Anda di halaman 1dari 27

SUKU MANDAILING DAN ANGKOLA

SENI BUDAYA DAN PARIWISATA SUMUT


Dosen Pengampu: Ahmad Bengar Harahap., S.Pd., M.Hum

Disusun Oleh:
1. Deviana Claudia Habeahan (2221132014)
2. Gita Febriyanti Simbolon (2223132037)
3.Irna Yani Siregar (2222432009)
4. Mirnawati Siregar (2222132006)
5. Hiskia Simarmata (2223332003)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA JERMAN


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan berkat
dan anugerah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu
meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada
bapak Ahmad Bengar Harahap., S.Pd., M.Hum. selaku Dosen mata kuliah Seni Budaya dan
Pariwisata yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal kemampuan kami. Kami
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan dan pengetahu
anserta pemahaman tentang SUKU BATAK MANDAILING DAN ANGKOLA. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna.Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik, saran dan usulan yang
membangun
Demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat t
idak adasesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.Semoga makalah sederhana ini
dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sekiranya laporan yang telah disusun ini
dapat berguna baik bagi kami sendiri maupun orangyang membacanya. Sebelumnya kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yangkurang berkenan di mata pembaca.
Terima kasih

Medan, 18 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................................................3
A.Latar Belakang.................................................................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................................................3
C. TUJUAN.........................................................................................................................................3
BAB II......................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN......................................................................................................................................4
1.MANDAILING................................................................................................................................4
A. Suku Batak Mandailing...............................................................................................................4
B. Adat Istiadat................................................................................................................................4
C. Kekerabatan.................................................................................................................................9
D. Agama dan Bahasa......................................................................................................................9
E.Pakaian Adat...............................................................................................................................10
F.Kesenian Tradisional..................................................................................................................10
G. Asal-usul silsilah keluarga........................................................................................................12
H.Rumah Adat...............................................................................................................................12
2. ANGKOLA....................................................................................................................................13
A. suku batak Angkola...................................................................................................................13
B. Adat Istiadat..............................................................................................................................13
C. Kekerabatan...............................................................................................................................18
D. Agama dan Bahasa....................................................................................................................20
E. Pakaian Adat..............................................................................................................................22
F. Kesenian Tradisional.................................................................................................................22
G. Asal-usul silsilah keluarga........................................................................................................23
H.Rumah Adat...............................................................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang

Kebudayaan dan Masyarakat merupakan suatu hal yang tidak dapat terpisahkan
satusama lain. Keduanya saling berkaitan erat. Masyarakat menjadi bagian dari
kebudayaan,sedangkan kebudayaan itu sendiri merupakan hasil dari adanya masyarakat.
Seperti halnyakebudayaandan suku batak, suku batak sudah tidak asing lagi kita dengar
dalam pembelajarankita maupun dalam kehidupan sehari-hari. Suku batak sendiri memiliki
beraneka ragam jenissubsub suku/etnis yang memang berbeda-beda dan unik. Bahkan diluar
sana menurut pengamatan penulis masih banyak orang yang belum mengetahui
mengenai suku batak lebihspesifik.
Masih banyak orang-orang yang beranggapan suku batak identik dengan logat
yangkasar, berteriak saat berbicara, keras dsb. Padahal tidak semua suku batak seperti itu.
Masingmasing etnis/sub dari suku batak, memiliki ciri-ciri adat istiadat tersendiri,
systemkekerabatan yang berbeda pula, berbeda dialek/logat, dll. Semua itu tergantung
padakebudayaan yang mereka anut sejak dulu. Terutama suku batak mandailing natal,
yang berbeda dengan suku batak lainnya. Maka dari itu dalam hal ini, penulis akan membaha
smengenai Kebudayaan Suku Batak Mandailing. Agar pembaca dapat mengetahui
danmemahami perbedaan suku batak yang satu ini serta agar dapat menambah wawasan
pembacamengenai suku batak mandailing.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kebudayaan suku batak mandailing dan angkola?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui kebudayaan suku batak mandailing dan angkola
.
BAB II
PEMBAHASAN

1.MANDAILING
A. Suku Batak Mandailing
Suku Batak Mandailing adalah salah satu suku dari sekian banyak Rumpun
Batakyang telah lama hidup dalam suatu komunitas di kabupaten Mandailing-Natal,
penyebaran juga terdapat di kabupaten Padang Lawas, kabupaten Padang Lawas Utara, dan s
ebagiankabupaten Tapanuli Selatan yang berada di provinsi Sumatera Utara. Orang
Mandailing jugamenyebar hingga ke wilayah provinsi Sumatra Barat, seperti di kabupaten
Pasaman dankabupaten Pasaman Barat.

B. Adat Istiadat
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat
TembagaKalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing
mengenaltulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara
Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan
AksaraMinangkabau, Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara
Nusantaralainnya. Suku Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak
dandipergunakan untuk menulis kitabkitab kuno yang disebut pustaha (pustaka).
Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan
-ramalantentang waktu yang baik dan buruk, serta ramalan mimpi.

1.Adat Pertunangan

Mangarisika.
Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam
rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua p
riamemberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis
barang- barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.

1.Horja Siriaon (Upacara Adat Perkawinan).

Sebelum acara adat dimulai, biasanya diperlukan perlengkapan upacara adat, sepertisirih
(napuran/burangir) terdiri dari sirih, sentang (gambir), tembakau, soda, pinang,
yangsemuanya dimasukkan ke dalam sebuah tepak. Lalu, sebagai simbol kebesaran
(paragat)disiapkan payung rarangan, pedang dan tombak, bendera adat (tonggol) dan langit-
langitdengan tabir.
Adat pada suku Mandailing melibatkan banyak orang dari dalian na tolu, sepertimora,
kahanggi dan anak boru. Prosesi upacara pernikahan dimulai dari musyawarah adatyang
disebut makkobar/makkatai, yaitu berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus danunik.
Setiap anggota berbalas tutur, seperti berbalas pantun secara bergiliran. Orang pertamayang
membuka pembicaraan adalah juru bicara yang punya hajat (suhut), dilanjutkan
denganmenantu yang punya hajat (anak boru suhut), ipar dari anak boru (pisang raut),
pesertamusyawarah yang turut hadir (paralok-alok), raja adat di kampung tersebut
(hatobangan), rajaadat dari kambpung sebelah (raja torbing balok) dan raja diraja
adat/pimpinan sidang (raja panusunan bulang).

Setelah itu, dilaksanakan acara tradisi yang dikenal dengan nama mangupa
ataumangupa tondi dohot badan. Acara ini dilaksanakan sejak agama Islam masuk dan
dianutoleh etnis Mandailing dengan mengacu kepada ajaran Islam dan adat. Biasanya ada
kata-katanasihat yang disampaikan saat acara ini. Tujuannya untuk memulihkan dan atau
menguatkansemangat serta badan. Pangupa atau bahan untuk mangupa, berupa hidangan
yang diletakkanke dalam tampah besar dan diisi dengan nasi, telur dan ayam kampung dan
garam Masing-masing hidangan memiliki makna secara simbolik. Contohnya, telur bulat
yang terdiri darikuning dan putih telur mencerminkan kebulatan (keutuhan) badan (tondi).
Pangupa tersebutharus dimakan oleh pengantin sebagai tanda bahwa dalam menjalin rumah
tangga nantinyaakan ada tantangan berupa manis, pahit, asam dan asin kehidupan. Untuk itu,
pengantin harussiap dan dapat menjalani dengan baik hubungan tersebut.

2.Mengharoani
Sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya diadakan lagi
makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang dikenal dengan istil
ahmengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya dengan
istilahmamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan
memperlancarair susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah yaitu
menunjukkan kedekatandari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan juga terhadap si
ibu maupun ayah dari sianak itu.

3.Pelestarian
Horja Mambulungi/ Horja Siluluton (Upacara Adat Kematian).

Didalam adat istiadat Mandailing, seorang yang pada waktu perkawinannya


dilaksanakandengan upacara adat perkawinan, maka pada saat meninggalnya juga harus
dilakukan denganupacara adat kematian terutama dari garis keturunan Raja-Raja Mandailing.
Seorang anakketurunan Raja, apabila ayahnya meninggal dunia wajib mengadati
(Horja Mambulungi).Jika belum mengadati seorang anak atau keluarganya tetap menjadi
kewajiban /utang adat bagi keluarga yang disebut mandali di paradaton dan jika ada yang
akan menikah, tidakdibenarkan mengadakan pesta adat perkawinanan (horja siriaon).

Pelaksanaan Upacara Adat Kematian dilaksanakan:

1.Pada saat penguburan.

2.Pada hari lain yang akan ditentukan kemudian sesuai dengan kesempatan dankemampuan
keluarganya.

Macam-macam jenis adat istiadat yang ada dalam suku Batak Mandailing Natal:

A. Dalihan Na Tolu

merupakan fondasi budaya Angkola-Sipirok, Padang Lawas dan Mandailing, yangsaat ini
lambat laun mengalami ancaman kepunahan. Pada Dalihan Na Tolu terdapat 3 unsur,yaitu:

1) Kahanggi, adalah kelompok yang mengayomi.

2) Anak boru, adalah kelompok yang melaksanakan tugas.

3) Mora, adalah kelompok yang dalam posisi penasehat.

Pada Dalihan Na Tolu terdapat 109 nilai, yang diperas menjadi 9 nilai budaya utama, yaitu:

1) Kekerabatan, mencakup hubungan primordial, suku, kasih sayang atas dasarhubungan


darah dan perkawinan.

2) Religi, mencakup kehidupan beragama.

3) Hagabeon, mencakup banyak anak-cucu serta panjang umur.


4) Hasangapon, kemuliaan, kewibawaan dan kharisma.

5) Hamaraon, mencakup kekayaan yang banyak tapi halal.

6) Hamajuon, mencakup kemajuan dalam menuntut ilmu pengetahuan.

7) Hukum, mencakup “ptik dan uhum’’ dalam rangka menegakkan kebenaran.

8) Pengayoman, nilainya lebih kecil dari 7 unsur lainnya, karena orang


AngkolaMandailingharus mandiri.

9) Konflik, mencakup terjadi pertarungan kekuatan tentang masalah tanah dan warisan.

B. Mamodomi Boru

Mungkin semua orang sering mendengar istilah kawin lari, di Mandailing.


Biasadisebut dengan Mangalojongkon Boru. Bila seorang pemuda membawa kawin lari
seoranggadis, biasanya si gadis ditemani satu orang gadis juga yang disebut dengan
Pandongani.Dalam tradisi Mandailing ini masih sering terjadi. Untuk menghindari sesuatu
yang dianggapmelanggar norma-norma, lahirlah tradisi yaitu “Mamodomi Boru”. Mamodomi
Boru artinya meramaikan/menemani seorang gadis yang mau menikah pada malam hari
dirumah kediamancalon suaminya sebelum dijatuhi akad nikah. Mamodomi boru biasanya
diramaikan olehgadis-gadis setempat selama tiga malam. Dan rumah kediaman calon suami
akan selalu ramaikarena, pemuda-pemuda juga ikut berkunjung ke rumah itu.
Pada momen ini juga biasanya disediakan daun sirih (Burangir) beserta dengankombinasinya
seperti sontang sejenis daun kering yang biasa dimakan bersamaan dengandaun sirih. Dan
perlu diketahui sontang bisa jadi obat saat suara kita serak. Bila para gadismau tidur,
diperkenankan kepada para pemuda untuk bubar. Begitulah seterusnya pada setiapmalamnya
sampai akad nikah telah dilaksanakan. Mamodomi boru sering juga disebutdengan istilah
paboru-boru. Seperti yang diuraikan tadi, bila akad nikah sudah dilakukansipandongani juga
boleh pulang kerumahnya. Tapi perlu diketahui sebelumnya, kalau selamaakad nikah belum
terlaksana. Dari pihak laki-laki atau calon suami harus pergi ke rumahorangtua calon istri,
untuk menyatakan kalau anak gadisnya telah dibawa kawin lari, ini biasadisebut mandokon
ulang agoan. Nah begitulah salah satu adat di Mandailing yangmempunyai nilai dan norma
yang baik.
C.kebiasaan atau adat istiadat suku Batak Mandailing Natal yang sama
dengankebiasaan suku Batak Toba:
1) ketika menyambut pengantin di rumah pengantin laki-laki. Masyarakat Mandailing
selalumenyambutnya dengan ucapan horas...horas...horas

2) ketika bayi lahir, biasanya akan dibawa keluar rumah (dipatutoru), biasanya
bakarkemenyan di luar rumah, agar bayi yang telah terlahir tidak mendapat gangguan roh
halus.
3) adanya Gordang yang hampir bersamaan. (Gordang sambilan di tanah
MandailingGodang).
4) banyaknya persamaan nama gunung, nama desa dan nama sungai di tanah
BatakMandailing dan Batak Toba.
5) adanya acara mangupa-upa bila ada pesta perkawinan di tanah Mandailing.
6) adanya tarian Tor-tor.
7) adanya cara-cara menyiram sesuatu yang baru kita beli. Biasa diberi namaipangir,
agarterlepas dari marabahaya.
8) adanya Ulos.
9) adanya hata-hata yang bersamaan cara merangkai kalimatnya bila ada pesta
ataupun pertemuan adat.
10) adanya istilah-istilah dalam hubungan kefamilian seperti anak boru, kahanggi, mora,
harajaan, ula-ula dan lain-lain.
11) adanya tarombo (silsilah) yang membuktikan adanya hubungan urutan marga.

C. Kekerabatan

Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal


maupunmatrilineal.Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di
Mandailinghanya dikenal belasan marga saja, antara lain Lubis, Nasution, Harahap,
Pulungan, Batubara,Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung,
Mardia, Daulay,Matondang, dan Hutasuhut. Bila orang Batak mengenal pelarangan kawin
semarga, makaorang Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin semarga. Hal ini lah
yangmenyebabkan marga orang Batak bertambah banyak, karena setiap ada kawin semarga,
makamereka membuat marga yang baru. Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing
apabilaterjadi perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban melakukan upacara
korban, berupa ayam, kambing atau kerbau, tergantung status sosial mereka di masyarakat, na
munaturan adat itu sekarang tidak lagi dipenuhi, karena nilai-nilai status sosial
masyarakatMandailing sudah berubah, terutama di perantauan. Kata marga di Mandailing
atauMandahiling bisa berarti clan yang berasal dari bahasa Sanskrit, varga yaitu warga
atauwarna, ditambah imbuhan ma atau mar, menjadi mavarga atau marvarga, artinya
berwarga,dan disingkat menjadi marga. Marga itu sendiri bermakna kelompok atau puak
orangyang berasal dari satu keturunan atau satu dusun. Marga juga bisa berasal dari singkatan
'naMAkeluaRGA'. Namun, tidak semua orang Mandailing mencantumkan marga dalam
namanya,karena dianggap cukup sebagai identitas antara orang Mandailing/Mandahiling
sendiri. Selainitu, di antara orang Mandailing ada juga yang tak memakai sistem patrilineal
atau sistemmarga, melainkan memakai sistem matrilineal atau yang diistilahkan sebagai
sistem sukudalam bahasa Minang, seperti contohnya etnis Lubu yang merupakan penduduk
asliMandahiling. Selain itu, marga juga bisa diartikan sebagai dusun, seperti halnya arti
marga diwilayah Sumatera Selatan.

D. Agama dan Bahasa

Penduduk suku Batak Mandailing mayoritas adalah beragama Islam. Berbedadengan


orang Batak Toba yang beragama Kristen. Tapi kedua suku bangsa ini berawal darisejarah
asal usul yang sama. Bahasa Mandailing merupakan bahasa yang terdapat di
provinsiSumatera Utara bagian selatan, Sumatera Barat dan Riau bagian utara, yang
merupakanvarian dari bahasa Sanskerta yang banyak dipengaruhi bahasa Arab. Bahasa
Mandailing Juludan Mandailing Godang dengan pengucapan yang lebih lembut lagi dari
bahasa Angkola, bahkan
dari bahasa BatakToba. Mayoritas penggunaannyadi daerah KabupatenMandailing Natal, tapi
tidak termasuk bahasa Natal (bahasa Minang), walaupun pengguna bahasa Natal berkerabat
(seketurunan) dengan orang-orang Kabupaten Mandailing Natal pada umumnya.
Sementara itu, bahasa Mandailing Padang Lawas (Padang Bolak) dipakai di
wilayahKabupaten Padang Lawas Utara dan Padang Lawas. Di wilayah Asahan, Batubara,
danLabuhan Batu, orang-orang Mandailing umumnya memakai bahasa Melayu Pesisir
Timur.Bahasa Mandailing Angkola, terutama di Angkola Dolok (Sipirok) adalah bahasa yang
palingmirip dengan bahasa Batak Toba, karena letak geografisnya yang berdekatan, namun
bahasaAngkola sedikit lebih lembut intonasinya daripada bahasa Toba. Bahasa Angkola
meliputidaerah Padangsidempuan, Batang Toru, Sipirok, seluruh bagian kabupaten Tapanuli
Selatan.Secara umum, orang Mandailing akan menggunakan bahasa Melayu bila bertemu,
apabilaada kata-kata yang tidak dimengerti dalam dialek lokalnya masing-masing.

E.Pakaian Adat
Pengantin Mandailing menggunakan pakaian adat yang didominasi warna merah,keemasan
dan hitam. Pengantin pria menggunakan penutup kepala yang disebut ampu-mahkota yang
dipakai raja-raja Mandailing di masa lalu, baju godang yang berbentuk jas,
ikat pinggang warna keemasan dengan selipan dua pisau kecil disebut bobat, gelang polos dil
engan atas warna keemasan, serta kain sesamping dari songket Tapanuli.
Sedangkan, pengantin wanita memakai penutup kepala disebut bulang berwarna keemaasan d
engan beberapa tingkat, penutup daerah dada yaitu kalung warna hitam dengan ornamen
keemasandan dua lembar selendang dari kain songket, gelang polos di lengan atas berwarna
keemasan,ikat pinggang warna keemasan dengan selipan dua pisau kecil, dan bajukurung
dengan bawahannya songket.

F.Kesenian Tradisional

1.Tari Tor Tor

Tari tor-tor adalah tarian khas suku Batak, Sumatera Utara.Tepatnya Mandailing.
Gerakan tarian ini seirama dengan iringan music (magondangi) yang dimainkan
menggunakan alat-alat musik tradisional seperti gondang,suling, terompet batak, dan lain-
lain. Tari tor-tor dulunya digunakan dalam acara ritual
yang berhubungan dengan roh. Roh tersebut dipanggil dan "masuk" ke patung-patung batu(m
erupakan simbol leluhur). Patung-patung tersebut tersebut kemudian bergerak sepertimenari,
tetapi dengan gerakan yang kaku. Gerakan tersebut berupa gerakan kaki (jinjit-jinjit)dan
gerakan tangan.
Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar yang mana lebih dahulu di
bersihkantempat dan lokasi pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya
denganmenggunakan jeruk purut. Tor-tor menjadi perangkat budaya dalam setiap kegiatan
adatorang batak. Tarian tor-tor juga di pakai pada pesta pernikahan, bagi suku mandailing
tarintor-tor merupakan tarian yang sangat di jaga sampai sekarang. Banyak orang yang
mengenaltarian tor-tor karena tarian tor-tor selalu di gunakan oleh beberapa sanggar tari
untuk menjadisalah satu tarian yang di kembangkan dan di jaga.

2.Alat Musik Gordang Sembilan

Gordang Sambilan adalah alat kesenian terdiri atas sembilan gendang besar (beduk)yang
ditabuh bersamaan, dalam rangka tertentu, misalnya pada hari raya. Salah satu bedukditabuh
oleh seorang raja/pemimpin wilayah, yang biasanya memulai irama penabuhan.

G. Asal-usul silsilah keluarga

Seperti halnya orang Arab dan Tionghoa, orang Mandailing atau


Mandahilingmempunyai pengetahuan mengenai silsilah, yang dalam bahasa Mandailing
disebut sebagai(Tarombo atau Tambo). Silsilah orang Mandailing bisa mencapai beberapa
keturunansekaligus riwayat nenek moyang mereka. Pada mulanya silsilah sesuatu marga,
diriwayatkanturun-temurun secara lisan (tambo atau terombo), kemudian diturunkan secara
tertulis. Menurut Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal usul orang Mandailing
dalammajalah Mandailing yang diterbitkan di Medan pada awal kurun ke-20:
"Yang masih adamemegang tambo turun turunannya, yaitu marga Lubis dan Nasution
, sebagaimana yangsudah dikarang oleh Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd
(daerah) Aek (Sungai) Nangali..." Ini tidak bermakna marga-marga Mandailing yang
lain tidak memelihara silsilahmereka. Penelitian silsilah marga Lubis Singengu (keturunan
Silangkitang) di Kotanopan danLubis Singasoro (keturunan Sibaitang) di Pakantan , beserta
Harahap (keturunan SutanBugis) dan Hutasuhut (keturunan Sutan Borayun) di Angkola, yang
merupakanketurunan Namora Pande Bosi, menunjukkan bahwa marga itu mula menetap di M
andailing Julu danMandailing Jae (Angkola) pada kurun abad ke-16 M, keturunan dari Raden
Patah gelar AnginBugis dari Majapahit, seperti Parinduri, Batubara, Daulae, Raorao,
Tanjung, dan lainnya,yang bukan keturunan Namora Pande Bosi, umumnya sampai sekarang
belum banyakdipublikasikan.
Sementara pada umumnya marga Nasution Sibaroar yang berada di MandailingGodang
merupakan keturunan Si Baroar gelar Sutan (Sultan) Di Aru, dan marga-
marga Nasution lainnya, antara lain Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jio
r,Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain, berdasarkan nama dusun masing-masing,
yangawalnya memakai sistem matrilineal.

H.Rumah Adat

Rumah Adat Mandailing disebut sebagai Bagas Godang sebagai kediaman para
raja,terletak disebuah kompleks yang sangat luas dan selalu didampingi dengan Sopo
Godangsebagai balai sidang adat. Bangunannya mempergunakan tiang-tiang besar yang
berjumlahganjil sebagaimana juga jumlah anak tangganya. Bangunan arsitektur tradisional
Mandailingadalah bukti budaya fisik yang memiliki peradaban yang tinggi. Sisa-sisa
peninggalanarsitektur tradisional Mandailing masih dapat kita lihat sampai sekarang ini dan
merupakansalah satu dari beberapa peninggalan hasil karya arsitektur tradisional bangsa
Indonesiayang patut mendapat perhatian dan dipertahankan oleh Pemerintah dan masyarakat
baik secaralangsung baik tidak langsung. Bagas Godang biasanya juga dibangun berpasangan
dengansebuah balai sidang adat yang terletak dihadapan atau persisnya bersebelahan dengan
rumahRaja. Balai sidang adat tersebut dinamakan Sopo Godang. Bangunan pada Bagas
Godangmempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil dan anak tangganya juga
berjumlahganjil

2. ANGKOLA
A. suku batak Angkola
Batak Angkola) merupakan salah satu kelompok etnis Batak. Tanah ulayat Batak
Angkola berada di wilayah selatan Tapanuli, yakni meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan,
Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Padang Lawas, dan
sebagian Kabupaten Mandailing Natal. Suku Batak Angkola memiliki hubungan kekerabatan
(tarombo) dengan marga-marga Batak Toba dan Batak Mandailing. Di samping itu, ketiganya
juga saling berbagi beberapa persamaan bahasa dan budaya yang dihidupi sebagian besar
masyarakatnya.

B. Adat Istiadat
1.Pernikahan
Upacara perkawinan adalah horja (pesta) adat suka cita.
Pada garis besarnya, perkawinan menurut masyarakat Angkola-Mandailing dapat dilakukan
dengan dua cara, yakni:
1) Sepengetahuan keluarga yang disebut dengan istilah dipabuat
2) Perkawinan tanpa persetujuan orangtua yang disebut dengan marlojong
Kedua cara ini masing-masing ada aturannya, tata cara, dan tata tertib yang harus selalu
dipatuhi oleh setiap orang Angkola-Mandailing.
Kedua bentuk perkawinan itu tergambar lewat pantun berikut:
Aha na tubu di lambung ni suhat Apa yang tumbuh dekat keladi
Ulang baen margonjong-gonjong Jangan dibuat berderet lagi
Adong na marbagas dipabuat Ada yang kawin dilamar pasti
Dung i muse adong na marlojong Namun, ada yang kawin lari
Prosesi upacara perkawinan Angkola-Mandailing dimulai dari musyawarah
adat makkobar/makkatai, yakni berbicara dalam tutur sapa
yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam
dalian na tolu.
Setiap anggota berbalas tutur yang teratur seperti berbalas pantun secara bergiliran dengan
pembicara sebagai berikut:
1. Juru bicara yang punya hajat pesta (suhut) pangatak pengetong (penyusun
acara/protokoler)
2. Suhut (yang punya hajat pesta)
3.Anak boru suhut (menantu yang punya hajat)
4.Pisang raut (ipar dari anak boru)
5.Paralok-alok (peserta musyawarah yang turut hadir)
6.Hatobangan (raja adat di kampung tersebut/Noblemen-of-Village)
7.Raja torbing balok (raja adat dari kampung sebelah)
8.Raja panusunan bulung (raja diraja adat/ pimpinan sidang)
Upacara perkawinan akan dibuka dengan nasihat perkawinan seperti berikut:
Muda dibaen na tu gas-gas, jari-jari on ma na lima
Muda dibaen na marbagas, angkon malo manggolom na lima
Muda istri sigolom sada, angkon suami na i sigolom dua
Muda ibaen na mar ruma tangga, ulang bei sai marlua–lua
Bila berangkat ke ladang bersemak, gunakan jari yang lima
Bila sudah berumah tangga, pegang erat nasihat yang lima
Bila istri menggenggam kesatu, suami genggam yang kedua
Bila sudah berumah tangga, jangan lagi bermain main
Para pembicara akan bersahut-sahutan seperti ditunjukkan pada transkrip di bawah ini:
1.Juru bicara suhut: Ucapan terimakasih dan permohonan mengadakan sidang pesta
adatDiharoro ni anak ni rajasongoni anak ni namoranadung martoru abaranamarnayang ni
lakka
2.Suhut: Permohonan agar diadakan pestaTakkas ma hami olat ni niat, anak ni raja dohot
namora palaluonsian harani dison hami pasahatonsongoni dohot manyorahon
3.Anak boru : Mengiring mora(pihak mertua)Manatap ma tu torutu siamun tu
siambirangpangodoan ni ami anak boruulang lang-lang pagusayang
4.Pisang raut: Ikut menyerahkan On ma pangidoan ni pisang rautari on ma ari ulang
lusutmuda lewat on horbo lusutsarsar ma nadung luhut
5.Hatobangan boru/pisang raut : Memberikan jawaban atas permintaan suhutAnak melpas
ma tu namambalosisangape namangalusimanjawab saro sonnarihata ni suhut habolonan
nakkinan i
6.Raja kampung : Menjawab permintaan Muda pola tabo ima na bornok, sombu rohapuas
dilala
7.Raja kampung sebelah : Menjawab permintaan mudaAu raja i tobing balok sian naritti,
hujagit hutarimo andungmunu onmuda saro di naritti jolo hudokkon
8.Raja panusunan bulung: Memutuskan sidangDalan dalan tu Sidimpuan boluson
parsabolasMadung dapot hasimpulan tolu noli ta dokkonHoras …horas… horas.

Upacara Adat Mangupa

Di zaman dulu, ritual mangupa erat kaitannya dengan religi kuno sipelebegu
yang dianut oleh nenek moyang orang Batak pada masa itu.
Sejak agama Islam masuk dan dianut oleh umumnya etnis Angkola-Mandailing, pelaksanaan
acara tradisi mangupa
mengacu kepada ajaran agama Islam di samping ajaran adat. Kata-kata nasihat dalam
acara mangupa pun disampaikan sesuai dengan norma-norma agama Islam.
Upacara adat mangupa atau mangupa tondi dohot badan dilaksanakan untuk memulihkan
dan atau
menguatkan semangat (spirit) serta badan.
Bahan untuk mangupa dinamakan pangupa yang berupa hidangan yang porsinya bervariasi
sesuai dengan jumlah hadirin/undangan.
Pangupa yang terkecil terdiri atas telur ayam kampung, garam dan nasi, yang dilaksanakan
ala kadarnya
oleh halak sabagas (orang satu rumah).
Pangupa yang sedang adalah pangupa manuk (pangupa ayam).
Pangupa yang besar adalah pangupa hambeng (pangupa kambing), dan
yang terbesar adalah pangupa horbo (pangupa kerbau).
Secara simbolik, bahan yang terkandung dalam pangupa seperti telur bulat yang terdiri atas
kuning telur dan putih telur;
mencerminkan “kebulatan” (keutuhan) tondi dan badan.
Upacara mangupa dilaksanakan supaya “Horas tondi madingin, pir tondi matogu” yang
bermakna
“Selamatlah tondi dalam keadaan dingin/sejuk/nyaman, keraslah tondi semakin teguh bersatu
dengan badan
sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang dijalani.”
Kecuali pangupa kecil yang hanya dilaksanakan oleh orang dalam satu rumah, upacara
mangupa juga melibatkan
dalihan na tolu (tungku yang tiga penyangganya).
Di samping dalihan na tolu, upacara mangupa yang sedang dan besar juga melibatkan unsur
lain, yakni hatobangon
(orang yang dituakan) dari jiran tetangga sekampung dan raja panusunan bulung (pengayom
suatu dalihan na tolu tertentu)
yang bertindak sebagai pemimpin upacara/penyimpul.
Upacara mangupa yang terbesar melibatkan pula raja-raja na bona bulu (raja-raja dari
kampung asal marga-marga),
raja-raja torbing balok (raja-raja kampung sekitar), dan raja-raja desa na walu
(raja-raja dari desa-desa pada delapan penjuru angin).

Macam-macam jenis adat istiadat yang ada dalam suku Batak Mandailing
Natal:
Dalian na tolu (makna harfiah: “tungku yang tiga”) mencerminkan sistem kekerabatan
dalam melaksanakan aktivitas sosial-budaya.
Konsep hubungan fungsional antarmarga dalian na tolu (three pillars)-
pihak kahanggi (barisan satu marga), pihak kedua mora (barisan mertua), dan ketiga anak
boru (barisan menantu)-dalam masyarakat diterapkan karena tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Sistem kekerabatan ini mempunyai tiga unsur dasar yang terdiri atas:
1. Kahanggi, yaitu keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua laki-laki
2.Anak boru, yaitu keluarga laki-laki dari suami adik/kakak perempuan yang sudah kawin
3. Mora, yaitu keluarga laki-laki dari saudara istri
Ketiga unsur ini memegang peran penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Batak
Angkola-Mandailing.
Tutur sapa menjadi lancar kalau ketiga unsur ini jelas keberadaannya. Ketiga unsur ini saling
memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya
Dalam sistem kekerabatan dalian na tolu,interaksi sosial antara mora dan anak
boru berlandaskan hak dan kewajiban masing-masing
terhadap satu sama lain. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba
na urang siorus na lobi
(si penambah yang kurang si pengurang yang lebih). Karena kewajibannya yang demikian
itu, anak boru dikenal pula sebagai
na manorjak tu pudi juljul tu jolo (yang menerjang ke belakang, menonjol ke depan), yang
maksudnya pihak anak boru ini sudah semestinya membela
kepentingan dan kemuliaan pihak mora, atau dengan kata lain pihak anak boru harus sangap
marmora (menghormati dan memuliakan pihak mora).
Di samping itu, anak boru juga diibaratkan sebagai si tastas nambur (penghalau embun pagi
pada semak belukar), yang artinya pihak anak boru
berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan yang dihadapi pihak mora.
Pihak anak boru berkewajiban manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat
pihak mora).
Sebaliknya, pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi
pihak anak boru) agar pihak anak boru senantiasa
manjuljulkon morana.
Kahanggi (saudara semarga) sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai
persoalan hidup seperti
perkawinan, kematian dan mencari nafkah, terlebih dahulu dimusyawarahkan
dengan kahanggi.
Untuk hal ini, para orangtua senantiasa mem beri nasihat untuk manta-manat
markahanggi (bersikap
hati-hati terhadap kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang
semarga.
Pada suatu upacara adat, tiga status kekeluargaan ini dapat dijelaskan dalam hubungannya
dengan suhut (tuan rumah) penyelenggara acara adat, yakni:
1.Kahanggi : saudara laki-laki dari suhut beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-
laki, inklusif para istri mereka
2.Anak boru : saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh
keturunannya menurut garis laki-laki
3.Mora : saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari suhut, serta seluruh keturunannya
menurut garis laki-laki, inklusif istri-istri mereka
Apabila jaringannya diperluas-selain daripada tiga kelompok kekerabatan inti tersebut-maka
dikenal juga kelompok kekerabatan tambahan, yakni mora ni mora dan pisang raut.
Mora ni mora adalah kelompok mora dari mora dan pisang raut adalah anak boru ni anak
boru (anak boru dari anak boru).
Menurut filosofi orang Batak Angkola-Mandailing, seluruh tali-temali jaringannya
dipersatukan oleh satu tali pegangan yang mengikat dari sudut puncaknya.
“Tali pegangan” itulah olong yang menyatukan setiap kelompok kekerabatan dan anggota
masyarakat dalam satu sistem sosial dalian na tolu yang secara simbolik dianalogikan
sebagaimana layaknya sebuah “jala” seperti ditunjukkan pada gambar berikut:

Olong (kasih sayang) adalah nilai budaya tertinggi dan paling abstrak yang merupakan
landasan bagi hubungan fungsional di antara ketiga kelompok
kekerabatan tersebut, yang lahir karena pertalian darah dan hubungan perkawinan sebagai inti
kehidupan ketiga kelompok kekerabatan itu sehingga
masing-masing terintegrasi ke dalam kelompok kekerabatan mora,kahanggi dan anak boru
yang terikat hubungan fungsional tersebut senantiasa menempatkan diri mereka sebagai
orang-orang
yang sahancit sahasonangan dan sasiluluton sasiriaon (sakit dan senang dirasakan bersama).
Sebagai konsekuensinya, orang Batak menjadi
sahata saoloan satumtum sapartahian (seia sekata menyatu dalam mufakat untuk sepakat)
dan mate mangolu sapartahian (hidup dan mati dalam mufakat untuk sepakat).
Sejalan dengan terciptanya suatu sistem sosial yang ideal berupa jaringan besar, maka orang
Batak secara filosofis-simbolik
memolakan dirinya seperti sebuah jala berbentuk segitiga sama sisi. Setiap sudutnya
merupakan posisi penting dalam mengatur hak dan kewajiban setiap kelompok kekerabatan.
Oleh karena itu pada sudut puncaknya ditempatkan kelompok kekerabatan mora,dan pada
dua sudut lainnya ditempatkan pula kelompok kekerabatan kahanggi dan anak boru.
Posisi ketiganya bisa saja beralih sewaktu-waktu akibat terjadinya praktek perkawinan, dan
hubungan perkawinan pulalah yang menciptakan sisi-sisi yang terentang menautkan
ketiganya
sehingga terbentuk pola dasar kehidupan sosial-budaya berupa segi-tiga besar. Di dalamnya
secara fungsional terintegrasi sejumlah besar segitiga-segitiga kelompok kekerabatan yang
kecil-kecil mengikuti
pola dasar yang menjadi acuannya. Sebagai suatu totalitas, segitiga besar itu bersama
segitiga-segitiga kecil yang menjadi isinya menjelma menjadi sistem dalian na tolu.

C. Kekerabatan

Marga ialah identitas seorang Batak. Coba bayangkan, jika orang Batak tidak
memiliki marga
Peran marga dalam kehidupan budaya Batak sangat penting dan berpengaruh.
Selain daripada identitas, marga juga merupakan bentuk terjemahan dan penerapan dari
dalian na tolu sebagai landasan budaya Batak.
Istilah marga dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang berasal dari
keturunan seorang nenek moyang yang sama dan garis keturunan diperhitungkan melalui
pihak
laki-laki atau ayah (patrilineal).
Pada umumnya orang Batak mengelompokkan diri mereka ke dalam beberapa marga (klan)
dan tiap-
tiap marga selalu menempatkan diri mereka sebagai keturunan dari seorang tokoh nenek-
moyang yang berlainan asal. Tokoh leluhur suatu marga biasanya bersifat legendaris,
dan senantiasa mereka tempatkan di awal silsilah keturunan (tarombo) mereka.
Tarombo ialah catatan tentang silsilah keturunan.Dengan adanya tarombo ini, setiap marga
dapat mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka sampai
sekarang.Tarombo menjadi sumber sejarah asal-usul orang Batak di masa lalu.
Dengan tarombo, seseorang mengetahui, apakah ia harus memanggil satu sama lain
dengan kahanggi (saudara semarga), namboru atau bouk (saudara perempuan
Ayah), udak (paman, saudara laki-laki Ayah),
iboto atau ito (saudara perempuan), ompung, tulang, nantulang, borutulang, amangboru,
amangtua, amanguda, nanguda, inangtua atau nattobang, pariban,
dan seterusnya.
Marga dan tarombo adalah warisan budaya Batak yang memiliki nilai-nilai luhur.
Menurut sejarahnya, leluhur asli suku bangsa Batak ialah Si Raja Batak yang bermukim di
daerah Pusuk Buhit di kampung Sianjur Mula-Mula, di pinggiran Danau Toba, lebih kurang 8
km arah barat Kota Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir.
Si Raja Batak diperkirakan hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13).
Si Raja Batak memiliki tiga orang anak, yaitu Guru Tateabulan, Raja Isombaon, dan Toga
Laut. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya marga-marga Batak.
Dari istrinya yang bernama Si Boru Baso Burning, Guru Tatea Bulan memperoleh 5 orang
putra— Si Raja Biak-Biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagala Raja, Malau Raja—
dan 4 orang putri, yaitu: Si Boru Pareme,
Si Boru Anting Sabungan, Si Boru Biding Laut, Si Boru Nan Tinjo.
Si Boru Pareme yang kawin dengan Tuan Sariburaja melahirkan seorang putra yang diberi
nama Si Raja Lontung.
Si Raja Lontung yang merupakan putra pertama dari Tuan Sariburaja mempunyai 7 orang
putra—Tuan Situmorang (keturunannya bermarga Situmorang), Sinaga Raja (keturunannya
bermarga Sinaga), Pandiangan (keturunannya bermarga Pandiangan),
Toga Nainggolan (keturunannya bermarga Nainggolan),Simatupang (keturunannya bermarga
Simatupang), Aritonang (keturunannya bermarga Aritonang), Siregar (seluruh keturunannya
bermarga Siregar)—
dan 2 orang putri, yaitu: Si Boru Anakpandan yang kawin dengan Toga Sihombing, Si Boru
Panggabean yang kawin dengan Toga Simamora.
Karena semua putra dan putri dari Si Raja Lontung berjumlah 9 orang, maka mereka sering
dijuluki dengan nama Lontung Si Sia Marina (Si Sia Marina = Sembilan Satu Ibu), Pasia
Boruna Sihombing Simamora.
Siregar merupakan anak bungsu dari 9 bersaudara ini.
Menurut hikayat, Si Raja Lontung bermukim di Desa Banuaraja yang terletak di daerah
perbukitan sebelah atas Desa Sabulan, di pinggiran Danau Toba, berseberangan dengan
Pangururan di Pulau Samosir. Pada suatu masa, terjadi banjir besar yang melanda Desa
Banuaraja dan Sabulan.
Anak-anak keturunan Si Raja Lontung terpaksa mengungsi. Sinaga dan Pandiangan ke Urat-
Samosir, Nainggolan ke Nainggolan-Samosir, Simatupang dan Aritonang ke Pulau
Sibandang, dan Siregar ke Aeknalas-Sigaol. Sedangkan, Situmorang hanya sampai di
Sabulan.
Suatu ketika Aritonang memanggil adiknya Siregar dari Aeknalas-Sigaol ke Desa Aritonang
di Muara, yang akhirnya kemudian menetap dan beranak-pinak di situ. Selanjutnya dari
Desa Aritonang-lah marga Siregar menyebar ke sekitar Muara.
Konon kabarnya, kemarau panjang pernah melanda Muara yang menyebabkan gagal panen
sehingga beberapa keturunan marga Siregar merantau ke arah Siborongborong-Humbang dan
langsung membangun kampung di sana yang diberi nama Lobu Siregar.
Untuk mencari penghidupan yang lebih baik, dari sini ada sebagian dari mereka yang
menjelajah ke arah Pangaribuan dan sebagian lagi menuju Desa Sibatangkayu. Setelah
bermukim beberapa lama, dari sini mereka berangkat lagi ke Bungabondar, Sipirok hingga ke
Angkola-Tapanuli Selatan.
D. Agama dan Bahasa
Bahasa Batak Angkola adalah salah satu bahasa yang ada di Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.
Ada lima ragam bahasa Batak Angkola-Mandailing, yakni :
1.Hata somal
2.Hata andung
3.Hata teas dohot jampolak
4.Hata sibaso
5.Hata parkapur
o Hata somal ialah bahasa pengantar yang dipakai untuk berkomunikasi dalam
pergaulan dan percakapan sehari-hari.
o Hata andung dikategorikan sebagai bahasa sastra karena dipandang oleh masyarakat
memiliki nilai-nilai keindahan.
Pemakaian hata andung sangat luas dalam upacara adat perkawinan atau kematian
seperti pada tradisi mangandung (meratap), makkobar, marjamita,
dan mangupa-upa
(upacara untuk memanggil tondi guna membangkitkan semangat hidup seseorang).
o Hata teas dohot jampolak ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pertengkaran atau
mencaci-maki seseorang.
o Hata sibaso ialah ragam bahasa yang secara khusus
digunakan sibaso dan datu (dukun).
Sibaso dan datu merupakan dua tokoh yang ditautkan dengan sistem
kepercayaan sipelebegu (pemujaan roh-roh).
Di masa lalu, sistem kepercayaan animisme ini dianut oleh kebanyakan orang Batak sebelum
masuknya agama Islam.
Sibaso dibutuhkan oleh raja dan penduduk huta untuk melakukan hubungan komunikasi
dengan alam gaib
atau roh leluhur karena sibaso merupakan medium yang melalui suatu upacara ritual tertentu
dapat dirasuki oleh roh leluhur
untuk memberi petunjuk guna mengatasi berbagai macam bala bencana (malapetaka) seperti
kemarau panjang dan penyakit menular yang mewabah.
Upacara pemanggilan roh-yang sangat dikutuk oleh para ulama Islam-disebut pasusur
begu atau marsibaso.
Menurut tradisi sipelebegu, upacara tersebut dilakukan untuk meminta pertolongan roh
leluhur buat mengatasi suatu keadaan yang sulit seperti
musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk.
Sampai saat ini, datu masih memiliki kedudukan dan peran penting dalam masyarakat. Datu
dikenal dan dibutuhkan sebagai tradisional curer
(penyembuh tradisional) atau sebagai medicine man (dukun untuk mengobati).
Di setiap huta biasanya terdapat beberapa orang datu.
Ada datu yang dapat menyembuhkan beberapa penyakit, ada pula datu yang menjurus kepada
spesialisasi penyembuhan penyakit-penyakit tertentu
Datu rasa khusus untuk menyembuhkan orang yang terkena rasa (racun).Datu ipon khusus
menyembuhkan orang yang sedang mengalami sakit gigi.
Dan datu natarsilpuk khusus untuk mengobati orang yang mengalami sakit karena terkilir
atau patah tulang.
Di masa lalu, kedudukan dan peran datu lebih luas daripada yang diuraikan di sini karena
seorang datu antara lain dapat menentukan waktu-waktu yang tepat dan baik untuk turun ke
sawah,
menuai padi, pelaksanaan upacara adat perkawinan maupun untuk memasuki rumah baru.
Di samping itu, kemampuannya dalam meramal diperlukan untuk melihat kapan datangnya
suatu bencana atau sebaliknya keberuntungan, dan ilmu gaibnya yang luar biasa itu
dibutuhkan
untuk menangkal atau menyembuhkan penyakit akibat guna-guna. Seorang datu selalu
diserahi tanggungjawab untuk memimpin berbagai upacara adat dan ritual karena ia
dipandang sebagai
gudang ilmu . Datu sebagai pendamping raja mempunyai kemampuan yang luar biasa untuk
memberikan berbagai macam traditional wisdom (kearifan tradisional) yang sangat
dibutuhkan guna
kesempurnaan hidup komunitas huta.
 Hata parkapur ialah ragam bahasa yang dipergunakan orang zaman dahulu kala pada
saat mereka berada di hutan untuk mencari kapur barus.
Misalnya kosakata mata. Dalam hata somal, indra penglihatan ini disebut mata, dalam hata
andung adalah simanyolong, dan dalam hata teas dohot jampolak adalah loncot. Contoh lain ,
kata daun sirih dalam hata somal adalah burangir,
dalam hata andung adalah simanggurak, dan dalam hata sibaso atau datu adalah situngguk.
Selain daripada itu, kata harimau dalam hata somal adalah babiat,
sedangkan dalam hata parkapur adalah ompung i, raja i, na gogo i.

E. Pakaian Adat
Pakaian adat dari suku Batak Angkola memiliki bentuk yang mirip dengan pakaian
adat dari suku Batak Mandailing. Perbedaan dari kedua pakaian adat ini ialah pakaian
perempuan yang didominasi oleh warna merah dan mengenakan selendang yang
diselempangkan di bagian badannya.
Sementara itu, hiasan kepalanya memiliki bentuk yang serupa dengan hiasan kepala pakaian
adat suku Batak Mandailing. Untuk laki-laki, ada tambahan aksesoris berupa penutup kepala
yang bernama ampu.
Ampu sebagai hiasan kepala memiliki bentuk yang cukup khas serta menjadi mahkota yang
umumnya digunakan oleh para raja di Mandailing serta Angkola pada jaman dahulu kala.
Warna hitam dari ampu memiliki fungsi magis, sementara ornamen emasnya melambangkan
kebesaran. Sedangkan untuk perempuannya, ada tambahan aksesoris berupa hiasan kepala
dengan bulang warna emas.

F. Kesenian Tradisional

1.Tari Rondang Bulan Angkola


Tari Rondang Bulan Angkola adalah tari tradisional yang berasal dari Tapanuli
Selatan. Tari ini berasal dari sub etnis Batak angkola. Rondang bulan sendiri berarti "terang
bulan". Tari ini menggambarkan tentang gadis-gadis angkola yang menari dengan riang di
bawah pancaran sinar bulan purnama.
2. Alat Musik Gondang Angkola

Gondang Angkola merupakan instrumen berjenis membranophone yaitu jenis alat


musik pukul. Melakukan aktivitas musik bagi kebudayaan Angkola ada yang disebut bermain
gondang/margondang. Gondang adalah salah satu jenis alat musik yang terdapat di daerah
Angkola yang dipakai dalam pelaksanaan upacara adat.

G. Asal-usul silsilah keluarga

Suatu sumber sejarah mencatat bahwa orang Batak Angkola awalnya berkembangnya
dari daerah Porboti, Padang Lawas (Padang Bolak), Tapanuli Selatan yang di kemumukan
oleh B. G. Siregar dalam Surat Tumbangan Holing: Buku Pelajaran Adat Tapanuli Selatan
(1984).
Padang Bolak adalah wilayah asal orang Batak Angkola, di daerah Portibi terdapat sebuah
candi, yaitu candi Biara, peninggalan agama Hindu dan Buddha, pengaruh tersebut tampak
juga pada tulisan Gurat Angkola, atrologi, permainan catur, dan kosakata sanskerta. Ini
merupakan bukti adanya kontak dengan India dan Jawa.
Candi di Portibi ini konon berjumlah 16 buah, dan kini yang masih ada tinggal lima buah.
Diantara kelima candi itu , tiga di antaranya disebut Bahal I, II, III.
Pada Bahal I Tinggi candi tersisa sekitar 12 meter,berukuran 10x10 meter. Relief dinding luar
berwujud orang menari.
Bahal II terletak sekitar 400 meter dari Bahal I, dan terdapat gambar dewa yang sedang
menari. Candi ini berada di tengah padang ilalang. Bahal I terletak di arah Timur dengan
ukuran 7x7 meter. Disekitaran candi-candi terdapat banyak sisa-sisa bangunan kuno dengan
kepunahannya.
H.Rumah Adat

Rumah adat Angkola masih disebut Bagas Godang, hanya saja ada beberapa
perbedaan di antara keduanya. Rumah adat Angkola menggunakan ijuk sebagai atap dan juga
papan sebagai dinding dan lantai.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:


1. Adat istiadat atau kebiasaan suku Batak Mandailing Natal bermacam-macam
namun beberapa diantaranya memiliki persamaan dengan kebiasaan suku
Batak Toba.
2. Sedangkan dari segi agama justru berbeda, suku Batak Mandailing beragama
islam dan suku Batak Toba beragama Kristen secara mayoritas. 3.

3. Bahasa/dialek yang digunakan suku Batak Mandailing Natal lebih lembut


dibandingkan dengan bahasa yang digunakan suku batak lainnya. 4.
Dalam kekerabatan suku Batak Mandailing Natal, diperbolehkan untuk menikah
sesama satu marga.

Etnis batak angkola merupakan etnis yang menempati daerah Tapanuli Selatan
yang berdekatan dengan etnis Batak Toba dan juga etnis Batak Mandailing
sehingga sering dikatakan sama. Namun demikian bukan berarti batak Angkola
tidak memiliki keunikan-keunikan yang ada pada adat istiadat dan segala yang ada
pada etnis batak Angkola sangat menarik. Seperti rumah adat mereka yang
memiliki struktur yang terdiri dari pondasi, balok lantai, lantai, tangga, dinding,
balok atap, atapnya dan lain-lain. Dalam suku batak angkola juga ditemukan
marga yaitu seperti, lubis, harahap, batubara, dan banyak lagi. Keunikan lainnya
yaitu terletak pada saat upacara kematian mereka akan membawa beras dalam
tampih yang berisikan logam yang mereka percayai akan membawa kelancaran
bagi upacara kematian tersebut. Pakaian adat yang dipakai pengantin pada etnis
angkola bukan hanya sebatas hiasan saja tetapi itu memiliki makna, yang dipakai
pengantin pria tersebut empu sedangkan yang dipakai pengantin yaitu emas dan
hitam, sedangkan tudung sendiri memiliki makna yaitu kemuliaan. Batak angkola
memiliki struktur masyarakat yaitu Dalihan na tolu dan memiliki falsafah Poda na
matogu, saur matua bulung”, yang artinya afalah Tuhan lah yang membimbing
kita-kita semoga kita panjang umur.

Daftar Pustaka

https://margasiregar.wordpress.com/budaya/
https://www.gramedia.com/literasi/pakaian-adat-sumatera-utara/
https://artikel.rumah123.com/8-rumah-adat-sumatera-utara-yang-unik-dan-memukau-
disertai-penjelasan-lengkap-63891
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/grenek/article/download/
10654/9587#:~:text=Gondang%20Angkola%20merupakan%20instrumen
%20berjenis,dipakai%20dalam%20pelaksanaan%20upacara%20adat.
https://www.kompas.com/skola/read/2022/10/04/170902569/8-seni-tari-tradisional-
sumatera-utara?page=all#:~:text=Tari%20Rondang%20Bulan%20Angkola
%20adalah,bawah%20pancaran%20sinar%20bulan%20purnama.
"Suku Mandailing - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas"
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Mandailing
"Suku Angkola - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas"
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Angkola

Anda mungkin juga menyukai