DISUSUN OLEH
KELOMPOK 5:
1. Aisyah Azzahrah Arfajah (K011211060)
2. Muhammad Abshar Anbiya (K011211066)
3. Aulia Aradia Nisya (K011211072)
4. Sri Dewi Anggraeni (K011211078)
5. Adi Satya Anshari (K011211084)
6. Muh.Fadly Mulya Ananda (K011211090)
7. A. Riyanti Pradika Mustari (K011211096)
8. A. Zaky Muhammad Afif A. (K011211102)
9. Nurfalah Tri Arimbi (K011211108)
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “Kelompok Etnik Suku Madura
Sebagai Cikal Bakal Masyarakat Maritim Pedesaan di Indonesia”. Salawat serta
salam juga tidak lupa kami sampaikan kepada Nabi kita Muhammad SAW, karena
dengan berkat kegigihan dan kesabaran beliaulah kita dapat menuntut ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dari cara
penulisan maupun isi yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga kami dapat
berkarya dengan lebih baik di masa yang akan datang.
Penulis
i
DAFTAR ISI
C. Tujuan .................................................................................................................1
D. Manfaat ...............................................................................................................2
A. Kesimpulan ........................................................................................................21
B. Saran .................................................................................................................21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa, kurang lebih 7’ sebelah selatan
dari khatulistiwa di antara 112’ dan 114’ bujur timur. Pulau itu dipisahkan dari Jawa
oleh Selat Madura,yang meghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali. Kebanyakan
masyarakat Madura merupakan masyarakat agraris. Kurang lebih sembilan puluh
persen penduduknya hidup terpencar-pencar di pedalaman, di desa-desa, dukuh-
dukuh dan kelompok-kelompok perumahan petani (Huub de Jonge, 1989:17).
Adapun pertumbuhan dan kepadatan penduduk di Madura, yang walaupun tanahnya
tidak subur, Madura adalah pulau yang berpenduduk padat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asal Usul dan Persebaran Suku Madura di Indonesia?
2. Apa bahasa yang digunakan oleh Suku Madura?
3. Apa saja Tradisi Suku Madura yang masih dilestarikan hingga saat ini?
4. Bagaimana kehidupan masyarakat Suku Madura sebagai Masyarakat
Maritim?
5. Apa permasalah yang ada di suku Madura?
6. Apa saja Analisis SWOT dari Suku Madura?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
1
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat memahami dan
mengetahui tentang Kelompok Etnik Suku Madura sebagai Masyarakat
Maritim Pedesaan di Indonesia
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui asal usul dan persebaran suku Madura di Indonesia.
Untuk mengetahui bahasa yang digunakan oleh suku Madura
Untuk mengetahui tradisi yang ada pada suku Madura yang masih
dilestarikan hingga saat ini
Untuk mengetahui kehidupan masyarakat suku Madura sebagai Masyarakat
Maritim
Untuk memaparkan masalah yang ada di Suku Madura
Untuk menguraikan Analisis SWOT dari suku Madura
D. Manfaat
2
BAB II
PEMBAHASAN
Salah satu kelompok bangsa yang pindah mengarungi laut itu terdampar ke
suatu pulau kecil yang terletak di utara, ujung timur pulau Jawa. Para pendatang ini
lalu menetap di sana untuk kemudian menjadi nenek moyang bangsa Madura.
Seperti bangsa Piah, Campa dan Jai di Kocincina mereka mengacu pada apai
dengan mana apoy, menyebut istrinya bine dan memakai kata ella untuk
menyatakan sudah.
Setelah ratusan tahun di Madura maka para pendatang baru itu menjadi
beranak-pinak dan terpencar-pencar ke seluruh pulau. Bahkan pulau-pulau kecil di
3
sekitar Madura dihuninya juga, seperti pulau Sepudi dan Kangean di timur, pulau
Mandangil di selat Madura dan pulau Masalembu serta Bawean di laut Jawa.
Mereka bermukim dalam kelompok-kelompok yang besarnya di tentukan oleh
kesuburan tanah atau daya dukung ekologi setempat. Beberapa kelompok ini
jumlahnya sampai ratusan orang sehingga kemudian membentuk satuan-satuan
tersendiri namun masih terikat satu sama lain oleh kesamaan bahasa.
Bahasa Madura juga berlaku untuk dialek yang tersebar diseluruh wilayah tutur.
Di pulau Madura sendiri, biasanya terdapat beberapa dialek seperti:
Dialek Bangkalan
Dialek Sampang
Dialek Pamekasan
Dialek Sumenep
Dialek Kangean
4
Dialek yang dijadikan acuan standar bahasa Madura adalah dialek Sumenep,
karena Sumenep pada masa lalu merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan
Madura. Sedangkan dialek-dialek lainnya merupakan dialek rural yang lambat laun
bercampur seiring dengan mobilisasi yang terjadi di kalangan masyarakat Madura.
Bahasa Madura adalah cabang dari bahasa Austronesia yang merupakan ranting
Melayu-Polinesia dan hampir mempunyai persamaan dengan bahasa daerah lain di
Indonesia. Bahasa Madura sangat dipengaruhi oleh bahasa Jawa, Melayu, Bugis,
Cina, dan sebagainya. Pengaruh bahasa Jawa sangat terasa dalam bentuk sistem
tutur yang hierarkis sebagai dampak dari pendudukan Mataram di pulau Madura.
Banyak kata dalam bahasa ini yang berakar dari bahasa Indonesia atau Melayu
bahkan Minangkabau, namun tentunya dengan pengucapan yang berbeda. Seperti
kata taddha’ artinya tidak ada, ini hampir sama dengan kata tadak dalam bahasa
Melayu Pontianak. Serta kata dhimmah yang mempunyai arti mana, hampir sama
dengan dima di Minangkabau. Secara historis, ejaan bahasa Madura sangat
dinamis. Ejaan ini senantiasa mengalami perubahan dan penyempurnaan. Sejarah
mencatat kali pertama penggunaan ejaan bahasa Madura yang baku dimulai
puluhan tahun pra kemerdekaan RI. Kemungkinan besar di awal 1900-an. Sebelum
tahun 1918 hingga 1939 digunakan ejaan Balai Pustaka yang berpedoman pada
ejaan Ch. A. Van Ophuysen untuk bahasa Melayu, yang selanjutnya dikenal dengan
ejaan Van Ophuysen. Setahun setelahnya, yakni di tahun 1940, ejaan Van
Ophuysen berganti pada ejaan Provinsi Jawa Timur. Ejaan ini disahkan oleh Kepala
Inspeksi Pelajaran Provinsi Jawa Timur atau Inspekteur Hoofd der Prov Onderwijs
aangelenheden van Oost Java.
Pasca kemerdekaan, ejaan bahasa Madura atau ejaan Provinsi itu berubah lagi,
atau diselaraskan dengan ejaan Suwandi atau ejaan Republik yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 57 Tahun 1972. Tepat pada
28 hingga 29 Mei 1973 ejaan bahasa Madura disempurnakan melalui hasil
sarasehan tepatnya di Gedung Pertemuan Kantor Karesidenan, Pamekasan,
Madura, Jawa Timur yang selanjutnya dipakai hingga saat ini.
5
Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri dari berbagi macam suku. Suku-
suku ini sudah ada sejak zaman dahulu dan sebagian besar masih mempertahankan
ciri khas dari sukunya. Salah satu suku di Indonesia adalah suku Madura. Suku
madura merupakan suku yang berada di wilayah Madura, Jawa Timur dan masih
ada hingga saat ini. Suku ini memiliki berbagai macam tradisi unik yang
keberadaanya masih lestari. Tradisi unik ini seringkali menjadi daya tarik wisatawan
saat berkunjung ke Madura.
Karapan Sapi adalah tradisi masyarakat Madura yang digelar setiap tahun pada
bulan Agustus atau September, dan akan dilombakan lagi pada final di akhir bulan
September atau Oktober. Dalam tradisi Karapan Sapi ini, terdapat seorang joki dan
2 ekor sapi yang beradu kecepatan berlari untuk sampai ke garis finis. Joki tersebut
berdiri di atas kereta kayu dan mengendalikan arah lari sapi. Panjang lintasan
karapan sapi ini kurang lebih 100 meter dan berlangsung dalam waktu 10 detik
sampai 1 menit.
Dengan iringan saronen, orkes gamelan khas Madura, sapi-sapi itu diarak
memasuki dan mengelilingi arena pacuan. Melemaskan otot-otot sekaligus
memamerkan keindahan pakaian (ambhin) dan aksesoris yang beraneka warna.
Seusai parade, pakaian dan seluruh aksesoris dilepas. Kecuali hiasan kepala (obet)
yang berfungsi memberikan rasa percaya diri dan keperkasaan sapi. Setelah itu
perlombaan pun dimulai.
Karapan sapi terdiri dari beberapa macam: kerap keni (kerapan kecil), kerap raja
(kerapan besar), kerap onjangan (kerapan undangan), kerap karesidenan (kerapan
tingkat karesidenan), dan kerap jar-jaran (kerapan latihan).
6
Kerap keni diikuti sapi-sapi kecil yang belum terlatih dari satu kecamatan atau
kewedanaan. Pemenangnya dapat mengikuti kerap raja atau sering disebut kerap
negara yang diadakan dua kali di ibukota kabupaten dan memperebutkan Piala
Bupati. Para pemenang kerap raja akan ikut dan memperebutkan Piala Presiden
yang amat prestisius.
Bagi sebagian besar masyarakat Madura, karapan sapi tidak hanya sebatas
pesta rakyat biasa atau semata warisan turun-temurun. Karapan sapi adalah simbol
kebanggaan yang mengangkat harkat dan martabat masyarakat Madura. Sebab,
sapi yang digunakan untuk pertandingan merupakan sapi-sapi berkualitas sangat
baik yang mendapat perlakuan istimewa dari pemiliknya.
Dalam karapan sapi, harga diri para pemilik sapi dipertaruhkan. Kalau menang,
mereka mendapat hadiah dan uang taruhan. Harga sapi pemenang juga dapat
membumbung tinggi. Kalau kalah, harga diri pemilik jatuh dan kehilangan uang yang
tidak sedikit. Sebab, perawatan sapi terbilang mahal. Berbagai cara pun sudah
dilakukan demi meraih kemenangan. Termasuk menyewa dukun agar sapinya
selamat dari serangan jampi-jampi musuh.
Pakem lama, dengan rekeng, diklaim para pengerap (pemilik atau peserta
kerapan) sebagai warisan nenek-moyang dan karapan sapi Madura sebenarnya.
Sebaliknya versi pakem baru diprakarsai oleh para pecinta binatang, ulama, hingga
budayawan yang ingin mengembalikan karapan sapi seperti dulu tanpa rekeng.
7
Pemerintah juga berkali-kali menghimbau agar tak ada kekerasan dalam karapan
sapi. Setelah sempat muncul dualisme, kini karapan sapi yang memperebutkan
Piala Presiden diadakan tanpa kekerasan.
Salah satu tradisi masyarakat yang perlu mendapat perhatian khusus adalah
Toktok. Tradisi ini adalah kegemaran masyarakat dalam acara aduan sapi. Berbeda
dengan kerapan sapi, Toktok. adalah kompetisi saling seruduk antara dua sapi yang
saling berhadapan. Sapi yang diadu biasanya sapi jantan. Kedua sapi ini akan
beradu kekuatan hingga yang satu kalah, menyerah, dan lari ketakutan. Aduan
Toktok ini harus didampingi oleh orang yang ahli. Tidak semua orang bisa menjadi
“wasit” Toktok karena jika bukan ahlinya, bukan tidak mungkin akan berakibat fatal
(luka, cidera, dan bahkan kematian).
8
Setelah itu, masyarakat melepaskan sesaji ke laut sebagai rasa ungkapan syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun isi dari sesaji itu adalah ketan-ketan yang
berwarna-warni, tumpeng, ikan-ikan, dan lain sebagainya. Ritual atau tradisi tersebut
disebut “Rokat” oleh penduduk setempat.
Bagi penduduk yang menetap di daerah pesisir Madura, mereka menilai bahwa
kebudayaan “rokat” merupakan budaya warisan nenek moyang mereka secara turun
temurun, sehingga mereka secara wajib dan mempunyai keharusan untuk
mempertahankan dan melestarikan budaya tersebut.
Selain itu, penduduk yang menetap di daerah tersebut juga menganggap bahwa
tradisi “rokat” merupakan suatu bentuk ketaatan masyarakat terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, mereka menganggap bahwa orang yang mengikuti tradisi tersebut,
merupakan orang-orang yang mempunyai tingkat ketaqwaan yang tinggi. Dari sinilah
kemudian masyarakat di daerah tersebut merasa terpanggil untuk ikut serta dalam
ritual tersebut.
9
Kemudian, ada juga yang menganggap jika dalam masyarakat tersebut tidak
melakukan ritual “rokat”, maka masyarakat tersebut akan mendapatkan bencana
dan rezeki yang didapat tidak sesuai dengan yang diinginkan.
4. Upacara Nadap
Pada zaman dahulu tersebutlah seorang ulama besar asal Cirebon yang
bernama Syekh Angga Suto datang ke Sumenep, Madura dalam rangka
menyebarkan agama Islam. Pada saat pertama kali menginjakkan kaki di madura
atau tepatnya di pantai di Desa Pinggir, Papas, Syekh Angga Suto atau yang
kemudian dikenal oleh masyarakat Sumenep sebagai Embah Anggasuto mendapati
sebuah telapak kaki yang sangat besar di pinggir pantai yang sedang surut dengan
gumpalan garam didalamnya. Dari penemuannya yang tak disengaja itulah
kemudian Embah Anggasuto memutuskan untuk mengajarkan cara membuat garam
kepada masyarakat Sumenep sebagai daya tarik kepada masyarakat Sumenep
yang berkenan masuk agama Islam. Pada akhirnya kebiasaan membuat garam ini
terus dilaksanakan sampai sekarang. Masyarakat Sumenep menjadi terkenal
sebagai penghasil garam.
10
Pertama-tama sebelum upacara nadar berlangsung pada hari sebelumnya para
sesepuh desa akan berkumpul untuk membicarakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan upacara nadar, terutama mempersiapkan benda-benda
pusaka yang akan digunakan pada saat upacara nadar. Benda-benda pusaka ini
dikeluarkan hanya ketika perayaan upacara nadar. Sebelum dipakai benda-benda
tersebut dibersihkan dan dibuatkan sesajen. Bahkan, beberapa sesepuh melakukan
puasa agar upacara berjalan dengan lancar. Benda-benda pusaka itu antara lain
berupa tombak dan keris. Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara nadar
disiapkan pula piring keramik besar yang disebut panjang. Piring ini digunakan
sebagai wadah makanan.
Benda upacara lain yang tidak kalah pentingnya adalah naskah-naskah kuno.
Naskah-naskah ini mereka katakan sebagai naskah sakral yang usianya sudah
ratusan tahun. Naskah kuno ini pun hanya dikeluarkan satu tahun sekali, yaitu pada
saat upacara pembacaan naskah dalam upacara nadar ketiga. Pembacaan naskah
secara rutin dilakukan di bekas kediaman leluhur mereka. Naskah-naskah tersebut
adalah naskah sampurna sembah dan naskah jatiswara. Pada saat upacara, hanya
bagian-bagian tertentu saja yang dibacakan, yaitu yang isinya berupa ajaran-ajaran
Islam sehingga dapat dijadikan panutan dalam hidup sehari-hari. Benda-benda lain
yang digunakan adalah tombak dan keris. Benda ini merupakan pelengkap sarana
upacara dan hanya dikeluarkan pada saat upacara nadar ketiga. Menurut mereka,
11
benda-benda ini mempunyai kekuatan gaib dan harus diperlakukan secara hati-hati.
Keris dan tombak merupakan senjata yang mereka peroleh dari leluhur. Mereka
hormat terhadap benda-benda tersebut, sehingga hanya sesepuh yang disebut rama
yang boleh membawa dan mengeluarkan benda-benda ini dari tempat
penyimpanan. Benda-benda ini juga disimpan di rumah bekas kediaman leluhur.
Selain keris dan tombak, benda lain yang digunakan adalah bokor, pakinangan, dan
kendi sebagai tempat air suci.
5. Ritual Ojung
Sejak lama masyarakat Pulau Jawa identik dengan komoditas pertanian. Berada
dalam lingkup kerajaan menumbuhkan kepercayaan, tradisi maupun ritual. Salah
satunya saat musim kemarau panjang tiba. Ajaran turun temurun berupa ritual
meminta hujan kerap dilaksanakan. Beda daerah beda pula prosesinya, salah
satunya di Sumenep, Jawa Timur. Masyarakatnya biasa melakukan tradisi Ojung
atau Ojhung, saling beradu pukul rotan di dalam arena pertunjukan. Meskipun
mengandung unsur kekerasan, tradisi Ojung tetap dilaksanakan. Pasalnya,
perkembangan zaman semakin lama menggeser keberadaan Ojung yang nyaris
punah.
Para pemain Ojung bukanlah pria sembarangan. Mereka harus berani dan gesit
dalam memainkan rotan. Rotan diibaratkan sebagai pedang, sebanyak mungkin
diayunkan untuk mengenai tubuh lawan. Tak hanya itu, kesungguhan beradu rotan
harus dijauhkan dari sifat pemarah dan balas dendam. Kedua sifat buruk ini akan
menodai kemurnian tradisi Ojung yang telah ada berabad-abad lamanya.
12
Musik tradisional Okol dan Kidungan mengiringi jalannya tradisi Ojung. Sorak-
sorak penonton menambah keseruan jalannya Ojung. Baik pemenang maupun pihak
yang kalah akan saling memaafkan. Digambarkan pemain Ojung bak seorang
kesatria. Di medan pertandingan mereka bertempur, namun selepasnya, nilai
persahabatan selalu ada pada posisi tertinggi.
Menurut pengalaman nelayan, pada saat air laut bewarna pekat kebiruan, sulit
mencari ikan karena banyak kotoran yang lengket di jarring, hal itu karena pengaruh
arus baratlaut dan timurr laut yang terjadi sekitar bulan 4 dan 12.
Nelayan juga memiliki sistem kualifikasi tentang ombak, angin dan cuaca.
Misalnya saja arah datangnya ombak akan berpengaruh pada jenis ombak yang
13
akan datang, waktu kedatanganya, sifat ombak, warna ombak. Nelayan menengarai
bahwa di selat Madura datangnyaombak kecil pada bulan 1-6, sebaliknya ombak
agar besar terjadi 7-12.
Alat tangkap mencari ikan jugalah sangat memperhatikan kearifan lokal kelautan
yang dianaungi masyarakat suku Madura. Nelayan suku Madura dibagi dua yaitu,
nelayan Pasean dan Nelayan Branta pesisir. Jenis alat tangkapnya tergantung pada
alamnya. Secara umum, jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Pasean
antara lain berupa purse-seine, jarring dobel, dogol, serta pancing.namun sekarang
menggunakan jarring dobel bagi nelayan Branta Pesisir.
Rumah induk ini biasanya, di tandai dengan jengger ayam di atapnya. Rumah
induk, ditempati orang tertua pada keluarga tersebut. Orang tertua ini kemudian di
sebut kepala somah. Ibarat raja kecil, kepala somahlah yang menguasai semua
kebijakan keluarga, terutama menyangkut masalah perkawinan.
Rumah adat Madura, hanya memiliki satu pintu di depan. Hal ini dimaksudkan,
agar pemilik rumah, dapat mengontrol aktifitas keluar masuk keluarga. Pintu ini
dihiasi ukiran-ukiran asli Madura, dengan warna hijau dan merah, lambang
kesetiaan dan perjuangan. Sebuah lukisan bunga, juga tampak menghiasi dinding
14
depan rumah. Lukisan ini, menggambarkan keharmonisan keluarga, sebuah impian
rumah masa depan yang bahagia.
Di samping kanan dan kiri rumah induk, di bangun rumah untuk anak-anaknya.
Anak tertua, menempati rumah sebelah kanan. Sedangkan yantg lain, menempati
rumah sebelah kiri. Biasanya, rumah induk, di tandai dengan hiasan 2 cengger ayam
yang ada di atas atap, dengan posisi berhadapan, mirip batu nisan sebuah makam.
Hiasan ini mengingatkan penghuni rumah pada kematian, yang pasti di jalani oleh
setiap mahluk hidup. Di bagian dalam rumah, berdiri 4 buah pilar penyanggah yang
tampak kokoh. Pilar-pilar ini, terhubung satu dengan lainnya, sehingga membentuk
sebuah bujur sangkar. Pilar-pilar ini, kemudian di sebut dengan pilar pasarean.
Tampak pula sebuah tombak tradisional Madura yang masih terpelihara dengan
baik. Tombak ini merupakan senjata tradisionil Madura, dalam mempertahankan ke
utuhan keluarga.
Setiap rumah data, di lengkapi dengan sebuah surau. Surau ini, disamping
berfungsi sebgai tempat sholat, juga menjadi tempat bagi Kepala Somah, untuk
memantau orang-orang yang keluar masuk halamannya. Orang Madura menyebut
surau ini dengan langgar. Atap surau adat, menggunakan daun ilalang yang
membentang memayungi penghuninya dari air hujan dan sengatan matahari.
Pantang atau tabu adalah suatu larangan atau haram dikerjakan oleh seorang
atau sekelompok orang, karena pelanggaran terhadap dirinya akan menakibatkan
mala petaka teruta tidak menjaga kearifan lokal dalam melaut. Laranganya seperti
tidak berkata kasar atau jorok, tidak boleh membuang sampah sembarangan, dan
membuang kotoran di tengah laut.
15
Pada masa lalu dilarang memotong kayu di tengah laut dan membuang
sembarangan di tengah laut, jika pantangan dilanggar akan menyebabkan musibah
ketika melaut. Dalam masalah mencari ikan di laut ada aturan yang tidak tertulis
yang biasanya dipatuhi mereka. Aturan tersebut misalnya mereka harus jujur dan
tidak boleh berbohong dan harus tolong menolong. Nelayan juga tidak boleh
mengambil lahan rumpun orang lain karena supaya terjadinya keadilan dalam
melaut dan menjaga kelestarian dalam nelayan dengan kata lain tidak boleh serakah
dalam melaut.
Konflik Sampit yang terjadi tahun 2001 merupakan salah satu permasalahan
di suku Madura. Permasalahan ini juga bukanlah sebuah insiden pertama yang
terjadi antara suku Dayak dan Madura. Sebelumnya sudah terjadi perselisihan
antara keduanya. Penduduk Madura pertama kali tiba di Kalimantan Tengah tahun
1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah kolonial
Belanda. Hingga tahun 2000, transmigran asal Madura telah membentuk 21 persen
populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak mulai merasa tidak puas dengan
persaingan yang terus datang dari Madura. Hukum baru juga telah memungkinkan
warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi
tersebut, seperti perkayuan, penambangan, dan perkebunan. Hal tersebut
menimbulkan permasalahan ekonomi yang kemudian menjalar menjadi kerusuhan
antarkeduanya. Insiden kerusuhan terjadi tahun 2001.
16
bahwa tamunya ini siap untuk berkelahi. Konflik Sampit sendiri diawali dengan
perselisihan antara dua etnis ini sejak akhir 2000. Pertengahan Desember 2000,
bentrokan antara etnis Dayak dan Madura terjadi di Desa Kereng Pangi, membuat
hubungan keduanya menjadi bersitegang. Ketegangan semakin memuncak setelah
terjadi perkelahian di sebuah tempat hiburan di desa pertambangan emas Ampalit.
Seorang etnis Dayak bernama Sandong, tewas akibat luka bacok yang ia dapat.
Kejadian ini kemudian membuat keluarga dan tetangga Sandong merasa sangat
marah. Dua hari setelah peristiwa tersebut, 300 warga Dayak mendatangi lokasi
tewasnya Sandong untuk mencari sang pelaku. Tak berhasil menemukan
pelakunya, kelompok warga Dayak melampiaskan kemarahannya dengan merusak
sembilan rumah, dua mobil, lima motor, dan dua tempat karaoke, milik warga
Madura. Penyerangan ini lantas membuat 1.335 orang Madura mengungsi.
Strenght
17
Potensi wilayah pesisir
Dengan panjangnya garis pantai maka suku Madura memilik wilayah pesisir
yang laus pula. Suku Madura memanfaatkan potensi wilayah pesisir tersebut
untuk menggantungkan hidupnya dan memenuhi kebutuha sehari-hari.
Wilayah pesisir pulau madura menyimpan potensial tinggi di bidang perikana
dan hasil laut
Potensi wilayah strategis sebagai wilayah pelayaran
Berdasarkan analisis dengan malhat letak geografis dan potensi di pulau
Madura maka kebanyakan masyarakat suku Madura berfofesi sebagai
nelayan. Madura merupakan salah satu pemasok hasil laut/perikanan di
Indonesia. Agar dapat memanfaatkan potensi tersebut maka suku Madura
sering melakukan pelayaran untuk mendapat hasil perikanan di daerah
sekitar.
Potensi penghasil garam di Indonesia
Pulau Madura memiliki lahan tambak garam yang sangat luas dan produktif
yang menghasilkan garam dalam jumlah banyak. ¼ luas lahan produksi
tambak garam di Indonesia berada di Madura sedangkan ¼ jumlah produksi
garam Nasional berasal dari Madura
Weakness
18
kebutuhan hidup. Dengan adanya masyarakat yag tinggal di daerah pesisir
maka aktivitas ekomoni sesama warga pesisir juga berjalan, perekonomian
mulai tumbuh seperti pasar, ruko dan aktivitas ekonomi lainnya, oleh karena
itu banyak masyarakat di luar desa memutuskan tinggal di daerah tersebut
yang sebagian besar dari mereka tidak memiliki kemampuam yamg mumpuni
akibatnya masyarakat pendatang tersebut tidak memiliki kemampuan daya
beli lahan sehingga memaksakan untuk tinggal di ruang- ruang yang tidak
sepatutnya untuk untuk dtinggali. Selain itu limbah rumah tangga dan hasil
perekonomian akan mencemari lingkungan sekitar sehingga menyebabkan
daerah tersebut tidak sehat.
Oportunity
19
Kesadaran para pemangku kepentingan terhadap pembangunan di wilayah
merupakan tanggung jawabnya. Pemerintah pusat maupun daerah dan
instansi-instansi yang terlibat berperan penting dalam mengamati dan menilai
potensi yang ada tidak terkecuali di pulau Madura. Dengan menganalisis
potensi maritime yang dimiliki pulau Madura dan masyarakat maritimnya yaitu
suku Madura maka dapat dipikirkan rencana strategi apa saja yang dapat
dilakukan di daerah tersebut dan tentunya juga dengan membangun
infrastruktur yang diperlukan dengan SDM yag berkualitas.
Threat
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suku Madura merupakan salah satu suku yang terdapat di Indonesia yang
bermukim di pulau madura. Populasi suku Madura sendiri terpusat tersebar di
seluruh Indonesia. Masyarakat suku Madura kebanyakan berprofesi nelayan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat suku Madura juga tinggal di daerah
pesisir.. Sebagai nelayan peralatan yang digunakan suku Madura terbilang
tradisional. Hal ini untuk tetap menjaga eosistem kelestarian ikan disekitar perairan
pulau Madura
Wilayah pulau Madura secara strategis memiliki banyak potensi sumber daya
terutama sumber daya laut. Madura merupakan salah satu pemasok hasil
laut/perikanan di Indonesia. Oleh karena itu banyak masyarakat suku Madura yang
berprofesi sebagi nelayan. Selain itu Madura juga merupakan penghasil garam yang
besar di Indonesia. Namun pemanfaatan potensi yang dimiliki belum dapat
dikatakan terkelola dengan baik. Terdapat beberapa permasalahan ancaman yang
dimiliki suku Madura. Seperti masih kurangnya kualita SDM yang dimiliki. Selain itu
terdapat pula permasalahan lingkungan yang terjadi di lingkungan suku Madura,
21
seperti permasalahan lingkungan di daerah pemukiman dan berkurangnya daerah
hutan mangrove. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran dan Kerjasama dari semua
pihak terutama pemerintah dan masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan
permasalahan tersebut.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Tajul. n.d. Asal Usul Leluhur Orang Madura. Accessed 10 17, 2021.
https://www.lontarmadura.com/asal-usul-leluhur-orang-madura/ .
Portal Madura. 2017. Mengupas Sejarah Singkat Asal Muasal Bahasa Madura.
https://portalmadura.com/mengupas-sejarah-singkat-asal-muasal-bahasa-
madura-47159/, diakses pada tanggal 18 Oktober 2021, pukul 20:34 WITA
22
https://www.researchgate.net/publication/267684839_KERAPAN_SAPI_PES
TA_RAKYAT_MADURA_Perspektif_Historis-Normatif Diakses pada 18
Oktober 2021 Pukul 19.30
Muhammad, 2012. Budaya “Rokat Tase’/ Petik Laut” Madura. Dunia Karya
http://usmankurniawan.blogspot.com/2013/01/budaya-rokat-tasepetik-laut-
madura.html . Diakses pada 18 Oktober 2021 Pukul 19.42
Ma’rifah, N 2016. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Ojung Pada Masyarakat
Desa Tongas Kulon, Tongas, Probolinggo.
http://digilib.iain-jember.ac.id/83/4/BAB%20I.pdf Diakses pada 18 Oktober
2021 Pukul 19.50
Agustin, N.S. dan Syah, A.F. 2020. ‘ANALISIS PERUBAHAN GARIS PANTAI DI
PULAU MADURA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT 8’,
file:///C:/Users/zakym/Downloads/8843-22704-1-PB.pdf, diakses pada 18
Oktober 2021.
23
Sugianto, H. 2020. ‘Analisis Potensi Hutan Mangrove Di Pesisir Pantai Desa
Labuhan Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang Pulau Madura Sebagai
Pengembangan Bahan Dasar Pewarna Alam Pada Karya Kerajinan Kriya
Tekstil’, file:///C:/Users/zakym/Downloads/1633-109-6946-1-10-20210419.pdf,
diakses pada 18 Oktober 2021.
24