Anda di halaman 1dari 33

PERBANDINGAN BUDAYA DALAM KONTEKS BELIEF, VALUE DAN

LIFEWAYS DALAM SIKLUS KEHIDUPAN PRENATAL


(BUDAYA DI SULAWESI)

(KEPERAWATAN TRANSKULTURAL)

Disusun Oleh : KELOMPOK 4

NURVANNY HUSNA (1811312030)

HASBY YESSIVA (1811312032)

DANIA ALYANI (1811312034)

IRMA YOVITA ((1811312036)

RIHADATUL NUR (1811312038)

ADELIA SANDRA (1811312040)

RISKA ANDRENI (1811312044)

HASFIRA DWI CITRA (1811312046)

ANNISA FEBRIANI (1811312048)

SUCI DEWI DAMAYANTI (1811313002)

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga
tugas Keperawatan Transkultural yang berjudul Perbandingan Budaya Dalam
Konteks Belief, Value dan Lifeways Dalam Siklus Kehidupan Prenatal

Makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah bekontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi pera pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karna keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Padang, 17 Februari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan dan Nilai Keluarga Dalam Berbagai Budaya.............................3
2.2 Kehamilan Dalam Konteks Budaya..............................................................6
2.3 Kelahiran dan Budaya...................................................................................9
2.4 Perawatan Post Natal...................................................................................12
2.5 Genetik dan Budaya yang Diturunkan........................................................14
2.6 Sterilisasi dan Keluarga Berencana Dalam Budaya....................................17
2.7 Fertility dan Infertility Dalam Konteks Budaya..........................................18
2.8 Aborsi Dalam Konteks Budaya...................................................................22
2.9 Aplikasi Askep Peka Budaya pada Prenatal................................................24

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan..................................................................................................28
3.2 Saran............................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang dihuni ratusan
suku bangsa dengan berbagai ragam budaya telah memberikan suatu
kekhasan tersendiri. Perilaku masyarakat khususnya masyarakat tradisional
tercermin dari perilaku mereka memanfaatkan kekayaan intelektual
masyarakat lokal berupa pengetahuan tradisional mereka dengan
keanekaragaman hayati dilingkungannya. Keragaman budaya adalah
keniscayaan yang dimiliki bangsa indonesia. Di Indonesia keragaman
budaya sesuatu yang tidak dapat pungkiri lagi keberadaanya. Dalam konteks
pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan, masyarakat Indonesia
juga terdiri dari berbagai adat dan kebudayaan daerah, bersifat kewilayahan
yang merupakan pertemuan dari berbagai adat, kebudayaan kelompok suku
bangsa yang ada di daerah tersebut.

Budaya perkawinan, kelahiran, perawatan setelah melahirkan, genetik,


keluarga berencana, fertility dan infertility, dan aborsi beserta aturannya
yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas
dari pengaruh budaya, lingkungan tempat masyarakat itu berada serta
pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut oleh
masyarakat tersebut. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia,
bukan saja dipengaruhi oleh peraturan undangundang maupun agama tetapi
juga dipengaruhi oleh adanya adat istiadat atau kebudayaan yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana perkawinan dan nilai keluarga dalam berbagai budaya?

b. Bagaimana kehamilan dalam konteks budaya?

1
c. Bagaimana perawatan post natal?

d. Bagaimana genetik dan budaya yang diturunkan?

e. Bagaimana streilisasi dan keluarga berencana dalam budaya?

f. Bagaimana fertility dan infertility dalam konteks budaya?

g. Bagaimana aborsi dalam konteks budaya?

h. Bagaimana apliaksi askep peka budaya pada prenatal?

1.3 Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui sistematis perkawinan dan nilai keluarga dalam


berbagai budaya.

b. Untuk menegtahui sistematis kehamilan dalam konteks budaya.

c. Untuk mengetahui perawatan post natal.

d. Untuk mengetahui genetik dan budaya yang diturunkan.

e. Untuk mengetahui streilisasi dan keluarga berencana dalam budaya.

f. Untuk mengetahui fertility dan infertility dalam konteks budaya.

g. Untuk mengathui sistematis aborsi dalam konteks budaya.

h. Untuk mengetahui apliaksi askep peka budaya pada prenatal

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkawinan dan Nilai Keluarga dalam Budaya

Bagi masyarakat suku Tajio Kasimbar, budaya perkawinan yang dilaksanakan dalam
upacara adat perkawinan memiliki makna filosofi hidup yang mendalam khususnya bagi kedua
pengantin laki-laki dan perempuan saat menjalani kehidupan rumah tangganya. Oleh karena itu,
filosofi hidup dalam makna budaya perkawinan dapat dilihat dari aspek sosial dalam rangka
membangun komunikasi baik dengan sesama manusia agar dapat mengembangkan nilai-nilai
integrasi sosial.

Secara teologis bahwa budaya perkawinan masyarakat Tajio Kasimbar dilandasi oleh
ajaran agama Islam sebagai agama yang dianut oleh masyarakat suku Tajio. Ajaran agama Islam
mempengaruhi pelaksanaan budaya perkawinan dan aktivitas hidup masyarakat dalam berbagai
aspeknya. Hal ini dapat membangun hubungan kemanusiaan yang harmonis serta dapat
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.

Dalam pelaksanaan adat Meduta pada masyarakat suku Tajio Kasimbar acaranya tertata
dengan baik yang diawali dengan kata-kata tabe. Kata tabe secara bahasa diartikan sebagai kata
permisi, namun kata tabe tersebut secara kultural memiliki makna yang dalam saluran
komunikasi yang cukup baik yaitu memberikan penghormatan antar kedua keluarga yang hendak
mengawinkan putra dan putrinya.

Dalam acara adat Meduta dijadikan sebagai sarana Ta’aruf, saling kenal mengenal
diantara kedua keluarga serta memperkenalkan antara calon kedua pengantin. Hal ini sebagai
bukti bahwa dalam acara Meduta dapat membangun hubungan kemanusiaan yang harmonis baik
sesama masyarakat suku tajio Kasimbar, maupun hubungan kemanusiaan yang berbeda suku,
budaya, bahasa dalam suasana yang haromonis sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
diajarkan oleh agama Islam dalam surat al-Hujuraat ayat 13.

3
Tahapan kedua adalah memastikan nama-nama keluarga yang disertakan dalam turut
mengundang. Kedatangan kunjungan keluarga yang akan melaksanakan perkawinan kepada
nama-nama yang akan dimasukkan namanya dalam daftar turut mengundang berdasarkan budaya
dalam bahasa tajio disebut Monyabiao/Nompasabi yang diartikan sebagai kata mohon pamit,
bermakna sebagai penghormatan kepada keluarga, tokoh-tokoh adat, tokoh agama, tokoh
masyarakat dan pemerintah agar pelaksanaan perkawinan semua pihak dalam lingkungan
masyarakat Tajio dapat bersatu padu memberikan dukungan atas suksesnya pelaksanaan
perkawinan.

Tahap ketiga Monggigi Te Boting, diartikan sebagai mencukur rambut kedua calon
pengantin. Makna yang terkandung dalam prosesi adat ini sebagai tradisi simbolik keluarga yaitu
mencuku rambut pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang akan melepaskan masa
remaja dengan suasana yang bersih dilandasi oleh kesetiaan. Setelah malaksanakan akad nikah
kedua pengantin dapat hidup dengan suasana baru penuh keceriaan dan bersih lahir dan batin,
saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini bermakna filosofis sesuai
ajaran Islam membangun keluarga yang dilandasi oleh cinta dan kasih sayang Mawaddah
Warahmah.

Tahap ke empat Melontibi. Dalam budaya Melontibi adalah diartikan sebagai malam
pacar sehari sebelum akad nikah atau menjelang akad nikah. Prosesi adat Melontibi memiliki
makna filosofis yaitu sebagai pengikat dari kedua pengantin secara sah bertunangan dan saling
mengikat janji setia yang disimbolkan peletakkan daun pacar yang dalam bahasa tajio disebut
daun lontibi di kedua telapak tangan pengantin laki-laki dan pengantin perempuan.

Tahap ke lima Mempesuro, prosesi adat ini dilaksanakan sebelum prosesi akad nikah,
calon pengantin laki-laki bersama kelurgannya dijemput oleh keluarga calon pengantin
perempuan secara berpasangan dan berjalan bersama-sama menuju ke rumah keluarga
perngantin perempuan diiringi oleh rebana dan alat musik tradisional kakula/gurincang dan
dabang/cakalele. Prosesi adat ini memiliki makna penghormatan terhadap tamu dengan suasana
kegembiraan dan keceriaan.

Prosesi adat keenam Melabot atau menjemput di depan rumah keluarga pengantin
perempuan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh adat dengan prosesi adat dialog/tanya tajab

4
menggunakan bahasa tajio. Prosesi adat melabot disimbolkan sebagai persetejuan kepastian atas
kelengkapan perangkat adat, agama, pemerintah dan keluarga atas pelaksanaan akad nikah kedua
calon pengantin.

Prosesi adat ketujuh Mengulung te Pacende melalui adat Menggiur atau memberikan tombak
yang dihiasi oleh kain mbesa dan kain warna putih kepada calon pengantin laki-laki oleh tokoh
adat perempuan untuk menaiki tangga masuk ke dalam rumah keluarga calon pengantin
perempuan bersama tokoh adat, tokoh agama dan keluarganya yang mengiringi calon pengantin
laki-laki. Adat Mengulung te Pecinde bermakna sebagai sikap ikhlas/ketulusan hati keluarga
perempuan menerima kehadiran keluarga laki-laki dalam suatu prosesi adat akad nikah. Juga
dapat bermakna bahwa tamu dari calon pengantin laki-laki dan kelurganya sebagai tamu
terhormat sehingga dilaksanakan dengan upacara kebesaran dalam tradisi masyarakat Tajio
Kasimbar. Hal ini bermakna agar kedua keluarga selelah putra dan putrinya menjadi suami dan
istri selalu menjaga hubungan kekeluargan dan komunikasi secara baik sampai kapan pun.

Prosesi adat kedelapan adalah Penyerahan dan Penerimaan Hantaran Adat kedua
kelauaga. Dalam prosesi adat ini dilaksanakan oleh kedua keluarga yang diwakili oleh juru
bicara adat yang disebut pabisara nuada’. Masing-masing juru bicara adat menyampaiakan
maksud dan tujuan yang diawali dengan kata-kata bahasa tajio Nutabe niami sita jijo tomogurang
nuada langkai fefine, bermakna kami sangat menghormati bapak/ibu/sdr(i), orang-orang tua adat
laki-laki dan perempuan.

Prosesi adat kesembilan adalah Pembacaan Barzanji menjelang pelaksanaan akad


nikah oleh Imam atau pemangku agama sebagai tradisi masyarakat dalam bidang agama dengan
maksud setiap pelaksanaan rangkaian kegiatan mendapat bimbingan dan ridha dari Allah Swt.
Pembacaan barzanji yang dirangkaikan dengan do‟a bersama memiliki makna agar kedua calon
pengantin laki-laki dan perempuan selalu dalam lindungan Allah Swt dan mendapat kekuatan,
kesehatan dan berkah agar rumah tangga kedua pengantin selalu mendapat kebahagiaan dan
kesejahteraan.

Prosesi adat kesepuluh adalah Upacara Adat Akad Nikah. Dalam rankaian upacara akad
nikah setelah segala sesuatu persiapan telah lengkap baik kehadiran tokoh-tokoh adat, tokoh

5
agama, tokoh masyarakat, pemerintah dan tamu undangan dari kedua keluarga yang
melakasnakan pesta perkawinan.

Proses adat perkawinan kesebelas Mopaende. pada acara mopaende ini pengantin
perempuan bersama keluarganya berkunjung/bersilaturrahmi ke rumah keluarga laki-laki sebagai
bentuk menjalin hubungan secara dekat dan memperkenalkan pengantin perempuan kepada
keluarga laki-laki. Dalam prosesi adat Mopaende rangkaian prosesi adat dilaksanakan sebagai
bentuk penerimaan keluarga laki-laki kepada pengantin perempuan beserta kelurganya. Makna
filosofis rangkaian adat Mopaende adalah menjalin hubungan kekelurgaan, persaudaaraan,
kekerabatan, persatuan dari kedua keluarga yang baru saja melaksanakan akad nikah sebagai
sahnya status suami dan istri dalam rangka menghubungkan/silaturrahmi lebih dekat dalam
suasana harmonis antar kedua keluarga melalui ikatan perkawinan.

Prosesi adat keduabelas Mendis Sinsono Teogo Nombongi. Pelaksanaan adat ini
memiliki makna bahwa kedua pengantin telah sah menjadi suami dan istri. Oleh karena itu
dilakukan upacara dengan memberikan air yang telah dilengkapi dengan daun-daunan yang
berbau harum seperti kembang bunga mbalu, daun pandan, mayang kelapa, mayang pinang
mekar yang bermakna bahwa sepasang suami istri akan merasakan suasana pengantin baru yang
haromins karena dihiasai oleh air yang berbau harum. Demikian pula rangkaian adat ini kedua
pengantin menggunakan pakaian satu sarung yang berwarnah putih yang dalam bahasa tajio
disebut Membungas artinya pembebasan diri dari masa remaja dan siap untuk menjalani
kehidupan baru sebagai suami istri dalam kehidupan rumah tangga yang diharapkan mendapat
keturunan yang baik dan suci.

2.2 Kehamilan dalam Konteks Budaya

1. Mappanre to-mangideng (menyuapi ibu hamil)


Adalah upacara yang dilakukan pada bulan pertama masa kehamilan, atau dalam
suku bugis disebut mangngideng atau ngidam. Biasanya dilalui dengan berbagai macam
acara. Selain itu diberikan pantangan untuk makan makanan tertentu dan melakukan
perbuatan tertentu, baik untuk calon ibu maupun calon ayah.
2. Upacara tujuh bulan kehamila.

6
Dalam bahasa Bugis Bone disebut Mappassili, yang artinya memandikan. Makna
upacara ini adalah untuk tolak bala atau menghindari dari malapetaka atau bencana,
menjauhkan dari roh-roh jahat sehingga segala kesialan hilang dan lenyap. Berikut ini
merupakan tahapan dari upacara tujuh bulan kehamilan:

a. Calon ibu yang hamil tujuh bulan dari pasangan muda ini harus melewati sebuah
anyaman bambu yang disebut Sapana yang terdiri dari tujuh anak tangga, memberi
makna agar rezeki anak yang dilahirkan bisa naik terus seperti langkah kaki menaiki
tangga.

b. Iring-iringan pasangan muda (suami-istri), dalam pakaian adat Bugis menuju sebuah
rumah-rumahan yang terbuat dari bambu dengan hiasan bunga dan pelaminan yang
meriah oleh warna-warna yang mencolok. Sebelumnya, Upacara Mappassilidiawali
dengan membacakan doa-doa yang diakhiri oleh surat Al-Fatihah oleh seorang
ustadzah. Bunyi tabuh-tabuhan dari kuningan yang dipegang oleh seorang bocah
laki-laki mengiringi terus upacara ini.

c. Kemudian upacara ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia mengambil tempat


pembakaran dupa dan diputar-putarkan di atas kepala sang ibu. Asap dupa yang
keluar, diusap-usapkan di rambut calon ibu tersebut. Perbuatan ini memberi makna
untuk mengusir roh-roh jahat yang bisa mengganggu kelahiran bayi. Menurut
kepercayaan mereka, roh jahat itu terbang bersama asap dupa.

d. Calon ibu di perciki air dengan menggunakan beberapa helai daun ke bagian tubuh
tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun ke perut. Bahu menyimbolkan agar
anak punya tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Demikian pula tata
cara percikan air dari atas kepala turun ke perut, tak lain agar anaknya nanti bisa
meluncur seperti air, mudah dilahirkan dan kehidupannya lancar bagai air. Calon
ibu mengenakan pakaian adat Bone yang berwarna merah,

e. Dilanjutkan dengan upacara makarawa babua yang berarti memegang atau mengelus
perut. Pernik-pernik pelengkap upacara ini lebih meriah lagi ditambah lagi dengan
beraneka macam panganan yang masing-masing memiliki simbol tertentu.

7
f. Calon ibu yang telah berganti pakaian adat Bone berwarna merah ditidurkan di
tempat pelaminan. Sang dukun akan mengelus perut calon ibu tersebut dan
membacakan doa. Selanjutnya daun sirih yang ditaburi beras diletakkan di kaki,
perut, kening kepala calon ibu dimaksudkan agar pikiran ibu tetap tenang, tidak
stress. Diletakkan di bagian kaki sebagai harapan agar anak melangkahkan kakinya
yang benar. Sementara beras sebagai perlambang agar anak tak kekurangan pangan.
Seekor ayam jago sengaja diletakkan di bawah kaki calon ibu. Bila ternyata ayam
tersebut malas mematuk beras, menurut mereka ini pertanda anak yang akan lahir
perempuan.

g. Tahap akhir upacara tujuh bulan Bone ini adalah suap-suapan yang dilakukan oleh
dukun, pasangan tersebut (sebagai calon bapak dan ibu) dan orang tua keduanya.
Acara ditutup dengan rebutan hiasan anyaman berbentuk ikan dan berisi telur bagi
ibu-ibu yang memiliki anak gadis atau yang sudah menikah. Ini sebagai perlambang
agar anak-anaknya segera mendapat jodoh yang baik, dan nantinya melahirkan
dengan mudah.

3. Makanan Pantangan Bagi Ibu Hamil Menurut Masyarakat Bugis

Makanan pantang adalah bahan makanan yang tidak boleh dimakan oleh ibu hamil
dalam masyarakat karena alasan-alasan yang bersifat budaya. Ibu berpantang makan
karena sedang mengalami keadaan khusus yaitu kehamilan dan karena dalam
kebudayaan setempat terdapat suatu kepercayaan tertentu terhadap bahan makanan
tersebut. Kepercayaan ini diajarkan secara turun temurun dan cenderung ditaati
walaupun individu yang menjalankannya mungkin tidak terlalu paham atau yakin akan
rasional dari alasan-alasan memantang makanan yang bersangkutan dan sekedar
mematuhi tradisi setempat. Ragam makanan yang menurut masyarakat Sulawesi adalah
pantangan bagi ibu hamil.
a. Makanan Golongan Hewani
1) Cumi-cumi, sebab cumi-cumi berjalan maju mundur dikaitkan dengan proses
melahirkan yang sulit di pintu lahir, bayi akan menyulitkan persalinan dengan
maju mundur pada saat proses kelahiran. Selain itu makan gurita dan kepitig
juga menjadi pantangan, sebab gurita bersifat lembek dikaitkan dengan bayi

8
yang juga akan lemah fisiknya seperti gurita. Sedangkan Kepiting, karena
dikhawatirkan anak akan nakal, suka menggigit jika besar, ia akan lemah tak
bertulang jika lahir.
2) Daging, karena dikhawatirkan ibu akan kesulitan melahirkan jika bayinya
terlalu sehat.
3) Ikan pari, karena memiliki tulang lembut dipercayai akan menyebabkan bayi
memiliki bertulang lembut pula.
4) Telur bebek, karena dipercaya akan menyulitkan persalinan.
b. Makanan Golongan Nabati
1) Mangga macan, durian, nenas, nangka. Karena makanan ini dianggap bersifat
panas dikaitkan dengan keyakinan dikotomi panas dingin. Ibu hamil dianggap
dalam kondisi dingin sehingga tidak boleh makan makanan yang sifatnya panas
sebab dapat menyebabkan keguguran kandungan pada umur kehamilan muda.
2) Sayur rebung, karena dikhawatirkan akan menyebabkan anak memiliki banyak
bulu/rambut jika lahir
3) Pisang kembar, karena di anggap anak juga akan kembar jika lahir
4) Daun kelor, karena mengandung getah yang pedas yang akan menyebabkan rasa
sakit dalam proses kelahiran dikenal dengan sebutan “getah kelor”, juga karena
daun kelor yang berakar diasosiasikan dengan ari-ari bayi yang juga akan beraka
5) Nangka muda, karena nangka muda juga memiliki getah yang akan
menyebabkan rasa sakit dalam proses kelahiran
6) Kelapa muda, karena dapat mengakibatkan keguguran.
7) Pepaya muda, karena dapat menyebabkan gatal-gatal pada ibu hamil dan bayi
yang ada didalam kandungan
8) Terong, karena juga dapat mengakibatkan gatal-gatal pada ibu dan bayinya
9) Tebu, karena akan menyebabkan rasa sakit karena ibu akan mengeluarkan
banyak air mendahului proses kelahiran diasosiasikan dengan tebu yang juga
mengandung banyak air.

2.3 Kelahiran dan Budaya

a. Upacara Kelahiran (Aluk Ma’lolo)

9
Dalam upacara Aluk Ma’lolo, tali pusar dari bayi yang baru lahir dikubur di bawah
tangga rumah yang letaknya di sebelah timur. Pada penguburan tersebut lalu dipanjatkan doa
agar saat tumbuh dewasa bisa menjadi orang yang bijaksana.

Tujuan dari upacara Aluk Ma’lolo adalah agar setelah tumbuh dewasa nanti ia tidak lupa
dengan kampung halamannya,apalagi saat merantau dan juga selalu bersikap sopan tingkah laku
ataupun ucapan dengan tidak mau mengucapkan kata yang mengandung arti pembodohan. Ada
kepercayaan suku toraja bahwa nasib seseorang sudah ditentukan sebelum dia lahir oleh dewa
yang disebut 'dalle'.Namun nasib tersebut masih bisa dikembangkan hingga bayi itu bisa
mendapat kebahagiaan saat ia dewasa. Upacara Aluk Ma'lolo ini dilaksanakan pada pagi hari
dan dilakukan di sebelah timur rumah Tongkonan.

b. Budaya Kelahiran di Toraja, Sulawesi Selatan

Keberagaman tradisi masyarakat di Indonesia merupakan bentuk kebudayaan yang


melekat dan mendarah daging, terutama tradisi ritual selamatan.Ritual selamatan sangat
berkaitan dengan sistem religi atau kepercayaan masyarakat secara turun-temurun. Dengan
adanya seserahan sebagai pelengkap dari ritual selamatan berupa makanan, dupa, dan alat -alat
lainnya yang dianggap sebagai simbol serta memiliki nilai – nilai sosial budaya terhadap
kelangsungan hidup. Tradisi melakukan acara ritual merupakan suatu wujud keyakinan
masyarakat secara religi dan hampir semua suku bangsa di Indonesia memiliki keberagaman
ritual yang berbeda walau memiliki makna yang sama.

Keberagaman budaya yang diwariskan dari nenek moyang secara turun temurun sudah
ditaati dan dijunjung tinggi, yang pelaksanaannya diwujudkan dalam upacara – upacara adat.
Untuk menunjang ketepatan fokus penelitian skripsi ini, ada beberapa tinjauan konseptual yang
diangkat, yaitu tentang makna upacara adat selamatan dan proses upacara selamatan tujuh
bulanan.

1) Upacara adat selamatan

Upacara selamatan merupakan salah satu tradisi yang dianggap dapat menjauhkan diri
dari mala petaka. Selamatan merupakan suatu konsep universal dimana setiap daerah pasti ada
dengan nama yang berbeda. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran pada diri yang lemah

10
sebagai manusia dan memohon meminta perlindungan dari yang kuasa.Secara tradosional,
upacara selamatan ini diawali dengan do’a bersama, duduk bersila diatas tikar, melingkari nasi
tumpeng ataupun beberapa jenis makanan yang dianggap sebagai sesajen(sesaji).Sesaji yang
diadakan berfungsi untuk mengiringi upacara selamatan tersebut dengan maksud dan tujuan
sebagai do’a atau rasa syukur kepada yang kuasa.

Praktik upacara selamatan menurut Geertz (1960), pada umumnya dianut oleh kaum
islam Abangan, sedangkan bagi kaum islam Putihan (santri) praktik selamatan tersebut tidak
sepenuhnya dapat diterima, kecuali dengan membuang unsur – unsur syirik yang mencolok
seperti sebutan dewa – dewa dan roh – roh. Karena itu bagi bagi kaum santri, selamatan adalah
upacara do’a bersama dengan seorang pemimpin atau modin yang kemudian diteruskan dengan
makan – makan bersama sekadarnya dengan tujuan untuk mendapatkan selamatan dan
perlindungan dari Allah Yang Maha Kuasa. Dari pemahaman diatas dapat dikatakan bahwa
upacara selamatan sangat erat kaitannya dengan sistem kepercayaan masyarakat. Adanya
pandangan animisme dan dinamisme tersebut memberi makna tersendiri bagi upacara selamatan
yang dilakukan dengan berbagai tujuan dan maksud diadakannya ritual tersebut.

2) Ritual tujuh bulanan

Upacara tradisi selamatan tujuh bulanan ini biasa dilakukan ketika masa kandungan usia
tujuh bulan dan pada kehamilan pertama dengan tujuan meminta keselamatan dan sebagai wujud
rasa syukur kepada tuhan. Tradisi sudah ada dan selalu dilakukan secara turun temurun. Semua
suku bangsa di Indonesia melakukan ritual tujuh bulanan dengan ritual yang berdeba, walaupun
ada sebagian yang sama namun sebenarnya memiliki tujuan yang sama pula yaitu meminta
perlindungan dan wujudrasa syukur. Upacara selamatan dapat pula diartikan sebagai upacara
tradisional karena ritual – ritual yang dilakukan memiliki arti dan sangat erat kaitannya dengan
sistem religi.

Menurut Koentjaraningrat (1992), dalam setiap sistem upacara keagamaan atau religi
mengandung lima aspek yakni :

a) Tempat upacara.
b) Waktu pelaksanaan upacara.
c) Benda – benda serta peralatan upacara.

11
d) Orang yang melakukan atau pemimpin upacara.
e) Orang – orang yang mengikuti upacara.

Selain itu, sistem upacara yang dihadiri oleh masyarakat berarti dapat memancing
bangkitnya emosi keagamaan pada tiap – tiap kelompok masyarakat serta pada tiap individu
yang hadir. Upacara yang diselenggarakan merupakan salah satu kegiatan yang mengungkapkan
perilaku keagamaan yang sudah dianut oleh masyarakat. Dari perilaku keagamaan itulah yang
mendorong seseorang untuk berbuat religi dengan itu setiap adanya upacara tradisional selalu
dihadirkan tokoh masyarakat, tokoh agama atau imam desa sebagai pemimpin upacara.

2.4 Perawatan Post Natal

Masa nifas dimulai dari setelah melahirkan sampai dengan berhentinya darah serta
kondisi tubuh kembali keadaan seperti sebelum hamil. Setelah melahirkan ±2 sampai 3 jam
keluarga mulai merundingkan tentang perawatan masa nifas yang akan diberikan oleh bisa
(dukun). Jika sudah selesai berunding maka perawatan tersebut akan dilaksanakan sampai masa
nifas berakhir.

Sesuai dengan tingkat kepuasan yang dirasakan oleh ibu setelah melakukan perawatan
masa nifas, dilihat dari segi kepuasan atas perawatan masa nifas yang diberikan oleh bisa
(dukun) tentu ada rasa kepuasan tersendiri yang dirasakan oleh ibu tersebut karena perawatan
yang dilakukan cukup baik serta saling mempercayai satu sama lain dalam menjalankan
perawatan tersebut

Pelayanan kesehatan bagi mereka memang sangat penting. Namun, kepercayaan terhadap
pelayanan yang diberikan oleh odeh/hatra sangat berpengaruh terhadap kesembuhan. Oleh
karena faktor tradisi atau kepercayaan yang dilakukan secara turun temurun oleh keluarga.
Namun, istilah dari masyarakat berobat ke “Odeh”, setelah itu ke puskesmas atau meminta
tenaga kesehatan terdekat untuk melakukan pengobatan sesuai dengan keluhan yang dirasakan.
Tradisi dan nilai kebudayaan Buton Utara yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke
masa kini masih berlaku di dalam masyarakat yang membentuk perilaku anak cucu mereka,
seperti ibu-ibu yang menjalani tradisi masa nifas tetap dilakukan sesuai dengan yang diturunkan
dari generasi ke generasi sekarang.

12
Aspek budaya tradisi perawatan masa nifas yang harus dilakukan, yaitu pidaho wee
musodo (mandi air panas), pirarai (panggang), kabongkoi (ikat pinggul/perut), dan meminum
ramuan tradisional. Kebersahajaan bisa yang lemah lembut dengan menuturkan proses mandi air
panas (pibaho wee musodo) yang diberikan terhadap ibu nifas.

Setelah proses mandi air panas dan pemijatan, dilanjutkan dengan menambahkan beban
di atas perut ibu, yang diyakini dapat mengembalikan lingkar perut ibu sedia kala. Masa nifas
sangat erat kaitannya dengan hilangnya darah dari dalam tubuh seorang ibu, jadi saat proses
tindis perut kelapa yang digunakan harus kelapa merah (Cocus Nucifera Ebunera) karena
dipercaya memiliki khasiat dibandingkan jenis kelapa lainnya.

Tata cara yang dilakukan oleh bisa yaitu memandikan bagian seluruh badan dengan cara
kain yang dicelupkan ke dalam baskom yang berisikan air panas seketika kain tersebut
diletakkan pada bagian tubuh yang akan diinjak, ditekankan dan dipijat (diurut) yang dipercaya
dapat mempercepat proses penyembuhan paska melahirkan. Adapun tahapan proses pemijatan
mandi herbal ini yakni ibu dalam posisi terlentang, cile (vagina) diinjak atau ditekan dengan satu
kaki dan kedua tangan bisa berpegang pada paha ibu untuk mempercepat penyembuhan. Perut
ditekan dan diurut (pijat) untuk mempercepat proses pengecilan. Kaki sampai paha ditekan dan
diurut (dipijat) untuk melemaskan urat-urat (otot-otot) yang kaku (tegang). Selanjutnya ibu posisi
menyamping kemudian bokong sampai cile (vagina) ditekan untuk mempercepat penyembuhan.
Pinggul ditekan untuk melemaskan urat-urat (otot-otot) yang kaku (tegang). Lengan tangan,
payudara sampai belakang badan dan ketiak ditekan dan diurut untuk melemaskan urat-urat
(otot-otot) yang kaku (tegang) dan cici (payudara) untuk memperlancar ASI. Langkah terakhir,
ibu duduk kemudian bisa melakukan pemijatan pada bagian mata agar puanaka (darah putih)
tidak naik ke kepala dan penglihatan terang. Pundak ditekan dan di urut (pijat) untuk
melemaskan urat-urat (otot-otot) yang kaku (tegang). Jika seluruh badan (kiri dan kanan) telah
diinjak, ditekan dan diurut (pijat) maka sisa air dalam baskom disiram ke seluruh badan.
Mengikat perut atau dikenal kabongkoi adalah hukumnya wajib bagi seorang ibu nifas
perempuan Buton. Pengikatan ini bertujuan agar merasa kuat pada saat berdiri, berjalan dan
kandungan tidak turun pada saat beraktivitas sebagaimana bia- sanya. “Pengikatan ini tidak bisa
dilepas selama 40 hari terkecuali pada saat mandi. Oleh karena sebelum dilakukan pengikatan

13
indau (saya) membacakan doa pada pengikat tersebut kemudian diikat dengan 2 lilitan yaitu di
atas pusat dan di bawah pusat.

Adapun langka-langkah kabongkoi oleh bisa adalah tali pengikat disisikan jahe yang
berfungsi agar perut tetap hangat dan tali tersebut dibacakan doa/mantra kemudian dilakukan
dengan mengikat perut bagian bawah (3 jari atas simpisis) dan perut bagian atas berfungsi untuk
berjalan menjadi kuat dan menjaga kandungan tidak turun. Setiap harinya seorang ibu nifas
melakoni tradisi pirarai. Terlebih dahulu anggota keluarga menyalakan api ditungku yang sudah
didesain di dalam kamar ibu. Tradisi ini dilakukan sampai masa nifas berakhir. Suhu atau panas
tergantung dari keinginan atau kebutuhan dari informan itu sendiri yang diyakini bermanfaat
bagi bayi yang dilahirkan memiliki fisik yang kuat, tidak masuk angin, dan tidak mudah
terjangkit hepatitis. Bagi ibu, manfaat yang bisa dirasakan, yaitu mencegah darah putih naik ke
kepala karena jika darah putih naik ke kepala maka dapat menyebabkan sakit kepala yang
menetap, serta manfaat lainnya meredam hingga menghilangkan nyeri pada bagian pinggul

Hasil observasi peneliti setiap paginya ibu nifas perempuan Buton secara konsistensi api
di nyalakan dan ibu membelakangi api tersebut, sambil memangku bayinya yang rutin dilakukan
setiap pagi dan sore hari. Paket perawatan posoropu yang tidak kalah penting adalah seorang ibu
nifas diharuskan meminum ramuan karena obat dari Bidan tidak sepenuhnya dapat mempercepat
proses penyembuhan.

2.5 Genetik dan Budaya yang Diturunkan

Suku Bugis merupakan suku bangsa Indonesia yang mendiami sebagian besar wilayah di
Sulawesi Sealatan. Suku Bugis dikenal sebagai suku perantau yang banyak meninggalkan
wilayah aslinya untuk menyebar ke daerah-daerah lain. Salah satu nilai kebudayaan suku Bugis
yang paling tua adalah adat dalam mempertahankan harga diri. Masyarakat Bugis bisa
melakukan segala hal untuk mempertahankan harga dirinya. Bahkan, pada zaman dahulu bila
terdapat anggota keluarga yang melakukan perbuatan tercela dan mengakibatkan keluarga
menanggung malu, maka anggota keluarga yang bersalah bisa diusir atau dibunuh.

- Sejarah Penamaan

14
Penyebutan nama “Bugis” berawal dari penyebutan To Ugi. To Ugi memiliki makna
pengikut Ugi. Ugi sendiri merupakan sebutan bagi Raja pertama yang menguasai Pammana
(Kabupaten Wajo untuk saat ini) yang bernama La Sattumpugi. La Sattumpugi merupakan raja
yang dikenal baik, ramah dan dekat dengan rakyat. Oleh sebab itu, rakyat pengikutnya
membangun identitas sosial sebagai pengikut setia Raja dengan menamai diri sebagai To Ugi.
Nama To Ugi ini kemudian menjadi dasar sebutan bagi masyarakat Bugis.

Suku Bugis tergolong sebagai suku Melayu Deutero. Golongan ini masuk ke Indonesia
setelah migrasi pertama yang berasal dari dataran Asia yang tepatnya dari daerah Yunan. Raja La
Sattumpugi yang menjadi cikal bakal terbentuknya Suku Bugis teridentifikasi berasal dari Cina.
Dalam catatan sejarah ditemukan bahwa Raja La Sattumpugi memiliki putra yang bernama We
Cudai.

We Cudai merupakan suami dari Sawerigading yang merupakan anak dari Battara Lattu.
Battara Lattu sendiri masih bersaudara dengan Raja Ugi. Kisah Sawerigading merupakan salah
satu kisah legenda yang dikenal luas dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo hingga
Buton.

- Filosofis Adat

Masyarakat Bugis memiliki empat strata adat istiadat. Adat disini merupakan sejumlah
tata aturan sosial yang menjadi landasan hukum dan dipatuhi secara bersama oleh keseluruhan
masyarakat suku Bugis. Empat strata adat tersebut, yaitu :

a) Ade Maraja, yakni sistem adat yang hanya dipakai di kalangan Raja atau pemimpin saja.
b) Ade Puraonro, yakni sistem adat yang dilestarikan secara turun temurun sehingga sudah
dilakukan sejak lama.
c) Ade assamaturukeng, yakni sistem adat atau peraturan yang ditentukan melalui
kesepakatan bersama.
d) Ade abiasang, yakni adat yang sudah dipakai dari dulu hingga pada masa sekarang dan
sudah diterapkan sebagai kebiasaan di dalam masyarakat.

Dalam Lontara orang Bugis terdapat lima prinsip dasar yang dikenal dengan sebutan
pangngadereng, yang terdiri dari :

15
a) Ade adalah sebuah bentuk sikap yang fleksibel dan adaptif terhadap berbagai peraturan
hidup bermasyarakat.
b) Bicara adalah tata kesopanan dan kesantunan dalam berkomunikasi.
c) Rapang merujuk kepada sebuah bentuk tingkah laku atau perbuatan yang baik dan
hendaknya diikuti oleh masyarakat. Dengan kata lain adalah sikap ketauladanan.
d) Wari adalah aturan yang mengatur mengenai keturunan dan hirarki masyarakat syara
dalam hal ini adalah aturan hukum Islam
e) Sara atau siri merupakan prinsip dan kepribadian tegas yang melandasi segala perbuatan
dan tindakan atau tingkah laku orang bugis.
- Filosofis Kepribadian Orang Bugis

Orang suku Bugis memiliki konsep kepribadian “Siri”. Maknanya adalah bahwa orang
Bugis sangat menjunjung tinggi harga diri. Dalam pepatah orang Bugis dikatakan “ siri
paranreng, nyawa pa lao”, yang artinya adalah apabila harga diri telah ternodai maka nyawa lah
yang akan jadi bayarannya. Sehingga bila ada seseorang yang merusak harga diri orang lain,
maka pertumpahan darah adalah jalan penyelesaiannya. Boleh jadi hampir mirip dengan konsep
“harakiri” dalam kebudayaan Jepang.

“Siri na Pacce” merupakan simbol solidaritas kelompok. Harga diri kelompok juga menjadi hal
yang utama selain harga diri pribadi. Kata siri dalam bahasa Bugis memiliki arti rasa malu (harga
diri), sedangkan Pacce atau Pesse artinya tidak tega/kasihan. Sehngga konsep siri na Pacce
mewakili empati dan solidaritas kelompok dalam menanggung harga diri bersama.

Terdapat 4 bentuk konsep siri dalam adat suku Bugis, yaitu :

1) Siri Ripakasiri

Konsep siri ini berkaitan dengan harga diri pribadi dan keluarga. Siri yang satu ini
merupakan siri yang pantang untuk dilanggar, karena taruhannya adalah nyawa. Anggota
keluarga yang menghancurkan kehormatan keluarga, bisa diambil nyawanya oleh anggota
keluarga yang lain.

2) Siri Mappakasiri siri

16
Siri yang satu ini berhubungan dengan etos kerja. Terdapat pepatah orang bugis yang
mengatakan “Narekko degaga siri mu, inrengko siri.” Artinya, kalau tidak punya malu maka
pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya,
“Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan
membuat malu (memalukan). Konsep ini mendorong orang suku Bugis senantiasa menjaga
perilaku kerjanya agar tidak membuat harga diri menjadi turun.

3) Siri Tappela Siri (Teddeng Siri)

Yaitu rasa malu seseorang yang hilang karena sesuatu hal. Misalkan seseorang yang telah
membuat kesepakatan atau janji dengan orang lain kemudian ia tidak dapat menepati
kesepakatan atau janjinya tersebut, maka dia dikatakan sudah kehilangan harga diri. Atau dengan
kata lain dia sudah mempermalukan dirinya sendiri.

4) Siri Mate Siri

Yakni rasa malu yang berkaitan dengan iman seseorang. Bagi orang suku Bugis orang yang
sudah mate siri nya atau sudah mati rasa malunya maka orang seperti ini sudah tidak ada
harganya lagi. Orang yang sudah mati harga dirinya seperti ini biasa dikatakan seperti bangkai
hidup.

2.6 Sterilisasi dan Keluarga Berencana dalam Budaya

Sesuai dengan UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 78


disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas
pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman bermutu
dan terjangkau oleh masyarakat.

a. Alat dan obat kontrasepsi (Alokon)

Pada saat ini Pemerintah menyediakan secara gratis tiga jenis alokon di seluruh wilayah
Indonesia, yaitu kondom, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), dan susuk KB. Terdapat 7
provinsi yang menyediakan alokon lainnya juga secara gratis, yaitu Aceh, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Di provinsi lain, selain
kondom, AKDR, dan susuk KB, jenis alokon lainnya hanya tersedia secara gratis bagi

17
masyarakat miskin (Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1). Dengan demikian
memang ada sebagian masyarakat yang harus membayar sendiri penggunaan alokon yang
dibutuhkannya.

b. Fasilitas kesehatan

Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar diharapkan memberikan


kontribusi terbesar dalam memberikan pelayanan KB di masyarakat. Namun sejak tahun 1997
telah terjadi pergeseran pemanfaatan fasilitas pelayanan kontrasepsi oleh peserta KB dari
pelayanan pemerintah ke pelayanan swasta, seperti ditunjukkan dalam hasil SDKI tahun 1997,
2003 dan 2007. Kecenderungan pemanfaatan fasilitas pelayanan swasta untuk pelayanan
kontrasepsi meningkat secara konsisten dari 42% menjadi 63% dan kemudian 69%, sedangkan di
fasilitas pelayanan pemerintah menurun dari 43%, menjadi 28% dan kemudian 22%.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan tempat terbanyak masyarakat
mendapatkan pelayanan KB di sektor swasta adalah Bidan Praktek Mandiri, yaitu 52,5%.
Fasilitas pelayanan pemerintah seperti rumah sakit, puskesmas, pustu dan poskesdes atau
polindes digunakan oleh sekitar 23,9% peserta KB. Hasil Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes)
2011, kegiatan pelayanan KIA/KB telah dilaksanakan di 97,5% puskesmas. Pelayanan KIA dan
KB termasuk 6 (enam) pelayanan wajib puskesmas, maka seharusnya setiap puskesmas
menyediakan layanan tersebut. Namun, masih ada puskesmas yang belum memberikan
pelayanan KIA dan KB, seperti di Provinsi Papua terdapat 18,4% puskesmas yang belum
memberikan layanan KIA dan KB, Papua Barat 5,8%, dan Maluku 3,1%.

Didapatkan pula bahwa sebanyak 32,6% puskesmas memiliki ruangan poliklinik khusus
KB. Persentase puskesmas yang memiliki poliklinik khusus KB terbesar terdapat di DKI Jakarta
(66,4%) dan terendah di Provinsi Sulawesi Tenggara (12,9%). Di daerah perkotaan sekitar 43,2%
puskesmas memiliki poliklinik khusus KB sementara di daerah perdesaan sekitar 29%. Meskipun
97,5% puskesmas telah melaksanakan pelayanan KIA/KB, namun puskesmas yang petugasnya
telah mendapat pelatihan KB baru 58% dan hanya terdapat 32,2% puskesmas yang memiliki
kecukupan sumber daya dalam program KB. Kecukupan sumber daya tersebut meliputi
kompetensi pelayanan, ketersediaan petugas di puskesmas, ketersediaan pedoman dan Standar
Prosedur Operasional (SPO), dan bimbingan teknis.

18
2.7 Fertilitas dan Infertility dalam Konteks Budaya

Pengaruh Aspek Budaya Terhadap Perencanaan Keluarga dan Fertilitas

Aspek budaya merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi fertilitas. Di suatu
masyarakat dengan kondisi budaya tertentu akan berbeda dengan masyarakat yang lain dengan
budaya yang berbeda. Salah satunya adalah masyarakat suku Bajo. Dengan latar belakang
budaya sebagai suku laut, mayoritas bekerja sebagai nelayan tentunya akan berbeda dengan
masyakat yang tinggal di darat pekerjaan utama bukan sebagai nelayan. Namun secara khusus
suku Bajo yang ada di perkampungan Mola, merupakan suku Bajo yang sedang menuju
perubahan. Sebab mereka sudah bermukim di darat dan menjadi bagian dari masyarakat
perkotaan.

Bentuk-bentuk upacara adat pada masyarakat Bajo yang ada di desa Mola Utara dan
Mola Selatan boleh dikata cukup banyak. Namun pada penelitian ini yang sempat diidentifikasi
hanya beberapa bentuk upacara saja, antara lain;

1) massuro merupakan bentuk upacara adat yang dilakukan untuk memulai suatu
perkawinan yang biasa di sebut “lamaran“ atau “pinangan“ pada masyarakat Bajo
2) duata, dilakukan jika ada salah satu diantara mereka mengalami sakit keras dan tidak lagi
dapat disembuhkan dengan cara lain termasuk pengobatan medis, upacara bagi wanita
hamil, terdapat (3-4) kali
3) Upacara yang dikenal yaitu pada usia kehamilan 40 hari, 3 bulan, 5 bulan, dan 7 bulan.
Dari beberapa bentuk upacara tersebut tidak ditemukan keterlibatan anak baik anak laki-
laki maupun anak perempuan untuk kepentingan upacara.

Artinya jika anak sering dilibatkan dalam upacara maka ada motivasi untuk memiliki
anak untuk kepentingan upacara adat. Misalnya seperti di Nepal motivasi untuk memiliki anak
laki-laki sangat tinggi karena hanya anak laki-laki yang dapat melakukan upacara kematian
untuk orang tua serta upacara lainnya setelah orang tua meninggal. Dengan demikian upacara
adat yang terjadi di Suku Bajo Mola tidak mempengaruhi keinginan terhadap jumlah anak serta
fertilitas.

19
Pada masyarakat suku Bajo yang ada di desa Mola Utara dan Mola Selatan, memiliki
kepercayaan “jika memiliki anak lima orang berarti sudah menjalankan rukun Islam, jika
memiliki anak enam orang telah menjalankan rukun iman”. Selain kepercayaan tersebut
kepercayaan pengobatan yang masih menggunakan jasa dukun. Dengan pengobatan serba
tradisional, mengandalkan mantra yang ditiupkan ke segelas air lalu diminum, menyebabkan
kematian anak cenderung tinggi disamping sanitasi yang buruk. Sehingga dengan kematian anak
tersebut, orang tua cenderung ingin menambah anak yang lebih banyak karena adanya
kekhawatiran akan kematian anak. Dengan demikian sistem kepercayaan (belief) pada
masyarakat suku Bajo dapat mempengaruhi fertilitas.

Sistem pengetahuan suku Bajo cenderung masih merunut pada sistem pengetahuan tradisional.
Sebagai masyarakat yang mengandalkan penghasilan dari melaut (nelayan), mereka percaya
bahwa kelimpahan hasil tangkapan (rezeki) tergantung pada ridhonya sang istri. Sehingga “jika
ingin hasil tangkapannya berlimpah maka sebelum melaut harus terlebih dahulu berhubungan
istri”. Hal ini menunjukkan frekuensi hubungan seks. Jika setiap hari melaut bahkan dalam
sehari dua kali melaut, tidak dapat dibayangkan frekuensi hubungan seks yang terjadi. Namun
hal itu sulit untuk dibuktikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Davis dan Blake bahwa salah
satu di antaranya yang mempengaruhi fertilitas adalah frekuensi hubungan seks. Walaupun
menurut Davis dan Blake variabel tersebut merupakan variabel yang lemah, namun minimal
frekuensi hubungan seks dapat memberi peluang terjadinya kehamilan. Apalagi tidak diikuti
dengan pemakaian alat kontrasepsi, maka tidak menutup kemungkinan ada peluang dari seorang
wanita untuk hamil.Mata pencaharian sebagai nelayan, suku Bajo sering melibatkan anak-anak
terutama anak laki-laki untuk melaut.

Sejak kecil anak laki-laki sudah disosialisasikan dengan kehidupan laut. Sehingga sejak
umur (7-10)tahun, anak laki-laki sudah sering diajak untuk temani bapak atau pamannya untuk
mencari ikan. Jika anak laki-laki melaut pada umur tersebut maka mereka sudah menjadi bagian
yang dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa dalam proses
produksi. Jika anak laki-laki ikut pamannya melaut, hasil tangkapan yang merupakan bagian dari
anak tersebut akan dibawa pulang ke orang tuanya. Sehingga pada masyarakat suku Bajo
keinginan terhadap anak diantaranya adalah karena anak dipandang sebagai faktor ekonomi.
Terlebih sudah mendarat dan menjadi bagian masyarakat kota, kebutuhan cenderung meningkat

20
sementara pekerjaan utama hanya sebagai nelayan. Dengan demikian untuk menambah
penghasilan keluarga, anak sering dilibatkan sebagai faktor produksi (tenaga kerja). Sehingga
keinginan terhadap jumlah anak terutama anak laki-laki cenderung tinggi.Nilai anak merupakan
aspek yang tidak kalah pentingnnya karena menyangkut motivasi untuk mempunyai jumlah anak
banyak/sedikit dan nilai- nilai tentang anak itu sendiri.

Pada masyarakat suku Bajo yang ada di desa Mola Utara dan Mola Selatan anak
merupakan pembawa rezeki. Sehingga mereka masih meyakini bahwa banyak anak berarti
banyak rezeki. Selain itu anak memiliki makna bahwa dengan jumlah anak yang lebih banyak,
terutama bagi kaum laki-laki menunjukkan kepercayaan diri (keperkasaan) terutama memiliki
anak laki-laki. Apabila tidak demikian, maka akan ada rasa minder atau kurang percaya diri
terutama bagi yang tidak memiliki anak. Di samping itu ada nilai kepemilikan dari orang tua
terhadap anak. Orang tua merasa bahwa jika memiliki anak lak-laki berarti mereka memiliki
sepanjang masa, sedangkan perempuan merasa memilikinya hanya sesaat. Orang tua merasa
memiliki anak laki-laki sebelum kawin dan setelah kawin. Orang tua masih berani meminta
tolong (berupa materi) kepada anak laki-laki karena menurut mereka yang bekerja adalah anak
laki-laki. Sementara anak perempuan hanya memilikinya sebelum kawin namun setelah kawin,
orang tua merasa bukan lagi milik mereka (milik suami). Orang tua tidak berani meminta tolong
(materi) kepada anak perempuannya yang kawin karena yang bekerja adalah suaminya. Dengan
demikian keinginan terhadap jumlah anak cenderung tinggi. Hal ini tentunya dapat
mempengaruhi fertilitas.

Pola perkawinan yang terjadi pada suku Bajo setelah mendarat dan menjadi bagian dari
orang kota (era perubahan) adalah sesama suku (endogami) dan antara suku (eksogami). Sesama
suku (endogami) terjadi antara Bajo dengan bajo atau di sebut “sama vs sama“ sedangkan antara
etnis disebut “sama vs bagai“. Mayoritas perkawinan antara suku (sama vs sama) biasa terjadi
antara laki-laki diluar etnis Bajo (bagai) dan perempuan berasal dari suku Bajo. Pola perkawinan
sesama fertilitasnya cenderung tinggi. Hal tersebut disebabkan karena masih dominannya budaya
suku Bajo mengenai nilai-nilai anak yang berlaku. Sementara perkawinan antara suku cenderung
menurunkan fertilitas. Hal tersebut disebabkan oleh dominasi suami dalam pengambilan
keputusan tentang anak. Sehingga nilai-nilai tentang anak yang belaku dalam suku Bajo sudah
mulai berubah. Mereka lebih memandang dari sisi “cost” karena mereka memikirkan kelanjutan

21
masa depan anak terutama dari segi pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
percampuran dua budaya yang berbeda bisa menurunkan fetilitas.Sistem kekerabatan pada
masyarakat suku Bajo merupakan sistem kekerabatan dekat dan kekerabatan jauh.

Secara umum nampak bahwa pada masyarakat suku Bajo, ide tentang “keluarga besar”
nampaknya masih kuat. Banyak keluarga yang dekat dan jauh masih dianggap menguntungkan.
Norma keluarga besar masih merupakan pilihan dibandingkan dengan norma “keluarga kecil”.
Mereka masih menganggap bahwa dengan banyak anggota keluarga sistem kekerabatan mereka
akan semakin erat dan saling membutuhkan. Hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh
Singarimbun (1978) bahwa penilaian yang tinggi kepada “keluarga besar” mencerminkan
kenyataan berlakunya “loyalitas primodial” yakni loyalitas kepada keluarga, suku dan golongan.
Dengan demikian jika yang berlaku adalah “nilai keluarga besar” maka secara otomatis tingkat
fertilitas akan semakin tinggi.

2.8 Aborsi dalam Konteks Budaya

Kehamilan diluar nikah di Indonesia dianggap sebagai aib dan suatu tragedi yang sangat
tidak bisa diterima masyarakat maupun lingkungan keluarga. Pada penelitian ini tampak
pengaruh orang tua dan keluarga sangat dominan terhadap pengambilan keputusan untuk
melakukan aborsi provokatus kriminalis dengan alasan memalukan keluarga atau aib bagi
keluarga. Kehamilan yang tidak diinginkan adalah penyebab perempuan ingin melakukan aborsi.
Tidak selalu karena belum menikah, data studi yang dilakukan Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI) menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang ingin aborsi justru yang
sudah menikah.

Pada penelitian ini tampak peran suami sangat mempengaruhi seorang istri dalam
mengambil keputusan untuk melakukan aborsi provokatus kriminalis dengan berbagai macam
alasan diantaranya jumlah anak yang banyak,anak yang masih kecil,alat kontrasepsi yang gagal
atau tidak cocok,kondisi ekonomi keluarga yang dianggap tidak cukup untuk membiayai
kehidupan mereka jika mereka masih harus memiliki tambahan anak lagi.

22
Hal ini sesuai dengan penelitian Lawrence et al. yang mengemukakan bahwa keputusan
untuk melakukan abortus biasanya oleh berbagai macam alasan, antara lain tidak mau memiliki
anak masa sekarang, masalah mitra dan ketidaksiapan menghadapi orangtua.5,6 Senbeto et al.
juga menemukan bahwa faktor risiko terjadinya aborsi diantaranya adalah jumlah kehamilan,
kegagalan kontrasepsi, status pendidkan, tempat tinggal dan status pernikahan.

Subjek yang melakukan aborsi provokatus kriminalis disebabkan oleh faktor internal
dan eksternal. Faktor internal meliputi rasa cemas, takut membiayai anak yang kelak dilahirkan,
dan takut karena telah membawa aib bagi keluarga pelaku aborsi provokatus kriminalis yang
belum menikah. Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi subjek melakukan aborsi
provokatus kriminalis adalah adanya desakan dari keluarga atau teman yang mendorong untuk
melakukan tindakan aborsi dan adanya dukun yang bersedia membantu melakukan aborsi
provokatus kriminalis. Kedua faktor tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berinteraksi
untuk mewujudkan perilaku aborsi provokatus kriminalis. Tingkat aborsi provokatus kriminalis
yang tinggi menyebabkan terjadinya perubahan kondisi sosial masyarakat karena dampak dari
aborsi itu sendiri mempengaruhi kondisi mental dan psikis individu, keluarga, dan lingkungan
yang bersangkutan. Dampak sosial yang bisa terjadi berupa pengucilan dan rasa stress yang
berkepanjangan apabila tindakan tersebut diketahui lingkungannya.

Aborsi provokatus kriminalis yang tidak aman juga dapat berpengaruh pada kesehatan
pelakunya. Dari hasil penelitian ini tampak para pelaku aborsi provokatus kriminalis menjadikan
alasan dampak sosial tersebut sebagai alasan untuk melakukan tindakan aborsi provokatus
kriminalis Budaya patriarki yang ada di Indonesia juga dipengaruhi dengan adanya sistem
patrilineal. Patrilineal merupakan adat masyarakat yang mengatur alur atau garis keturunan dari
pihak laki-laki atau ayah. Hal tersebut sudah sangat melekat di masyarakat dan secara tidak sadar
budaya atersebut telah membingkai pemikiran masyarakat bahkan dalam tingkah laku seharihari.
Tanpa kita sadari, budaya patriarki tersebut tidak hanya terjadi pada pasangan suami-istri, namun
juga hubungan remaja yang masih berpacaran, khususnya dalam hal perilakau seksual dimana
perempuan dipaksa oleh laki-laki untuk berhubungan seks dengan alasan sebagai pembuktian
rasa cinta, dan apabila perempuan menolak, ia mengancam akan mengakhiri hubungan. Pada
penelitian ini tampak pengaruh pasangan atau pacar dengan cara membujuk si perempuan untuk
melakukan tindakan aborsi sehingga tidak diketahui oleh orang tua mereka. Perempuan yang

23
belum siap menghadapi kehamilan memutuskan untuk melakukan aborsi karena beberapa alasan
yang menimbulkan inisiatif untuk melakukan aborsi provokatus kriminalis.

Terlebih, nilai-nilai dalam lingkungan pertemanan yang menganggap bahwa aborsi


provokatus kriminalis ilegal adalah hal yang wajar dilakukan apabila dalam kondisi terdesak,
maka nilai-nilai tersebut akan dianut pula dalam diri pelaku. Ada beberapa risiko yang diterima
pelaku aborsi provokatus kriminalis, yaitu risiko ekonomi, fisik, psikis, dan sosial. Risiko fisik
yang dialami antara lain pendarahan, perubahan bentuk fisik, serta turunnya daya tahan tubuh.
Risiko psikis yang dialami antara lain rasa trauma, rasa bersalah, menyesal, namun juga lega.
Proses aborsi provokatus kriminalis bukan saja suatu proses yang memiliki risiko tinggi dari segi
kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat
hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dalam dunia psikologi dikenal sebagai
“Post-abortion Syndrome”. Gejala-gejala yang dialami antara lain kehilangan harga diri,
berteriak histeris, mimpi buruk, ingin melakukan bunuh diri, mulai mencoba menggunakan
obatobatan, tidak bisa lagi menikmati hubungan seksual. Dari hasil penelitian yang dilakukan,
gejala psikologi hanya muncul pada 2 orang pelaku aborsi provokatus kriminalis, yang mengaku
pernah mengalami mimpi buruk setelah melakukan aborsi provokatus kriminalis.

Konsekuensi psikologis dari abortus telah sangat diabaikan. Beberapa hambatan


membuat temuan yang terbatas. Berbagai jenis efek samping psikologis, namun, yang dialami
oleh populasi penelitian memerlukan perhatian lebih intensif karena karakteristik kronis
gangguan psikologis, dan dampak kesehatan wanita di keluarga dan kesehatan penduduk.

2.9 Aplikasi Askep Peka Budaya pada Prenatal

Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskanasuhan keperawatan


dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Geisser
(1991) menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagailandasan
berfikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle, 1995). Pengelolaan
asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

1. Pengkajian

24
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan klien
sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger andDavidhizar, 1995). Pengkajian dirancang
berdasarkan 7 komponen yang ada pada "Sunrise Model" yaitu :

1) Faktor teknologi (tecnological factors)

Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat penawaran


menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Di Sulawesi, mayoritas masyarakat percaya
kepada dukun/ bidan dalam pengobatan. Mereka percaya jika berobat kepada ahlinya (dukun/
bidan) maka penyakit dapat terobati

2). Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors):

Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para
pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di
atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Masyarakat Sulawesi sangat berpegang
teguh kepada syariat islam dalam bertindak, termasuk tata cara pernikahannya dimana
berdasarkan syariat islam

3) Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)

Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur dan
tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga,
dan hubungan klien dengan kepala keluarga.

4) Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)

Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang
dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat
penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah :
posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan
makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas
sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.

5) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)

25
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi
kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang
perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam
berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang
dirawat.

6) Faktor ekonomi (economical factors)

Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk
membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat
diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga,
biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar
anggota keluarga.

7) Faktor pendidikan (educational factors)

Latar belakang pendidikan klien adalah penglaman klien dalam menempuh jalur pendidikan
formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya
didukung oleh buktibukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi
terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini
adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara
aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat dicegah,
diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat
tiga diagnose keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transcultural
yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur, gangguan interaksi
sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan ketidakpatuhan dalam pengobatan

26
berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini. Potensi penggunaan obat herbal yang diyakini
dan terbukti secara ilmiah.

3. Perencanaan dan Pelaksanaan

Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu proses keperawatan
yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan
pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar belakang budaya klien
(Giger and Davidhizar, 1995).

Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andreand Boyle, 1995)
yaitu : mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan
kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan kesehatan
dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.

a. Cultural care preservation/maintenance

1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat

2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien

3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat

b. Cultural care accomodation/negotiation

1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien

2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan

3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana

kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan

standar etik

c. Cultural care repartening/reconstruction

1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan

27
dan melaksanakannya

2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya

kelompok

3) Gunakan pihak ketiga bila perlu

4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan

yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua

5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan

Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masingmasing melalui proses
akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan
memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan
timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan
terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan
hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bagi masyarakat suku Tajio Kasimbar, budaya perkawinan yang dilaksanakan dalam
upacara adat perkawinan memiliki makna filosofi hidup yang mendalam khususnya bagi
kedua pengantin laki-laki dan perempuan saat menjalani kehidupan rumah tangganya.

Hingga kini masyarakat di Kecamatan Petang, Badung masih percaya pada mitos. Di
Kecamatan Petang ini terdapat berbagai jenis dan bentuk mitos kehamilan yang masih
dipercaya oleh masyarakat setempat walaupun dunia kebidanan sudah maju sedemikian
rupa. Sebagai sebuah tradisi lisan, sampai saat ini mitos-mitos kehamilan tersebut masih

28
lestari bahkan digunakan sebagai pedoman masyarakat Kecamatan Petang yang tergolong
telah maju. Bertahannya mitos-mitos kehamilan itu sangat menarik untuk dikaji secara kritis
dalam perspektif kajian budaya.

Masa nifas adalah masa setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan
kembali seperti keadaan sebelum hamil. tradisi posoropu saat masa nifas perempuan Buton,
terdiri dari aspek sosial dan aspek budaya. Adapun aspek sosial, yaitu perempuan Buton
memiliki self concept bahwa perawatan yang dilakukan oleh Bisa (dukun beranak)
menimbulkan sentuhan magis, dipercaya, dan kepuasan pelayanan dalam mengembalikan
fungsi organ reproduksi sediakala.

3.2 Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat dipahami dengan baik.
Kepada perawat diharapkan agar dapat memahami betapa pentingnya perbandingan budaya
dalam konteks beliefs, values, dan lifeways dalam siklus kehidupan prenatal sehingga
perawat dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan peka budaya pada prenatal.

29
Daftar Pustaka

Malla, Hamdan Adi Baso. 2017. Pelaksanaan Budaya Perkawinan Pitu Pole Masyarakat Suku
Taijo Kasimbar, Sulawesi Tengah dalam Perzpektif Filosofi Pendidikan Islam. 5(2) :177-207

Ridwan, Rizal, et. al. 2016. Interaksi Sosial dalam Kejadian Abortus Provokatus Kriminalisasi
di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sumtera Selatan. 3(3) : 149-159

Sapril, Usman. 2018. Pemanfaatan Budaya Posoropu dalam Perawatan Masa Nifas oleh
Perempuan Buton Utara. 14(3) : 268-277

iii

Anda mungkin juga menyukai