Anda di halaman 1dari 10

Makalah

Asal Usul Latar Belakang Adat Mandailing

Dosen Pengampu:
Rabiah Z Harahap, S.H, M.H

Disusun Oleh:

Ahmad Anshory S Lubis (2006200420)

Program Studi Hukum Adat


Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur hanya kepada Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah nya
pemakalah dapat menyelesaikan makalah Hukum Adat dengan baik dan tepat waktu.
Adapun tujuan utama penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Hukum Adat yang membahas “Asal Usul Latar Belakang Adat Mandailing “

Shalawat dan Salam saya panjat kan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan tak lupa
pula saya ucapkan terima kasih kepada ibu dosen saya yang telah membantu
memberikan arahan dan bimbingan nya, hingga makalah ini dapat di selesaikan.

Demikian penulisan makalah ini saya buat dengan sebaik baik nya semoga
bermanfaat bagi siapapun yang membaca nya.

saya memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini, saya
juga sangat menerima kritik maupun saran yang diberikan demi kebaikan bersama.
saya ucapkan Terima Kasih.

Medan, 20 April 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .............................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 4

BAB II ............................................................................................... 5
PEMBAHASAN ................................................................................ 5
2.1 Sejarah Suku Mandailing ................................................................................. 5
2.2 Struktur Adat dan Sistem Sosial ...................................................................... 7
2.3 Marga-Marga Mandailing....................................................................................7
2.4 Wilayah Persebaran Suku Mandailing.................................................................8

BAB III................................................................................................ 9
PENUTUP ............................................................................................ 9
Kesimpulan ............................................................................................................. 9
Saran ....................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 10


Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masala

Sebagai masyarakat Indonesia, kita harus mengetahui berbagai macam kebudayaan yang ada di
negara kita. Indonesia terdiri dari banyak suku dan budaya, dengan mengenal dan mengetahui halitu,
masyarakat Indonesia akan lebih mengerti kepribadian suku lain, sehingga tidak menimbulkan
perpecahan maupun perseteruan. Pengetahuan tentang kebudayaan itu juga akan memperkuat rasa
nasionalisme kita sebagai warga negara Indonesia yang baik.

Selain hal-hal di atas, kita juga dapat mengetahui berbagai kebudaya di Indonesia yang
mengalami akulturasi. Karena proses akulturasi yang terjadi tampak simpang siur dan setengah-
setengah. Contoh, perubahan gaya hidup pada masyarakat Indonesia yang kebarat-baratan yang
seolah-olah sedikit demi sedikit mulai mengikis budaya dan adat ketimurannya. Namun, masih ada
beberapa masyarakat yang masih sangat kolot dan hampir tidak mempedulikan perkembangan dan
kemajuan dunia luar dan mereka tetap menjaga kebudayaan asli mereka.

Karena latar belakang di atas kita menyusun makalah tentang salah satu kebudayaan masyarakat
Indonesia, yaitu masyarakat Mandailing. Makalah ini akan memberikan wawasan tentang
masyarakat Mandailing yang memiliki keragaman suku dan budaya

1.2 Rumusan Masalah

1. Sejarah Suku Mandailing


2. Struktur Adat dan Sistem Sosial
3. Marga-Marga Mandailing
4. Wilayah Persebaran Suku Mandailing

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui dan Memahami Asal-Usul Adat Mandailing


BAB II
Pembahasan

2.1 Sejarah Suku Mandailing


Penulis tidak bermaksud untuk membuka polemik terkait keberadaan etnis Mandailing dan
suku Batak di Sumatera Utara mengingat struktur sosial di Sumatera Utara (Sumut) yang
begitu kompleks. Meski banyak suku, agama, bahasa, adat istiadat, dan sub etnis maupun
golongan, masyarakat Sumut tetap hidup rukun dan menjadi miniaturnya Indonesia.

Secara garis besar, Mandailing adalah salah satu suku yang banyak ditemui di utara Pulau
Sumatera atau lebih spesifik berada di selatan Provinsi Sumut. Suku ini memiliki ikatan
darah, nasab, bahasa, aksara, sistem sosial, kesenian, adat, dan kebiasaan tersendiri yang
berbeda dengan Batak dan Melayu.

Generalisasi kata Batak terhadap etnis Mandailing umumnya tak dapat diterima oleh
keturunan asli wilayah itu. Meski sebagian masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak.

Abdur-Razzaq Lubis dalam bukunya “Mandailing-Batak-Malay: A People Defined and


Divided. In: 'From Palermo to Penang: A Journey into Political Anthropology', University
of Fribourg, 2010, mengemukakan, bahwa penjajahan Belanda di Sumatera menyebabkan
Mandailing menjadi bagian dari Suku Batak berdasarkan aturan irisan yang dibuat untuk
mengklasifikasi dan membuat tipologi.

Akibatnya Suku Mandailing melebur menjadi satu yang dinamai Suku Batak Mandailing di
Indonesia dan Suku Melayu Mandailing di Malaysia.

Mengenai sejarah Mandailing, M Dolok Lubis dalam Bukunya “Mandailing; Sejarah, Adat
dan Arsitektur Mandailing” menjelaskan bahwa keberadaan Mandailing sudah
diperhitungkan sejak abad ke-14 dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam sumpah
Palapa Gajah Mada pada syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Prapanca
sebagai daerah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365) ke beberapa wilayah di
luar Jawa.

Berabad sebelum Prapanca, di Mandailing telah tumbuh masyarakat berbudaya tinggi


(berdasarkan catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 M ke
Kerajaan Panai) di hulu sungai Barumun atau di sepanjang aliran sungai Batang Pane mulai
dari Binanga, Portibi di Gunung Tua hingga lembah pegunungan Sibualbuali di Sipirok. Hal
ini ditandai dengan adanya masyarakat bermarga pane di Sipirok, Angkola dan Mandailing.

Budayawan Mandailing, Z Pangaduan lubis dalam bukunya ‘Kisah Asal-usul Marga di


Mandailing’. Nama Mandailing disebut berasal dari kata Mandehilang (bahasa
Minangkabau, artinya ibu yang hilang). Kata Mundahilang, kata Mandalay (nama kota di
Burma) dan kata Mandala Holing (nama kerajaan di Portibi, Gunung Tua) Munda adalah
nama bangsa di India Utara, yang menyingkir ke Selatan pada tahun 1500 SM karena
desakan Bangsa Aria. Sebagian bangsa Munda masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus
di Pantai Barat Sumatera.
Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diyakini berawal sejak abad ke-9 atau
ke-10. Mayoritas marga yang ada di Mandailing adalah Lubis dan Nasution. Nenek Moyang
Marga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari Sulawesi Selatan.

Angin Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di Hutapanopaan (sekarang
Kotanopan) dan mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar Namora
Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan Namora Pande
Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di daerah Guluan Gajah.

Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan Namora Namora Pande Bosi III
yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari Sutan
Pulungan, yang merupakan keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan istri
pertamanya yang berasal dari Angkola.

Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan antara
Batara Pinayungan (dari kerajaan Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik perempuan
Sutan Pulungan) yang menetap di Penyabungan Tonga.

Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang berasal dari
kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut Marpayung Aji
dijuluki ‘orang Nan Ditakuti’, dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di Huta Lobu
Mandala Sena (Aek Marian).

Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat dan salah satunya ke
daerah Tamiang, membawa marga Parinduri. Nenek moyang marga Batubara, Matondang
dan Daulay bernama Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo (dua orang pemimpin
serombongan orang Melayu) berasal dari Batubara, Asahan.

Selain masyarakat bermarga, daerah Mandailing telah didiami tiga suku lainnya, jauh
sebelum abad ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi dan suku Lubu Siladang.
Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga ditemukan di daerah
Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia.

Suku Hulu Muarasipongi diduga berasal dari Riau, sedangkan bahasa dan adatnya, mirip
dengan bahasa dan adat Riau serta Padang Pesisir. Suku Lubu Siladang bermukim di lereng
Gunung Tor Sihite, bahasa dan adatnya berbeda dengan bahasa dan adat Mandailing dan
Melayu.

Pendapat lain menyebutkan bahwa suku Mandailing di Sumut lahir di bawah pengaruh
Kaum Padri yang memerintah Minangkabau di Tanah Datar. Hasilnya, suku ini dipengaruhi
oleh budaya Islam. Suku ini juga tersebar di Malaysia, tepatnya di Selangor dan Perak.
Suku ini juga memiliki keterkaitan dengan Suku Angkola (Tapanuli Selatan).

Budayawan Mandailing-Angkola Basyral Hamidy Harahap mengemukakan, umumnya


nenek moyang Mandailing merantau ke Semenanjung karena Perang Padri (1816-33). Ada
yang menuntut ilmu agama, berniaga, membuka huta harajoan (beraja) yang baru,
membawa diri kerana perselisihan paham di kalangan keluarga atau menghindarkan
penjajahan Belanda.

Seperti kebanyakan masyarakat di dunia, masyarakat Mandailing adalah patrilineal, yaitu


mengikuti nasab keturunan ayah. Karena itu, hanya laki-laki saja bisa menyambung marga
orang tuanya.

Sebagaimana orang Arab dan China, orang Mandailing mempunyai pengetahuan mengenai
silsilah mereka sampai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek moyang mereka.

2.2 Struktur Adat dan Sistem Sosial


Dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya, Mandailing menggunakan satu struktur sistem
adat yang disebut Dalihan Natolu (tungku yang tiga). Masyarakat Mandailing menganut
sistem sosial yang terdiri atas Kahanggi, (kelompok orang semarga), Mora (kelompok
kerabat pemberi anak gadis) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak gadis).
Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap pelaksanaan kegiatan adat, seperti
Horja (pekerjaan/pesta), yaitu tiga jenis yaitu, (1) Horja Siriaon adalah kegiatan
kegembiraan meliputi upacara kelahiran (tubuan anak), memasuki rumah baru (Marbongkot
bagas na imbaru) dan mengawinkan anak (haroan boru); (2) Horja Siluluton (upacara
Kematian) dan (3) Horja Siulaon (gotong royong).
Sistem pemerintahan di Mandailing, sebelum datangnya Belanda merupakan pemerintahan
yang dipimpin oleh pengetua-pengetua adat. Yaitu raja dan Namora Natoras sebagai
pemegang kekuasaan dan adat. Raja di Mandailing terdiri atas beberapa jenis, yaitu
Panusunan (raja tertinggi), Ihutan (di bawah Panusunan), Pamusuk (raja satu huta, tunduk
pada Panusunan dan Pamusuk), Sioban Ripe (di bawah raja Pamusuk) dan Suhu (di bawah
Pamusuk dan Sioban Ripe, tetapi tidak terdapat di semua Huta).
Semua raja Panusunan yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga
Lubis di Mandailing Julu dan marga Nasution di Mandailing Godang yang masing-masing
berdaulat penuh di wilayahnya. Namora Natoras terdiri atas Namora (orang yang menjadi
kepala dari tiap parompuan kaum kerabat raja yang merupakan kahanggi raja), Natoras
(seseorang yang tertua dari satu parompuan), suhu (orang yang semarga dengan Raja
Panusunan/Pamusuk tetapi bukan satu keturunan Raja) dan Bayo-bayo Nagodang (mereka
yang tidak semarga dengan raja, yang datang bersama-sama pada waktu tertentu ke huta
tersebut).
Sistem sosial ini menunjukkan bahwa masyarakat Mandailing sangat menghormati dan
menghargai orang tua. Namun demikian, orang tua yang dihormati tidak lantas tinggi hati.
Tetapi justru mengayomi semua kerabat, saudara bahkan orang lain yang bukan siapa-siapa
bagi mereka dalam melaksanakan setiap aktivitas di dalam huta.

2.3 Marga-Marga Mandailing


15 Marga yang Secara Sah diakui di Suku Mandailing adalah:
Pulungan, Nasution, Pasaribu, Lubis, Matondang, Rangkuti, Batubara, Marbun, Harahap,
Dalimunthe, Hutasuhut, Siregar, Hasibuan, Daulay, Pane, Pohan
Menurut Abdoellah Loebis, penulis asal Mandailing, marga-marga di Mandailing Julu dan
Pakantan adalah Lubis (yang terbagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro),
Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan.
Marga-marga di Mandailing Godang pula adalah Nasution yang terbagi kepada Nasution
Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain.
Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia,
Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean, Tangga
Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga.)
Menurut Basyral Hamidy Harahap, di daerah Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga
Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Juga terdapat marga-marga
Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis di Padang
Lawas.
Selain di Mandailing Natal (Madina), suku Mandailing juga banyak tersebar di Kabupaten
Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kota
Padangsidimpuan. Kelompok pertama yang datang di wilayah tersebut adalah Pulungan dan
Nasution.
Seiring waktu, kini populasi orang Mandailing tersebar luas ke penjuru Indonesia dan luar
negeri. Mereka mudah dikenal karena adanya identitas marga yang melekat pada nama
mereka.

2.4 Wilayah Persebaran Suku Mandailing


Suku Mandailing lebih banyak tersebar di Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli
Selatan, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten
Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten
Batubara, Kabupaten Deli Serdang, Kota Medan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan
Hilir, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat. Kelompok pertama yang datang di
wilayah tersebut adalah Pulungan dan Nasution.
BAB III
Penutup

Kesimpulan
Dari isi pembahasan di atas yang terdiri dari empat pokok pembahasan dapat ditarik
kesimpulan bahwa adat Mandailing adalah sebuah adat yang telah lama ada sejak zaman
dahulu yang masih ada hingga kini dan bukan termasuk adat batak, Adat Mandailing tersebar
di berbagai daerah sumatera dan bagian malaysia, Adat Mandailing ini menganut garis
keturunan Patrilineal, bersuku ke suku garis keturunan Laki-Laki atau bapak.

Saran
Demikian materi yang dapat saya sampaikan mengenai asal-usul Suku Mandailing. Saya
berharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Jika pembaca ingin
memperdalam pengetahuan mengenai judul ini, maka dapat dipelajari melalui sumber-
sumber pengetahuan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Mandailing
https://daerah.sindonews.com/berita/1260799/29/asal-asul-mandailing-sejarah-dan-
kebesaran-marga-marga

Anda mungkin juga menyukai