Anda di halaman 1dari 18

KEMINANGKABAUAN

‘’ TRADISI MERANTAU DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU ‘’

Disusun Oleh:
Kelompok 11

Dosen Pengampu:
SUCI AGUSTIA PUTRI, M.P.d

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
2023/2024
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi penulis kemudahan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dalam menulis
makalah ini.

Adapun judul makalah dari kelompok kami adalah “Tradisi Merantau dalam
Masyarakat Minangkabau”. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna karena masih banyak kekurangan dalam makalah kami, untuk itu penulis
mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari pembaca.

Bukittinggi, 13 juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
KATA PENGANTAR iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 4

B. Rumusan Masalah 4

C. Tujuan Penulisan 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Filosofi Merantau 5

B. Faktor yang Menyebabkan Orang Minang Merantau 8

C. Jenis-Jenis Daerah Rantau 12

D. Relasi Kampung dan Rantau 13

E. Tujuan Merantau 15

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan 16

B. Saran 18

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat minangkabau terkenal dengan kegiatan merantau. Hal ini
sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu, baik untuk berdagang, bekerja
maupun bersekolah. Mereka sering kali diidentifikasikan dengan etnis Tionghoa
yang juga melakukan kegiatan merantau secara massif. Namun, tidak serta merta
memiliki kesamaan motivasi dan landasan pemikiran yang sama. Gagasan
penulis dalam makalah ini ialah merantau dalam masyarkat Minangkabau
didorong oleh faktor ekonomi dan budaya, yang mana kedua factor ini berpijak
pada pepatah alam takambang jadi guru. Pepatah ini menjadi inspirasi bagi
dinamika social masyarakat Minangkabau disamping agama Islam.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu Pengertian dan Filosofi Merantau?


2. Apa saja Faktor yang Menyebabkan Orang Minang Merantau?
3. Apa saja Jenis-Jenis Daerah Rantau?
4. Bagaimana Relasi Kampung dan Rantau?
5. Apa Tujuan Merantau?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui Pengertian dan Filosofi Merantau


2. Untuk mengetahui Faktor yang Menyebabkan Orang Minang Merantau
3. Untuk mengetahui Jenis-Jenis Daerah Rantau
4. Untuk mengetahui Relasi Kampung dan Rantau
5. Untuk mengetahui Tujuan Merantau
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Filosofi Merantau

Tradisi merantau pada masyarakat minang kabau pada dasarnya berangkat


dari falsafah hidup yang dipegang semenjak lama, yakni “alam takambang jadi
guru”. Makna dari falsafah ini adalah bahwa orang minang kabau diajak untuk
belajar dari peristiwa dan pengalaman yang mereka temui di dalam kehidupan
sehari-hari. Alam di dalam pengertian ini bisa salah satunya dimaknai sebagai
pengalaman hidup. Dan salah satu bentuk usaha memperkaya pengalaman hidup ini
adalah dengan cara merantau ke negeri orang. Orang Minangkabau berpikir dan
menarik pembelajaran dari ketentuan alam. Sehingga tidak jarang pepatah dan
petitih yang menjadi panduan adat mereka bersumber dari peristiwa yang terjadi di
alam. Ketentuan dari alam yang kita maksudkan umpamanya daratan, lautan,
gunung, bukit, lurah, batu, air, api, besi, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang,
langit, bumi, bintang, matahari, bulan, warna-warna, bunyi dan sebagainya yang
mempunyai ketentuan-ketentuannya sendiri-sendiri. Seumpama ketentuan lautan
berombak, gunung berkabut, lurah berair, air menyuburkan, api membakar, batu dan
besi keras, kelapa bermata, buluh berbuku, pokok bertunas, ayam berkokok, murai
berkicau, elang berkulit, merah, putih, hitam, dan sebagainya.
Orang minang kabau semenjak zaman dahulu memang dikenal sebagai
masyarakat penjelajah. Bahkan ada sebuah pandangan miring jika seandainya ada
laki-laki muda yang tidak mencoba mencari penghidupan ke negeri orang. Maka
kemudian lahirlah istilah “bujang gadih” untuk menyindir orang-orang semacam ini.
Hal ini tertuang di dalam pepatah berikut:
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Karantau bujang daulu
Dirumah paguno alun

Pepatah di atas bagi masyarakat Minangkabau meresap ke dalam ruang


terdalam dari dirinya (jiwanya). Bahkan pepatah di atas dapat mewakili gejolak
jiwa masyarakat Minangkabau. Pada titik tertentu, pepatah itu menjadi spirit
orang Minangkabau untuk mencari penghidupan baru yang lebih baik di negeri
(rantau). Seorang pemuda atau bujangan di kampung belumlah dibutuhkan
sebagai niniak mamak (pemimpin) dalam kaum karena keterbatasan ilmu dan
pengalaman hidupnya. Seseorang yang memimpin kaum atau keluarga harus
kaya dengan khasanah ilmu dan pengalaman, bersikap bijaksana, dan berbuat
sebelum berkata.

Seiring perkembangan zaman, terjadi pergeseran pola perantau orang


Minang. Sebelum kemerdekaan, yang pergi merantau hanya diperuntukkan bagi
laki-laki. Hal ini mengingat dan menimbang keamanan bagi perantau perempuan
kurang baik, sebab di rantau akan menemukan medan yang berbahaya dan
kondisi keamanan yang tidak baik. Setelah kemerdekaan, kondisi daerah rantau
sudah membaik, maka para perantau sudah mulai berangsur-angsur membawa
keluarga atau saudara perempuan ke perantauan dengan berbagai alasan.

Istilah ‘merantau’ berarti meninggalkan kampung hal aman atau


meninggalkan tanah kelahiran. Filosofi rantau terkandung dari berbagai aspek
dan simbol kehidupan orang Minang. Kondisi hidup di kampong halaman yang
serba susah ikut mendorong orang Minang untuk membangun hidup di negeri
orang. Ada prinsip yang amat menarik bagi orang Minangkabau sebelum
melangkahkan kaki ke perantauan. Orang Minang tempo dulu pantang baginya
tinggal di kampung. Biarlah pergi dengan berbekal sehelai baju tanpa modal
uang (jo tulang salapan karek). Aib bagi mereka pulang dengan tangan kosong,
ia takkan pulang sebelum berhasil. Kendatipun hidup di perantauan tidur
beralaskan dengan sehelai koran.
Begitu kuat jiwa perantau bagi orang Minangkabau, sehingga tidak
mengherankan jika banyak orang Minang yang pada awalnya hanya berjualan di
kaki lima menjadi kaya raya dengan bermodalkan ketekunan dan keuletan. Oleh
sebab itulah tidak sedikit perantau asal Minang menempati posisi penting di
kawasan nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Brunai, Thailand dan ke Negara
lainnya. Dimanapun perantau Minang berada ia harus bisa menyesuaikan diri,
seperti pepatah “Dima bumi dipijak, di sinan langik di jujuang” / “dimana bumi
dipijak, disana langit di junjung” bajalan di tapi-tapi, mandi di baruah-baruah”/
berjalan di pingir-pinggir, mandi di bagian bawah aliran sungai”. Artinya,
mereka harus mampu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di tempat yang
mereka tuju, menghindari semua bentuk perselisihan yang menimbulkan
perselisihan dengan penduduk setempat.

Konsep dagang yang tak mau diperintah menjadikan orang Minang


untuk mandiri. Dalam arti positif, orang Minang lebih suka hidup sederhana
asalkan jiwanya merdeka, dari pada hidup kaya tetapi jiwa terjajah. Barangkali
inilah yang melatarbelakangi banyak orang Minang yang bergerak di bidang
dagang. Namun, pergi merantau bukan berarti meninggalkan kampung halaman
begitu saja atau lari dari kehidupan, tetapi pergi untuk kembali dengan kondisi
lebih baik. Hal ini dinyatakan dalam pantun berikut ini:

Baduri-duri tabang manau


salaronyo babuang juo
Satinggi-tinggi tabang bangau
Inggoknyo kakubangan juo
Sakanyang-kanyang bantiang
rumpuik dimamahnyo juo
sajauh-jauh malantiang
suruiknyo ka ranah juo
Selaian itu, orang Minang pergi merantau adalah karena mencintai
kampong halaman. Dalam hal ini falsalah adat menyatakan,” Sayang dianak
dilacuti, saying dikampuang ditinggakan”. Falsafah ini menganalogikan kalau
sayang dengan anak, maka ketika salah, mereka harus diingatkan agar kelak dia
lebih baik, sementara sayang dengan kampung ditinggalkan supaya suatu hari
bisa memberikan yang terbaik setelah kembali dari rantau, sebab jika tidak
merantau, tentu sulit membangun kampung halaman tempat mereka tumbuh
menjadi dewasa. Aspek lain dari merantau yang terekam dalam tradisi lisan
(pantun) yang bertema “merantau” adalah upaya masyarakat Minangkabau
merawat dan mewariskan ingatan kulturalnya sepanjang hayat.

B. Faktor yang Menyebabkan Orang Minang Merantau


Bagi pemuda Minagkabau, merantau merupakan suatu budaya yang
sudah mendarah daging. “Di saat kehidupan yang serba berkeadaan ini, dimana
segalanya ada dan cukup sesuai dengan kebutuhan manusia pada zamannya,
maka kekayaan yang ada pada dirinya hendaklah bermanfaat untuk keselamatan
hidup”. Seperti falsafah, “dek ameh sagalo kameh, dek padi sagalo jadi” artinya
kekayaan alam itu bermanfaat untuk mencapai segala apa yang dicita-citakan.
Pada masa sekarang, dengan tuntutan kebutuhan yang meingkat,
umumnya mereka yang merantau memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan
secara finansial. Akan tetapi ada beberapa alasan yang berbeda, sehingga mereka
memutuskan untuk merantau meninggalkan keluarga dan karib kerabat.
Istilah merantau sedikitnya mengandung enam unsur pokok yakni; (1)
meninggalkan kampung halaman, (2) dengan kemauan sendiri, (3) untuk jangka
waktu lama atau tidak, (4) dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu
atau mencari pengalaman, (5) biasanya dengan maksud kembali pulang, dan (6)
merantau ialah lembaga sosial yang membudaya.
Berikut ini factor yang menyebabkan orang minang kabau merantau:
1. Faktor Sistem Matrilineal
Merantau dalam tradisi Minangkabau dipercaya timbul karena
adanya sistem matrilineal. Sistem ini masih dipertahankan hingga
sekarang. Sistem matrilineal Minangkabau hanya memberikan harta
pusaka atau hak waris kepada pihak perempuan, sedangkan pihak
lakilaki hanya memiliki hak yang kecil. Hal inilah yang
menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Namun
perempuan minang pada masa sekarang juga telah banyak pergi
merantau.
2. Faktor ekonomi

Masyarakat minang kabau dikenal sebagai masyarakat


pedagang. Secara umum, masyarakat pedagang yang berasal dari
minang kabau ini tersebar dimana-mana. Sebetulnya ada sebuah nilai
yang mendasari mengapa ekonomi menjadi salah satu alasan
mengapa orang minang khususnta laki-laki merantau ke negeri lain.
Nilai tersebut berangkat dari adanya aturan bahwa kaum lakilaki di
minang kabau sama sekali tidak memiliki hak kepemilikan harta
pusaka tinggi. Sementara itu di sisi lain, mereka memiliki tanggung
jawab terhadap keluarga dan anak kemenakannya. Keadaan ini
mengharuskan laki-laki di minangkabau untuk mencari penghidupan
di negeri lain untuk memikul tanggung jawab tersebut.

3. Faktor pendidikan

Hal kedua yang mendorong orang minang kabau merantau ke


negeri orang lain adalah adanya keinginan untuk mencari ilmu
pengetahuan. Maka tidak mengherankan bahwa kemudian tokoh-
tokoh nasional yang disegani seperti Muhammad Hatta, Buya
Hamka, dan Sutan Syahrir. Semangat mencari ilmu masyarakat
minang kabau didasari dari falsafah “alam takambang jadi guru”.
Falsafah ini bermakna bahwa orang minang kabau hendaknya
mampu mengambil pelajaran dan ilmu pengetahuan dari apa yang
dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Semangat mencari ilmu
orang minang kabau pada dasarnya lahir dari adanya sebuah system
pendidikan yang diadakan di surau.

Pendidikan surau umumnya dipandang lebih merupakan


bagian penting dari proses di mana orang Minangkabau menjadi
seorang Muslim yang baik, warga masyarakat yang patuh, dan
anggota komunitas yang tercerahkan. Seseorang menghadiri
pendidikan surau sesuai dengan kepentingan individuanya; ia
menetap di surau selama ia masih belum puas dengan ilmu yang dia
butuhkan, dan sebaliknya ia bisa meninggalkannya kapan saja,
setelah ia merasa telah cukup "terpelajar".

Dewasa ini masyarakat minang kabau yang merantau untuk


mencari ilmu bukan hanya laki-laki, akan tetapi juga perempuan. Hal
ini seiring dengan perkembangan zaman yang mengharuskan hal itu
terjadi.

4. Memperbaiki ekonomi dan status sosial keluarga (Kaum)

Merantau bagi masyarakat Minangkabau dianggap mem-


berikan harapan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di
tempat yang dituju. Seorang ibu harus ikhlas melepas kepergian
anaknya demi memperoleh kehidupan yang lebih baik di masa
mendatang. Seperti pada pantun berikut!

Sikujua jo batang kapeh


Kambanglah bungo parautan
Jikok mujua Bundo malapeh
Bak ayam pulang ka pautan

Si kujua dengan batang kapas


Kembanglah bunga parautan
Kalau mujur bunda melepas
Bagai ayam pulang ke pautan

Melalui pantun tersebut dapat diketahui jika seorang ibu


melepas anaknya pergimerantau dengan tujuan “mambangkik batang
tarandam” atau menaikkan harkat dan martabat keluarga dan
kaum,baik secara ekonomi maupun dengan sosial. Ketika seorang
ibu melepas dengan iklas, maka usaha si anak juga akan lancar dan
mudah. Begitu juga dengan si anak yang merantau, sesampainya di
perantauan mereka juga harus bekerja keras tetapi tetap mejaga
norma-norma yang ada atau tidak melampaui batas kesopanan atau
kepatutan. Dengan bekerja keras, para perantau akan sukses di
perantauan.

5. Marantau cino
Istilah “marantau cino” yang memperjauh daerah perantauan
mereka dan tidak kembali ke kampung setelah sukses. Dalam hal ini
ungkapan “urang awak pergi kerantau bukan untuk merantau tapi
pergi bermukim di daerah orang” tak dapat di bantah lagi. Seperti
pada pantun berikut. “tinggi malanjuiklah kau batuang/ indak kaden/
tabang-tabang lai/ tingga mancanguiklah kau kampuang/ indak ka
den jalang-jalang lai (tinggi menjulanglah kau bambu/ tidakkan saya
tebang-tebang lagi/ tinggallah kau kampung/ takkan saya kunjungi
lagi” Artinya, mereka pergi merantau meninggalkan kampung agar
memperoleh penghidupan yang lebih baik, namun tidak berniat untuk
kembali. Keadaan seperti ini sebenarnya tidak sesuai dengan filosofi
merantau itu sendiri. Namun keadaan seperti ini tidak dapat
dielakkan. Berikut ini beberapa alasan yang berkenaan dengan alasan
perantau tidak kembali ke kampung halaman atau dengan istilah
marantau cino.
a. Tidak memiliki ayah atau ibu serta keluarga lagi
b. Malu pulang karena belum mapan
c. Terjadinya Perkawinan luar budaya atau beda suku.
d. Pertengkaran keluarga atau kaum, bahkan karena cinta ditolak
6. Daya tarik kota
7. Keresahan politik
8. Factor social dan budaya
9. Serta arus baru
C. Jenis-Jenis Daerah Rantau
Daerah ini merupakan tempat merantau bagi orang orang dahulu. Dari
Luhak Nan Tigo mereka pergi kedaerah lain dan membuat negeri baru disana.
Disana mereka tetap memakai adat seperti adat daerah yang meeka tinggalkan.
Hubungan mereka tidak putus dengan negeri asal mereka di luhak nan tigo.
Umumnya daerah ini erada disepanjang aliran sungai dan bermuara ke timur, ke
selat Malaka, bahkan termasuk Rantau Nan sembilan (negeri sembilan di
Malaysia). Daerah rantau Minangkabau dikenal juga dengan rantau nan tujuah
jurai, yaitu rantau kampar, kuantan, XII Koto, cati nan tigo, negeri sembilan,
tiku pariaman, dan pasaman. Daerah tiku pariaman dan pasaman dikenal juga
dengan daerah pasisie.
D. Relasi Kampung dan Rantau
Pada umumnya kebiasaan orang yang akan pergi merantau pergi
merantau meninggalkan kampung halamannya secara suka rela sanak
keluarganya akan melepas dengan perasaan haru dan sedih yang di sertai
dengan iringan doa dan ajaran adat merantau yang semestinya ia
lakukan. Dan orang kampung yang melepas akan punya harapan
terhadap oran yang merantau di suatu hari nanti apabila ia akan kembali
ke kampung halaman bisa membawa hasil dari rantau sehingga
hubungan perantau dengan karibkerabat yang mereka tinggalkan di
kampung halamannya masih sangat akrab dan menyatu,memang secara
fisik mereka berpisah tetapi secara rohaniah mereka tetap menyatu.
Seseorang yang merantau meninggalkan kampung halamannya,
hanyalah sekedar pindah tempat tinggal saja, sementara kebiasaan adat
dalam menyelesaikan suatu permasalahan dari suatu kaum, layaknya
dilakukan di rantau sesuai dengan kebiasaan di kampung dan kaumnya
sama saja waktu dikampung dahulu, jika terjadi suatu permasalahan,
maka orang dari kampung akan datang untuk menyelesaikan kedaerah
mana kita merantau.
Dan kebiasaan perantau pada awalnya secara fisik selalu pulang
kampung setidaknya sekali setahun demi melepaskan rindu dengan
kampung halamanya,bahkan ada yang pulang kampung melalu
organisasi kekerabatan dengan istilah pulang basamo yang bertujuan
untuk meningakatkan para perantau akan kampung halamannya dan ada
yang menunjukkan keberhasilannya di rantau dengan menggerakkan
bantuan-bantuan di kampung halamannya masing-masing serta
mendorong pariwisata bagi anak-anaknya yang lahir di rantau.mereka
belum pernah melihat kampung halaman orang tuanya semuanya adalah
bertujuan bahwa pulang dari rantau membawa hasil yang berguna bagi
kampung halamannya.
Bagi perantau yang kurang berhasil. Pulang kampung bagi mereka
mejadi beban mental dan financial. Mereka takut diejek dan dicemooh
yang sudah menjadi kebiasaan buruk orang awak. Pergi keromutan
mencarikan “punggung nan indak basaok”, pulang kampung tetap
menggadai sawah amai. Malu pulang kampuang dan berat karena biaya
yang memang susah didapat. Mereka melahirkan papatah baru berbunyi
sbb;

Dari Maek ka Koto Gadang Bakelok


jalan ka Pasa Ibuah Kok bansaek ka
dibawo pulang Eloklah rantau di
Pajauah

Keinginan hati hendak pulang sama besarnya dengan mereka yang


berhasil, apa daya tangan tak sampai.

Fakta sejarah membuktikan. Satu demi satu perantau Minang


kabau, yang sukses maupun yang gagal memulai pola hidup sebagai
perantau menetap atau perantau cino. Kampung halaman yang sudah
merupakan masa lampau. Tinggal kenangan. Sebaliknya bagi
masyarakat adat di Alam minangkabau di Tigo Luhak, maupun dirantau
dakek Padang, Pariaman, Pesisir dan Rantau Timur, mereka perantau
pemukim/perantau cino ini sudah dianggap dan diperlakukan seperti
orang asing pula, orang datang yang sudah hampir tak dikenal. Para
perantau sudah dianggap “tamu” di Nagarinya sendiri.

Pepatah Minang yang berbunyi “Nan tuo dihormati, samo gadang


ajak bakawan. Nan ketek dilindungi” tidak berlaku bagi perantau cino. Dari
perantau cino mereka hanya butuh bantuan “pitih”. Bantuan dalam
bentuk nasihat, pemikiran, saran-saran, konsep jarang mereka terima.
Prinsip mereka sederhana “Kami lebih tahu urusan kami dari anda para
perantau” yang kami butuhkan hanya pitih, sekali lagi pitih. Dengan
pitih bereslah segalanya.

E. Tujuan Merantau
Seiring perkembangan zaman, ternyata tujuan merantau bagi pemuda
Minang juga mengalami perubahan, sesuai dengan ungkapan “sakali aia
gadang, sakali tapian barubah/ sekali ada yang datang maka akan terjadi juga
perubahan”. Adapun tujuan orang Minang merantau pada masa sekarang adalah;
1. Mencari penghidupan yang lebih baik secara ekonomi,
2. Melanjutan pendidikan atau sekolah ke luar dari kampung,
3. Menaikkan derajat atau status sosial keluarga atau kaum, dan
4. Mencari pengalalam hidup agar apa yang didapatkan dapat dimanfaatkan
untuk membangun kampung halaman.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tradisi masyarakat Minangkabau, merantau, sudah mirip seperti gerakan
ideologi, terutama bagi pemuda di mana merantau merupakan suatu
keharusan /wajib. Dengan merantau, pemuda dan sebagian orang-orang Minang
mendapatkan pengalaman yang tidak mereka dapatkan di daerah sendiri. Pada
konteks tertentu ujian mereka adalah berada dirantau, sehingga muncul
anggapan mereka belum dikatakan dewasa atau berpengalaman jika belum pergi
meninggalkan daerah kelahirannya. Setelah sukses di rantau, mereka dapat
kembali pulang untuk memajukan kampung halaman.
Seiring perkembangan zaman, ternyata tujuan merantau bagi pemuda
Minang juga mengalami perubahan, sesuai dengan ungkapan “sakali aia
gadang, sakali tapian barubah/ sekali ada yang datang maka akan terjadi juga
perubahan” . adapun tujuan orang Minang merantau pada masa sekarang adalah;
1) mencari penghidupan yang lebih baik secara ekonomi, 2) Melanjutan
pendidikan atau sekolah ke luar dari kampung, 3) menaikkan derajat atau status
sosial keluarga atau kaum, dan 4) mencari pengalalam hidup agar apa yang
didapatkan dapat dimanfaatkan untuk membangun kampung halalam.
Idealnya perantau Minang selalu kembali ke kampung halaman
(sirkuler), tetapi kenyataanya mereka banyak yang tidak kembali atau menetap
di perantauan dengan istilah marantau cino. Adapun yang menjadi sebab
perantau ini tidak pulang lagi ke kampung halaman dikarenakan beberapa hal.
Pertama, tidak memiliki ayah dan ibu serta keluarga yang akan dikunjungi.
Kedua, merasa malu untuk pulang karena kondisi ekonomi yang belum mapan.
Ketiga, terjadinya pernikahan dengan orang luar Minangabau. Keempat, ada
konflik dengan keluarga atau kasus cinta ditolak. Meskipun banyak alasan yang
membuat mereka tidak dapat pulang setelah lama merantau, pada dasarnya
perantau tetap merindukan ranah Minang di mana pun mereka berada sebagai
tanah kelahiran mereka.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
kesalahan oleh penulis, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun, agar penulis dapat memperbaiki makalah ini dengan sebaik-
baiknya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

Achir, M. Mohd. (2014). Menelusuri Jejak Sejarah Nagari Kurai beserta


Lembaga Adatnya. Kristal Multimedia.

Aprial, David. (2020). Tradisi Merantau pada Masyarakat Minang


Kabau dalam Perspektif Teori Motivasi Abraham Masslow. Jurnal
kependidikan dasar islam berbasis sains, Volume. 5. Nomor. 2
Kemal, Iskandar. (2009). Pemerintahan Nagari Minangkabau dan
Perkembangannya: Tinjauan tentang Kerapatan Adat. Graha Ilmu.

Koto, Tsuyoshi. 2015. Adat Minangkabau dan Marantau dalam Perspektif


Sejarah. Bandung: Balai Pustaka.

Zulfikarni dan Siti Ainim Liusti. 2020. Merawat Memori: Filosofi Marantau
dalam Pantun-Pantun Minangkabau. SASDAYA: Gadjah Mada Journal of Hunaities
Vol. 4. No.1.

Anda mungkin juga menyukai