Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS LAMPUNG
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kemudahan dan kesehatan kepada tim penulis, sehingga mampu menyelesaikan tugas
makalah untuk mata kuliah Psikolinguistik dengan judul “Persepsi Ujaran dan
Produksi Ujaran” dengan tepat waktu.
Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Iing Sunarti, M.Pd. dan Ayu
Setiyo Putri, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Psikolinguistik. Tim penulis
menyadari jika isi makalah ini jauh dari kata sempurna karena keterbatasan
pengetahuan tim penulis. Oleh sebab itu, tim penulis harapkan adanya umpan balik
berupa kritik dan saran yang membangun agar dikemudian hari tim penulis sanggup
membuat makalah lebih baik lagi.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca. Sekian dan terima kasih.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dengan latar belakang yang sudah tim penulis tuliskan di atas,
tim penulis dapat menuliskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.3 Tujuan
Berdasarkan dengan rumusan masalah yang sudah tim penulis tuliskan di atas, tim
penulis dapat menuliskan tujuan sebagai berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh
manusia, karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada
batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Ketika seseorang
berbicara atau bernyanyi, indera pendengaran kita mampu membedakan ciri bunyi
yang satu dengan yang lainnya. Indera pendengaran mampu menangkap dan
memahami rangkaian bunyi vokal dan konsonan yang membentuk sebuah tuturan,
cepat-lambat tuturan, dan nada tuturan yang dihasilkan oleh seorang penutur.
3
Berdasarkan uraian di atas, persepsi terhadap bunyi bahasa yang dihasilkan
oleh alat bicara dikelompokan menjadi dua, yakni:
1. Persepsi terhadap bunyi yang berupa satuan struktural, yaitu vokal dan
konsonan.
2. Persepsi terhadap bunyi yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan
nada.
Dalam linguistik, bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang kita dengar disebut
bunyi segmental. Bunyi bahasa yang berupa cepat-lambat, kelantangan, tekanan, dan
nada disebut bunyi suprasegmental atau prosodi. Perhatikan tiga ujaran berikut:
a) Bukan angka
b) Buka nangka
c) Bukan nangka
Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam
pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama [bukanahka].
Di samping itu, suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali
bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan di
mana bunyi itu berada. Bunyi [b] pada kata buru, misalnya, tidak persis sama dengan
bunyi [b] pada kata biru. Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang
mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir dalam
pembuatan bunyi ini. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan bibir
yang melebar pada kata biru karena bunyi /b/ merupakan bunyi vokal depan dengan
bibir melebar. Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi
bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui proses
tertentu.
4
2.2 Proses Mempersepsikan Ujaran
Menurut Clark & Clark dalam jurnal Irham (2019:3-5) pada dasarnya ada tiga
tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi, yaitu sebagai berikut.
a. Tahap Auditori
Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong demi sepotong.
Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya. Konsep-konsep
seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur distingtif, dan VOT (Voice Onset
Time: waktu antara lepasnya udara untuk pengucapan suatu konsonan dengan
getaran pita suara untuk bunyi vokal yang mengikutinya) sangat bermanfaat di
sini karena ihwal seperti inilah yang memisahkan satu bunyi dari bunyi yang
lain. Bunyi-bunyi dalam ujaran itu kita simpan dalam memori auditori kita,
b. Tahap Fonetik
Bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Dalam proses mental kita,
kita lihat, misalnya apakah bunyi tersebut [+konsonantal], [+vois], [+nasal],
dst. Begitu pula lingkungan bunyi itu apakah bunyi tadi diikuti oleh vokal
atau oleh konsonan. Kalau oleh vokal, vokal macam apa vokal depan, vokal
belakang, vokal tinggi, vokal rendah, dsb. Seandainya ajaran itu adalah Bukan
nangka, maka mental kita menganalisis bunyi /b/ terlebih dahulu dan
menentukan bunyi apa yang kita dengar itu dengan memperhatikan hal-hal
seperti titik artikulasi, cara artikulasi, dan fitur distingtifnya.
Kemudian VOTnya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan
menetukan kapan getaran pada pita suara itu terjadi. Segmen-segmen bunyi
ini kemudian kita simpan di memori fonetik. Perbedaan antara memori
auditori dengan memori fonetik adalah bahwa pada memori auditori semua
variasi alofonik yang ada pada bunyi itu kita simpan sedangkan pada memori
fonetik hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja. Misalnya, bila kita
mendengar bunyi [b] dari kata buntu maka yang kita simpan pada memori
5
auditori bukan fonem /b/ dan bukan hanya titik artikulasi, cara artikulasi, dan
fitur-fitur distingtifnya saja tetapi juga pengaruh bunyi /u/ yang mengikutinya.
Dengan demikian maka [b] ini sedikit banyak diikuti oleh bundaran bibir (lip-
rounding).
Pada memori fonetik, hal-hal seperti ini sudah tidak diperlukan lagi
karena begitu kita tangkap bunyi itu sebagai bunyi /b/ maka detailnya sudah
tidak signifikan lagi. Artinya, apakah /b/ itu diikuti oleh bundaran bibir atau
tidak, tetap saja bunyi itu adalah bunyi /b/. Analisis mental yang lain adalah
untuk melihat bagaimana bunyi-bunyi itu diurutkan karena urutan bunyi inilah
yang nantinya menentukan kata itu kata apa. Bunyi /a/, /k/, dan /n/ bisa
membentuk kata yang berbeda bila urutannya berbeda. Bila /k/ didengar
terlebih dahulu, kemudian /a/ dan /n/ maka akan terdengarlah bunyi /kan/; bila
/n/ yang lebih dahulu, maka terdengarlah bunyi /nak/.
c. Tahap Fonologis
Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan fonologis pada deretan
bunyi yang kita dengar untuk menetukan apakah bunyi-bunyi tadi sudah
mengikuti aturan fonotaktik yang pada bahasa kita. Untuk bahasa Inggris,
bunyi /h/ tidak mungkin memulai suatu suku kata. Karena itu, penutur bahasa
Inggris pasti tidak akan menggabungkannya dengan vokal.
Seandainya ada urutan bunyi ini dengan bunyi yang berikutnya, dia
pasti akan menempatkan bunyi ini dengan bunyi di mukanya, bukan di
belakangnya. Dengan demikian deretan bunyi /b/, /e/, /h/, /i/, dan /s/ pasti
akan dipersepsi sebagai beng dan is, tidak mungkin be dan ngis.
Orang Indonesia yang mendengar deretan bunyi /m/ dan /b/ tidak
mustahil akan mempersepsikannya sebagai /mb/ karena fonotaktik dalam
bahasa kita memungkinkan urutan seperti ini seperti pada kata mbak dan mbok
meskipun kedua-duanya pinjaman dari bahasa Jawa. Sebaliknya, penutur
bahasa Inggris pasti akan memisahkan kedua bunyi ini ke dalam dua suku
yang berbeda. Kombinasi bunyi yang tidak dimungkinkan oleh aturan
6
fonotaktik bahasa tersebut pastilah akan ditolak. Kombinasi /k/, /fp/, atau /pk/
tidak mungkin memulai suatu suku sehingga kalau terdapat deretan bunyi
/anaktuhgal/ tidak mungkin akan dipersepsi sebagai /ana/ dan /ktuhgal/ secara
mental dengan melalui proses yang sama. Kemudian bunyi /k/, dst. Sehingga
akhirnya semua bunyi dalam ujaran itu teranalisis. Yang akan membedakan
antara bukan nangka, bukan angka, dan buka nangka adalah jeda (juncture)
yang terdapat antara satu kata dengan kata lainnya.
Sumber dari bunyi itu adalah paru-paru. Paru-paru dalam tubuh berkembang
dan berkempis untuk menghisap udara dan mengeluarkan udara. Melalui saluran di
tenggorokan, udara ini keluar melalui mulut atau hidung. Dalam perjalanan melewati
mulut atau hidung ini, ada kalanya udara itu dibendung oleh salah satu bagian dari
mulut sebelum dilepaskan. Hasil bendungan udara inilah yang menghasilkan sebuah
bunyi (Dardjowidjojo, 2012 dalam Malthuf dan Didik 2014). Semua bunyi yang
dibuat atau dihasilkan dengan udara melalui hidung disebut bunyi nasal. Sementara,
semua bunyi yang dibuat atau dihasilkan dengan udara melalui mulut disebut bunyi
oral.
Dalam Fonologi bahasa Indonesia oleh Abdul Chaer, bagian-bagian alat ucap
atau alat yang terlibat dalam produksi bunyi yaitu: paru-paru (lung), batang tenggorok
(trachea), pangkal tenggorok (laring), pita suara (vocal cord), Bibir (labium) ada dua
bagian yaitu bibir atas dan bibir bawah. Kedua bagian bibir ini dapat dirapatkan untuk
membentuk bunyi yang dinamakan bilabial yang artinya dua bibir bertemu. Seperti
bunyi (p), (b) dan (m). Gigi (dentum) bagian ini dapat menghasilkan bunyi seperti
apiko dental yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menggunakan ujung lidah dan gigi
[t], lalu bunyi labiodental yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menggunakan bibir dan
gigi [f]. Lalu ada langit-langit mulut yang terbagi menjadi 2 yaitu langit-langit keras
yang dapat menghasilkan bunyi alveopalatal seperti bunyi (c) dan (j), kemudian
7
langit-langit lunak yang dapat menghasilkan bunyi velar seperti bunyi (k) dan (g).
Lalu ada alat lidah (tongue), rongga mulut (oral cavity), rongga hidung (nasal cavity).
Alat ucap juga udara berperan amat penting dalam mekanisme atau proses ujaran.
3. Cohort Model
Model untuk mengenal kata ini terdiri dari dua tahap. Pertama, tahap di mana
informasi mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar itu
memicu ingatan kita untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip. dengan kata tadi.
Bila kita mendengar kata/prihatin/maka semua kata yang mulai dengan /p/ akan
8
teraktifkan: pahala, prakata, dan sebagainya. Kata-kata yang termunculkan inilah
yang disebut sebagai cohort. Pada tahap kedua, terjadilah. proses eliminasi secara
bertahap. Waktu kita kemudian mendengar bunyi /r/ maka kata pahala dan pujaan
akan tersingkirkan karena bunyi kedua pada kedua kata ini bukanlah seperti pada kata
targetnya. Dengan demikian maka akhirnya hanya ada satu kata yang persis cocok
dengan masukan yang diterima oleh pendengar, yakni, kata prihatin.
9
1. Tingkat pesan, di mana pesan yang akan disampaikan diproses,
2. Tingkat fungsional, di mana bentuk leksikal dipilih kemudian diberi peran dan
fungsi sintaksis,
3. Tingkat posisional, di mana konstituen dibentuk dan afiksasi dilakukan, dan,
4. Tingkat filologi, di mana struktur fonologi ujaran itu diwujudkan.
Penjelasan:
Pada tingkat pesan, pembicara mengumpulkan nosi-nosi dari makna yang ingin
disampaikan. Untuk lebih jelasnya, marilah kita pakai contoh:
10
Nosi-nosi yang ada pada benak pembicara adalah antara lain
Pada tingkat fungsional, yang diproses ada dua hal. Pertama, memilih bentuk
leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan dan informasi gramatikal
untuk masing-masing yang dia kenal, wanita yang dimaksud adalah Tutiek, dan kata
ini adalah nama orang perempuan; perbuatan yang dilakukan diwakili oleh verba
dasar suap; antara argument Tutiek dan anaknya, Tutiek adalah pelaku perbuatan
sedang anaknya adalah resipiennya. Proses kedua pada tingkat fungsional adalah
memberikan fungsi pada kata yang telah dipilih. Proses di sini menyangkut hubungan
sintaktik gramatikal atau fungsi gramatikal. Pada contoh diatas, kata Tutiek harus
dikaitkan dengan fungsi subjek sedangkan anaknya pada objek.
11
opsional). Hasil dari pemrosesan posisional ini “dikirim” ke tingkat fonologi untuk
diwujudkan dalam bentuk bunyi.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah penulis paparkan di atas, tim
penulis dapat menyimpulkan:
1. Persepsi ujaran merupakan peristiwa ketika telinga menangkap bunyi yang dapat
berubah kata atau kalimat. Kalau seseorang tidak mendengar bunyi secara baik tentu
saja itu akan berpengaruh ke ujaran yang diujarkan, terlebih bila ujaran itu berupa
sebuah kalimat, yang mana kalimat itu harus didengarkan secara keseluruhan baru
bisa memaknai isi dari ujaran tersebut.
4. Semua bunyi yang dibuat atau dihasilkan dengan udara melalui hidung disebut
bunyi nasal. Sementara, semua bunyi yang dibuat atau dihasilkan dengan udara
melalui mulut disebut bunyi oral.
3.2 Saran
Saran dari tim penulis diharapkan mahasiswa mengetahui serta memahami
dengan baik tentang Persepsi Ujaran dan Produksi Ujaran. Semoga makalah ini
bermanfaat, dan alangkah lebih baiknya bila makalah ini dipelajari dengan
disandingkan bersama sumber-sumber referensi lain seperti buku dan jurnal, karena
pada kenyataannya akan lebih banyak pengetahuan yang kita dapatkan bila kita
membaca materi dari banyak sumber referensi.
13
DAFTAR PUSTAKA
Irham. 2019. Persepsi Ujaran Dalam Konteks Psikolinguistik. Jurnal Guiding World.
Vol. 2, No. 1. (hal. 2-5).
Saputra, Herly Octa., Kurtanto, Eko. (2018). Produksi Ujaran. Jambi: Universitas
Jambi.
Nica Okta. 2021. Persepsi Ujaran dan Produksi Ujaran. Diakses September 2023
dari https://id.scribd.com/document/528612464/Persepsi-Ujaran-dan-Produksi-Ujaran
14