Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................. ii
BAB II ISI................................................................................................. 3
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 18
3.2 Saran.................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah yang dihadapi oleh pendengar adalah bahwa dia harus dapat meramu
bunyi-bunyi yang dia dengar itu sedemikian rupa sehingga bunyi-bunyi itu
membentuk kata yang tidak hanya bermakna tetapi juga cocok dalam kontek
diamana kata-kata itu dipakai. Bagi penutur asli, atau penutur yang sudah fasih
berbahasa tersebut, proses seperti ini tidak terasakan dan datang begitu saja secara
naluri. Akan tetapi, bagi penutur asing proses ini sangat rumit.
Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai persepsi terhadap ujaran bagaimana
persepsi suatu ujaran, asumsi pada persepsi ujaran, masalah-masalah dalam
mempersepsi ujaran, mekanisme ujran, beberapa model persepsi ujaran, persepsi
ujaran dalam konteks, produksi ujaran, dan proses produksi ujaran.
2
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud persepsi terhadap ujaran ?
2. Bagaimana proses mempersepsikan ujaran ?
3. Apa saja asumsi dari Persepsi ujaran ?
4. Apa masalah yang terjadi dalam mempersepsikan ujaran ?
5. Bagaimana mekanisme suatu ujaran ?
6. Apa saja model persepsi ujaran ?
7. Bagaimana persepsi ujaran dalam konteks ?
8. Apa yang dimaksud dengan produksi ujaran?
9. Bagaimana proses produksi ujaran?
3
BAB II
ISI
Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia
karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas
waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Perhatikan tiga ujaran
berikut : (a) Bukan angka, (b) Buka nangka, (c) Bukan nangka. Meskipun ketiga
ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam pengucapannya ketiga
bentuk ujaran ini bisa sama
Disamping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali
bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan
dimana bunyi itu berada. Bunyi (b) pada kata buru, misalnya tidak persis sama
dengan bunyi (b) pada kata biru. Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh
bunyi /u/ yang mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran
bibir dalam pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan
diucapkan dengan bibir yang melebar pada kata biru karena bunyi /i/ merupakan
bunyi vokal depan dengan bibir melebar.
4
Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya
dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap
tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clark &
Clark, 1977 dalam Irham (2019 : 3-4)).
1. Tahap auditori
Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong. Ujaran ini
kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Bunyi-bunyi dalam ujaran ini kita
simpan dalam memori auditori kita.
2. Tahap fenotik
Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam proses mental kita, kita lihat,
misalnya, apakah bunyi tersebut [+consonantal], [+vois], [+nasal], dst. Bunyi-
bunyi itu kemudian diidentifikasi di dalam mental dan pikiran untuk diolah dan
dipahami lebih lanjut, begitu pula dengan lingkungan sekitarnya, yakni mengenai
kondisi di sekitar, berada dalam situasi emosi atau dalam situasi tenang, dalam
keadaan ramai atau sepi, dan seberapa besar tingkat keamanan untuk dirinya
sendiri mengenai persepsi yang ingin diungkapkannya. Semua kondisi di
lingkungan sekitarnya tersebut yang akan memberikan petunjuk bagaimana cara ia
memberi respon atau bagaimana ia membuat persepsi, persepsi yang sudah mulai
matang tersebut difikirkan secara terus menerus untuk membuat olahan kata
sebagai kalimat untuk memberi respon terhadap ujaran awal yang diungkapkan
kepadanya.
3. Tahap Fonologis
Pada tahap ini, mental seorang manusia telah menerapkan aturan pada deretan
bunyi yang terdengar untuk menentukan apakah bunyi bunyi tadi sudah mengikuti
aturan yang ada pada bahasa individu tersebut, jika menurutnya sudah mengikuti
aturan dan sesuai dengan apa yang ia inginkan, maka ia akan sependapat dengan
ujaran tersebut dan tidak akan memberikan perlawanan atau sanggahan dalam
bentuk apapun.
5
Namun jika menurutnya bunyi yang ia dengar dan telah diolah dalam dua tahap
sebelumnya memiliki arti sebuah ujaran yang tidak benar atau menurutnya kurang
tepat, maka ia akan memberikan persepsi berupa sanggahan atau ujaran yang lain
yang sesuai dengan apa yang difikirkannya sehingga persepsi yang timbul
tergantung dari apa yang disampaikan penutur dan apa yang ada dalam hati
pendengar.
Secara garis besar dalam mempersepsi ujaran terdapat dua proses, yaitu proses
konstruksi (construction process) dan proses pemanfaatan (utilization process).
Proses konstruksi merupakan proses dalam diri pendengar dalam menafsiri
rangkaian ujaran pembicara, sedangkan proses pemanfaatan merupakan proses
dalam diri pendengar dalam menggunakan tafsiran-tafsiran ujaran untuk tujuan-
tujuan tertentu. Dengan kata lain, proses konstruksi merupakan proses
membangun makna, sedangkan proses pemanfaatan merupakan proses
memanfaatkan makna.
6
memorinya rendah. Daya tangkap dan kapasitas memori antarpendengar tentu saja
bervariasi. Ada pendengar yang daya tangkapnya di atas rata-rata, tetapi kapasitas
memorinya di bawah rata-rata. Ada yang kebalikannya. Ada pendengar yang daya
tangkap dan kapasitas memorinya di atas rata-rata. Ada juga yang kebalikannya.
7
Apa asumsi pendengar ketika mempersepsi ujaran? Menurut Aitchison (1984),
asumsi pendengar dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori, sebagaimana
tampak pada uraian berikut.
1. Asumsi 1: tiap kalimat terdiri atas satu atau dua penggalan bunyi (dalam
bentuk kata atau frase) yang tiap penggalan secara normal berupa frase
nominal yang diikuti oleh frase verbal dan secara manasuka diikuti oleh frase
nominal yang lain.
Contoh:
Penggembala itu sedang makan.
frase nominal frase verbal
Contoh:
Pedagang tua itu menawarkan barang dagangannya.
Pelaku tindakan objek
3. Asumsi 3: bila kalimat kompleks terdiri atas klausa utama dan klausa bawahan,
klausa utama biasanya muncul lebih dulu.
Contoh:
Orang-orang masih tidur ketika longsor terjadi.
klausa utama klausa bawahan
Contoh:
8
Sesuai dengan peribahasa there is no free lunch (tidak ada makan siang gratis),
orang yang menyuap biasanya meminta yang lebih besar.
Dalam bahasa Inggris orang rata-ratanya mengeluarkan 125-180 kata tiap detik.
Jumlah ini tentunya didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar kata dalam
bahasa ini besuku satu: book, go, eat, com, dsb. Untuk bahasa Indonesia belum
ada orang yang telah menelitinya,tetapi karena kata-kata dalam bahasa Indonesia
pada umumnya bersuku kata dua atau lebih (makan, tidur, membawa,
menyelesaikan) maka jumlah kata per menit yang diujarkan pastila lebih kecil,
mungkin sekitar 80-110 kata.
Bunyi dalam bahasa mana pun sifatnya sama, maka dapat diduga bahwa orang
Indonesia mengeluarkan jumlah bunyi antara 25-30 bunyi tiap detiknya. Dengan
demikian, tiap kali kita berbicara satu menit kita telah akan mengeluarkan antara
1500-1800 bunyi. Suara seorang wanita, seorang pria, dan seorang anak juga
berbeda-beda. Getar pita suara wanita berkisar antara 200-300 per detik,
sedangkan untuk pria hanya sekitar 100. Karena itu, suara seorang pria
kedengaran lebih “berat”. Suara anak lebih tinggi dari suara wanita karena getaran
pita suaranya bisa mencapai 400 per detik. Perbedaan-perbedaan itu tentu saja
memunculkan bunyi yang berbeda-beda. Meskipun kata yang diucapkan itu sama.
Kata tidur yang diucapkan oleh seorang wanita, pria, dan anak tidak akan
berbunyi sama.
Sumber dari bunyi adalah paru-paru. Paru-paru kita berkembang dan berkempis
untuk menyedot dan mengeluarkan udara. Melalui saluran di tenggorokan, udara
ini keluar melalui mulut atau hidung. Dalam perjalanan melewati mulut atau
hidung ini ada kalanya udara itu dibendung oleh salah satu bagian dari mulut kita
sebelum kemudian dilepaskan. Hasil bendunga udara inilah yang menghasilkan
9
bunyi. Semua bunyi yang dibuat dengan udara melalui hidung disebut bunyi
nasal. Sementara itu, semua bunyi yang udaranya keluar melewati mulut
dinamakan bunyi oral. Pada mulut terdapat dua bagian: bagian atas dan bagian
bawah mulut. Bagian atas mulut umumnya tidak bergerak sedangkan bagian
bawah mulut bisa digerakkan. Bagian-bagian ini adalah sebagai berikut:
1) Bibir: bibir atas dan bibir bawah. Kedua bibir ini dapat dirapatkan untuk
membentuk bunyi yang dinamakan bilabial yang artinya dua bibir bertemu.
Bunyi seperti (p), (b) dan (m) adalah bunyi bilabial.
2) Gigi: untuk ujaran hanya gigi ataslah yang mempunyai peran. Gigi ini dapat
berlekatan dengan bibir bawah untuk membentuk bunyi yang dinamakan
labiodental. Contohnya bunyinya adalah (f) dan (v). Gigi juga bisa berlekatan
dengan ujung lidah untuk membentuk bunyi dental seperti bunyi (t) dan (d)
dalam bahasa Indonesia.
3) Alveolar: daerah ini berada dibelakang pangkal gigi atas. Ujung lidah dapat
ditempelkan pada alveolar yang menghasilkan bunyi (t) dan (d) dalam bahasa
Inggris.
4) Palatal keras: daerah ini ada di rongga atas mulut, persis diblakang daerah
alveolar. Pada daerah ini dapat ditempelkan bagian depan lidah untuk
membentuk bunyi yang dinamakan alveopalatal seperti bunyi (c) dan (j).
5) Palatal lunak: daerah ini ada dibelakang rongga mulut atas. Pada daerah itu
dapat dilekatkan bagian belakang lidah untuk membentuk bunyi yang
dianmakan velar seperti bunyi (k) dan (g).
6) Uvula: pada ujung rahang atas terdapat tulang lunak yang dinamakan uvula.
Uvula dapat digerakkan untuk menutup saluran ke hidung atau membukanya.
Bila uvula tidak berlekatan dengan bagian atas laring maka buni udara keluar
melalui hidung. Bunyi inilah yang dinamakan bunyi nasal. Bila uvula
berlekatan dengan dinding laring maka udara disalurkan melalui mulut dan
menghasilkan bunyi oral.
7) Lidah: lidah adalah bagian mulut yang fleksibel: ia dapat digerakkan dengan
lentur . lidah memiliki bagian-bagian, yaitu ujung lidah, mata lidah, depan
lidah, dan belakang lidah. Bagian-bagian ini dapat digerak-gerakkan dengan
10
cara dimajukan, dimundurkan, dikeataskan, dan dikebawahkan untuk
membentuk bunyi-bunyi tertentu.
8) Pita suara: pita suara adalah sepasang selaput yang berada di jakun. Status
selaput suara ini ikut menentukan perbedaan antara satu konsonan dengan
konsonan yang lain.
9) Faring: saluran udara menuju ke rongga mulut atau rongga hidung.
10) Rongga hidung: rongga untuk bunyi-bunyi nasal seperti /m/ dan /n/.
11) Rongga mulut: untuk bunyi-bunyi oral seperti /p/, /b/, /a/, dan /i/.
Model yang diajukan oleh Liberman dkk ini, yang dalam bahasa Inggris disebut
sebagai Motor Theory of Speech Perception, menyatakan bahwa manusia
mempersepsi bunyi dengan mema kai acuan seperti pada saat dia memproduksi
bunyi itu (Liberman dkk 1967 dalam Gleason dan Ratner, 1998). Seperti
dinyatakan sebelumnya, bagaimana suatu bunyi diucapkan dipe ngaruhi oleh
bunyi-bunyi lain di sekitarnya. Namun demikian, bunyi itu akan tetap merupakan
fonein yang sama, meskipun wujud fonetiknya berbeda. Persamaan ini disebabkan
oleh arti kulasinya yang sama pada waktu mengucapkan bunyi tersebut. Jadi,
meskipun bunyi /b/ pada kata /buka/ dan /bisa/ tidak persis sama dalam
pengucapannya, kedua bunyi ini tetap saja dibuat dengan titik dan cara artikulasi
yang sama. Dengan demikian, seorang penutur akan menganggap kedua bunyi ini
sebagai dua alofon cari satu fonein yang sama, yakni, fonem /bi. Dengan kata lain,
meskipun kedua bunyi itu secara fonetik berbeda, kedua bunyi ini akan dipersepsi
sebagai satu bunyi yang sama.
11
Penentuan suatu bunyi itu bunyi apa didasarkan pada persepsi si pendengar yang
seolah-olah membayangkan bagaimana bunyi itu dibuat, seandainya dia sendiri
yang mengujarkannya.
Manusia bervariasi dalam ujaran mereka, tergantung pada berbagai faktor seperti
keadaan kesehatan, keadaan sesaat (gembira atau sedih), dan keadaan alat ujuran
(sedang merokok atau tidak). Dengan demikian, kalau kita hanya
menggantungkan pada fitur akustiknya saja, maka sebuah kata bisa saja memiliki
banyak bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, diajukanlah suatu model yang
dinamakan Model Analisis dengan Sintesis (Analysis-by-Synthesis).
Dalam model ini dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi yang
dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya (Stevens
1960, dan Stevens dan Halle 1967, dalam Gleason dan Ratner 1998). Waktu dia
mendengar suatu deretan bunyi, dia mula-mula mengadakan analisis terhadap
bunyi-bunyi itu dari segi fitur distingtif yang ada pada masing-masing bunyi itu.
Hasil dari analisis ini dipakai untuk memunculkan atau mensintesiskan suatu
ujaran yang kemudian dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila
antara ujaran yang dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka
terbentuklah persepsi yang benar. Bila tidak, maka dicarilah lebih lanjut ujaran-
ujaran lain untuk akhirnya ditemukan ujaran yang cocok.
Sebagai contoh, bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan bunyi /pola/
maka mula-mula dianalisislah ujaran itu dari segi fitur distingtifnya – dimulai
dengan /p/ yang berfitur [+konsonantal], [-kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini
berlanjut untuk bunyi /o/, dan seterusnya. Setelah semuanya selesai,
disintesiskanlah ujaran itu untuk memunculkan bentuk-bentuk yang mirip dengan
bentuk itu seperti kata /mula/, kemudian /pula/, lalu /kola/, /bola/ … sampai
12
akhirnya ditemukan deretan yang persis sama, yakni, /pola/. Baru pada saat itulah
deretan tadi telah dipersepsi dengan benar.
Menurut model ini (Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri dari tiga proses :
evaluasi fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk
prototipe, yakni, bentuk yang memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu
kata, termasuk fitur-fitur distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk
dievaluasi, diintegrasi, dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari prototipe
yang ada pada memori kita. Setelah dicocokkan lalu diambil kesimpulan apakah
masukan tadi cocok dengan yang terdapat pada prototipe.
Sebagai contoh, bila kita mendengar suku yang berbunyi /ba/ maka kita
mengaitkannya dengan suku kata ideal untuk suku ini, yakni, semua fitur yang ada
pada konsonan /b/ maupun pada vokal /a/. Evaluasi fitur menilai derajat kesamaan
masing-masing fitur dari suku yang kita dengar dengan masing-masing fitur dari
prototipe kita. Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan kemudian diambil kesimpulan
bahwa suku kata /ba/ yang kita dengar itu sama (atau tidak sama) dengan suku
kata dari prototipe kita. Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi,
sukukata, atau kata yang kita dengar tidak mungkin persis 100% sama dengan
prototipe kita.
Orang yang sedang mengunyah sesuatu sambil mengatakan /ba(rah)/ pasti tidak
akan menghasilkan /ba/ yang sama yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang
mengunyah apa-apa. Begitu pula orang yang sedang kena flu pasti akan
menambahkan bunyi sengau pada suku ini; akan tetapi, suku kata /ba/ yang
dengan bunyi sengau ini akan tetap saja kita anggap sama denga prototipe kita.
4. Cohort Model
Model untuk mengenal kata ini (Marslen-Wilson dan Welsh, 1978 dan Marslen-
Wilson, 1987 dalam Gleason dan Ratner, 1998; lihat juga Dominic W. Massaro
1994) terdiri dari dua tahap. Pertama, tahap di mana informasi mengenai fonetik
dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar itu memicu ingatan kita untuk
13
memunculkan kata-kata lain yang mirip. dengan kata tadi. Bila kita mendengar
kata /prihatin/ maka semua kata yang mulai dengan /p/ akan teraktifkan: pahala.
pujaan, priyayi prakata, dsb. Kata-kata yang termunculkan inilah yang disebut
sebagai cohort. Pada tahap kedua, terjadilah. proses eliminasi secara bertahap.
Waktu kita kemudian mendengar bunyi /r/ maka kata pahala dan pujaan akan
tersingkirkan karena bunyi kedua pada kedua kata ini bukanlah // seperti pada kata
targetnya. Kata priyayi dan prakata masih menjadi calon kuat karena kedua kata
ini memiliki bunyi fr setelah /p/. Pada proses berikutnya. hanya priyayi yang
masih bertahan karena kata prakata memiliki bunyi /a/, bukan //, pada urutan
ketiganya. Akan tetapi, pada proses selanjutnya kata priyayi juga tersingkirkan
karena pada kata targetnya bunyi yang ke-empat adalah /h/ sedangkan pada
priyayi adalah fyl. Dengan demikian maka akhirnya hanya ada satu kata yang
persis cocok dengan masukan yang diterima oleh pendengar. yakni, kata prihatin.
5. TRACE Model
Model ini mula-mulanya adalah model untuk mempersepsi huruf tetapi kemudian
dikembangkan untuk mempersepsi bunyi. Model TRACE berdasarkan pada
pandangan yang koneksionis dan mengikuti proses top-down. Artinya konteks
leksikal dapat membantu secara langsung pemrosesan secara perseptual dan
secara akustik. Begitu pula informasi di tataran kata dapat juga mempengaruhi
pemprosesan pada tataran di bawahnya.
Proses ini terdiri dari tiga tahap: tahap fitur, tahap fonem, dan tahap kata. Pada
masing-masing tahap ada node-node yang mewakili fitur distingtif, fonem, dan
kata. Masing-masing node mempunyai tingkat yang dinamakan resting, threshold,
dan activation. Bila kita mendengar suatu bunyi,maka bunyi ini akan
mengaktifkan fitur-fitur distingtif tertentu dan ‘’mengistirahtkan’’ fitur-fitur
distingtif lain yang tidak relevan. Jadi, seandainya kita mendengar bunyi /ba/,
maka bunyi /b/ akan mengaktifkan fitur-fitur distingtif [+konsonantal],
[+anterior], [+vois] dan beberapa fitur yang lain, tetapi fitur-fitur seperti
[+vokalik], [+nasal], dan [+koronal] akan ‘’diistirahatkan.’’ Dengan kata lain,
fitur-fitur yang relevan itu tadi muncul pada tingkat threshold.
14
Node-node ini saling berkaitan sehingga munculnya fitur-fitur tertentu pada
tingkat threshold bisa pula memunculkan node-node yang lain. Karena perbedaan
antara /b/ dan /p/ hanyalah pada soal vois maka waktu /b/ muncul, /p/ bisa pula
ikut muncul untuk dikontraskan – meskipun kemudian disingkirkan. Begitu pula
ada jaringan interkoneksi antara satu tingkat dengan tingkat yang lain. Munculnya
/k/ dan /o/ utuk kata Inggris coat bisa memunculkan kata code, boat, dan road
pada tataran kata. Melalui proses eliminasi pada masing-masing tahap akhirnya
ditemukan kata yang memang kita dengar Dardjowidjojo (2003: 56) .
Namun demikian, sebagai pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa
kedua bunyi /p/ yang secara fonetik berbeda merupakan satu bunyi yang secara
fonemik sama. Karena itulah maka betapa pun berbedanya lafal suatu bunyi,
pendengar akan tetap menganggapnya sama bila perbedaan itu merupakan aki bat
dari adanya bunyi lain yang mempengaruhinya. Dengan kata lain, alofon-alofon
suatu bunyi akan tetap dianggap sebagai satu fonem yang sama.
Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh
kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain
secara cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya. Akan tetapi, sebagai pendengar
15
kita tetap saja dapat memilah-milahnya dan akhirnya menentukannya. Penge
tahuan kita sebagai penutur bahasa membantu kita dalam proses persepsi.
Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah
pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi
yang terucap dengan tidak jelas dapat diterka dari wujud kalimat di mana bunyi
itu terdapat. Bila dalam mengucapkan kita terbatuk persis pada saat kita akan
mengucapkan kalimat Dia sedang sakit ngucapkan kata sakit, sehingga kata ini
kedengaran seperti /keakit/, pendengar kita akan dapat menerka bahwa kata yang
terbatukkan itu adalah sakit dari konteks di mana kata itu dipakai atau dari
perkiraan makna yang dimaksud oleh pembicara.
Dari gambaran ini dapatlah dikatakan bahwa pengaruh kon teks dalam persepsi
ujaran sangatlah besar. Dari sintaksisnya kita tahu bahwa urutan pronomina, kala
progresif, dan adjektiva adalah urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat pula
kecocokan antara ketiga kata ini. Dari konteksnya ketiga kata ini memberikan
makna yang layak.
Kegiatan produksi ujaran dapat dimaknai sebagai proses fisik dan psikologis
pembicara dalam menghasilkan ujaran untuk menyampaikan maksud. Proses fisik
tampak dari bekerjanya artikulator, titik artikulasi, dan organ lain, misalnya paru-
paru. Organ- organ fisik tersebut bekerja secara sinergis dalam menghasilkan
fonem-fonem. Fonem-fonem tersebut dikoordinasikan oleh proses mental
sehingga dari segi struktur tampak tertata secara sistematis dan bermakna.
Kalimat yang dikemukakan oleh pembicara, misalnya Saya senang sekali bisa
16
berjumpa dengan Bapak untuk membicarakan masalah akademik studi saya.,
tentu tidak meluncur begitu saja. Kalimat tersebut pada satu sisi merupakan hasil
proses fisik dan pada sisi lain merupakan hasil proses mental atau proses
psikologis.
Proses dalam memproduksi ujaran dapat dibagi menjadi empat tingkat: (1) tingkat
pesan (message), di mana pesan yang akan disampaikan diproses (2) tingkat
fungsional, di mana bentuk leksikal dipilih lalu diberi peran dan fungsi sintaktik,
(3) tingkat posisional, di mana konstituen dibentuk dan afiksasi dilakukan, dan (4)
tingkat fonologi, di mana struktur fonologi ujaran itu diwujudkan. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan contoh berikut :
Pada tingkat fungsional, yang diproses ada dua hal. Pertama, memilih bentuk
leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan dan informasi
gramatikal untuk masing-masing bentuk leksikal tersebut. Misalnya, dari sekian
orang dan wanita yang dia kenal, wanita yang dimaksud adalah Tutiek, dan kata ni
adalah nama orang perempuan; perbuatan yang dilakukan diwakili oleh verba
dasar suap; antara dua argumen Tutiek dan anaknya, Tutiek adalah pelaku
perbuatan sedangkan anaknya adalah resipiennya. Proses kedua pada tingkat
17
fungsional adalah memberikan fungsi pada kata-kata yang telah dipilih ini. Proses
di sini menyangkut hubungan sintaktik atau fungsi gramatikal. Pada contoh di
atas, kata Tutiek harus dikaitkan dengan fungsi subjek sedangkan anaknya pada
objek.
Pada tingkat pemrosesan posisional, diurutkan bentuk leksikal untuk ujaran yang
akan dikeluarkan. Pengurutan ini bukan berdasarkan pada jejeran yang linear
tetapi pada kesatuan makna yang hierarkhis. Pada contoh di atas kata sedang
bertaut dengan menyuapi, bukan dengan Tutiek. Begitu juga -nya bertaut de ngan
anak, dan bukan pada Tutiek atau menyuapi.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami ambil dari makalah yang telah kami uraikan
adalah sebagai berikut:
1. Persepsi ujaran adalah peristiwa ketika telinga menangkap sebuah bunyi
yang dapat berupa bunyi lepas, kata, atau kalimat (Su’udi, dalam Irham
(2019 : 2) ). Dalam persepsi terhadap ujaran dilakukan melalui tahap-tahap
tertentu, diantaranya: tahap auditori, tahap fonetik, tahap fonologis.
2. Secara garis besar dalam mempersepsi ujaran terdapat dua proses, yaitu proses
konstruksi (construction process) dan proses pemanfaatan (utilization process).
3. Dalam mempersepsi ujaran, pendengar sebenarnya sudah mempunyai
anggapan dasar atau asumsi bahwa kalimat-kalimat dalam ujaran pembicara
mempunyai pola atau struktur tertentu. Asumsi pendengar tersebut terbagi
menjadi empat.
4. Mengenai masalah dalam mempersepsi ujaran telah didapati tiap kali kita
berbicara, satu menit kita telah akan mengeluarkan antara 1500-1800 bunyi.
5. Dalam mekanisme ujaran terdapat bagian-bagian yang mendukung: bibir, gigi,
alveolar, palatal karas (hard palate), palatal lunak (soft palate), uluva, lidah,
pita suara, faring, rongga hidung, rongga mulut.
19
6. Dalam rangka memahami ujaran terdapat beberapa model persepsi ujaran,
antara lain: model teori motor untuk persepsi ujaran, analisis dengan sintesis,
fuzzy logical model, model cohort, dan model trace.
7. Dalam persepsi dalam konteks, bunyi di ujarkan secara berurutan dengan bunyi
yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi.
8. Produksi ujaran merupakan proses fisik dan psikologis pembicara dalam
menghasilkan ujaran untuk menyampaikan maksud. Proses fisik tampak dari
bekerjanya artikulator, titik artikulasi, dan organ lain, misalnya paru-paru.
9. Proses produksi ujaran meliputi (1) tingkat pesan (message), di mana pesan
yang akan disampaikan diproses (2) tingkat fungsional, di mana bentuk
leksikal dipilih lalu diberi peran dan fungsi sintaktik, (3) tingkat posisional, di
mana konstituen dibentuk dan afiksasi dilakukan, dan (4) tingkat fonologi, di
mana struktur fonologi ujaran itu diwujudkan.
3.2 Saran
Penulis menyarankan agar makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan
sebagai acuan atau pedoman dalam proses pembelajaran psikolonguistik yang
membahas tentang persepsi terdahap ujaran, proses mempersepsi ujaran, asumsi
pada persepsi ujaran, masalah dalam mempersepsi ujaran, mekanisme ujaran.
model-model untuk persepsi, persepsi ujaran dalam konteks, produksi ujaran, dan
proses produksi ujaran.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
22