Anda di halaman 1dari 13

DERIVASI, KEDWIBAHASAAN, ALIH KODE, DAN

CAMPUR KODE
Makalah Ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Teori Belajar Bahasa Dosen Pengampu: Dra. Nur Amalia, M.Pd

Disusun Oleh :

Aburizal Habib Sukimin Siama 1601045103


Yolla Eca Lestari 1601045107
Ainun Nisa 1601045111
Astri Werdiningsih 1601045115
Aulia Rondhotul Jannah 1601045115

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2016
1B
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdullilahirabbilalamin. Dengan menyebut nama Allah yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang derivasi, kedwibahasaan, alih kode, dan campur kode.
    Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
    Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
    Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang derivasi, kedwibahasaan, alih
kode, dan campur kode ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.
    

Jakarta, Oktober 2016

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................. ii
DaftarIsi ............................................................................................................................ iii
Bab I: PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
1. Latar Belakang................................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah........................................................................................... 1
3. Tujuan.............................................................................................................. 1
Bab II: PEMBAHASAN .................................................................................................. 2
1. Derivasi .......................................................................................................... 2
a. Jenis-Jenis Derivasi ................................................................................. 2
2. Kedwibahasaan................................................................................................ 4
a. Pembagian Kedwibahasaan...................................................................... 4
b. Diglosia Kedwibahasaan ......................................................................... 5
3. Alih Kode dan Campur Kode ......................................................................... 6
a. Alih Kode ................................................................................................. 6
b. Campur Kode............................................................................................ 7
c. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode ........................ 8
Bab III: PENUTUP........................................................................................................... 9
1. Kesimpulan...................................................................................................... 9
2. Saran................................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Bahasa penting dalam kehidupan manusia karena manusia mencapai hakekat
kemanusiaannya melalui pengembangan kompetensi bahasa, berkembang menjadi
berbudaya, dan beradab melalui bahasa. Bahasa juga sebagai sarana berpikir,
mengingat masa lalu, menyatakan masa kini, dan memprediksi masa depan. Dan
tanpa bahasa manusia tidak dapat berinteraksi dengan sesamanya. Seperti yang akan
kami bahasa dalam pembelajaran bahasa asing, kami akan menjelaskan apa itu
Derivasi,kedwibahasaan,Ahli kode dan Campur kode tersebut.
Derivasi tersebut adalah proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru
(menghasilkan kata-kata yang berbeda dari paradigma yang berbeda), Pembentukan
derivasi bersifat tidak dapat diramalkan.kedwibahasaan adalah penggunaan atau
penguasaan dua bahasa. Ahli kode adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode
yang lain.campur kode adalah proses pencampuran penggunaan dua bahasa dalam
sebuah peristiwa ujar.

2. Rumusan masalah
1. Apa itu pembelajaran bahasa asing ?
2. Apa itu pengertian dari derivasi, kedwibahasaan, ahli kode dan campur kode ?
3. Apa saja yang akan dibahas dalam makalah tersebut ?

3. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas kuliah kami
2. Untuk memambah pengetahuan kami tentang apa itu pembelajaran bahasa
asing.

iv
BAB II
PEMBAHASAN
1. Derivasi
Derivasi adalah adalah proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru
(menghasilkan kata-kata yang berbeda dari paradigma yang berbeda). Pembentukan derivasi
bersifat tidak dapat diramalkan. Perubahan kata kerja mendengar menjadi mendengarkan atau
melihat menjadi perlihatkan adalah derivasi tanpa mengubah kelas kata.
Kata-kata itu masih berada dalam kelas kata kerja, tetapi identitas leksikalnya atau
maknanya sudah berubah. Disamping itu juga ada derivasi yang mengubah kelas pendengar
menjadi pendengaran, melihat menjadi penglihatan dan sebagainya.

a. Jenis-jenis Derivasi
Derivasi dapat dilihat dari berbagai jenis yaitu antara lain sebagai berikut :
a) Derivasi Internal
Derivasi internal adalah proses mengubah verba tanpa mengubah kelas
katanya, namun identitas leksikalnya berubah. Bentuk yang baru ini dapat mengalami
infleksi seperti bentuk asalnya.
Misalnya: Membuat – membuatkan
Melihat – memperlihatkan
Melompat – melompatkan, melompati
Menyerah – menyerahkan

b) Derivasi Adverbal
Derivasi Adverbal adalah proses perubahan kelas kata kerja menjadi kelas-
kelas kata lain yaitu kata benda, kata sifat, atau kata tugas sebagai berikut :
1. Nomina Deverbal
Pemindahan kelas kata kerja ke kata benda dapat dilakukan dengan
mempergunakan morfem-morfem terikat. Proses ini sangat produktif dalam
bahasa indonesia.
Contohnya : Menyanyi – penyanyi, nyanyian
Mendengar – pendengar, pendengaran, kedengaran
Berjalan – pejalan, perjalanan, jalanan
Menjual – penjual, jualan, penjualan
Membaca – pembaca, pembacaan, bacaan

2. Adjektif Deverbal
Dalam beberapa kasus dan beberapa kata kerja yang sebenarnya
merupakan derivasi dari kata sifat yang dapat ditransposisiskan lagi ke dalam kata
sifat. Dalam status kata sifat tersebut dapat diperluas dengan unsur-unsur yang
biasa dikenakan pada kata sifat.
Contohnya:
Ia menyenangkan kami dengan sebuah atraksi. Setiap proses morfologis, sebuah
afiks akan termasuk infleksi kalau di dalam suatu paradigma dapat diramalkan
untuk menggantikan afiks infleksi lainnya. Dengan demikian, juga terdapat
keteraturan makna gramatikal di dalam paradigma infleksi. Ciri ciri yang

v
demikian tidak terdapat pada paradigma yang derivasi. Contohnya, paradigma dari
dasar “AMBIL”

NO A B C

AMBILI AMBIL AMBILKAN


1 Mengambili Mengambil Mengambilkan
2 Diambili Diambil Diambilkan
3 Kuambili Kuambil Kuambilkan I
4 Kauambil Kauambil Kauambilkan
5 Diambili Diaambil Diaambilkan
6 Terambili (?) Terambil -
7 Pengambil
8 Pengambilan II
9 Ambilan

Paradigma (morfologis) I termasuk paradigma verba yang dibentuk darar


dasar ambil, sedangkan paradigma II adalah paradigma deverbal. Paradigma verba
terbagi atas tiga kolom, yaitu: kolom AMBIL, kolom AMBILI, dan kolom
AMBILKAN. Masing-masing kolom merupakan paradigma infleksi dan masing
masing mempunyai bentuk kata baris 1-6 (kecuali kolom AMBILKAN 6 dan
kolom –AMBILI (6 yang dipertanyakan). Untuk memudahkan pembicaraan
paradigma verba kolom AMBIL disebut B, kolom AMBILI disebut A, dan kolom
AMBILKAN disebut C.
Pada masing-masing kolom (A,B, dan C) dapat dikatakan bahwa bentuk
dengan me(N)- (sebagai bentuk pertama, baris pertama) dapat digantikan
dengan di, ku, kau, dia.Oleh karena itu, masing-masing kolom merupakan
paradigma infleksional. Kolom  (B) dari leksem AMBIL, kolom (A) dari leksem
AMBILI, kolom (C) dari leksem AMBILKAN. Pembentukan kata dari masing-
masing bentuk pada setiap kolom dapat diramalkan berdasarkan kaidah gramatis
tertentu. Bentuk baris 1 terdapat apabila kalimat berfokus agentif yang ditandai
oleh prefiks me(N)-, sedangkan baris 2-6 berfokus pasientif. Perbedaan antara
baris 2-6 menyatakan ‘keaksidentalan’ (ketidaksengajaan); baris 2-5 menyatakan
‘kesengajaan’. Baris 6 berbeda dengan baris 3 5 karena menyatakan agen (pelaku)
tampak dalam bentuk’, sedangkan baris 2 menyatakan agen (pelaku) ‘tidak
tampak dalam bentuk’; baris 3 agen adalah pronomina orang pertama (O1), baris 4
adalah pronima orang kedua (O2), dan baris 5 adalah pronomina orang ketiga
(O3).

2 . Kedwibahasaan
vi
Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat tentang kedwibahasaan oleh para
pakar. Dalam Chaer dan Agustina (2004:165-168) para pakar menjelaskan tentang
kedwibahasaan yang didefinisikan sebagai berikut :
 Robert Lado
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir
sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa,
bagaimana tingkatnya oleh seseorang.
 Francis William Mackey
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan
kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang.
Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari
segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam
empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
 Hartman dan Strok
Kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat
ujaran
 Leonard Bloomfield
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama
baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang
sama baiknya atas dua bahasa. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketetapan
yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.
 Haugen
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara umum maka pengertian
kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif
maupun reseptif oleh seorang individu atau masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan
dengan tahu dua bahasa, cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding
without speaking.

a. Pembagian kedwibahasaan
Menurut Chaer dan agustina (20014:170) ada beberapa jenis pembagian kedwibahasaan
berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu sebagai berikut :
1. Kedwibahasaan Majemuk
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa
lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini
didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua
bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.

2. Kedwibahasaan Koordinatif/Sejajar
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik
oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1
dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.

3. Kedwibahasaan Subordinatif (Kompleks)

vii
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1
sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan
situasi yang dihadapi B1, adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh
masyarakat suatu bahasa yang besar sehingga masyarakat yang kecil ini dimungkinkan
dapat kehilangan B1nya.

b. Diglosia dalam kedwibahasaan


Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana, selain dari dialek-dialek
utama satu bahasa (yang memungkinkan mencangkup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa
baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat terkondisikan dan lebih tinggi,
sebagai wacana dalam keseluruhan kesusastraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada
kurun waktu terdahulu maupun masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari lewat
pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan tujuan tertulis dan ujaran resmi,
tetapi tidak di pakai oleh bagian masyarakat apapun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa
(Hudson, 1980).
Diglosia adalah hadirnya dua bahasa baku dalam satu bahasa, bahasa tinggi dipakai dalam
suasana-suasana resmi dan dalam wacana-wacana tertulis, dan bahasa rendah dipakai untuk
percakapan sehari-hari (Hartmann & Stork 1972). Diaglosia adalah persolan antara dua dialek
dari satu bangsa, bukan antara dua bahasa. Kedua ragam bahasa ini pada umumnya adalah
bahasa baku (standard language) dan dialek daerah regional daerah (regional dialect)
(Agustina, 2008:5).
1) Paraeter Diglosia Pada Kedwibahasaan
Meckey (1956) mengemukakan bahwa pengukuran kedwibahasaan dapat dilakukan
melalui beberapa aspek, yaitu sebagai berikut.
a) Aspek Tingkat
Dapat dilakukan dengan mengamati kemampuan memakai unsur –unsur
bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, serta ragam bahasa.
b) Aspek Fungsi
Dapat dilakukan melalui kemampuan pemakaian dua bahasa yang dimiliki
sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Ada dua faktor yang harus
diperhatikan dalam pengukuran kedwibahasaan yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal adalah faktor yang menyangkut pemakaian bahasa
secara internal, sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar bahasa. Hal ini
antara lain menyangkut masalah kontak bahasa yang berkaitan dengan lamanya
waktu kontak seringnya mengadakan kontak bahasa si penutur dapat ditentukan
oleh lamanya waktu kontak, seringnya kontak dan penekanannya terhadap
bidang-bidang tertentu seperti bidang ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain.
c) Aspek Pergantian
Aspek pergantian yaitu pengukuran terhadap seberapa jauh pemakai bahasa
mampu berganti dari satu bahasa kebahasa yang lain. Kemampuan berganti dari
satu bahasa kebahasa yang lain. Kemampuan berganti dari satu bahasa ke bahasa
yang lain ini tergantung pada tingkat kelancaran pemakaian masing-masing
bahasa.

viii
d) Aspek Interferensi
Aspek interferensi yaitu pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang
disebabkan oleh terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa
pertama terhadap kegiatan berbahasa.

2) Konsep dan Kategori Pemilihan Bahasa


Masyarakat dwibahasa (bilingual) yang berbicara menggunakan dua bahasa
harus memilih bahasa yang digunakan dalam bertutur. Kita membayangkan
seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang
akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa jawa dan bahasa
indonesia harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara
kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi. Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga
kategori pemilihan.
Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama. Apabila seorang
penutur bahasa jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa jawa
krama, misalnya, maka ia telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama ini.
Kedua, dengan melakukan alih kode, artinya menggunakan satu bahasa pada
satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu
perisiwa komunikasi. Dengan kata lain, konsep alih kode terjai saat di mana kita
beralih dari ragam santai ke ragam formal.
Ketiga, dengan melakukan campur kode, artinya menggunakan satu bahasa
tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain. Di indonesia, campur
kode sering sekali digunakan saat orang berbincang-bincang yang dicampur ialah
bahasa indonesia dan bahasa daerah.

3. Alih kode & Campur Kode


a. Alih Kode
1) Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki(urutan)
kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa
Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti
varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian
kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian
ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya
santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa
lawak). Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari
bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian,
ragam, gaya, dan register.

2) Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode
yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan
bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa
(languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat
multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa.
Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi
masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel
memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena

ix
perubahan situasi.
Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu :
1. Alih Kode Ekstern. Bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke
bahasa Inggris atau sebaliknya dan
2. Alih Kode Intern. Bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa
ngoko merubah ke krama.

Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:


1. Penutur
Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur
karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak
resmi atau sebaliknya.
2. Mitra Tutur
Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur
biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar
belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3. Hadirnya Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga,
biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang
kebahasaan mereka berbeda.
4. Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam
menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal
biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan
pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa
takbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5. Untuk membangkitkan rasa humor
Biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional
tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak
adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.

B. Campur Kode
Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain
untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Yang termasuk di dalamnya
adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dsb. Campur kode adalah proses yang
sama yang digunakan untuk membuat bahasa pidgin, tetapi perbedaannya adalah
bahasa pidgin diciptakan di dalam kelompok-kelompok yang tidak menggunakan satu
bahasa yang sama, sedangkan campur kode terjadi ketika penutur multilingual
menggunakan satu bahasa yang sama atau lebih.
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Campur Kode ke Dalam (Innercode-Mixing) adalah campur kode yang bersumber
dari bahasa asli dengan segala variasinya
2. Campur Kode ke Luar (Outer Code-Mixing) adalah campur kode yang berasal dari
bahasa asing.
Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Sikap (Attitudinal Type) yaitu latar belakang sikap penutur

x
2. Kebahasaan (Linguistik Type) yaitu latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada
alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau
menafsirkan.

Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara
peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode :
1. Penyisipan Kata,
2. Menyisipan Frasa,
3. Penyisipan Klausa,
4. Penyisipan Ungkapan atau Idiom, dan
5. Penyisipan Bentuk Baster (gabungan pembentukan asli dan asing).

C. Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode


Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi
dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun
terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing
bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan
sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah
sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi,
sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah
berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur
bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh
penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa,
sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu
peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain
disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa
yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid
phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya
sendiri disebut sebagai campur kode.

BAB III

xi
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari yang telah teruraikan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa derivasi adalah
proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan kata-kata yang
berbeda dari paradigma yang berbeda), Pembentukan derivasi bersifat tidak dapat
diramalkan. Perubahan kata kerja mendengar menjadi mendengarkan atau melihat
menjadi perlihatkan adalah derivasi tanpa mengubah kelas kata.
Ahli kode adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya
penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa jawa dan campur
kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan
mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya
Kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa, B1 (bahasa daerah) dan
B2 (bahasa nasional) atau B1 (bahasa nasional) dan B2 (bahasa asing) dalam berinteraksi
dengan orang lain. Kemampuan itu dimiliki baik secara aktif-produktif maupun secara
reseptif apa yang dituturkan orang lain. Pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi
kedwibahasaan terdiri dari kedwibahasaan majemuk, koordinatif/sejajar dan
subordinatif/kompleks. Tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi
pemilihan bahasa seseorang. Hal ini membuktikan bahwa karakteristik penutur dan
lawan tutur merupakan faktor yang paling menentukan dalam pemilihan bahasa dalam
suatu masyarakat.

B. Saran
Bedasarkan dari hasil penelitian dan kesimpulan tersebut maka dikemukakan saran
sebagai berikut:
a. Bahasa yang telah ada pada masyarakat telah menjadi kebudayaan, kita sebagai
generasi bangsa yang menjujung tinggi nila-nilai budaya sudah seharusnya menjaga
bahasa Indonesia dan bahasa daerah itu sendiri, agar tetap dilestarikan
b. Perolehan bahasa kedua (bahasa Indonesia) merupakan sebuah kebutuhan bagi anak
ketika sedang mengikuti pendidikandilembaga formal. Sekolah merupakan rumah
kedua bagi anak-anak dan mempunyai peranan penting dalam memberikan tuturan
bahasa sebagai contoh bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia.
c. Disarankan kepada mahasiswa, pendidik atau pemerolehan dn perkembangan bahasa
untuk melakukan penilitian serupa dengan waktu dan subjek atau populasi penelitian
yang bagus.

xii
DAFTAR PUSTAKA

Setya Rahimah, 2013. Kontruksi Morfologis


http://morfologi5.blogspot.co.id/2013/09/pengertian-konstruksi-morfologis.html

Akhadiah,Sabarti dkk.2001.Teori Belajar Bahasa. Jakarta : Uversitas Terbuka.

HP, Achmad-Abdullah Alek.2012.Linguistik Umum.Jakarta.

https://id.wikipedia.org/wiki/Derivasi#cite_note-2

Arerareina, 2011. Kedwibahasaan :


https://arerariena.wordpress.com/2011/02/02/kedwibahasaan/

xiii

Anda mungkin juga menyukai