Anda di halaman 1dari 22

Makalah Psikolinguistik

ASPEK NEOROLOGI BAHASA

Oleh:
Kelompok I
Elra Azmi Masfufa (2181111002)
Erisa Solin (2182111025)
Febrina Azura (2181111029)
Mauliana Febriani Lubis (2183111034)
Meliana Kristin Sitindaoan (2183311032)

Dosen Pengampu:
Frinawaty Lestarina Barus, S.Pd, M.Pd

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat rahmat
serta hidayahnya. Kami dapat menyelesaikan makalah tentang Aspek Neorologi Bahasa. Tugas
ini kami buat dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikolinguistik.

Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Syamsul Arif, M.Pd, Ketua jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
2. Ibu Trisnawati Hutagalung, M.Pd, Sekertaris jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
3. Ibu Fitriyani Lubis, M.Pd, Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
4. Ibu Frinawaty Lestarina Barus, S.Pd, M.Pd, Dosen Pengampu Mata Kuliah
Psikolinguistik.
5. teman-teman yang memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung.
6. orangtua tercinta.

Kami selaku penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyajian makalah ini masih
minim dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami senantiasa mengharapkan
masukan dari para pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah kami di
masa yang akan datang.

Medan, 21 September 2020

Kelompok I

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C. Tujuan.................................................................................................... 2
D. Manfaat.................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A. Pengertian Neorologi Bahasa.................................................................... 3
B. Struktur, Fungsi, dan Perkembangan Otak................................................ 3
C. Fungsi Kebahasaan Otak........................................................................... 5
D. Teori Lateralisasi....................................................................................... 7
E. Teori Lokalisasi......................................................................................... 10
F. Otak Wanita............................................................................................... 11
G. Peningkatan Kemampuan Otak: Membaca dengan Ke Dua Belah Otak.. 13
H. Pemberbahasaan Hewan............................................................................ 14
BAB IV PENUTUP.............................................................................................. 17
A. Simpulan.................................................................................................... 17
B. Saran…….................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbahasa merupakan gabungan berurutan antara dua proses, yaitu proses produktif dan
proses reseptif. Proses produktif berlangsung pada diri penutur, yang membentuk kode-kode
bahasa yang bermakna dan berguna. Sedangkan proses reseptif berlangsung pada diri pendengar
yang menerima kode-kode bahasa yang bermakna dan berguna, yang disampaikan oleh penutur
melalui alat ucap, lalu diterima melalui alat pendengaran.

Proses produksi atau proses rancangan berbahasa disebut enkode. Sedangkan proses
penerimaan, perekaman, dan pemahaman disebuh proses dekode. (Chaer, 2009:45). Dapat
disederhanakan bahwa bahasa yang berprose dan keluar dari penurut, itu dinamakan enkode, dan
bahasa yang diterima alat pendengaran manusia dan diproses, itu dinamakan dekode. Enkode dan
dekode dalam bahasa akan menyangkut pada persoalan fonologi, gramatikal, dan semantik.

Dalam enskode, proses berbahasa yang dilalui yang pertama adalah mengolah ide atau
maksud yang ingin dituturkan, lalu dibentuk dalam susunan grmatikal, agar petutur mengerti
dengan apa yang disampaikan, kemudian barulah bentuk itu disampikan menjadi bunyi bahasa
lewat alat ucap oleh penutur. Sedangkan dalam proses dekode atau pada petutur (penerima
tuturan), proses yang terjadi pada enkode tadi justru terbalik. Alat pendengar menerima bentuk
fonologi terlebih dahulu, setelah itu otak akan menerima bentuk gramatikalnya, hingga
menangkap makna dari ujaran tersebut (semantik). Proses enkode dan dekode itu dapat
digambarkan melalui bagan berikut ini.

Kedua proses (enkode dan dekode) yang menjadi operator utama pengolahnya adalah
otak, lalu bagaimana operator inti itu memprosesnya? Berikut akan dibicarakan tentang otak
manusia dan posisi bahasa berproses di dalamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan neorologi bahasa?
2. Apa struktur, fungsi, dan perkembangan otak?
3. Apa saja fungsi kebahasaan otak?

1
4. Apa yang dimaksud teori lateralisasi?
5. Apa yang dimaksud teori lokalisasi?
6. Bagaimana dengan otak wanita?
7. Bagaiman peningkatan kemampuan otak: membaca dengan kedua belah otak?
8. Bagaimana pemberbahasaan hewan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian neorologi bahasa?
2. Untuk mengetahui struktur, fungsi, dan perkembangan otak?
3. Untuk mengetahui fungsi kebahasaan otak?
4. Untuk mengetahui teori lateralisasi?
5. Untuk mengetahui teori lokalisasi?
6. Untuk mengetahui otak wanita?
7. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan otak: membaca dengan kedua belah otak?
8. Untuk mengetahui pemberbahasaan hewan?
D. Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan makalah tentang Neorologi Bahasa adalah:

1. Bagi kelompok penyaji


Makalah ini dapat bermanfaat sebagai wadah untuk ilmu dan teori yang diperoleh
kelompok peyaji dari bangku perkuliahan. Dapat memahami Aspek Neorologi Bahasa.
2. Bagi pembaca
Makalah ini dapat mendorong para mahasiswa agar lebih mengetahui dan mampu
melaksanakan Aspek Neorologi Bahasa.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Neorologi Bahasa

Neurolinguistik adalah ilmu tentang hubungan antara bahasa dan saraf otak (Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat: 960)

Neurolinguistik adalah studi yang memusatkan perhatian pada dasar-dasar biologis


bahasa dan peralatan-peralatan otak yang mendasari pemerolehan dan penggunaan bahasa
(Subyakto, Nababan, 1992: 107).

B. Struktur, Fungsi, dan Pertumbuhan Otak


1. Struktur Otak

Otak (serebrum dan serebelum) adalah salah satu komponen dalam sistem susunan saraf
manusia. Komponen lainnya adalah sumsum tulang belakang atau medula spinalis dan saraf tepi.
Yang pertama, otak, berada di dalam ruang tengkorak; medulla spinalis berada di dalam ruang
tulang belakang; sedangkan saraf tepi ( saraf spinal dan saraf otak ) sebagian berada di luar
kedua ruang tadi (Kusumoputro, 1981).

Otak seorang bayi ketika baru dilahirkan beratnya hanya kira-kira 40 % dari berat otak
orang dewasa; sedangkan mahluk primate lain, seperti kera dan simpanse adalah 70% dari otak
dewasanya (Menyuk, 1971: 31). Dari perbandingan tersebut tampak bahwa manusia kiranya
telah dikodratkan secara biologis untuk mengembangkan otak dan kemampuannya secara cepat.

Sedangkan dalam soal pemakaian otak, sebagian besar otak manusia untuk proses mental,
termasuk proses kebahasaan. Sedangkan binatang seperti simpanse lebih banyak memakai
otaknya untuk kebutuhan-kebutuhan fisik.

Perbedaan otak manusia dan otak makhluk lain, seperti kera dan simpanse, bukan hanya
terletak pada beratnya saja, melainkan juga pada struktur dan fungsinya. Pada otak manusia ada
bagian-bagian yang sifatnya disebut manusiawi, seperti bagian-bagian yang berkenaan dengan
pendengaran, ujaran, pengontrol alat ujaran, dan sebagainya. Pada otak mahluk lain tidak ada
bagian-bagian yang berkenaan dengan ujaran itu. Sebaliknya, pada otak mahluk lain, banyak

3
bagian yang berhubungan dengan insting; sedangkan pada otak manusia tidak banyak. Ini
berarti; perbuatan mahluk lain lebih banyak dikendalikan oleh insting dan perbuatan manusia
bukan hanya karena insting.

Dilihat dari atas, otak terdiri dari dua hemister (belahan), yaitu hemisfer kiri dan hemisfer
kanan, yang dihubungkan oleh korpus kalosum. Tiap hemisfer terbagi lagi dalam bagian-bagian
besar yang disebut sebagai lobus, yaitu lobus frontalis, lobus parietalis, lobus oksipitalis, lobus
temporalis.

2. Fungsi Otak

Permukaan otak yang disebut sebagai korteks serebri tampak berbelok-kelok membentuk
lekukan (disebut sulkus) dan benjolan (disebut girus). Dengan adanya sulkus dan girus ini,
permukaan otak yang disebut korteks serebri itu menjadi lebih luas.

Korteks serebri ini mempunyai peranan penting baik pada fungsi elementer, seperti
pergerakan, perasaan, dan pancaindra, maupun pada fungsi yang lebih tinggi dan kompleks yaitu
fungsi mental atau fungsi luhur atau fungsi kortikal dari kata korteks. Fungsi kortikal ini antara
lain terdiri dari isi pikiran manusia, ingatan atau memori, emosi, persepsi, organisasi gerak dan
aksi, dan juga fungsi bicara (bahasa).

Girus yang terdapat pada korteks hemisfer kiri dan hemisfer kanan mempunyai peranan
bagi masing-masing fungsi tertentu. Korteks hemisfer kanan menguasai fungsi elementer dari
sisi tubuh sebelah kiri, dan korteks hemisfer sebelah kiri menguasai fungsi tubuh sebelah kanan.
Andaikan korteks presentral hemisfer kanan tempat pusat pergerakan tubuh rusak, maka akan
terjadi kelumpuhan pada sisi tubuh sebelah kiri dan sebaliknya pula.

3. Pertumbuhan Otak

Secara pertumbuhannya, otak manusia mengalami pertumbuhan yang sangat cepat, dari
kandungan hingga masa akhir remaja. Pertanyaannya apakah setelah akhir remaja atau dewasa
sampai tua, masih ada pertumbuhan itu? Dalam penjabaran yang panjang tentang pertumbuhan
otak pada buku Abdul Chaer (2009), ditemukan bahwa dari hasil penelitian-penelitian yang
dilakukan, ada pertumbuhan pada otak manusia pada masa yang ditanyakan tadi. Namun,
pertumbuhan itu terjadi dengan sangat lambat. Kerusakan otak yang menyebabkan gangguan

4
pada tubuh manusia, yang sering terjadi di usia tua pun sebenarnya dapat diperbaiki. Artinya,
seperti bagian tubuh lainnya, otak juga mengalami pertumbuhan dan perbaikan. Layaknya kulit
manusia, jika ada sel yang mati, maka akan ada juga kemungkinan pertumbuhan sel baru, dan ini
dapat terjadi sepanjang waktu bagi manusia. Hanya saja, ditergantungkan dengan masa atau fase
usia dan faktor pendukung lain, seperti kesehatan dan nutrisi pada manusia tersebut.

Perkembangan atau pertumbuhan otak manusia menurut Volpe (1987) terdiri atas enam
tahap, yaitu:

1) Pembentukan tabung neural.


2) Profilerasi selular untuk membentuk calon sel neuron dan glia.
3) Perpindahan selular dari germinal subependemal ke korteks.
4) Deferensiasi selular menjadi neuron spesifik.
5) Perkembangan akson dan dendrite yang menyebabkan bertambahnya sinaps.
6) Elimenisi selektif neuron, sinaps, dan sebagainya untuk spesifikasi.

Meskipun sel otak dapat tumbuh dengan cepat saat bayi dalam kandungan, dan mampu
memperbaharui diri ketika mengalami luka, namun adanya pertumbuhan dianggap tidak masuk
akal. Hal ini terjadi karena ada beberapa sel otak yang mati dan tidak dapat diperbaharui lagi.
Stroke dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh kerusakan otak menjadi bukti bahwa tidak
ada lagi pertumbuhan sel otak pada manusia dewasa.

Pada tahun 1988 para peneliti Swedia menggunakan zat yang terintegrasi dalam DNA
dari sel terpisah untuk meneliti sel tumor pada pasien kanker. Setahun kemudian, zat tersebut
ditemukan dalam hippocamus pada pasien yang telah dibedah setelah kematian mereka. Menurut
Dr. Fred H. Gage, ahli saraf di Salk institute, La Jolla, California, temuan tersebut membuktikan
bahwa otak manusia mampu membuat sel baru dalam wilayah otak yang berurusan dengan
memori jangka pendek.

C. Fungsi kebahasaan Otak

Sudah dikemukakan bahwa kedua hemisfer otak mempunyai perananyang berbeda bagi
fungsi kortikal. Fungsi bicara-bahasa dipusatkan pada hemisfer kiri bagi orang yang tidak kidal
(cekat tangan kanan, right handed). Hemisfer kiri ini disebut juga hemisfer dominan bagi bahasa,

5
dan korteksnya dinamakan korteks dewasa. Hemisfer dominan atau superior secara mofologis
memang agak berbeda dari hemisfer yang tidak dominan atau inferior. Hemisfer dominan lebih
berat, lebih besar, girusnya dan lebih panjang, juga berperan untuk fungsi memori yang bersifat
verbal. Sebaliknya, hemisfer kanan untuk fungsi emosi, lagu isyarat, baik yang emosional
maupun verbal.

Hemisfer kiri memang dominan untuk fungsi bicara bahasa, tetapi tanpa aktivitas
hemisfer kanan, maka pembicaraan seseorang akan menjadi monoton, tak ada prosodi; tanpa
menampakkan adanya emosi dan tanpa disertai isyarat-isyarat bahasa.

Penentuan dan pembuktian daerah-daerah tertentu dalam otak dalam kaitannya dengan
fungsi bicara-bahasa dan fungsi-fungsi lain pada awalnya dilakukan dengan penelitian terhadap
orang-orang yang mengalami kerusakan otak atau kecelakaan yang mengenai kepala. Kemudian
dilakukan juga dengan berbagai eksperimen terhadap orang sehat.

Pada tahun 1848 Phineas Gage, seorang pekerja jalan kereta api di negara bagian
vermount, Amerika Serikat, akibat ledakan bagian depan kepalanya tekena lemparan balok
bantalan rel, dan mencederainya (fromkin dan Rodman, 1974). Saat itu dikabarkan, gage yang
terkena lemparan balok itu tidak akan sembuh. Namun sebulan kemudian ternyata dia sembuh
dan dapat bekerja kembali dan tidak terdapat kerusakan pada indera penglihatan maupun
ucapannya. Dia tetap berbicara dengan lancar berdasarkan peristiwa yang dialami Phineas Gage
ini dapat disumpulkan bahwa daerah kemampuan berbahasa tidak terletak dibagian depan otak.
Hal ini membantah pendapat Franz Josep Gall (1758-1828) yang mengatakan bahwa
kemampuan memori verbal mempunyai pusat dibagian depan otak (kusumoputro, 1981).

Penelitian mengenai bahasa pada otak manusia, yang terkenal dan bertahan dalam
beberapa dekade sampai ditemukan penelitian berikutnya, adalah penelitian yang dilakukan oleh
Paul Broca dan penelitian yang dilakukan oleh Carl Wernicke. Pada tahun 1861 Paul Broca
melakukan hal ini. Dia adalah seorang ahli bedah saraf yang mempelajari seorang pria bernama
Tan. Dia disebut Tan karena itu adalah satu-satunya kata pria bisa mengatakan. Tan bisa
memahami bahasa lisan, tetapi ia hanya bisa mengeluarkan suara yang terdengar seperti “Tan”.
Meskipun ia bisa membuat suara ini, itu tidak dianggap bahasa lisan karena tidak ada informasi
yang dipertukarkan. Ketika Tan meninggal, Broca mempelajari otaknya dan menemukan lesi

6
(memar atau tempat yucky) di bagian terbuka yaitu depan lobus temporal. Broca kemudian pergi
dan mempelajari otak lainnya pasien yang mirip dengan Tan. Karena hal inilah, ia menemukan
daerah Broca. Ini adalah wilayah otak yang memungkinkan kita untuk menghasilkan bahasa
lisan. Jadi, kerusakan pada daerah broca itu menyebabkan seseorang mendapatkan kesulitan
dalam menghasilkan ujaran.

Hasil penelitian tentang kerusakan otak oleh Broce dan Wernicke serta penelitian
Penfield dan Robert mengarah pada kesimpulan bahwa hemisfer kiri dilibatkan dalam
hubungannya dengan fungsi bahasa. Krashen (1977) mengemukakan lima alasan yang mendasari
kesimpulan itu. Kelima alasan itu adalah berikut ini:

1. Hilangnya kemampuan berbahasa akibat kerusakan otak lebih sering disebabkan oleh
kerusakan jaringan saraf hemisfer kiri dari pada hemisfer kanan.
2. Ketika Hemisfer kiri dianestesia kemampuan berbahasa menjadi hilang; tetapi ketika
hemisfer kanan dianestesia kemampuan berbahasa itu tetap ada.
3. Sewaktu bersaing dalam menerima masukan bahasa secara bersamaan dalam tes dikotik,
ternyata telinga kanan lebih unggul dalam ketepatan dan kecepatan pemahaman daripada
telinga kiri. Keunggulan telinga kanan itu karena hubungan antara telinga kanan dan
hemisfer kiri lebih baik daripada hubungan telinga kiri dengan hemisfer kanan.
4. Ketika materi bahasa diberikan melalui penglihatan kanan lebih cepat dan lebih tepat
dalam menangkap materi bahasa itu daripada penglihatan kiri. Keunggulan penglihatan
kanan itu karena hubungan antara penglihatan kanan dan hemisfer kiri lebih baik
daripada hubungan penglihatan kiri dan hemisfer kanan.
5. Pada waktu melakukan kegiatan berbahasa baik secara terbuka maupun tertutup, hemisfer
kiri menunjukkan kegiatan elektris lebih hebat daripada hemisfer kanan. Hal ini diketahui
melalui analisis gelombang otak. Hemisfer yang lebih aktif sedikit dalam menghasilkan
gelombang alpha
D. Teori Lateralisasi

Banyak pakar psikologi yang meragukan teori lateralisasi, bahwa pusat-pusat bahasa dan
ucapan berada pada hemisfer kiri. Mereka berpendapat bahwa seluruh otak bertanggung jawab
dan terlibat dalam proses pemahaman dan produksi bahasa. Pendapat ini dalam psikologi disebut
“holisme” (Simanjuntak, 1990). Namun demikian, dari bukti-bukti experimental yang dilakukan

7
terhadap otak yang normal (bukan otak yang rusak seperti yang dilakukan broca dan wernicke),
kebenaran teori lateralisasi itu bisa dipertimbangkan. Berikut dikemukakan beberapa eksperimen
yang pernah dilakukan untuk menyokong teori lateralisasi itu.

1. Tes Menyimak Rangkap (Dichtic Listening)

Tes ini pertama kali di perkenalkan oleh Broadbent (1954), lalu banyak dilakukan oleh
Kimura (1963, 1964) dan Ling (1969). Tes ini didasarkan pada teori bahwa hemisfer kiri
menguasai kerja anggota tubuh sebelah kanan dan hemisfer kanan menguasai kerja anggota
tubuh sebelah kiri.

Tes ini dilakukan dengan memperdengarkan pasangan kata yang berbeda (misalnya boy
and girl atau dog dan cat, atau apa saja) pada waktu yang betul-betul bersamaan di telinga kiri
dan telinga kanan orang yang di tes dengan kenyaringan yang sama. Umpamanya pada telinga
kiri orang yang di tes di perdengarkan kata girl dan pada telinga kanan di perdengarkan kata boy.

Ternyata pada kata boy yang diperdengarkan pada telinga sebelah kanan dapat diulangi
dengan baik dari pada kata girl yang diperdengarkan di telinga sebelah kiri. Tes yang dilakukan
berulang-ulang terhadap orang-orang yang berbeda (baik anak-anak maupun dewasa) dan dengan
pasangan kata-kata yang berbeda ternyata memberi hasil yang sama, kata yang diperdengarkan
di telinga sebelah kanan dapat di ulang dengan baik sedangkan yang diperdengarkan pada telinga
sebelah kiri tidak dapat. Hasil tes ini membuktikan bahwa telinga kanan (yang dilandasan oleh
hemisfer kiri) lebih peka terhadap bunyi-bunyi bahasa dibandingan dengan telinga kiri (yang
dilandasi oleh hemisfer kanan). Dalam hal ini kira nya kata girl yang diperdengarkan pada
telinga sebelah kiri. Untuk bisa “dipahami” dan “diresapi” perlu diseberangkan dulu dari
hemisfer kanan ke hemisfer kiri.

2. Tes Stimulus Elektris (Electrical Stimulation of Brain)

Dengan tes ini pusat bahsa pada otak distimuluskan dengan aliran listrik melalui talamus
lateral kiri (talamus = satu struktur jaringan jauh di dalam otak) sehingga menimbulkan anomia,
dimana subjek yang diteliti tidak dapat menyebutkan nama benda yang ada di depannya,
meskipun dia masih lancar bercakap-cakap. Stimulus Electris yang sama yang dilakukan
terhadap hemisfer kanan melalui talamus lateral kanan tidak menyebabkan terjadinya anomia.

8
Tes Stimulus Electris ini membuktikan bahwa lateralisasi hemisfer kiri untuk bahasa telah
merupakan satu kenyataan yang tidak dapat di bantah.

3. Tes Grafik kegiatan Electris (Electris-encephalo-Graphy)

Tes ini dilakukan untuk mengetahui adakah aliran listrik pada otak apabila seseorang
sedang bercakap-cakap dan kalau ada bagian manakah yang giat mendapatkan aliran listrik ini.
Tes ini pertama kali diperkenalkan oleh Schafer (1967); dan yang pertama kali yang
menggunakan adalah whitaker (1971). Namun, yang pertama kali melaporkan setelah merekam
grafik eletris itu adalah Mc.Adam dan Witaker. Kedua mencatat bahwa kegiatan elektris itu
terdapat pada hemisfer kiri dan lokasinya terdapat pada medan Broca, yang mereka sebut sebagai
daerah frontal ineferior hemisfer kiri otak. Grafik kegiatan elektris seperti ini tidak terdapat
hemisfer kanan.

4. Tes Wada (Tes Amysal)

Tes wada ini pertama kali diperkenalkan oleh pakar Jepang bernama J.Wada (1959).
Dalam tes ini obat sodium amysal di injeksikan kedalam sistem peredaran salah belahan otak.
Belahan otak yang mendapatkan obat ini menjadi lumpuh untuk sementara. Jika hemisfer kanan
yang dilumpuhkan sodium amysal ini, maka anggota-anggota badan sebelah kiri tidak berfungsi
sama sekali, namun fungsi bahasa tidak terganggu sama sekali, dan orang yang diteliti ini dapat
bercakap-cakap dengan normal seperti biasa. Apabila hemisfer kiri yang diberi sodium amysal,
maka anggota badan sebelah kanan menjadi lumpuh, termasuk fungsi bahasa. Hasil tes ini
membuktikan bahwa pusat bahasa berada pada hemisfer kiri.

5. Teknik Fisiologi Langsung (Direct Physiologi Technique)

Teknik ini dilakukan oleh Chon (1971) untuk memperkuat hasil yang dilakukan dengan
teknik psikopisologi, yaitu teknik menyimak rangkap seperti yang diterangkan pada bagian (a).
Pada tes menyimak rangkap menyangkut juga faktor psikologi karena subjek orang yang di tes
ditanyakan oleh orang yang mengetes apa yang dia dengar. Teknik psikologi langsung ini
merekam secara langsung getaran-getaran elektris pada otak dengan cara seperti yang di jelaskan
pada (c) diatas, setelah ke telinga kiri dan di telinga kanan secara berturut-turut di perdengarkan

9
dengan bunyi bising dan bunyi ujaran biasa. Ternyata suara bising terekam dengan baik hemisfer
kanan sedangkan bunyi ujaran bahasa terekam dengan baik pada hemisfer kiri.

6. Teknik Belah Dua Otak

Pada teknik ini kedua hemisfer sengaja dipisahkan dengan memotong organ yang
menghubungkan kedua hemisfer kiri dan kanan, sehingga kedua hemisfer itu tidak mempunyai
hubungan (Gazzaniga, 1970 dalam Simanjuntak 1990). Kemudian pada tangan kiri pasien orang
yang diteliti yang matanya ditutup dengan kain diletakkan sebuah benda misalnya anak kunci
ternyata subjek orang yang diteliti itu mengenal benda itu dengan melakukan gerak membuka
pintu dengan menggunakan anak kunci itu, tetapi ia tidak dapat menyebutkan nama benda itu.
Mengapa? Karena penyebutan nama benda dilandasi oleh hemisfer kiri, sedangkan tangan kiri
yang memegang benda itu dilandasi dengan hemisfer kanan. Dengan kata lain, hemisfer kiri
tidak mengetahui apa yang dikerjakan oleh hemisfer kanan karena hubungan keduanya telah
diputuskan. Jadi dengan memutuskan korpus kalosum itu, pasien tidak lagi mempunyai satu akal
melainkan mempunyai dua akal (Gazzaniga, 1973 dalam Simanjuntak, 1990).

E. Teori Lokalisasi

Teori lokalisasi atau lazim juga disebut pandangan lokalisasi berpendapat bahwa pusat-
pusat bahasa dan ucapan berada di daerah Broca dan daerah Wernicke seperti sudah disebut
sebelumnya. Ada beberapa cara lain untuk menunjukan teori lokalisasi ini antara lain sebagai
berikut:

1. Teknik Stimulus Electrik

Teknik ini dilakukan dengan cara menstimulasi bagian-bagian tertentu permukaan


korteks dengan aliran listrik seperti yang telah dilakukan dua ahli beda saraf, Penfield dan Robert
(1959) pada waktu proses pengobatan beda saraf pasien-pasien otak. Semua permukan koteks
hemisfer kiri secara bergiliran telah mereka stimulasi dengan aliran listrik. Mereka menemukan
pada tiga bagian saja yang terdapat kelainan-kelainan yang merusak bahasa. ketiga tempat itu
adalah berikut ini.

 Bagian depan Girus tengan sebelah bawah Lobus depan kiri, yaitu bagian yang sekarang
dikenal dengan daerah (Medan) Broca.

10
 Bagian atau medan Temporo – parietal posterior yaitu yang sekarang dikenal sebagi
daerah( medan) Wernicke.
 Medan motor suplementer yang terdapat pada permukaan tengah belah korteks sebelah
kiri, yaitu yang sekarang dikenal sebagi korteks motor.
2. Teknik perbedaan Anatomi Otak

Dalam berbagai literatur mengenai teori lokalisasi muncul satu pertanyaan: jika pusat-
pusat bahasa hanya berada pada hemisfer kiri, tentulah kedua hemisfer itu, kiri dan kanan, tidak
simestris, hemisfer kiri tentu lebih besar dari pada hemisfer kanan. Benarkah?

Untuk menjawab pertanyaan ini Geschwind dan Levistsky (1968) telah menganalisis
secara terperinci seratus otak manusia normal setelah mereka meninggal. Keduanya menemukan
bahwa planun temporale yaitu daerah dibelakng Girus heschl (jadi daerah-daerah bahasa, Medan
Wernicke) jauh lebih besr pada hemisfer kiri. Bahkan perbedaan ini dapat berlasung dilihat
dengan mata.

3. Cara Melihat Otak dengan PET (Positron Emission Tomography)

Cara lain untuk membuktikan teori lateralisasi dan lokalisasi adalah dengan cara melihat
otak secara langsung dengan menggunakan alat yang disebut PET. Dengan PET ini kita melihat
bagian-bagian otak, terutama bagian-bagian korteks, pada waktu bagian-bagian itu sedang
berfungsi. Caranya, setengah jam sebelum kepala pasien di masukkan kedalam PET, cairan
glukosa beradio aktif di injeksikan ke lengannya. Jika suatu bagian otak bekerja aktif, dia
memerlukan glukosa yang banyak. Maka dengan pertolongan glukosa proses-proses pemikiran
dalam otak yang bekerja dan memerlukan glukosa akan tampak bersinar, berwarna merah, dan
bergerak-gerak.

F. Otak Wanita

Penelitian yang telah dilakukan Paul Broca, menyatakan bahwa otak pria lebih besar
daripada otak wanita. Sehingga dikatakan otak pria lebih berfungsi baik, lebih cerdas, dan
memiliki kelebihan lainnya jika dibandingkan dengan otak wanita. Namun hal ini tidak dapat
diterima sepenuhnya. Perbedaan mendasar antara otak pria dan wanita adalah pada cara kerjanya.
Temuan ini kemudIan dijadikan dasar atau pegangan para ahli dalam berbagai bidang untuk

11
memperlakukan wanita berbeda dari pada pria. Telah dibuktikan bahwa otak wanita berfungsI
secara berbeda dengan otak pria, dan dalam beberapa hal perbedaan itu membuat wanita lebih
unggul. Dimanakah letak keunggulan otak wanita.

1. Otak Wanita Lebih Seimbang

Dokter Raquel Gur, psikiater dari universitas calivornia mengatakan bahwa memang
tidak ata seorang ahlipun bisa menyodorkan kesimpulan apa arti perbedaan fisik otak pria dan
wanita (dalam ukuran, struktur, dan kepekaan) itu. Namun, yang jelas meskipun otak pria dan
wanita melakukan pekerjaan yang sama, tetapi cara kerja keduanya berbeda.

Asumsi adanya perbedaan cara kerja otak pria dan wanita itu terutama dikukuhkan oleh
perbedaan kepadatan sel-sel, saraf, atau neuron pada sutu daerah di otak. Hasil penelitian
menunjukan bahwa lepas dari ukuran, daerah tertentu otak wanita lebih kaya neuron, dari pada
otak pria. Perlu dicatat, semakin banyak jumlah neuron di suatu daerah makin kuat fungsi otak
disana. Umpamanya, kesan cerewet (dalam arti positif) yang melekat pada wanita, dalam arti
memiliki kemampuan verbal yang tinggi, ternyata dapat di lacak ke otaknya. Daerah otak wanita
yang mengurus kemampuan kognitif tingkat tinggi (antara lain kemampuan berbahasa) lebih
banyak neuronnya di bandingkan dengan daerah yang sama pada otak pria.

Hal ini juga terlihat pada pembahasan dalam buku Abdul Chaer (2009:133), bahwa
dikatakan otak wanita lebih seimbang dibandingkan otak pria. Hal ini dinyatakan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mark George, bahwa ada cara kerja otak wanita lebih luas dari
pria. Wanita dalam menanggapi suatu hal akan ikut memfungsikan bagian yang dinamakan
intelegensi emosional atau sederhananya dinamakan perasaan. Wanita lebih bisa menanggapi
hal-hal yang berkaitan dengan emosi. Misalnya, wanitalah yang lebih dahulu mendeteksi anak
yang sedang menyembunyikan kemurungannya, atau pada persoalan teman kantor yang sedang
punya masalah, atau suami yang sedang gelisah. Jadi dengan adanya kerjasama emosi, rasio, dan
intuisi menyebabkan wanita tidak melihat segala sesuatu secara apa adanya seperti yang
dilakukan pria.

2. Otak Wanita Lebih Tajam

12
Menurut dokter Thomas Crook dan sejumlah ahli (vemina, 17-23 juni 1999), setelah
melakukan pengujian indra pada 50.000 wanita dari berbagai negara bagian Amerika Serikat,
menemukan bukti bahwa wanita lebih banyak mengingat detail, asosiasi, dan pengalaman
pribadinya dibandingkan pria. Daya ingat wanita akan kosakata dan nama jenis, jauh lebih awet
dibandingkan pria, karena otak wanita punya cara unik dalam menyimpan informasi ke dalam
memorinya, yaitu dengan cara menyangkutkannya pada daerah emosi, dengan menggunakan
lebih banyak hemisfer kanannya (yang memproses emosi).

Penelitian ini juga menghasilkan bahwa penglihatan wanita lebih tajam dari pada pria,
meski diakui bahwa lebih banyak wanita yang lebih dulu memerlukan bantuan kacamata dari
pada pria. Penglihatan wanita lebih menurun sejak memasuki usia 35-44 tahun, sedangkan pria
yang mulai 45-54 tahun. Pria juga relatif tidak tahan terhadap sinar terang. Begitu juga
pendengaran wanita lebih tajam dari pria, pendengaran wanita selain lebih tajam juga mendengar
lebih banyak ragam bunyi dari pada pendengaran pria.

3. Lebih Awet dan Selektif

Dalam jurnal kedokteran Archieves of Neurology terbitan tahun 1998 (vemina, juni
1999) diungkapkan temuan bahwa otak pria menganut lebih cepat dari pada otak wanita.
Menurut Ruben Gur, yang meneliti sendiri cara kerja otak pria menyusut 3 kali lebih cepat dari
pada otak wanita. Penyusutan ini membawa akibat perubahan yang nyata. Antara lain, makin tua
seorang pria daya ingatnya, konsentrasinya, dan kesabarannya ikut menyusut.

Wanita meskipun juga mengalami penyusutan jaringan secara menyeluruh ketika


bertambah tua tubuhnya punya kecendrungan untuk menghemat apa yang ada, termasuk otaknya.
Ini pula, menurut Ruben, yang membuat harapan hidup wanita, rata-rata lebih panjang dari pada
pria. Namun, lebih awet, belum tentu juga selalu lebih kuat karena wanita tua lebih rentan
terhadap penyakit Alzheimer 3 kali lipat dibandingkan pria. Para peneliti mengaitkan kerentanan
ini dengan turunnya hormon hesterogen pada wanita berusia lanjut.

G. Peningkatan Kemampuan Otak: Membac dengan kedua Belah Otak

Harian media Indonesia 6 januari 2000, menurunkan 1 artikel berjudul “membaca dengan
kedua belah otak”. Dalam atikel itu dikatakan dalam era globalisasi dewasa ini agar tidak

13
ketinggalan informasi yang sudah mengglobal orang harus membaca namun, pekerjaan membaca
ini menjadi sukar bagi orang yang tidak bisa membaca di tempat yang bising, atau bagi orang
yang tidak punya banyak waktu karena kesibukan dengan pekerjaannya. Meskipun demikian
bagi orang yang mempunyai tingkat kecepatan baca yang tinggi tertentu tidak jadi masalah.
Masalahnya, apakah kecepatan membaca itu bisa di latih. Penelitian yang dilakukan di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa tingkat kecepatan baca ini bisa dilatih.

Menurut Diane Alexander, lambannya kecepatan mbaca dan minimnya daya ingat
seorang terhadap yang dibacanya adalah karena tidak terfokusnya mata pada apa yang
dibacanya. Seringkali ketika menghadapi sebuah halam buku, mata lari ke deretan kata di
seluruh halaman dan bukan pada satu deretan kalimat yang dibaca. Begitu juga adanya kata
asing, kata sukar, atau kalimat yang menarik menjadi tidak terfokusnya mata pada kalimat-
kalimat yang harus dibaca. Sedangkan membaca secara zigzag atau melafalkan kata didalam hati
pada saat yang bersamman juga menjadi faktor penyebab memperlambat waktu baca.

Oleh karena itu, menurut Diani Alexander, langkah pertama yang harus dilakukan untuk
mengubah kebiasaan itu adalah membaca dengan runtut dari samping kiri ke samping kanan
halaman, dengan bantuan jari tangan yang digunakan untuk mengikuti baris demi baris kalimat
tersebut. Mata harus dibiasakan untuk mengikuti rute ini secara tertib. Metode ini boleh
dikatakan sepenuhnya tergantung pada koordinasi mata, jari dan otak.

H. Pemberbahasaan Hewan

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa perbedaan otak manusia dan otak makhluk lain,
seperti kera dan simpanse, bukan hanya terletak pada besar dan beratnya otak itu, melainkan juga
pada fungsinya. Pada otak manusia ada bagian-bagian yang sifatnya bisa disebut manusiawi,
sedangkan pada otak hewan tidak ada. Karena ketidakadaan fungsi-fungsi yang disebut
manusiawi inilah maka hewan-hewan tersebut tidak dapat berbicara atau berbahasa. Namun,
dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihat banyak hewan seperti kuda, anjing, gajah, dan
sebagainya yang bisa melakukan perintah-perintah yang diberikan. Disamping itu, kita ketahui
juga ada beberapa jenis burung, seperti beo, nuri, dan kakak tua, yang bisa diajar “ngomong”.
Nah, bagimanakah persoalannya; benarkah hewan itu bisa diajar atau dilatih berbahasa?

14
Mengerti bahasa dan dapat berbahasa adalah dua hal yang berbeda. Hewan-hewan yang
dilatih, seperti dalam sirkus, memang mengerti bahasa karena dia dapat melakukan perbuatan
yang diperintahkan kepadanya. Namun, kemengertiannya itu sebenarnya bukanlah karena dia
mengerti bahasa, melainkan sebagai hasil dari respons-resnpons yang dikondisikan. Kemudian,
kalau burung beo dan burung nuri dapat “ngomong” bukanlah karena burung-burung itu dapat
menirukan ujaran manusia yang didengar atau dilatihkan. Kalau kita mengacu pada teori
generatif transformasi Chomsky yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa adalah
kemampuan untuk menghasilkan kalimat-kalimat baru yang belum pernah didengar atau
diucapkan orang, maka bisa disimpulkan bahwa hewan-hewan itu tidak dapat berbahasa. Burung
beo dan burung nuri itu hanya bisa mengucapkan kalimat yang pernah didengarnya, tetapi tidak
dapat membuat kalimat-kalimat baru.

Meskipun demikian banyak pakar yang telah mencoba mengajarkan bahasa manusia pada
hewan primata (hewan yang secara organis dekat dengan manusia), yakni simpanse. Diantara
pakar itu adalah sebagai berikut.

1. Keith J. Hayes dan Catherine Hayes

Keith dan Chatherine adalah sepasang suami istri yang memlihara seekor simpanse betina
yang diberi nama Viki (Fromkin dan Rodman, 1974, Clark et al 1981), Keith dan Chatherine
membesarkan Viki di dalam rumah seperti orang membesarkan seorang anak (bayi) serta
memberikan stimulasi sebagaimana yang diberikan kepada manusia. Kedua pasangan suami istri
itu berharap Viki dapat menirukan kata-kata manusia yang didengarnya dan dapat
menggunakannya dengan benar dalam keluarga tempat dia dibesarkan. Kedua psikolog ini
mengajar Viki untuk mengucapkan empat buah kata, yaitu mama, papa, up, dan cup. Agar Viki
dapat menirukan kata-kata itu para pelatihnya harus menggerakkan bibir sedemikian rupa untuk
memberikan contoh pengucapan yang benar. Pada akhirnya Viki memang dapat mempelajari
posisi bibir dan mulut dengan dibantu kedua tangannya untuk menghasilkan kata-kata yang
diminta oleh kedua orang tua angkatnya. Namun, meskipun Viki dapat mengucapkan kata-kata
itu, belum berarti dia dapat memahami makna kata-kata itu.

2. Allen Gardner dan Beatrice T.Gardner

15
Sama halnya dengan Hayes, Allen Gardner dan Beatrice Gardner adalah sepasang suami
istri yang mencoba mengajarkan bahasa pada simpanse betina bernama Washoe. Berdasarkan
pengamatan terhadap Viki yang tidak dapat mengucapkan kata-kata, Allen dan Beatrice Gardner
mendapatkan gagasan untuk tidak mengajar Washoe dengan bunyi suara, melainkan dengan
bahasa isyarat Amerika yang digunakan oleh para tuna rungu di Amerika, dengan alasan
simpanse lebih peka terhadap isyarat visual daripada isyarat verbal. Dengan bahasa isyarat itu
konsep-konsep atau kata-kata bahasa Inggris diwujudkan dengan isyarat yang dibuat dengan
tangan. Kebanyakan lambang bahasa isyarat itu bersifat arbitrer, tetapi semua lambang dapat
dipadukan menurut prinsip gramatika dan sintaksis bahasa Inggris.

Dengan dibantu sejumlah asisten, Allen dan Beatrice Gardner mendidik Washoe secara
bergantian sehingga tidak pernah terlepas dari perhatian manusia. Para asisten tidak
diperkenalkan memakai bahasa lisan. Mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
isyarat dengan haraoan Washoe juga memperoleh kemampuan berbahasa isyarat itu. Hasilnya?
Setelah dua tahun belajar Washoe telah dapat menggunakan 34 buah kata secara benar dalam
situasi yang tepat,misalnya ia membuat isyarat “anjing” ketika dia melihat gambar anjing atai
ketika mendengar suara anjing (tanpa melihat anjingnya).

Dibandingkan dengan anak manusia, kepandaian Washoe memang belum apa-apa. Pada
usia lima tahun anak manusia telah menguasai beratus-ratus kata serta telah dapat membuat
kalimat yang lebih kompleks. Namun demikian, Washoe tercatat dalam sejarah sebagai simpense
yang dapat berkomunikasi dengan kata-kata dalam bahasa (isyarat;bukan lisan) manusia.

3. David Premack dan Ann Premack

David dan Ann adalah sepasang suami istri yang juga mencoba mengajarkan bahasa
manusia pada beberapa simpanse, salah seekor dianataranya bernama Sarah, seekor simpanse
betina. Sarah diajar untuk menguasai bahasa buatan yang disusun dari lempengan-lempengan
plastik. Bentuk maupun warna lempengan itu berbentuk segitiga berwarna biru dan konsep sama
berbentuk lempengan bergigi berwarna orange.

Proses pembelajaran berlangsung sebagai berikut. Sarah dan pengajarnya duduk


dibangku secara terpisah. Sarah ditempatkan dalam kandang dan pengajarnya duduk di ujung
bangku itu. Untuk mengajarkan nama makanan, misalnya, pengajar akan menukar makanan itu

16
dengan lempengan plastik yang sesuai. Umpamanya, dalam mengajarkan kosep apel pengajar
melatakkan sepotong apel diatas meja dalam jarak yang tidak dapat dijangkau Sarah.

17
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Bahasa difungsikan sebagai bentuk untuk berkomunikasi oleh manusia, yang keluar
melalui alat ucap manusia. Namun, siapakah yang menerima dan memberi perintah kepada alat
ucap manusia untuk berbahasa? Sehingga bahasa itu dimengerti dan menjadi komunikasi? Tentu
ada pemroses dasar dari bahasa, hingga ia menjadi sebuah komunikasi. Pemproses itu adalah
otak manusia. Dalam kajian psikolinguistik, yang merupakan kajian interdisipliner antara
kebahasaaan dan psikologi, otak merupakan bagian yang harus dikaji, karena dari otaklah semua
yang diproduksi dan dilakukan manusia termasuk bahasa diolah dan dikendalikan. Otaklah
sistem utama dari manusia itu.
Pembahasan dalam makalah ini yaitu tentang bahasa dan otak. Manusia sampai saat ini
terus melakukan penelitian tentang otak. Dalam kajian bahasa, otak mendapat tempat utama
sebagai pembentuk internal bahasa (maksudnya bukan bentuk bahasanya). Selain itu, alasan lain
kenapa otak penting dikaji dalam bidang kebahasaan, karena ditemukannya masalah-masalah
dalam berbahasa atau gangguan berbahasa, pada manusia.
Alasan ini diperkuat oleh pendapat Chaer (2009: 148), bahwa manusia akan mencari
jawaban terhadap fenomena-fenomena gangguan berbahasa yang terjadi itu. Melalui penelitian-
penelitian terhadap hal ini, manusia menyimpulkan bahwa terdapat dua faktor gangguan
berbahasa. Pertama, akibat faktor medis, dan. Kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Otak
berada pada faktor yang pertama.
B. Saran

Mudah-mudahan dari makalah ini dapat memahami mengenai Neorologi Bahasa.


Sehingga kedepannya mahasiswa bisa lebih memahami bahwa semua proses ini dikendalikan
oleh otak yang merupakan alat pengatur dan pengendali gerak semua aktivitas manusia.

18
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. 2008. Jakarta: PT. Gramedia.

Nababan, Sri Utari Subyakto. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. PT Gramedia Pustaka
Utama.

19

Anda mungkin juga menyukai