Referensi
Al Mutlik, M. A., & Sudaryono, L. (2015). Tinjauan Geografis Minat Bertani Anggur Di
Kota Probolinggo Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jurnal Swara Bhumi, 2(2), 164-
170.
Supangkat, E. (2007). Salatiga Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media.hlm 12.
Kota Surabaya
Kota Surabaya merupakan ibu kota Jawa Timur dan terletak di pesisir utara Jawa
Timur atau dengan nilai absolut antara 7°9'-7°21' dan 112°36'-112. ° 54' Bujur Timur. Secara
geografis, wilayahnya berbatasan dengan Selat Madura di utara dan timur, Kabupaten
Sidoarjo di selatan, dan Kabupaten Gresic di barat. Secara topografis, 25.919,04 ha
merupakan lahan datar dengan ketinggian 3-6 meter di atas permukaan laut, dengan
kemiringan lereng kurang dari 3%, sebagian menghadap ke barat (12,77%) dan selatan
(6,52%). Bukit setinggi 25-50 meter di atas permukaan laut, gradien 5-15 persen (Idwan dan
Ratna, 2020).
Surabaya terletak di pantai utara Jawa, kawasan komersial yang sudah lama makmur.
Sebelum datangnya kolonialisme, kota-kota di Jawa dapat dibagi menjadi dua jenis: kota
komersial pesisir dan kota kerajaan pedalaman. Ini adalah pertanian. Surabaya termasuk kota
pesisir karena terletak di pesisir utara Jawa dan memiliki basis ekonomi untuk perdagangan
dan pelayaran. Khususnya Surabaya Delta Branta memiliki pelabuhan yang cukup luas.
Surabaya, dengan pedalamannya yang subur, merupakan wilayah yang strategis secara
geografis. Pasalnya, surplus produksi di pedalaman bisa disalurkan melalui pelabuhan
pesisir kota Surabaya (Astuti, dkk, 2016).
Permukiman tepi sungai yang membelah kota Surabaya sudah ada sejak ratusan tahun
lalu. Seperti yang telah disebutkan dalam catatan sejarah, nenek moyang Surabaya, Ujungal
(Fujungal), adalah sebuah desa tepi laut di muara Kalimas. Surabaya, bernomor 1358 M,
menyatakan bahwa Surabaya adalah desa di tepi sungai, salah satu persimpangan terpenting
di sepanjang Sungai Brantas. Ilmuwan Belanda von Faber berhipotesis bahwa Surabaya
didirikan pada 1275 M. Kertanegara sebagai pemukiman baru tentara yang menumpas
pemberontakan Kemuruhan pada tahun 1270 M. Pemukiman itu berada di utara Gragaalm.
Dengan perbatasan Kalimas di sebelah barat Kalimas dan perbatasan Calipe Gillian di
sebelah timur, Jalan Jagaran di sisi utara dan selatan, dan sisi utara hilang ketika Stasiun
Kereta Api Semut dibangun (Soenyono, 2006).
Pada abad ke-14, Surabaya menjadi pelabuhan penting Kerajaan Majapahit, yang
kemudian mendominasi Nusantara. Sebagai kota pelabuhan, Surabaya secara geografis telah
diuntungkan dari situasi ini sejak awal. Bentuk sungai di Pulau Jawa tegak lurus (orthogonal)
terhadap garis pantai, diikuti dengan bentuk kota. Terdapat hubungan yang erat antara
bentuk kota Surabaya dengan aktivitas komersialnya. Penduduk kota berada di kedua sisi
sungai yang mengalir ke kota. Oleh karena itu, banyak jembatan perlu dibangun di kota
untuk menghubungkan kedua tepi sungai, dan bentuk kota mengikuti aliran sungai dari
selatan ke pelabuhan utara. Bentuk kota linier ini bertahan hingga pertengahan abad ke-20
(Handinoto dan Hartono, 2007).
Surabaya memiliki pelabuhan yang menjadi pintu gerbang orang dan barang sejak
zaman kerajaan. Sambungan lalu lintas dari daerah pedalaman ke daerah pelabuhan pada
awalnya terutama melalui jalur sungai, tetapi lalu lintas melalui jalur sungai diproses hingga
awal abad ke-19. Jalur air sungai yang cukup besar yang masuk ke Surabaya adalah Calimas.
Calimas adalah anak sungai dari Sungai Brantas dan telah berkembang menjadi pelabuhan
yang baik di mana banyak kapal dan kapal berlabuh di muara Sungai Brantas untuk bongkar
muat barang. Kegiatan bahari didukung oleh lokasi Pelabuhan Tanjun Perak di lokasi yang
sangat terlindungi dan sangat strategis. Selain Tanjun Perak yang sudah terkenal sejak lama,
merupakan pangkalan angkatan laut terbesar Indonesia di sebelah timur (Astuti, dkk, 2016).
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya merupakan salah satu pelabuhan terbesar dan
tersibuk di Indonesia. Di pelabuhan ini terdapat sepuluh dermaga, pangkalan angkatan laut,
dan beberapa pelabuhan yang dimiliki secara khusus oleh personal perusahaan. Lebih dari
seratus kapal berlayar di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak dengan mempunyai berbagai
tujuan, yang dapat menyebabkan tingginya kepadatan lalu lintas pelayaran dan seringnya
terjadi persilangan antar kapal.Disamping situasi lalu lintas tersebut, kondisi pelabuhan
seperti kedalaman laut, arus laut, dan alur pelayaran yang sempit juga menjadi penyebab
terjadinya kecelakaan (Wardika, dkk, 2012).
Referensi
Astuti, S.R, dkk. (2016). Pembangunan Pelabuhan Surabaya dan Kehidupan Sosial Ekonomi
di Sekitarnya Pada Abad XX. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB).
Handinoto dan Hartono, S. (2007). Surabaya Kota Pelabuhan (Surabaya Port City). Dimensi
Teknik Arsitektur. 35 (1): 88-99.
Wardika, F, dkk. (2012). Studi Perancangan Sistem Kendali Lalu Lontas Kapal di Pelabuhan
Tanjung Perak Surabaya Berdasarkan Aplikasi Sistem Pakar.Jurnal Teknik Pomits. 1 (1): 1-5.