Anda di halaman 1dari 14

DIALEKTIKA BUDAYA DAN AGAMA PADA TRADISI PETA KAPANCA

DALAM PERKAWINAN ADAT BIMA


Dosen Pengampu: Dr. Abdul Malik, M.Ag, M.Pd

Disusun Oleh: Kelompok V


1. St. Aisyah (210301119)
2. Fitri Maela Anjani (210301104)
3. Arrahman Lukman (210301103)

PROGRAM STUDI S1 KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2023

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan inayah_Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini,
guna memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Islam dan Budaya Lokal dengan judul
“Dialektika Budaya Dan Agama Pada Tradisi Peta Kapanca Dalam Perkawinan Adat Bima”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu pada mata kuliah Islam dan
Budaya Lokal “Dr. Abdul Malik, M.Ag, M.Pd” yang telah memberikan materi ini kepada
kami.Sehingga menambah wawasan kami terkait dengan materi ini dan juga memberikan
kami pengalaman dalam penelitian ini.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritikan yang konstruktif dari
berbagai pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam pembelajaran kita.

Mataram, 08 April 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................5
C. Tujuan.........................................................................................................................................5
BAB II KAJIAN TEORI.....................................................................................................................6
A. Dialektika Agama dan Budaya...............................................................................................6
1. Konsep Akulturasi...............................................................................................................6
2. Konsep Asimilasi......................................................................................................................7
B. Metode pengumpulan data......................................................................................................7
1. Library Research.................................................................................................................7
2. Wawancara..........................................................................................................................8
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................................................9
A. Definisi Peta Kapanca.............................................................................................................9
B. Tujuan peta kapanca...............................................................................................................9
C. Prosesi peta kapanca...............................................................................................................9
D. Dialektika Budaya dan Agama Islam Pada Tradisi Peta Kapanca Dalam Pernikahan
Adat Bima......................................................................................................................................11
BAB IV PENUTUP............................................................................................................................13
A. Kesimpulan............................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................14

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bima merupakan sebuah daerah Indonesia yang terletak di sebelah timur pulau
sumbawa, yang berbatasan langsung dengan pulau NTT. Seperti daerah-daerah lain
yang mempunyai keunikan masing-masing, bima memiliki ciri khas tersendiri yang
membedakan bima dengan daerah lain yang ada di Indonesia. keautentikan budaya
bima yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat bima menjadikan
masyarakat bima bangga terhadap tanahnya, karena itu adalah salah satu ciri khas dari
daerah tersebut.
Keautentikan budaya bima salah satunya adalah Tradisi perkawinan adat yang
dilakukan oleh masyarakat bima. Upacara pernikahan suku Mbojo di Bima memiliki
beberapa Tahapan yang dilakukan oleh masyarakat yang sampai saat ini masih
dipertahankan dan diikuti oleh masyarakat asli suku Mbojo. Karena Tradisi
pernikahan adat adalah warisan budaya dari nenek moyang masyarakat Bima.
Perubahan dan perkembangan kebudayaan juga terjadi pada masyarakat suku
Mbojo di daerah Bima. Masyarakat Bima sebelumnya menganut kepercayaan
dinamisme dan animisme. Pergeseran kebudayaan terjadi Ketika islam masyk ke
Bima pada abad ke-17 melalui kecamatan Sape yang dibawah oleh para ulama dari
Sumatera yang diutus oleh raja Gowa, Tallo dan Bone. Para ulama menggunakan
metode dakwah cultural yang damai dan halus. Sehingga dapat diterima dan merubah
budaya sebelumnya dan melahirkan akulturasi islam dengan budaya lama dalam
bentuk baru yang berkualitas.1
Masyarakat bima memiliki tingkkatan kasta atau golongan dalam masyarakat,
mulai dari keturunan raja (keturunan ncuhi), keturunan dae (bangsawan), muma, pua,
ince dan golongan masyarakat biasa. Hal ini meggambarkan masyarakat bima
memiliki silsilah keturunan dari suatu kerajaan bima Terdahulu dan keturunan
bangsawan yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur seperti dalam upacara
adat perkawinan yag dinamakan peta kapanca.
Masyarakat bima tidak membedakan antara masyarakat bangsawan atau
masyarakat biasa yang harus menikah dengan darah keturunan ningrat. Artinya
Tradisi pernikahan di Bima tidak terlalu membedakan tingkatan sosial atau kelas
sosial dalam masyarakat. keturunan raja menikah dengan rakyat biasa itu bukan
masalah dan tidak ada hukum umum yang menentang hal seperti itu terjadi di
masyarakat bima, kecuali ada tekanan nyata dari pihak keluarga.
Salah satu upacara adat Bima dalam pernikahan adalah peta kapanca. Tradisi
peta kapanca menurut masyarakat bima adalah suatu Tradisi yag dilaksanakan bagi
calon pengantin perempuan sebelum berlangsungnya akad nikah dengan bertempat
1
Amrin, Muthoifi, Sudarno Shobron, Heldy Ramadhan Putra, 2020. “Islamic Values of the Peta
Kapanca Tradition at the Mbojo Tribe's Marriage, West Nusa Tenggara, Indonesia”. Cakrawala: jurnal Studi
Islam, Vol. 15 No. 2, hlm. 95

4
pada kediaman calon pengantin perempuan. Tradisi tersebut oleh beberapa agama dan
tokoh adat menyatakan bahwa jika tidak dilaksanakan akan menjadi aib bagi keluarga
dan masyarajat setempat.
Keberadaan dan praktik budaya Tradisi peta kapanca di pernikahan adat Bima
sangat menarik untuk diteliti, dikaji dan di telah. Karena mengungkapkan nilai-nilai
sosial dan nilai keislaman yang terkandung dalam Tradisi peta kapanca, yang
kemudian diimplementasikan dalam konteks Identitas budaya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa tujuan dari Tradisi Peta kapanca?
2. Bagaimana proses terjadinya Tradisi Peta Kapanca
3. Bagaimana dialektika budaya dan agama islam pada Tradisi Peta Kapanca dalam
Perkawinan Adat Bima?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui seperti apa dan apa tujuan Tradisi Peta Kapanca!
2. Untuk mengetahui bagaimana prosesi Tradisi Peta Kapanca berlangsung!
3. Untuk Memahami dialektika budaya dan agama islan pada Tradisi Peta Kapanca
dalam Perkawinan Adat Bima!

5
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Dialektika Agama dan Budaya


Agama dan Budaya
Kata agama berarti tidak kacau yang berarti teratur. Sehingga agama
merupakan suatu kepercayaan yang mendatangkan kehidupan yang teratur dan
tidak kacau serta mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan hidup bagi
manusia. Secara umum, bahwa agama merupakan jalan hidup atau jalan yang harus
ditempuh oleh manusia dalam hidup di dunia yang berupa aturan-aturan, nilai dan
norma yang mengatur kehidupan manusia, yang dianggap sebagai kekuatan untuk
mewujudkan kehidupan yang aman, tenteram dan sejahtera.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya didefinisikan sebagai
pikiran,akal budi;adat istiadat;sesuatu yang sudah menjadi kebisaaan yang
sukar diubah. Sedangkan, kebudayan dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat
istiadat; keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi
pedoman tingkah lakunya.
Dialektika agama dan budaya di mata masyarakat muslim secara umum
banyak melahirkan penilaian. Sebagian bersemangat untuk mensterilkan agama dari
kemungkinan akulturasi budaya setempat, sementara yang lain sibuk dan fokus
membangun pola dialektika antarkeduanya (Roibin, 2010: 1). Terlepas keyakinan
masing-masing pemahaman, dalam faktanya, potret keberagamaan semakin
menunjukkan suburnya pola akulturasi, bahkan Indikasi terjadinya proses dialektika
antara agama dan budaya tersebut terlihat pada fenomena perubahan pola pemahaman
keagamaan dan perilaku keberagamaan dari tradisi budayanya.2
1. Konsep Akulturasi
Akulturasi dapat didefinisikan sebagai proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur
dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri
tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Meskipun muncul budaya baru akibat adanya interaksi dalam rentang waktu
yang lama, ciri masing-masing kebudayaan masih tetap ada. Budaya tersebut terus
berkembang dan bertemu dengan budaya lain akan melahirkan budaya baru lagi.
Begitu seterusnya.

2
Ma'ruf, M. "Dialektika Agama Dan Budaya Di Masyarakat Muslim." Al-Makrifat: Jurnal Kajian
Islam 1.2 (2016): 124-144.

6
Ada unsur-unsur kebudayaan yang mudah terpengaruh oleh budaya baru
yang disebut overt culture. Contohnya, gaya hidup, ilmu pengetahuan. Unsur
budaya yang sulit sekali terpengaruh (covert culture). Unsur-unsur yang tidak
mudah terpengaruh oleh budaya asing adalah:3
1. System budaya
2. Keyakina kegamaan
3. Adat-adat yang sudah ditradisikan sejak lama secara turun
temurun.
2. Konsep Asimilasi
Asimilasi adalah perpaduan dua atau lebih kebudayaan , kemudian
menjadi satu kebudayaan baru tanpa adanya unsur-unsur paksaan. 4 Proses ini bisa
terjadi ketika ada dua kelompok atau lebih masyarakat dengan kebudayaan yang
berbeda saling berinteraksi atas dasar sikap terbuka, sikap toleran, dari masing-
masing kelompok.
Asimilasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial yang ditandai
dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat
antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia. Dalam pengertian
yang berbeda, khususnya berkaitan dengan interaksi antar kebudayaan, asimilasi
diartikan sebagai proses sosial yang timbul bila ada: (1) kelompok-kelompok
manusia yang berbeda kebudayaannya, (2) individu-individu sebagai anggota
kelompok itu saling bergaul secara langsung dan intensif dalam waktu yang relatif
lama, (3) kebudayaan-kebudayaan dari kelompok manusia tersebut masing-
masing berubah dan saling menyesuaikan diri.
Interaksi budaya baik akulturasi maupun asimilasi dapat terjadi dalam
lingkup antar individu maupun antar kelompok. Dalam lingkup individu, proses
interaksi dalam bentuk komunikasi akan membentuk kesepakatan bersama yang
selanjutnya dipakai bersama, bahkan menjadi pengikat antar sesama mereka. Jika
masing-masing buah pikiran merupakan budaya, maka hasil komunikasi tersebut
adalah menjadi budaya bersama, atau yang disebut dengan budaya kolektif. Proses
itu bisa terjadi dalam satu wilayah tertentu, sehingga terbentuk apa yang disebut
dengan budaya lokal.
B. Metode pengumpulan data
1. Library Research
Metode Penelitian ini termasuk metode penelitian pustaka (Library research)
yaitu pendekatan dalam penelitian yang obyek kajiannya adalah data pustaka.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang bersifat teoritis dan sistematis
yang relevan dengan judul penelitian. Teknik Pengumpulan data pada penelitian ini
yaitu dengan cara memilih sumber data yang sudah teruji kebenarannya, kemudian

3
Suprapto. Dialektika Islam dan Budaya Nusantara dari Negosiasi, Adaptasi Hingga Komodifikasi.
(Jakarta: Kencana, 2020). Hlm 57
4
Mudzirin Yusuf, dkk, dalam Khadziq, tt, Islam dan Budaya Lokal, Yogyakarta:Teras, hlm.89.

7
membaca berbagai data kepustakaan yang telah dipilih, lalu menelaah serta
menganalisa data yang diambil dari literatur-literatur baik buku, hasil penelitian
sebelumnya serta berbagai jurnal yang memiliki keterkaitan dengan masalah
2. Wawancara
Pada penelitian ini, penulis mengumpulkan data melakui proses wawancara.
Wawancara adalah proses mengumpulkan data atau informasi seara mendalam terkait
dengan tema yang diteliti, melalui komunikasi atau interaksi antara peneliti dengan
narasumber (informan). pesatnya perkembangan di era modern dan berdasarkan
perkembangan zaman, wawancara tidak hanya dapat dilakuakan secara face to face,
tetapi juga dapat dilakukan secara online dengan berbagai media.

8
BAB III

PEMBAHASAN
A. Definisi Peta Kapanca
Tradisi pet kapanca ada semenjak masa pemerintah sultan bima yang ke-2 yaitu,
Sultan Abdul Khair Sirajuddin. Pada saat itu islam masih dalam proses sosialisasi dan
adaptasi. Sehingga berbagai dan budaya masyarakat dikemas dengan berbagai symbol-
simbol keislaman. Masyarakat bima pada saat itu sangat menyukai kesenian, sehingga
sultan Abdul Khair Sirajuddin mengemas peta kapanca sesuai dengan ajaran islam. Peta
kapanca hadir untuk menarik perhatian masyarakat agar pada keesokan harinya dapat
dilaksanakan akad nikah sebagaimana yang diperintahkan dalam islam.5
Peta kapanca berasal dari bahasa bima yang terdiri dari dua kata yaitu peta
(menempelkan), kapanca (daun pacar/inai). Jadi peta kapanca adalah menempelkan
daun pacar/inai pada kuku calon pengantin perempuan yang dilakukan oleh perempuan
adat yang berjumlah ganjil, biasanya berjumlah 7 sampai 11 orang. 6Peta kapanca
merupakan kegiatan meghias kuku dan telapak tangan calon mempelai Wanita dengan
daur pacar (kapanca). Upacara peta kapanca merupakan salah satu bagian dari proses
pernikahan suku Mbojo yang banyak diikuti oleh orang tua, dewasa, remaja bahkan
anak-anak. Tradisi peta kapanca ini dilakukan pada malam hari, tepatnya sehari
Sebelum dilaksanakan akad nikah dan resepsi pernikahan.
B. Tujuan peta kapanca
Tradisi peta kapanca ini sangat didambakan oleh ibu-ibu, bertujuan untuk
mempersiapkan atau mengantarkan putrinya atau calon mempelai perempuan dari
masa lajangnya memasuki kehidupan berumah tangga yaitu menjadi seorang istri dan
seorang ibu. Selain itu peta kapanca dilakukan untuk memberi contoh bagi para gadis
bima lainnya agar mengikuti jejak calon pengantin yang sedang mempersiapkan diri
dan akan mengakhiri masa lajangnya sehingga mereka termotivasi. Selain itu, peta
kapanca memiliki tujuan yang signifikan yaitu agar kehidupan calon pengantin
nantinya indah seperti indahnya daun pacar yang menempel di tangan calon pengantin
perempuan dan diharapkan mahligai perniahannya melekat.
C. Prosesi peta kapanca
Sebelum prosesi peta kapanca dimulai, terdapat beberapa rangkaian pra acara, yaitu:
1. Sangongo atau mandi uap dengan bunga-bunga, atau yang lebih dikenal oleh
masyarakat bima adalah boho oi mbaru. Boho oi mbaru ini dilakukan oleh inang
pengasuh.
2. Merias, setelah melakukan sangongo, calon pengantin tersebut dirias layaknya
riasan pengantin serta menggunakan pakaian adat bima. Tampilan ini memberikan

5
Muhammad Aminullah dan Nasaruddin, 2017. “Wajah Islam Nusantara Pada Tradisi Peta Kapanca
Dalam Perkawinan Adat Bima”, Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan, Vol. 1 No. 1, hlm. 15-
16
6
Wawancara dengan Fatimah (Ibu adat), pada tanggal 09 April 2023

9
lambang kemakmuran sebagai suatu harapan adanya sinar cemerlang bagi
kehidupan calon pengantin keesokan harinya.
3. Kalondo wei (menjemput calon pengantin perempuan), calon pengantin
perempuan duduk diatas sebuah kursi kayu berbentuk segi empat. Selanjutnya
calon pengantin Wanita dibawa ke tempat yang sudah disediakan yaitu uma ruka
(panggung) dengan cara diusung oleh 4 pemuda dari keluarganya diiringi dengan
hadarah atau iki kapanca, yang dilakukan oleh bpak-bapak berjumlah 7 atau 9
orang.

Dalam prosesi Tradisi peta kapanca, terdapat beberapa kebutuhan dan bahan
yang menjadi simbol yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu. Bahan tersebut harus
dipenuhi dan dilengkapi, apabila tidak lengkap maka tidak memenuhi syarat untuk
dilaksanakan Tradisi peta kapanca. Bahan yang diperlukan adalah symbol yang
mencerminkan kehidupan calon pengantin yang diharapkan yaitu Sakinah mawaddah
warrahma.
Symbol yang dibutuhkan tersebut adalah:
1. Daun pacar/inai yang sudah dihaluskan
2. Telur 99 butir, yang dihiasi dengan kertas berwarna warni yang ditancap pada
batang pohon pisang
3. Bantal kecil sebagai alas untuk tangan calon pengantin perempuan
4. Daun pisang sebagai alas untuk tangan dan kaki calon pengantin perempuan
ketida ditempelkan daun pacar
5. Air yang diisi pada mangkok kecil untuk dipakai bilas tangan ibu-ibu adat
6. Beras Kuning (bongi monca) untuk dilemparkan ke calon pengantin serta tamu
undangan.
7. Lilin 7 buah
8. Daun sirih
9. Kain putih
Setelah pengantin sampai dan duduk di uma ruka, maka proses peta kapanca
dimulai. Pada proses peta kapanca, Posisi tangan lurus berada diatas daun pisang dan
bantal dengan Posisi banyal diatas paha dan berbagai perlengkapan dan bahan
dipersiapkan. Acara dimulai dengan lantunan ayat suci Al-qur’an (pembacaan kalam
Ilahi), pembacaan syair berupa do’a dan dilanjutkan dengan zikir kapanca. Zikir
kapanca memuat istigfar sebanyak tiga kali, syahadat, shalawat, Al-Fatihah, Al-Ikhlas
tiga kali, Al-Falaq tiga kali, An-Nas tiga kali, ayat kursi dan surah Al-Baqarah ayat
248-286. 7
Acara selanjutnya adalah acara inti dari peta kapanca yaitu menempelkan daun
pacar yang sudah dihaluskan kepada telapak tangan calon pengantin perempuan oleh
7 atau 11 orang ibu-ibu secara bergiliran. Dengan adanya tanda merah menandakann
bahwa sang gadis akan berakhir masa lajangnya dan akan segera memegang tanggung

7
Wawancara dengan Rustam (Tokoh Agama), pada tanggal 09 April 2023

10
jawab sebagai istri yang siap mendampingi suami. Peta Kapanca dihadiri oleh ibu-ibu
dari pihak keluarga, kaum kerabat, masyarakat setempat.
Ketika proses menempelkan daun pacar berlangsung Lantunan zikir
mengiringi proses tersebut. Zikir ini berisi pujian dan sanjungan pada Allah swt. Dan
rasul. Serta memohon doa restu kepada Allah swt. Semoga kelak calon pengantiin
mendapatkan ridho, keberkahan dan kedamaian sehingga sanggup mengemban
Amanah yang akan dijalani. Kemudian dilanjutkan dengan tahlilan dan patu mbojo.
Pada penhujung acara telur yang dihiasi dengan bunga-bunga akan
diperebutkan oleh ibu-ibu undangan yang memiliki anak gadis. Dalam bahasa bina
Rebutan bunga-bunga telur disebut “Ranca Male”. Telur yang didapatkan di acara itu,
nantinya akan dikonsumsi oleh anak gadis mereka. Sedangkan rangkai bunganya
dijadikan hiasan pada kamar. Itulah sebabnya, upacara “Peta Kapanca” menjadi
dambaan para ibu-ibu masyarakat Bima, dengan harapan semoga anak gadis mereka
cepat mengakhiri masa lajangnya dan akan melewati upacara yang sama yakni “Peta
Kapanca”.
Patu mbojo:
Bismillah ditampu’u kai baca (Bismillah untuk memulai membaca)
Alhamdulillah ditampu’u kai roi (Alhamdulillah untuk memulai puji-pujian)
Ede dibae ade ita doho sa udu (Itulah untuk diketahui semuanya)
Loaku mori sana ade ndai di ada (Agar hidup senang kita sebagai hamba)

Nggara mori si dine’emu sodi (jika hidup yang Ingin ditanyakan)


Ridi made si dine’emu mungki (kalau kematian Ingin dipungkiri)
Rasama ndadi si saramba wa’u (disepakati terjadi sejak lama)

D. Dialektika Budaya dan Agama Islam Pada Tradisi Peta Kapanca Dalam
Pernikahan Adat Bima
Pada mulanya Tradisi peta kapanca sudah ada sejak pra islam sebagai salah
satu bentuk ritual untuk mempersiapkan calon pengantin Wanita menjadi seorang istri
dan ibu rumah tangga. Pada pra islam, proses peta kapanca diiringi dengan mantra-
mantra dan persembahan sesajen agar kelak dapat menjadi istri yang baik. Ketika
islam hadir, sultan bima dan para tokoh agama, mendesain Tradisi peta kapanca ini
menjadi Tradisi yang barbau islami. Dengan Munculnya agama islam sebagai agama
mayoritas di Bima, Dalam proses upacara peta kapanca sudah tidak lagi menggunakan
mantra-mantra dan sesajen, diganti dengan shalawat, bacaan Al-Qur’an dan doa.
Pada Tradisi peta kapanca ini, akulturasi islam dan budaya bima sangat kental,
seperti dalam proses boho oi mbaru (mandi uap dengan bunga-bunga) tersebut diiringi

11
dengan shalawat dan do’a dengan harapan menjadikan calon pengantin Wanita bersih
secara lahir dan batin sehingga mendapatkan keberkahan dan Rahmat. Sebagai salah
satu kesenian Islam di budaya bima, hadrah hadir untuk mengiringi prosesi kalondo
wei (menjemput calon pengantin perempuan). Begitu juga dengan pembacaan ayat
suci sebagai pembuka saat acara prosesi peta kapanca, dilanjutkan dengan pembacaan
zikir kapanca yang berisi maulid syaraful anam sebagai doa dan harapan agar calon
pengantin wanita menjadi istri yang solehah sebagaimana anak keturunan Rasulullah.
Bilangan ganjil bagi para ibu-ibu tamu undangan dalam prosesi peta kapanca
menunjukkan nilai keislaman yaitu kesukaan Allah terhadap sesuatu yang ganjil,
begitu juga dengan hiasan bunga-bunga telur di samping kanan dan kiri pelaminan
menandakan keagungan asma’ Allah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.8

Makna Bahan-Bahan Persyaratan Peta Kapanca


1. Simbol 99 butir telur. adalah mengagungkan nama-nama Allah yang merupakan
sebagai nilai akidah atau keimanan di dalam masyarakat suku Mbojo, sebagai harapan
diberikan kebaikan dan keberkahan seperti arti dalam Asmaul Husna.
2. Ro’o nahi (daun sirih) yang pada pucuk bunga telur ini dibungkusi 1 (satu) lembar
daun sirih dan pinang yang menandakan hubungan sosial yang sangat erat antar
masyarakat dengan bersilaturahmi.
3. Ro.o kapanca (Daun Pacar) yang ditempelkan pada telapak tangan calon pengantin
perempuan, akan memberi warna merah pada telapak tangan dan sangat sukar atau
sulit menghilangkannya. Pewarnaan telapak tangan menjadi merah dan sukar
dihilangkan berarti doa atau harapan, semoga pernikahan nanti akan berlangsung
dengan langgeng, menyatu antara keduanya, kekal dan bahagia selama-lamanya di
dunia dan akhirat.
4. Lilin, sebagai pelita yang dapat menerangi kegelapan yang berarti panutan atau
keteladanan, sehingga calon pengantin dapat menjadi penerang, penuntun, suri teladan
untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat, sehingga kebaikan dan keharmonisan
dapat terwujud dengan rukun dan damai.
5. Batang pohon pisang) yang melambangkan kehidupan sambung menyambung
(berkesinambungan). Artinya berusaha keras demi mendapatkan hasil yang
diharapkan.
6. Malanta (kain putih) mengandung makna sebagai lambang kebersihan atau kesucian
hati antara kedua calon mempelai serta siap untuk saling menjaga kesucian diantara
cinta keduanya. Nilai kebersihan berorientasi pada kesucian dalam menjaga cinta dan
kasih sayang diantara kedua orang tua, keluarga dan kerabat terdekat yang
melaksanakan tradisi Peta Kapanca.
7. Lingga (bantal) sebagai pengalas kepala, dimana kepala adalah bagian paling mulia
bagi manusia. Dengan demikian, bantal melambangkan kehormatan, kemuliaan atau
martabat.

8
Muhammad Aminullah dan Nasaruddin, 2017. “Wajah Islam Nusantara Pada Tradisi Peta Kapanca
Dalam Perkawinan Adat Bima”, Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman dan Kemanusiaan. Vol. I No. 1, hlm.20

12
8. Bongi Monca (beras kuning) melambangkan pengharapan kehidupan dan kedamaian,
dimana beras adalah sumber kehidupan manusia, dan warna kuning melambangkan
sebuah kedamaian. Kedamaian dalam tradisi Peta Kapanca menitik beratkan pada
calon pengantin supaya dalam mengarungi bahtera rumah tangga bisa menghilangkan
perbedaan yang ada tanpa mendahulukan keinginan dan keegoisan sepihak yang
menimbulkan konflik dalam rumah tangga.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tradisi Peta Kapanca merupakan bagian dari prosesi pelaksanaan pernikahan adat
pada masyarakat suku Mbojo yang dilaksanakan pada malam hari, sehari sebelum
dilaksanakan akad nikah dan resepsi pernikahan. Prosesi pelaksanaan tradisi Peta
Kapanca dalam pernikahan suku Mbojo diawali dengan boho oi ndeu (mandi uap) dan
acara inti dilangsungkan proses Peta Kapanca. Pertama, calon pengantin wanita duduk
di atas panggung (uma ruka). Kedua, posisi tangan lurus diletakkan di atas bantal dan
diatasnyadaun pisang yang tempatnya di atas paha serta posisi kaki lurus dan
dialaskan dengandaun pisang. Ketiga, memulai dengan salam, pembacaan kalam,
dilanjutkan dengan zikir kapanca berupa istigfar, syahadat, shalawat, pembacaan ayat-
ayat al-Quran. Keempat, melumatkan daun pacar (inai) yang dihaluskan pada telapak
tangan calon pengantin wanita yang dilakukan oleh ibu-ibu dari kerabat, keluarga dan
tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh adat secara bergiliran sebanyak tujuh atau sembilan
atau sebelas orang. proses peta kapanca diakhiri dengan acara perebutan telur oleh
ibu-ibu atau anak remaja. Dalam setiap rangkaian proses upacara dan perlengkapan
yang terdapat dalam upacara pernikahan suku Mbojo memiliki nilai-nilai
keislamannya yang terkandung di dalamnya, baik dari sisi akidah, ibadah, maupun
akhlak.

13
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah Muhammad dan Nasaruddin. 2017. Wajah Islam Nusantara Pada Tradisi Peta
Kapanca Dalam Perkawinan Adat Bima. Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman dan
Kemanusiaan. Vol. 1 No. 1
Amrin, Muthoifi, Sudarno Shobron, Heldy Ramadhan Putra. 2020. Islamic Values of the Peta
Kapanca Tradition at the Mbojo Tribe's Marriage, West Nusa Tenggara, Indonesia.
Cakrawala: jurnal Studi Islam, Vol. 15 No. 2
Jamil, Abdul et.al. 2015. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik.
Ma'ruf, M. "Dialektika Agama Dan Budaya Di Masyarakat Muslim." Al-Makrifat: Jurnal
Kajian Islam 1.2 (2016): 124-144.
Mudzirin Yusuf, dkk, dalam Khadziq, tt, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta:Teras)
hlm.89.
Rahman, M. Fachrir. 2008. Islam di Bima; Kajian Historis tentang Proses Islamisasi dan
Perkembangannya sampai Masa Kesultanan. Yogyakarta: Genta Press.
Suprapto. 2020. Dialektika Islam dan Budaya Nusantara dari Negosiasi, Adaptasi Hingga
Komodifikasi. Jakarta: Kencana.

14

Anda mungkin juga menyukai