Anda di halaman 1dari 4

Probolinggo

Letak astronomisnya, Kota Probolinggo terletak antara 07ᵒ43`41 LS dan 113ᵒ10 BT


– 113ᵒ15 BT. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dring (Kabupaten
Probolinggo).Sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Lesses dan Wonomert
(Kabupaten Probolinggo).Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Sumberasih
(Kabupaten Proboling). Kabupaten Kedupok 13.624 km2 (24,04%), Kabupaten Wonoasih
10.981 km2 (19,38%), Kabupaten Mayanan 8.653 km2 (15,27%), Kabupaten Kanigaran
10.653 km2 (18,80%). Kota Probolinggo memiliki luas 5.666,70 hektar yang terdiri dari
1.866,00 hektar (32,93%) lahan sawah dan 3.800,70 hektar (67,07%) lahan sawah. Lahan
selain sawah terbagi atas lahan kering 3.702,98 ha (97,43%) dan lahan lainnya 97,72 ha
(2,57%). (Al Mutlik & Sudaryono, 2015).
Wilayah Probolinggo sendiri dialiri oleh enam (6) sungai yaitu sungai Kedunggaleng,
Umbur, Legundi, Kasbah dan Pancur. Debit rata-rata 3,80 km, terpanjang adalah Sungai
Legandy dengan debit 5.439 km, dan terpendek adalah Sungai Kasbah dengan debit hanya
2.037 km. Sungai-sungai ini mengalir sepanjang tahun, mengalir dari selatan ke utara
tergantung pada kemiringan daerah (Al Mutlik & Sudaryono, 2015).
Pada tahun 1918, 16 gemeentes didirikan di Jawa. Salah satunya Probolinggo.
Probolinggo merupakan salah satu kota di Jawa Timur, letak geografisnya berada di pesisir
utara Pulau Jawa, sehingga pola pemerintahannya adalah geomeente. Pemerintah kolonial
tidak memberikan status geomeente (pemerintah daerah) ke seluruh wilayah Hindia Belanda.
Status Gemeente hanya diberikan kepada daerah-daerah istimewa, misalnya: Surabaya.
Selain daerah besar seperti Surabaya, daerah kecil juga diberi nama seperti Probolinggo. Pada
saat itu, SK Geomeente Probolinggo tampaknya beroperasi secara politis untuk kepentingan
orang kulit putih, tetapi dilihat dari kondisi di mana Gemeente didirikan, Probolinggo
diyakini benar-benar telah dilaksanakan. Pemerintah Hindia Belanda biasanya
mempertimbangkan tiga kategori faktor ketika memutuskan untuk mendirikan Gemente:
faktor keuangan, faktor demografi dan kondisi wilayah. Faktor keuangan pada umumnya
berkaitan erat dengan daerah yang dihasilkan dari kegiatan impor anggaran ekspor di
pelabuhan. Dari Probolinggo. Probolinggo memiliki pedalaman yang subur dikelilingi oleh
pabrik gula, dan banyak orang Eropa yang tinggal di daerah ini. Untuk melengkapi aktivitas
orang Eropa, beberapa sekolah telah dibangun di Probolinggo sebagai tempat belajar bagi
anak-anak Eropa dan masyarakat adat. Jika dilihat lebih dekat, Probolinggo mampu
memenuhi persyaratan untuk menjadi Gemente dan mengelola wilayahnya sendiri
(Supangkat, 2007).
Menurut besarnya volume impor dan ekspor, pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda
dapat dibedakan menjadi pelabuhan besar, pelabuhan industri kecil, dan pelabuhan kecil.
Pelabuhan-pelabuhan besar seperti Tanjung Perak (Surabaya), Semarang, Tanjung Priok
(Batavia), Cilacap, Belawan Deli (Medan), Pelabuhan Emma (Padang) dan Makassar.
Sebagai contoh, kategori pelabuhan industri kecil adalah pelabuhan Probolinggo, Pasuruan,
Banyuwangi, Panarukan, Cirebon, Tegal dan Tanjung Benoa (Bali), sedangkan pelabuhan
kecil adalah pelabuhan Hindia Belanda, dan selain pelabuhan tersebut. ada 450 port secara
total. disebutkan di atas. Meskipun pelabuhan Probolinggo merupakan pelabuhan industri
kecil, namun cukup besar untuk sarana transportasi di Pulau Jawa bagian timur. (Astutik,
2013).
Dari tahun 1921 hingga 1927, Pelabuhan Propolingo mengekspor jauh lebih banyak
dari wilayah lain, yaitu 258.244 kapal di Pasuruan, Panalcan dan Porto Banyu. Nilai impor
menunjukkan bahwa pelabuhan Probolinggo memiliki peluang lebih besar sebagai sarana
transportasi dibandingkan pelabuhan di daerah lain. Padahal, Pasuruan menghadap ke barat
Probolinggo dan memiliki pelabuhan tepatnya. Namun, Pelabuhan Probolinggo digunakan
secara eksklusif sebagai pelabuhan masuk dan keluar untuk barang-barang Belanda, karena
lebih aktif dalam mengangkut barang daripada pelabuhan lain di ujung timur Jawa. Keadaan
ini didukung oleh infrastruktur yang memadai seperti trem dan kereta api yang terhubung
langsung dengan kawasan pelabuhan dan jalan beraspal untuk memperlancar arus barang.
Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa Pelabuhan Probolinggo memiliki peran yang
sangat penting dalam impor dan ekspor produk pertanian di Ahudirin Probolinggo dan
sekitarnya.Oleh karena itu, pelabuhan Probolinggo disebut sebagai pelabuhan pantai
berdasarkan Staatsbladvan Nederlandsch. Indie-1920 No.424 (Astutik, 2013).

Referensi

Astutik, R, M. (2013). Gemeente Probolinggo 1918-1926. Jurnal AVATARA. Vol, No. 3


Hlm 520-531

Al Mutlik, M. A., & Sudaryono, L. (2015). Tinjauan Geografis Minat Bertani Anggur Di
Kota Probolinggo Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jurnal Swara Bhumi, 2(2), 164-
170.

Supangkat, E. (2007). Salatiga Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media.hlm 12.
Kota Surabaya

Kota Surabaya merupakan ibu kota Jawa Timur dan terletak di pesisir utara Jawa
Timur atau dengan nilai absolut antara 7°9'-7°21' dan 112°36'-112. ° 54' Bujur Timur. Secara
geografis, wilayahnya berbatasan dengan Selat Madura di utara dan timur, Kabupaten
Sidoarjo di selatan, dan Kabupaten Gresic di barat. Secara topografis, 25.919,04 ha
merupakan lahan datar dengan ketinggian 3-6 meter di atas permukaan laut, dengan
kemiringan lereng kurang dari 3%, sebagian menghadap ke barat (12,77%) dan selatan
(6,52%). Bukit setinggi 25-50 meter di atas permukaan laut, gradien 5-15 persen (Idwan dan
Ratna, 2020).
Surabaya terletak di pantai utara Jawa, kawasan komersial yang sudah lama makmur.
Sebelum datangnya kolonialisme, kota-kota di Jawa dapat dibagi menjadi dua jenis: kota
komersial pesisir dan kota kerajaan pedalaman. Ini adalah pertanian. Surabaya termasuk kota
pesisir karena terletak di pesisir utara Jawa dan memiliki basis ekonomi untuk perdagangan
dan pelayaran. Khususnya Surabaya Delta Branta memiliki pelabuhan yang cukup luas.
Surabaya, dengan pedalamannya yang subur, merupakan wilayah yang strategis secara
geografis. Pasalnya, surplus produksi di pedalaman bisa disalurkan melalui pelabuhan
pesisir kota Surabaya (Astuti, dkk, 2016).
Permukiman tepi sungai yang membelah kota Surabaya sudah ada sejak ratusan tahun
lalu. Seperti yang telah disebutkan dalam catatan sejarah, nenek moyang Surabaya, Ujungal
(Fujungal), adalah sebuah desa tepi laut di muara Kalimas. Surabaya, bernomor 1358 M,
menyatakan bahwa Surabaya adalah desa di tepi sungai, salah satu persimpangan terpenting
di sepanjang Sungai Brantas. Ilmuwan Belanda von Faber berhipotesis bahwa Surabaya
didirikan pada 1275 M. Kertanegara sebagai pemukiman baru tentara yang menumpas
pemberontakan Kemuruhan pada tahun 1270 M. Pemukiman itu berada di utara Gragaalm.
Dengan perbatasan Kalimas di sebelah barat Kalimas dan perbatasan Calipe Gillian di
sebelah timur, Jalan Jagaran di sisi utara dan selatan, dan sisi utara hilang ketika Stasiun
Kereta Api Semut dibangun (Soenyono, 2006).
Pada abad ke-14, Surabaya menjadi pelabuhan penting Kerajaan Majapahit, yang
kemudian mendominasi Nusantara. Sebagai kota pelabuhan, Surabaya secara geografis telah
diuntungkan dari situasi ini sejak awal. Bentuk sungai di Pulau Jawa tegak lurus (orthogonal)
terhadap garis pantai, diikuti dengan bentuk kota. Terdapat hubungan yang erat antara
bentuk kota Surabaya dengan aktivitas komersialnya. Penduduk kota berada di kedua sisi
sungai yang mengalir ke kota. Oleh karena itu, banyak jembatan perlu dibangun di kota
untuk menghubungkan kedua tepi sungai, dan bentuk kota mengikuti aliran sungai dari
selatan ke pelabuhan utara. Bentuk kota linier ini bertahan hingga pertengahan abad ke-20
(Handinoto dan Hartono, 2007).
Surabaya memiliki pelabuhan yang menjadi pintu gerbang orang dan barang sejak
zaman kerajaan. Sambungan lalu lintas dari daerah pedalaman ke daerah pelabuhan pada
awalnya terutama melalui jalur sungai, tetapi lalu lintas melalui jalur sungai diproses hingga
awal abad ke-19. Jalur air sungai yang cukup besar yang masuk ke Surabaya adalah Calimas.
Calimas adalah anak sungai dari Sungai Brantas dan telah berkembang menjadi pelabuhan
yang baik di mana banyak kapal dan kapal berlabuh di muara Sungai Brantas untuk bongkar
muat barang. Kegiatan bahari didukung oleh lokasi Pelabuhan Tanjun Perak di lokasi yang
sangat terlindungi dan sangat strategis. Selain Tanjun Perak yang sudah terkenal sejak lama,
merupakan pangkalan angkatan laut terbesar Indonesia di sebelah timur (Astuti, dkk, 2016).
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya merupakan salah satu pelabuhan terbesar dan
tersibuk di Indonesia. Di pelabuhan ini terdapat sepuluh dermaga, pangkalan angkatan laut,
dan beberapa pelabuhan yang dimiliki secara khusus oleh personal perusahaan. Lebih dari
seratus kapal berlayar di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak dengan mempunyai berbagai
tujuan, yang dapat menyebabkan tingginya kepadatan lalu lintas pelayaran dan seringnya
terjadi persilangan antar kapal.Disamping situasi lalu lintas tersebut, kondisi pelabuhan
seperti kedalaman laut, arus laut, dan alur pelayaran yang sempit juga menjadi penyebab
terjadinya kecelakaan (Wardika, dkk, 2012).

Referensi
Astuti, S.R, dkk. (2016). Pembangunan Pelabuhan Surabaya dan Kehidupan Sosial Ekonomi
di Sekitarnya Pada Abad XX. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB).

Handinoto dan Hartono, S. (2007). Surabaya Kota Pelabuhan (Surabaya Port City). Dimensi
Teknik Arsitektur. 35 (1): 88-99.

Soenyono. (2006). Perkembangan Permukiman di Bantaran Sungai Surabaya dari Perspektif


Sosiologi. Jurnal Penelitian Humaniora. 11 (2): 85-101.

Wardika, F, dkk. (2012). Studi Perancangan Sistem Kendali Lalu Lontas Kapal di Pelabuhan
Tanjung Perak Surabaya Berdasarkan Aplikasi Sistem Pakar.Jurnal Teknik Pomits. 1 (1): 1-5.

Anda mungkin juga menyukai