Anda di halaman 1dari 3

Guru

Guru dapat dikatakan sebagai tokoh sentral dalam pendidikan, karena perannya dalam
menggerakkan dan memfasilitasi pembelajaran. menjelaskan bahwa guru sebaiknya juga
memiliki peran sebagai akademis, peneliti dan pembelajar sepanjang hayat. Hal ini berkaitan
dengan perananan guru yang erat dengan bidang pedagogis, sehingga membutuhkan
keterampilan pedagogis dan pengetahuan lain yang mendukung perannya untuk mengawal
proses belajar mengajar secara efektif. Saat ini guru tidak lagi berperan sebagai ‘sage on the
stage’ seperti pemahaman pada pembelajaran yang berpusat guru. Guru merupakan fasilitator
yang merancang bagaimana sebuah proses pembelajaran menerapkan strategi yang fleksibel,
metode asesmen yang transparan serta kegiatan yang dapat memotivasi siswa untuk terlibat
secara aktif. Selain itu, guru penggerak juga menerima umpan balik peserta didik tentang proses
pembelajaran yang terjadi. Sehingga memungkinkan berkembangnya atmosfer berpikir kritis,
berkolaborasi, berkomunikasi dan berkreasi sesuai dengan karakter yang dibutuhkan era RI 4.0
(Hoesny, 2021).

Data Unesco dalam Global Education Monitoring Report 2016 menunjukkan bahwa pendidikan
di Indonesia menempati peringkat ke 10 dari 14 negara berkembang, sedangkan kualitas guru di
Indonesia berada di peringkat ke 14 dari 14 negara berkembang atau peringkat terakhir. Data
yang disajikan tersebut tentu saja membuat prihatin karena pendidikan adalah sarana untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang kemudian akan meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan rakyat Indonesia khususnya. Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan juga
bahwa pemerintah harus lebih memperhatikan dan meningkatkan pendidikan dan pengembangan
profesionalisme guru yang dapat berbentuk pelatihan untuk meningkatkan kualitas khususnya
kualitas keterampilan pedagoginya (Hoesny, 2021).

Kemendikbud meluncurkan progam SM-3T (Sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar, dan
tertinggal). Bagi sarjana keguruan yang baru lulus diberikan kesempatan mengajar di daerah 3T
selama 1 (satu) tahun. Menurut Anis Baswedan, progam ini bertujuan mempercepat
pembangunan di daerah 3T. Progam ini sebagai solusi mengatasi kekurangan guru di daerah 3T.
Progam ini mengirimkan sekitar 3000 sarjana pendidikan setiap tahun. Mereka ditempatkan di
sejumlah daerah terpencil di wilayah Papua, NTT, Kalimantan dan sejumlah daerah terpencil
lainnya. Sebelum mengikuti progam ini mereka diberi pelatihan bagaimana mengajar di daerah
3T. Setelah 1 (satu) tahun menempuh progam ini, mereka yang berminat menjadi guru diberikan
diberikan beasiswa pendidikan profesi. Dengan mengikuti pendidikan profesi ini, setelah lulus
mereka sudah bisa mengabdi sebagai guru melalui jalurnya masing-masing.

Permasalahan di sekolah yang ada di Pulau Legundi adalah kekurangan guru/tenaga pendidik
sehingga menyebabkan orang-orang yang hanya sekedar lulusan SMA pun dapat mengajar dan
menjadi guru di Legundi. Di suatu sekolah yang ada di Legundi bahkan hanya ada 5 orang saja
gurunya yang sudah PNS ditambah satu kepala sekolah dan sisanya masih honorer saja, Legundi
juga dibantu dengan tenaga pendidik akibat program Lampung Mengajar 5 sehingga mengurangi
tingkat kekurangan guru di Legundi.

Belum meratanya jumlah guru di Pulau Legundi memang jadi masalah serius. Kondisi itu
memaksa satu pendidik ada yang mengampu lebih dari satu mata pelajaran (mapel). Hal tersebut
dilakukan demi mapel yang seharusnya diajar di kelas tetap berjalan. Fakta itu utamanya terjadi
di sekolah pinggiran atau pedalaman lainnya. Hal tersebut tetap harus memperhatikan
kemampuan si guru. Bagaimanapun, tenaga pendidik dituntut agar kompetensi keilmuan linier
dengan mata pelajaran yang disampaikan di kelas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
juga tak menutup mata dengan ketersediaan guru yang belum mencukupi di daerah. Dalam
penerbitan regulasi, seperti Permendikbud Nomor 46 Tahun 2016 tentang Penataan Linieritas
Guru Bersertifikat Pendidik.

Kriteria linier tak hanya guru bersangkutan mengajar sesuai latar belakang pendidikan. Bisa pula
guru bersangkutan mengajar satu rumpun dari latar belakang pendidikan. Semisal, pendidik
bersangkutan merupakan S-1 Pendidikan Bahasa Inggris, namun bisa pula mengajar bahasa
Indonesia. Pun demikian, mata pelajaran satu kategori, seperti guru sains. Jika ada guru yang
mengajarkan mata pelajaran matematika, bisa juga merangkap fisika. “Kalau jumlahnya sudah
ideal, guru wajib linier. Pemerintah paham dengan kondisi sekarang, Dalam ketentuan, tak ada
diatur spesifik maksimal mapel yang diajar tiap guru. Yang ada, jumlah minimal guru berada di
sekolah selama delapan jam dalam sehari.

Solusinya harus diadakan pengembangan guru, pengembangan guru di abad 21 sebaiknya lebih
ditekankan pada model pengembangan yang berlandaskan pada konsep kepemimpinan guru dan
menggunakan proses pembelajaran kooperatif yang otentik dan melekat pada pekerjaan guru
sehari-hari. Model ini dikenal dengan model bottom-up yang menekankan kolaborasi yang
berorientasi pada memampukan staf mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi, merupakan
program-program yang interaktif dan saling terkait, yang dilaksanakan secara kontinyu dan
direncakan secara sistematik dan komprehensif (Castetter, 1996) dalam. Dalam penelitiannya,
Andriani mengutip pernyataan (Castetter, 1996; Helterban, 2008); tentang pentingnya
melibatkan guru dalam perencanaan program pengembangan yang memperhatikan latar
belakang, tahap perkembangan, dan juga kebutuhan guru dan selalu melibatkan guru dalam
pembelajaran profesional sehari-hari di sekolah melalui kelompok-kelompok diskusi dan
kegiatan-kegiatan praktis yang difokuskan langsung pada permasalahan ataupun upaya perbaikan
proses belajar mengajar di kelas (Beach and Reinhartz, 2000). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa PD harus melibatkan guru dan memperhatikan kebutuhan setiap guru yang
tentunya berbeda. Pelatihan-pelatihan untuk mengembangkan profesionalisme sebaiknya tidak
hanya didasarkan pada meningkatkan kualitas guru semata tapi memperhatikan guru sebagai
pihak yang terlibat dan berperan aktif di dalamnya.

Castetter, William. B. (1996). The Human Research for Educational Administration. New
Jersey: A. Simon & Schuster Company.

Helterbran, Vallleri R. (2008). The Ideal Profesor: Student Preceptions of effevtive Instructor
Practices, and skills, education. Chulavista. 129(155).

Hoesny, Mariana Ulfah Hoesny. Rita Darmayanti. (2021). Permasalahan dan Solusi Untuk
Meningkatkan Kompetensi dan Kualitas Guru: Sebuah Kajian Pustaka. Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan, 11(2).

Reinhartz, Judy & Don M. Beach. (2004). Educational Leadership: Changing schools, changing
roles. USA: Pearson.

Anda mungkin juga menyukai