Anda di halaman 1dari 32

BUDAYA MELAYU RIAU

Kelompok VI
Anggota :

Irvan Yosfie Marcellino 2107111241


Kurnia Hidayati 2107111244
Lailatul Fitriya 2107110659
Meita Anggraini Sari 2107111254
Mirani Ramadian Saputri 1807111733
Saridiyah 2107111240

Dosen Pengampu:
Hevi Susanti, S.I.Kom., MA

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberi rahmat dan karunia-Nya serta tak lupa pula kita haturkan shalawat
beriring salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.. Makalah ini
dibuat sebagai syarat dan prosedur untuk menyelesaikan tugas mata kuliah budaya
melayu Riau tentang “Kesenian Melayu Riau”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Hevi Susanti, S.I.Kom., MA yang
telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa pula terima kasih
kepada teman-teman yang telah membantu secara moril dalam pembuatan
makalah ini. Penulis menyadari dalam Makalah ini masih banyak kekurangan
sehingga tidak jauh dari kata tidak sempurna. Untuk itu penulis tidak menutup
kemungkinan adanya masukan dari pihak manapun yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan makalah yang penulis buat. Akhir kata semoga makalah ini
bermanfaat dan bisa digunakan terutama bagi diri penulis sendiri.

Pekanbaru, 26 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... 1

DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .....................................................................................................3

1.2. Rumusan Masalah ...............................................................................................4

1.3. Tujuan ...................................................................................................................5

1.4. Manfaat ................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Melayu ....................................................................................................

2.2. Hubungan Melayu dan Islam ..............................................................................

2.3. Bangsa Melayu ....................................................................................................

2.4. Melayu Dalam Mempertahankan Agama, Bangsa dan Negaranya.................

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ..........................................................................................................

3.2. Saran ....................................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan masyarakat Indonesia tidak lepas dari kesenian dan
kebudayaannya yang khas. Kesenian dan kebudayaan tersebut dari setiap daerah
yang ada di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam
suku, dan setiap daerah dari suku tersebut, terdapat kesenian dan budaya yang
berbeda pula. Kesenian dan kebudayaan tersebut hadir dari interaksi maupun
filosofi hidup masyarakatnya. Lebih-lebih sebuah kesenian, biasa berangkat dari
kegiatan dan pola hidup sehari-hari masyarakat itu sendiri. Semakin majunya
zaman, kesenian hadir sudah lebih mengutamakan bentuk estetikanya baik dari
segi gerak, kostum maupun penyajiannya. Namun juga tidak dipungkiri bahwa
selain bentuk dari nilai estetika yang hadir pada sebuah karya seni, lebih dalam
lagi akan dapat menemukan sebuah makna filosofi yang terkandung didalamnya.
Makna filosofi tersebut bisa berasal dari kehidupan masyarakat, tradisi, maupun
adat istiadat masyarakat tempat kesenian tersebut lahir.
Propinsi Riau menurut perkembagan sejarahnya didiami oleh penduduk
mayoritas yang berkebudayaan Melayu. Secara adat, orang Melayu Riau diakui
sebagai penduduk asli setempat. Karena yang tampak dominan adalah orang
Melayu dan kebudayaan Melayu dalam kehidupan sehari-hari, maka masyarakat
Riau dikenal sebagai masyarakat Melavu. Letak geografis Riau sebagai markas
besar dari kesenian Riau yang berada pada jantung perlintasan bahari membuat
wilayah ini telah ramai dikunjungi masyarakat asing sejak zaman dulu. Kondisi
ini bisa disikapi sebagai beban sekaligus berkah (Kurniati dan Kuswarsantyo,
2020).
Di satu sisi, Riau menjadi ladang perhimpunan berbagai potensi kesenian
dengan pengaruh budaya asing, dan di sisi lain muncul pula potensi korosi
terhadap nilainilai budaya setempat oleh budaya asing yang kurang selaras. Dari
zaman ke zaman, budaya Melayu dengan ciri sosiologis semacam itu, telah
menjadi sistem scanning dalam interaksi antarbudaya yang saling berakulturasi.
Dalam perkembangannya, kesenian Riau adalah bagian dari nilai keindahan yang
tertata apik namun tak lepas dari tuntunan nilai norma Melayu yang bercorak
Islam. Riau sangat kaya dengan ragam bentuk kesenian, baik seni pertunjukan
seperti teater, tari, musik, dan nyanyian maupun sastra. Dalam perkembangannya,
kesenian Riau tersebut memiliki kaitan erat dengan kegiatan adat, tradisi, maupun
keagamaan yang terwarisi turun temurun.
Pulau Sumatera memang satu-satunya pulau di Indonesia yang masih kental
memiliki kesenian bernuansa melayu. Nuansa melayu nyatanya bukan hanya
dimiliki oleh kesenian Riau, kesenian di daerah lain yang masih berada di wilayah
Sumatera pun memiliki nuansa yang sama. Maka janganlah heran jika ada
beberapa bagian dari kesenian Riau yang mengingatkan kita akan kebudayaan
melayu yang cukup kental. Sebagai salah satu kesenian yang dimiliki oleh
Indonesia, kesenian Riau berbeda dengan kesenian yang dimiliki oleh wilayah
Indonesia lainnya. Hal yang membedakan adalah tentu saja nuansa melayu yang
sangat kental. Jika mau melihat ke belakang, sejarah atau identitas bangsa
Indonesia sesungguhnya memang tidak jauh dari kebudayaan melayu.
Salah satu kesenian Melayu yaitu hikayat Melayu. Pada umumnya, hikayat
Melayu menceritakan mengenai asal-usul nama sebuah pemukiman, nama gunung
atau bukit, nama sungai, serta nama dan gelar seseorang. Namun keunikan itu
lebih terpatri di dalam hati masyarakat dengan dijadikannya hikayat sebagai
pedoman hidup, suri tauladan dan menjadi sebuah ritual yang dilakukan secara
turun-temurun. Namun hikayat cerita itu hanya sebagian kecil saja dikenal
rnasyarakat. Inilah salah satu penyebab kesenian Melayu khusunya hikayat
Melayu menjadi suatu bahan tulisan yang menarik untuk dipelajari.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah pada makalah
ini yaitu
1. bagaimana sejarah melayu itu sendiri?
2. apa hubungan melayu dan islam?
3.darimanakah bangsa melayu berasal?
4.bagaimana melayu dalam mempertahankan agama,bangsa dan negaranya?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas,di dapatkan tujuan sebagai berikut
1. Mengetahui sejarah dari bangsa melayu
2. Mengetahui hubungan bangsa melayu dengan agama islam
3. Mengetahui bagaimana bangsa melayu dalam mempertahankan agama,bangsa
dan negaranya.

1.4 Manfaat
Manfaat yang kita dapati dalam membaca makalah ini,kita mengetahui asal
usul dari sejarah melayu itu sendiri dan bagaimana bangsa melayu ini dalam
kesehariannya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Melayu

Sangat sukar berbicara tentang asal usul orang Melayu Kuno, oleh karena data
akuratnya sangat sedikit, apalagi tentang orang Melayu dari Sumatera Tengah atau
Jambi saja. Maka kita harus mempelajari peninggalan rangka manusia dari
Sumatera atau Semenanjung Melayu bahkan Sumsel, Lampung, Jambi, Riau,
Bengkulu, Kalimantan (Sarawak). Kesukaran yang lain adalah tidak sesuainya
kebudayaan dan ras, karena ras yng berlainan dapat mendukung kebudayaan yang
sama, dan ras yang sama dapat mempunyai kebudayaan yang berlainan. Dapat
pula terjadi pendukung kebudayaan yang sama terdiri atas populasi multirasial,
baik menyatu atau terpisah (Yacub T, 2001:1). Masalah rasial sendiri cukup rumit
dan kelompok manusia tidak dapat kita kelasifikasi dengan memuaskan, karena
variasi intraspesifik sukar dibuat dengan tegas, karena pasti ada bagian yang
tumpang tindih, dan di daerah perbatasan biasanya terjadi percampuran ras. Pada
peringkat subrasial atau dibawahnya lagi sudah sukar sekali kita pisahkan
kelompok manusia dalam golongan-golongan yang bermakna, karena perbedaan
genetis dan lingkungannya makin sedikit. Kalau orang Melayu kita golongkan
dalam ras Mongoloid, maka mereka merupakan dari Mongoloid Selatan yang
mendiami Melayu Sumatera dan Sumatera Tengah dan dapat digolongkan bagian
dari subras Melayu-Indonesia (Suwardhi, 1992:38).

Imperium Melayu Riau adalah penyambung warisan Sriwijaya. Kedatangan


Sriwijaya yang mula-mula sejak tahun 517 s/d 683 dibawah kekuasaan Melayu,
dengan meliputi kawasan Sumatera tengah dan selatan. Sriwijaya-Sailendra
berasal dari kesudahan masa waktu seratus tahun ke 7 dan kesudahannya pada
penghujung masa waktu seratus tahun ke 12. Kemaharajaan Melayu yang dimulai
dari - Kerajaan Bintan-Tumasik masa waktu seratus tahun 12-13 M dan kemudian
memasuki periode Melayu Riau yaitu - zaman Melaka masa waktu seratus tahun
14-15 m, - zaman Johor-Kampar masa waktu seratus tahun 16-17 m, - zaman
Riau-Lingga masa waktu seratus tahun 18-19 m
Paramesywara atau Iskandar Syah dikenal dengan gelar Sri Tri Buana, Maharaja
Tiga Dunia (Bhuwana, Kw, Skt berfaedah dunia), seorang pangeran, keturunan
raja akbar. Dia sangat berpandangan lapang, cerdik cendikia, benar gagasan untuk
menyatukan nusantara dan kesudahannya beliaulah pula yang membukakan jalan
untuk perkembangan islam di seluruh nusantara. Paramesywara adalah keturunan
raja-raja Sriwijaya-Saildendra. Menurut M.Said (dalam bukunya Zelfbestuur
Landchappen) Raja Suran adalah keturunan Raja Sultan Iskandar Zulkarnain di
Hindustan yang melawat ke Melaka, beranak tidak orang laki-laki. Ditengah
putranya adalah Sang Si Purba, kawin dengan Ratu Riau. Dari puteranya menjadi
turunan Raja Riau. Sang Si Purba sendiri pergi ke Bukit Sigantung Mahameru
(Palembang) menjadi Raja dan kawin disana. Dia melawat ke Minangkabau dan
menjadi Raja Pagarruyung. Memencar keturunannya menjadi Raja-Raja Aceh dan
Siak Sri Indrapura.
Menurut Sejarah Melayu tiga bersaudara dari Bukit Siguntang menjadi raja di
Minangkabau, Tanjung Pura (Kalimantan Barat) dan yang ketiga memerintah di
Palembang..Yang menjadi Raja di Palembang adalah Sang Nila Utama. Sang Nila
Utama inilah yang menjadi Raja di Bintan dan Kemudian Singapura.

Dalam hikayat Hang Tuah yang terkenal, hadir diceritakan, raja di “Keindraan”
bernama Sang Pertala Dewa. Adapula tersebut seorang raja. Istri baginda hamil
dan beranak seorang perempuan yang diberi nama Puteri Kemala Ratna
Pelinggam. Setelah dewasa diasingkan ke sebuah pulau bernama : Biram Dewa...
Sang Pertala Dewa berburu di pulau Biram Dewa tersebut. Kesudahannya kawin
dengan Putri Kemala Ratna PeLinggam. Lalu lahir anaknya yang dinamai Sang
Purba. Setelah itu mereka naik “keindraan”. Kemudian turun ke Bukit Sigintang
Mahameru. Sang purba dirajakan di bukit siguntang. Sang Purba kawin dengan
puteri yang berasal dari muntah seekor lembu yang berdiri ditepi kolam dimana
sang puteri sedang mandi. Lahir seorang putra dinamai Sang Maniaka dan
kemudian lahir pula putera yang kedua Sang Jaya Mantaka, yang ketiga Sang
Saniaka dan yang keempat Sang Satiaka. Sang Maniaka dirajakan di Bintan dan
singapura.
A. Zaman Bintan – Temasek Dalam catatan sejarah, Kerajaan Riau-Bintan
dimulai dari Raja Asyar-Aya (1100-1150 m) Dan Ratu Wan Sri Beni (1150-
1158M). Ratu kemudian dialihkan oleh menantunya Sang Nila Utama, yang
mendirikan Kerajaan Singapura dan memindahkan Kerajaan dari Bintan ke
Singapura. Menurut para pandai sejarah, Sang Nila Utama dari Bintan
menemukan Singapura pada tahun 1294 M. kemudian diberi gelar Tri Buana dan
mengubah nama Temasek menjadi Singapura.
B. Zaman Melaka Raja-raja Melayu diMelaka berasal dari singapura (temasek)
menurut sejarah Melayu karangan Tun Seri Lanang (1612 M), raja Melayu yang
terakhir disingapura (Tumasik) adalah Raja Iskandar Syah yang membuka negeri
Melaka
Dalam buku-buku sejarah karangan pelawat-pelawat cina nama raja Melayu
Melaka yang pertama itu ialah Pa-Li-Su-La dan Pai-li-mi-sul-la, dari sumber
Portugis yang menyebutkan Paramesywara dengan sebutan Paramicura dan
Permicuri. Pandai sejarah mengambil kesimpulan bahwa raja Melayu Melaka
(Raja Singapura yang terakhir) adalah Permaisura (sebelum memeluk agama
islam) kemudian raja itu menjadi Raja Melaka dengan memakai gelar Permaisuri
Iskandar Syah (1394-1414 M). Keturunan raja ini yang memerintah di Melaka
ialah : - Megat iskandar syah (1414-1424 M) - Sultan Muhammad Syah (1424-
1444 M) - Sultan Abu Syahid (1445-1446 M) - Sultan Muazaffar Syah (1446-
1456 M) - Sultan Mansyur Syah (1456-1477 M) - Sultan Alauddin Riayat Syah
(1477-1488 M) - Sultan Mahmud Syah I (1488-1511 M)

Selama masa waktu seratus tahun 15 sampai permulaan masa waktu seratus tahun
ke 16 di selang Kerajaan-Kerajaan Melayu yang hadir, hanya Kerajaan Melaka
yang sampai puncak kejayaan. Sebuah laporan portugis pada permulaan masa
waktu seratus tahun ke 16 telah menggambarkan Kerajaan Melaka. Pada masa itu
dinyatakan bahwa kota Melaka adalah Bandar perdagangan yang terkaya dan
benar bahan-bahan perdagangan yang termahal, armada yang terbesar dan lalu
lintas yang teramai di dunia. Melaka menjadi kota perdagangan yang terbesar
didatangi pedagang-pedagang dari pulau-pulau nusantara dan dari benua asia
lainyya seperti dari India, Arab, Parsi, Cina, Burma (Pegucampa, Kamboja dan
lain-lain). Dalam tahun 1509 mulai pula berdatangan pedagang-pedagang dari
eropa Melaka sebagai pusat imperium Melayu dan menjadi Bandar perdagangan
yang ramai juga merupakan pusat penyebaran agama islam ke seluruh nusantara
dan Asia Tenggara. Sultan Melaka Sultan Mansyur Syag Akbar yang memerintah
pada tahun 1456-1477 M) telah sukses mengantarkan Melaka ke puncak
kebesaran sejarah Melayu dan dia dapat mempersatukan Kerajaan-Kerajaan
Melayu dalam imperium Melayu. Pada masa Sultan Mansyur inilah terkenalnya
sembilan pemuda yang gagah berani sebagai hulubalang Kerajaan seperti : Hang
Tuah, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekiu, Hang Lekir, Hang ali, Hang
Iskandar, Hang Hasan, dan Hang Hussin. Ditengah kesembilannya Hang Tuahlah
yang sangat berani dan bijaksana sehingga Sultan mengangkatnya menjadi
Laksmana. Pengganti Sultan Mansyur Syah ialah putranya Sultan Alauddin Riayat
Syah (1477-1588 H). Raja ini diracuni oleh Raja Kampar dan Raja Indragiri yang
ditawan di Melaka. Sewaktu dia berhasrat berangkat ke Melaka. Sultan Alauddin
berputrakan Raja Menawar Syah, Raja Kampar dan Raja Muhammad yang
kemudian bergelar Sultan Mahmud Syah Raja Melaka. Sultan mahmud beristrikan
putri sultan raja pahang. Yang menurunkan tiga orang anak. Yang tertua adalah
laki-laki diberi nama Raja Ahmad, yang kedua dan ketiga adalah perempuan.
Sultan mahmud berguru pada Maulana Yusuf, sultan munawar syah raja Kampar
wafatm dialihkan oleh anaknya yang bernama Raja Abdullah yang di nobatkan
oleh Sultan Mahmud di Melaka dan diambil menjadi menantunya. Setelah
dinobatkan di Melaka dia kembali ke Kampar.
Sebelum pusat Kerajaan imperium Melayu di pindahkan ke Johor, Sultan
Mahmud Syah I telah mendirikan pusat pemerintahan di Kampar terletak ditepi
Sungai Kampar. Tempat ini menjadi sebagai pusat imperium Melayu dan basis
perjuangan terakhir untuk melawan portugis.
Sultan Mahmud Syah I ini sangat pemberani dalam menghadapi Portugis. Tapi
sayang Melaka tetap sukses di rebut Portugis. Pada tanggal 15 agustus 1511
terjadilah peperangan yang hebat di selang pejuang Melaka dengan angkatan
portugis yang di pimpin oleh Affonso d’albuquerqe.Melaka sukses dikalahkan.
Sultan dan pengikut-pengikutnya kesudahannya melarikan diri ke hulu sungai
Muar, dan membuat Kerajaan Pagoh. Dalam bulan oktober 1511, Raja Abdullah
(Sultan Kampar) mengadakan hubungan dengan affonso d’ Albuquerque dan
pergi ke Melaka. Kemudian kembali lagi ke Kampar.
affonso d’ Albuquerque merasa sekiranya Pagoh dan Bentayan (Kuala Muar) akan
menjadi ancaman untuk mereka. Takut akan hal ini, affonso langsung
mengerahkan pasukannya yang terdiri dari 400 orang lascar portugis, 600 orang
jawa, dan 300 orang pegu (Burma) untuk menyerang Bentayan dan Pagoh.
Kesudahannya Sultan Mahmud Syah I dan pengikutnya meninggalkan Pagoh dan
berpindah ke Pahang melalui Lubuk Batu dan Panarikan. Bulan Juli 1512
angkatan perang Sultan Mahmud Syah I di bawah pimpinan Laksmana Hang
Nadim menyerang orang-orang Portugis di Melaka.
Januari 1513 Sultan Mahmud Syah I dan para pengikutnya pindah ke Bintan,
tepatnya di Kopak. Dia menetap disini sampai tahun 1519. dari basis ini Sultan
Mahmud beberapa kali menyerang Melaka dan mengadakan blockade di Kuala
Muar sehingga Melaka kekuarangan makanan.
Tahun 1521 Joerge d’ Albuquerque, panglima perang Portugis di Melaka
menyerang bintan dengan membawa 18 buah kapal dan 600 orang prajurit.
Tahun 1523 dibawah pimpinan Don Sancho Enriquez, portugis kembali
menyerang Bintan. Namun dibawah komando Hang Nadim, Laskar Kerajaan
Bintan mampu memberikan perlawanan yang sengit untuk Portugis. Tidak sedikit
tentara Portugis yang mati dalam pertempuran ini dan juga kerugian materi yang
tidak sedikit.
Tahun 1526 portugis menghancurkan bandara Bengkalis, yang kemudian portugis
kembali mengadakan penyerangan untuk Bintan dibawah pimpinan Pedro
Maskarenhaas. Kali ini Portugis mendatangkan angkatan perang dari Goa (India)
yang terdiri dari 25 buah kapal-kapal akbar, 550 orang prajurit portugis dan 600
orang prajurit Melayu yang telah sukses mereka bujuk untuk ikut dalam barisan
mereka. Disaat itu pula Sultan Mahmud sudah bisa membaca kondisi bahwa
Portugis akan kembali menyerang mereka. Dengan segera Sultan Mahmud
langsung mengatur pertahanan yang kokoh di Kota Kara dan Kopak. Pertempuran
hebat pun terjadi di Kota Kara, Laskar-laskar Melayu banyak yang berguguran,
sedangkan Hang Nadim terluka, kondisi pun semakin tidak seimbang,
kesudahannya Bintan pun sukses ditakhlukkan Portugis.
Dalam catatan Sejarah Melayu, Sultan Mahmud Syah I adalah yang kedelapan
dan juga merupakan Raja yang terakhir dari Kerajaan Melaka (1488-1511). Dan
juga dia merupakan Raja Pertama Kerajaan Johor yang memerintah Johor dari
tahun 1511 sampai dengan tahun 1528. Dia adalah putra dari Sultan Alauddin
Riayat Syah dengan Istrinya Saudara Bendahara Pemuka Raja Tun Perak yang
bernama Raja Mahmud. Pada masa Sultan Mahmud Syah I ini, Sultan Munawar,
saudara seayahnya yang menjadi Raja di Kampar telah mangkat. Yang dialihkan
oleh putra Sultan Munawar bernama Raja Abdullah. Setelah Raja Abdullah di
nobatkan menjadi Raja Kampar, Sultan Mahmud Syah I langsung mengangkatnya
menjadi menantu yang dikawinkan dengan putrinya Putri Mah. Laksemana Hang
Tuah juga meninggal pada masa Sultan Mahmud Syah I ini. Menurut sejarah
Melayu, hang tuah di makamkan di Tanjung Keling Melaka.
C. zaman Johor. Setelah Melaka di kalahkan portugis, putra Sultan Mahmud Syah
I, Sultan Ahmad Syah yang merupakan Raja Bintan di Riau, membuka Negeri
Johor. Namun gagal. Kesudahannya Sultan Mahmud Syah I wafat pada Tahun
1528 dan di beri gelar kemangkatan dengan gelar Marhum Kampar. Posisinya
dialihkan oleh putranya Alauddin Riayat Syah II. Tapi sayang Sultan Alauddin
membuat kekeliruan fatal. Dia memindahkan imperium Melayu dari Pekantua
yang terletak di Sungai Kampar Riau Sumatera yang telah terjaga rapi, kuat dan
tangguh ke anggota Johor Lama dan di beri nama Pekan Tua juga. Rancangan
ayahnya yang kokoh dengan maksud supaya tetap menjaga hubungan dalam
imperium Melayu benar hancur. Pada waktu itu Kampar tidak lagi diurus Raja
sendiri, melainkan diserahkan kepengurusannya untuk Raja muda Kampar
(Antaraku Gubernur). Bahkan dituturkan dari sumber sejarah lain Sultan Alauddin
Riayat Syah II ini malah mau berbaik dengan portugis dan sama-sama
menghantam Aceh. Abangnya yang bernama Raja Muda Muzaffar Syah
dihalaunya atas desakan bendahara. Raja Muda Muzaffar Syah sekeluarga
kesudahannya pergi membawa nasib sampai ke Siam (Thailand). Kemudian
dibawa rakyat di Kelang ke Perak dan dirajakan disana antaraku Sultan Perak dan
Selangor.
September 1537, Aceh mengadakan penyerangan untuk Melaka yang telah berada
di tangan Portugis. Dengan kekuatan 300 orang prajurit, Aceh mendaratkan dan
bertempur diMelaka selama 3 hari. Aceh juga menyerang Haru. Sultan Alauddin
Riayat Syah II tiba-tiba menyerang armada Aceh (Deli) dalam pada tahun 1540.
dia merebut haru masuk dalam lingkungan Melayu. Hal ini merupakan dendam
aceh dengan imperium Melayu sampai masa waktu seratus tahun ke 18. dan tentu
saja hal ini sangat menguntungkan untuk Portugis. Aceh kemudian membalas
agresi itu pada tahun 1564 ke Haru, dan sukses mendudukinya. Armada aceh terus
aju menduduki Johor-Lama dan Sultan Alauddin Riayat Syah II sukses di tawan
dan dibawa ke Aceh.
Setelah itu bersambung menjadi raja Johor: Sultan Nuzaffar Syah 1564-1570
Sultan Abdul Jalil Syah 1570-1571 Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II 1571-1597
Sultan Alauddin Riayat Syah III 1597-1615 Sultan Abdul Muayat Syah 1615-
1623 Sultan Abdul Jalil Syah III 1623-1677
Pada masa Sultan Muzzafar Syah, lahirlah seorang Pujangga Melayu (1565) putra
dari Tun Ahmad Paduka Raja yang terkenal dengan nama Tun Seri Lanang. Tun
Sri Lanang merupakan penulis terbanyak tentang sejarah Melayu. Tulisannya
menjadi sumber-sumber sejarah Melayu dewasa ini. Dia pernah tinggal di aceh
sambil menyusun dan menyempurnakan karyanya yang terbesar.yakni Tentang
Sejarah Melayu. Dan berkenaan dengan penulis-penulis dan ulama yang
termasyur seperti Syekh Nuruddin ar Raniri, Tun Aceh, Tun Burhat, Hamzah
Fansuri, Syeikh Syamsuddin Sumatrani, dsb-nya.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III. Johor mengadakan
hubungan persahabatan dengan belanda. Dengan kekuatan yang berserikat, Johor
sukses merebut Melaka dari tangan Portugis pada tanggal 14 januari 1647.
Tahun 1673 Batu Sawar diserang Jambi sehingga Sultan mundur ke Pahang. Dan
mangkat pada Tahun 1677. posisinya dialihkan oleh Sultan Ibrahim Syah yang
memerintah dari tahun 1677 sampai dengan tahun 1685.
Pada masa Sultan Ibrahim Syah memerintah, dia memindahkan pusat Kerajaannya
ke Bintan pada tahun 1678 tepatnya di Sungai Carang. Dari sini dia menyusun
kekuatan menyerang Jambi. Negeri itu menjadi “Bandar Riuh” yang pada
kesudahannya terkenal dengan nama RIAU. Masa pemerintahan Sultan Ibrahim
Syah kesudahannya pada tahun 1685. Tetapi saya belum mengetahui secara pasti
penyebab kesudahannyanya masa dia memerintah, Karena saya sedang mencari
data tentang Sultan Ibrahim Syah ini. Tapi sangat akbar probabilitas bahwa dia
beristirahat memerintah dikarenakan wafat.
Waktu dia wafat belum hadir yang bisa menggantikan posisinya sebagai raja. Hal
ini disebabkan karena cikal bakal pewaris tahta dia, yakni putranya yang bernama
Raja Mahmud masih kecil. Karenanya pemerintahan Kerajaan pada waktu itu
dipegang oleh Datuk Seri Maharaja atau dinamakan juga Bendahara Paduka Raja
Tun Habib. Pada masa ini disediakan perjanjian dagang dengan Belanda. Setelah
Raja Mahmud dewasa, barulah Raja Mahmud dinobatkan menjadi Sultan dengan
gelar Sultan Mahmud Syah II. Dia memerintah dari tahun 1677 sampai dengan
tahun 1699. Meninggal pada usia 42 tahun setelah di bunuh Laksemana Megat Sri
Rama. Sultan Mahmud Syah II meninggal ketika sedang berangkat untuk
menunaikan shalat Jum’at. Dia pergi shalat jum’at dengan di julang oleh
pengawalnya. Dijulang dalam bahasa Melayu berfaedah di dudukkan di atas
tengkuk. Di tengah perjalanan Sultan Mahmud Syah II dibunuh oleh Megat Sri
Rama. Tapi menurut keterangan Raja Ali Haji, Laksemana Megat Sri Rama juga
mati disebabkan oleh sikin nya Sultan sesuai dengan keterangannya yang tertulis
dalam Tuhfatu’n Nafis : “maka adalah ketika baginda itu diatas julang berhasrat
pergi Shalat Jum’at, lalu diparangnya hulu hati baginda sampai mangkat, dan
Megat (Sri Rama) itupun mati juga karena dilontar oleh baginda dengan
sikinnya¹” Dengan berita kematian Sultan yang telah sampai keistana membuat
Istri Sultan Mahmud Syah II, Encik Pong yang sedang hamil tua diselamatkan
oleh Nahkoda Malim, malu satu hulubalangnya yang setia. Encik Pong di larikan
kedalam hutan dengan beberapa orang pengawalnya.
Sejak itu putuslah zuriat keturunan Raja-Raja Melaka di Johor. Dan berproses dan
berubah alih ke tangan Raja-Raja keturunan dari Bendahara.
Setelah Encik Pong melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Raja Kecil,
Encik Pong dibawa keluar Johor dan dibawa ke Jambi. Kemudian dilarikan lagi
ke Indragiri, sampai kesudahannya sampai ke Pagarruyung. Dipagarruyung Encik
Pong dan Raja Kecil mendapatkan Suaka Politik. Bahkan Raja Kecil dianggap
sebagai anak ambil istana oleh Kerajaan pagarruyung. Encik Pong pun wafat di
pagarruyung. Raja Kecil kemudian betul-betul dididik oleh keluarga Istana
Pagaruyyung. Mulai dari ilmu agama, ilmu pemerintahan, ilmu silat dsb-nya. Raja
Kecil tumbuh menjadi remaja. Sampai kesudahannya Keluarga Kerajaan
Pagarruyung menceritakan asal usul dirinya. Setelah mengetahui, karenanya Raja
Kecil mau menuntut balas atas perihal benarnya yang menimpa keluarganya. Pada
waktu itu dia telah di bekali dukungan dari Pagarruyung.
Dalam satu Riwayat sejarah Melayu lain dituturkan mengenai Raja Kecil ini. Raja
Beraleh (Tun Bujang) seorang anak raja yang datang dari Minangkabau telah
menghambakan diri untuk Sultan Lembayung (seorang Raja dari hulu palembang
sebagai pembawa tempat sirih sultan. Kemudian setelah membawa Raja Jambi
dalam suatu peperangan, Raja Beraleh kembali ke Minangkabau. Oleh keluarga
Raja Pagarruyung, nama Raja Beraleh ditukar menjadi Raja Kecil. Namun kisah
ini tidak popular di Riau.
Pengganti Sultan Mahmud Syah II diangkat Bendahara Paduka sebagai Sultan
dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1619-1718). Saudara kandung
yang lebih mudanya Tun Mahmud diangkat menjadi Yam Tuan Muda (Raja
Muda)/ sejak itu anak-anaknya dipanggil Tengku. Rakyat berontak. Sultan Abdul
Jalil Riayat Syah IV pindah ke Riau pada tahun 1709 dan minta bantuan VOC
Belanda tahun 1713. kemudian dia disingkirkan oleh Raja Kecil yang telah diberi
gelar Yang Dipertuan Cantik pada tanggal 21 Maret 1717. dia naik tahta dengan
gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1718-1722).
d. Riau-Lingga Inggris dan Belanda membuat perjanjian (amiens 1802) bahwa
yang dijajah Belanda di Indonesia mesti dipulangkan oleh Inggris. Hal ini
diperteguh lagi setelah kalahnya Napoleon (Konferensi London). Sir Stanford
Raffles wakil gubernur Inggris dari India memperlambat kengembalian ini.
Ditahun 1818, Inggris mengembalikan Melaka untuk Belanda. Tengku Long
ditabalkan menjadi Sultan Riau-Johor tanggal 6 Februari 1819. dengan kegiatan
adapt disaksikan oleh Raffles dan Mayor Farquhar. Dengan peristiwa ini
terpecahlan Imperium Riau Johor menjadi dua yaitu Kerajaan Johor Singapura di
bawah pimpinan Tengku Husin (T.Long) tahun 1824, Singapura benar Crown
Colony Inggris. Dan Kerajaan Riau dibawah Sultan Tengku Abdul Rahman
Muazzamsyah II yang didukung oleh Belanda. Namun kesudahannya pada
tanggal 3 Februari 1911 Kesultanan Riau dicerai-beraikan Pemerintahan langsung
ditangan Gubernur Hindia Belanda diganti oleh seorang residen yang bermarkas
di Tanjung Pinang sampai awal masuknya Jepang.
Dalam Bataviaasche Novelles semakin lanjut diberitakan dari Jambi tertanggal 28
Maret 1711 bahwa seorang Minangkabau atau dari Pealaman, menyebut dirinya
sebagai Raja Ibrahim, memperkenalkan diri sebagai keturunan Yang Dipertuan
yang terkenal dengan pengikut enam atau tujuh orang, telah sampai dihulu Jambi,
membawa lempengan perak dengan tulisan, persahabatan dengan Pangeran
Pringga Raja serta saudaranya Kyai Gedee, Sultan Jambi. Sangatlah mungkin ap
yang dinamakan Yang Dipertuan disitu adalah Raja Kecil. Menurut kisah
sederhana dari orang-orang bumi putera, bahwa Raja Kecil mengunjungi bajak
laut Bugis di sekitar Bangka, untuk berkeinginan bantuan menyerang Johor dan
hal itu rupa-rupanya semakin sesuai dengan umumnya. Bila dalam Tahun 1648
sweaktu dia mengunjungi Jambi dia berumur 20 tahun, karenanya sewaktu
merebut Johor dalam tahun 1717, umurnya telah sampai umur 53 tahun, dan
dalam tahun 1745 dia telah berumur 81 tahun (ia wafat tahun berikutnya), barulah
sesuai bila dia dituturkan “telah berusia sangat lanjut”.
Kebenaran masalah ini tetap menimbulkan keraguan, tetapi perlu mendapat
perhatian, bahwa pemerintah Melaka dalam tahun 1745, benar 25 tahun setelah
terjadi berbagai peristiwa, menurut pelukis Melayu adalah Raja Kecil, bukanlah
Raja Sulaiman yang menjadi Raja Melayu. Orang-orang bugis dibawah pimpinan
tiga bersaudara, Daeng Marewah atau Kelana Jaya Putera, Daeng Perani dan
Daeng Pali atau Daeng Celak, dalam tahun 1134 (bersamaan 22 oktober 1721)
menolong Raja Sulaiman menaiki tahta Johor, Riau dan Pahang. Pusat Kerajaan
waktu itu berada di Riau, sebelah kedalam teluk. Pemimpin-pemimpin bugis
tersebut mendapat imbalas atas jasa-jasanya, mungkin karena sultan merasa
terima kasih atau oleh karena takut. Daeng Marewah, atau Kelana Jaya Putera
menjadi Raja Muda dari Kerajaan Johor dengan gelar Sultan Alau’ddin Syah,
sedangkan Daeng Manompo, juga seorang yang terkemuka di selang bajak laut
bugis itu, diangkat dengan Raja Tuwah dengan gelar Sultan Ibrahim, dia
merupakan raja kedua setelah Raja Muda.
Keterikatan Istana Johor dengan Bugis semakin sempit setelah disediakannya
perkawinan-perkawinan silang yang berlaku. Daeng Marewah dikawinkan dengan
Encik Ayu, janda Sultan Mahmud, tetapi tidak pernah hidup rukun dampak
pengaruh masa remajanya. Daeng Manompo mengambil istri Tun Tepati, saudara
ibu Sultan Sulaiman. Daeng Sasuru dan Daeng Mengato kawin dengan saudara
sepupu sultan, dan orang-orang bugis yang kurang terkemuka kawin dengan
putrid-putri pejabat-pejabat dan kepala-kepala orang Melayu.

Dalam buku Sejarah Melayu disebut bahwa Melayu adalah nama sungai di
Sumatera Selatan yang mengalir disekitar bukit Si Guntang dekat Palembang. Si
Guntang merupakan tempat pemunculan pertama tiga orang raja yang datang ke
alam Melayu. Mereka adalah asal dari keturunan raja-raja Melayu di Palembang
(Singapura, Malaka dan Johor), Minangkabau dan Tanjung Pura. Sejarah Melayu
(Malay Annals) merupakan karya tulis yang paling penting dalam bahasa Melayu
yang merupakan sumber yang otentik untuk informasi mengenai ke-Melayu-an.
Disusun sekitar tahun 1612 tetapi didasarkan catatan-catatan yang lebih tua.
Disebut juga bahwa anggota kerajaan Malaka menyebut diri mereka keturunan
Melayu dari daerah Palembang. Seperti keluarga raja-raja di Negeri Sembilan
yaitu: Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggap keturunan langsung dari Raja
Minangkabau terakhir. Pada waktu itu sebutan Melayu merujuk pada keturunan
sekelompok kecil orang Sumatera pilihan. Seiring dengan berjalannya waktu
definisi Melayu berdasarkan ras ini mulai ditinggalkan.
 
Definisi Melayu menjadi berdasarkan budaya dan adat, dimana orang Melayu
adalah orang yang mempunyai etika, tingkah laku dan adat Melayu. Pada waktu
Islam mulai dianut didaerah Sumatera dan Semenanjung Malaka, keyakinan dan
ketaatan terhadap agama islam menjadi salah satu ciri khas dari orang Melayu.
Pada abad ke-18, William Marsden menyebutkan bahwa dalam percakapan
sehari-hari, penyebutan bangsa Melayu adalah sama dengan sebutan bangsa Moor
di India dalam artian ketaatannya terhadap agama Islam.

2.2 Hubungan Melayu dan Islam

Dunia Melayu-Islam sebenarnya mempunyai sejarah gemilang sebelum


datangnya penjajah Barat di rantau ini. Sejarah telah menunjukkan bahwa dunia
Melayu-Islam merupakan pusat peradaban, pusat perkembangan budaya dan pusat
perdagangan yang penting (Fariza Md. Sham, 2002). Kebudayaan Melayu-Islam
sejak ratusan tahun telah memperlihatkan kemampuannya untuk berkembang
pesat merangkumi bahasa, kesusasteraan, kesenian, pemikiran, dan norma hidup.
Dalam membincangkan tentang kegemilangan tamadun dan budaya Melayu, yang
menjadi persoalan yang sering dibahas ialah siapakah yang layak memainkan
peranan untuk mengangkat marwah dan derajat Melayu sehingga menjadi
masyhur dan terkenal. Jawabannya ialah Islam yang menjadi pegangan dilihat
sebagai faktor utama yang memainkan peranan dalam memperkuat bangsa
Melayu beserta kebudayaannya. Dalam meluaskan perbincangan tentang perkara
ini, penulis akan mengupas kebudayaan ini dari aspek kesenian sebagai asas.
Tamadun dan peradaban Islam telah mempengaruhi bidang kesenian Melayu, baik
dari segi ukiran, seni bangunan, dan seni hias. Contohnya dalam pembangunan
masjid, pengaruh seni bangunan masjid dari Asia Barat telah mempengaruhi reka
bentuk masjid di alam Melayu. Ia dapat dizahirkan berdasarkan bentuk kubah dan
bentuk mihrab yang menghadap kiblat. Peranan Islam dalam kebudayaan Melayu
ini diperkukuhkan lagi dengan pengaruh seni lagu dan musik yang dikembangkan
oleh panyair-penyair Islam untuk menggantikan seni lagu dan musik pra Islam.
Media seni lagu dan musik ini telah digunakan oleh para pendakwah untuk
mengembangkan agama Islam. Di Malaysia, seni lagu dan musik bercorak
dakwah dikenal sebagai nasyid dan qasidah (Fariza Md. Sham, 2002). Oleh yang
demikian, dapatlah dirumuskan bahwa agama Islam ke alam Melayu merupakan
satu zaman transformasi kepada umat Melayu yang asalnya dalam kegelapan
kepada cahaya. Selama ini, umat Melayu dibelenggu dengan paham dan pegangan
yang bergantung kepada mitos dan khayalan, namun Islam telah mempengaruhi
dan mencorakkannya untuk kesejahteraan ummah.

Istilah peradaban atau civilization (dalam bahasa Inggris) atau


tamadun(bahasa Melayu)sudah sering kita dengar diberbagai diskusi baik
resmi maupun tidak resmi.Berbicaratentang peradaban memang sangat
menarik dan tidak akan ada habisnya, terkhusus peradaban Islam. Topik
peradaban ini selalu relevan untuk diperbincangkan di sepanjang zaman. Hal
ini karenamanusia selalu bersinggungan dengan peradaban. Tak akan ada
sebuah peradaban tanpa manusia, karena manusia merupakan pelaku brought
to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.ukprovided
by e-Journal Universitas Islam Negeri Raden Fatah (UIN Raden Fatah
Palembang)
58utama peradaban itu sendiri. Demikian halnya dengan topik peradaban
Islam yang dianologikan seperti bagian dari roda yang berputar tadi, tidak
akan pernah surut dari perbincangan manusia.Peradaban manusia terus
berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Perkembangan peradaban
tersebut tidak saja terjadi dalam ranah fisiknya saja, namun juga terjadi
dalam ranah substansi. Sebagai contoh, pemahaman akan istilah peradaban saja
sampai mengalami fase-fase yang cukup signifikan. Terlebih lagi jika terjadi
persinggungan antara peradaban satu dengan yang lainnya.Seiring dengan
perjalanan hidup manusia yang sudah begitu panjang di muka bumi ini, maka
berbagai macam peradaban pun telah terbentuk. Banyak peradaban yang telah
mewarnai kehidupan manusia. Setiap peradaban tentu saja memiliki konsep
tersendiri yang nantinya akan membedakan peradaban tersebut dengan
peradaban lainnyadan akan tampil dengan keberbedaan satu-sama lain. Begitu
juga dengan peradaban Islam Melayu.Untuk itulah artikel ini mencoba
memaparkantentangpengertian peradaban, Peradaban Islam.Dalam pembentukan
dan pengembangan peradaban Islam tidak terlepas dari dasar-dasar petunjuk
peradaban Islam, yakni: pertama: Al-Qur’an dan Sunnah, kedua: masyarakat
Islam dan ketiga: pembuka jalan kepada pihak lain. Setiap peradaban yang ada
di dunia ini memiliki ciri dan karakteristik tersendiri yang berbeda dengan
peradaban yang lainnya. Karakteristik peradaban Islamtersebutyaitu:bersifat
universalitas, tauhid, seimbang dan moderat, serta adanya sentuhan akhlak,dan
terakhir membahas tentang Peradaban Melayu dan Pengaruh Islam Terhadap
Dunia Melayu

Islam adalah agama yang berasal dari Allah SWT, dan peradaban adalah
produk akal budi manusia melalui daya cipta, rasa dan karsanya. Ini
menjadi menarik jika dipertanyakan bagaimana hubungan antara Islam dan
peradaban? Sebab dalam realitas sejarah, kelahiran Islam dalam
perkembangannya banyak kawasan melahirkan peradaban yang disebut
peradaban Islam.

Sebelum menjelaskan maksud dari peradaban atau tamadun Melayu, kembali


kita lihat arti kata“tamadun” yang digunakan untuk menunjukkan “civilization”
berasal dari kata ‘madana’,yaitu kata kerja yang artinya membina atau
membuka bandar, membudiperkertikan, memurnikan, melahirkan dan sopan
santun.22sedangkan melayu adalah berasal dari kata mala (yang berarti
mula) dan yu (yang berarti negeri). Ini berarti tamadun melayu itu ialah kota
yang yang penuh dengan peradaban.Menurut Mohd. Koharuddin Mohd. Balwi
Peradaban atau tamadun Melayu adalah suatu puncak pencapaian pemikiran dan
sejumlah perlakuan yang baik (adab dan adat) termasuk juga segala hasil
artifaknya (budaya benda) yang membentuk sebuah masyarakat yang teratur
dan mementingkan kesejahteraan sosial untuk menyempurnakan segala sistem
kehidupannya (sosial, politik, ekonomi dan keagamaan).23Dengan kata
lain, Peradaban Islam melayu bisa dikatakan sebagai suatu daerah dimana
terdapat komunitas ras-ras melayu ataupun rumpun-rumpun melayu yang telah
maju peradabannya dan kebudayaannya, baik itu di sektor politik atau
pemerintahan, teknologi, okonomi, dan pengolahan di bidang agraris dan
maritim, yang tetap menjunjung tinggi nilai-kebudayaan, agama (Islam),
Sosial yang mencakup pentauhidan kepada Allah SWT, ahklak dan hubungan
antar manusia.

Berdasarkan beberapa catatan sejarah, agama Islam pertama kali masuk ke


kawasan Melayu, sejak abad ke-7 sampai abad ke-9 Masehi yang dibawa
oleh para pedagang dari Tanah Arab. Pada perjalananya menuju tanah Melayu
dari Selat Malaka, para pedagang itu singgah di Malabar, Cambay, dan
Gujarat (India). Sejak itu Islam berpengaruh terhadap agama dan budaya
yang menentukan pertumbuhan dan perkembangannnya. Kawasan Melayu
sendiri didiami oleh penduduk yang berbudaya Melayu, maka dengan
sendirinya telah terjadi pengaruh agama Islam terhadap masyarakat
Melayu.Menurut Muhammad Naquib al-Attas ada beberapa teori tentang
kedatangan dan penyebaran Islam di kepulauan Melayu, ini merupakan faktor
yang menyebabkan orang Melayu mengidentifikasikan diri dan peradabannya
dengan Islam, berikut ini faktor-faktornya: 241.Faktor perdagangan; 2.Faktor
perkawinan, yaitu antara pendatang Muslim dengan wanita pribumi pada
tahap awal kedatangan Islam; 3.Faktor Permusuhan antara orang-orang Islam dan
Orang Kristen4.Faktor politik seperti mundurnya kerajaan Hindu dan Buddha
seperti Majapahit dan Sriwijaya;5.Faktor Penghargaan nilai ideologi Islam
6.Faktor Otoktomi, atau keadaan dimana sesuatu itu dianggap telah ada,
sejak purbakala sebagai kepunyaan atau sifat kebudayaan suatu masyarakat.Dari
berbagai sumber yang dibaca, faktor perdagangan paling sering
dikemukakansebagai penyebab terjadinya sebaran peradaban Islam. Islam muncul
di Nusantara disebabkan kehadiran pedagang-pedagang Muslim dari negeri
Arab dan Persia sejak abad ke-7sampai abad ke-9 M. Dengan ramainya
kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan kaum Muslimin pada
abad-abad berikutnya, terutama dari abad ke-11 hingga abad ke-17 M,
perkembangan agama Islam ikut marak pula. Pada mulanya komunitas Islam
tumbuh di kota-kota pesisir yang merupakan pelabuhan utama atau transit pada
zamannya. Di sini tidak sedikit pedagang Muslim asing itu tinggal lama dan
kawin mawin dengan penduduk setempat.

Kegiatan perdagangan dan penyebaran Islam kemudian juga melibatkan


penduduk pribumi, termasuk orang Melayu dan etnik-etnik pesisir lain yang
meleuk agama Islam. Tradisi dagang (merantau untuk berniaga) lantas tumbuh
di kalangan etnik pesisir ini. 25Muhammad Naguib al-Attas di dalam bukunya
“Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu” juga menjelaskan bahwa Islam
mempunyai pengaruh yang amat besar, mendalam dan meluas di alam
Melayu sehingga berjaya mencabut akar umbi pengaruh Hindu dan Buddha.
Kedatangan Islam menandakan bermulanya satu zaman baru dan berakhirnya
satu zaman lama di rantau ini. Ini berarti bahawa perubahan yang dibawa
oleh Islam terhadap tamadun alam Melayu bukan sahaja dari segi rupa
malah meresap masuk ke jiwa.

2.3 Bangsa Melayu


Nama "Malayu" berasal dari Kerajaan Malayu yang pernah ada di kawasan
Sungai Batang Hari, Jambi. Dalam perkembangannya, Kerajaan Melayu akhirnya
takluk dan menjadi bawahan Kerajaan Sriwijaya.[17] Pemakaian istilah Melayu-
pun meluas hingga ke luar Sumatra, mengikuti teritorial imperium Sriwijaya yang
berkembang hingga ke Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
Berdasarkan prasasti Keping Tembaga Laguna, pedagang Melayu telah berdagang
ke seluruh wilayah Asia Tenggara, juga turut serta membawa adat budaya
dan Bahasa Melayu pada kawasan tersebut. Bahasa Melayu akhirnya
menjadi lingua franca menggantikan Bahasa Sanskerta.[18] Era kejayaan Sriwijaya
merupakan masa emas bagi peradaban Melayu, termasuk pada masa wangsa
Sailendra di Jawa, kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Dharmasraya sampai pada
abad ke-14, dan terus berkembang pada masa Kesultanan Malaka[19][20][21] sebelum
kerajaan ini ditaklukan oleh kekuatan tentara Portugis pada tahun 1511.
Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh
masyarakat Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata,
namun telah menjadi corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu. Di antara
kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Johor, Kesultanan Perak, Kesultanan
Pahang, Kesultanan Brunei, Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli,dan Kesultanan
Siak, bahkan kerajaan Karo Aru pun memiliki raja dengan gelar Melayu.
Kedatangan Eropa telah menyebabkan orang Melayu tersebar ke seluruh
Nusantara, Sri Lanka, dan Afrika Selatan. Di perantauan, mereka banyak memiliki
kedudukan dalam suatu kerajaan, seperti syahbandar, ulama, dan hakim.

Istilah Melayu sering kita dapatkan pada nama suku bangsa, bahasa, kebudayaan,
yakni suku Melayu, bahasa Melayu, kebudayaan Melayu, dan dapat disaksikan
wujudnya di kawasan Asia Tenggara. Namun istilah Melayu di hubungkan
dengan sebuah kerajaan yang pernah berkembang abad 7 Masehi, maka
menimbulkan banyak interpretasi (Saudagar, 1992:14). Istilah Melayu
dikembangan dari toponim Mo-lo-yeu. Seorang pendeta Buddha dari Cina
bernama I-tsing berlayar menuju India, tahun 671 Masehi singgah di Mo-Lo-Yeu
(Muljana, 1981). Selain itu, istilah Melayu berasal dari nama sebuah sungai
Melayu. Menurut sejarawan Malaysia Hj. Muhammad Said, sumber dari Col.
Greany dikutip dari kitab Udang-undang Siam, dikatakan ada kerajaan Melayu
pada tahun Masehi 677 di sungai Melayu. Sedangkan untuk nama di jumpai di
lokasi situs percandian muara Jambi. Nama Melayu ada yang ditulis Malayur,
Malayu atau Melayu, sedangkan dalam catatan dinasti Yuan (abad 13-14) ditulis
dengan kata MaLi-Yu-Eul (Coedes, 1918). Sedangkan Marcopolo menulis istilah
dengan kata Malaiur. Dalam bahasa Malayu Jambi, kata Melayu mungkin diambil
dari kata layu artinya tiada berdaya lagi atau luluh.

HUBUNGAN MELAYU DENGAN JAMBI


Pusat pemerintahan diperkirakan juga berada dilokasi situs Solok Sipin, di
Kotamadya Jambi sekarang ini. Tepatnya di sekitar lokasi kelompok candi
Sekarabah, sekarang masjid Agung Al-Falah Jambi. Di kisahkan bahwa raja yang
memerintah bernama Raja Dewa Sekarabah, gelar Si Pahit Lidah. Raja Dewa
Sekarabah adalah keturunan mukat-mukatan, artinya dari kalangan pimpinan
keagamaan. Tanda kesetiaan rakyat kepada Raja Dewa Sekarabah diwujudkan
dalam bentuk sumpah, misalnya bila ada yang menentangnya maka akan
mendapat celaka. Dalam Prasasti Tanjore, dikeluarkan oleh Rajenraooladewa
tahun 1030 di India, dinyatakan bahwa ibukota kerajaan Melayu dengan benteng
pertahanannya terletak diatas bukit (Muljana, 1981). Kawasan Solok Sipin di kota
Jambi adalah suatu kawasan perbukitan dipinggir sungai Batanghari dengan
ketinggian sekitar 22-27 Meter dari permukaan laut. Di lokasi situs ini di jumpai 4
kelompok candi yakni candi Sekarabah, candi Kotoh, candi Solok Sipin, dan
candi Sausejkit, 4 buah marakah , arca Buddha , stupa. Temuan arkeologi selain
adalah keramik Cina dari berbagai dinasti, mata uang Cina, mata uang beraksara
arab Melayu, dan mata uang VOC berangka 1748 Masehi. 4 buah makarah di
situs Solok Sipin ini di akui makarah terindah dan terbesar di Indonesia.

Asal usul melayu kuno sangat sulit ditemui dikarenakan sumber-sumber yang
tidak banyak di jumpai, baik sumber tulisan maupun sumber lisan. Namun dapat
dilihat bukti dari ciri-ciri yang terdapat dari karakteristik manusia. Peninggalan
seperti rumah, bukti-bukti lain dapat dilihat dari sebuah perkampungan yang adan
yang dikenal dengan Wanua, yang memiliki cirri rumahnya bertiang, terbuat dari
kayu, dan mempunyai ruang/bilik-bilik yang besar bahkan telah memiliki ruang
ibadah. Begitu juga dengan bahasa yang di ucapkan seharihari tidak jauh berbeda
dan hanya memiliki perbedaan dialek. Hal lain yang dapat dibuktikan untuk
mengetahui asal usul Melayu Kuno yakni dengan mempelajari peninggalan
rangka manusia dari Sumetera, Semenanjung Malayu, Sumsel, Jambi, Riau,
Bengkulu dan lain-lain. Keanekaragaman masyarakat Melayu Kuno dapat
menciptakan berbagai kebudayaan atau tradisi yang berbeda walaupun mereka
berasal dari ras yang sama. Secara garis besar bahwa asal usul Melayu Kuno
memiliki ciri-ciri atau karakteristik fisik yang hampir sama yakni kepala bundar,
nuka lebar, lengan pendek, tinggi badan berkisar pendek hingga tinggi, giginya
menonjol ke depan. Karena mereka berasal dari percampuran ras Mongolid dan
Australomelanesia berdasarkan pandangan Anthropologi.

Ada hal yang menarik dalam proses pernikahan adat melayu Jambi, yaitu tradisi
berbalas pantun atau seloko yang masih dipertahankan hingga saat ini. Seloko
bagi masyarakat Jambi memiliki maknayang dalam, makna yang jauh lebih
penting dari hanya sebagai sebuah “keistimewaan” semata. Seloko dapat
mengandung pesan atau nasihat yang bernilai etik dan moral, sebagai alat kontrol
sosial-kemasyarakatan, bahkan politik serta penjaga keserasian dengan alam dan
sebagai pandangan hidup, bahkan sebagai tuntunan hidup. Dalam pembacaan
seloko, penyeloko biasanya menggunakan pantun atau sejenisnya yang diiringi
dengan rima dan metrum yang mantap sehingga tidak jarang menarik perhatian
bagi sebagian orang yang mendengarkan. Namun demikian, tidak semua orang
bisa memahami maksud seloko tersebut karena dalam pemilihan diksi cenderung
menggunakan majas perbandingan atau perumpamaan. Tradisi seloko masih bisa
ditemukan dalam acara pernikahan di Kota Jambi. Tradisi pernikahan yang masih
menggunakan budaya Jambi akan dipenuhi dengan kalimat-kalimat seloko yang
berirama dan memiliki makna kehidupan sosial untuk calon pengantin dan
masyarakat sekitar.50Tradisi seloko dalam pernikahan adat Jambi masih relevan
untuk diimplementasikan dalam kehidupan masa kini. Jika dahulu pelaku seloko
menyesuaikan dengan keadaan sosial masyarakat yang agraris, maka pada masa
sekarang seloko dapat dijadikan jawaban untuk melawan efek negatif dari arus
perkembangan zaman.

2.4 Bagaimana Bangsa Melayu Dalam Mempertahankan Agama, Bangsa


dan Negaranya.

Berbicara mengenai Melayu tentu saja akan terlihat di dalamnya Islam. Karena
keduanya merupakan bagian yang tak dapat dilepaskan. Ibarat dua sisi mata uang
yang tak dapat dipisahkan, Melayu tidak akan memiliki makna berarti bahkan
tidak bisa disebut Melayu sekiranya Islam jauh atau dijauhkan atau dihilangkan
darinya. Begitu juga dengan Islam (terutama dalam wilayah kepulauan Melayu)
tidak akan dapat eksis dan berkembang sekiranya tidak dapat melakukan
‘kompromi’ dengan Melayu. Karena dimasa awal kedatangan Islam di wilayah
Nusantara ternyata terlebih dahulu memasuki wilayah Melayu yaitu di kepulauan
Sumatra. Melayu jika dilihat dalam rentang sejarah, sudah mulai memperlihatkan
eksistensinya dan diperhitungkan bangsa lain sejak abad ke-5 Masehi. Dalam
rentang waktu yang panjang itu, Melayu telah mengalami berbagai tantangan
dengan dinamika yang komplek, sehingga pengalaman panjang tersebut
menjadikan Melayu sebagai bangsa yang diperhitungkan dunia. Eksistensi
Melayu dalam panggung sejarah, ternyata berimplikasi pada pembentukan jati diri
sebagai bangsa Indonesia. Kontribusi yang diberikan berupa nilainilai normatif
sampai pada nilai-nilai yang bersifat ekspresif dan transformatif. Nilai-nilai
normatif sangat jelas dapat kita temukan dalam budaya yang dimiliki bangsa ini,
budaya Melayu yang memiliki nilai-nilai Islam menjadi panutan masyarakat
secara luas dan tersebar di seluruh nusantara. Sementara kontribusi yang bersifat
ekspresif dapat ditemukan secara faktual, yaitu fungsi bahasa Melayu yang
menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia sebagaimana yang
diproklamirkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Kesejarahan Melayu, tentu saja ditopang oleh nilai-nilai luhur, sinergi Islam
dengan budaya Melayu menjadi sistem nilai (culture value system) yang hidup
dan dikembangkannya dalam berkehidupan, pedoman orientasi bagi segala
kegiatan manusia sehingga tingkah laku yang dipraktekkan berdasar pada sistem
nilai yang dianut. Budaya Melayu yang tersebar luas di kepulauan nusantara dan
Asia Tenggara akan mengalami perkembangan sesuai dengan hubungannya
dengan lingkungan, hal inilah yang menjadi perbedaan antara Melayu yang
terdapat di suatu daerah dengan daerah lain. Perbedaan yang banyak dijumpai
adalah pada aspek nilai ekspresif, terutama pada logat atau dialek bahasa yang
digunakan. Perbedaan tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan dari faktor sejarah
dan pengalaman orang-orang Melayu dengan lingkungannya. Ekspresi budaya
Melayu Sambas umpamanya akan berbeda dengan Melayu Pontianak, di Sambas
kita menemukan tradisi antar ajong yang dilaksanakan di bibir pantai, sementara
di Pontianak kita tidak menemukan yang seperti ini, atau tradisi robo-robo dalam
masyarakat Melayu Mempawah juga tidak kita temukan baik di Sambas maupun
di Pontianak.

Budaya Melayu yang paling mendasar adalah integrasinya dengan Islam, sehingga
tidak akan disebut Melayu jika tidak beragama Islam. Nilai-nilai Islam menjadi
dasar dalam pembentukan sistem nilai, hal ini tidak dapat disangkal dan tercatat
sebagai sejarah bangsa Melayu. Persoalan sekarang adalah apakah budaya Melayu
dengan konsep nilai-nilai Islam tersebut dapat bertahan di tengah-tengah
persoalan global saat ini? Pertanyaan ini, bukan sebuah retorika skeptis, pesimis
dan penolakan terhadap pengalaman sejarah bangsa Melayu, akan tetapi berawal
dari sebuah renungan dengan melihat dinamika masalah kehidupan yang tengah
dihadapi masyarakat Melayu akhir-akhir ini. Dekadensi moral yang
dipertontonkan seolah-olah menjadi sesuatu yang lumrah. Masalah korupsi,
kekeraran seksual, pembunuhan, perampokan dan sebagainya adalah masalah
lintas etnis, bangsa, budaya dan agama sehingga perlu dicermati, slogan ‘tak kan
Melayu Hilang Di Telan Bumi’ perlu kita renungkan kembali, apa maknanya,
apakah Melayu dalam pengertian geneologi, atau Melayu dalam pengertian sistem
nilai yang dianutnya.

Kehidupan Orang Melayu dalam Lintasan Sejarah


Valentijn, menyebutkan bahwa sebenarnya orang Melayu sangat cerdik, pintar,
dan manusia yang sangat sopan di seluruh Asia. Juga sangat baik, lebih pembersih
dalam cara hidupnya dan pada umumnya begitu rupawan sehingga tidak ada
manusia lain yang bisa dibandingkan dengan mereka.Dalam kontek seperti ini,
Valentijn melihat bahwa bangsa Melayu merupakan bangsa yang istimewa jika
dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang pernah ia temui di sepanjang Asia.
Tidak hanya karena bentuk fisik yang sempurna, akan tetapi lebih ditekankan
pada aspek moral dan kultur Melayu itu sendiri.

Pandangan yang diberikan oleh Valentijn tersebut, tentu saja sangat beralasan,
karena bangsa Melayu adalah bangsa yang sangat lentur terhadap akomodasi
budaya luar yang lebih tinggi, sehingga Melayu tidak hanya sebagai bagian entitas
suku beradasarkan bentuk fisik (warna kulit, raut muka dan sebagainya), akan
tetapi sebagai bangsa dengan karakter sikap sebagaimana yang di sampaikan oleh
Valentijn tersebut.Akomodasi terhadap budaya yang lebih tinggi tersebut
dikarenakan oleh orang Melayu itu sendiri tanpa henti melakukan hubungan
dengan bangsa-bangsa yang terdapat di wilayah Nusantara bahkan hingga ke
daerah yang sangat jauh terutama daerah India, Arab dan Parsi.

Nazir memberikan tiga alasan penting yang membedakan orang Melayu dengan
ras lain dalam proses pembentukan budayanya di masa lampau, yaitu berorientasi
pada kelautan, kelonggaran dalam struktur sosial dan berafiliasi pada agama
Islam.

1. Pola kehidupannya yang berorientasi kepada kelautan, atau dapat disebut


sebagai maritime based, sehingga orang Melayu menyebut diri mereka
dengan ‘orang laut’ (di Sambas, orang Melayu juga disebut sebagai orang
laut, sementara orang Dayak disebut sebagai orang darat, istilah ini sudah
terbentuk sejak lama, dan terdapat dalam folk lore Melayu Sambas). Dua
Kerajaan Melayu yang besar di dalam sejarah, Funan dan Sriwijaya di
awal-awal abad Masehi merupakan Kerajaan maritim, bukan Kerajaan
yang agraria based atau yang land-based.
2. Kelonggaran dalam struktur sosialnya. Faktor ini tentu saja disebabkan
oleh posisi Melayu yang menempati wilayah-wilayah penting di kepulauan
Nusantara, lahirnya kota dan pelabuhan dagang menjadikan Melayu
berhubungan dengan bangsabangsa lain, dalam proses ini berdampak pada
perubahan sosial dan ekonomi. Mereka yang tinggal dikota-kota
pelabuhan mulai banyak yang meninggalkan pasar tradisional, menjadi
perantau dan pelayar yang tangguh. Dengan demikian mobiliitas sosial
terjadi baik secara horisontal maupun secara vertikal. Mobilitas sosial
yang terjadi, dalam kacamata antropologi sangat memungkinkan
terjadinya difusi budaya, yaitu penyebaran budaya dari kelompok
masyarakat tertentu ke kelompok lainnya. Friedrich Ratzel umpamanya
yang melihat item budaya cenderung menyebar, sedangkan seluruh budaya
yang komplek (sifat yang menonjol Jurnal Khatulistiwa pada budaya yang
terkait dalam kelompok) disebarkan melalui migrasi. Difusi budaya tidak
akan terjadi jika sekiranya masyarakat penerima budaya baru tidak lentur
dan terbuka terhadap budaya baru tersebut. Dalam proses ini, orangorang
Melayu telah menerima difusi budaya dikarenakan mereka sangat terbuka
dan longgar dalam struktur sosialnya. Hal tersebut berlangsung melalui
proses yang sangat panjang dan peranan Bangsa Melayu dalam
perdagangan internasional dan antar pulau, setidak-tidaknya mulai abad
ke-5. Dari sinilah sangat dimungkinkan akan melahirkan peradaban baru.
Perjumpaan orang-orang Melayu dengan bangsa lain dalam kurun niaga
itu adalah bagian yang tak dapat dinafikan dalam proses pendewasaan
peradaban.
3. Faktor agama Islam sebagai pedoman utama dalam kehidupan Melayu.
Agama Islam tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan Melayu dan
menjadi identitas utama, tidak akan disebut Melayu sekiranya Islam lepas
dalam kehidupan.Islamyang hadir di tanah Melayu telah menciptakan
zaman baru, yaitu munculnya rasionalisme dan intelektualisme yang tidak
pernah dialami sebelumnya. Memang sebelum kedatangan Islam, wilayah
ini dipengaruhi oleh agama yang lebih tua, yaitu Hindu-Budha, dan
kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme akan tetapi lambat laun
agama tersebut berubah dan digantikan oleh Islam.

Islam menyuburkan kegiatan ilmu dan intelektual, bukti yang menjadi dasar
dalam kegiatan ini adalah banyaknya khazanah teks yang terdapat di kepulauan
Melayu, kehadiran Islam di nusantara membawa tradisi baru, yaitu tradisi tulis
dan kesusastraan Melayu. Tentu saja bahasa menjadi faktor penting dalam
perkembangannya. Perkembangan bahasa dan kesusatraan melayu bagi al-Attas
merupakan suatu proses penting justru karena menjadi aspek proses pengislaman
kepulauan Melayu-Indonesia. Dalam tradisi intelektual tersebut lahir tulisan Jawi
sebagai media dan wujud konkrit peradaban intelektual Melayu yang berdasarkan
abjad Arab. Semangat intelektual Melayu mengalami puncaknya sejak abad ke-17
hingga 20, yaitu melalui proses pendidikan dan ibadah haji di Haramayn (Makkah
dan Madinah), dan fungsi bahasa Melayu sebagaimana diungkapkan Martin van
Bruinessen bahwa di antara semua bangsa yang berada di Makkah, orang Jawi
(Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar sejak tahun 1860,
bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah.

Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam sambutan pelantikan gelar profesornya


pada tahun 1972 di Universitas Kebangsaan Malaysia, ia dengan gamblang
memaparkan bagaimana pencapaian yang telah di raih oleh Bangsa Melayu dalam
menggerakkan peradaban umat Islam di wilayah nusantara, terutama Indonesia.
Dalam kontek ini, ia melihat perkembangan sejarah Islam ke daerah kepulauan ini
memiliki hubungan yang sangat penting dengan perkembangan serta penyebaran
bahasa Melayu, sehingga baginya kesimpulan terpentingnya ialah tentang
keutamaan daerah-daerah Melayu dalam proses peng-Islaman. Kerajaan-kerajaan
Melayu-lah, seperti Sumatra yaitu Pasai dan Aceh, dan Semenanjung Tanah
Melayu yaitu Malaka, bukan Jawa yang mengambil peranan utama dalam
penyebaran agama dan teologi serta filsafat Islam ke seluruh bagian Kepulauan
Melayu-Indonesia.

Sebuah statemen yang diberikan Al-Attas dalam hal ini sangat jelas terlihat: Hal
yang perlu di ingat dalam konteks sejarah adalah bahwa sejarah selalu melukiskan
gambaran zaman/masanya. Demikian juga kedatangan Islam di Kepulauan
melayu-Indonesia harus kita lihat sebagai mencirikan zaman baru dalam
sejarahnya. Dengan demikian, maka ciri-ciri dan pengaruh Islam dalam suatu
bangsa harus digali tidak hanya berdasarkan sesuatu yang hanya nampak
dipermukaan saja, akan tetapi kajian yang harus dilakukan adalah lebih
koprehensif lagi hingga pada setiap aspek yang tersembunyi yang tidak terlihat
oleh mata telanjang. Konsepsi mengenai kedalaman berfikir ini sesungguhnya
telah diajarkan oleh nenek moyang kita bangsa Melayu seperti “Bahasa
menunjukkan Bangsa” yang dapat kita artikan sebagai pemikiran suatu bangsa
dapat dilihat dari bahasa yang mereka gunakan.

Kedekatan Islam dan Melayu ibarat dua mata uang yang tak dapat dipisahkan,
satu bagian tidak akan memiliki arti jika tidak ada bagian yang lain. Seseorang
dikatakan sebagai Melayu jika ia beragama Islam. Pernyataan ini menunjukkan
bahwa Islam merupakan pembeda antara Melayu dan non-Melayu. Walaupun
dalam kehidupan sehari-hari mereka mungkin kurang memperhatikan ajaran-
ajaran Islam, atau bahkan mengabaikannya, Islam tetap menjadi jati diri mereka.
Kesultanan Sambas yang merupakan salah satu kerajaan Melayu Islam
memanifestasikan Islam sebagai bagian penting dalam menjalankan roda
pemerintahan sebagai sesuatu keharusan dan keniscayaan, hal ini merupakan ciri
dari sistem pemerintahan Melayu yang tersebar diseluruh Nusantara. Bukti
konkritnya adalah dalam pandangan orang Melayu dikenal kepemimpinan kolektif
seperti halnya falsafah, ‘Tali Tiga Sepilin’ atau ‘Tali Berpilin Tiga. Maksudnya
adalah negara dijalankan oleh tiga komponen pemimpin yaitu Ulama, Umara dan
Pemangku Adat. Tiga komponen inilah yang harus ada dan berfungsi dalam
menjalankan roda pemerintahan kerajaan Melayu dan apabila negara mengalami
kekosongan kepemimpinan (raja) maka tiga komponen tersebut menjadi pilar
utama dalam mengendalikan dan menjalankan fungsi negara.

Globalisasi Orang Melayu; Berubahnya Sistem Referens

Dalam lima tahun terakhir ini, kita telah disuguhkan dengan berita di media massa
dengan kabar yang sangat mengejutkan, misalnya kasus kekerasan seksual yang
melibatkan anak dibawah umur semakin meningkat, jumlah yang sangat besar
untuk wilayah Sambas yang tergolong agamis. Jumlah ini menjadi pertanyaan
besar bagi kita, apa yang salah dalam kehidupan sosial kita, apakah agama sudah
ditinggalkan orang sehingga mereka mudah mengoyak nilai-nilai kemanusiaan?
Pertanyaan ini tentu saja akan melahirkan banyak tanggapan dan pandangan
pengamat berdasarkan latar keilmuan mereka. Sultan sebagaimana yang tertuang
dalam syair merdu itu telah mengingatkanakan kedatangan masa dimana
tantangan zaman akan hadir dengan kompleksitas masalahnya. Sehingga kontrol
sosial kita dalam berkehidupan harus tetap dijaga.

Masalah dekadensi moral adalah salah satu akibatyang dikarenakan oleh


ketidaksiapan masyarakatnya dalam menghadapi tantangan global. Persoalan
tersebut dapat saja bermuara pada pengamalan sistem nilai yang terdapat dalam
masyarakat itu sendiri. Dewasa ini, sistem nilai tradisional mulai digantikan oleh
sistem nilai modern sehingga sistem referensi tidak lagi berkiblat pada tradisi,
tetapi pada nilai-nilai modernitas dengan logika berfikir yang berbeda. Dalam
kasus kekerasan seksual tadi adalah salah satu akibat perubahan sikap cara
pandang orang yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai tradisi (agama) sehingga
perbuatan asusila tidak dapat dihindarkan.

Perubahan referensi dari tradisional ke modernitas menurut Irwan Abdullah


terjadi karena tiga hal yang menempatkan peran keluarga pada posisi pertama,
lingkungan masyarakat dan posisi pusat-pusat kebudayaan pada bagian lainnya.

1. Proses transformasi keluarga tradisional ke modern dengan nilai-nilai dan


dan hubungan-hubungan sosial yang berubah. Disadari atau tidak, bahwa
kedekatan emosional antar individu sudah mengalami perubahan,
kehadiran media elektronik telah mengambil alih fungsi transformasi nilai
dalam keluarga. Fungsi orang tua tidak lagi menjadi sentral, tetapi telah
digantikan oleh televisi, yang merupakan pusat kekuasaan baru yang
mengendalikan sistem sosial dan moral. Kedekatan emosional dalam
keluarga merupakan syarat penting dalam proses transformasi nilai, hal ini
juga terkandung dalam syair Melayu Sambas di atas yang merupakan
tafsiran terhadap hikmah yang diberikan Allah kepada Lukman ketika
berwasiat kepada anaknya. (QS. Lukman [31]: 13).

Di dunia Melayu, peran sentral orang tua sudah sangat jelas menjadi
entitas budaya yang harus dilaksanakan, mungkin tidak berlebihan jika
disebut sebagai ritual wajib yang dilakukan oleh orang tua dalam
mempersiapkan anaknya menjelang akil baligh. Sehingga siap menghadapi
dinamika kehidupan.

2. Berubahnya tata nilai dalam masyarakat dimana kehidupan bukan hanya


sekedar melanjutkan ‘naluri’ masa lalu, tetapi telah menjadi arena
negosiasi berbagai tata nilai yang tidak hanya lokal dan nasional, tetapi
juga global sifatnya. Negosiasi yang terjadi diawali dengan apa yang
disebut dengan masyarakat modern atau kebaratbaratan, sehingga tradisi-
tradisi barat yang awalnya tidak ditemukan dalam tradisi Timur (terutama
dalam kehidupan Melayu) mudah ditemukan dalam prilaku orang Melayu.
Misalnya, cara berpakaian wanita Melayu sarat dengan nilai estetika, etika
dan nilai-nilai Islam (Baju Kurung atau bentuk lainnya dengan catatan
tidak mencolok dan menutup aurat) mulai berubah dalam bentuk yang
lebih terbuka.Perihal ini mengarah pada apa yang dianggap sebagai
sesuatu yang ‘norak’, kampungan, atau ketinggalan zaman, sehingga harus
beralih kepada tampilan yang trendi, modern dan sesuai dengan zaman.
Negosiasi yang terjadi dalam perubahan ini tentu saja diikuti oleh
kepentingankepentingan yang terdapat di dalamnya.
3. Kecendrungan ini terjadi sejalan dengan melemahnya peran pusat-pusat
kebudayaan sebagai pengendali dan pewaris sistem nilai. Keberadaan dan
perkembangan kebudayaan kini dipegang dan dikendalikan oleh kekuatan
yang lebih besar, diwakili oleh negara dan pasar dengan orientasi yang
tidak selalu koheren. Dalam kehidupan Melayu, pusat-pusat kebudayaan
tradisional selalu mengedepankan adat-istiadat sebagai sistem nilai yang
menjadi pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku, sehingga dalam
prakteknya dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:

a. Adat sebenar adat, yaitu adat yang tidak dapat dirubah-rubah, karena
berprinsip pada agama (Islam),
b. Adat yang diadatkan, yaitu adat yang dibuat oleh penguasa (pemimpin)
dalam kurun waktu tertentu, dan terus berlaku sampai diubah oleh
penguasa berikutnya, dan
c. Adat yang teradat, merupakan hasil konsensus bersama, yang
dipandang cukup baik sebagai pedoman dalam menentukan sikap dan
prilaku dalam menyelesaikan setiap peristiwa dan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat.

Seiring dengan melemahnya peran dan pengaruh pusat-pusat kebudayaan


tersebut, secara perlahan akan berdampak pada berubahnya orientasi nilai
yang terdapat dalam tiga komponen adat-istiadat Melayu di atas.

Kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh subur pada abad ke-13 tidak hanya sebagai
simbol kekuatan politik, akan tetapi satu kekuatan intelektual keagamaan juga
muncul pada sisi lainnya. Namun, sekarang sepertinya kekuatan intelektual itu
mulai tergerus oleh dinamika zaman, atau dalam bahasa Isjoni budaya Melayu
berada dipersimpangan jalan. Seakan-akan kekuatan intelektual keagamaan yang
telah tumbuh dan berkembang dalam diri orang Melayu kembali dipertanyakan.
Persoalan ini tentu saja akan ditanggapi dengan beragam dan reaksi yang
bermacam-macam.

Slogan ‘tak kan Melayu hilang di telan Bumi’ perlu kita dudukkan sebagai
persoalan bersama. Tentu saja bukan didasarkan pada sikap skeptis, pesimis dan
sebagainya. Kejayaan yang pernah kita raih sebagai bangsa Melayu sangat pantas
kita jadikan sebagai dasar pijakan dalam aksi dan reaksi intelektual terhadap
persoalan ummat saat ini.Sejarah, sesungguhnya tidak hanya berbicara mengenai
peristiwa masa lalu, siapa pelakunya, dimana letaknya dan sebagainya. Sejarah
sudah sepantasnya kita posisikan sebagai jalan pemecah kebuntuan manusia, atau
dalam istilah lain sejarah mesti mengarah pada problem oriented, yang dapat
dipahami bahwa dengan mempelajari sejarah akan menemukan jalan keluar dalam
menyelesaikan persoalanpersoalan umat manusia. Umpamanya sejarah harus
dapat memberikan solusi terhadap kenakalan remaja saat ini, atau pemecahan
persoalan dekadensi moral yang sangat menghawatirkan.

Jika kita posisikan sejarah sebagai apa yang diinginkan tersebut, maka tugas kita
saat ini adalah menggali, membongkar nilai-nilai moral yang terpatri dalam jiwa
Melayu yang sedang ‘tidur pulas’ ini. Petuah yang diberikan oleh para founding
father negeri Melayu harus kita hidupkan kembali, sebagaimana wasiat Bendahara
Paduka Raja Melaka dalam kitab sulâlat al Salâtîn.
Adat dalam masyarakat melalu harus memiliki sandaran yang kuat, utama dan
tertinggi, tidak lain tentu saja pada al-Qur’an dan sunnah nabi. Prinsip inilah yang
harus ditegakkan, tidak dapat ditawar-tawar, diganti bahkan dibuang. Dengan
demikian, bukan berarti bahwa adat tidak dapat diganti atau diubah, bentuknya
dapat saja berubah atau berganti berdasarkan tuntutan zaman saat ini, tetapi
prinsipnya tetap, yaitu pada alQur’an dan Sunnah nabi, seperti pada cara
berpakaian, prinsipnya menutup aurat dan menghindarkan pemakainya dari
bahaya, masalah model bentuknya bisa beragam dan bebas dipilih oleh orang
Muslim.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pada materi yang telah di paparkan, kita dapat menarik kesimpulan
bahwa sejarah perkembangan melayu begitu banyak menghadapi permasalahan-
permasalahan, dan begitu panjang hingga melewati berbagai zaman.

Nama Melayu berasal dari Kerajaan Melayu yang pernah ada di kawasan sungai
Batang Hari, Jambi. Yang kemudian ditaklukkan dan menjadi bawahan Kerajaan
Sriwijaya.

Definisi Melayu didasarkan pada budaya dan adat, dimana orang Melayu adalah
orang yang mempunyai etika, tingkah laku dan adat Melayu. Keyakinan dan
ketaaatan terhadap agama Islam menjadi salah satu ciri khas dari orang Melayu.
Islam menjadi pegangan serta faktor utama yang memainkan peranan dalam
memperkuat bangsa Melayu beserta kebudayaannya. Media yang digunakan para
pendakwah untuk menyebarkan agama Islam ialah melalui seni lagu dan musik.
Agama Islam pertama kali masuk ke kawasan Melayu sejak abad ke-7 sampai ke-
9 yang di bawa oleh para pedagang dari Arab.

Bangsa Melayu dalam mempertahankan agama, bangsa dan negaranya dapat


menjadi contoh bagi kita. Betapa Bangsa Melayu begitu menjunjung tinggi
Agama, Bangsa dan Negaranya dengan jiwa nasionalisme yang tinggi.

3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini diperlukan pemahaman yang tinggi terhadap
sejarah perkembangan Melayu, bagaimana karakteristik dan hubungannya dengan
agama Islam. Pentingnya membangun jiwa literasi untuk dapat menentukan
kesimpulan dari makalah yang telah dibuat.

Anda mungkin juga menyukai