Anda di halaman 1dari 5

KESENIAN GANDRUNG BANYUWANGI : PUNAHNYA

GANDRUNG LANANG DI BANYUWANGI

ARTIKEL
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Lokal
yang dibina oleh Yuliati M.Hum

Oleh
Baitak Nurul Azizah 120731400301

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
Desember, 2013
KESENIAN GANDRUNG : HAMPIR PUNAHNYA GANDRUNG LANANG DI
BANYUWANGI

Abstrak

Kata kunci :
Banyuwangi merupakan sebuah Kabupaten di Jawa Timur yang memiliki kebudayaan
yang sangat unik. Sebagai daerah yang dihuni banyak etnis, Banyuwangi sangat kaya akan
petensi seni budaya dan adat istiadatnya. Kesenian Gandrung merupakan ikon dari
Banyuwangi sendiri. Kesenian Gandrung ini merupakan salah satu lambang dan bukti sisa
perkembangan seni budaya dari kehidupan zaman Kerajaan Blambangan. Tidak hanya di
Banyuwangi tetapi Gandrung ini juga dapat ditemukan di Bali, dahulu Blambangan dan Bali
menjalin hubungan yang sangat erat. Sesudah adanya ekspansi oleh Susuhan Agung Islam
mulai diperkenalkan di Blambangan. Setelah Susuhan Agung wafat, Bali tetap menjalin
hubungan dengan Blambangan dan bahkan sangat erat. Hal ini dikarenakan letak ibukota
Blambangan yang dipindahkan semakin ke timur. Dari data yang diperoleh, wilayah
Blambangan saat ini hanya seluas kabupaten Banyuwangi (Lutfiati, 2009: 72).
Sejarah Kesenian Gandrung
Majapahit merupakan kerajaan yang muncul pada abad ke 13-15 M. Dalam
penyelenggaraan suatu acara di kerajaan sering diikuti dengan pementasan tarian istana yang
dikenal dengan istilah “juru i angin”. Orang ini merupakan wanita yang menari sambil
menyanyi dengan sangat menarik. Biasanya penari tersebut diikuti oleh seorang pria tua yang
berfungsi sebagai panakawan penari juru i angin. Berdasarkan uraian di atas, tarian seperti
itulah yang menjadi asal usul dari perkembangan kesenian Gandrung di Banyuwangi saat ini.
Hal ini dapat dilihat dari adanya bukti yang menunjukkan bahwa penari Gandrung selalu
diikuti oleh seorang pemain kluncing yang selalu melawak dengan bentuk-bentuk lawakan
yang berhubungan dengan tarian Gandrung tersebut.
Menurut Drs. Sri Soeyatmi Satari (dalam Darihato, 2009: 5), pada jaman kehidupan
kerajaan-kerajaan maka daerah-daerah yang jauh dari pusat kerajaan perkembangan seni
budayanya mengikuti garis besar pola seni budaya pusat. Melihat Banyuwangi dulunya
merupakan wilayah Blambangan, maka dapat dikatakan tarian yang ada sekarang merupakan
warisan dari zaman sebelumnya. Ciri unsur keistanaan yang terdapat dalam bentuk kesenian
Gandrung dapat dilihat dalam hal busana, rias, dan bentuk-bentuk nyanyiannya. Biasanya
bentuk teknis pembawaan lagu-lagu atau vokal memberikan kesan pada jaman kerajaan-
kerajaan Blambangan jaman dahulu.
Pada tahun 1890-an di daerah Blambangan berkembang suatu bentuk kesenian
Gandrung yang penarinya terdiri dari anak laki-laki yang berumur antara 7 sampai 16 tahun
atau disebut Gandrung Lanang. Dalam bahasa Jawa “Lanang” berarti laki-laki. Bahkan
diantara penari-penari tersebut terdapat anak laki-laki berusia 14 tahun yang berpakaian
wanita. Pementasan kesenian Gandrung laki-laki pada waktu itu dilakukan dengan jalan
keliling desa-desa, yang kemudian penari tersebut diberi imbalan berupa beras dan
sebagainya. Untuk gamelan pengiringnya menggunakan kendang dan terbang. Pada saat itu
ada seorang penari yang terkenal bernama Marsan, Marsan ini mampu bertahan hingga usia
40 tahunan. Jika dibandingkan dengan penari-penari lain yang biasanya hanya mampu
bertahan hingga usia 16 tahun, sampai usia ke 40 Marsan masih menjadi penari gandrung
hingga akhir hidupnya (Dariharto, 2009: 6).
Pementasan gandrung pria biasanya dilakukan pada waktu malam hari menjelang
bulan purnama di seatu tempat terbuka. Dalam pemilihan pasangan menarinya, dilakukan
dengan melemparkan ujung sampur atau selendang kepada para penonton yang
mengelilinginya. Urutannya biasanya dari barat, kemudian timur, selatan, lalu sebelah utara.
Kesenian Gandrung pria ini pernah ditampilkan dalam bentuk 4 orang penari secara bersama-
sama. Menurut Dr. Th. Pigeaud (dalam Dariharto, 2009: 6), bentuk tarian 4 pria itu
merupakan kepribadian masyarakat di Madura, dan Jawa sebelah timur sepanjang pantai,
yang telah hidup sejak waktu yang lama.
Dalam penampilan penari-penari pria yang berpakaian wanita dan penggunaan
instrumen pertama berupa terbang itu memberikan suatu asumsi dengan kegiatan bentuk-
bentuk kesenian yang berkembang dan berorientasi kepada unsur-unsur keagamaan Islam.
Pada saat itu, sekitar abad ke VIII mulai berkembang di Blambangan. Jika dilihat dari
mengapa dipilih penari pria berpakaian wanita, dapat diduga dengan memperbandingkan
perubahan yang terjadi pada bentuk-bentuk kesenian sperti Damarwulan, Ketoprak, Ludruk,
dan kesenian-kesenian lainnya. Hingga akhirnya penari di Blambangan dipilihlah wanita yang
sesungguhnya. Seorang penari wanita biasanya mendapatkan uang sebagai tombok atau
imbalan.
Pada tahun 1895, diangkatlah penari Gandrung wanita dari penari Seblang, dengan
riwayat sebagai berikut :
Pada tahun 1850 di desa cungking dan sekitarnya masih hidup suatu bentuk
masyarakat yang mutlak menganut agama ciwa, di dalam masyarakat itulah hidup suatu jenis
kesenian yang ada hubungannya dengan unsur-unsur magis religius yang disebut Seblang.
Jenis kesenian ini terkenal sejak jaman dahulu dan terdapat di desa Bakungan dan Ulih-ulihan
(Olehsari). Kesenian Seblang pada saat itu memberikan sarana kesembuhan secara magis
kepada orang yang sakit atas permintaan keluarganya. Biasanya pihak keluarga mengucapkan
nadhar, jika yang sakit sembuh maka akan diundang kesenian Seblang yang menurut orang
Osing “ditanggapaken Seblang”.
Pada suatu hari ada seorang puteri penduduk dukuh Cungking yang sakit. Nama Puteri
tersebut yaitu Semi, karena sakitnya yang tidak kunjung sembuh dengan berbagai pengobatan
akhirnya Mak Midah (ibunya) berkata “Kadung sira mari, sun dadekaken seblang, kadung
sira sing mari ya osing”. Arti dari kata-kata tersebut, yaitu kalau engkau sembuh, akan
kujadikan seblang, tetapi jika tidak sembuh ta tidak. Akhirnya Semi pun sembuh, dan menjadi
penari Seblang.
Dalam penampilan Semi menjadi penari Seblang, banyak yang mengaguminya.
Hingga akhirnya orang-orang sekitarnya menjadikan Semi sebagai penari Gandrung. Untuk
menjadikan Semi seorang penari Gandrung, orang-orang berusaha mengumpulkan uang untuk
membeli peralatan guna mengiringi tarian Gandrung tersebut. Semenjak saat itu Semi mulai
tampil sebagai Gandrung dan sejak saat itu pula jumlah penari Gandrung pria berangsur-
angsur kurang dan kemudian tidak ada sama sekali (Dariharto, 2009: 9).
...........................
Lutfiah. 2009. Ekspansi Susuhan Agung Ke Blambangan (1635-1639). Malang: Universitas
Negeri Malang Fakultas Sastra Jurusan Sejarah (skripsi)

Anda mungkin juga menyukai