Dua tiga kapal Gujarat mengunjungi Pariaman setiap tahunnya membawa kain
untuk penduduk asli dibarter dengan emas, gaharu, kapur barus, lilin dan madu.
Pires juga menyebutkan bahwa Pariaman telah mengadakan perdagangan kuda
yang dibawa dari Batak ke Tanah Sunda.
Tanggal 21 November 1600 untuk pertama kali bangsa Belanda singgah di Tiku
dan Pariaman, yaitu 2 kapal di bawah pimpinan Paulus van Cardeen yang
berlayar dari utara (Aceh dan Pasaman) dan kemudian disusul oleh kapal
Belanda lainnya. Cornelis de Houtman yang sampai di Sunda Kelapa tahun 1596
juga melewati perairan Pariaman.
Tahun 1686, orang Pariaman (Pryaman seperti yang tertulis dalam catatan W.
Marsden) mulai berhubungan dengan Inggris.
Sebagai daerah yang terletak di pinggir pantai, Pariaman sudah menjadi tujuan
perdagangan dan rebutan bangsa asing yang melakukan pelayaran kapal laut
beberapa abad silam. Pelabuhan entreport Pariaman saat itu sangat maju.
Namun seiring dengan perjalanan masa pelabuhan ini semakin sepi karena salah
satu penyebabnya adalah dimulainya pembangunan jalan kereta api dari Padang
ke Pariaman pada tahun 1908.
Sejarah
Menurut laporan Tom Pires dalam Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513
and 1515[2], kota Pariaman ini merupakan bagian dari kawasan rantau
Minangkabau. Dan kawasan ini telah menjadi salah satu kota pelabuhan penting
di pantai barat Sumatera. Pedagang-pedagang India dan Eropa datang dan
berdagang emas, lada dan berbagai hasil perkebunan dari pedalaman
Minangkabau lainnya. Namun pada awal abad ke-17, kawasan ini telah berada
dalam kedaulatan kesultanan Aceh[3].
Kota Pariaman merupakan daerah yang beriklim tropis basah yang sangat
dipengaruhi oleh angin barat dan memiliki bulan kering yang sangat pendek.
Curah hujan pertahun mencapai angka sekitar 4.055 mm (2006) dengan lama
hari hujan 198 hari. Suhu rata-rata 25,34 C dengan kelembaban udara rata-rata
85,25 dan kecepatan angin rata-rata 1,80 km/jam[6].
Utara kecamatan V Koto Kampung Dalam, kabupaten Padang Pariaman
Selatan
Kota Pariaman resmi berdiri sebagai kota otonom pada tanggal 2 Juli 2002
berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang pembentukan kota
Pariaman di provinsi Sumatera Barat[7]. Sebelumnya kota ini berstatus kota
administratif dan menjadi bagian dari kabupaten Padang Pariaman berdasarkan
Peraturan pemerintah Nomor 33 Tahun 1986 yang diresmikan tanggal 29
Oktober 1987 oleh Mendagri Soepardjo Rustam dengan Walikota pertamanya
Drs. Adlis Legan (1987-1993).
Pariaman Selatan
Pariaman Tengah
Pariaman Timur
Pariaman Utara
Sampai tahun 2008 tercatat 2.952 orang pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja
di lingkungan pemerintah kota Pariaman, dengan rincian 54 orang berpendidikan
Pasca Sarjana, 1.049 orang Sarjana, 761 orang dengan pendidikan Diploma III,
319 orang D II, 510 orang dengan pendidikan SLTA, 24 orang lulusan SLTP dan 16
orang lulusan SD[8].
Kependudukan
Tahun
2008 2010
Jumlah penduduk
70.625
81
20
10
Di Kota Pariaman terdapat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) milik Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat yang terletak di Jalan M. Yamin, Kampung Baru,
Kecamatan Pariaman Tengah dengan type C. Kota ini juga memiliki 7 puskesmas,
13 puskesmas pembantu, 51 pos kesehatan desa/kelurahan
(Poskesdes/Poskeslur).
Perhubungan
Jembatan Kurai Taji (tahun 1920-an)
belum berfungsi sebagai sarana angkutan penumpang dan barang, dan hanya
digunakan untuk tempat berlabuh kapal-kapal nelayan setempat.
Terminal bus lama Pariaman
Selain itu kota ini juga memiliki sarana transportasi kereta api yang
menghubungkan kota ini dengan kota Padang.
Perekonomian
(milyar rupiah)
(milyar rupiah)
Pertumbuhan
(%)
Inflasi
(%)
2003 641.91
509.11
5.05
6.01
2004 715.22
535.81
5.24
5.87
2005 865.65
561.91
4.87
15.41
2006 1.019.92
589.88
4.98
12.24
2007 1.126.04
621.50
5.36
4.79
Sumber: [6][1]
Pariwisata
Kota Pariaman memiliki pantai landai dengan pesona yang indah, saat ini resort
wisata telah dibenahi oleh pemerintah kota setempat dalam usaha
pengembangan sektor pariwisatanya. Objek wisata pantai Pariaman diantaranya
adalah pantai Gandoriah yang berlokasi di depan stasiun kereta api Pariaman,
Pantai Kata di Taluk-Karan Aur, Pantai Cermin di Karan Aur, Pantai Belibis di Naras
dan memiliki Pusat Penangkaran Penyu pertama dan satu-satunya di Sumatera
Barat di Pantai Penyu, Apar, Kec. Pariaman Utara. Selain itu Kota yang bermotto
Sabiduak Sadayuang ini juga memiliki 5 (lima) pulau kecil yang tak berpenghuni
yang tengah dikembangkan sarana dan prasarananya sebagai destinasi wisata
oleh Pemkot Pariaman diantaranya Pulau Angso Duo, Pulau Kasiak, Pulau Tangah,
Pulau Ujung dan Pulau Gosong.
Kota ini juga dikenal dengan pesta budaya tahunan tabuik[14][15][16] yang
prosesi acaranya diselenggarakan mulai dari tanggal 1 Muharram sampai pada
puncaknya tanggal 10 Muharram setiap tahunnya. Saat ini terdapat 2 museum
rumah Tabuik yakni Rumah Tabuik Subarang di Jl. Imam Bonjol Samping Balaikota
dan Rumah Tabuik Pasa di Jl. Syekh Burhanuddin Karan Aur yang memuat
informasi sejarah perkembangan dan pembuatan tabuik beserta replikanya.
Pesta budaya Tabuik telah diselenggarakan sejak zaman kolonial Belanda
Setiap Minggu pagi, Jalan Imam Bonjol salah satu jalan protokol di Kota Pariaman
mulai dari Simpang Lapai Cimparuh sampai ke Simpang LLAJ Lama disterilkan
dari arus kendaraan untuk kegiatan car free day.[17]
Budaya
seperti bagindo, sutan atau sidi (sebuah panggilan kehormatan buat orang
tertentu).
Kemudian dalam tradisi perkawinan, masyarakat pada kota ini masih mengenal
apa yang dinamakan Ba japuik atau Ba bali yaitu semacam tradisi dimana pihak
mempelai wanita mesti menyediakan uang dengan jumlah tertentu yang
digunakan untuk meminang mempelai prianya.
Pariaman sebagai kota otonom lahir berdasarkan surat keputusan Presiden yang
diserahkan oleh Menteri Dalam Negeri RI Hari Sabarno tanggal 2 Juli 2002 di
halaman kantor Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa Depdagri,
Jakarta.
Kota Pariaman ini lahir berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun 2002 tanggal
10 April 2002 tentang pembentukan Kota Pariaman Propinsi Sumatera Barat
yang ditandatangani oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Undang-Undang
tersebut diundangkan ke dalam Lembaran Negara RI dengan nomor urut 25
tahun 2002 oleh Sekretaris Negara RI Bambang Kesowo.
Namun jauh sebelumnya, dari mana asal penduduk Pariaman. Jika dilihat masa
silam kota Pariaman, maka Pariaman merupakan salah satu daerah rantau dari
Minangkabau, seperti halnya Padang, Pasisia, Tiku. Menurut struktur
pemerintahan adat Minangkabau, rantau Pariaman dinamakan rantau Riak Nan
Mamacah. Maksudnya, di mana harta pusakanya juga turun dari garis ibu.
Sedangkan gelar (gala) pusaka, juga turun dari garis Bapak. Warisan gelar
setelah berumah tangga turun dari bapak seperti Sidi, Bagindo dan Sutan. Gelar
itu merupakan panggilan dari keluarga isteri yang lebih tua dari umur isteri
kepada seorang laki-laki. Warisan dari bapak ini hanya ada di Pariaman.
Penduduk Pariaman umumnya turun dari Luhak Tanahdata. Selain itu juga dari
Luhak Agam pada bagian Utara. Sedangkan bagian sebelah Selatan justru turun
dari Solok. Meski demikian, tetap saja mereka yang turun dari Luhak Tanahdata
menjadi pemegang utama roda pemerintah.
Abdul Kiram dan Yeyen Kiram dalam bukunya Raja-Raja Minangkabau Dalam
Lintasan Sejarah (2003;51-52) mencatat, nenek moyang yang mula-mula turun
dari Luhak Tanahdata ada sebanyak empat orang Penghulu beserta
rombongannya. Yakni Datuk Rajo Angek, Datuk Palimo Kayo, Datuk Bandaro
Basa, dan Datuk Palimo Labih. Amanah dari Yang Dipertuan Pagaruyung, di mana
jika rombongan berada pada sebuah tempat yang tidak diketahui namanya,
maka segeralah diberi nama dan tanda.
Ada juga yang menyebutkan penduduk Pariaman dari Tanahdata turun melalui
Malalak. Di Malalak rombongan terbagi dua kelompok. Satu kelompok langsung
menuju Pariaman, satu kelompok lagi menuju Kampungdalam. Kuatnya
hubungan kekeluargaan dengan Malalak ini dapat dilihat dari adanya kunjungan
dari orang yang berada di Pariaman, tapi berasal dari Malalak, kepada keluarga
asal di Malalak.
Pariaman yang terletak di pinggir pantai, mudah dikunjungi pelaut dari berbagai
negeri, menyebabkan mudahnya hubungan dengan daerah lain. Sehingga
masyarakatnya pun mudah menerima perubahan, baik sosial, politik maupun
agama.
Tak heran sebagai wilayah yang berada di pinggir pantai dan di singgahi oleh
berbagai pedagang, Pariaman belakangan dihuni tak hanya dari keturunan
Minangkabau dari daerah darek. Di Pariaman terdapat pula keturunan keling
(kaliang). Mungkin karena warna kulitnya lebih hitam, maka disebut saja kaliang.
Sehingga jika ada anggota keluarga rang Pariaman, sering dikatakan kulitnya
hitam kaliang. Bahkan sebelum proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945, di
Pariaman juga banyak terdapat keturuan Tionghoa (Cina). Bukti peninggalan
keturunan Tionghoa yang tidak bisa dibantah adalah kuburan keturunan
Tionghoa di Toboh Palabah dan nama daerah Kampungcino.