.De Minahassa; Haar verleden en haar
tegenwoordige toestand. 2 Jilid.Haarlem, De Erven E. Bohn.
Hamid, Abu, 1983. Sistem Pendidikan Madrasah Dan Pesantren di Sulawesi
Selatan, Editor.
Taufik Abdullah, dalam buku: Agama dan Perubahan Sosial, CV. Rajawali,
Jakarta.
Ridianto. 1996. Sejarah Nahdtlatul Ulama di Kota Manado 1954-1993
Taulu H.M. 1977. Ringkasan Sejarah Masuknya Agama Islam di
Manado 1525. Penerbit Yayasan Manguni Rondor Manado.

Anda mungkin juga menyukai