Anda di halaman 1dari 14

UJIAN AKHIR SEMESTER

BUDAYA ALAM MINANGKABAU (BAM)


“Budaya Kasurau, Kalapau, Karantau bagi Masyarakat Minangkabau dalam
Konteks Lelaki sebagai Pemimpin”

Dosen Pengampu :
Dr. Yasnur Asri, M.pd
Novrizal Sadewa, M.Pd

Oleh :

FAUZIAH NOVITA SARI


17075116

Kode Seksi :
201921280319

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA


JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN KELUARGA
FAKULTAS PARIWISATA DAN PERHOTELAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan
kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan paper diskusi ini yang
diberikan pada penulis sebagai tugas mata kuliah Budaya Alam Minangkabau
(BAM), yang membahas tentang “Budaya Kasurau, Kalapau, Karantau bagi
Masyarakat Minangkabau dalam Konteks Lelaki sebagai Pemimpin”. Pada paper
diskusi ini, penulis melampirkan penjelasan sehingga penulis berharap makalah
ini dapat memberi manfaat berupa ilmu pengatahuan dan dapat membantu
mempermudah dalam proses belajar mengajar.
Penulis menyadari pada paper diskusi ini masih banyak kekurangan dan
masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis sangat berharap kritik dan
saran dari para pembaca yang berguna untuk pembuatan paper diskusi yang lebih
baik di masa yang akan datang.

Payakumbuh, Mei 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan............................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Budaya Kasurau.............................................................................. 3
B. Budaya Kalapau.............................................................................. 5
C. Budaya Karantau............................................................................ 7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................... 10
B. Saran............................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Minangkabau selain dikenal dengan berbagai macam keunikan
falsafah hidup yang diajarkannya“seperti alam takambang jadi guru” juga
dikenal dengan pendidikan yang unik kepada para anak bujangnya, dengan
menerapkan pendidikan dan tidur disurau.
Disurau para anak bujang tidak hanya diajarkan ilmu agama, tetapi
juga berbagai macam hal lain seperti silat, petatah petitih, falsafah adat
maupun hal yang menyangkut permasalahan keadaan
sosial masyarakat minangkabau. Semua itu bertujuan untuk menyiapkan
generasi muda minang untuk kedepannya sebagai generasi yang mampu
memimpin dan mengelola anak kemenakan atau masyarakat pada
umumnya. Sisi positif lainnya adalah suaru tetap hidup dan terjaga juga
berdampak pada perkembangan spritual, moral dan sosial pada generasi
muda karna pola pendidikan seperti ini.
Pepatah minang yang lain mengatakan ‘marantau bujang dahulu
kini badan baguno balun” maksud pepatah ini menyuruh para generasi
muda minang untuk lebih dulu merantau seperti halnya kebiasaan
masyarakat minang yaitu hiudp merantau, maka tak heran di berbagai
daerah ditemui banyak orag minangkabau. Menurut penulis hal tersebut
sangat berkolerasi dengan malam disurau karna malam disurau adalah
suatu upaya pendewasaan bagi para generasi muda dalam mempersiapkan
dirinya dalam merantau kenegri orang untuk mencari hidup dan mencari
nafkah untuk dirinya ataupun keluarganya dirumah.
Bagi kita generasi muda tradisi seperti inilah yang harus
dikembalikan lagi, “mambangkik batang tarandam” itu memang susah dan
butuh perjuangan berat tetapi untuk dapat menguatkan kembali ikatan
yang sudah longgar hal ini sangat dibutuhkan. Usaha lain untuk kembali
menggiatkan hal ini bukannya tidak ada tetapi masih kurang optimal baik

1
dari kalangan masyarakat atau pemerintah sumatra barat sendiri
khususnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, persoalan yang akan di
bahas dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana budaya kasurau di Minangkabau ?
2. Bagaimana budaya kalapau di Minangkabau ?
3. Bagaimana budaya karantau di Minangkabau ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui budaya kasurau di Minangkabau.
2. Untuk mengetahui budaya kalapau di Minangkabau.
3. Untuk mengetahui budaya karantau di Minangkabau.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Budaya Kasurau
Dalam kebudayaan Minangkabau, surau memiliki peran yang
sangat penting dalam struktur sosial masyarakat. Surau tidak hanya
dianggap sebagai sebuah lembaga keagamaan, tetapi memiliki fungsi
sebagai tranformasi nilai-nilai budaya dan agama dalam masyarakat
Minangkabau. Wujud fungsi surau tersebut terlihat dari kurikulum yang
diajarkannya. Di Surau tidak hanya mengaji-mengaji saja, tetapi juga
memiliki kurikulum bersilat, berpidato adat,  berceramah agama dan
lainnya. Konsep ini sangat relevan dan sejalan dengan visi dan misi
Kemendikbud RI tentang pendidikan karakter yaitu untuk pembentukan
karakter bangsa yang berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, dan
pembentukan kepribadian dengan karakter unggul antara lain kejujuran,
berakhlak mulia, mandiri serta cakap dalam menjalani hidup (dalam
Permendikbud nomor 22 tahun 2015 tentang rencana strategis
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015-2019).
Sistim pendidikan surau ini mempunyai karakteristik, yang
mengajarkan tiga bidang keilmuan yakni:
1. Pendidikan Ilmu Agama
Pendidikan agama yang diajarkan di surau mulai pokok-pokok
akidah (tauhid), akhlak mulia serta penerapannya dalam kehidupan
diikuti dengan pengajaran agama Islam yang mudah dipahami dan
diamalkan. Dimulai dengan pendidikan Alquran, yang terdiri dari
pengenalan huruf hijaiyah, tajwid, tafsir alquran, seni membaca
Alquran, bahkan di surau-surau tertentu menganjarkan tasauf, mantik,
syaraf dan lainnya.
2. Pendidikan Adat
Selain pembelajaran agama, di surau juga belajar adat istidat  yang
berisi tentang akhlak bertutur (berbicara), bertingkah laku, dan
bersopan santun dalam masyarakat. Dalam pembelajaran ini anak

3
diajarkan tentang tatakrama bertutur kata. Dalam budaya Minangkabau
disebut sebagai kato mandaki jo kato manurun, kato malereng  jo kato
mandata, yang diistilahkan dengan “kato nan Ampek”. Sehingga
seorang anak di Minangkabau tahu adat berbicara dengan orang lain,
baik dengan orang yang sama besar atau kecil, berbicara dengan
sumando atau yang lebih besar. Adat budaya Minangkabau yang
berisi sopan santun dan budi- baso jo bahaso sebagai pelaksanaan
pengajaran Islam dalam masyarakat sejalan dengan filosofi masyarakat
Minang Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK)
yang dilakukan dengan strategi syara’ mangato adat mamakai. Maka
di suraulah tempat untuk mewariskan hal tersebut oleh mamak kepada
anak kemenakannya.
3. Pembelajaran Silat atau Bela Diri
Surau tidak hanya mengajarkan aspek keagamaan dan tempat
mengaji saja, tapi juga fungsi ritus peralihan bagi seorang anak bujang/
mambujang lalok di surau. Pada masa lalok di surau ini anak
kemenakan akan diajarkan berbagai seni ketangkasan, seperti silat
misalnya. Maka sangat dikenal dalam masyarakat Minangkabau lahir
berbagai jenis silat seperti silat kumanggo dari Sungai Tarab Tanah
Datar. Jenis bela diri Kumango bermula dari sebuah Surau Subarang,
masjid kecil di Nagari Kumango, Kecamatan Sungai Tarab. Dulu,
Syekh Abdurahman atau dikenal dengan Alam Basifat tak hanya
mengajar agama di tempat tersebut namun sekaligus mengajar ilmu
silat kepada para pemudanya di malam hari.
Kebiasaan pemuda Minang zaman dulu yang lebih senang
menginap di surau diisi sang syekh dengan belajar bela diri ini. Guru
mengaji sampai tahun 1980-an hanya di surau, di rumah penduduk tak
ada kamar untuk anak laki-laki, laki-laki di Minang pada dasarnya
tidak punya rumah, di waktu kecil tidur di surau, sewaktu tua/  bercerai
dari istri tidur di surau.

4
B. Budaya Kalapau
Orang Minangkabau memiliki sebuah budaya/kebiasaan yang suka
mendiskusikan sesuatu atau menginformasikan sesuatu ditempat yang non
formal yang dikenal dengan lapau. Kebiasaan itu disebut “Ma ota”. Ota
dalam kamus lengkap Bahasa Minangkabau (Minang – Indonesia) bagian
pertama berarti omong, bercerita. Sehingga terkadang orang sering
menyebutnya dengan  ota, ota lapeh, dan yang lebih sering kita dengar
adalah ota dilapau atau ota lapau. Lapau dapat “mendidik” kaum laki-laki
di Sumbar untuk terbiasa menyampaikan pendapat, bertukar pikiran,
berdebat, tetapi tetap menghargai pendapat orang lain.
Ma ota dilapau (ota lapau) dilakukan oleh bapak-bapak, angku-
angku, atau  mungkin juga ninik mamak kita di lapau. Hal ini biasanya
dilakukan pada pagi hari dari jam 06.00 sampai jam 08.00 pagi atau sore
sampai malam hari dari jam 06.00 sampai jam 10.00 malam atau lebih.
Sangat jarang dilakukan diluar jam tersebut, karena masyarakat akan
melakukan aktivitas ekonomi menurut profesinya masing-masing.  Ma
ota dilapau dilakukan pada waktu-waktu tersebut, sehingga orang
melakukannya secara bebas sampai balapik-lapik.
Berbagai hal sering dijadikan topik atau tema yang
diperbincangkan di lapau. Mulai dari masalah lokal sampai nasional,
persoalan wali nagari sampai presiden, masalah ekonomi dan harga-harga
kebutuhan pokok, politik, budaya, dan lainnya. Berbagai versi berita yang
diberita televisi menjadi topik yang sangat hangat dibicarakan dilapau.
Jika dikaji secara ilmiah, lapau dijadikan media sosial bagi masyarakat
Minangkabau dikampung-kampung. Mungkin di daerah Minangkabau
perkotaan ma ota di lapau sudah kurang dilakukan. Namun di berbagai
daerah di darek Minangkabau (di Tiga Luhak ; Luhak Tanah Datar, Luhak
agam, dan luhak 50 Kota) tradisi ma ota di lapau masih dilaksanakan oleh
masyarakat, sehingga menjadi media tempat berbagi informasi dan
bertukar pikiran bagi masyarakat di daerah tersebut. Tradisi ini mungkin
tidak pernah ada di daerah lain di luar Sumatera Barat.

5
Ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil dari maota
dilapau:
1. Lapau sebagai tempat ekpresi kebebasan berpikir dan berpendapat
masyarakat tradisional Minangkabau.
Pasal 28 Undang-Undang dasar negera Republik Indonesia
berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”. Dalam pasal 28 UUD 1945 ini memiliki makna yang
dalam tentang kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat
dimuka umum baik secara lisa dan tulisan. Indonesia dengan beragam
suku bangsa dan bahasa, meiliki kekayaan intelektualnya di masing-
masing daerah. Kebebasan berpikir dan berpendapat di berbagai
daerah memiliki khasnya masing-masing. Di daerah kebudayaan
Minangkabau wahana/ tempat penyampaian ekpresi kebebasan dan
berpendapat ini dilakukan di lapau.
2. Lapau sebagai media berbagi informasi dan berkomunikasi
masyarakat.
Media informasi dan komunikasi adalah tempat mendapatkan
berbagai informasi dan mengkomunikasikan informasi tersebut secara
lansung. Di Minangkabau tempat untuk mendapatkannya adalah
dilapau. Mungkin koran, HP, Whatsapp, facebook, dan televisi  akan
kalah saing dengan ota lapau. Penyebabnya adalah ota lebih
dikomunikasikan secara lansung, sehingga siapa yang melakukan apa
telah jelas dalam diskusi tersebut.
3. Lapau sebagai wahana pelestarian nilai-nilai budaya Minangkabau.
Kebudayaan menurut Koenjtaraningrat adalah “Seluruh sistem
gagasan dan rasa, tindakan, serta  karya yang dihasilkan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan
belajar” (Koentjaraningrat, 2005;72). Lebih lanjut C . Kluckhohn
(dalam Koentjaraningrat, 2005;80) menjelaskan bahwa ada beberapa
unsur kebudayaan umum yang bisa dijelaskan dalam masyarakat, yaitu

6
Bahasa, Sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup
dan teknologi,sistemmata pencaharian hidup, sistem religi, dan
kesenian.
Salah satu unsur kebudayaan tersebut adalah sistem pengetahuan
dalam masyarakat. Hal ini bisa diuraikan sebagai suatu pengetahuan
masyarakat yang dijadikan milik bersama dan dijadikan sebagai hak
milik karya masyarakat. Salah satu hasil karya  Minangkabau adalah
kuliner/ makanan tradisionalnya yang sangat enak dan sedap untuk di
nikmati. Banyak makanan tradisional Minangkabau, seperti Rendang,
katan goreng, lamang tapai, lapek, teh talua, dan sebagainya. Makanan
tersebut sering kita temui dilapau.
Hubungannya dengan pelestarian nilai-nilai budaya dilapau adalah
bahwa di lapaulah makanan tersebut dilestarikan,dinikmati, dan
dipertahankan. Teh talua (teh telur) merupakan minuman khas
Minangkabau yang hanya kita dapatkandi lapau, dan jarang kita temui
menu tersebut di beberapa kafe-kafe modern. Teh telur dinikmati
bersama dengan makanan katan goreng, atau lamang tapai, atau
penganan lainnya. Ma ota dilapau akan lebih bersemangat bila diiringi
dengan minum dan makanan tradisional Minangkabau.
Pelestarian nilai-nilai budaya Minangkabau di lapau akan selalu
teraktualisasi dengan semakin ramainya masyarakat berdikusi dan
berkomunikasi dilapau dalam bentuk ota lapau. Sehingga semakin
hari ota lapau menjadi sebuah tradisi yang bisa dijadikan warisan dunia
yang perlu dilestarikan sebagai budaya khas budaya Minangkabau.

C. Budaya Karantau
Rantau menjadi tradisi yang kental di Minangkabau, selain lapau
dan surau. Rantau, lapau, dan surau menjadi bagian dari perjalanan hidup
laki-laki di tanah Minangkabau. Budaya marantau di ranah Minangkabau
memiliki arti sebagai proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan
dunia luar. Marantau merupakan ciri khas masyarakat Minangkabau,

7
selain sistem kekerabatan matrilinealnya. Disebut sebagai ciri khas, karena
marantau merupakan bagian kehidupan orang-orang Minangkabau yang
terbangun dari budaya dinamis, egaliter, mandiri, dan berjiwa merdeka.
Marantau adalah meninggalkan rumah dan kampung halaman untuk
mencari pengetahuan, pengalaman, dan berinteraksi dengan orang lain dari
beragam tempat, dengan beragam kultur, dan wawasan.
Orang Minang telah memiliki tradisi bermigrasi meninggalkan
tanah air mereka dan menetap di tempat lain yang dianggap memberikan
kehidupan yang layak. Terdapat tradisi yang mengharuskan pemuda
Minangkabau merantau, sebelum mengabdikan dirinya di kampung
halaman. Ini selaras dengan sebuah pantun Minang:
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau Bujang dahulu
Di rumah baguno balun
Pantun di atas memotivasi pemuda Minangkabau untuk berani
marantau, keluar dari kampung halaman guna menambah ilmu dan bekal
kehidupan, karena tanpa itu mereka tidak akan bermanfaat bagi keluarga
dan masyarakatnya. Marantau bagi laki-laki Minang adalah gerbang
inisiasi yang harus dilalui untuk menjadi orang yang tangguh, dan harus
dilakukan sewaktu berumur muda.
Marantau merupakan proses pendewasaan, untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik dari kehidupan di kampung. Dengan migrasi
(merantau), tidak hanya kekayaan dan pengetahuan yang diperoleh, tetapi
juga prestise dan kebanggaan pribadi. Meskipun secara tradisional rantau
merupakan wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah taklukan
sebagaimana di paparkan di atas. Namun dalam perkembangannya, konsep
rantau dilihat sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan
dan kehidupan yang lebih baik dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi
dan bukan dalam konteks politik. Berdasarkan konsep tersebut, merantau

8
adalah untuk pengembangan diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi
yang lebih baik.
Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan dengan tiga
hal:
1. Mencari harta (berdagang/menjadi saudagar),
2. Mencari ilmu (belajar),
3. Mencari pangkat (dalam hal ini adalah pekerjaan atau jabatan)
Marantau dapat meningkatkan martabat seseorang di tengah
lingkungan adat. Marantau sebagai bentuk perjalanan ke negeri orang
hampir menjadi keharusan bagi setiap orang bujang (anak laki-laki di
Minangkabau) dalam masyarakat Minangkabau tradisional, karena dengan
membuktikan kesuksesannya di rantau, si Bujang itu besar
kemungkinannya lebih sukses dalam berbagai hal yang menyangkut adat
seperti perkawinan, kehormatan, kedudukan dalam suku, dan sebagainya.
Budaya marantau ini sudah dilakukan oleh masyarakat
Minangkabau sejak berabad-abad silam. Suku Minangkabau terkenal
dengan suku yang berbudaya, memiliki kecepatan dalam beradaptasi
dengan suku dan wilayah lainnya, dan cakap dalam berkomunikasi. Hal ini
yang akhirnya menjadikan suku minangkabau banyak yang melakukan
kegiatan merantau, bahkan merantau telah dijadikan budaya untuk
dilakukan secara terus menerus dari waktu ke waktu.
Pengertian merantau disini bukan mengusir warganya pergi dari
tanah kelahiran, tetapi betujuan untuk memperluas wawasan seseorang
dengan pergi ke tempat yang berlainan. Pergi sementara ini diharapkan
dapat memperkuat pemahaman terhadap nilai dan adat Minangkabau
dengan perbandingan nilai yang berlaku diluar adatnya, sehingga
penghargaan dan kecintaanya pada adat dan budaya sendiri semakin dalam
dan berakar

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam kebudayaan Minangkabau, surau memiliki peran yang sangat
penting dalam struktur sosial masyarakat. Surau tidak hanya dianggap sebagai
sebuah lembaga keagamaan, tetapi memiliki fungsi sebagai tranformasi nilai-
nilai budaya dan agama dalam masyarakat Minangkabau.
Orang Minangkabau memiliki sebuah budaya/kebiasaan yang suka
mendiskusikan sesuatu atau menginformasikan sesuatu ditempat yang non
formal yang dikenal dengan lapau. Lapau “mendidik” kaum laki-laki di Sumbar
untuk terbiasa menyampaikan pendapat, bertukar pikiran, berdebat, tetapi tetap
menghargai pendapat orang lain.
Merantau merupakan ciri khas masyarakat Minangkabau, selain sistem
kekerabatan matrilinealnya. Disebut sebagai ciri khas, karena merantau
merupakan bagian kehidupan orang-orang Minangkabau yang terbangun dari
budaya dinamis, egaliter, mandiri, dan berjiwa merdeka. Merantau adalah
meninggalkan rumah dan kampung halaman untuk mencari pengetahuan,
pengalaman, dan berinteraksi dengan orang lain dari beragam tempat, dengan
beragam kultur, dan wawasan.

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini, tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
penulis harapkan untuk perbaikan kedepannya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Marta, Suci. 2014. Konstruksi Makna Budaya Merantau Di Kalangan Mahasiswa


Perantau. Jurnal Kajian Komunikasi Volume 2, No. 1.

Wulandari, Puji., dkk. 2018. Usaha perantau Minangkabau di Kota Yogyakarta


dalam membina hubungan dengan kerabat asal. Jurnal Civics: Media
Kajian Kewarganegaraan Vol. 15 No. 1.

https://kampusurauksm.wordpress.com/2017/12/07/rantau-surau-lapau-di-
minangkabau/. Diakses pada tanggal 13 Mei 2020.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/membudayakan-tradisi-surau/.
Diakses pada tanggal 13 Mei 2020.

11

Anda mungkin juga menyukai