Dosen Pengampu:
H.METSRA WIRMAN,S.HI.M.Phil
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Tradisi Merantau Pada Orang
Minangkabau ”
Mata Kuliah ini tepat pada waktunya.Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Islam Dan Adat Minangkabau. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing bidang studi yang
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini. Terima kasih kami
ucapkan kepada semua pihak terutama teman-teman yang telah membantu penyusunan makalah
ini dapat berjalan dengan lancar dan baik.
Kami menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 9
B. Saran ................................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia tentunya memiliki
beranekaragam tradisi. Salah satu tradisi yang masih tetap bertahan di masyarakat dan
menjadi ciri khas mereka adalah tradisi Merantau. Suatu ciri atau yang dengan mudah
ditandai dan dilihat yang merupakan ciri dari Etnis Minang adalah bahwa etnis ini dikaruniai
bakat perantau yang ulung.
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Makna merantau
Merantau merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama oleh
masyarakat Indonesia, yang dilakukan oleh berbagai suku bangsa, merantau yang
merupakan kata yang terdiri dari prefiks me- dan kata “Rantau”. Rantau pada mulanya
berarti garis pantai, daerah aliran sungai, dan “Luar negeri” atau negara-negara lain. Kata
kerja rantau yaitu merantau, berarti pergi ke negara lain meninggalkan kampung
halaman, berlayar melalui sungai dan sebagainya. Rantau secara tradisional adalah
wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah taklukan. Namun perkembangannya
belakangan, konsep rantau dilihat sebagai sesuatu yang menjalinkan harapan untuk masa
depan dan kehidupan yang lebih baik dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi dan
bukan dalam konteks politik. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan dengan
tiga hal: mencari harta (berdagang/menjadi saudagar), mencari ilmu (belajar), atau
mencari pangkat/pekerjaan/jabatan.
Menurut Gusti Asnan menjelaskan di dalam bukunya yang berjudul Kamus
Sejarah Minangkabau, ada dua pengertian merantau yang dapat dipahami di
Minangkabau. Pertama, Merantau dipahami sebagai pergi meninggalkan kampung
halaman untuk berbagai keperluan serta dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Kedua,
Merantau sebagai perubahan pemikiran atau transformasi pemikiran dari satu kondisi ke
kondisi yang lain.
Dalam penyebarannya, orang-orang Minangkabau jauh dari daerah asalnya ini
disebabkan oleh adanya dorongan pada diri mereka untuk merantau, yang disebabkan
oleh dua hal. Pertama, ialah keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaan tanpa
mempergunakan tanah-tanah yang telah ada. Hal ini dapat dihubungkan sebenarnya
dengan keadaan bahwa seorang laki-laki tidak mempunyai hak menggunakan tanah itu
untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia mungkin dapat menggunakan tanah itu untuk
kepentingan keluarga matrilinear. Kedua, ialah perselisihan-perselisihan yang
menyebabkan bahwa orang yang merasa dikalahkan akan meninggalkan kampung dan
keluarga untuk menetap di tempat lain. Orang minang memang ada di mana-mana di
berbagai pelosok Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Mereka terkenal karena memiliki
budaya merantau. Suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku bangsa tertentu saja di
Indonesia.
Dalam buku Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (M. Naim, 2013:3)
mendefinisikan bahwa merantau adalah “migrasi”, tetapi “merantau” adalah tipe khusus
dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yang tidak mudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris atau bahasa Barat manapun.
3
Menurut Kato pada bukunya yang berjudul Adat Minangkabau dan Merantau,
berpendapat bahwa merantau dibedakan menjadi tiga jenis cara merantaunya dalah
sejarah Minangkabau: Merantau untuk pemekaran nagari, merantau keliling (merantau
secara bolak-balik atau sirkuler), dan merantau Cino (merantau secara cina). Cara-cara
merantau ini secara kasar digolongkan ke dalam tiga periode sejarah: pemekaran nagari
dari masa legenda hingga awal abad ke-19, merantau keliling dari akhir abad ke-19
sampai tahun 1930- an, dan merantau Cino mulai dari 1950-an sampai sekarang.
Dalam tradisi merantau, perlu diketahui bahwasannya apa saja yang memberikan
pengaruh dan yang melatarbelakangi perantauan mereka, seperti adat (yakni kebiasaan),
perkawinan/perceraian, kemajuan pendidikan para perantau, pekerjaan-pekerjaan utama
perantau, tempat-tempat merantau yang biasa dituju, dan tujuannya mereka merantau.
(Kato, 2005:116)
Jika dikaitkan dengan Merantau, Sumatera Barat dikenal dengan tradisi
Merantaunya. Di Minangkabau sendiri memiliki nilai kearifan lokal tentang anjuran
merantau, mengadu nasib, dan kemudian kembali pulang membawa hasil kesuksesan dan
upaya penerapan budaya merantau dapat dijadikan adat istiadat, norma, dan nilau budaya
terpelihara, dihormati dan dikembangkan dari generasi ke generasi (Amir M.S, 2007:11).
Sehingga tidak mengherankan jika masyarakat Minangkabau menyebar hampir ke
seluruh wilayah yang ada di Indonesia.
Menurut Echols dan Shadily, 1963 (Kato, 2005:4) Minangkabau adalah salah satu
suku yang memiliki budaya merantau yang unik, dan merupakan dinamika tersendiri
serta menjadi bagian dalam kehidupan suku Minangkabau, bahkan dalam cerita rakyat
Minangkabau “Malin Kundang” yang menceritakan seorang anak laki-laki yang pergi
merantau meninggalkan kampung halamannya dan pantang pulang sebelum berhasil.
Merantau dalam tradisi Minangkabau merupakan keharusan, khususnya kepada
para pemuda jika ia ingin dipandang dewasa dalam masyarakat. Masyarakat Minang
menganggap bahawa laki-laki remaja hingga pemuda yang belum menikah dan tidak
pergi merantau sebagai orang-orang yang penakut dan tidak bisa hidup mandiri.
Dikatakan penakut karena tidak mau atau tidak berani mencoba kehidupan baru diluar
daerah Sumatera Barat. Sedangkan tidak bisa hidup mandiri disebabkan karena
ketergantungan terhadap saudara atau sanak keluarga di daerah Sumatera Barat.
2. Tujuan Merantau
Masyarakat Minangkabau berpendapat bahwa dengan merantau seorang laki-laki
mendapatkan kehidupan yang lebih baik dibandingkan di kampung halamannya.
Kecenderungan laki-laki Minangkabau yang pergi merantau didasarkan oleh tujuan untuk
mencari kekayaan, ilmu pengetahuan, dan kemakmuran
1. Alasan Merantau
4
Darek dan Rantau. Darek adalah kawasan inti yang berada di pedalaman atau di dataran
tinggi. Tepatnya di sekitar gunung Merapi. Oleh karena itu, kawasan di pedalaman ini disebut
darek (darat). Sedangkan daerah yang mengelilingi di sekitar kawasan inti disebut rantau
(Sjafnir Aboe Nain Kando Marajo, hlm. 13-14).
Di dalam tambo diungkapkan secara simbolis letak geografis Alam Minangkabau: “Dari
Riak nan Badabua, Siluluak Punai Maif, Sirangkak nan Badangkuang, Buayo Putiah Daguak,
Taratak Aie Hitam, Sikilang Aie Bangih, Hingga Durian Ditakuak Rajo” (Dari Riak nan
Berdebur, Siluluk Punai Maif, Sirangkak nan Berdengkung, Buaya Putih Daguk, Teratak Air
Hitam, Sikilang Air Bangis, Hingga Durian Ditekuk Raja). Demikian menurut Sjafnir Aboe
Nain Datuk Kando Marajo dalam Sirih Pinang Adat Minangkabau (2006).
1. Darek
Kawasan inti yang diyakini sebagai daerah asal Suku Minang terdiri dari tiga
luhak: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Kawasan ini
kemudian dikenal dengan nama Luhak Nan Tigo. Luhak Nan Tigo terletak di
kawasan pedalaman. Dalam tradisi masyarakat Minang, ketiga kawasan yang berada
di pedalaman ini dikenal dengan sebutan darek (darat). Ketiga kawasan inilah yang
kemudian menjadi inti atau pusat dari Alam Minangkabau. Luhak Tanah Datar,
Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota terletak di dataran tinggi yang
membentang di Bukit Barisan. Letaknya membujur dari utara ke selatan. Luhak
Tanah Datar berpusat di Batusangkar. Luhak Agam berpusat di Bukitinggi. Luhak
Lima Puluh Kota berpusat di PayakumbuhD.Relasi Kampung Dan Rantau
2. Rantau
Suku Minang menyebar ke wilayah pinggiran di luar kawasan inti Alam
Minangkabau. Kawasan-kawasan di pinggiran inti Alam Minang inilah yang
kemudian disebut nagari Rantau. Pada mulanya, nagari Rantau merupakan tempat
pemukiman orang-orang Minang. Lambat laun, Rantau menjadi wilayah kedua Alam
Minangkabau yang terpisah dari daerah asalnya. Namun, masyarakat di nagari-nagari
Rantau tetap menghubungkan diri dengan kebudayaan nagari asalnya. Masyarakat
Rantau selalu mengikatkan diri secara etnik dan kultural dengan Minangkabau.
Secara geografis, daerah Rantau dibagi menjadi: Rantau Timur, Rantau Pesisir,
Rantau Pasaman, dan Rantau Selatan. Daerah di sepanjang aliran sungai yang
mengalir ke pantai timur disebut Rantau Timur. Daerah dataran rendah yang sempit
dan membujur sepanjang pantai barat Sumatera Barat disebut Rantau Pesisir, terdiri
atas kawasan Tiku, Pariaman, Padang, Painan, dan Indrapura. Di sebelah utara Luhak
Agam terletak Rantau Pasaman, terdiri dari Rao, Lubuk Sikaping, Portibi, dan Air
Bangis. Di daerah rantau bagian selatan berbatasan dengan Kerinci, terletak di Alahan
7
Panjang, Sungai Pagu, dan Muara Labuh (Sjafnir Aboe Nain Datuk Kando Marajo,
hlm. 14).
3. Daerah Pasisie
Daerah ini meliputi daerah sepanjang pantai sebelah barat pulau sematera yang
memanjang dari barat laut ke tenggara. Dalam tambo disebutkan daerah pasisie yaitu
daerah nana nagari nagarinya talatak sabalah matohari ka tabanam, nan mamanjang
dari utara ka selatan. Jadi daerah ini mulai dari perbatasan daerah
minangkabaudengan daerah bengkulu sekarang yaitu muko muko sampai ke
perbatasan minangkabau dengan daerah tapanuli bagian selatan.
Alam senantiasa berubah. Pola hubungan Ranah dan Rantau pun juga berubah. Kalau
dulu pola hidup merantau sesuai gurindam sbb:
Pada taraf awal, perantau Minang secara fisik selalu pulang kampung setidaknya sekali
setahun menjelang Lebaran. Bahkan, sering penghasilan memeras keringat setahun habis
untuk bekal pulang. Namun, pulang kampung tetap dipaksakan juga demi melepaskan rindu
kampuang halaman. Membawa oleh-oleh sekedarnya untuk dunsanak di kampung. Begitulah
pola hidup perantau taraf awal. Namun, sedikit demi sedikit pola hidup rantau ini berubah.
8
Mereka yang berhasil menjadi sibuk mengurus keberhasilannya dirantau. Mengurus tugas
dan jabatannya, mengurus dagangannya, mengurus anak-bininya dirantau, dan rumah
tangganya. Akhirnya mereka tidak punya waktu lagi untuk pulang kampung. Organisasi
kekerabatan sering mendorong perantau tipe ini untuk “Pulang Basamo” yang bertujuan
untuk tetap mengingatkan perantau Minang akan kampung halamannya. Menunjukan
keberhasilannya dirantau dengan menggerakan bantuan-bantuan pembangunan di nagari
masing-masing, serta mendorong pariwisata bagi anak-anaknya yang lahir dirantau. Mereka
belum pernah melihat kampuang halaman orangtuanya. Tujuan semuanya adalah pulang
membawa hasil dari rantau yang berguna bagi Ranah Minang seluruhnya.
Bagi perantau yang kurang berhasil. Pulang kampung bagi mereka mejadi beban mental
dan financial. Mereka takut diejek dan dicemooh yang sudah menjadi kebiasaan buruk orang
awak. Pergi keromutan mencarikan “punggung nan indak basaok”, pulang kampung tetap
menggadai sawah amai. Malu pulang kampuang dan berat karena biaya yang memang susah
didapat. Mereka melahirkan papatah baru berbunyi sbb;
Keinginan hati hendak pulang sama besarnya dengan mereka yang berhasil, apa daya
tangan tak sampai.
Fakta sejarah membuktikan. Satu demi satu perantau Minangkabau, yang sukses maupun
yang gagal memulai pola hidup sebagai perantau menetap atau perantau cino. Kampung
halaman yang sudah merupakan masa lampau. Tinggal kenangan.
Sebaliknya bagi masyarakat adat di Alam minangkabau di Tigo Luhak, maupun dirantau
dakek Padang, Pariaman, Pesisir dan Rantau Timur, mereka perantau pemukim/ perantau cino
ini sudah dianggap dan diperlakukan seperti orang asing pula, orang datang yang sudah
hampir tak dikenal. Para perantau sudah dianggap “tamu” di Nagarinya sendiri.
Pepatah Minang yang berbunyi “Nan tuo dihormati, samo gadang ajak bakawan. Nan
ketek dilindungi” tidak berlaku bagi perantau cino.
Dari perantau cino mereka hanya butuh bantuan “pitih”. Bantuan dalam bentuk nasihat,
pemikiran, saran-saran, konsep jarang mereka terima. Prinsip mereka sederhana “Kami lebih
tahu urusan kami dari anda para perantau” yang kami butuhkan hanya pitih, sekali lagi pitih.
Dengan pitih bereslah segalanya (AMS.TJ-2.103).
Demikianlah pola hubungan masyaramat adat Minangkabau dengan para perantau diawal
abad XXI ini. Hubungan yang hanya bersifat materialistis, yakni hubungan “pitih”.
9
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Merantau merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat
Indonesia, yang dilakukan oleh berbagai suku bangsa, merantau yang merupakan kata yang
terdiri dari prefiks me- dan kata “Rantau”. Rantau pada mulanya berarti garis pantai, daerah
aliran sungai, dan “Luar negeri” atau negara-negara lain. Kata kerja rantau yaitu merantau,
berarti pergi ke negara lain meninggalkan kampung halaman, berlayar melalui sungai dan
sebagainya. Rantau secara tradisional adalah wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah
taklukan.
Darek dan Rantau. Darek adalah kawasan inti yang berada di pedalaman atau di dataran
tinggi. Tepatnya di sekitar gunung Merapi. Oleh karena itu, kawasan di pedalaman ini disebut
darek (darat). Sedangkan daerah yang mengelilingi di sekitar kawasan inti disebut rantau
Pada taraf awal orang Minangkabau meninggalkan kampung halamannya secara sukarela.
Dilepas sanak keluarganya dengan perasaan haru. Dibekali dengan doa dan ajaran adat
merantau yang mengena, Diharapkan kembali membawa hasil dari rantau. Hubungan
perantau dengan karib kerabat yang ditinggal masih sangat akrab dan menyatu. Secara fisik
mereka memang berpisah, secara rohaniyah mereka tetap menyatu.
B.Saran
Demikian uraian makalah yang dapat saya sajikan, apabila terdapat kesalahan baik dalam
penulisan maupun dalam pemaparan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kesempurnaan hanya milik Allah dan kekurangan pastilah milik manusia karena itu, tidak
lupa kritik dan saran selalu saya harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua
DAFTAR PUSTAKA
Perantau‟, Jurnal Kajian Komunikasi, 2(1), pp. 27–43. Miftahul Jannah, Adi Bayu Mahadian, D.
S. F. A. (2015) „Konstruksi Makna Merantau Pada Perempuan Perantau Minangkabau (Studi
Fenomenologi pada Mahasiswi Perantau Minangkabau Universitas Telkom)‟, Jurnal Psikologi
Universitas Telkom, 6(1), pp. 1–8
Kato, T. (2005) Adat Minangkabau dan Merantau Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Balai
Pustaka.