Anda di halaman 1dari 12

KESENIAN SUKU BATAK MANDAILING NATAL

OLEH:
1. ADITYA GINTING
2. EDRIC ORLANDO
3. FAREL DEPARI
KELAS : XI IPA 3

SMA SWASTA ST. THOMAS 1


MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan baik. Tugas ini
dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran yaitu “Seni dan Budaya”.

Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar penulis dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

                                                                                    Medan, November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................1
1.3 Tujuan...................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................2
BAB III PENUTUP
.1 Kesimpulan...........................................................................................7
.2 Saran......................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................8
`

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan dan Masyarakat merupakan suatu hal yang tidak dapat
terpisahkan satu sama lain. Keduanya saling berkaitan erat. Masyarakat menjadi
bagian dari kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu sendiri merupakan hasil dari
adanya masyarakat. Seperti halnya kebudayaan dan suku batak, suku batak sudah
tidak asing lagi kita dengar dalam pembelajaran kita maupun dalam kehidupan
sehari-hari. Suku batak sendiri memiliki beraneka ragam jenis subsub suku/etnis
yang memang berbeda-beda dan unik. Bahkan diluar sana menurut pengamatan
penulis masih banyak orang yang belum mengetahui mengenai suku batak lebih
spesifik. Masih banyak orang-orang yang beranggapan suku batak identik dengan
logat yang kasar, berteriak saat berbicara, keras dsb. Padahal tidak semua suku
batak seperti itu. Masing-masing etnis/sub dari suku batak, memiliki ciri-ciri adat
istiadat tersendiri, system kekerabatan yang berbeda pula, berbeda dialek/logat,
dll. Semua itu tergantung pada kebudayaan yang mereka anut sejak dulu.
Terutama suku batak mandailing natal, yang berbeda dengan suku batak lainnya.
Maka dari itu dalam hal ini, penulis akan membahas mengenai Kebudayaan Suku
Batak Mandailing Natal. Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami
perbedaan suku batak yang satu ini serta agar dapat menambah wawasan pembaca
mengenai suku batak mandailing natal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kebudayaan suku Batak Mandailing Natal?
2. Apa saja perbedaan dan persamaan suku Batak Mandailing Natal dengan
suku Batak lainnya?
.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
kebuadayaan suku Batak Mandailing Natal dan apa saja yang membedakan
suku Batak Mandiling Natal dengan suku Batak lainnya.

1
BAB II
PEMABAHASAN
A. Pengertian suku Batak Mandailing
Suku Batak Mandailing adalah salah satu suku dari sekian banyak Rumpun
Batak yang telah lama hidup dalam suatu komunitas di kabupaten Mandailing-
Natal, penyebaran juga terdapat di kabupaten Padang Lawas, kabupaten Padang
Lawas Utara, dan sebagian kabupaten Tapanuli Selatan yang berada di provinsi
Sumatera Utara. Orang Mandailing juga menyebar hingga ke wilayah provinsi
Sumatra Barat, seperti di kabupaten Pasaman dan kabupaten Pasaman Barat.
Godang Singengu/Rumah Tradisional Raja di
Mandailing. Jumlah populasi 1.700.000 jiwa
(Sensus 2010)
Kawasan dengan populasi yang signifikan
Sumatera Utara 1.035.000
Sumatra Barat 214.000
Riau 210.000
Jakarta 80.000
Malaysia 30.000
Agama Islam (98 %)
Kristen (2%)
B. Adat Istiadat
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat
Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang
Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang
merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa,
bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara Rencong dari Aceh,
Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Suku Mandailing mempunyai
aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-
kitab kuno yang disebut pustaha (pustaka). Umumnya pustaka-pustaka ini berisi
catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu
yang baik dan buruk, serta ramalan mimpi.
C. Adat Pernikahan
Dalam pelaksanaan upacara adat pernikahan mandailing,biasanya diperlukan
perlengkapan upacara adat, seperti sirih (napuran/burangir) terdiri dari sirih,
sentang (gambir), tembakau, soda, pinang, yang semuanya dimasukkan ke dalam
sebuah tepak. Lalu, sebagai simbol kebesaran (paragat) disiapkan payung
rarangan, pedang dan tombak, bendera adat (tonggol) dan langit-langit dengan
tabir.Adat pada suku Mandailing melibatkan banyak orang dari dalian na tolu,
seperti mora, kahanggi dan anak boru. Prosesi upacara pernikahan dimulai dari
musyawarah adat yang disebut makkobar/makkatai, yaitu berbicara dalam tutur
sapa yang sangat khusus dan unik. Setiap anggota berbalas tutur, seperti berbalas
pantun secara bergiliran. Orang pertama yang membuka pembicaraan adalah juru
bicara yang punya hajat (suhut), dilanjutkan dengan menantu yang punya hajat

2
(anak boru suhut), ipar dari anak boru (pisang raut), peserta musyawarah yang
turut hadir (paralok-alok), raja adat di kampung tersebut (hatobangan), raja adat
dari kambpung sebelah (raja torbing balok) dan raja diraja adat/pimpinan sidang
(raja panusunan bulang).Setelah itu, dilaksanakan acara tradisi yang dikenal
dengan nama mangupa atau mangupa tondi dohot badan. Acara ini dilaksanakan
sejak agama Islam masuk dan dianut oleh etnis Mandailing dengan mengacu
kepada ajaran Islam dan adat. Biasanya ada kata-kata nasihat yang disampaikan
saat acara ini. Tujuannya untuk memulihkan dan atau menguatkan semangat serta
badan. Pangupa atau bahan untuk mangupa, berupa hidangan yang diletakkan ke
dalam tampah besar dan diisi dengan nasi, telur dan ayam kampung dan
garam.Masing-masing hidangan memiliki makna secara simbolik. Contohnya,
telur bulat yang terdiri dari kuning dan putih telur mencerminkan kebulatan
(keutuhan) badan (tondi). Pangupa tersebut harus dimakan oleh pengantin sebagai
tanda bahwa dalam menjalin rumah tangga nantinya akan ada tantangan berupa
manis, pahit, asam dan asin kehidupan. Untuk itu, pengantin harus siap dan dapat
menjalani dengan baik hubungan tersebut.
1. Macam –macam jenis adat istiadat yang ada dalam suku Batak Mandailing
Natal:
a. Dalihan Na Tolu
Dalihan Na Tolu merupakan fondasi budaya Angkola-Sipirok, Padang Lawas
dan Mandailing, yang saat ini lambat laun mengalami ancaman kepunahan. Pada
Dalihan Na Tolu terdapat 3 unsur, yaitu:
1) Kahanggi, adalah kelompok yang mengayomi.
2) Anak boru, adalah kelompok yang melaksanakan tugas.
3) Mora, adalah kelompok yang dalam posisi penasehat.
Pada Dalihan Na Tolu terdapat 109 nilai, yang diperas menjadi 9 nilai budaya
utama, yaitu:
1) Kekerabatan, mencakup hubungan primordial, suku, kasih sayang atas
dasar hubungan darah dan perkawinan.
2) Religi, mencakup kehidupan beragama.
3) Hagabeon, mencakup banyak anak-cucu serta panjang umur.
4) Hasangapon, kemuliaan, kewibawaan dan kharisma.
5) Hamaraon, mencakup kekayaan yang banyak tapi halal.
6) Hamajuon, mencakup kemajuan dalam menuntut ilmu pengetahuan.
7) Hukum, mencakup “ptik dan uhum’’ dalam rangka menegakkan
kebenaran.
8) Pengayoman, nilainya lebih kecil dari 7 unsur lainnya, karena orang
Angkola-Mandailing harus mandiri.
9) Konflik, mencakup terjadi pertarungan kekuatan tentang masalah tanah
dan warisan.
b. Mamodomi Boru
Mungkin semua orang sering mendengar istilah kawin lari, di Mandailing.
Biasa disebut dengan Mangalojongkon Boru. Bila seorang pemuda membawa

3
kawin lari seorang gadis, biasanya si gadis ditemani satu orang gadis juga yang
disebut dengan Pandongani. Dalam tradisi Mandailing ini masih sering terjadi.
Untuk menghindari sesuatu yang dianggap melanggar norma-norma, lahirlah
tradisi yaitu “Mamodomi Boru”. Mamodomi Boru artinya,
meramaikan/menemani seorang gadis yang mau menikah pada malam hari
dirumah kediaman calon suaminya sebelum dijatuhi akad nikah. Mamodomi boru
biasanya diramaikan oleh gadis-gadis setempat selama tiga malam. Dan rumah
kediaman calon suami akan selalu ramai karena, pemuda-pemuda juga ikut
berkunjung ke rumah itu.
Pada momen ini juga biasanya disediakan daun sirih (Burangir) beserta
dengan kombinasinya seperti sontang sejenis daun kering yang biasa dimakan
bersamaan dengan daun sirih. Dan perlu diketahui sontang bisa jadi obat saat
suara kita serak. Bila para gadis mau tidur, diperkenankan kepada para pemuda
untuk bubar. Begitulah seterusnya pada setiap malamnya sampai akad nikah telah
dilaksanakan.
Mamodomi boru sering juga disebut dengan istilah paboru-boru. Seperti yang
diuraikan tadi, bila akad nikah sudah dilakukan sipandongani juga boleh pulang
kerumahnya. Tapi perlu diketahui sebelumnya, kalau selama akad nikah belum
terlaksana. Dari pihak laki-laki atau calon suami harus pergi ke rumah orangtua
calon istri, untuk menyatakan kalau anak gadisnya telah dibawa kawin lari, ini
biasa disebut mandokon ulang agoan. Begitulah salah satu adat di Mandailing
yang mempunyai nilai dan norma yang baik.
c. Kebiasaan atau adat istiadat suku Batak Mandailing Natal yang sama
dengan kebiasaan suku Batak Toba
1) Ketika menyambut pengantin di rumah pengantin laki-laki. Masyarakat
Mandailing selalu menyambutnya dengan ucapan horas...horas...horas
2) Ketika bayi lahir, biasanya akan dibawa keluar rumah (dipatutoru), biasanya
bakar kemenyan di luar rumah, agar bayi yang telah terlahir tidak mendapat
gangguan roh halus.
3) Adanya Gordang yang hampir bersamaan. (Gordang sambilan di tanah
Mandailing Godang).
4) Banyaknya persamaan nama gunung, nama desa dan nama sungai di tanah
Batak Mandailing dan Batak Toba.
5) Adanya acara mangupa-upa bila ada pesta perkawinan di tanah Mandailing.
6) Adanya tarian Tor-tor.
7) Adanya cara-cara menyiram sesuatu yang baru kita beli. Biasa diberi
namaipangir, agar terlepas dari marabahaya.
8) Adanya Ulos.
9) Adanya hata-hata yang bersamaan cara merangkai kalimatnya bila ada pesta
ataupun pertemuan adat.
10) Adanya istilah-istilah dalam hubungan kefamilian seperti anak boru,
kahanggi, mora, harajaan, ula-ula dan lain-lain.

4
11) Adanya tarombo (silsilah) yang membuktikan adanya hubungan urutan
marga.

D. Kekerabatan
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal
maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga.
Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja, antara lain Lubis, Nasution,
Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe,
Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut. Bila orang Batak
mengenal pelarangan kawin semarga, maka orang Mandailing tidaklah mengenal
pelarangan kawin semarga. Hal ini lah yang menyebabkan marga orang Batak
bertambah banyak, karena setiap ada kawin semarga, maka mereka membuat
marga yang baru. Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing apabila terjadi
perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban melakukan upacara
korban, berupa ayam, kambing atau kerbau, tergantung status sosial mereka di
masyarakat, namun aturan adat itu sekarang tidak lagi dipenuhi, karena nilai-nilai
status sosial masyarakat Mandailing sudah berubah, terutama di perantauan.
Kata marga di Mandailing atau Mandahiling bisa berarti clan yang berasal dari
bahasa Sanskrit, varga yaitu warga atau warna , ditambah imbuhan ma atau mar,
menjadi mavarga atau marvarga, artinya berwarga, dan disingkat menjadi marga.
Marga itu sendiri bermakna kelompok atau puak orang yang berasal dari satu
keturunan atau satu dusun. Marga juga bisa berasal dari singkatan 'naMA
keluaRGA'. Namun, tidak semua orang Mandailing mencantumkan marga dalam
namanya, karena dianggap cukup sebagai identitas antara orang
Mandailing/Mandahiling sendiri. Selain itu, di antara orang Mandailing ada juga
yang tak memakai sistem patrilineal atau sistem marga, melainkan memakai
sistem matrilineal atau yang diistilahkan sebagai sistem suku dalam bahasa
Minang, seperti contohnya etnis Lubu yang merupakan penduduk asli
Mandahiling. Selain itu, marga juga bisa diartikan sebagai dusun, seperti halnya
arti marga di wilayah Sumatera Selatan.
E. Agama dan Bahasa
Penduduk suku Batak Mandailing mayoritas adalah beragama Islam. Berbeda
dengan orang Batak Toba yang beragama Kristen. Tapi kedua suku bangsa ini
berawal dari sejarah asal usul yang sama. Bahasa Mandailing merupakan bahasa
yang terdapat di provinsi Sumatera Utara bagian selatan, Sumatera Barat dan Riau
bagian utara, yang merupakan varian dari bahasa Sanskerta yang banyak
dipengaruhi bahasa Arab.
Bahasa Mandailing Julu dan Mandailing Godang dengan pengucapan yang
lebih lembut lagi dari bahasa Angkola, bahkan dari bahasa Batak Toba. Mayoritas
penggunaannya di daerah Kabupaten Mandailing Natal, tapi tidak termasuk

5
bahasa Natal (bahasa Minang), walau pun pengguna bahasa Natal berkerabat
(seketurunan) dengan orang-orang Kabupaten Mandailing Natal pada umumnya.
Sementara itu, bahasa Mandailing Padang Lawas (Padang Bolak) dipakai di
wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara dan Padang Lawas.
Di wilayah Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu, orang-orang Mandailing
umumnya memakai bahasa Melayu Pesisir Timur. Bahasa Mandailing Angkola,
terutama di Angkola Dolok (Sipirok) adalah bahasa yang paling mirip dengan
bahasa Batak Toba, karena letak geografisnya yang berdekatan, namun bahasa
Angkola sedikit lebih lembut intonasinya daripada bahasa Toba. Bahasa Angkola
meliputi daerah Padangsidempuan, Batang Toru, Sipirok, seluruh bagian
kabupaten Tapanuli Selatan. Secara umum, orang Mandailing akan menggunakan
bahasa Melayu bila bertemu, apabila ada kata-kata yang tidak dimengerti dalam
dialek lokalnya masing-masing.
F. Asal-usul silsilah keluarga
Seperti halnya orang Arab dan Tionghoa, orang Mandailing atau Mandahiling
mempunyai pengetahuan mengenai silsilah, yang dalam bahasa Mandailing
disebut sebagai (Tarombo atau Tambo). Silsilah orang Mandailing bisa mencapai
beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek moyang mereka. Pada mulanya
silsilah sesuatu marga, diriwayatkan turun-temurun secara lisan (tambo atau
terombo), kemudian diturunkan secara tertulis. Menurut Abdoellah Loebis yang
menulis mengenai asal usul orang Mandailing dalam majalah Mandailing yang
diterbitkan di Medan pada awal kurun ke-20: "Yang masih ada memegang tambo
turunturunannya, yaitu marga Lubis dan Nasution, sebagaimana yang sudah
dikarang oleh Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek (Sungai)
Nangali..." Ini tidak bermakna marga-marga Mandailing yang lain tidak
memelihara silsilah mereka.
Penelitian silsilah marga Lubis Singengu (keturunan Silangkitang) di
Kotanopan dan Lubis Singasoro (keturunan Sibaitang) di Pakantan , beserta
Harahap (keturunan Sutan Bugis) dan Hutasuhut (keturunan Sutan Borayun) di
Angkola, yang merupakan keturunan Namora Pande Bosi, menunjukkan bahwa
marga itu mula menetap di Mandailing Julu dan Mandailing Jae (Angkola) pada
kurun abad ke-16 M, keturunan dari Raden Patah gelar Angin Bugis dari
Majapahit, seperti Parinduri, Batubara, Daulae, Raorao, Tanjung, dan lainnya,
yang bukan keturunan Namora Pande Bosi, umumnya sampai sekarang belum
banyak dipublikasikan.
Sementara pada umumnya marga Nasution Sibaroar yang berada di
Mandailing Godang merupakan keturunan Si Baroar gelar Sutan (Sultan) Di Aru,
dan marga-marga Nasution lainnya, antara lain Nasution Panyabungan,
Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain,
berdasarkan nama dusun masing-masing, yang awalnya memakai sistem
matrilineal.

6
7
BAB III
PENUTUP
.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Adat istiadat atau kebiasaan suku Batak Mandailing Natal bermacam-
macam namun beberapa diantaranya memiliki persamaan dengan
kebiasaan suku Batak Toba.
2. Sedangkan dari segi agama justru berbeda, suku Batak Mandailing
beragama islam dan suku Batak Toba beragama Kristen secara mayoritas.
3. Bahasa/dialek yang digunakan suku Batak Mandailing Natal lebih lembut
dibandingkan dengan bahasa yang digunakan suku batak lainnya.
4. Dalam kekerabatan suku Batak Mandailing Natal, diperbolehkan untuk
menikah sesama satu marga.
.2 Saran
Demikian materi yang dapat penulis sampaikan mengenai Kebudayaan Suku
Batak Mandailing Natal. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun dari
pembaca untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Jika pembaca ingin memperdalam pengetahuan
mengenai judul ini, maka dapat dipelajari melalui sumber-sumber pengetahuan
lainnya.

8
DAFTAR PUSTAKA
http://sejarahduniablogaddress.blogspot.co.id/2015/06/sejarah-dan-kebudayaan-
suku-mandailing

Anda mungkin juga menyukai