Disusun Oleh:
1
DAFTAR ISI
BAB IV....................................................................................................................... 17
PENUTUP .................................................................................................................. 17
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 17
2
KATA PENGANTAR
Puja dan Puji kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengasih dan
Maha Penyayang karena berkat, rahmat, dan hikmah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “DESA TARO”. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu
mata kuliah “ARSITEKTUR DAN BUDAYA” yang telah memberikan materi-materi dan
arahan tugas makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan dan membuat kami paham
mengenai Desa Taro, Tegalalang, Gianyar.
Makalah ini disusun dengan tujuan memenuhi prasyarat kelulusan mata kuliah
Arsitektur dan Budaya pada Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana.
Makalah ini juga disusun berdasarkan referensi dari literatur buku dan jurnal.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan maupun penggunaan tata bahasa. Oleh karena itu kami menerima segala
saran, kritik, dan bimbingan oleh dosen pengampu mata kuliah agar kami kedepannya dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang “DESA TARO” dapat bermanfaat
dan memberikan sedikit pemahaman dari apa yang kami uraikan.
Penyusun
3
BAB I
PENDAHULUAN
Desa, atau udik, menurut definisi "universal", adalah sebuah aglomerasi permukiman
di area perdesaan (rural). Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit
permukiman kecil yang disebut kampung (Banten, Jawa Barat) atau dusun (Yogyakarta)
atau Banjar (Bali) atau jorong (Sumatra Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama
lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur, Klèbun di
Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, dan Kuwu di Cirebon, Hukum Tua di Sulawesi
Utara. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
Adat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu
masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki naili dan dijunjung serta di patuhi
masyarakat pendukungnya. Adat istiadat merupakan kebiasaan sosial yang sejak lama ada
dalam masyarakatdengan maksud mengatur tata tertib. Ada pula yang mengikat norma dan
kelakuan di dalammasyarakat, sehingga dalam malakukan suatu tindakan mereka akan
memikirkan dampak akibat dari berbuatannya atau sekumpulan tata kelakuan yang paling
tinggi kedudukannyakarena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat
yang memilikinya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budia atau akal); diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Budaya merupakan suatu hal yang bisa dijadikan
sebagai identitas unik dan khas bagi suatu daerah.
Desa wisata adalah komunitas atau masyarakat yang terdiri dari penduduk suatu
wilayah terbatas yang bisa saling berinteraksi secara langsung di bawah sebuah pengelolaan
dan memiliki kepedulian, serta kesadaran untuk berperan bersama sesuai keterampilan dan
kemampuan masing-masing, memberdayakan potensi secara kondusif bagi tumbuh dan
berkembangnya kepariwisataan di wilayahnya.
4
Desa wisata Taro ini merupakan desa tua di Bali yang kaya akan kisah dan peninggalan
budaya masa lampau. Keberadaan desa ini berkaitan erat dengan lawatan seorang yang
sakti di masa lalu dari Jawa Timur ke Bali sekitar abad ke 8. Sejarah Desa Taro tak lepas
dari keberadaan sapi putih di desa tersebut. Penduduk desa menganggap sapi putih sebagai
hewan yang sakral. Biasanya, sapi putih menjadi sarana pelengkap ketika dilaksanakannya
upacara keagamaan
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
1.3 tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Desa Taro
2. Untuk mengetahui bagaimana sistem tradisi, adat istiadat dan budaya masyarakat di
Desa Taro
1.4 Manfaat
1. Supaya pembaca dapat mengetahui sejarah desa Taro
2. Supaya pembaca mengetahui sistem tradisi, adat istiadat dan budaya masyarakat di
desa Taro
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
Pada bab ini akan membahas tentang pengertian dari desa, adat istiadat serta budaya.
Desa adalah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap
dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasannya, memiliki ikatan lahir dan batin
yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun karena sama-sama memiliki
kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan; memiliki susunan pengurus yang
dipilih bersama; memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
Desa adalah tempat tinggal yang terdiri dari persawahan dan bangunan sederhana.
d. P.J. Bournen
Desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu
orang yang hampir semuanya saling mengenal. Kebanyakan dari mereka hidup dari
sektor pertanian, perikanan, dan usaha-usaha lainya yang dapat dipengaruhi oleh
hukum alam. Dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga.
e. D. Anderson
Desa adalah suatu tempat yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit 2.500 jiwa.
Desa adalah kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai
sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa) atau desa merupakan
kelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan.
6
g. William Ogburn Dan MF. Nimkoff
h. UU No 6 Tahun 2014
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
desa, adalah masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada beberapa tokoh ahli yang menyatakan pendapatnya mengenai definisi adat istiadat ini
diantaranya adalah:
a. Koen Cakraningrat
Adat menurut ini adalah wujud budaya yang digambarkan sebagai suatu aturan
kelakuan. Adat adalah norma atau aturan tak tertulis namun keberadaannya kuat serta
mengikat. Masyarakat yang melanggar aturan adat maka akan ada sanksi yang akan
menghukumnya.
Yang dalam tulisannya pada tahun 1660 menyatakan bahwa “adat” berasal dari bahasa
Arab yang merupakan bentuk jamak dari “adah” yang memiliki arti cara atau kebiasaan.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa adat merupakan suatu gagasan kebudayaan yang
mengandung nilai kebudayaan, norma, kebiasaan serta hukum yang sudah lazim
dilakukan oleh suatu daerah.
7
d. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Adat ialah aturan “perbuatan dsb” yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala,
cara “kelakuan dsb” yang sudah menjadi kebiasaan, wujud gagasan kebudayaan yang
terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu dengan lainnya
berkaitan menjadi suatu sistem
Adat istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat, kekuatan
mengikatnya tergantung pada masyarakat “atau bagian masyarakat” yang mendukung
adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya.
8
e. William H. Haviland
f. Mangunsarkoro
Menurut Mangunsarkoro, kebudayaan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang
merupakan hasil kerja jiwa manusia dalam arti yang seluas-luasnya.
g. Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara mendefinisikan kebudayaan sebagai buah budi manusia yang
merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan
alam. Hal itu merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai
rintangan dan kesukaran guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan
9
BAB III
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan membahas tentang sejarah, ciri khas, tradisi dan budaya serta objek wisata
yang terdapat di desa Taro.
Berbicara Desa Taro tak bisa lepas dengan keberadaan sapi putih di desa tersebut.
Demikian pula dengan kerajinan paras dan Pura Kahyangan Jagat, Pura Gunung Raung. Desa
Taro telah ada pada Caka 381 Caka menurut hitungan Masehi ditambah 78+381 sehingga
menjadi 459 M.
Keberadaan Pura Gunung Raung di Desa Taro berhubungan dengan perjalanan Dang
Hyang Markandya, seorang Rsi dari Pasraman Gunung Raung Jawa Timur ke Bali. Sebagai
seorang ”dang hyang” yang sudah berstatus orang suci tentunya beliau terpanggil untuk
melakukan penyebaran pendidikan kerohanian yang dalam Sarasamuscaya 40 disebut
”panadahan upadesa”. Dang Hyang Markandya adalah orang suci yang sudah apta atau dapat
kepercayaan umat. Dang Hyang Markandya pun menjadi sosok orang suci yang senantiasa
dijadikan tumpuan untuk memohon penyucian diri oleh umat. Dalam perjalanan sucinya,
10
sebagai cikal bakalnya beliau mendirikan Pura Basukian sebagai pura yang paling awal
didirikan di Pura Besakih. Setelah itu barulah Dang Hyang Markandya berasrama di Taro
yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.
Pura Gunung Raung ini terletak di antara Banjar Taro Kaja dan Banjar Taro Kelod.
Pura ini menjadi perbatasan dari kedua banjar tersebut. Desa Taro ini terletak di Kecamatan
Tegallalang Kabupaten Gianyar. Pura Gunung Raung ini terletak di hilir atau teben dari Banjar
Taro Kaja dan di hulu atau luwan Banjar Taro Kaja. Pendirian pura inilah yang ada kaitannya
dengan riwayat perjalanan Rsi atau Dang Hyang Markandya dari Jawa Timur ke Bali.
Dalam lontar Bali Tatwa diceritakan perjalanan Rsi Markandya dari Jawa Timur ke
Bali. Pada mulanya Rsi Markandya berasrama di Damalung Jawa Timur. Beliau mengadakan
perjalanan suci (tirthayatra) ke arah timur dan sampailah beliau di Gunung Hyang. Di tempat
ini beliau tidak mendapatkan tempat yang ideal. Selanjutnya, Rsi Markandya melakukan
perjalanannya ke arah timur lagi. Dalam perjalanan menuju ke timur itu beliau menemukan
tempat di Gunung Raung Jawa Timur. Di tempat inilah beliau membangun asrama untuk
beberapa lama. Di Asrama Gunung Raung, Rsi Markandya melakukan samadi. Dalam
samadinya beliau mendapatkan petunjuk agar beliau mengadakan perjalanan ke Pulau Bali.
Pada suatu hari yang baik beliau mengadakan perjalanan ke Bali diikuti oleh 8.000 pengikut.
Sampai di suatu tempat dengan hutannya yang lebat beliau berkemah dan membangun
areal pertanian. Namun entah apa sebabnya sebagian besar pengikut beliau kena wabah
11
penyakit dan meninggal. Tinggal hanya 4.000 pengikut saja. Rsi Markandya kembali ke Jawa
Timur mohon petunjuk pada Sang Hyang Pasupati. Setelah melalui samadi Rsi Markandya
mendapatkan petunjuk bahwa kesalahannya adalah tidak mengaturkan sesaji untuk mohon izin
merabas hutan. Setelah itu Rsi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung
Agung atau disebut juga Ukir Raja. Beliau diikuti lagi oleh pengiring yang disebut Wong Age.
Sampai di Gunung Agung beliau mengadakan upacara dengan menanam Panca Datu di
Besakih yaitu di Pura Basukian sekarang. Setelah itu barulah beliau membangun lahan
pertanian dengan hati-hati untuk mengembangkan kehidupan agraris. Pengembangan areal
pertanian terus dilakukan oleh rombongan Rsi Markandya sampai ke Gunung Lebah. Sampai
ke Desa Puakan, di desa inilah beliau mengadakan penataan kehidupan petani seperti
pembagian tanah, dan lain - lain. Desa itulah terus bernama Desa Puakan. Beliau juga
mengadakan pembukaan areal pertanian sampai di Desa Sarwa Ada. Setelah semua
pengikutnya mendapatkan areal pertanian untuk mengembangan kehidupan agraris lalu beliau
membangun suatu pasraman yang mirip dengan pasramannya di Gunung Raung Jawa Timur.
Setelah itu kembali Rsi Markandya mendapatkan beberapa kesulitan. Untuk itu Rsi Markandya
kembali ke Jatim dan mengadakan samadi. Dalam samadi itulah beliau mendapat petunjuk agar
melakukan samadi di pasraman beliau di Bali. Setelah kembali ke Bali lalu beliau mengadakan
samadi ternyata Rsi Markandya melihat ada sinar di suatu tempat. Nyala itu ternyata berasal
dari sebatang pohon yang menyala. Di pohon yang menyala itulah Rsi Markandya mendirikan
Pura Gunung Raung sekarang.
Oleh karena berasal dari pohon yang menyala akhirnya tempat itu dinamakan Desa
Taro yang berasal dari kata ”taru” yang artinya pohon. Pura dan pasramannya dibuat mirip
dengan yang ada di Gunung Raung, karena itulah pasraman dengan puranya diberi nama Pura
Gunung Raung di Desa Taro sekarang. Di Desa Taro ada sapi putih yang konon keturunan
Lembu Nandini. Sampai tahun 1974 keturunan sapi putih itu masih ada beberapa ekor saja.
Sapi putih itu sangat dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang Markandya
adalah seorang rsi yang menganut paham Waisnawa. Tetapi dengan adanya sapi putih itu dapat
ditarik kesimpulan bahwa Rsi Markandya juga amat menghormati keberadaan paham Siwaistis
yang memang merupakan suatu sekte dalam agama Hindu. Sekte itu adalah sampradaya atau
perkumpulan perguruan nonformal untuk mendalami ajaran agama Hindu yang merupakan
agama yang terbuka untuk siapa saja. Masing-masing sampradya memang memiliki ciri
khasnya sendiri seperti Ista Dewata yang dipilih dan sistem Adikari atau metode pendalaman
kerohanian. Tetapi dasarnya semuanya sama yaitu kitab suci Weda.
12
Desa Adat Taro berjarak kurang lebih 40 kilometer dari Denpasar. Bisa ditempuh
sekitar satu jam dengan melewati kawasan hijau dengan udara sejuk. Secara geografis Desa
Taro merupakan bagian dari kawasan Munduk Gunung Lebah, dataran tinggi yang membujur
dari Utara ke Selatan diapit oleh dua aliran sungai yakni sungai Oos Ulu Luh di sebelah Barat
dan sungai Oos Ulu Muani di sebelah Timur. Kedua aliran sungai ini kemudian menyatu di
tepi Barat Desa Ubud yang dikenal dengan nama Campuhan Ubud. Di bagian Utara Desa Taro
berbatasan dengan Desa Apuan, Kintamani, di Timur dengan Desa Sebatu, Tegallalang,
Selatan berbatasan dengan Desa Kelusa, Tegallalang, di Barat dengan Desa Puhu,
Payangan. Wilayah Desa Adat taro terdiri dari 14 Desa Adat yakni, Sengkaduan, Alas Pujung,
Tebuana, Let, Pisang Kaja, Pisang Kelod, Patas, Belong, Puakan, Pakuseba, Taro Kaja, Taro
Kelod, Tatag, dan Desa Adat Ked.
3.2 Sistem Tradisi, Adat Istiadat dan Budaya Masyarakat di Desa Taro
a. Tradisi Meketekan
Salah satu proses pencatatan warga secara niskala dilakukan Desa Pakraman Patas,
Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Tradisi ini oleh desa dan masyarakat setempat
disebut “Meketekan” yang secara khusyuk dilakukan di Pura Dalem desa setempatWarga
Desa Taro melangsungkan persembahyangan di pura untuk dilakukan pendataan penduduk.
Tradisi unik dengan menghitung jumlah warga di Banjar Patas, Desa Taro, Tegallalang,
Gianyar, berlangsung turun temurun yang diyakini warga sebagai hari baik memulai
menapak kehidupan untuk satu tahun ke depan. Usai mendata, warga itu harus membayar
kaul. aul berupa aci keburan ayam, merupakan pembayaran kaul untuk setiap warga dengan
13
jenis kelamin laki-laki, sedangkan kaul sesajen penek, dikhususkan untuk seluruh warga
perempuan. Semua kaul ini dihaturkan di Pura Dalem setempat dan diikuti oleh seluruh
warga. Tradisi layaknya petugas catatan sipil itu berlangsung di areal Pura Dalem Desa
Pakraman Taro, Warga yang didata merupakan bayi yang baru lahir dan orang tua, dengan
harapan diberi keselamatan
b. Magibung \
c. Tradisi Makincang-kincung
Tradisi Makincang-kincung digelar di areal Pura Puseh Banjar Patas, Desa
Taro, Kecamatan Tegallalang. Tradisi tahunan digelar sebagai refleksi atau gambaran
kerja keras masyarakat setempat untuk meraih kesejahteraan.
Dalam pelaksanaan tradisi ini, peserta berasal dari kalangan pemuda desa adat
setempat. Prosesi diawali dengan berjalan kaki mengelilingi penjor yang dibuat khusus
dengan ketinggian 10 meter lebih. Proses awal upacara ini didahului oleh prajuru adat
setempat. Usai melakukan gerakan memutar mengelilingi penjor, para peserta harus
bekerja keras dan berupaya memanjat penjor untuk mendapat sampian penjor sebagai
lambang kesuburan.
14
C. Sapi Putih
Desa Taro memiliki satu keunikan yang tak dimiliki desa lain di Bali yakni dengan
adanya sapi putih yang dianggap keramat. Desa Taro menjadi tempat tinggalnya lembu
putih. Warna putih tersebut bukan putih biasa, tetapi putih albino, sehingga bola mata
lembu pun warnanya putih. Lembu putih ini sangat jarang ditemui dan mungkin hanya
ditemukan di Desa Taro. Masyarakat Desa Taro, terutama warga Desa Pakraman Taro Kaja
sangat meyakini kesucian hewan ini. Bahkan mereka tak berani memelihara secara pribadi
apalagi membunuh hewan suci tersebut. Seandainya ada sapi putih yang lahir dari sapi
peliharaannya, ketika mencapai umur enam (6) bulan pasti diserahkan pada Desa untuk
merawat. Ditambahkan, hingga kini keberadaan sapi putih didesanya mencapai 50 ekor dan
dalam kesehariannya, anggota masyarakat ditugaskan secara bergilir untuk memberi makan
sapi-sapi tersebut. Intinya sapi tersebut diperlakukan istimewa. Demikian pula dengan
keturunan sapi putih tersebut, meskipun lahir berwarna lain.. Selain disucikan sapi putih
ini juga dimanfaatkan sebagai sarana pelengkap (saksi) upacara di Bali yaitu Ngasti (dan
yang setingkat dengan upacara itu). Lembu (Sapi) Putih ini dibawa ke tempat upacara dan
oleh penyelenggara upacara dituntun mengelilingi areal atau tempat upacara sebanyak tiga
kali. Upacara ini disebut dengan Purwa Daksina. Selain memiliki kaitan erat dengan
perjalanan Maha Rsi Markandya, hewan yang disucikan ini juga memiliki khasiat
menyambuhkan berbagai penyakit. Namun yang digunakan bukan dagingnya, melainkan
susu, kotoran, kencing hingga keringat lembu
15
d. Elephant Safari Park Taro Ubud
Desa Taro tak lagi hanya dikenal dengan sapi putihnya, karena sejak beberapa tahun
silam perangkat Desa Adat Taro telah bekerjasama dengan investor untuk mengembangkan
pariwisata di desanya dengan membuat pariwisata gajah. Wisata ini telah diakui oleh
Asosiasi Kebun Binatang Dunia (World Zoo Association), dan tempat yang diakui dunia
sebagai perlindungan binatang memenuhi standard Internasional, semua binatang
diberlakukan dengan baik, sehingga keselamatan, pemeliharaan adalah menjadi prioritas
yang diutamakan.
Yeh Pikat Adalah Salah Satu Sumber Air Yang Tersedia Di Sekitar Desa Taro.
Ini Bukan Sekadar Air Biasa Musim Semi, Karena Warga Desa Percaya Itu Memiliki
Kekuatan Penyembuhan Dan Pemurnian. Aliran dari Yeh Pikat ini juga memiliki Peran
Penting Untuk Ritual Lokal Dan Upacara, Terutama Selama Kremasi. Salah Satu Dari
Sekian Banyak Ritual Dalam Proses Krimasi Adalah Untuk Mendapatkan Air Suci Dari
Mata Air Alami Untuk Memurnikan Orang Mati Sehingga Roh Dapat Dimurnikan Dan
Bersatu Dengan Sumber Kehidupan Ini "Ida Sanghyang Widhi Wasa" Tuhan Yang
Maha Kuasa. Upacara Ini Disebut Panahan, Di Mana Semua Simbolik Meninggal
Dibawa ke Sungai Dan Mendapatkan Pemurnian Yang Menarik Upacara Di The Yeh.
Proses Ini Didampingi Angklung Dan Gong
16
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Desa wisata Taro ini merupakan desa tua di Bali yang kaya akan kisah dan peninggalan
budaya masa lampau. Sejarah Desa Taro tak lepas dari keberadaan sapi putih di desa
tersebut. Penduduk desa menganggap sapi putih sebagai hewan yang sakral. Biasanya, sapi
putih menjadi sarana pelengkap ketika dilaksanakannya upacara keagamaan. Di desa ini
banyak tradisi leluhur yang masih dipertahankan dan diterapkan di dalam masyarakat guna
menjaga keharmonisan dan budaya setempat.
4.2 Saran
Terkait dengan Desa Taro, penulis berharap tradisi dan budaya masyarakat tetap dijaga
untuk mempertahankan nilai leluhur. Segala objek wisata lebih dapat dikembangkan lagi
sehingga dapat menarik wisatawan untuk berkunj
17
DAFTAR PUSTAKA
18