Anda di halaman 1dari 6

Ronggeng

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Grup kesenian Ronggeng (sekitar 1870)

Ronggeng adalah jenis kesenian tari yang berkembang di Tatar Pasundan atau Jawa di mana
pasangan saling bertukar ayat-ayat puitis saat mereka menari diiringi musik dari rebab atau biola
dan gong. Ronggeng mungkin berasal dari Jawa, tetapi juga dapat ditemukan di Sumatra dan
Semenanjung Malaya.

Daftar isi
 1 Sejarah
 2 Ronggeng di Sunda
 3 Ronggeng di Jawa
 4 Dalam media lain
 5 Referensi

Sejarah
Ronggeng di Sunda
Indonesia memiliki kesenian yang sangat beragam. Di antara beragam kesenian, salah satunya
yang sangat terkenal adalah tari Ronggeng Gunung. Tarian ini berasal dari Sunda, Jawa Barat,
dan tersebar hampir di seluruh Tanah Pasundan, termasuk di Pangandaran. Dalam sejarahnya,
tari Ronggeng Gunung dikisahkan sebagai bentuk penyamaran Dewi Siti Semboja dari Kraton
Galuh Pakuan Padjajaran. Dewi Siti ingin membalas dendam atas kematian kekasihnya bernama
Raden Anggalarang yang tewas di tangan perampok pimpinan Kalasamudra saat tengah
perjalanan menuju Pananjung, Pangandaran.[1]

Saat itu Dewi Semboja selamat dan bersembunyi di kaki gunung sekitar Pangandaran. Kemudian
Dewi Semboja dan pengiringnya menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu penari ronggeng keliling
yang diiringi para penabuh gamelan. Mereka berkeliling ke seluruh wilayah kerajaan hingga ke
pelosok pegunungan dengan tujuan untuk mencari pembunuh kekasihnya tersebut. Dewi
Samboja sendiri ada yang menyebut sebagai putri ke-38 Prabu Siliwangi.[1]

Kisah ini diperkuat dengan ditemukannya bukti arkeologis tahun 1977 berupa reruntuhan candi
di Kampung Sukawening, Desa Sukajaya, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis. Kalangan
arkeolog menyebutnya Candi Pamarican, tetapi masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai
Candi Ronggeng. Dinamai Candi Ronggeng karena di sekitar lokasi ditemukan arca nandi dan
batu berbentuk kenong atau gong kecil. Gong kecil itulah yang dipercaya mempunyai kaitan erat
dengan kesenian Ronggeng Gunung.[1]

Sebenarnya kesenian Ronggeng Gunung bukan sekadar hiburan, tetapi juga pengantar upacara
adat. Dalam mitologi Sunda, Dewi Samboja atau Dewi Rengganis hampir sama dengan Nyai
Pohaci Sanghyang Asri yang selalu dikaitkan dengan kegiatan bertani dan kesuburan. Karena itu,
tarian Ronggeng Gunung melambangkan kegiatan Sang Dewi saat bercocok tanam, yakni sejak
turun ke sawah, menanam padi, memanen, hingga akhirnya syukuran atas keberhasilan panen.[1]

Guna keperluan pertunjukan adat dan hiburan, Ronggeng Gunung dibedakan cara penyajiannya.
Ronggeng untuk upacara adat dibawakan dengan pakem tertentu, seperti pentingnya tata urutan
lagu, sedangkan Ronggeng untuk hiburan biasanya lebih fleksibel karena tidak ada pakem urutan
lagu. Seni tari Ronggeng Gunung mirip tari Jaipong, yang juga berasal dari Jawa Barat. Namun,
tari ini memiliki ciri khas tersendiri, bahkan banyak tari Ronggeng di zaman sekarang adalah
perkembangan dari tari Ronggeng Gunung.[1]

Seni tari ini dipentaskan oleh lima orang wanita berpenampilan cantik dan luwes dengan satu
penari utama mengenakan selendang dan diiringi oleh pengibing, yaitu sekelompok laki-laki
yang mengenakan sarung, sinden, dan penabuh gamelan. Irama musik yang berasal dari irama
tabuhan kendang, boning, dan gong menghasilkan irama sederhana, tetapi auranya mampu
menggetarkan hati penonton.[1]

Kesenian ini memiliki satu aturan yang tidak boleh dilanggar, yaitu antara penari dan pengibing
tidak diperbolehkan melakukan kontak langsung. Mereka juga harus memiliki fisik kuat karena
pertunjukan dapat berlangsung selama berjam-jam.[1]

Tari Ronggeng Gunung mengalami masa keemasan pada 1970-1980, tetapi tenggelam satu
dekade kemudian. Memasuki era 1990-an, sebagaimana kesenian rakyat lainnya, tari ini
terancam punah karena tidak ada peminat dan sepinya tawaran untuk tampil. Satu per satu
kelompok ronggeng pun pensiun hingga hanya menyisakan sedikit peronggeng.[1]

Ronggeng di Jawa
Ronggeng mungkin telah ada di Jawa sejak zaman kuno, relief di bagian Karmawibhanga pada
abad ke-8 Borobudur menampilkan adegan perjalanan rombongan hiburan dengan musisi dan
penari wanita. Di Jawa, penampilan ronggeng tradisional menampilkan rombongan tari
perjalanan yang berjalan dari desa ke desa. Pasukan tari terdiri dari satu atau beberapa penari
wanita profesional, disertai oleh sekelompok musisi memainkan alat musik: rebab dan gong.
Istilah "ronggeng" juga diterapkan untuk penari wanita.
Selama penampilan ronggeng, para penari profesional perempuan diharapkan untuk mengundang
beberapa penonton laki-laki atau klien untuk menari dengan mereka sebagai pasangan dengan
memberi uang tips untuk penari wanita, diberikan selama atau setelah tarian. Pasangan tarian
intim dan penari perempuan mungkin melakukan beberapa gerakan yang mungkin dianggap
terlalu erotis dalam standar kesopanan etiket keraton Jawa. Pada masa lalu, nuansa erotis dan
seksual dari tarian ronggeng memberinya reputasi buruk sebagai prostitusi yang terselubung seni
tari.

Dalam media lain


Ronggeng adalah tema utama dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang
menceritakan kisah seorang gadis penari ronggeng yang juga seorang pelacur di sebuah desa
terpencil di Jawa Tengah. Ronggeng terkait erat dengan tari Jaipongan Sunda.

Tari Ronggeng Gunung dari Jawa Barat

Untuk mengenal tari ronggeng gunung sebagai warisan kebudayaan masyarakat Indonesia, dibawah ini
kami akan sajikan artikel tentang asal usul tari ronggeng gunung yang kami rangkum dari beberapa
media online.

1. Asal Usul Tari Ronggeng Gunung

Salah satu budayawan asal Cijulang - Pangandaran, melalui cakrawalamedia.co.id mengungkapkan


bahwa Tari Ronggeng Gunung yang ada saat ini ternyata tertuang dalam sebuah kitab yang bernama
Kitab Damar Wulan atau Kitab Aji Saka.

Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti tersimpannya seperangkat perlengkapan kuno Tari Ronggeng
Gunung di Keramat Jambu Handap. Kuncen Kramat Jambu Handap bernama Ceceng juga menjelaskan
bahwa waktu itu kesenian Ronggeng Gunung dipimpin oleh Ki Raksa Dipa yang sekaligus menjadi
pemain kendang pada tahun 1200 masehi. " Kesenian Ronggeng Gunung tertuang dalam babad Jambu
Handap yang dituangkan dalam sebuah kitab yang ditulis menggunakan tulisan sunda begon oleh 3
tokoh diantaranya Sabda Jaya atau Eyang Gendeng Mataram, Embah Sangupati dan Embah Sutapati"

Perlengkapan atau alat-alat Ronggeng Gunung yang tersimpan di Kramat Jambu Handap berupa goong
beunde 1 unit, bonang ketuk 3 peclon. Selain alat musik tradisional Jawa Barat tersebut, terdapat pula
perlengkapan berupa baju atau pakaian adat yang digunakan untuk menari oleh Nyi Mas Bageum
berupa dodot samping, ikeut sarung, karembong, kabaya dan sampur.

Adapun cerita rakyat yang menceritakan asal mula tari ronggeng gunung dapat Sobat baca pada artikel
bertopik legenda dan cerita rakyat dengan judul Dewi Siti Semboja (Asal Musa Ronggeng Gunung)
2. Perkembangan Tari Ronggeng Gunung
Tari Ronggeng Gunung ini terus menjadi terkenal dan menyebar luas ke beberapa wilayah di
seputar Kabupaten Pangandaran dan Cimais, Provinsi Jawa Barat. Pada saat memasuki periode tahun
1940-1945, banyak terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dari sebelumnya. Pergeseran nilai ini meresap
juga ke dalam kesenian ronggeng gunung, misalnya di dalam cara menghormat yang semula dengan
cara merapatkan tangan di bagian dada berganti dengan cara bersalaman. Bahkan akhirnya cara
bersalaman ini telah banyak disalah gunakan, dimana para penari laki-laki atau orang-orang tertentu
bukan hanya bersalaman, melainkan akan bertindak lebih jauh seperti mencium dan lain sebagainya.
Terkadang para penari dapat dibawa ke tempat yang sepi. Karena tidak sesuai dengan adat-istiadat,
maka ditahun 1948 kesenian ronggeng gunung ini dilarang dipertunjukkan untuk umum.

Baru ditahun 1950 kesenian ronggeng gunung ini kembali dihidupkan dengan beberapa pembaruan,
baik itu dalam tarian ataupun dalam pengorganisasian sehingga kemungkinan timbulnya hal-hal negatif
tersebut dapat dihindarkan.

Desa-desa di Ciamis selatan yang mempunyai kesenian ronggeng gunung adalah di desa Panyutran,
Ciparakan, Burujul dan kemudian menyebar ke arah selatan, yakni di Kawedanaan Pangandaran sampai
ke Kecamatan Cijulang. Didalam beberapa generasi ronggeng gunung ini mampu mempertahankan ciri-
ciri khas yang dimiliki.

Namun demikian ditemukan juga tarian dalam bentuk yang hampir sama yang ada di daerah lain seperti
dombret di Subang, banjet di Krawang. Perbedaan masih tetap nyata. Jika banjet dan dombret telah
banyak menggunakan lagu-lagu populer, namun ronggeng gunung ini tetap mempergunakan lagu-lagu
yang bersifat buhun atau lama. Dombret dan banjet telah banyak dipengaruhi oleh budaya dari luar
Sunda, seperti Bugis Makasar, Lampung, Jawa, dan juga Madura melalui pergaulan diantara para
nelayan.

Seperti halnya pada tarian lain sejenisnya, ronggeng gunung ini juga merupakan tari hiburan dan
pakaian yang dikenakan juga sesuai dengan tradisi setempat. Segi lain yang menarik dalam pertunjukan
ini adalah disaat pertunjukan berlangsung, yakni dengan sering tampilnya para penonton dalam
menemani penari ronggeng menari. Seringkah tingkah penari penonton ini membuat geli orang-orang
yang menyaksikan, sehingga membuat suasana berubah menjadi riuh dan bergembira. Suasana yang
ditampilkan ini menunjukkan ciri khas dari kesenian rakyat, yaitu akrab dimana penari dan para
penonton berbaur tanpa batas yang jelas.

Dimasa pemberontakan DI/TII berkecamuk di Jawa Barat, kesenian ronggeng gunung ini hampir-hampir
lenyap dikarenakan sering terjadinya gangguan terhadap pertunjukan yang sedang berlangsung. Setelah
kemudian gerombolan DI/TII ditumpas, pertunjukan ronggeng gunung ini pun muncul kembali.

3. Fungsi dan Makna Tari Ronggeng Gunung

Fungsi dari tari ronggeng berfungsi sebagai tari hiburan masyarakat di Jawa Barat, khususnya daerah
Ciamis dan Pangandaran sebagai tempat asal usul terlahirnya kesenian rakyat ini. Tari ronggeng gunung
biasanya digelar di halaman rumah pada saat ada acara perkawinan, khitanan atau bahkan di huma
(ladang), misalnya ketika dibutuhkan untuk upacara membajak atau menanam padi ladang. Durasi
sebuah pementasan Ronggeng Gunung biasanya memakan waktu cukup lama, kadang-kadang baru
selesai menjelang subuh.

Dalam perkembangannya tari ronggeng gunung dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu sebagai tari
hiburan dan tari ronggeng gunung untuk acara adat. Pada acara Ronggeng Gunung sebagai tarian
hiburan biasanya lebih fleksibel tanpa adanya pakem tertentu. Sebaliknya untuk acara adat, tari
ronggeng gunung ini dikenai pakem-pakem tertentu seperti urutan lagu yang dibawakan.

4. Pertunjukan Tari Ronggeng Gunung

Tari Ronggeng Gunung ini dibawakan oleh grup / kelompok kesenian ronggeng. Orang-orang yang
tergabung dalam kelompok kesenian Ronggeng Gunung biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh
orang. Namun demikian, dapat pula terjadi tukar-menukar atau meminjam pemain dari kelompok lain.
Biasanya peminjaman pemain terjadi untuk memperoleh pesinden lalugu, yaitu perempuan yang sudah
berumur agak lanjut, tetapi mempunyai kemampuan yang sangat mengagumkan dalam hal tarik suara.
Dia bertugas membawakan lagu-lagu tertentu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa.
Sedangkan, peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari Ronggeng Gunung adalah tiga buah
ketuk, gong dan kendang.

Sebagai catatan, untuk menjadi seorang ronggeng pada zaman dahulu memang tidak semudah
sekarang. Beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain bentuk badan bagus, dapat melakukan puasa
40 hari yang setiap berbuka puasa hanya diperkenankan makan pisang raja dua buah, latihan nafas
untuk memperbaiki suara, fisik dan juga rohani yang dibimbing oleh ahlinya. Dan, yang umum berlaku,
seorang ronggeng harus tidak terikat perkawinan. Oleh karena itu, seorang penari ronggeng harus
seorang gadis atau janda.
Ronggeng Gunung dibawakan oleh 5 orang penari wanita dengan 1 penari utama. Dalam
pertunjukannya tarian ini dibawakan berbaur antara penari ronggeng dan penonton, tanpa adanya
batasan yang jelas.

5. Kostum Penari Ronggeng Gunung

Para penari wanita dalam tarian Ronggeng Gunung ini mengenakan busana khas Jawa Barat untuk
menari. Busana wanita tersebut terdiri dari dodot samping, ikeut sarung, karembong, kabaya dan
sampur.

Para penari ronggeng gunung juga masing-masing membawa sebuah selendang sebagai properti dalam
menari.

6. Musik Pengiring Tari Ronggeng Gunung

Adapun musik pengiring tari ronggeng gunung ini terdiri dari beberapa alat musik Jawa Barat yaitu gong,
kendang dan bonang.

Demikian Sobat Tradisi, informasi mengenai tari Ronggeng Gunung, Seni Karuhun Pangandaran dan
Ciamis. Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai