Makalah Ini Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filologi
Disusun oleh :
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Analisis Buku Babad Tanah Jawi”.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi panutan
seluruh alam. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Filologi sesuai dengan apa yang telah di tugaskan oleh dosen mata kuliah di Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) Tahun Akademik 2018/2019. Makalah ini
disusun dengan tujuan agar penyusun beserta pembaca dapat mengetahui tentang budaya yang
ada di dalam buku babad tanah jawi ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dalam hal isi
maupun cara pengungkapannya, serta dalam sistematika dan teknik penulisannya. Hal ini karena
keterbatasan pengetahuan kami. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat
khususnya bagi pembaca dan bagi kami sendiri. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
M. Arya Penansang .................................................................................................. 25
N. Awal Permulaan Mataram .................................................................................. 26
O. Senopati Ing Alaga Menantang Sultan Pajang ................................................... 27
P. Senopati Bertemu dengan Ratu Kidul ................................................................ 29
BAB 4 PENUTUP ............................................................................................................... 31
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 31
B. Saran .................................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 33
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jawa merupakan suatu kesatuan pulau yang memiliki banyak tradisi. Salah satu pulau di
Nusantara ini yang sudah relatif lama mengenal tradisi tulis menulis yaitu pulau Jawa. Salah satu
karya tulis menulis ini dalam istilah filologi disebut “manuskrip” atau dengan nama lain yaitu
naskah kuno. Istilah ini mengandung pengertian segala bentuk karya tulis yang masih berupa
tulisan tangan dan usianya relatif sudah cukup tua. Naskah kuno ini jumlahnya cukup banyak.
Umumnya terdapat di rumah-rumah penduduk dan sebagian pada masa sekarang sudah ada yang
disimpan pada di lembaga-lembaga resmi.
Kebudayaan Jawa yang berwujud berupa naskah kuno merupakan arsip kebudayaan yang
merekam berbagai data dan informasi tentang kesejarahan, kebudayaan dan bahkan kerajaan-
kerajaan di Jawa. Sebagai sumber informasi yang juga syarat dengan nilai-nilai individu
kehidupan manusia. Naskah kuno memuat berbagai hal tentang aktivitas masyarakat dan
kronologi perkembangan masyarakat, sehingga dapat memberikan bahan rekonstruksi untuk
memahami situasi dan kondisi yang ada pada masa kini dengan meninjau akar peristiwa yang
terjadi pada masa lampau.
Babad Tanah Jawi dapat disebutkan sebagai karya sastra sejarah dalam bentuk tembang
macapat. Karya ini memuat tentang cikal-bakal (nenek moyang) raja-raja Mataram Islam yakni
bermula dari Nabi Adam, dewa-dewa, hingga raja-raja yang pernah berkuasa di tanah Jawa.
Raja-raja yang pernah menguasai tlatah Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram
Islam (Kasunanan Surakarta).
Karya sastra sejarah Babad Tanah Jawi yang berunsur mitologi dan pengkultusan tersebut
memiliki keragaman versi. Namun menurut Hoesein Djajadinigrat, keragaman versi tersebut
disederhanakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama: Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh
Carik Braja atas perintah Sunan Pakubuwono III. Kelompok ke dua: Babad Tanah Jawi bertarikh
1722 yang diterbitkan oleh Pangeran Adilangu II.Banyak orang mengakui, bahwa Babad Tanah
1
Jawi telah menyedot banyak perhatian dari kaum sejarawan. Karena menurut ahli sejarah HJ de
Graaf, Babad Tanah Jawi mengandung kebenaran sejarah. Terutama peristiwa-peristiwa yang
ditulis sejak tahun 1580. Namun peristiwa-peristiwa yang ditulis sebelum tahun itu, de Graaf
tidak berani menyebut Babad Tanah Jawi sebagai data sejarah. Mengingat banyaknya campuran
unsur mitos dan dongeng.
Karena banyaknya peminat terhadap Babad Tanah Jawi, Meinsma menerbitkan karya
tersebut dalam bentuk prosa. Karya gubahan Carik Braja yang dikerjakan oleh Kertapraja
tersebut diterbitkan pada tahun 1874. Tak ketinggalan pula, Balai Pustaka menerbitkan 31 jilid
naskah Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya yakni yang ditulis dengan tembang-tembang
macapat pada ambang perang dunia II (1939).
2
B. Rumusan Masalah
Apasajakah nilai budaya yang terkandung dalam naskah Asal Muasal Tanah Jawa,
Majapahit, Sunan Giri dan Sunan Bonang, Sunan Kali Jaga, Raden Patah dan Raden Husen,
Jaka Tarub, Runtuhnya Majapahit, Keris Sunan Bonang, Pernikahan Lembu Peteng dan
Retna Nawangsih, Jaka Tingkir, Kyai Ageng Sela Menangkeap Petir, Sultan Pajang, Arya
Penansang, Awal Permulaan Mataram, Senopati Ing Alaga Menantang Sultan Pajang, dan
Senopati Bertemu dengan Ratu Kidul dalam buku Babad Tanah Jawi?
C. Tujuan
Untuk mengetahui nilai budaya yang terkandung dalam naskah Asal Muasal Tanah Jawa,
Majapahit, Sunan Giri dan Sunan Bonang, Sunan Kali Jaga, Raden Patah dan Raden Husen,
Jaka Tarub, Runtuhnya Majapahit, Keris Sunan Bonang, Pernikahan Lembu Peteng dan
Retna Nawangsih, Jaka Tingkir, Kyai Ageng Sela Menangkeap Petir, Sultan Pajang, Arya
Penansang, Awal Permulaan Mataram, Senopati Ing Alaga Menantang Sultan Pajang, dan
Senopati Bertemu dengan Ratu Kidul dalam buku Babad Tanah Jawi.
3
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Budaya
Budaya menurut Asmadi Alda (dalam Iskandar, 2009:27) mencakup apa yang dilakukan
oleh manusia, apa yang diketahui manusia, dan segala sesuatu yang digunakan dan dibuat
manusia. Budaya adalah sesuatu yang hidup, berkembang, dan bergerak menuju titik tertentu.
Karenanya, penelitian budaya pun perlu menyesuaikan dengan perubahan tersebut, setiap budaya
memiliki kebebasan individu dan kelompok pendukung (Endraswara, 2006:1). Budaya adalah
lekat (inherent) pada bidang-bidang lain yang terstruktur rapi. Keterkaitan antar unsur kehidupan
itulah yang membentuk sebuah budaya. Dengan demikian, budaya bukan sekedar tumpukan acak
fenomena, atau bukan sekedar kebiasaan yang lazim, melainkan tertata rapi dan penuh makna.
Endraswara (2006:5) mengatakan bahwa budaya sebagai produk maupun sebagai proses,
pada dasarnya akan mencakup nilai kultural, norma, dan hasil cipta manusia. Karena itu pada
tataran tertentu budaya digolongkan menjadi tiga dimensi, yaitu: (1) dimensi kognitif (budaya
cipta)yang bersifat abstrak, berupa gagasan-gagasan manusia, pengetahuan tentang hidup,
pandangan hidup, wawasan kosmos; (2) dimensi evaluative, artinya menyangkut nilai-nilai dan
norma budaya, yang mengatur sikap dan perilaku manusia dalam berbudaya, lalu membuahkan
etika budaya; (3) dimensi simbolik berupa interaksi hidup manusia dan simbul-simbul yang
digunakan dalam berbudaya. Sedangkan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak terbatas pada hal-
hal yang kasat mata tentang manusia, melainkan juga menyangkut hal-hal yang abstrak
(Endraswara, 2006:5). Karena itu, penelitian kebudayaan bisa melebar dan meluas serta
mendalam ke seluruh penjuru hidup manusia. Kebudayaan ada karena ada manusia penciptanya
dan manusia dapat hidup di tengah kebudayaan yang diciptakannya.
Haji Agus Salim (Dalam Sumarsono dan Siti Dloyana Kusuma. 2007 : 4 ),
mendefinisikan kebuayaan sebagai persatuan istilah budi dan daya menjadi makna sejiwa dan
tidak dapat dipisah-pisahkan. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara pengertian kebudayaan
adalah hasil dari cipta, rasa, dan karya manusia.
4
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah
sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia. sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain,
yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Tanah Jawa memang terkenal memiliki banyak kebudayaan. Tapi tak banyak yang
mengetahui bahwa sebagian besar budaya dan sejarah tanah Jawa itu ternyata dirangkum dalam
sebuah buku besar yang dikenal dengan nama Babad.
Babad adalah cerita rekaan (fiksi) yang didasarkan pada peristiwa sejarah, dimana
penulisannya biasanya dalam bentuk macapat (tembang, puisi, atau syair). Salah satu babad yang
sangat terkenal adalah Babad Tanah Jawi. Babad Tanah Jawi merupakan karya sastra sejarah
dalam bentuk Tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan zaman
Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal-hal yang terjadi di tanah
Jawa.
Babad Tanah Jawi sebenarnya adalah karya sastra, karya sastra yang kemudian masuk ke
dalam sejarah atau lebih tepatnya karya sastra sejarah karena isinya yang mengandung sejarah
pada masa itu. Sebuah karya satra telah menjadi bagian yang integral dengan sejarah sebagai
sebuah tradisi. Oleh sebab itu sebagai sebuah tradisi, paling tidak ada empat fungsi utama dari
karya-karya sastra seperti itu. Pertama, sebagai alat dokumentasi. Kedua, sebagai media untuk
transformasi memori antar generasi. Ketiga, sebagai alat untuk membangun legitimasi. Keempat,
sebagai bentuk ekspresi intelektual. Walaupun kebenaran dari cerita sejarah yang terdapat dalam
Babad tanah Jawi tersebut masih pantas untuk dipertanyakan, tetapi tidak ada alasan bagi kita
untuk tidak mempergunakan Babad Tanah Jawi sebagai referensi sejarah dikarenakan
keterbatasan sumber sejarah pada masa itu.
Seperti historiografi tradisional pada umunya, tulisan atau isi atau narasi Babad Tanah
Jawi bersifat istana sentris atau menceritakan raja dan atau keluarga raja pada masa itu. Saat
5
bercerita tentang raja dan atau keluarga kerajaan pasti cerita tersebut mengunggulkan yang
diceritakan atau yang menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut.
Dari hal ini dapat dilihat dengan jelas bahwa pada penulisan Babad Tanah Jawi terselip
maksud dan tujuan untuk digunakan sebagai alat legitimasi raja yang berkuasa dan memberi
nialai-nilai tambah pada raja yang menjadi tokoh utama dalam karya satra ini. Garis silsilah raja
yang diambil mulai dari Nabi Adam AS sampai dewa dewi agama hindu budha dan tokoh
pewayangan merupakan suatu bukti bahwa walaupun memang ada cerita yang bersumber dari
kenyataan tetapi ada juga yang hanya ingin menggapai legitimasi yang sebesar-besarnya oleh
karena itu penggunaan Babad Tanah Jawi sebagai sumber penulisan sejarah harus menggunakan
berbagai macam bukti-bukti pembanding.
B. Unsur-Unsur Kebudayaan
Kebudayaan universal atau culture universal seperti yang dkemukakan oleh C. Kluckhon
(Dalam Sumarsono dan Siti Dloyana Kusuma. 2007 : 8 ), yang selanjutnya dikutip oleh Prof. Dr.
Koentjaraningrat dan dikenalkan dengan konsep 7 (tujuh) unsur kebuayaan universal, yang
terdiri atas :
1. Bahasa
Bahasa merupakan unsur budaya yang penting dalam kebudayaan manusia, karena
melalui bahasa itulah stiap individu dapat mengekspresikan berbagai keingian getaran
jiwanya kepada orang lain, sehingga orang lain mengetahui apa yang dikehendaki oleh
lawan bicaranya.
2. Sistem pengetahuan
Pengetahuan didapat manusia melalui hasil adaptasinya dengan lingkungan dimana
mereka berada. Dalah hal ini, pengetahuan digunakan manusia sebagai pedoman hidup dan
perilakunya. Banyak sekali pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, namun dari
keseluruhan pengetahuan yang dimilikinya itu dapat dikelompokkan menjadi 6 (enam),
yakni :
b. Pengetahuan tentang lingkungan alam;
c. Pengetahuan tentang flora dan fauna;
6
d. Pengetahuan tentang zat-zat bahan mentah;
e. Pengetahuan tentang tubuh manusia;
3. Sistem teknologi
Manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak selamanya mengandalkan alat-
alat tubuhnya. Banyak kebutuhan yang harus dipenuhi memerlukan alat bantu (peralatan dan
perlengkapan hidup) untuk mendapatkan dan memenuhinya. Alat bantu itulah yang dikenal
dengan teknologi.
6. Sistem religi
Sistem religi adalah suatu aktifitas manusia yang didasari oleh suatu getaran jiwa
yang bisa disebut dengan emosi keagamaan (religious emotion). Emosi ini biasa dialami
oleh hampir semua manusia, walaupun kadangkala hadir hanya dalam beberapa saat saat
saja untuk kemudian menghilang kembali. Emosi keagamaan menyebabkan suatu benda,
keadaan, atau gagasan mendapat nilai keramat (sacred value), dan kemudian dianggap
keramat.
7
7. Kesenian
Kesenian adalah ungkapan atau ekspresi manusia terhadap keindahan. Dipandang
dari cara mengungkap rasa keindahan itu, kesenian dapat dibagi kedalam 2 (dua) kelompok
besar, yaitu:
a. Seni rupa, yaitu kesenian yang dinikmati oleh manusia melalui matanya; dan
b. Seni suara, yaitu kesenian yang dinikmati manusia melalui telinga.
Perkembangan berkesenian masyarakat saat ini telah berkembang dengan pesat. Kontak budaya
dengan bangsa lain mempercepat corak dan bentuk kesenian yang dimilikinya.
Karya sastra sejarah yang hidup di pedesaan yang tidak didukung oleh tradisi tulis
menghasilkan sastra lisan (oral tradition). Tradisi ini lebih mudah diterima oleh masyarakat
pedesaan karena tanpa melibatkan kemampuan tulis menulis sehingga tradisi ini dapat
melampaui batas-batas budaya. Sebaliknya karya sastra sejarah yang berkembang di kalangan
istana dengan media bahasa tulis serta terikat oleh penyalin, sehingga tidak mampu di konsumsi
oleh masyarakat umum. Artinya sastra sejarah yang berkembang saat itu hanyalah sebagai
konsumsi kalangan elit priyayi (wong nduwuran).
Hal ini karena karya sastra jenis ini menjadi milik istana dan lebih banyak diciptakan
untuk menopang keabsahan legitimasi dinasti yang berkuasa sekaligus menyokong kepentingan
kerajaan (Woodward, 2004: 51; Kuntowijoyo, 1991). Tradisi yang berkembang di rakyat jelata
(kawula alit) tersebut kemudian di sebut tradisi kecil. Sedang yang berkembang di istana
dinamakan dengan tradisi besar (Resi, 2007; Resi, 2010).
Tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat dikenal dengan sastra rakyat. Realitas
historis menunjukkan bahwasanya tradisi dalam bentuk ini muncul dalam bentuk naratif,
legenda, mitos, maupun cerita-cerita binatang. Media yang disampaikan keseluruhanya berupa
penuturan secara lisan. Ketekunan pemahaman dan penghafalan dalam tradisi lisan ini sangat
menjadi prioritas agar tradisi sini senantiasa berkembang dan terpelihara dalam masyarakat.
8
Karya sastra lisan cenderung mempunyai bentuk yang sederhana, dengan model-model
stereotype sehingga mudah di ingat dan di sampaikan pada masyarakat. Disamping itu, cerita
rakyat juga disampaikan dengan pemahaman, penafsiran, dan bahasa yang mudah sesuai dengan
konteks kehidupan sehari-hari dilingkungan pedesaan yang tradisional.
Jan Vansina sebagaimana dikutip Kuntowijoyo (2003: 25) memberi batasan tentang
tradisi lisan (oral tradision) sebagai oral testimony transmitted verbally, from one generation to
the next one or more. Menurutnya dalam tradisi lisan tidak termasuk kesaksian mata yang
merupakan data lisan. Juga disini tidak termasuk rerasan masyarakat yang meskipun lisan tetapi
tidak dienkulturasikan dari generasi ke generasi. Tradisi lisan dengan demikian terbatas di dalam
kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Sama seperti dokumen dalam
masyarakat yang sudah mengenal tulisan, tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang merekam
masa lampau. Dengan demikian tradisi lisan juga merupakan sumber penulisan bagi sejarawan.
9
BAB III
ANALISIS
10
3. Kesenian Seni Suara (dilihat dari kutipan halaman 13)
Batara Wisnu beserta putranya lalu keluar dari bangsal kedewatan menghadapi
raja Giling Wesi dan kemudian bertemu dan alin berhadapan-berhadapan dengan raja
Giling Wesi sang raja menawarkan kepada Batara Wisnu tidak usah berperang jika
dapat menerima cangkriman –nya atau teka-teki
Batara Wisnu menyetujui penawaran tadi. Sang raja lalu memberikan
cangkrimanya “ pohon adikih adakah buahnya ada pohon adakah adikih buahnya ?”.
Cangkrman itu lalu dijawab oleh Batara Wisnu, “ pohon adikih adakah buahnya itu
semangka pohon adakah adikih buahnya itu beringin.”
Pada bagian ini cangkrima atau teka-teki adalah sebuah kesenian suara yang
dapat dinikmati melalui telingan dan merupakan sebuah tradisi kesenian sampai
sekarang di beberapa daerah di Indonesia
1) Sistem Pengetahuan, pengetahuan alam dan manusia (dilihat dari kutipan halaman16)
Diceritakan ada ajar(brahmana) betapa di gunung pajajaraan bernama cepaka ia
terkenal cerdik dan menguasai sembarang ilmu, tahu segalanya yang akan terjadi
belaiu bernama Ki Ajar
Kemudian negri pajajaran kena bencana besar banyak orang meninggal hingga
menjadikan sedih sang raja lalu raja meanggil ahli nujum untuk menolak dan
memagari bencana. Sembah para nujum kepada sang raja supaya bersuka ria dan
makan enak.
Dalam cerita ini diceirakan Ki Ajar sebagai orang sakti orang yang berpengatahuan
dan berwawasan luas dan belaiu tahu segala hal tentang manusia, lingkungan serta
segalanya sistem pengetahuan yang dada dalam cerita ini adalah kepercayaan
terhadap orang pintar (ahli nujum) untuk menolak bencana atau segala hal.
11
2) Sistem Teknologi, alat pandai besi (dilihat dari kutipan halaman19)
Banyak wide mengumpulkan pandai besi mereka diperintahkan membuat tempat
tidur dari besi dengan memakai pintu setelah selesai dan di hias diletakan dirumah
singganya
Dalam cerita ini pandai besi dapat membuat sesuatu merupakan kebutuha yang harus
dipenuhi dan pandai besi memakai alat untuk membuat sesuatu yang dikenal
ssebagai teknologi.
3) Sistem Mata Pencarian Hidup, bercocok tanam (dilihat dari kutipan halaman 21)
Setelah banyak orang datang, ikut membangun runag di situ serta bercocok tanam.
Lama kelamaan mejadi negri yang besar tersohor dimana-mana.
Sistem pencarian pada masa itu adalah becocok tanam dan embuat negri baru untuk
keberlangsungan hidup dari mulai yang bentuk sederhana kemudian menjadi yang
lebih komplek.
B. Majapahit
Unsur budaya yang terdapat pada naskah berjudul “Majapahit” adalah :
1. Sistem Mata Pencaharian
Sistem Mata Pencaharian adalah berburu
Kutipan halaman 22: “Suatu hari sang Raja pengusaha baru punya niat mau berburu
di hutan. Patih Wahan tidak setuju, sebab baru saja menjadi raja…”
Kutipan halaman 23: “Sepeninggalan Patih Wahan, sang Raja melanjutkan niatnya
untuk berburu ke hutan dengan permaisurinya, diikuti oleh para abdinya.”
Maksud dalam dua kutipan tersebut bahwa berburu di hutan adalah salah satu mata
pencaharian di Kerajaan Majapahit. Lalu disini yang ingin berburu yaitu Raja yang
ditemani para abdinya.
12
2. Kesenian
Keseiannya adalah seni rupa
Kutipan halaman 23: “... semakin membuat sang Raja marah sampai memerintahkan
Ujung Sabata supaya menculik Patih Wahan. Ia dipinjami pustaka keris bernama Kyai
Jangkung Pacar. Ujung Sabata segera melaksanakan perintahnya, Patih Wahan
Tewas...”
Maksud dalam kutipan tersebut bahwa keris adalah seni rupa yang merupakan alat sakti
pustaka yang digunakan oleh orang-orang kerajaan untuk membunuh dan lainnya. Keris
tersebut juga diberi nama Kyai Jangkung Pacar. Lalu disini yang menggunakan keris itu
adalah Ujung Sabata (abdi Raja) untuk membunuh Patih Wahan yang diperintahkan
Raja.
3. Religi
Kutipan halaman 23: “Sang Prabu di Cempa tadi kedatangan orang dari tanah seberang
bernama Makdum Ibrahim Asmara. Ia memohon agar sang Raja masuk Islam. Sang
Raja menurut dan seluruh abdi senegara masuk Islam.”
Maksud dalam kutipan tersebut bahwa sang Raja harus masuk islam karena ia akan
melamar putri dari negri Cempa, mungkin putri di negri cempa adalah beragama islam
maka dari itu Raja harus masuk Islam.
13
Maksud dari kutipan tersebut adalah Islam ialah agama yang sempurna, karena
Syekh Wali Lanang orang islam yang telah mengobati putri Raja sampai sembuh dan
akhirnya menikah, Raja pun diminta untuk masuk islam oleh Syekh Wali Lanang.
Kutipan halaman 27-28: “Bayi itu dijadikan anaknya. Setelah besar disuruh mengaji
kepada sunan di Ampel Denta. Temannya mengaji putranya Ampel Denta yang
bernama Santri Bonang. Adapun putranya janda tadi bernama Santri Giri. Kedua
anak laki-laki itu kemudian berniat belajar mengaji ke Mekkah”
Maksud dari kutipan tersebut adalah mengaji adalah salah satu ibadah kepada Allah
SWT, yaitu Tuhan agama Islam. Lalu disini mereka belajar mengaji sampai ke
Mekkah ialah salah satu kegiatan dalam kerajaan.
Maksud dalam kutipan tersebut adalah perbuatan jahat sangat tidak baik, maka daari itu
yang berbuat jahat, harus segeralah bertobat, agar diampuni semua dosa-dosanya. Lalu
disini yang berbuat jahat adalah Raden Said untuk membegal menghadang orang yang
berpakaian serba hitam bersumping bunga wora-wari merah dan ternyata itu adalah
Sunan Bonang, tapi Sunan Bonang berubah menjadi empat yang membuat Raden Said
pun takut lalu ia bertobat.
14
E. Raden Patah dan Raden Husen
Unsur budaya yang terdapat pada naskah berjudul “Raden Patah dan Raden Husen”
adalah :
1. Sistem pengetahuan (pengetahuan tentang lingkungan alam)
Dilihat dari kutipan dan halaman 31 :”diceritakan Prabu Brawijaya dating sitinggil
(tempat yang ditinggikan untuk balai penghadapan), bertanya kepada para ahli
nujum (ahli perbintangan atau peramal), bila dia sudah mangakat apa ada yang akan
menggantikan tahtanya, memiliki kekuasaan seperti dirinya”.
Dilihat dari kutipan dan halaman 32 :”tetapi jika sudah umur sewindu supaya
dibunuh sebab ramalan para ahli nujum kelak bayi itu akan jadi rada, merusak
dirinya”.
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa pada massa Prabu Brawijya yang bertanya
kepada ahli nujum yakni seseorang yang ahli perbintangan atau disebut dengan
peramal.
2. Sistem Religi
Dilihat dari kutipan dan halaman 31 :”setelah agak lama tinggal di Ampel Denta, Raden
Husen mengingatkan kakaknya niat mereka untuk mengabdi kepada raja Majapahit.
Jawaban kakaknya karena sudah masuk agama islam, ia tidak mau mengabdi
kepada raja kafir “.
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa kakanya Raden Husen sudah masuk agama
islam jadi ia tidak mau mengabdi kepada raja kafir.
F. Jaka Tarub
Unsur budaya yang terdapat pada naskah berjudul “Jaka Tarub” adalah :
1. Sistem mata pencarian hidup (berburu)
Dilihat dari kutipan dan halaman 34 :”adalah Kyai Ageng di Selandaka,
kegemaranya nulup (berkendara). Waktu kyai hutan, menemukan jabang bayi lalu
digendong disabuknya, lalu meneruskan nulup. Melihat ada kijang, senang sekali.
15
Diikuti terus ke mana perginya. Lama-lama kijang itu hilang, membuat kecewa
hatinya”.
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Kyai Ageng gemar berburu dilihat dari dia
sedang berburu kijang
Dilihat dari kutipan dan halaman 34 :”ketika Ki Jaka nulup di hutan, melihat burung
aneh warnanya. Ia sangat tertarik, ditulup tidak kena”.
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Ki Jaka saat sedang nulup di hutan, sambil
berburu burung.
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa gamelan adalah seni suara yang dapat
dinikmati melalui indra pendengaran.
G. Runtuhnya Majapahit
Unsur budaya yang terdapat pada naskah berjudul “Runtuhnya Majapahit” adalah :
1. Sistem Teknologi
Kalam (alat tulis)
Di tunjukkan pada kutipan, “Kalam (alat tulis) yang dibuang tadi, lalu menjadi keris
dan mengamuk sendiri”. (hal.37)
16
digunakan untuk menulis pada papirus, dan merupakan alat tulis yang paling lazim
digunakan pada zaman kuno.
Keris
Di tunjukkan pada kutipan, “...... serta memberitahu pengikutnya keris tadi dinamai
Kalam Munyeng.” (hal.37)
2. Bahasa
Bahasa yang digunakan menggunkaan bahasa yang baik dan sopan, sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia, sehingga mudah di pahami. Beberapa katanya menggunakan
bahasa Jawa, di lihat dari kutipan di bawah ini :
17
Sowan
Di tunjukkan pada kutipan, “Adapun sebab tidak sowan, adalah begitu besar
pantangan agama, yang tidak mengizinkan umat islam untuk mengabdi kepada orang
kafir.” (hal. 38)
Arti kata sowan adalah menghadap (kepada orang yang dianggap harus dihormati,
seperti raja, guru, atasan, orang tua); berkunjung.
3. Sistem Religi
Menganut agama islam.
Di tunjukkan pada kutipan, “Adapun sebab tidak sowan, adalah begitu besar
pantangan agama, yang tidak mengizinkan umat islam untuk mengabdi kepada orang
kafir. Serta sudah ditakdirkan bahwa di Bintara akan berdiri kerajaan yang menjadi
awal orang Jawa beragama Islam.” (hal. 38)
Dimaksudkan bahwa Raden Patah tidak pernah mengujungi Raja Brawijaya karna
menganggap rajanya itu adalah orang kafir, dan ia tidak ingin mengabdikan dirinya
kepada orang kafir.
Dalam naskah ini, kepercayaan terhadap kekuatan pada benda keris lebih dominan.
4. Organisasi sosial
Saling bekerja sama dan membantu antar sesama
Di tunjukkan pada kutipan, “apa lagi para wali dan para mukmin juga sudah
berkumpul. Semuanya lalu bersama berangkat ke Majapahit.” (hal. 39)
18
Kehidupan sejahtera
Di tunjukkan pada kutipan, “di ceritakan sesudah itu di Giri menjadi sejahtera seperti
sedia kala dan tak ada musuh lagi.” (hal. 38)
Suka bermusyawarah
Di tunjukkan pada kutipan, “orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam.
Mereka bermusyawarah akan mendirikan masjid di Demak.” (hal. 40)
Di tunjukkan pada kutipan, “para wali lalu bermusyawarah sebaiknya bungkusan itu
dibagi sama rata.” (hal. 40)
5. Kesenian
Dalam naskah ini terdapat kesenian berupa seni sastra yaitu mantra.
Di tunjukkan pada kutipan, “Ia akan memantrai agar hilang bekasnya raja kafir.”
(hal.39)
Pusaka cis merupakan bahan baku untuk pembuatan pisau atau keris berupa besi
yang berbentuk tombak kecil.
19
Keris pasopati
Di tunjukkan pada kutipan, “itupun lalu di buat keris lagi berbentuk pasopati,
diserahkan kepada Sunan Bonang.” (hal. 41)
2. Kesenian
Keseniannya terdapat ukiran Tunggak Semi.
Di tunjukkan pada kutipan, “Oleh Sunan Bonang gagang kedua keris itu disebut ukiran
Tunggak Semi. (hal. 41)
3. Sistem Religi
Sistem religi yang di anut adalah agama islam. Di tunjukkan pada kutipan, “bertepatan
di hari jum’at Sunan Bonang salat di masjid.” (hal. 41)
4. Sistem Pengetahuan
Pengetahuan tentang tubuh manusia
Mata kita sebenarnya tidak baik digunakan untuk hal berlebihan, seperti melihat
komputer atau layar TV terlalu sering dan terlalu lama. Termasuk dalam sebuah
pekerjaan seperti peleburan yang terlalu sering menatap api. Tidak jarang efeknya
dapat mengalami kebutaan.
20
Pengetahuan tentang flora dan fauna
Di tunjukkan pada kutipan, “Sunan Bonang lalu ke hutan, melihat tonggak jati
berlubang ditepi air, ditumbuhi daun pakis serta melengkung-lengkung sulurnya.”
(hal. 41)
Kata “Tunggak” berarti batang pohon yang bagian atasnya sudah ditebang. “Jati”
merupakan pohon kelas atas. “tunggak jati” adalah keturunan orang gedean. Kalau
jaman dulu barangkali yang satu keturunan orang “pidak pedarakan” dan satunya
keturunan “priyayi”.
Daun pakis adalah daun pakis berbulu dari pakis muda, yang dipanen untuk
digunakan sebagai sayuran. Ditinggal di pabrik, setiap fiddlehead akan membuka
gulungan ke daun pohon baru.
5. Bahasa
Bahasa yang digunakan menggunkaan bahasa yang baik dan sopan, sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia, sehingga mudah di pahami.
b. Bahasa
Bahasa yang digunakan menggunkaan bahasa yang baik dan sopan, sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia, sehingga mudah di pahami.
21
c. Religi
Mempercayai adanya kekuatan gaib
Di tunjukkan pada kutipan, “Sebab Kyai Ageng tahu akan kodrat, melalui bisikan gaib.
Maka putranya dididik benar-benar, disuruh bertapa sambil bertani.” (hal.43).
J. Jaka Tingkir
1. Bahasa
Bahasa yang digunakan merupakan bahasa Indonesia, namun ada pula menggunakan
bahasa Jawa. Dapat terlihat pada:
Waktu itu Ki Ageng Pengging nanggap wayang beber. Arti dari kata nanggap
adalah menyewa (halaman 46).
Seketika itu juga hilanglah kemarahan orang-orang Pengging, pulanglah mereka
untuk ngrukti, merawat jenasah Ki Ageng Pengging. Arti dari kata ngrukti adalah
untuk membuktikan (halaman 47).
Saat itu Sultan Demak keluar dari masjid, Ki Jaka baru duduk di pinggir blumbang,
kolam. Arti dari kata blumbang adalah kolam, empang, atau bekas cerukan lain
(halaman 50).
2. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang terdapat pada cerita tersebut yakni menguji kekuatan untuk
menjadi prajurit tamtama dengan cara diadu oleh banteng. Dapat terlihat pada:
Sang Prabu mengambil dan memilih orang-orang dari seluruh negeri dan pedusunan,
dipilih orang yang sakti dan kuat. Kalau sudah didapatkan lalu diuji dan diadu
dengan banteng. Jika mampu menempeleng banteng hingga remuk kepalanya,
diterima menjadi prajurit tamtama (halaman 51).
3. Sistem Religi
Sistem religi yang terdapat pada cerita tersebut yakni dengan bertapa, berguru, dan
mengajar. Agama yang dianut baik itu agama Buddha dan Islam. Dapat terlihat pada:
22
Kedua putranya itu saling berselisih, putra pertama Ki Kebo Kanigara terus
mempertahankan agama Buddha. Ia lalu pergi bertapa di dalam kawah dan di
gunung-gunung meneladani para pertapa (halaman 45).
Adapun Ki Kebo Kenanga mengikuti agama Islam, menganut sarak (syara’, hukum
agama) Kanjeng Rasul. Ia sudah mendirikan jemaat di Pengging. Banyak orang yang
salat Jumat di Pengging. Ki Kebo Kenanga banyak berguru kepada Siti Jenar
(halaman 45).
Ki Jaka lalu mohon pamit akan berguru kepada seorang mukmin (halaman 48).
Sunan menuruti, lalu bertempat tinggal di Adi Langu, pekerjaannya mengajar
agama Rasul. Sudah banyak muridnya (halaman 56).
4. Mata Pencaharian
Mata pencaharian yang terdapat pada cerita tersebut yakni bertani. Dapat terlihat pada:
Ki Jaka menurut perintah ibunya. Lalu mereka pergi ke ladang membantu kedua
pembantu itu menyiangi rumput (halaman 49).
23
Bahasa yang digunakan merupakan bahasa Indonesia, namun ada pula merupakan
bahasa serapan dari bahasa Indonesia. Dapat terlihat pada:
Tiada lama kemudian Pajang menjadi tempat yang ramai gemah ripah loh jinawi.
Artinya adalah tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya (halaman 58).
2. Mata Pencaharian
Mata pencaharian yang terdapat pada cerita tersebut yakni bertani. Dapat terlihat
pada:
Kembali ke cerita sebelumnya, ketika Kanjeng Sultan masih berkuasa di Demak,
waktu itu Ki Ageng Sela sedang pergi ke sawah membawa cangkul dalam keadaan
hujan. Saat itu menjelang ashar, setibanya di sawah terus mencangkul (halaman 58).
L. Sultan Pajang
Unsur budaya yang terdapat pada naskah berjudul “Sultan Pajang” adalah :
1. Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam naskah Sultan Panjang menggunakan bahasa Indonesia
dengan campuran bahasa Jawa. Terlihat dari kutipan di bawah ini.
“... Ki Ageng terjerat oleh pohon waluh..”
“.. itu lalu ditempeleng kepalanya sampai meninggal.”
2. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang terdapat dalam naskah Sultan Panjang tidak dijelaskan dalam
cerita.
24
3. Sistem Teknologi
Sistem teknologi yang terdapat dalam naskah Sultan Panjang masih menggunakan
sistem teknologi sederhana karena pada zaman dahulu belum ada teknologi secanggih
sekarang seperti dalam kutipan di bawah ini.
“...Ki Ageng Sela setelah mendapatkan bende...”
6. Sistem Religi
Dalam naskah Sultan Panjang tidak diceritakan sistem religinya.
7. Kesenian
Kesenian dalam naskah Sultan Panjang sangat kental karena kesenian bagi pada zaman
dahulu termasuk budaya yang harus dijaga seperti dalam teks di bawah ini.
“Kyai Ageng Sela terpikat kepada istri ki dalang tadi. Dalang lalu dibunuh, wayang
bende...”
M.Arya Penansang
Unsur budaya yang terdapat pada naskah berjudul “Arya Panangsa” adalah :
25
1. Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam naskah Arya Panangsang menggunakan bahasa
Indonesia dengan campuran bahasa Jawa. Terlihat dari kutipan di bawah ini.
“...sudah biasa orang perang itu di-krubut..”
“... Jenasah Arya Panangsang di ruwat oleh orang-orang selo.”
“...Ki Mataun layak bela-pati sebab...”
2. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang terdapat dalam naskah Sultan Panangsang di dapat oleh guru
yang terkenal pada zaman tersebut yaitu Sunan Kali Jaga dan Sunan Kudus, tetapi
dalam naskah ini lebih terarah pada sunan kudus.
3. Sistem Teknologi
Sistem teknologi yang terdapat dalam naskah Sultan Panangsang masih menggunakan
sistem teknologi sederhana karena pada zaman dahulu belum ada teknologi secanggih
sekarang seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Si Rangkud tergoresmoleh kembang kacang (hiasan pada pangkal keris)..”
Dapat dilihat pada dulu dalam naskah Sultan Panangsang salah satu teknologi yang
digunakan adalah keris.
26
6. Sistem Religi
Sistem regili dalam naskah Sultan Panangsang terlihat jelas pada awal cerita seperti
dalam kutipan berikut.
“Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam”
3. Sistem Religi
Dilihat dari kutipan dan halaman 83 :”Ki Giring, menyerah atas kuasa Allah bahwa
Ki Ageng Pamanahan digariskan untuk menurunkan raja-raja yang akan berkuasa di
tanah jawa”.
27
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Ki Giring tidak bisa melawan takdir Allah
karena sudah digariskan bahwa Ki Ageng Pamanahan yang digariskan oleh Allah
yang dapat menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa.
2. Sistem Pengetahuan
Senopati memerintah kepada penduduk untuk mencetak batu bata guna membentengi
kota. Hlm 88
Sultan Pajang itu sudah termasyhur, raja adijaya disegani oleh para raja di negara
lain, dahulu pernah mau dibunuh di malam hari waktu tidur, pembunuh menusukkan
keris sekuat tenaga, selimutnya saja tidak mempan. Engkau mesti tau betapa kuatnya
sultan itu. Apalagi jika engkau bermusuhan dengannya apa yang engkau andalkan.
Jika kamu memiliki kelebihan menyentuh air tidak basah dan masuk ke dalam api
tidak terbakar, semua itu juga berkat ajarannya. Karena kamu diambil sebagai
putranya semenjak kecil karena begitu sayangnya padamu dianggap seperti putranya
sendiri. Hlm 90
Dewasa kamu diajari banyak ilmu, kekuatan dan dimuliakan di Mataram. Untuk
semua itu balasan yang engkau persembahkan kepada kanjeng sultan? Engkau
mempunya dosa 3 perkara. Pertama, melawan gusti, kedua melawan bapa, ketiga
melawan guru. Hlm 90
Waktu itu para mentri pajak di daerah kedu dan Pagelan mau masuk sowan ke Sultan
Pajang untuk menyerahkan upeti, melewati wilayah Mataram. Disana mereka
dihentikan oleh Senopati, disambut dan di elu-elukan secara terhormat dan diajak
28
berpesta pora makan, minuman keras serta dianggap sebagai saudara sendiri. Hlm
91.
3. Sistem Religius
“jika itu niatmu, bermohonlah kepada Allah secara khusyuk agar kelak jika sultan sudah
mangkat engkau dapat menggantikan tahtanya." Hlm 91.
29
Rara Kidul menguasai seluruh makhluk hidup di Jawa. Waktu itu rara kidul di istana,
istirahat ditempat tidur emas, berhiaskan intan, berlian dan batu mulia lainnya,
dilayani perajin, setan dan peri perayangan. Hlm 96
Senopati segera berangkat berjalan di air seperti di daratan saja. Setelah sampai di
parangtritis, ia terkejut melihat sunan Kali Jaga duduk tafakur di bawah Parangtritis.
Senopati segera bersujud fan mohon ampun sebab memamerkan kesaktian
menempuh air. Hlm 98
2. Sistem Teknologi
Senopati dikawal lima orang menuju Lipura. Disitu ada batu besar halus, bagus
warnanya. Senopati tidur diatas batu itu. Hlm 94
3. Sistem Religi
Mari kita bagi tugas, kamu pergilah ke laut kidul, sementara aku akan naik ke
Gunung Merapi untuk mengetahui kehendak Allah. Hlm 95
“Senopati berhentilah bersombong diri memamerkan kedigdayaan, itu namanya
takabur. Para wali tidak mau berbuat demikian, takut akan murka Allah. Jika kamu
ingin menjadi raja, selalu bersyukur sebagai makhluk ciptaan-Nya. Hlm 98
“Rumahmu tidak berpagar bata. Itu tidak baik. Kamu dapat disebut orang sombong.
Ibarat kerbau sapi tanpa kandang, tentu akan terlepas kemana-mana. Kerbau sapi tadi
sebaiknya diikat, kalau malam dikandangkan, diluar dijaga orang serta berserah
kepada Allah. Demikianlah kamu dalam mendirikan rumah sebaiknya pakailah pagar
yang disebut pagar bumi. Hlm 98
30
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Naskah Babad Tanah Jawi: Pajajaran dumugi Mataram merupakan salah satu sarana
naskah yang membangkitkan semangat para pembaca. Pembaca sudah tidak hanya diam di atas
kekosongan. Melainkan, mengisi tempat-tempat terbuka sebagai sarana atas penilaian
pengalaman pembacaan karya sastra. Karya sastra lahir tidak hanya semena-semena lahir begitu
saja tanpa faktor lain. Faktor-faktor lain mengumpul menjadi satu sebagai unsure-unsur yang
membentuk satu kesatuan yang saling berkaitan antarsesamanya. Naskah Babad Tanah Jawi:
Pajajaran dumugi Mataram termasuk khasanah karya sastra yang harus dilestarikan keberadaan
manuskrip aslinya. Usaha yang dinyatakan lebih tepat atas manuskrip yang jumlahnya terbilang
tunggal dan tidak bisa sembarang dibawa oleh sebagian masyarakat. Keterbatasan untuk
mendekati objek dapat dimaklumi peneliti sebagai upaya pelestarian karya naskah lama.
Sehingga tak urungkan untuk mengenal lebih jauh atas naskah Babad Tanah Jawi: Pajajaran
dumugi Mataram. Melalui studi referensi mampu mewujudkan rasa keingintahuan tanpa
menyempitkan permasalahan yang terjadi. Semakin tertantang pula usaha untuk menempuh studi
referensi atas tulisan-tulisan yang terkait dengan naskah Babad Tanah Jawi: Pajajaran dumugi
Mataram.
Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan
kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca juga yang
menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai karena ada
pembaca yang memberikan nilai. Sama halnya dengan naskah Babad Tanah Jawi: Pajajaran
dumugi Mataram yang mengusung berbagai nilai dari tahun ke tahun atas maknanya. Hal ini
dikarenakan pengalaman pembacaan yang dilalui oleh para penulis sebelumnya atas cerita tanah
Jawa.
31
B. Saran
Sebuah penelitian harus disiapkan segaa sesuatunya sebelum waktu pelaksanaannya.
Mulai dari pembuatan dokumenter, rumusan masalah yang disusun terlebih dahulu, penentuan
informan, beberapa pertanyaan untuk mendekatkan diri pada objek, solusi yang dipersiapkan
secara matang apabila peneliti menjumpai kendala dalam pelaksanaan penelitian dan pembagian
tugas dalam tim. Hal ini dilakukan untuk meringankan kegiatan penelitian terkait. Penentuan
naskah dapat melalui penelusuran katalog terlebih dahulu. Kalaupun terdapat kendala di tengah
penelitian, peneliti harus mempunyai inisiatif dan tidak mempersempit diri atas pemfokusan
naskah. Melainkan menjadikan tantangan peneliti untuk dapat mendekatkan diri dengan karya
sastra lain yang terkait dengan objek.
32
DAFTAR PUSTAKA
S30. Babad Tanah Jawi: Pajajaran dumugi Mataram. SB 24 711. Bahasa Jawa dan Aksara Jawa.
Macapat Rol 3 No. 3.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Purwadi. 2010. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Panji Pustaka.
33