Kelompok VI
Anggota :
Dosen Pengampu:
Hevi Susanti, S.I.Kom., MA
Puji syukur peneliti ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberi rahmat dan karunia-Nya serta tak lupa pula kita haturkan shalawat
beriring salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.. Makalah ini
dibuat sebagai syarat dan prosedur untuk menyelesaikan tugas mata kuliah budaya
melayu Riau tentang “Kesenian Melayu Riau”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Hevi Susanti, S.I.Kom., MA yang
telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa pula terima kasih
kepada teman-teman yang telah membantu secara moril dalam pembuatan
makalah ini. Penulis menyadari dalam Makalah ini masih banyak kekurangan
sehingga tidak jauh dari kata tidak sempurna. Untuk itu penulis tidak menutup
kemungkinan adanya masukan dari pihak manapun yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan makalah yang penulis buat. Akhir kata semoga makalah ini
bermanfaat dan bisa digunakan terutama bagi diri penulis sendiri.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
1.4 Manfaat
Manfaat yang kita dapati dalam membaca makalah ini,kita mengetahui asal
usul dari sejarah melayu itu sendiri dan bagaimana bangsa melayu ini dalam
kesehariannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Sangat sukar berbicara tentang asal usul orang Melayu Kuno, oleh karena data
akuratnya sangat sedikit, apalagi tentang orang Melayu dari Sumatera Tengah atau
Jambi saja. Maka kita harus mempelajari peninggalan rangka manusia dari
Sumatera atau Semenanjung Melayu bahkan Sumsel, Lampung, Jambi, Riau,
Bengkulu, Kalimantan (Sarawak). Kesukaran yang lain adalah tidak sesuainya
kebudayaan dan ras, karena ras yng berlainan dapat mendukung kebudayaan yang
sama, dan ras yang sama dapat mempunyai kebudayaan yang berlainan. Dapat
pula terjadi pendukung kebudayaan yang sama terdiri atas populasi multirasial,
baik menyatu atau terpisah (Yacub T, 2001:1). Masalah rasial sendiri cukup rumit
dan kelompok manusia tidak dapat kita kelasifikasi dengan memuaskan, karena
variasi intraspesifik sukar dibuat dengan tegas, karena pasti ada bagian yang
tumpang tindih, dan di daerah perbatasan biasanya terjadi percampuran ras. Pada
peringkat subrasial atau dibawahnya lagi sudah sukar sekali kita pisahkan
kelompok manusia dalam golongan-golongan yang bermakna, karena perbedaan
genetis dan lingkungannya makin sedikit. Kalau orang Melayu kita golongkan
dalam ras Mongoloid, maka mereka merupakan dari Mongoloid Selatan yang
mendiami Melayu Sumatera dan Sumatera Tengah dan dapat digolongkan bagian
dari subras Melayu-Indonesia (Suwardhi, 1992:38).
Dalam hikayat Hang Tuah yang terkenal, hadir diceritakan, raja di “Keindraan”
bernama Sang Pertala Dewa. Adapula tersebut seorang raja. Istri baginda hamil
dan beranak seorang perempuan yang diberi nama Puteri Kemala Ratna
Pelinggam. Setelah dewasa diasingkan ke sebuah pulau bernama : Biram Dewa...
Sang Pertala Dewa berburu di pulau Biram Dewa tersebut. Kesudahannya kawin
dengan Putri Kemala Ratna PeLinggam. Lalu lahir anaknya yang dinamai Sang
Purba. Setelah itu mereka naik “keindraan”. Kemudian turun ke Bukit Sigintang
Mahameru. Sang purba dirajakan di bukit siguntang. Sang Purba kawin dengan
puteri yang berasal dari muntah seekor lembu yang berdiri ditepi kolam dimana
sang puteri sedang mandi. Lahir seorang putra dinamai Sang Maniaka dan
kemudian lahir pula putera yang kedua Sang Jaya Mantaka, yang ketiga Sang
Saniaka dan yang keempat Sang Satiaka. Sang Maniaka dirajakan di Bintan dan
singapura.
A. Zaman Bintan – Temasek Dalam catatan sejarah, Kerajaan Riau-Bintan
dimulai dari Raja Asyar-Aya (1100-1150 m) Dan Ratu Wan Sri Beni (1150-
1158M). Ratu kemudian dialihkan oleh menantunya Sang Nila Utama, yang
mendirikan Kerajaan Singapura dan memindahkan Kerajaan dari Bintan ke
Singapura. Menurut para pandai sejarah, Sang Nila Utama dari Bintan
menemukan Singapura pada tahun 1294 M. kemudian diberi gelar Tri Buana dan
mengubah nama Temasek menjadi Singapura.
B. Zaman Melaka Raja-raja Melayu diMelaka berasal dari singapura (temasek)
menurut sejarah Melayu karangan Tun Seri Lanang (1612 M), raja Melayu yang
terakhir disingapura (Tumasik) adalah Raja Iskandar Syah yang membuka negeri
Melaka
Dalam buku-buku sejarah karangan pelawat-pelawat cina nama raja Melayu
Melaka yang pertama itu ialah Pa-Li-Su-La dan Pai-li-mi-sul-la, dari sumber
Portugis yang menyebutkan Paramesywara dengan sebutan Paramicura dan
Permicuri. Pandai sejarah mengambil kesimpulan bahwa raja Melayu Melaka
(Raja Singapura yang terakhir) adalah Permaisura (sebelum memeluk agama
islam) kemudian raja itu menjadi Raja Melaka dengan memakai gelar Permaisuri
Iskandar Syah (1394-1414 M). Keturunan raja ini yang memerintah di Melaka
ialah : - Megat iskandar syah (1414-1424 M) - Sultan Muhammad Syah (1424-
1444 M) - Sultan Abu Syahid (1445-1446 M) - Sultan Muazaffar Syah (1446-
1456 M) - Sultan Mansyur Syah (1456-1477 M) - Sultan Alauddin Riayat Syah
(1477-1488 M) - Sultan Mahmud Syah I (1488-1511 M)
Selama masa waktu seratus tahun 15 sampai permulaan masa waktu seratus tahun
ke 16 di selang Kerajaan-Kerajaan Melayu yang hadir, hanya Kerajaan Melaka
yang sampai puncak kejayaan. Sebuah laporan portugis pada permulaan masa
waktu seratus tahun ke 16 telah menggambarkan Kerajaan Melaka. Pada masa itu
dinyatakan bahwa kota Melaka adalah Bandar perdagangan yang terkaya dan
benar bahan-bahan perdagangan yang termahal, armada yang terbesar dan lalu
lintas yang teramai di dunia. Melaka menjadi kota perdagangan yang terbesar
didatangi pedagang-pedagang dari pulau-pulau nusantara dan dari benua asia
lainyya seperti dari India, Arab, Parsi, Cina, Burma (Pegucampa, Kamboja dan
lain-lain). Dalam tahun 1509 mulai pula berdatangan pedagang-pedagang dari
eropa Melaka sebagai pusat imperium Melayu dan menjadi Bandar perdagangan
yang ramai juga merupakan pusat penyebaran agama islam ke seluruh nusantara
dan Asia Tenggara. Sultan Melaka Sultan Mansyur Syag Akbar yang memerintah
pada tahun 1456-1477 M) telah sukses mengantarkan Melaka ke puncak
kebesaran sejarah Melayu dan dia dapat mempersatukan Kerajaan-Kerajaan
Melayu dalam imperium Melayu. Pada masa Sultan Mansyur inilah terkenalnya
sembilan pemuda yang gagah berani sebagai hulubalang Kerajaan seperti : Hang
Tuah, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekiu, Hang Lekir, Hang ali, Hang
Iskandar, Hang Hasan, dan Hang Hussin. Ditengah kesembilannya Hang Tuahlah
yang sangat berani dan bijaksana sehingga Sultan mengangkatnya menjadi
Laksmana. Pengganti Sultan Mansyur Syah ialah putranya Sultan Alauddin Riayat
Syah (1477-1588 H). Raja ini diracuni oleh Raja Kampar dan Raja Indragiri yang
ditawan di Melaka. Sewaktu dia berhasrat berangkat ke Melaka. Sultan Alauddin
berputrakan Raja Menawar Syah, Raja Kampar dan Raja Muhammad yang
kemudian bergelar Sultan Mahmud Syah Raja Melaka. Sultan mahmud beristrikan
putri sultan raja pahang. Yang menurunkan tiga orang anak. Yang tertua adalah
laki-laki diberi nama Raja Ahmad, yang kedua dan ketiga adalah perempuan.
Sultan mahmud berguru pada Maulana Yusuf, sultan munawar syah raja Kampar
wafatm dialihkan oleh anaknya yang bernama Raja Abdullah yang di nobatkan
oleh Sultan Mahmud di Melaka dan diambil menjadi menantunya. Setelah
dinobatkan di Melaka dia kembali ke Kampar.
Sebelum pusat Kerajaan imperium Melayu di pindahkan ke Johor, Sultan
Mahmud Syah I telah mendirikan pusat pemerintahan di Kampar terletak ditepi
Sungai Kampar. Tempat ini menjadi sebagai pusat imperium Melayu dan basis
perjuangan terakhir untuk melawan portugis.
Sultan Mahmud Syah I ini sangat pemberani dalam menghadapi Portugis. Tapi
sayang Melaka tetap sukses di rebut Portugis. Pada tanggal 15 agustus 1511
terjadilah peperangan yang hebat di selang pejuang Melaka dengan angkatan
portugis yang di pimpin oleh Affonso d’albuquerqe.Melaka sukses dikalahkan.
Sultan dan pengikut-pengikutnya kesudahannya melarikan diri ke hulu sungai
Muar, dan membuat Kerajaan Pagoh. Dalam bulan oktober 1511, Raja Abdullah
(Sultan Kampar) mengadakan hubungan dengan affonso d’ Albuquerque dan
pergi ke Melaka. Kemudian kembali lagi ke Kampar.
affonso d’ Albuquerque merasa sekiranya Pagoh dan Bentayan (Kuala Muar) akan
menjadi ancaman untuk mereka. Takut akan hal ini, affonso langsung
mengerahkan pasukannya yang terdiri dari 400 orang lascar portugis, 600 orang
jawa, dan 300 orang pegu (Burma) untuk menyerang Bentayan dan Pagoh.
Kesudahannya Sultan Mahmud Syah I dan pengikutnya meninggalkan Pagoh dan
berpindah ke Pahang melalui Lubuk Batu dan Panarikan. Bulan Juli 1512
angkatan perang Sultan Mahmud Syah I di bawah pimpinan Laksmana Hang
Nadim menyerang orang-orang Portugis di Melaka.
Januari 1513 Sultan Mahmud Syah I dan para pengikutnya pindah ke Bintan,
tepatnya di Kopak. Dia menetap disini sampai tahun 1519. dari basis ini Sultan
Mahmud beberapa kali menyerang Melaka dan mengadakan blockade di Kuala
Muar sehingga Melaka kekuarangan makanan.
Tahun 1521 Joerge d’ Albuquerque, panglima perang Portugis di Melaka
menyerang bintan dengan membawa 18 buah kapal dan 600 orang prajurit.
Tahun 1523 dibawah pimpinan Don Sancho Enriquez, portugis kembali
menyerang Bintan. Namun dibawah komando Hang Nadim, Laskar Kerajaan
Bintan mampu memberikan perlawanan yang sengit untuk Portugis. Tidak sedikit
tentara Portugis yang mati dalam pertempuran ini dan juga kerugian materi yang
tidak sedikit.
Tahun 1526 portugis menghancurkan bandara Bengkalis, yang kemudian portugis
kembali mengadakan penyerangan untuk Bintan dibawah pimpinan Pedro
Maskarenhaas. Kali ini Portugis mendatangkan angkatan perang dari Goa (India)
yang terdiri dari 25 buah kapal-kapal akbar, 550 orang prajurit portugis dan 600
orang prajurit Melayu yang telah sukses mereka bujuk untuk ikut dalam barisan
mereka. Disaat itu pula Sultan Mahmud sudah bisa membaca kondisi bahwa
Portugis akan kembali menyerang mereka. Dengan segera Sultan Mahmud
langsung mengatur pertahanan yang kokoh di Kota Kara dan Kopak. Pertempuran
hebat pun terjadi di Kota Kara, Laskar-laskar Melayu banyak yang berguguran,
sedangkan Hang Nadim terluka, kondisi pun semakin tidak seimbang,
kesudahannya Bintan pun sukses ditakhlukkan Portugis.
Dalam catatan Sejarah Melayu, Sultan Mahmud Syah I adalah yang kedelapan
dan juga merupakan Raja yang terakhir dari Kerajaan Melaka (1488-1511). Dan
juga dia merupakan Raja Pertama Kerajaan Johor yang memerintah Johor dari
tahun 1511 sampai dengan tahun 1528. Dia adalah putra dari Sultan Alauddin
Riayat Syah dengan Istrinya Saudara Bendahara Pemuka Raja Tun Perak yang
bernama Raja Mahmud. Pada masa Sultan Mahmud Syah I ini, Sultan Munawar,
saudara seayahnya yang menjadi Raja di Kampar telah mangkat. Yang dialihkan
oleh putra Sultan Munawar bernama Raja Abdullah. Setelah Raja Abdullah di
nobatkan menjadi Raja Kampar, Sultan Mahmud Syah I langsung mengangkatnya
menjadi menantu yang dikawinkan dengan putrinya Putri Mah. Laksemana Hang
Tuah juga meninggal pada masa Sultan Mahmud Syah I ini. Menurut sejarah
Melayu, hang tuah di makamkan di Tanjung Keling Melaka.
C. zaman Johor. Setelah Melaka di kalahkan portugis, putra Sultan Mahmud Syah
I, Sultan Ahmad Syah yang merupakan Raja Bintan di Riau, membuka Negeri
Johor. Namun gagal. Kesudahannya Sultan Mahmud Syah I wafat pada Tahun
1528 dan di beri gelar kemangkatan dengan gelar Marhum Kampar. Posisinya
dialihkan oleh putranya Alauddin Riayat Syah II. Tapi sayang Sultan Alauddin
membuat kekeliruan fatal. Dia memindahkan imperium Melayu dari Pekantua
yang terletak di Sungai Kampar Riau Sumatera yang telah terjaga rapi, kuat dan
tangguh ke anggota Johor Lama dan di beri nama Pekan Tua juga. Rancangan
ayahnya yang kokoh dengan maksud supaya tetap menjaga hubungan dalam
imperium Melayu benar hancur. Pada waktu itu Kampar tidak lagi diurus Raja
sendiri, melainkan diserahkan kepengurusannya untuk Raja muda Kampar
(Antaraku Gubernur). Bahkan dituturkan dari sumber sejarah lain Sultan Alauddin
Riayat Syah II ini malah mau berbaik dengan portugis dan sama-sama
menghantam Aceh. Abangnya yang bernama Raja Muda Muzaffar Syah
dihalaunya atas desakan bendahara. Raja Muda Muzaffar Syah sekeluarga
kesudahannya pergi membawa nasib sampai ke Siam (Thailand). Kemudian
dibawa rakyat di Kelang ke Perak dan dirajakan disana antaraku Sultan Perak dan
Selangor.
September 1537, Aceh mengadakan penyerangan untuk Melaka yang telah berada
di tangan Portugis. Dengan kekuatan 300 orang prajurit, Aceh mendaratkan dan
bertempur diMelaka selama 3 hari. Aceh juga menyerang Haru. Sultan Alauddin
Riayat Syah II tiba-tiba menyerang armada Aceh (Deli) dalam pada tahun 1540.
dia merebut haru masuk dalam lingkungan Melayu. Hal ini merupakan dendam
aceh dengan imperium Melayu sampai masa waktu seratus tahun ke 18. dan tentu
saja hal ini sangat menguntungkan untuk Portugis. Aceh kemudian membalas
agresi itu pada tahun 1564 ke Haru, dan sukses mendudukinya. Armada aceh terus
aju menduduki Johor-Lama dan Sultan Alauddin Riayat Syah II sukses di tawan
dan dibawa ke Aceh.
Setelah itu bersambung menjadi raja Johor: Sultan Nuzaffar Syah 1564-1570
Sultan Abdul Jalil Syah 1570-1571 Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II 1571-1597
Sultan Alauddin Riayat Syah III 1597-1615 Sultan Abdul Muayat Syah 1615-
1623 Sultan Abdul Jalil Syah III 1623-1677
Pada masa Sultan Muzzafar Syah, lahirlah seorang Pujangga Melayu (1565) putra
dari Tun Ahmad Paduka Raja yang terkenal dengan nama Tun Seri Lanang. Tun
Sri Lanang merupakan penulis terbanyak tentang sejarah Melayu. Tulisannya
menjadi sumber-sumber sejarah Melayu dewasa ini. Dia pernah tinggal di aceh
sambil menyusun dan menyempurnakan karyanya yang terbesar.yakni Tentang
Sejarah Melayu. Dan berkenaan dengan penulis-penulis dan ulama yang
termasyur seperti Syekh Nuruddin ar Raniri, Tun Aceh, Tun Burhat, Hamzah
Fansuri, Syeikh Syamsuddin Sumatrani, dsb-nya.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III. Johor mengadakan
hubungan persahabatan dengan belanda. Dengan kekuatan yang berserikat, Johor
sukses merebut Melaka dari tangan Portugis pada tanggal 14 januari 1647.
Tahun 1673 Batu Sawar diserang Jambi sehingga Sultan mundur ke Pahang. Dan
mangkat pada Tahun 1677. posisinya dialihkan oleh Sultan Ibrahim Syah yang
memerintah dari tahun 1677 sampai dengan tahun 1685.
Pada masa Sultan Ibrahim Syah memerintah, dia memindahkan pusat Kerajaannya
ke Bintan pada tahun 1678 tepatnya di Sungai Carang. Dari sini dia menyusun
kekuatan menyerang Jambi. Negeri itu menjadi “Bandar Riuh” yang pada
kesudahannya terkenal dengan nama RIAU. Masa pemerintahan Sultan Ibrahim
Syah kesudahannya pada tahun 1685. Tetapi saya belum mengetahui secara pasti
penyebab kesudahannyanya masa dia memerintah, Karena saya sedang mencari
data tentang Sultan Ibrahim Syah ini. Tapi sangat akbar probabilitas bahwa dia
beristirahat memerintah dikarenakan wafat.
Waktu dia wafat belum hadir yang bisa menggantikan posisinya sebagai raja. Hal
ini disebabkan karena cikal bakal pewaris tahta dia, yakni putranya yang bernama
Raja Mahmud masih kecil. Karenanya pemerintahan Kerajaan pada waktu itu
dipegang oleh Datuk Seri Maharaja atau dinamakan juga Bendahara Paduka Raja
Tun Habib. Pada masa ini disediakan perjanjian dagang dengan Belanda. Setelah
Raja Mahmud dewasa, barulah Raja Mahmud dinobatkan menjadi Sultan dengan
gelar Sultan Mahmud Syah II. Dia memerintah dari tahun 1677 sampai dengan
tahun 1699. Meninggal pada usia 42 tahun setelah di bunuh Laksemana Megat Sri
Rama. Sultan Mahmud Syah II meninggal ketika sedang berangkat untuk
menunaikan shalat Jum’at. Dia pergi shalat jum’at dengan di julang oleh
pengawalnya. Dijulang dalam bahasa Melayu berfaedah di dudukkan di atas
tengkuk. Di tengah perjalanan Sultan Mahmud Syah II dibunuh oleh Megat Sri
Rama. Tapi menurut keterangan Raja Ali Haji, Laksemana Megat Sri Rama juga
mati disebabkan oleh sikin nya Sultan sesuai dengan keterangannya yang tertulis
dalam Tuhfatu’n Nafis : “maka adalah ketika baginda itu diatas julang berhasrat
pergi Shalat Jum’at, lalu diparangnya hulu hati baginda sampai mangkat, dan
Megat (Sri Rama) itupun mati juga karena dilontar oleh baginda dengan
sikinnya¹” Dengan berita kematian Sultan yang telah sampai keistana membuat
Istri Sultan Mahmud Syah II, Encik Pong yang sedang hamil tua diselamatkan
oleh Nahkoda Malim, malu satu hulubalangnya yang setia. Encik Pong di larikan
kedalam hutan dengan beberapa orang pengawalnya.
Sejak itu putuslah zuriat keturunan Raja-Raja Melaka di Johor. Dan berproses dan
berubah alih ke tangan Raja-Raja keturunan dari Bendahara.
Setelah Encik Pong melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Raja Kecil,
Encik Pong dibawa keluar Johor dan dibawa ke Jambi. Kemudian dilarikan lagi
ke Indragiri, sampai kesudahannya sampai ke Pagarruyung. Dipagarruyung Encik
Pong dan Raja Kecil mendapatkan Suaka Politik. Bahkan Raja Kecil dianggap
sebagai anak ambil istana oleh Kerajaan pagarruyung. Encik Pong pun wafat di
pagarruyung. Raja Kecil kemudian betul-betul dididik oleh keluarga Istana
Pagaruyyung. Mulai dari ilmu agama, ilmu pemerintahan, ilmu silat dsb-nya. Raja
Kecil tumbuh menjadi remaja. Sampai kesudahannya Keluarga Kerajaan
Pagarruyung menceritakan asal usul dirinya. Setelah mengetahui, karenanya Raja
Kecil mau menuntut balas atas perihal benarnya yang menimpa keluarganya. Pada
waktu itu dia telah di bekali dukungan dari Pagarruyung.
Dalam satu Riwayat sejarah Melayu lain dituturkan mengenai Raja Kecil ini. Raja
Beraleh (Tun Bujang) seorang anak raja yang datang dari Minangkabau telah
menghambakan diri untuk Sultan Lembayung (seorang Raja dari hulu palembang
sebagai pembawa tempat sirih sultan. Kemudian setelah membawa Raja Jambi
dalam suatu peperangan, Raja Beraleh kembali ke Minangkabau. Oleh keluarga
Raja Pagarruyung, nama Raja Beraleh ditukar menjadi Raja Kecil. Namun kisah
ini tidak popular di Riau.
Pengganti Sultan Mahmud Syah II diangkat Bendahara Paduka sebagai Sultan
dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1619-1718). Saudara kandung
yang lebih mudanya Tun Mahmud diangkat menjadi Yam Tuan Muda (Raja
Muda)/ sejak itu anak-anaknya dipanggil Tengku. Rakyat berontak. Sultan Abdul
Jalil Riayat Syah IV pindah ke Riau pada tahun 1709 dan minta bantuan VOC
Belanda tahun 1713. kemudian dia disingkirkan oleh Raja Kecil yang telah diberi
gelar Yang Dipertuan Cantik pada tanggal 21 Maret 1717. dia naik tahta dengan
gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1718-1722).
d. Riau-Lingga Inggris dan Belanda membuat perjanjian (amiens 1802) bahwa
yang dijajah Belanda di Indonesia mesti dipulangkan oleh Inggris. Hal ini
diperteguh lagi setelah kalahnya Napoleon (Konferensi London). Sir Stanford
Raffles wakil gubernur Inggris dari India memperlambat kengembalian ini.
Ditahun 1818, Inggris mengembalikan Melaka untuk Belanda. Tengku Long
ditabalkan menjadi Sultan Riau-Johor tanggal 6 Februari 1819. dengan kegiatan
adapt disaksikan oleh Raffles dan Mayor Farquhar. Dengan peristiwa ini
terpecahlan Imperium Riau Johor menjadi dua yaitu Kerajaan Johor Singapura di
bawah pimpinan Tengku Husin (T.Long) tahun 1824, Singapura benar Crown
Colony Inggris. Dan Kerajaan Riau dibawah Sultan Tengku Abdul Rahman
Muazzamsyah II yang didukung oleh Belanda. Namun kesudahannya pada
tanggal 3 Februari 1911 Kesultanan Riau dicerai-beraikan Pemerintahan langsung
ditangan Gubernur Hindia Belanda diganti oleh seorang residen yang bermarkas
di Tanjung Pinang sampai awal masuknya Jepang.
Dalam Bataviaasche Novelles semakin lanjut diberitakan dari Jambi tertanggal 28
Maret 1711 bahwa seorang Minangkabau atau dari Pealaman, menyebut dirinya
sebagai Raja Ibrahim, memperkenalkan diri sebagai keturunan Yang Dipertuan
yang terkenal dengan pengikut enam atau tujuh orang, telah sampai dihulu Jambi,
membawa lempengan perak dengan tulisan, persahabatan dengan Pangeran
Pringga Raja serta saudaranya Kyai Gedee, Sultan Jambi. Sangatlah mungkin ap
yang dinamakan Yang Dipertuan disitu adalah Raja Kecil. Menurut kisah
sederhana dari orang-orang bumi putera, bahwa Raja Kecil mengunjungi bajak
laut Bugis di sekitar Bangka, untuk berkeinginan bantuan menyerang Johor dan
hal itu rupa-rupanya semakin sesuai dengan umumnya. Bila dalam Tahun 1648
sweaktu dia mengunjungi Jambi dia berumur 20 tahun, karenanya sewaktu
merebut Johor dalam tahun 1717, umurnya telah sampai umur 53 tahun, dan
dalam tahun 1745 dia telah berumur 81 tahun (ia wafat tahun berikutnya), barulah
sesuai bila dia dituturkan “telah berusia sangat lanjut”.
Kebenaran masalah ini tetap menimbulkan keraguan, tetapi perlu mendapat
perhatian, bahwa pemerintah Melaka dalam tahun 1745, benar 25 tahun setelah
terjadi berbagai peristiwa, menurut pelukis Melayu adalah Raja Kecil, bukanlah
Raja Sulaiman yang menjadi Raja Melayu. Orang-orang bugis dibawah pimpinan
tiga bersaudara, Daeng Marewah atau Kelana Jaya Putera, Daeng Perani dan
Daeng Pali atau Daeng Celak, dalam tahun 1134 (bersamaan 22 oktober 1721)
menolong Raja Sulaiman menaiki tahta Johor, Riau dan Pahang. Pusat Kerajaan
waktu itu berada di Riau, sebelah kedalam teluk. Pemimpin-pemimpin bugis
tersebut mendapat imbalas atas jasa-jasanya, mungkin karena sultan merasa
terima kasih atau oleh karena takut. Daeng Marewah, atau Kelana Jaya Putera
menjadi Raja Muda dari Kerajaan Johor dengan gelar Sultan Alau’ddin Syah,
sedangkan Daeng Manompo, juga seorang yang terkemuka di selang bajak laut
bugis itu, diangkat dengan Raja Tuwah dengan gelar Sultan Ibrahim, dia
merupakan raja kedua setelah Raja Muda.
Keterikatan Istana Johor dengan Bugis semakin sempit setelah disediakannya
perkawinan-perkawinan silang yang berlaku. Daeng Marewah dikawinkan dengan
Encik Ayu, janda Sultan Mahmud, tetapi tidak pernah hidup rukun dampak
pengaruh masa remajanya. Daeng Manompo mengambil istri Tun Tepati, saudara
ibu Sultan Sulaiman. Daeng Sasuru dan Daeng Mengato kawin dengan saudara
sepupu sultan, dan orang-orang bugis yang kurang terkemuka kawin dengan
putrid-putri pejabat-pejabat dan kepala-kepala orang Melayu.
Dalam buku Sejarah Melayu disebut bahwa Melayu adalah nama sungai di
Sumatera Selatan yang mengalir disekitar bukit Si Guntang dekat Palembang. Si
Guntang merupakan tempat pemunculan pertama tiga orang raja yang datang ke
alam Melayu. Mereka adalah asal dari keturunan raja-raja Melayu di Palembang
(Singapura, Malaka dan Johor), Minangkabau dan Tanjung Pura. Sejarah Melayu
(Malay Annals) merupakan karya tulis yang paling penting dalam bahasa Melayu
yang merupakan sumber yang otentik untuk informasi mengenai ke-Melayu-an.
Disusun sekitar tahun 1612 tetapi didasarkan catatan-catatan yang lebih tua.
Disebut juga bahwa anggota kerajaan Malaka menyebut diri mereka keturunan
Melayu dari daerah Palembang. Seperti keluarga raja-raja di Negeri Sembilan
yaitu: Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggap keturunan langsung dari Raja
Minangkabau terakhir. Pada waktu itu sebutan Melayu merujuk pada keturunan
sekelompok kecil orang Sumatera pilihan. Seiring dengan berjalannya waktu
definisi Melayu berdasarkan ras ini mulai ditinggalkan.
Definisi Melayu menjadi berdasarkan budaya dan adat, dimana orang Melayu
adalah orang yang mempunyai etika, tingkah laku dan adat Melayu. Pada waktu
Islam mulai dianut didaerah Sumatera dan Semenanjung Malaka, keyakinan dan
ketaatan terhadap agama islam menjadi salah satu ciri khas dari orang Melayu.
Pada abad ke-18, William Marsden menyebutkan bahwa dalam percakapan
sehari-hari, penyebutan bangsa Melayu adalah sama dengan sebutan bangsa Moor
di India dalam artian ketaatannya terhadap agama Islam.
Islam adalah agama yang berasal dari Allah SWT, dan peradaban adalah
produk akal budi manusia melalui daya cipta, rasa dan karsanya. Ini
menjadi menarik jika dipertanyakan bagaimana hubungan antara Islam dan
peradaban? Sebab dalam realitas sejarah, kelahiran Islam dalam
perkembangannya banyak kawasan melahirkan peradaban yang disebut
peradaban Islam.
Istilah Melayu sering kita dapatkan pada nama suku bangsa, bahasa, kebudayaan,
yakni suku Melayu, bahasa Melayu, kebudayaan Melayu, dan dapat disaksikan
wujudnya di kawasan Asia Tenggara. Namun istilah Melayu di hubungkan
dengan sebuah kerajaan yang pernah berkembang abad 7 Masehi, maka
menimbulkan banyak interpretasi (Saudagar, 1992:14). Istilah Melayu
dikembangan dari toponim Mo-lo-yeu. Seorang pendeta Buddha dari Cina
bernama I-tsing berlayar menuju India, tahun 671 Masehi singgah di Mo-Lo-Yeu
(Muljana, 1981). Selain itu, istilah Melayu berasal dari nama sebuah sungai
Melayu. Menurut sejarawan Malaysia Hj. Muhammad Said, sumber dari Col.
Greany dikutip dari kitab Udang-undang Siam, dikatakan ada kerajaan Melayu
pada tahun Masehi 677 di sungai Melayu. Sedangkan untuk nama di jumpai di
lokasi situs percandian muara Jambi. Nama Melayu ada yang ditulis Malayur,
Malayu atau Melayu, sedangkan dalam catatan dinasti Yuan (abad 13-14) ditulis
dengan kata MaLi-Yu-Eul (Coedes, 1918). Sedangkan Marcopolo menulis istilah
dengan kata Malaiur. Dalam bahasa Malayu Jambi, kata Melayu mungkin diambil
dari kata layu artinya tiada berdaya lagi atau luluh.
Asal usul melayu kuno sangat sulit ditemui dikarenakan sumber-sumber yang
tidak banyak di jumpai, baik sumber tulisan maupun sumber lisan. Namun dapat
dilihat bukti dari ciri-ciri yang terdapat dari karakteristik manusia. Peninggalan
seperti rumah, bukti-bukti lain dapat dilihat dari sebuah perkampungan yang adan
yang dikenal dengan Wanua, yang memiliki cirri rumahnya bertiang, terbuat dari
kayu, dan mempunyai ruang/bilik-bilik yang besar bahkan telah memiliki ruang
ibadah. Begitu juga dengan bahasa yang di ucapkan seharihari tidak jauh berbeda
dan hanya memiliki perbedaan dialek. Hal lain yang dapat dibuktikan untuk
mengetahui asal usul Melayu Kuno yakni dengan mempelajari peninggalan
rangka manusia dari Sumetera, Semenanjung Malayu, Sumsel, Jambi, Riau,
Bengkulu dan lain-lain. Keanekaragaman masyarakat Melayu Kuno dapat
menciptakan berbagai kebudayaan atau tradisi yang berbeda walaupun mereka
berasal dari ras yang sama. Secara garis besar bahwa asal usul Melayu Kuno
memiliki ciri-ciri atau karakteristik fisik yang hampir sama yakni kepala bundar,
nuka lebar, lengan pendek, tinggi badan berkisar pendek hingga tinggi, giginya
menonjol ke depan. Karena mereka berasal dari percampuran ras Mongolid dan
Australomelanesia berdasarkan pandangan Anthropologi.
Ada hal yang menarik dalam proses pernikahan adat melayu Jambi, yaitu tradisi
berbalas pantun atau seloko yang masih dipertahankan hingga saat ini. Seloko
bagi masyarakat Jambi memiliki maknayang dalam, makna yang jauh lebih
penting dari hanya sebagai sebuah “keistimewaan” semata. Seloko dapat
mengandung pesan atau nasihat yang bernilai etik dan moral, sebagai alat kontrol
sosial-kemasyarakatan, bahkan politik serta penjaga keserasian dengan alam dan
sebagai pandangan hidup, bahkan sebagai tuntunan hidup. Dalam pembacaan
seloko, penyeloko biasanya menggunakan pantun atau sejenisnya yang diiringi
dengan rima dan metrum yang mantap sehingga tidak jarang menarik perhatian
bagi sebagian orang yang mendengarkan. Namun demikian, tidak semua orang
bisa memahami maksud seloko tersebut karena dalam pemilihan diksi cenderung
menggunakan majas perbandingan atau perumpamaan. Tradisi seloko masih bisa
ditemukan dalam acara pernikahan di Kota Jambi. Tradisi pernikahan yang masih
menggunakan budaya Jambi akan dipenuhi dengan kalimat-kalimat seloko yang
berirama dan memiliki makna kehidupan sosial untuk calon pengantin dan
masyarakat sekitar.50Tradisi seloko dalam pernikahan adat Jambi masih relevan
untuk diimplementasikan dalam kehidupan masa kini. Jika dahulu pelaku seloko
menyesuaikan dengan keadaan sosial masyarakat yang agraris, maka pada masa
sekarang seloko dapat dijadikan jawaban untuk melawan efek negatif dari arus
perkembangan zaman.
Berbicara mengenai Melayu tentu saja akan terlihat di dalamnya Islam. Karena
keduanya merupakan bagian yang tak dapat dilepaskan. Ibarat dua sisi mata uang
yang tak dapat dipisahkan, Melayu tidak akan memiliki makna berarti bahkan
tidak bisa disebut Melayu sekiranya Islam jauh atau dijauhkan atau dihilangkan
darinya. Begitu juga dengan Islam (terutama dalam wilayah kepulauan Melayu)
tidak akan dapat eksis dan berkembang sekiranya tidak dapat melakukan
‘kompromi’ dengan Melayu. Karena dimasa awal kedatangan Islam di wilayah
Nusantara ternyata terlebih dahulu memasuki wilayah Melayu yaitu di kepulauan
Sumatra. Melayu jika dilihat dalam rentang sejarah, sudah mulai memperlihatkan
eksistensinya dan diperhitungkan bangsa lain sejak abad ke-5 Masehi. Dalam
rentang waktu yang panjang itu, Melayu telah mengalami berbagai tantangan
dengan dinamika yang komplek, sehingga pengalaman panjang tersebut
menjadikan Melayu sebagai bangsa yang diperhitungkan dunia. Eksistensi
Melayu dalam panggung sejarah, ternyata berimplikasi pada pembentukan jati diri
sebagai bangsa Indonesia. Kontribusi yang diberikan berupa nilainilai normatif
sampai pada nilai-nilai yang bersifat ekspresif dan transformatif. Nilai-nilai
normatif sangat jelas dapat kita temukan dalam budaya yang dimiliki bangsa ini,
budaya Melayu yang memiliki nilai-nilai Islam menjadi panutan masyarakat
secara luas dan tersebar di seluruh nusantara. Sementara kontribusi yang bersifat
ekspresif dapat ditemukan secara faktual, yaitu fungsi bahasa Melayu yang
menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia sebagaimana yang
diproklamirkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Kesejarahan Melayu, tentu saja ditopang oleh nilai-nilai luhur, sinergi Islam
dengan budaya Melayu menjadi sistem nilai (culture value system) yang hidup
dan dikembangkannya dalam berkehidupan, pedoman orientasi bagi segala
kegiatan manusia sehingga tingkah laku yang dipraktekkan berdasar pada sistem
nilai yang dianut. Budaya Melayu yang tersebar luas di kepulauan nusantara dan
Asia Tenggara akan mengalami perkembangan sesuai dengan hubungannya
dengan lingkungan, hal inilah yang menjadi perbedaan antara Melayu yang
terdapat di suatu daerah dengan daerah lain. Perbedaan yang banyak dijumpai
adalah pada aspek nilai ekspresif, terutama pada logat atau dialek bahasa yang
digunakan. Perbedaan tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan dari faktor sejarah
dan pengalaman orang-orang Melayu dengan lingkungannya. Ekspresi budaya
Melayu Sambas umpamanya akan berbeda dengan Melayu Pontianak, di Sambas
kita menemukan tradisi antar ajong yang dilaksanakan di bibir pantai, sementara
di Pontianak kita tidak menemukan yang seperti ini, atau tradisi robo-robo dalam
masyarakat Melayu Mempawah juga tidak kita temukan baik di Sambas maupun
di Pontianak.
Budaya Melayu yang paling mendasar adalah integrasinya dengan Islam, sehingga
tidak akan disebut Melayu jika tidak beragama Islam. Nilai-nilai Islam menjadi
dasar dalam pembentukan sistem nilai, hal ini tidak dapat disangkal dan tercatat
sebagai sejarah bangsa Melayu. Persoalan sekarang adalah apakah budaya Melayu
dengan konsep nilai-nilai Islam tersebut dapat bertahan di tengah-tengah
persoalan global saat ini? Pertanyaan ini, bukan sebuah retorika skeptis, pesimis
dan penolakan terhadap pengalaman sejarah bangsa Melayu, akan tetapi berawal
dari sebuah renungan dengan melihat dinamika masalah kehidupan yang tengah
dihadapi masyarakat Melayu akhir-akhir ini. Dekadensi moral yang
dipertontonkan seolah-olah menjadi sesuatu yang lumrah. Masalah korupsi,
kekeraran seksual, pembunuhan, perampokan dan sebagainya adalah masalah
lintas etnis, bangsa, budaya dan agama sehingga perlu dicermati, slogan ‘tak kan
Melayu Hilang Di Telan Bumi’ perlu kita renungkan kembali, apa maknanya,
apakah Melayu dalam pengertian geneologi, atau Melayu dalam pengertian sistem
nilai yang dianutnya.
Pandangan yang diberikan oleh Valentijn tersebut, tentu saja sangat beralasan,
karena bangsa Melayu adalah bangsa yang sangat lentur terhadap akomodasi
budaya luar yang lebih tinggi, sehingga Melayu tidak hanya sebagai bagian entitas
suku beradasarkan bentuk fisik (warna kulit, raut muka dan sebagainya), akan
tetapi sebagai bangsa dengan karakter sikap sebagaimana yang di sampaikan oleh
Valentijn tersebut.Akomodasi terhadap budaya yang lebih tinggi tersebut
dikarenakan oleh orang Melayu itu sendiri tanpa henti melakukan hubungan
dengan bangsa-bangsa yang terdapat di wilayah Nusantara bahkan hingga ke
daerah yang sangat jauh terutama daerah India, Arab dan Parsi.
Nazir memberikan tiga alasan penting yang membedakan orang Melayu dengan
ras lain dalam proses pembentukan budayanya di masa lampau, yaitu berorientasi
pada kelautan, kelonggaran dalam struktur sosial dan berafiliasi pada agama
Islam.
Islam menyuburkan kegiatan ilmu dan intelektual, bukti yang menjadi dasar
dalam kegiatan ini adalah banyaknya khazanah teks yang terdapat di kepulauan
Melayu, kehadiran Islam di nusantara membawa tradisi baru, yaitu tradisi tulis
dan kesusastraan Melayu. Tentu saja bahasa menjadi faktor penting dalam
perkembangannya. Perkembangan bahasa dan kesusatraan melayu bagi al-Attas
merupakan suatu proses penting justru karena menjadi aspek proses pengislaman
kepulauan Melayu-Indonesia. Dalam tradisi intelektual tersebut lahir tulisan Jawi
sebagai media dan wujud konkrit peradaban intelektual Melayu yang berdasarkan
abjad Arab. Semangat intelektual Melayu mengalami puncaknya sejak abad ke-17
hingga 20, yaitu melalui proses pendidikan dan ibadah haji di Haramayn (Makkah
dan Madinah), dan fungsi bahasa Melayu sebagaimana diungkapkan Martin van
Bruinessen bahwa di antara semua bangsa yang berada di Makkah, orang Jawi
(Asia Tenggara) merupakan salah satu kelompok terbesar sejak tahun 1860,
bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Makkah.
Sebuah statemen yang diberikan Al-Attas dalam hal ini sangat jelas terlihat: Hal
yang perlu di ingat dalam konteks sejarah adalah bahwa sejarah selalu melukiskan
gambaran zaman/masanya. Demikian juga kedatangan Islam di Kepulauan
melayu-Indonesia harus kita lihat sebagai mencirikan zaman baru dalam
sejarahnya. Dengan demikian, maka ciri-ciri dan pengaruh Islam dalam suatu
bangsa harus digali tidak hanya berdasarkan sesuatu yang hanya nampak
dipermukaan saja, akan tetapi kajian yang harus dilakukan adalah lebih
koprehensif lagi hingga pada setiap aspek yang tersembunyi yang tidak terlihat
oleh mata telanjang. Konsepsi mengenai kedalaman berfikir ini sesungguhnya
telah diajarkan oleh nenek moyang kita bangsa Melayu seperti “Bahasa
menunjukkan Bangsa” yang dapat kita artikan sebagai pemikiran suatu bangsa
dapat dilihat dari bahasa yang mereka gunakan.
Kedekatan Islam dan Melayu ibarat dua mata uang yang tak dapat dipisahkan,
satu bagian tidak akan memiliki arti jika tidak ada bagian yang lain. Seseorang
dikatakan sebagai Melayu jika ia beragama Islam. Pernyataan ini menunjukkan
bahwa Islam merupakan pembeda antara Melayu dan non-Melayu. Walaupun
dalam kehidupan sehari-hari mereka mungkin kurang memperhatikan ajaran-
ajaran Islam, atau bahkan mengabaikannya, Islam tetap menjadi jati diri mereka.
Kesultanan Sambas yang merupakan salah satu kerajaan Melayu Islam
memanifestasikan Islam sebagai bagian penting dalam menjalankan roda
pemerintahan sebagai sesuatu keharusan dan keniscayaan, hal ini merupakan ciri
dari sistem pemerintahan Melayu yang tersebar diseluruh Nusantara. Bukti
konkritnya adalah dalam pandangan orang Melayu dikenal kepemimpinan kolektif
seperti halnya falsafah, ‘Tali Tiga Sepilin’ atau ‘Tali Berpilin Tiga. Maksudnya
adalah negara dijalankan oleh tiga komponen pemimpin yaitu Ulama, Umara dan
Pemangku Adat. Tiga komponen inilah yang harus ada dan berfungsi dalam
menjalankan roda pemerintahan kerajaan Melayu dan apabila negara mengalami
kekosongan kepemimpinan (raja) maka tiga komponen tersebut menjadi pilar
utama dalam mengendalikan dan menjalankan fungsi negara.
Dalam lima tahun terakhir ini, kita telah disuguhkan dengan berita di media massa
dengan kabar yang sangat mengejutkan, misalnya kasus kekerasan seksual yang
melibatkan anak dibawah umur semakin meningkat, jumlah yang sangat besar
untuk wilayah Sambas yang tergolong agamis. Jumlah ini menjadi pertanyaan
besar bagi kita, apa yang salah dalam kehidupan sosial kita, apakah agama sudah
ditinggalkan orang sehingga mereka mudah mengoyak nilai-nilai kemanusiaan?
Pertanyaan ini tentu saja akan melahirkan banyak tanggapan dan pandangan
pengamat berdasarkan latar keilmuan mereka. Sultan sebagaimana yang tertuang
dalam syair merdu itu telah mengingatkanakan kedatangan masa dimana
tantangan zaman akan hadir dengan kompleksitas masalahnya. Sehingga kontrol
sosial kita dalam berkehidupan harus tetap dijaga.
Di dunia Melayu, peran sentral orang tua sudah sangat jelas menjadi
entitas budaya yang harus dilaksanakan, mungkin tidak berlebihan jika
disebut sebagai ritual wajib yang dilakukan oleh orang tua dalam
mempersiapkan anaknya menjelang akil baligh. Sehingga siap menghadapi
dinamika kehidupan.
a. Adat sebenar adat, yaitu adat yang tidak dapat dirubah-rubah, karena
berprinsip pada agama (Islam),
b. Adat yang diadatkan, yaitu adat yang dibuat oleh penguasa (pemimpin)
dalam kurun waktu tertentu, dan terus berlaku sampai diubah oleh
penguasa berikutnya, dan
c. Adat yang teradat, merupakan hasil konsensus bersama, yang
dipandang cukup baik sebagai pedoman dalam menentukan sikap dan
prilaku dalam menyelesaikan setiap peristiwa dan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat.
Kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh subur pada abad ke-13 tidak hanya sebagai
simbol kekuatan politik, akan tetapi satu kekuatan intelektual keagamaan juga
muncul pada sisi lainnya. Namun, sekarang sepertinya kekuatan intelektual itu
mulai tergerus oleh dinamika zaman, atau dalam bahasa Isjoni budaya Melayu
berada dipersimpangan jalan. Seakan-akan kekuatan intelektual keagamaan yang
telah tumbuh dan berkembang dalam diri orang Melayu kembali dipertanyakan.
Persoalan ini tentu saja akan ditanggapi dengan beragam dan reaksi yang
bermacam-macam.
Slogan ‘tak kan Melayu hilang di telan Bumi’ perlu kita dudukkan sebagai
persoalan bersama. Tentu saja bukan didasarkan pada sikap skeptis, pesimis dan
sebagainya. Kejayaan yang pernah kita raih sebagai bangsa Melayu sangat pantas
kita jadikan sebagai dasar pijakan dalam aksi dan reaksi intelektual terhadap
persoalan ummat saat ini.Sejarah, sesungguhnya tidak hanya berbicara mengenai
peristiwa masa lalu, siapa pelakunya, dimana letaknya dan sebagainya. Sejarah
sudah sepantasnya kita posisikan sebagai jalan pemecah kebuntuan manusia, atau
dalam istilah lain sejarah mesti mengarah pada problem oriented, yang dapat
dipahami bahwa dengan mempelajari sejarah akan menemukan jalan keluar dalam
menyelesaikan persoalanpersoalan umat manusia. Umpamanya sejarah harus
dapat memberikan solusi terhadap kenakalan remaja saat ini, atau pemecahan
persoalan dekadensi moral yang sangat menghawatirkan.
Jika kita posisikan sejarah sebagai apa yang diinginkan tersebut, maka tugas kita
saat ini adalah menggali, membongkar nilai-nilai moral yang terpatri dalam jiwa
Melayu yang sedang ‘tidur pulas’ ini. Petuah yang diberikan oleh para founding
father negeri Melayu harus kita hidupkan kembali, sebagaimana wasiat Bendahara
Paduka Raja Melaka dalam kitab sulâlat al Salâtîn.
Adat dalam masyarakat melalu harus memiliki sandaran yang kuat, utama dan
tertinggi, tidak lain tentu saja pada al-Qur’an dan sunnah nabi. Prinsip inilah yang
harus ditegakkan, tidak dapat ditawar-tawar, diganti bahkan dibuang. Dengan
demikian, bukan berarti bahwa adat tidak dapat diganti atau diubah, bentuknya
dapat saja berubah atau berganti berdasarkan tuntutan zaman saat ini, tetapi
prinsipnya tetap, yaitu pada alQur’an dan Sunnah nabi, seperti pada cara
berpakaian, prinsipnya menutup aurat dan menghindarkan pemakainya dari
bahaya, masalah model bentuknya bisa beragam dan bebas dipilih oleh orang
Muslim.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada materi yang telah di paparkan, kita dapat menarik kesimpulan
bahwa sejarah perkembangan melayu begitu banyak menghadapi permasalahan-
permasalahan, dan begitu panjang hingga melewati berbagai zaman.
Nama Melayu berasal dari Kerajaan Melayu yang pernah ada di kawasan sungai
Batang Hari, Jambi. Yang kemudian ditaklukkan dan menjadi bawahan Kerajaan
Sriwijaya.
Definisi Melayu didasarkan pada budaya dan adat, dimana orang Melayu adalah
orang yang mempunyai etika, tingkah laku dan adat Melayu. Keyakinan dan
ketaaatan terhadap agama Islam menjadi salah satu ciri khas dari orang Melayu.
Islam menjadi pegangan serta faktor utama yang memainkan peranan dalam
memperkuat bangsa Melayu beserta kebudayaannya. Media yang digunakan para
pendakwah untuk menyebarkan agama Islam ialah melalui seni lagu dan musik.
Agama Islam pertama kali masuk ke kawasan Melayu sejak abad ke-7 sampai ke-
9 yang di bawa oleh para pedagang dari Arab.
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini diperlukan pemahaman yang tinggi terhadap
sejarah perkembangan Melayu, bagaimana karakteristik dan hubungannya dengan
agama Islam. Pentingnya membangun jiwa literasi untuk dapat menentukan
kesimpulan dari makalah yang telah dibuat.