Anda di halaman 1dari 45

SENI TARI

Tari adalah gerak tubuh secara berirama yang dilakukan di tempat dan waktu
tertentu untuk keperluan pergaulan, mengungkapkan perasaan, maksud, dan pikiran.
Bunyi-bunyian yang disebut musik pengiring tari mengatur gerakan penari dan
memperkuat maksud yang ingin disampaikan. Gerakan tari berbeda dari gerakan
sehari-hari seperti berlari, berjalan, atau bersenam. Umat hindu membedakan adanya
tari sakral dengan tari hiburan (profan), yaitu :

a. Tari Wali/Bali
Merupakan jenis tarian upacara atau tari sakral, ditarikan pada setiap kegiatan
upacara adat dan agama Hindu di Bali. Di Pura, tarian ini dipentaskan di area
terdalam (Jeroan). Adapun jenis jenis tari wali/bali :

1. TARI REJANG
Tari Rejang adalah sebuah tarian kesenian rakyat/suku Bali yang ditampilkan
secara khusus oleh perempuan dan untuk perempuan. Gerak-gerik tari ini
sangat sederhana namun progresif dan lincah. Biasanya pagelaran tari Rejang
diselenggarakan di Pura pada waktu berlangsungnya suatu upacara adat atau
upacara keagamaan Hindu Dharma. Jenis jenis Tari Rejang :
a. Rejang Renteng
Tari Rejang Renteng ini adalah salah satu jenis Tari Rejang yang
ditarikan oleh sekelompok penari-penari wanita. Dimana para penarinya
bergerak secara beriring-iringan secara seragam. Keunilan dari tari Rejang
ini terlihat dari penarinya, dimana para penari diikat kedalam suatu untaian
atau rangkaian yang disebut “renteng” dengan seutas benang yang pada
umumnya berwarna putih.
Tari Rejang Renteng memiliki ciri yang khusus, yaitu jempana
sebagai linggih Ida Bhatara dituntun dengan benang panjang yang diikatkan
pada pinggang si penari.
b. Rejang Dewa
Tari Rejang Dewa ini adalah salah satu jenis tarian Rejang yang
dibawakan oleh sekelompok penari wanita. Di beberapa tempat, terian ini
hanya boleh ditarikan oleh para remaja. Dimana setiap orang penari menari
dengan membawa semacam boneka dari janur sebagai lambang Dewa-dewi
yang diikatkan di sekitar pinggang penari.
Versi lain daripada Rejang Dewa yaitu tarian Rejang yang dibawakan
oleh sekelompok penari putri dengan memakai busana putih kuning, setiap
orang memakai selendang, dan mengenakan hiasan kepala yang terbuat dari
janur dengan dihiasi bunga berwarna-warni. Pada akhir tariannya, para
penari bergerak melingkar sambil memegang selendang penari yang ada
didepannya.
c. Rejang Onying
Jika dibandingkan dengan kedua tari Rejang yang sebelumnya, tari
Rejang Onying mungkin yang paling keras ungkapan geraknya. Dalam
banyak hal, gerak-gerak tari Rejang Onying menyerupai gerak tari Baris
yang keras dan patah-patah. Dimana para penari darpada tari Rejang
Onying ini pada umumnya dari kalangan wanita dewasa, bahkan
dibeberapa tempat tarian ini dibawakan oleh para Pemangku. Keunikan
dari tari Rejang Onying ini terlihat pada pemakaian keris terhunus, oleh
setiap orang penarinya. Pada akhir tarian, para penari menikamkan keris
kedada masing-masing, yang dikenal masyarakat Bali dengan sebutan
ngurek.
d. Rejang Kuningan
Rejang Kuningan adalah sebuah tarian Rejang yang ditarikan hanya
pada hari raya Kuningan dari masyarakat Hindu Bali. Tarian yang
menggambarkan turunnya para widyadari ini hanya boleh bibawakan oleh
penari-penari yang masih gadis. Para penari mengenakan busana adat ke
pura dengan hiasan kepala yang dibuat dari janur atau daun enau muda
yang dihiasi dengan bunga yang berwarna-warni. Tari ini diduga sudah
muncul sejak abad ke- XI dan hingga kini masih tetap dipertahankan oleh
masyarakat desa Duda dan Akah, yang terdapat di kabupaten Karangasem.
Bedanya, Jika di Desa Duda tarian ini diiringi dengan gambelan Gong
Kebyar, sedangkan di desa Akah tarian ini diiringi dengan gambelan
Gambang.
e. Rejang Lilit
Tari Rejang Lilit adalah sebuah tari sakral yang ditarikan oleh
sekelompok penari anak-anak perempuan dalam upacara Dewa Yadnya di
Pura Kayangan Tiga, Desa Adat Mundeh, Tabanan. Tari rejang yang harus
ditampilkan melalui proses yang sangat panjang dan rumit, namun hingga
kini tetap dilestarikan oleh masyarakat setempat, menimbulkan berbagai
pertanyaan. Apa sesungguhnya yang melatari masyarakat di Desa Adat
Mundeh menciptakan dan melestarikan tarian tersebut. Untuk menjawab
permasalahan itu, penelitian yang berlokasi di Desa Adat Mundeh ini
dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, dan dianalisis dengan
Teori Religi, Teori Simbol, dan Teori Fungsional Struktural. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: Awal mula munculnya tari Rejang Lilit di
Desa Adat Mundeh karena adanya tradisi upacara ritus penebusan dosa
yang dilaksanakan setahun sekali, pada Anggara Kasih Prangbakat di Pura
Kayangan Tiga. Dikatakan bahwa mereka telah mulai melakukan upacara
itu sejak zaman datangnya Mpu Kuturan ke Bali. Dikatakan bahwa pada
saat itu Desa Adat Mundeh terkena grubug. Banyak orang jatuh sakit dan
meninggal akibat amarah Gusti sesuhunan Desa Adat Mundeh yang
disebabkan oleh prilaku salah seorang pekandelannya, yang telah berani
menikahi calon istri putranya. Untuk menebus dosanya, sang pekandelan
itu membuat bhisama akan membebaskan desa tersebut dari grubug,
asalkan mereka diijinkan tetap tinggal di Desa Adat Mundeh. Sejak
dibuatkan upacara ritus penebus dosa dilengkapi tari Rejang Lilit, hingga
kini Desa Adat Mundeh terbebas dari grubug. Tari Rejang Lilit yang
disajikan dalam bentuk tari lepas, tanpa lakon, ditarikan oleh 7 orang
penari perempuan yang belum akhil balik itu diiringi gamelan Semar
Pegulingan. Sebelum dan sesudah menari, para penarinya harus dipingit
selama 16 hari di pura, yakni 5 hari sebelum dan 11 hari setelah upacara
piodalan berlangsung. Tari Rejang Lilit yang hanya dibangun oleh ragam
gerak lokomotif itu memiliki struktur pertunjukan sesuai area pura yang
dilalui oleh penari, dengan pola lantai melilit pelinggih Pura Kayangan
Tiga (Pura Pesamuan, Pura Pesimpangan Kangin, Pura Pesimpangan
Kauh). Diawali oleh munculnya seorang pengenter membawa pasepan,
mereka menari beriring-iringan seperti seutas tali dengan susunan penari
mulai dari usianya yang paling tua. Mereka menari mulai dari Pura
Pesamuan, di Pura Pesimpangan Kangin, di Pura Pesamuan, di Pura
Pesimpangan Kauh, dan kembali lagi ke Pura Pesamuan. Mereka menari
menggunakan kain batik dan gringsing serta sepasang selendang berwarna
kuning, simbol bidadari dari kahyangan. Jika diamati fungsinya, tari
Rejang Lilit yang diciptakan dan dilestarikan masyarakat Desa Adat
Mundeh berfungsi sebagai sarana upacara ritual, sebagai pengikat
solidaritas sosial masyarakat, sebagai sarana pendidikan, dan sebagai
strategi penerusan nilai seni budaya Bali.

f. Tari Rejang Sutri


Mempunyai fungsi sebagai tari upacara ( ritual ), pada saat sasih
kelima ( bulan Nopember ) sampai sasih kesanga ( bulan Maret ) tahun
berikutnya yang di barengi dengan upacara Bhuta Yadnya. Kalau dilihat
fungsi dari Rejang Sutri dapat dikategorikan sebagai tari sacral atau wali,
tinjauan yang lain yaitu sebagai tari tolak bala dirunut dari saat
dilaksanakan sampai prosesi upacara/ upakara yang gunakan. Rentetan
upacara saat Rejang Sutri dilaksanakan adalah pertama mengadakan
upacara Dewa Yadnya yaitu melaksanakan upacara persembahyangan di
Pura Desa dan Puseh, Ratu Ngurah Agung, Ratu Saung, Ratu Pase Leb (
matur piuning ) yang diantar oleh pemangku desa Batuan dengan sarana
upakara pejati jangkep, canang sari, petabuh dan sebagainya. Sedangkan
untuk masing-masing keluarga menghaturkan upakara pejati jangkep ke
Pura Desa/ Puseh selanjutnya di upacarai oleh pemangku selanjutnya
dibawa pulang untuk di tempatkan di pura keluarga ( sanggah,merajan) di
sanggah kemulan. Setiap harinya menghaturkan upakara canang dan di
lebar saat Rejang Sutri usai ( nyineb ). Kedua, mengadakan atau
melaksanakan upacara mecaru ( bhuta yadnya) yang dilaksanakan di Pura
Desa dan Puseh pada siang hari sebelum nanti malamnya dilaksanakan
Rejang Sutri, mecaru di tapal batas Desa Batuan yaitu di ujung banjar
Dentiyis batas utara, di ujung banjar Jeleka batas barat, di ujung banjar
Puaya simbul batas selatan, di ujung banjar Peninjoan sebagai simbul batas
timur. Mecaru di masing-masing tapal batas desa Batuan diantaranya
menggunakan sarana boki diisi tapak dara, wastra poleng, kayu sakti (
carang dadap ) jeroan babi sebagai symbol pengamer-amer. Dilanjutkan
mecaru di masing-masing banjar, kemudian di muka rumah masing-
masing anggota masyarakat atau depan pintu masuk ( angkul-angkul) saat
senja ( sandikala ), dan pada malam harinya di laksanakan tari Rejang
Sutri, yang sebelumnya diawali dengan menghaturkan sesajen berupa
Pejati yang dihaturkan di Pura Desa dan di tempat pertunjukan. Pejati
yang di haturkan di tempat pertunjukan yaitu di Sanggar Tawang wantilan
Pura Desa di sudut timur laut ( Ersanya) yang dilakukan oleh Pemangku
Desa. Sanggar Tawang tersebut merupakan tempat upakara sesaji/ banten,
untuk setiap harinya sudah ada yang bertugas menghaturkan upacara,
tempat berstananya Widyadara-widyadari, Bethara-Bethari, tempat
pemujaan masyarakat Batuan saat Rejang Sutri dilaksanakan.
g. Tari Rejang Baris
Tarian upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh gabungan penari pria
dan wanita yang masih remaja. Disini para penari tidak memakai tata
busana khusus melainkan busana adat ke Pura.

h. Tari Rejang Keraman


Tari Rejang Keraman adalah merupakan tarian sacral yang di tarikan
oleh putra dan putri yang baru menginjak dewasa. Tarian ini merupakan
ungkapan rasa gembira dari masyarakat serta merupakan cetusan hati serta
rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa karna telah
melimpahkan segala hasil yang dapat memberikan kebahagian tersendiri.
Tarian ini di pentaskan pada saat Ngusaba Agung yang bertepatan dengan
Purnama Kapat yang datangnya tiga tahun sekali. Sejarah Tari Rejang
Keraman tertulis dalam lontar Purwagama hasil karya Rsi Markandeya
pada saat itu beliau menyebarkan Agama Hindu di Bali dan menjadi
Bagawanta Puri pada abad XVI. Bahasa yang di gunakan dalam penulisan
sejarah adalah bahasa sederhana. Sedangkan Tari Rejang Keraman yang di
pentaskan dalam Upacara Ngusaba Agung di Pure Puseh Desa Kedis
mengikuti hasil pesamuhan para Pengelingsir Desa Kedis saat
pembentukan Desa Kedis. Tarian ini di pentaskan secara turun – temurun
setiap Upacara Ngusaba Agung di Pura Puseh Desa Kedis. Tujuan
dipentaskan Tari Rejang Keraman di Desa Kedis adalah merupakan tarian
untuk Upacara Ngeraja Sewala, sebagai kewajiban bagi anggota truna –
truni ngaturang ayah, untuk melanjutkan warisan leluhur secara turun –
temurun. Sebagai cetusan rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi
Wasa beserta manifestasinya. Sarana yang dipakai dalam pementasan Tari
Rejang Keraman adalah Upakara yang terdiri dari banten byakala, sesayut
durmenggala, prayascita, suci, sesayut amertasari serta pakaian penari,
tetabuhan dan Nyanyian. Tari Rejang Keraman terdiri dari dua kelompok
yaitu : satu kelompok putra dan putri, satu kelompok yang semuanya baru
menginjak remaja (menek bajang). Pakaian Penari yaitu : Penari putrid
berpakaian payas janger sedangkan penari putra memekai payas baris.
Barisan penari di urut sesuai dengan kedatangan masuk menjadi krama
Desa Kedis, berkelompok dalam satu dadia atau sekehe sanggah (merajan)
dengantidak membedakan kasta. Tari Rejang Keraman dipentaskan setiap
tiga tahun sekali pada saat Purnama Kapat bertepatan dengan upacara
Ngusaba Agung di Pura Puseh, serta di pentaskan secara berturut – turut
tiga kali. Pada saat terakhir menariakn Tari Rejang Keraman ini, para
penari natab sesayut amertasari yang merupakan Upacara Ngeraja Sewala.

i. Tari Rejang Ayunan


Tari Rejang Ayunan yang terdapat di Desa Pupuan adalah satu-satunya
tarian yang ditarikan oleh penari laki-laki yang masih remaja. Para penari
memakai pakaian adat ke Pura yang serba putih. Dimana akhir tariannya
para pemain bermain ayunan untuk merebut makanan dan hadiah-hadiah
lainnya yang disembunyikan diatas pohon dimana ayunan digantungkan.

j. Tari Rejang Tabuh


Tari Rejang Tabuh yang terdapat di Desa Penebel, Kabupaten Tabanan
adalah tarian upacara Dewa Yadnya yang ditarikan sekelompok penari
wanita dimana sepanjang pertunjukan para penarinya bergerak sambil
menyanyikan tembang. Dimana para penarinya mengenakan busana adat
ke Pura dengan selendang panjang dan setiap orang penari membawa
kipas.

2. TARI PENDET
Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak
diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini
melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-
laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet
menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-
religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan
Rindi.Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk
tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang
memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang,
pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis. Tarian ini diajarkan sekadar
dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis
muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti
tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik. Tari pendet
menceritakan tetang dewi-dewi kahyangan yang turun ke Bumi. Biasanya Taro
Pendet ini dibawakan secara berkelompok atau berpasangan oleh remaja putri.
Para penari Pendet berbusana layaknya penari Upacara keagamaan. Masing-
masing penari akan membawa sesaji berupa sangku/bokor (wadah yang
didalamnya terdapat bunga warna-warni) yang nantinya diakhir tarian akan di
taburkan ke tamu undangan sebagai sebuah simbol penyambutan. Tari Pendet
mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai Tari Wali dan juga Tari Balih-balihan.
Karena memang Tarian Pendet sering difungsikan sebagai Tarian pengiring
Upacara Keagamaan. Namun seiiring perkembangan zaman, Tarian Pendet
Lebih sering lagi di pentaskan dalam Acara-acara besar yakni sebagai tari
penyambutan tamu-tamu penting dalam sebuah acara. Meskipun begitu, Tarian
Pendet tidak kehilangan kesakralannya dan tetap mengandung aura religius
yang tinggi. Tarian ini menjadi sebuah warisan kebudayaan yang patut kita jaga
dan kita lestarikan agar nantinya tidak ada Negara lain yang mengakuisisikan
Tarian Pendet sebagai warisan budaya mereka.
- Fungsi Tari Pendet
Pada jaman dahulu tari Pendet merupakan tarian Pura yang fungsinya
untuk memuja para dewa-dewi yang berdiam di Pura selama upacara odalan
berlangsung (Kusmayati dkk ,2003:78). Seiring dengan perkembangan
jaman,kebutuhan akan hiburan semakin banyak diperlukan oleh sebagian besar
masyarakat Bali, sehingga sekarang Pendet beralih fungsi menjadi tari hiburan
atau tari penyambutan. Sebaga tari penyambutan, Pendet difungsikan untuk
menyabut kedatangan tamu atau sering disebut dengan istilah tarian selamat
datang. Ungkapan kegembira an, kebahagiaan, dan rasa syukur diwujudkan
melalui gerak-gerak yang lembut dan indah.

- Iringan Musik Tari Pendet


Iringan pada tari Pendet dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian awal
disebut sebagai pengantar singkat (papeson) digarap dengan tempo yang cepat,
bagian tengah atau pengadeg diiringi musik dengan tempo lambat dan sedang,
dan pada bagian akhir (panyuwud) diiringi musik dengan tempo cepat. diiringi
oleh gamelan berlaras pelog atau gamelan gong kebyar dan angklung.

- Keunikan Tari Pendet


Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak
diperagakan di Pura, sebuah tempat ibadat bagi umat Hindu di Bali, Indonesia.
Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia.
Tarian ini diciptakan oleh I Wayan Rindi. Rindi merupakan maestro tari yang
dikenal luas sebagai penggubah tari pendet sakral yang bisa di pentaskan di
pura setiap upacara keagamaan. Tari pendet juga bisa berfungsi sebagai tari
penyambutan. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali
mengubah Pendet menjadi “tarian ucapan selamat datang”, meski tetap
mengandung anasir yang sakral-religius.

Wayan Rindi adalah penekun seni tari yang dikenal karena kemampuannya
menggubah tari dan melestarikan seni melalui pembelajaran pada generasi
penerusnya. Salah satunya terekam dalam beragam foto semasa hidupnya yang
aktif mengajarkan beragam tari Bali, termasuk tari pendet pada keturunan
keluarga maupun di luar lingkungan keluarganya. Menurut anak bungsunya,
Ketut Sutapa, Wayan Rindi memodifikasi tari pendet sakral menjadi tari pendet
penyambutan yang kini diklaim Malaysia. Rindi menciptakan tari pendet ini
sekitar tahun 1950. Meski dimodifikasi, namun semua busana dan unsur
gerakan tarinya tetap mengacu pada pakem seni Bali yang dikenal khas dan
dinamis.
Diyakini bahwa tari Pendet merupakan pernyataan dari sebuah
persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian
pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh
semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis. Tarian ini
diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-
banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior
yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang
yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan
setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci
(pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari
membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.
Tindakan Malaysia yang mengklaim tari pendet sebagai bagian dari budayanya
amat disesalkan keluarga Wayan Rindi. Pada masa hidupnya, Wayan Rindi
memang tak berfikir untuk mendaftarkan temuannya agar tak ditiru negara lain.
Selain belum ada lembaga hak cipta, tari Bali selama ini tidak pernah di
patenkan karena kandungan nilai spiritualnya yang luas dan tidak bisa
dimonopoli sebagai ciptaan manusia atau bangsa tertentu. Namun dengan
adanya kasus ini, Sutapa yang juga dosen tari di Institut Seni Indonesia (ISI)
Bali berharap pemerintah mulai mengambil langkah untuk menyelamatkan
warisan budaya nasional dari tangan jahil negara lain.

3. TARI BARIS
Tari Baris adalah sebuah jenis tari-tarian perang tradisional dari Bali yang
diiringi dengan gamelan. Tari ini menggambarkan perasaan seorang pahlawan
muda sebelum ia pergi ke medan perang, mengelu-elukan kejantanan pahlawan
Bali dan menunjukkan kemantapan kepemimpinannya. Dalam bahasa Bali arti
baris mirip seperti dalam bahasa Indonesia, yaitu leret atau baris dan
khususnya barisan prajurit yang berbakti kepada para raja. Adapun jenis jenis
tari Baris, yaitu :
a. Baris Pendet
Tari baris yang para penarinya tampil tanpa membawa senjata perang
melainkan sesaji (canang sari), ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya. Di
desa Tanjung Bungkak (Denpasar) penari baris ini membawa canang yang
disebut canang oyod dan pada bagian akhir tariannya, para penari menari
menggunakan kipas sambil “ma-aras-arasan” atau bersuka ria.
b. Baris Dadap
Baris yang membawa senjata dapdap (semacam perisai), gerakannya
lebih lembut dari jenis-jenis tari Baris lainnya dan penarinya menari sambil
menyayikan tembang berlaras slendro dengan diiringi gamelan Angklung
yang juga berlaras slendro dan ditarikan dalam upacara Dewa Yanya
kecuali di daerah Tabanan ditarikan dalam upacara Pitra Yadnya, banyak
dijumpai didaerah Bangli, Buleleng, Gianyar dan Tabanan.
c. Baris Tamiang
Baris yang membawa senjata keris dan perisai yang dinamakan
Tamiang, dapat dijumpai di daerah Badung.
d. Baris Bedil
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa imitasi
senapan berlaras panjang (bedil) terbuat dari kayu, ditampilkan dalam
upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Klungkung, Bangli dan
Badung.
e. Baris Gowak
Tarian yang melukiskan peperangan antara pasukan Tegal Badeng
(Badung) dengan sekelompok burung gagak pembawa kematian, di mana
beberapa pasang penarinya memerankan prajurit Tegal Badeng dan yang
lainnya sebagai sekelompok burung gagak dengan kostum yang memakai
sayap. Tarian ini sangat disucikan oleh masyarakat desa Selulung,
Kintamani (Bangli) dan terdapat dalam Upacara Dewa Yadnya.
f. Baris Katekok jago
Baris yang membawa senjata tombak poleng (tombak yang tangkainya
berwarna hitam dan putih) dan berbusana loreng hitam putih ditarikan
dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben). Umumnya ada di daerah Badung
dan Kodya Denpasar. Sedang tarian Baris sejenis di Buleleng disebut Baris
Bedug dan di Gianyar disebut Baris Poleng.
g. Baris Cendekan
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa senjata
tombak yang pendek (cendek), ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya.
h. Baris Jangkang
Baris ini ditarikan oleh penari-penari yang membawa senjata tombak
panjang, ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah
Bangli, Gianyar, dan Klungkung (Nusa Penida).
i. Baris Demang
Ditarikan oleh sekelompok penari yang menggambarkan tokoh
Demang (salah satu dari tokoh Pagambuhan) dalam drama tari klasik
Gambuh dengan senjatanya pedang, tumbak, panah dan lain-lainnya. Tari
Baris ini terdapat di daerah Buleleng.
j. Baris Mamedi
Tarian ini menggambarkan sekelompok roh halus (mamedi) yang
hidup ditempat angker seperti kuburan, para penarinya memakai busana
yang terbuat dari dedaunan dan ranting yang diambil dari kuburan.
Gamelan pengiring tarinya gamelan Balaganjur. Tarian diselenggarakan
dalam rangka upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan terdapat di daerah
Tabanan.
k. Baris Tumbak
Baris yang membawa senjata tombak dan berbusana awiran berlapis –
lapis ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya, banyak dijumpai di daerah
Badung, Bangli dan Gianyar.
l. Baris Presi
Para penari baris ini membawa senjata keris, dan sejenis perisai yang
dinamakan presi. Diadakan dalam kaitannya dengan upacara Dewa Yadnya.
Banyak dijumpai di daerah Bangli dan Buleleng.
m. Baris Bajra
Baris yang membawa senjata gada dengan ujungnya berbentuk bajra
(seperti gada Bhima) dan ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya serta dapat
dijumpai di daerah Bangli dan Buleleng.
n. Baris Baris Kupu-Kupu
Sesuai dengan temanya, tari Baris ini melukiskan kehidupan binatang
kupu-kupu dan penarinya mengenakan sayap kupu-kupu, gerakannya lincah
dan dinamis menirukan gerak-gerik kupu-kupu. Hingga kini tari ini ada di
desa Renon dan Lebah (Denpasar).
o. Baris Cina
Tari Baris ini diduga mendapat pengaruh budaya Cina, keunikannya
terlihat dari tata busana (celana panjang dengan baju lengan panjang,
selempang kain sarung, bertopi, berkacamata hitam serta memakai senjata
pedang), geraknya (mengambil gerakan pencak silat), dan iringannya
(gamelan Gong Bheri yaitu Gong tanpa moncol). Tarian ini
menggambarkan pasukan juragan asal tanah Jawa yang datang ke Bali.
Tarian ini ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di desa
Renon dan Belanjong, Sanur (Denpasar).
p. Baris Panah
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa
senjata panah dan ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya, terdapat di
daerah Buleleng dan di Bangli.
q. Baris Gayung
Baris ini ditarikan oleh sekelompok penari yang terdiri dari para
pemangku dengan membawa gayung atau cantil (alat untuk membawa air
suci), ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah
Bangli, Gianyar serta Badung
r. Baris Cerekuak
Tarian yang menggambarkan gerak-gerik sekelompok burung air
(cerekuak) ketika mencari kekasihnya, burung manuk dewata. Para
penarinya memakai busana babuletan (kain yang dicawatkan sampai di atas
lutut) dengan hiasan dari daun- daunan pada sekujur tubuh dan kepala,
hanya ditampilkan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben) dengan Gamelan
pengiringnya Batel Gaguntangan. Tarian baris tersebut terdapat di daerah
Tabanan.
s. Baris Ketujeng
Tari ini menggambarkan sekelompok roh halus yang hidup di tempat
angker yang dimaksudkan sebagai tari pengantar atman orang yang
meninggal menuju sorga, dibawakan oleh sekelompok penari yang
mengenakan busana dari dedaunan. Tari baris ini dipertunjukan dalam
upacara Pitra Yadnya (Ngaben)
t. Baris Omang
Tari Baris yang mempergunakan senjata tombak tetapi gerakannya
perlahan-lahan seperti jalannya siput (Omang), menggambarkan
pertempuran antara pasukan Tegal Badeng (Badung) dengan pasukan
Guwak (burung gagak). Tarian ini sangat disucikan oleh masyarakat
Selulung (Kintamani – Bangli, dan terdapat dalam upacara Dewa Yadnya.
u. Baris Kuning
Merupakan tarian upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh
sekelompok penari pria yang berbusana serba kuning dan bersenjatakan
keris dan tamiang (perisai), terdapat di daerah Buleleng.
v. Baris Kelemet
Tarian ini dibawakan oleh sekelompok penari yang memerankan
para nelayan, dengan senjata semacam dayung dan menggambarkan orang
naik sampan di laut untuk menangkap ikan, tari ini ada dalam upacara
Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Badung.
w. Baris Jojor
Tarian baris yang ditarikan sekelompok penari dengan membawa
senjata Jojor (tombak bertangkai panjang) terdapat dalam upacara Dewa
Yadnya dan ada di daerah Buleleng, Bangli dan Karangasem.
x. Baris Tengklong
Tari yang dibawakan oleh sekelompok penari dengan senjata
pedang, gerakannya dinamis, perkasa dan mendekati gerakan pencak silat.
Khusus ditampilkan dalam upacara di Pura Penambangan Badung, tepatnya
di desa Pamedilan Kodya Denpasar.
y. Baris Tunggal
Tari Baris Tunggal mengisahkan seorang pemuda yang gagah berani
dengan sifat keprajuritan dan kepahlawanan. Tarian ini penuh dengan irama
gerak yang mantap dan tegas wujud sikap seorang prajurit. Tari Baris
Tunggal Bali ini mengejawantahkan seorang ksatria muda Bali yang sedang
meninjau "daerah kekuasaan" ayahnya yang suatu saat akan dipimpinnya.
Penutup kepala berwarna putih, menandakan nilai kesucian dan keluhuran
sebagai pemimpin.
z. Baris Kraras
Tarian Baris Keraras yang biasanya dipentaskan pada saat upacara
Pekelem di Pura Taman Ayun yang jatuh pada anggara keliwon, Wuku
Medangsia (setiap 210 hari sekali). Hal yang unik dari tari Baris Keraras
adalah iringannya dengan menggunakan musik vokal dan kostummnya
(celana, baju, dan gelungan) terbuat dari pelepah pisang, dihiasi dengan
satai lilit dan kekuwung dari kulit babi, awir dari keraras, badong dan
gelang kana dari urutan babi, dan hiasan muka dari kapur yang dibasahi.

4. TARI SANGHYANG
Tari Sanghyang adalah tari sakral, merupakan tari kerauhan karena
kemasukan roh, baik roh dedari maupun roh binatang yang memiliki kekuatan
gaib. Tari ini merupakan warisan budaya pra-Hindu yang bertujuan menolak
bala. Jenis jenis Tari Sanghyang, antara lain :
a. Sanghyang Dedari
Adalah tarian yang dibawakan oleh satu atau dua orang gadis kecil.
Sebelum mereka mulai menari, diadakan upacara pedudusan (pengasapan)
yang diiringi dengan nyanyian atau kecak dengan musik gending
pelebongan, hingga mereka menjadi trance. Dalam keadaan tidak sadar itu,
penari Sanghang diarak memakai peralatan yang lazimnya disebut joli
(tandu). Di Desa Pesangkan, Karangasem, penari sanghyang menari di atas
sepotong bambu yang dipikul, sedang di Kabupaten Bangli penari
sanghyang menari di atas pundak seorang laki-laki. Jenis tari Sanghyang
seperti ini juga dikenal dengan nama tari Sanghyang Dewa.
b. Sanghyang Deling
Adalah tarian yang dibawakan oleh dua orang gadis sambil membawa
deling (boneka dari daun lontar) yang dipancangkan di atas sepotong
bambu. Sanghyang deling dahulu hanya terdapat disekitar daerah Danau
Batur, namun saat ini sudah tidak dijumpai lagi di tempat tersebut. Tarian
yang hampir sama dengan sanghyang deling dapat dijumpai di Tabanan
dan diberi nama sanghyang dangkluk.
c. Sanghyang Penyalin
Adalah tarian yang dibawakan oleh seorang laki-laki sambil
mengayun-ayunkan sepotong rotan panjang (penyalin) dalam keadaan
tidak sadar (trance). Di Bali bagian utara tarian ini bukan dibawakan oleh
seorang laki-laki, melainkan oleh seorang gadis (daha).
d. Sanghyang Cleng (babi hutan)
Adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang
berpakaian serat ijuk berwarna hitam. Ia menari berkeliling desa sambil
menirukan gerakan-gerakan seekor celeng (babi hutan), dengan maksud
mengusir roh jahat yang mengganggu ketenteraman desa.
e. Sanghyang Memedi
Adalah tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang
berpakaian daun atau pohon padi sehingga menyerupai memedi (makhluk
halus).
f. Sanghyang Bungbung
Adalah tarian yang dimainkan oleh seorang perempuan sambil
membawa potongan bambu yang dilukis seperti manusia. Tari sanghyang
bungbung ini terdapat Di Desa Sanur, Denpasar, dan hanya dipergelarkan
pada saat bulan purnama.
g. Sanghyang Kidang
Yang hanya dijumpai di Bali utara, ditarikan oleh seorang
perempuan. Dalam keadaan tidak sadar, penari menirukan gerakan-
gerakan seekor kidang (kijang). Tarian ini diiringi dengan nyanyian tanpa
mempergunakan alat musik.
h. Sanghyang Janger
Dahulu tarian ini dimainkan dalam keadaan tidak sadar dan bersifat
sakral. Namun kemudian mengalami perubahan dan menjadi tari Janger
dengan iringan cak. Tari ini tersebar luas di seluruh pelosok Pulau Bali
dengan makna yang sudah berbeda.
i. Sanghyang Sengkrong
Adalah tarian yang dimainkan oleh oleh seorang anak laki-laki dalam
keadaan tidak sadar (trance) sambil menutup rambutnya dengan kain putih
(sengkrong). Sengkrong adalah kain putih panjang yang biasa digunakan
oleh para leyak di Bali untuk menutup rambut yang terurai.
j. Sanghyang Jaran
Adalah tarian yang dimainkan oleh dua orang laki-laki sambil
menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari rotan dan atau kayu dengan
ekor yang terbuat dari pucuk daun kelapa. Di Bali utara, penari sanghyang
jaran sambil menunggang kuda-kudaan juga mengenakan topeng dan
diiringi dengan kecak. Sedangkan, di Desa Unggasan, Kuta, Kabupaeten
Badung, Tari sanghyang jaran ditarikan secara berkala (lima hari sekali)
pada bulan November sampai dengan Maret, dimana pada bulan-bulan
tersebut diperkirakan wabah penyakit sedang berkecamuk. Selain itu,
sanghyang jaran juga sering ditarikan sebagai kaul setelah sembuh dari
suatu penyakit. Bentuk tari sanghyang jaran yang meniru gerakan kuda,
hampir mirip tarian kuda lumping atau kuda kepang yang ada di Jawa.

b. Tari Babali
Merupakan jenis tarian semi sakral, dapat berfungsi sebagai tari sakral dalam
upacara tertentu dan sekaligus bisa sebagai tari hiburan. Adapun jenis Tari Bebali,
yaitu :

1. TOPENG SIDHAKARYA
Topeng Sidakarya adalah bagian dari pementasan tari topeng yang
mengiringi sebuah upacara besar di Bali. Topeng Sidakarya dianggap sebagai
pelengkap upacara-upacara tersebut. Topeng ini tampil sebagai pamungkas tari
persembahan (wewalen) sebelum acara pemujaan bersama yang dipimpin oleh
Sulinggih dilakukan.Ida Dalem Sidakarya adalah seorang Brahmana wulaka
keturunan sakya dari Keling atau disebut dengan Brahmana Keling. Brahmana
Keling ini merupakan putra dari Dang Hyang Kayu Manis yang merupakan
nabe dari Ida Dalem Waturenggong yang menjadi raja di Bali yang
berkedudukan di Gelgel, Klungkung.
Sebelum pergi ke Bali, Brahmana Keling pernah memimpin upacara
selamatan dengan sukses di Madura. Sekembalinya ke Jawa, ketika beliau
sedang asyik menikmati panorama Selat Bali, datanglah ayah beliau (Dang
Hyang Kayu Manis) yang baru datang dari Gelgel, Bali, dimana Keraton
Gelgel Klungkung diperintah oleh Dalem Waturenggong. Mendengarkan hal
itu, maka Brahmana Keling segera pergi ke Bali.Tak diceritakan perjalanan
dari Jawa ke Bali, sampailah beliau di Keraton Gelgel, Klungkung. Namun
Keraton Gelgel sangat sepi karena Dalem Waturenggong saat itu berada di
Pura Besakih. Brahmana Keling langsung menuju Pura Besakih ingin bertemu
dengan saudaranya, Dalem Waturenggong. Namun sayang sekali Brahmana
ini tidak diakui sebagai saudara karena melihat pakaiannya yang compang-
camping -- dikira orang gila, bahkan diusir dengan paksa.
Sebelum meninggalkan Pura Besakih karena diusir, Brahmana Keling
sempat mengutuk supaya upacara yang diselenggarakan tidak berhasil dan
tertimpa bencana. Akhirnya Pulau Bali diserang wabah dan hama. Berkenaan
dengan bencana ini, Dang Hyang Nirartha menghaturkan upakara untuk
memohon keselamatan, tapi permohonan ini tidak berhasil.
Dengan kegagalan ini maka Dang Hyang Nirartha, setelah
mengadakan pertemuan, baru teringat dengan Brahmana yang mengaku
saudara itu, dan dusuruhlah Dalem Waturenggong untuk memanggilnya
kembali. Kemudian Dalem Waturenggong mengutus rakyatnya mencari
Brahmana Keling sampai ketemu, dan akhirnya Brahmana Keling dijumpai di
Bandanda Negara yang sekarang disebut Desa Sidakarya dimana Pura
Mutering Jagat Sidakarya berada. Setibanya Brahmana Keling di Pura
Besakih, Dalem Waturenggong memohon belas kasihannya agar Pulau Bali
dikembalikan seperti semula, tidak ada bencana dan hama. Begitu pula karya
atau upacara agama dapat berlangsung dengan baik, dengan janji akan
menerima Brahmana Keling sebagai saudara.
Brahmana Keling lantas minta kesaksian yang membenarkan segala yang
diucapkan misalnya ayam hitam dikatakan putih maka ayam hitam menjadi
benar-benar putih, pohon kelapa yang tadinya tidak berbuah dikatakan
berbuah maka benar-benar berbuah. Hama dan wabah pun seketika lenyap
sehingga upacara atau karya yang dilaksanakan itu dapat dilanjutkan dan
berjalan dengan sidakarya atau sukses.
Setelah semua keadaan dapat dikembalikan sesuai dengan yang
diharapkan, maka Dalem Waturenggong mengakui Brahmana Keling sebagai
saudaranya yang diberi gelar Brahmana Sidakarya atau Dalem Sidakarya. Ini
terjadi pada tahun saka 1615. Mulai saat itu Dalem Waturenggong
memerintahkan seluruh rakyat Bali, untuk suksesnya karya atau upacara yang
akan dilaksanakan, agar memohon jatu karya ke Pura Dalem Sidakarya tempat
Brahmana Sidakarya). Di samping itu, pada setiap upacara keagamaan supaya
diadakan pertunjukan Topeng Sidakarya menghaturkan wali Sidakarya sebagai
pelengkap upacara penting umat Hindu di Bali.
Setelah keadaan dikembalikan seperti sediakala oleh Brahmana Keling,
maka Karya Eka Dasa Rudra yang dilaksanakan pada Purnamaning Sasih
Kedasa ± tahun Saka 1437 atau tahun 1515 masehi yaitu pada abad ke-16
lancar dan sukses. Pada Pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra tersebut sekaligus
dipimpin oleh Dang Hyang Nirartha dan Brahmana Keling, karena
sebelumnya Bali pernah dilanda kegeringan maka dalam Karya Eka Dasa
Rudra tersebut juga dilaksanakan Upacara Nangluk Merana.
Berkat Jasa Brahmana Keling yang mampu menciptakan kesejahteraan
alam lingkungan yang lebih baik dari tahun ke tahun, hasil alam yang
melimpah sebagai sarana dan prasana karya sehingga karya dapat
dilaksanakan dengan sukses atau berhasil(Sidakarya) sesuai dengan harapan
Dalem Waturenggong, maka Brahmana Keling dianugrahi gelar Dalem. Mulai
saat itu Brahmana Keling mabiseka “Dalem Sidakarya”. Lalu diadakan
upacara pediksan sebagaimana mestinya.
Saking gembiranya Ida Dalem Waturenggong karena upacara Eka Dasa
Rudra berjalan lancar dan berhasil (Sidakarya) maka selain dianugrahkan gelar
Dalem Sidakarya atas nasihat Dang Hyang Nirartha, Dalem Waturenggong
bersabda yang isinya kurang lebih sebagai berikut: “Mulai saat ini dan
selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan
upacara wajib nunas tirta Penyida Karya yang bertempat di pesraman Dalem
Sidakarya supaya upacara yang dilakukan menjadi Sidakarya(Berhasil), yang
terletak di pesisir selatan Kerajaan Badung (Sidakarya sekarang). Pada
setiap upakara atau sarana upacara disebarkan sarana serba Sidakarya
seperti sayut Sidakarya untuk di banten atau sesajen, tipat sidakarya untuk
makanan kesejahteraan, Tari Topeng Sidakarya untuk wali (keselarasan). Dan
orang yang mengadakan upacara wajib nunas Catur Bija dan Panca Taru
Sidakarya”.

GAMBAR SIDHAKARYA

 Catur Bija yang dimaksud antara lain beras, ketan, beras merah, dan
injin(ketan hitam). Kesemuanya itu secara umum digunakan untuk
penginih – inih karya dan pengingsahan karya, sebagai ajengan catur
dalam kegiatan Yadnya. Jatu ini sebelum dipergunakan ditaruh di
penetegan beras.
 Panca Taru yang dimaksud adalah Cempaka, Sandat yang digunakan
sebagai simbolis jatu untuk wewangunan suci. Yang biasa digunakan
adalah serpihannya (tampalan) untuk jatu api pasepan. Selain dua kayu
tadi, ada juga Kayu Naga Sari yang digunakan sebagai pelengkap
tetandingan banten, Dadap yang digunakan untuk penuntun tirta, berisi
benang tukel, andel – andel, dan uang kepeng, kelapa (kloping, danyuh,
pang, busung atau janur) yang digunakan untuk memasak di dapur,
pengeseng sekah, dan pengeseng penimpungan. Janur atau busung
digunakan untuk semua jejahitan.

Beberapa kayu sekarang susah didapat, maka apapun yang diterima dari
pura dapat digunakan sebagai jatu Panca Taru dari Sidakarya.
Sebagai penghormatan dan kenangan dari peristiwa di atas, selanjutnya
dari ketiga tokoh penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong yaitu
Dalem Waturenggong sendiri, Dang Hyang Nirartha, dan Dalem Sidakarya,
akhirnya Dalem Waturenggong memerintahkan Pasek Akeluddadah untuk
pertamakalinya membuat tapel atau topeng yang menggambarkan Sang Tiga
Sakti atau ketiga tokoh yang berperan penting dalam pemerintahan Dalem
Waturenggong.
Menurut orang yang menulis buku ini, Akeluddadah berasal dari dua kata
yaitu Akelud yang berarti penyucian atau pembersihan(pemarisudha) dan
Dadah yang berarti air atau air suci(tirta). Jadi Akeluddadah berarti tirta
pemarisudha atau penyucian segala bentuk mala atau kotoran yang
disimbolkan dengan topeng yang dipentaskan sebagai tarian sacral pada
sebuah pelaksanaan upacara Yadnya. Karena I Pasek ini berjasa dalam
membuat topeng Akeluddadah, maka beliau disebut dengan Pasek
Akeluddadah. Namun topeng yang dibuat oleh Pasek Akeluddadah belum
diketahui keberadaannya
Demi kesempurnaan upacara Yadnya, sebagai penutup rangkaian upacara
dipentaskan Tari Topeng Sidakarya yang dalam pentasnya dapat dibawakan
dengan seorang diri (memajeg) atau ditarikan oleh lebih dari satu orang
tergantung keadaan. Dalam Tari Topeng Sidakarya, tokoh penting yang
ditampilkan adalah Tokoh Dang Hyang Nirartha sebagai Pendeta, Dalem
Waturenggong sebagai Penguasa/Raja dan Dalem Sidakarya yang disebut
sebagai Sang Tiga Sakti. Adapun ciri – ciri dari topeng Sidakarya adalah
berwarna putih, bermata sipit, giginya agak maju (jongos), berwajah setengah
manusia dan setengah demanik, berambut sebahu, memakai kerudung yang
dirajah, dan penarinya biasanya membawa bokoran berisi canang sari, dupa,
beras kuning, sekar ura, dan sebagainya sebagai symbol kedarmawanan.
Penari topeng sidakarya lalu menari dangkrak – dingkrik dan dilanjutkan
dengan menangkap penonton yang masih anak – anak lalu diberikan uang
kepeng yang artinya kurang lebih sebagai perwujudan mengobati orang sakit
serta memberikan kesejahteraan pada orang lain. Ini juga merupakan simbolis
siklus kehidupan yaitu lahir, kecil, muda, tua, mati. Setelah itu penari
mengucapkan (ngucarang) mantra yang isinya.
“Dadia punang ikang kalan nira, mijil Dalem Sidakarya, kadi gelap
dumereping randu raja menala, gumeter ikang pretiwi apah teja bayu akasa,
lintang tranggana ketekeng surya senjana metu aku saking Mutering Jagat
Sudha butha kala liak, desti teluh trangjana pada nembah tanwani teken aku,
apan aku mawak pemarisudha jagat. Sakuwehing mala, lara, roga, wigena
pada geseng. Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang,
Yang.”

GAMBAR SIDHAKARYA

Setelah nguncarang mantra tersebut dilanjutkan dengan menaburkan


beras kuning yang menyimbulkan pemberian laba kepada para Butha Kala
supaya tidak mengganggu ketentraman hidup manusia, serta menebarkan
kesejahteraan pada umat manusia sehingga terwujud rahayuning jagat. Serta
dibarengi dengan penebaran sekar ura yang merupakan symbol medana –
dana (bersedekah) . Dengan selesainya pementasan Topeng Sidakarya maka
tuntaslah segala rangkaian pelaksanaan upacara Yadnya yang disebut
“Sidakarya”.
Bila kita seorang penggemar pertunjukan topeng Bali, maka topeng
Dalem Sidekarya tidaklah begitu asing kedengarannya. Karena di Bali banyak
terdapat jenis-jenis topeng yang seringkali dipagelarkan baik itu sebagai
hiburan maupun pelengkap upacara yadnya. Topeng keras, topeng monyer,
(topeng bujuh),topeng tua, topeng Dalem, dan topeng Dalem
Sidakarya.Topeng Dalem Sidakarya digolongkan topeng pingit (sacral), dan
hanya dipentaskan dalam suatu karya yadnya tertentu. Jadi tidak sembarang
yadnya topeng ini dapat dipentaskan .
Tapel topeng Sidakarya digambarkan sebagai sosok dengan kulit muka
putih, mata sipit, gigi jongos, dengan warna muka antara manusia dan
demanjk, rambut panjang putih sebahu, mengenakan kekereb(kerudung)
berwarna putih merajah Durgha Murti. Menari dengan gerakan dangkrak
dingkrik. Dengan tampilan tapel seperti itu, maka tampak sekali memancarkan
taksu, medengen, berwibawa, dan berkarisma.
Dalam pagelarannya,topeng Sidakarya sering disebut pula dengan topeng
ngejuk. Karena dalam pementasannya selalu disertai guyonan atau bercanda
dengan ngejuk (memegang) salah seorang anak-anak, dan kemudian diberi
upah barupa pis bolong (uang kepeng). Ini adalah sebagai simbol mengobati
orang sakit dan kemudian diberikan kesejahteraan. Juga sebagai simbolisasi
dari punarbawa yakni kelahiran berulang-ulang. Dengan gerakan yang sangat
sederhana, dengan wajah yang lain dari pada yang lain membuat topeng
Sidakarya sangat yang sebagai sebuah tarian yang sakral.
Dengan gaya tarian yang dangkrak dingkrik dan sambil mengucapkan
mantra sakti sambil nyambehin (menebar) beras kuning yang artinya
memberikan laba (makanan) kepada bhuta kala supaya tidak mengganggu
ketentraman hidup manusia, sehingga diharapkan mendapatkan kerahayuan
jagat. Diiringi dengan menebar sekar ura yang artinya medana-dana
(bersedekah) kepada semua unsur kekuatan bhuta demi kelancaran upacara.
Karena penyelanggaraan topeng Dalem Sidakarya sangat penting artinya
dalam memohon kesejahteraan dunia dan segala isinya, baik sekala dan
niskala, maka sudah seyogyanya untuk mementaskan Topeng Dalem
Sidakarya dalam suatu karya yadnya. Namun sebagai catatan, bahwa sampai
tingkatan yadnya bagaimana, atau jenis upacara apa saja yang perlu
mementaskan topeng Dalem Sidakarya tersebut . Agar topeng yang sakral,
medengen, serta memiliki suatu nilai yang sangat suci dan magis tersebut tidak
menjadi salah tempat dan salah waktu di dalam mementaskannya. Ini
semuanya perlu mendapatkan perhatian. Karena tidak ada sumber yang jelas
mengatur hal tersebut.
Dengan menggelar tari topeng Sidakarya pada suatu yadnya tertentu
diharapkan yadnya yang diselenggarakan dapat barjalan dengan lancar dan
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai atau disebut dengan sidakarya,
labdakarya.

c. Tari Balih balihan


Merupakan jenis tarian hiburan, berfungsi sebagai hiburan masyarakat. Kalau
di area Pura, tarian ini umumnya dipentaskan di panggung atau gedung (wantilan),
area terluar pura (Jaba). Adapun contoh tari belih balihan, yaitu :
1. TARI LEGONG
Tari Legong adalah tarian klasik Bali yang memiliki gerakan yang sangat
kompleks. Gerakan yang terkait dengan musik dari perkusi. “Legong” berasal
dari kata “kaki” yang berarti fleksibel atau elastis, dan kemudian diartikan
sebagai gerakan anggun. Dalam perkembangannya, Legong berkembang
menjadi Legong Kraton.Tarian ini dibawakan oleh dua gadis atau lebih dengan
menampilkan karakter Condong sebagai pembukaan. Dalam situasi berbeda,
Tarian Legong yang dibawakan oleh satu atau dua pasang penari tanpa
menampilkan karakter Condong pertama. Karakteristik tarian Legong yaitu
dengan menggunakan kipas.
2. TARI BARONG
Barong merupakan karakter dalam mitologi Bali. Barong adalah raja dari
roh-roh dan melambangkan “sisi baik”, dan sebagai “sisi jahat” dilambangkan
oleh Rangda. Barong yang paling populer adalah “Barong Ket”, berbentuk
seperti seekor singa. Untuk rekaman videonya, silahkan Anda melihat video
tari Barong di bawah ini.Tari Barong Bali berasal dari Gianyar, yang
merupakan pusat berbagai kesenian Bali. Dalam drama Calonarong atau tarian
Bali lainnya, Barong menggunakan ilmu sihir untuk mengalahkan Rangda.

3. TARI KECAK
Tari Kecak bali diciptakan pada tahun 1930 oleh Wayan Limbak dan
Walter Spies yaitu seorang pelukis yang berasal dari Jerman. Tarian ini
merupakan pengembangan dari tari Sanghyang (merupakan tarian sakral), dari
drama cerita Ramayana. Wayan Limbak mempopulerkan tari Kecak saat
berkeliling dunia dengan penari Bali-nya.Penari Kecak biasanya dibawakan
oleh penari laki-laki. Para penari akan duduk dan membentuk sebuah lingkaran,
mengangkat tangannya, dengan iringan suara dari mulut dengan ritme tertentu
yang disebut “cak”. Mereka bertindak seperti tentara monyet yang membantu
Rama mengalahkan Rahwana yang menculik istrinya yaitu Dewi Sinta. Kostum
para penari yang duduk melingkar mengenakan kain kotak-kotak seperti papan
catur di pinggang mereka. Selain para penari yang duduk melingkar, ada penari
lain yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana seperti Rhama, Shinta,
Hanuman, Jatayu, dan juga Rahwana sebagai peran antagonisnya.

4. TARI JOGED
Tari Joged merupakan tari pergaulan di Bali. Biasanya dipentaskan dalam
acara-acara sosial kemasyarakatan di Bali, seperti acara pernikahan. Tarian ini
ditarikan oleh penari wanita, yang kemudian mencari pasangan pria dari para
penonton untuk diajak menari bersama. Tarian ini awalnya adalah sebuah tarian
pergaulan yang diciptakan oleh para petani kala itu untuk menghibur dikala
sedang istirahat setelah bekerja di lumbung. Tarian ini pun banyak diminati
oleh masyarakat dan menjadi sebuah kelompok-kelompok seni. Persaingan
yang bain dan sehat mengakibatkan para kelompok-kelompok tari berinovasi
dengan berbagai hal termasuk memasukkan unsur goyangan mengajak
pengibing menarik dan seni yang sangat menarik kedalam tariannya. Biasanya
ada suara gamelan bedug di pertengahan yang menandakan pengibing dan
penari siap siap melakukan candaan walau sedikit unsur . tetapi ini sudah biasa
di bali. Tarian ini biasanya diiringi dengan seperangkat musik dari bambu

5. TARI JANGER
Tari Janger adalah salah satu tari Bali yang terpopuler. Diciptakan pada
tahun 1930-an, Janger adalah tari pergaulan muda mudi Bali. Tari ini
dibawakan oleh 10 penari yang berpasangan, yaitu kelompok putri (janger) dan
putra (kecak). Mereka menari sambil menyanyikan Lagu Janger secara
bersahut-sahutan. Merupakan jenis tari kreasi yang lebih baru, Janger
diadaptasikan dari aktivitas para petani yang menghibur diri karena lelah
bekerja. Lirik lagunya diadaptasikan dari nyanyian Sanghyang, sebuah tarian
ritual. Jika dikategorikan dalam Tari Bali, Janger termasuk Tari Balih-balihan,
tarian yang memeriahkan upacara maupun untuk hiburan. Karena populernya,
pada tahun 1960-an, Janger mulai dipentaskan dalam kegiatan berbagai partai
politik, tak terkecuali PKI. Kelompok-kelompok tari Janger mendukung
kampanye pemutusan hubungan RI dengan Malaysia pada tahun 1963.
Presiden Soekarno memberi banyak perhatian kepada tari ini, salah satunya
dengan membawa penari-penari Janger pentas di Istana Tampaksiring. Setelah
peristiwa G30S/PKI terjadi, banyak seniman janger yang dianggap berpihak
kepada PKI dibunuh dan dikucilkan. Masa ini merupakan periode kejatuhan
Tari Janger. Baru pada tahun 1970-an, popularitasnya kembali naik.

6. TARI WIRAYUDA
Wirayudha berasal dari dua kata, yakni wira berarti pahlawan dan yudha
artinya perang. Tari Wirayudha merupakan tari yang bertemakan peperangan
dan menunjukkan kegagahan sosok laki-laki prajurit kerajaan. Tari ini ditarikan
oleh antara 2 sampai 4 pasang penari pria yang membawa senjata tombak. Tari
Wirayudha diciptakan untuk menggambarkan sekelompok prajurit Bali Dwipa
yang sedang bersiap-siap untuk maju ke medan perang. Dalam pementasannya,
para penari mengenakan hiasan ikat kepala berbentuk udeng-udengan. Tarian
ini merupakan seni kreasi tari tradisional modern yang diciptakan oleh I Wayan
Dibia pada tahun 1979 melalui Sanggar Tari Bali Waturenggong.

7. TARI PUSPANJALI
Dilihat dari kata pembentuknya, Puspanjali berasal dari kata puspa
(bunga) dan anjali (sambutan penghormatan) merupakan tari penyambutan
untuk para tamu kehormatan. Tari ini dipentaskan oleh sekelompok penari putri
dengan jumlah penari antara 5-7 orang dengan membawa bokoran (piring
tradisional) yang berisi aneka kuntum bunga harum. Tari Puspanjalai
menampilkan gerak-gerak lembut lemah gemulai yang dipadukan dengan
gerak-gerak ritmis yang dinamis. Tarian ini banyak mengambil inspirasi dari
gerakan tarian Rejang, dan menggambarkan sejumlah gadis yang dengan penuh
rasa hormat menyongsong kedatangan para tamu yang datang ke pulau mereka.
Tari ini diciptakan oleh N.L.N. Swasthi Wijaya (penata tari) dan I Nyoman
Windha (penata tabuh pengiring) pada tahun 1989. Dalam acara-acara besar
tertentu, misalnya pertemuan sejumlah duta besar atau konferensi tinggi di
Bali, tari Puspanjali dijadikan sebagai tari pembuka acara.

8. TARI CENDRAWASIH
Tari Cendrawasih adalah hasil karya seni gerak dari I Gde Manik dan
pertama kali ditampilkan di subdistrik atau kecamatan Sawan di Kabupaten
Buleleng pada 1920an. Tapi tari Cendrawasih yang sering dipertunjukan pada
masa kini adalah hasil olahan koreografi oleh N. L. N. Swasthi Wijaya
Bandem, yang diaransemenkan pada penampilan pertamanya di tahun 1988.
Seperti halnya tari burung Merak dari Jawa Barat, tari Cendrawasih Bali
menggambarkan keindahan burung Cendrawasih. Burung yang merupakan
ikon tanah Papua tersebut dalam masyarakat Bali dikenal sebagai Manuk
Dewata. Tari Cendrawasih pentaskan oleh 2 orang wanita yang berperan
sebagai burung cendrawasih jantan dan cendrawasih betina. Gerak kedua
burung ini ibarat sepasang burung yang memadu kasih. Mereka meliuk-liuk
seperti sedang menari dan juga menyanyi ketika menjelang perkawinan.

9. TARI GOPALA
Tari Gopala merupakan tari tradisi Bali yang menceritakan tingkah laku
sekelompok penggamba sapi di suatu ladang / tempat penggembalaan. Kata
Gopala diambil dari bahasa Kawi yang berarti penggembala sapi. Tari Gopala
ini biasanya dipentaskan oleh 4 sampai 8 orang penari putra. Tarian ini adalah
ciptaan bersama antara I Nyoman Suarsa (penata tari) dan I Ketut Gede
Asnawa (sebagai penata iringan) dengan ekspresi gerakan tari yang humoris
dengan materi gerak yang merupakan perpaduan antara gerak-gerik tari Bali
yang sudah ada yang telah dikembangkan dengan gerak-gerak baru. Tari ini
diciptakan pada tahun 1983 yang diambil dari cerita pragmentari “Stri Asadhu”
karya Ibu Ketut Arini, S.St. Tari Gopala dianggap sebagai tarian yang
bertemakan kerakyatan. Gerak tariannya mencakup aktivitas gerakan binatng
saapi, memotong rumput, menghalau burung, membajak sawah, menuai padi,
dan lainnya.

10. TARI CIWA NATARAJA


Ciwa Nataraja adalah manifestasi Siwa sebagai penari tertinggi alias
Dewanya penari. Gerakan Siwa merupakan pancaran tenaga prima yang
kemudian menyatu sehingga terciptalah alam semesta ini. Begitu menerut
kepercayaan orang Bali. Gerakan Siwa merupakan pancaran tenaga prima yang
kemudian menyatu sehingga terciptalah alam semesta ini. Begitu menerut
kepercayaan orang Bali. Tarian Siwa Nataraja adalah simbol dari agama, seni
dan ilmu pengetahuan digabungkan menjadi satu. Dalam tarian Brahman yang
tanpa akhir dari penciptaan, pemeliharaan dan peleburan, tersembunyi suatu
pengertian yang dalam tentang alam semesta kita. Nataraja, Raja Tari,
mempunyai empat tangan. Tangan kanan atas memegang drum/genderang dari
mana hasil-hasil ciptaan terus keluar tiada hentinya (Tuhan adalah sumber dari
segala ciptaan). Tari Siwa Nataraja yang telah dijadikan tari kebesaran STSI
Denpasar ini ditarikan oleh sembilan orang penari putri: satu orang berperan
sebagai Siwa, sedangkan delapan orang lainnya menggambarkan pancaran
tenaga-tenaga prima dari Siwa. Tarian ini merupakan perpaduan antara tari Bali
dengan beberapa elemen tari Bharata Natyam (India) yang telah dimodifikasi
sehingga terwujudlah suatu bentuk tari yang utuh. Tarian ini diciptakan pada
tahun 1990 oleh N.L.N. Swasthi Wijaya Bandem yang juga sebagai penata
kostumnya dengan penata iringan adalah I Nyoman Widha.
SENI TABUH

Tabuh adalah suatu karya seni yang dikumandangkan dengan alat-alat musik
tradisional. Seni tabuh mempunyai fungsi sebagai pelaksana dan pengiring jalannya
suatu upacara, seperti : Gambang, Saron, Slonding, Angklung, Gender Wayang,
Balaganjur, Bebonangan, dan lain sebagainya.

a. GAMBELAN GONG LUWANG


Gong Luang terdiri dari 2 suku kata yaitu Gong dan Luang. Kata “Gong”
mengacu pada nama salah satu instrument gamelan tradisional Bali yang terbuat
dari bahan perunggu bentuknya bulat seperti nakara, memiliki moncol pada
sentralnya dan moncol itulah yang biasanya dipukul. Ukuran gong ini paling besar
di antara barungannya (unitnya). Fungsinya dalam barungan adalah sebagai finalis
lagu.
Istilah gong juga dipakai untuk memberi nama pada satu barungan gamelan.
Contoh: Gamelan Gong Gede, Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Gong Suling,
Gamelan Gong Beri dan lain sebagainya. Selanjutnya kata “Luang: atau “Ruang”
atau “Rong” berarti ruang atau bidang. Istilah “Luang” ini sangat popular
dipergunakan dalam dunia perundagian (arsitektur tradisional Bali), untuk
menyebutkan nama bidang atau ruang - ruang kosong yang akan diberi hiasan
berupa motif - motif ukiran dan sejenisnya. Istilah “Luang” dipakai juga penamaan
salah satu lagu Gambang yaitu “Menjangan Saluang”. Menjangan Saluang juga
mengacu pada nama salah satu bangunan suci yang terdapat di Merajan/Sanggah
(Tempat Suci keluarga bagi umat Hindu Bali). Di Sumatra, dikenal istilah
“Saluang” untuk memberi nama pada sebuah bentuk instrumen tiup (seruling).
Menurut I Nyoman Raweg (Sudiana, 1982: 4) istilah “Luang” berarti kurang.
Dalam hal ini dikatakan mengatan bahwa apabila unit gamelan tersebut kurang
lengkap maka dinamakanlah Gong Luang. Tetapi, lebih lanjut Raweg mengatakan
bahwa pendapat ini pun ternyata simpang siur. Pendapat lain menyatakan bahwa
justru barungan yang lengkaplah bernama Gong Luang sedangkan yang kurang
bernama “Saron” yaitu terdiri atas saron, gangsa jongkok besar dan gangsa
jongkok kecil. Kelompok masyarakat lain mengatakan bahwa lengkap atau tidak
barungan itu tetap saja namanya Gong Luang.
Terlepas dari pengertian “Luang” yang terpisah - pisah serta terkesan
simpang siur tersebut. Pengertian Gong Luang yang dimaksud dalam deskripsi ini
tidaklah dalam artinya yang simpang siur itu bahwa yang dimaksud dengan Gong
Luang secara umum adalah barungan gamelan yang terdiri dari 7 (tujuh) nada. 5
(lima) buah nada sebagai nada pokok dan 2 buah nada sebagai nada pemero
berlaraskan pelog miring. Bentuk gamelan Gong Luang serupa dengan gamelan
gong kebyar hanya saja Gong Luang terdiri dari 8 (delapan) atau 9 (sembilan)
instrument sedangkan Gong Kebyar terdiri dari 25 sampai 30 instrumen.
Sebagaimanina diinformasikan di atas, bahwa dalam Gong Luang terdapat 5 buah
nada pokok dan 2 buah nada pemero. Meskipun demikian, pada suatu saat semua
nada tersebut berfungsi sebagai nada pokok tergantung pepatutan yang dipakai.

b. ANGKLUNG
Gamelan yang tergolong tua dan dipergunakan untuk mengiringi upacara
upacara Ngaben. Nama angklung berasal dari angklung bambu sejenis instrument
yang juga digunakan dalam barungan. Angklung mempunyai 4 bilah dan sekaligus
mempunyai 4 nada. Dan ada pula jenis angklung yang mempergunakan 7 nada
yang terdapat di Bali Utara, yang di sebebut dengan Gamelan tembang Kirang.
Tembang kirang di samping untuk mengiringi upacar kematiaan juga di
pergunakan untuk mengiringi tarian-tarian upacara seperti : Rejang dan Baris.
Gamelan angklung tergolong gamelan yang tua, dan bisa juga di katakana sacral
karena memiliki fungsi yaitu mengiri upacara Pitra Yajna (ngaben). Dan hampir
semua Daerah di Bali menggunakan gamelan Angklung untuk mengiri upacara
kematian

c. GENDER WAYANG
Gender Wayang adalah gamelan yang di pakai unutk mengiringi pertunjukan
wayang kulit purwa di Bali. Gamelan gender wayang diklarifikasikan kedalam
music golongan tua yang terdiri dari dua sampai empat buah gender, dengan
memakai 10 bilah da berlaras slendro. Dan jika untuk mengiringi wayang Wong,
gender-gender tersebut di tambah dengan sepasang kendang, sebuah kempul, ceng-
ceng, kajar, kelenang, dan beberapa alat pukulnya. Dan didalam pertunjukan
wayang kulit yang lengkap biasnya memakai kurang lebihnya 10 jenis motif
gending. Dan ada pun jenis-jenis gending tersebut yaitu:
1. Petegak
Di dalam gending-gending petegak ini terdiri dari berjenis-jenis komposisi
Kuna dan Baru : gending Sekati, Sekar Genota, Sekar Sungsang, dan lain-lain.
2. Pemungkah
Gending ini sangat panjang biasanya dari 45-60 menit dan terdiri dari
bermacam-macam gending seperti : Gending Brayut, Tulang-Lindung, Jojor,
Omang-omang. Pemungkah ini mengiringi dalang di dalam melakukan hal-hal
seperti : pesembahyangan, pemungkah kropak, dalang memulai pertunjukan
Wayang, dan dalang menaruh gunug di sebelqah kanan.
3. Petangkilan
Dalam pertunjukan lengkapa dengan dua gending yaitu : Arum dan Rundah.
4. Pengalang Ratu
Merupakan pendahuluan dan pengenalan masing-masing tokoh didalam
pewayangan dan di pakai sebelum di alog di mulai.
5. Angkatan-angkatan
Gending yang bebrbentuk astinato dan terdiri dari 8 ketut.
6. Rebong
Sebagai eksprisi romantic di dalam pewayangan, yang terdiri dari 2 yaitu
tenang dan hidup.
7. Tangis
Dalam mengiri suasana sedih dan ada dua macam yaitu : Masem yaitu gending
suasana sedih dan Bendhu Semara, yaitu untuk mengiri tokoh keras dan gagah.
8. Tunjang
Gending-gending ini berkarakter keras dan dipakai untuk mengiri para raksasa.

9. Banttel
Lagu ini berbentuk ostinato yang terdiri dari dua nada. Suasanya sangat
bersemangat dan di pakai untuk mengiri adengan perang.
10. Panyudamala
Gending ini di mainkan setelah pertunjukan wayang, untuk pengeruwatan dan
biasannya diawali dengan sebuah gending tabuh gari.

d. GAMBUH
Sebuah gamelan untuk mengiringi drama tari Gambuh, dan merupakan sumber
dari beberapa gamelan yang ada di Bali. Seperti nada, gambelan Gambuh masih
terdengar pada gamelan-gamelan lainnya seperti : Semarpagulingan, gamelan
Pelegongan, gamelan Bebarongan, gamelan Pearjaan, gamelan Gong Kebyar dan
yang lainnya. Dan gending-gending pada Gambuh terdiri dari dua ko komposisi,
yaitu pengawak dan pengecet. Gending-gending Alus di pakai pada pengawak, dan
di ikuti dengan pengcet atau bentuk-bentuknya A dan B. Sedangkan gending-
gending keras di mulai denfan pengecet, pengawak. Dan pengecet atau yang di
sebut dengan bebatuaran pengadeng. Gamelan gambuh ini bisa dilongkan sebagai
hiburan karena di lihat dari fungsinya yaitu : untuk mengiringi beberapa macam
Drama Tari. Karena Drama Tari itu sifatnya hiburan atau yang biasa di katakana
sebagi pertunjukaan. Gamelan Gambuh ini juga memiliki peran yang sangat
penting Drama Tari yang sedang dipentaskan. Karena gamelan Gmabuh ini sebagi
music pengiring dari cerita, yang memperkuat alur cerita. Misalnya dalam Drama
Tari Pengarjaan atau Drama Gong. Apabila yang keluar itu Raja atau Putri, maka
gamelannya akan berbeda dengan yang lainnya. Biasanya lebih lembut. Namun
kalau yang keluar itu adalah Agung Buduh, maka gamelannya pun akan keras.

e. SEMARPAGULINGAN
Adalah relasi untuk Raja-raja jaman dulu, teletak antara gamelan Gambuh dan
Legong. Smarpegulingan di pakai untuk mengiringi Raja-raja sewaktu di peraduan
yang juga mengiringi tari Legong dan Gandrung yang semula di lakuakan oleh
abdi-abdi Raja. Gamelan Smarpegulingan memakai laras pelog 7 nada, terdiri dari
5 nada pokok dan 2 nada pemero.
Kesamaan unsur-unsur gamelan pegambuhan dengan gamelan smar
pagulingan yang paling menonjol adalah kesamaan ini secara otomatis
menyangkut sebagian besar unsur musikal terutama unsur lagu , pola melodi dan
ritme,dinamika juga pola permainan instrumen-instrumen pengatur matra dan
instrumen-instrumen ritmis. Kesamaan yang lain adalah penggunaan sebagian
besar instrumen ritmis dan pengatur matra. Beda penggunaan instrumen dalam
gamelan smarpagulingan dengan gamelan pengambuhan hanya terletak pada
instrumen-instrumen melodisnya. Kalau gamelan pengambuhan menggunakan
suling besar, gamelan smarpagulingan menggunakan trompong dan keluarga gang (
saron yang digantung) sebagai instrumen melodis. Rebab yang dalam gamelan
pengambuhan sebagai pemegang melodi pokok bersama-sama suling, dalam
gamelan smarpagulingan hanya untuk memperkaya dan memperpanjang durasi
melodi. Pola permainan rebab dan suling dalam gamelan smar pagulingan telah
mempunyai pola tersendiri dalam merealisasi melodi-melodi pokok yang
dimainkan oleh trompong.
Trompong dan Gangsa sebagai instrumen melodis dalam gamelan
Smarpagulingan dapat digunakan untuk memainkan hampir semua repertoar
pengambuhan berikut dengan ragam patetnya. Trompong adalah instrumen
bermoncol (masuk keluarga gong), yang ditempatkan berjejer mulai dari yang
bernada rendah hingga yang tertinggi. Dalam satu pangkon terdiri dari 14-16
moncol satu nada. Gamelan Smarpagulingan juga memiliki sistem pelarasan pelog
tujuh nada ( saih pitu),ini berarti ada dua oktaf (gemyangan) nada dalam instrumen
trompong tersebut.instrumen –instrumen keluarga gangsa mulai yang bernada
terendah seperti jegogan,jublag,gangsa pemade,dan gangsa kantilan dalam satu
pangkon hanya terdiri dari tujuh bila nada.
Kesamaan jenis, bentuk fisik, ukuran instrumen dan fungsi terhadap
perangkatnya secara langsung menyebabkan cara memainkannya juga sama. Lain
halnya dengan instrumen melodis pada gamelan Smarpagulingan sangat berbeda
dengan instrumen melodis gamelan pengambuhan, yang ini tentu menyebabkan
cara permainan instrumen yang berbeda pula. Kalau dalam gamelan pengambuhan
instrumen melodis pokok dimainkan dengan cara ditiup,dalam gamelan Smar
Pagulingan instrumen melodis pokok(trompong) dimainkan dengan cara dipukul
dengan sepasang panggul (alat pemukul) .
Kesamaan bentuk musikal terutama repertuar lagu dan hubungkait antara
gamelan Smarpegulingan dengan gambelan pegambuhan juga diperkuat oleh
deskripsi yang terdapat dalam lontar Prakempa dan Aji Gurnita sebagai
berikut:’’nyata gegambelan semar pegulingan ngaran semara aturu,gendingnya
pegambuhan maka gegambelan barong singa’’(Dan itu gamelan semar pegulingan
artingya atau bernama semara aturu,lagunya pegambuhan untuk mengiringi tari
barong singa). gamelan semar pegulingan di Bali bukanlah gamelan khusus iringan
tari tertentu. Gamelan semar pegulingan biasanya dimainkan sebagai musik
protokoler pada upacara-upacara adat dan keagamaan selain itu tari barong singa.
Adanya kesamaan hampir semua repertuar lagu pegambuhan dengan
gamelan semar pegulingan bukan berarti gamelan semar pegulingan tidak memiliki
ciri musikal. Perbedaaan jenis, bentuk, bahan, dan tekhnik permainan instrumen-
instrumen melodi Smarpegulingan menyebabkan lagu-lagu pegambuhan
menyesuaikan diri dengan medianya yang baru.
Gamelann pegambuhan dan semar pegulingan sama-sama menganut sistem
pelarasan pelog tujuh nada. Apabila gamelan pegambuhan mampu menurunkan
lima macam patutan (patet). Kelima patet tersebut memiliki nama yang sama
dengan tetekep yang ada pada gamelan pegambuhan yaitu patet slisir, tembung,
sundaren, baro, dan patet lebeng. Prinsip patet kedua gamelan pada dasarnya sama,
yaitu pada nada yang jumlahnya tujuh terbagi menjadi dua macam yaitu lima nada
pokok dan dua nada pemero. Karakter masing-masing patet dalam gamelan
Smarpegulingan kendatipun telah berbeda warna musikalnya dengan pegambuhan
ternyata juga dapat menampilkan kesan yang serupa. Seperti misalnya patet slisir
berkarakter halus,tembung berkarakter keras,dan patet sundaren berkarakter antara
halus dan keras.
Jadi banyaknya unsur kesamaan antara gamelan Smarpegulingan dan gamelan
Pegambuhan menyebabkan gamelan Smarpegulingan ini juga sering digunakan
untuk mengiringi drama tari Gambuh. Bila dari fungsinya antara Smarpagilingan
dengan Gambuh, yaitu Gamelan yang ditujukan guna mengiri Drama Tari dalam
Gamelan Pegambuhan dan untuk mengiringi Raja-raja dalam Smarpagulingan.
Makan di antar keduanya memilki kesamaan dan dapat pula Smarpagulingan di
pakai mengiri Drama Tari, seperti saat Raja keluar.

f. PALEGONGAN
Gambelan pelegong yaitu salah barungan gamelan Bali yang biasanya dipakai
untuk mengiringi tarian legong keraton. Gamelan ini memakai panca nada. Dan
gamelan ini menyerupai Smarpagulingan dan Gambuh. Dan adapun gending-
gending Lelegongan yang masih terpelihara, antaralain: Lasem, Pelayon, Candra
Kanta, Kuntir, Kuntul, Jobog, Guak Macok, Legod Bawa, Tangis, Kupu-kupu
Tarum, Brahmara, Semarandana, Gedung Melati, dan lagu-lagu lain seprti
Gambangan.
Kesatuan barungan ini terdiri dari pada jumlah alat-alat yang mempnyai
nama-nama tersendiri dan fungsi terhadap kesatuan barungannya. Jenis alat yang
pernah dipakai atau samapai kini masih dipergunakan untuk menjadikan barungan
gamelan pelegongan.
Gamelan pelegongan itu kalau dilihat bangun instrumennya kemudian bentuk-
bentuk lagunya yang menunjukan ciri-ciri keasliannya ,maka dapatlah diyakinkan
bahwa gamelan pelegongan itu tidak termasuk pada kelompok gamelan-gamelan
jaman kono (gamelan tua) di Bali. Gamelan pelegongan itu baru ada setelah adanya
gamelan semar pegulingan yang berlaras pelog tujuh nada.
Dengan majunya perkembangan yang diiringi dengan gamelan gong kebyar
menyebabkan gamelan pelegongan itu tedesak sehingga banyak yang dilebur
dijadikan gamelan gong kebyar. Tari-tarian yang diiringi dengan lagu-lagu gong
kebyar sebagian besar dasar-dasar tariannya diambil dari legong yang suah ada
sebelumnya.

g. BEBARONGAN
Pengikitut, tromping kecil atau gender kecil yang nadanya satu oktaf tinggi
dari instrument yang mendahuluinya. (Bandem I Made. 1986:2). Gamelan Barong
pada umumnya fungsinya untuk mengiri tarian Barong. Yang biasanya gamelan ini
berisi cerita karena tarian barong ada yang bericita. Gamelan barong mengikuti
cerita dari barong yang di tarikan. Pada saat perang maka gamelannya keras.

h. JOGED PINGITAN
Joged Pingitan adalah gamelan bamboo yang berlaras pelog di pergunakan
untuk mengiringi tari Joged Pingitan atau gandrung. Gamelan joged pingitan sama
dengan gamelan Gandrung. Jadi gamela Jogen Pingitan, yang ditarikan di pura atau
tempat yang tertentu, dan bukan untuk hiburan seperti tarian Joged yang biasa.

i. GONG GANGSA JONGKOK


Sebutan umum untuk instrument-instrumen seperti gender, giying, pemade,
kantil, jublag, dan jegogan. Ada dua jenis gangsa yaitu gansa gantung(bilahnya di
gantung) dan gangsa jongkok(bilahnya dipaku pada resonator).

j. BABONANGAN
Nama lainnya adalah ponggang atau babonangan, sebuah barungan yang
terdiri dari beberapa instrument pukul yang memakai pencon, seperti reong,
trompong, kajar, kempli, kempur, dan gong. Gamelan bonang memakai dua buah
kendang yang dimainkan memakai panggul. Adapun repertoire dari gamelan
bonang ini ialah sejenis lagu-lagu gilak, dimana trompong baik fungsi sebagai
pembawa melodi, kendang sebagai pemurde irama, kajar, kempli, kempur, dan
gong sebagai pemangku lagu sedangkan reong memainkan kotekan. Gamelan
bonang dipakai untuk mengiringi pawai adat.

k. RINDIK GANDRUNG
Rindik adalah gamelan bamboo yang berlaras pelog di pergunakan untuk
mengiringi tari Gandrung atau Joged Pingitan. Dan Gandrung adalah Gamelan
yang di pakai untuk mengiringi tarian Gandrung dimana gamelan ini sama
bentuknya dengan Gamelan Joged Pingitan. Jadi gamelan Rindik Gandrung itu
adalah gamelah yang di gunakan untuk mengiringi Tarian Gandrung atau Jogen
Pingitan.

l. GONG KEBYAR
Sebuah barungan yang dipakai untuk mengiringi kebyar dan concert gamelan
semata-mata tergolong music ciptaan baru. Kebyar timbul di singaraja sekitar
tahun 1915, gong kebyar tak lain dari gong gede yang di hilangkan beberapa
instrumennya, diantaranya ialah instrument trompong. Gangsa jongkok yang
berbilah 5 dalam gong gede diubah menjadi gangsa gantung yang memakai 10
bilah. Cengceng yang terdiri dari 5-6 pangkon dalam gong gede, pada gong kebyar
dipakai 1 pangkon saja. Kendang yang semula dimainkan dengan panggul kini
diganti dengan tangan saja, sehingga berjenis-jenis perbendaharaan bunyi kendang
bisa di timbulkan. Gong kebyar menggunakan laras pelog 5nada, tetapi tiap-tiap
instrument memakai 10-12 bilah. Bentuk lagu-lagu gong kebyar lebih bebas dari
lagu-lagu klasik, kendatipun pada bagian-bagian tertentu masih di pergunakan
hukum-hukum tabuh klasik seperti tabuh 2, tabuh 3, dan sebagainya.

m. PEJANGGERAN
Gamelan Janger memakai laras Selendro, dengan laras gender wayang yang di
pakai. Sedangkan dari reportoirennya diambil lagu-lagu janger. Dimana memakai
instrumennya mengguanakqan 2 buah tangguh gender wayang, 2 buah kendang
krumpung, 2 -4 buah suling, 1 buah kajar, 1 buah tawa-tawa, 1 buah kelenang, 1
buah rebana, 1 buah pangkong ceng-ceng. (Gamelan golongan Baru yang dipakai
untuk mengiringi tari Janger, adalah sebuah tarian sosial di Bali.

n. JOGED BUNG BUNG


Gamelan yang tergolong baru, yang di gunakan untuk mengiringi tarian Joged
Bumbung. Suatu tarian sosial di Bali, di mana seoarang penari wanita menjawat
seorang penonton unutk di ajak menari di panggung. Gamelan Joged Bungbung
disebut juga gamelan gerakan tangan, karena pokok-pokok instrumennya adalh
Gerantang, yaitu gender yang terbuat dari bamboo, berbentuk bung-bung dan
memakai laras slendro 5 nada. Larasnya serupa dengan laras gamelan gender
wayang.

o. GONG SULING
Gamelan yang berisi barungan yang terdiri dari 30 buah suling, menirukan
orkestrasi dari Gong Kebyar. Lagunya diambil dari reportoir Gong Kebyar dan
dapt dipakai untuk mengiringi tari kebyar. Yang terdiri dari suling besar, menengah
dan kecil, yang berfungsi sebagai jegogo, calung, pamade dan kantil dalam
gamelan Gong Kebyar.

p. GEGUNTANGAN
Gamelan yang dipakai untuk mengiringi Dramatari Arja. Sesuai dengan
bentuk Arja yang mengutamakan melo Drama dan tembang, maka gamelan yang
mengiringi sangat lirih pula, sehingga tembang-tembang itu dapat di dengar jelas
oleh penonton.

q. BALEGANJUR
Baleganjur salah satu jenis aliran gambelan di Bali. Baleganjur biasanya
diterapkan pada upacara keagamaan dan adat agama hindu di Bali. Baleganjur
memiliki ciri khas pada penggunaan "ceng-ceng", Istilah Baleganjur berasal dari
kata Bala dan Ganjur. Bala berarti pasukan atau barisan,Ganjur berarti berjalan.Jadi
Balaganjur yang kemudian menjadi Baleganjur yaitu suatu pasukan atau barisan
yang sedang berjalan,yang kini pengertiannya lebih berhubungan dengan sebuah
barungan gamelan
Gamelan Baleganjur pada awalnya difungsikan sebagai pengiring upacara
ngaben atau pawai adat dan agama.Tapi dalam perkembangannya,sekarang peranan
gamelan ini makin melebar.
Kini gamelan baleganjur dipakai untuk mengiringi pawai kesenian,ikut dalam
iringan pawai olah raga,mengiringi lomba laying-layang,dan ada juga yang
dilombakan. Baleganjur adalah sebuah ensamble yang merupakan perkembangan
dari gamelan bonang atau bebonangan.
Baik dari segi instrumentasinya maupun komposisi lagu-lagunya.
Bonang atau bebonangan adalah sebuah barungan yang terdiri dari berbagai
instrument pukul(percussive) yang memakai pencon seperti reong,trompong
kajar,kempli,kempur,dan gong. Gamelan bonang memakai dua buah kendang yang
dimainkan memakai panggul cedugan. Dalam lontar Prakempa disebutkan bahwa
gamelan bonang dipakai untuk mengiringi upacara ngaben.Sama kasusnya dengan
gamelan baleganjur yang pada umumnya dipakai untuk mengiringi upacara
ngaben.
- Instrumen dalam Baleganjur terdiri dari :
1 buah Kendang lanang
1 buah Kendang wadon
4 buah Reong (Dong, Deng, Dung, Dang)
2 buah Ponggang (Dung, Dang)
8-10 buah cengceng
1 buah Kajar
1 buah Kempli
1 buah Kempur
1 pasng Gong (Lanang-Wadon)
1 buah Bende

SENI SUARA (DHARMAGITA)

Istilah Dharma Gita berasal dari kata Dharma dan Gita. Dharma artinya :
kebenaran, agama atau keagamaan, sedangkan Gita berarti nyanyian atau lagu. Jadi
Dharma Gita berarti suatu lagu atau nyanyian kesucian yang secara khusus dilagukan
pada saat-saat pelaksanaan upacara agama hindu. Dharma Gita dapat dilakukan oleh
setiap orang guna memberikan puji-pujian dan sekaligus merupakan sarana untuk
memberikan puja-pujaan kepada Sang Hyang Widhi.Orang yang sering melagukan
nyanyian keagamaan biasanya memilih lagu yang sesuai dengan upacara yadnya yang
dipersembahkan pada saat itu.
Menurut Parmajaya ( 2007:4 ) ditanyakan bahwa seni suara dalam ungkapan
seni vokal biasanya disebut dengan istilah Dharmagita. Dharma gita merupakan
merupakan salah satu budaya Hindu yang harus dikembangkan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan beragama. Melalui pengucapan Weda Mantra oleh para pendeta
Hindu, dan Gita dinyanyikan pada setiap pelaksanaan Upacara Keagamaan.
Menurut Warjana ( 2001:16 ) pengucapan Gita yang tepat akan dapat
menggetarkan hati nurani yang paling suci. Budhi nurani yang paling suci akan dapat
menguasai pikiran atau manah. Manah yang kuat pasti akan dapat mengendalikan
indria, serta indria yang terkendali akan dapat mengarahkan perbuatan manusia untuk
selalu berpegang pada ajaran dharma atau kebenaran. Dharma Gita sebagai nyanyian
ketuhanan, karena irama lagu dan variasinya akan dapat membantu umat Hindu dalam
menciptakan suasana yang khusuk, hening, dan khidmat, yang dipancari sinar kesucian
sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan.
Dharmagita berasal dari bahasa Sansakerta dan terdiri dari dua kata yakni
Dharma dan Gita.Dharma artinya kebenaran/kebaikan, kewajiban, hukum,
aturan.Sedangkan Gita artinya nyanyian/lagu.Jadi, Dharma Gita berarti suatu nyanyian
kebenaran yang biasa dilantunkan saat upacara keagamaan. Dharma Gita juga diartikan
sebagai suatu seni keagamaan yang menggunakan media suara atau vocal dalam agama
Hindu. Di dalamnya terdapat syair-syair yang sudah di ringkas sedemikia rupa dan
penuh dengan ajaran keagamaan, kemudian dilantunkan dengan suara yang amat
mempesona.Pelaksanaan Dharma Gita dilaksanakan pada upacara yadnya yang
lagunya telah disesuaikan dengan masing-masing yadnya yang dipersembahkan.
Dharmagita merupakan salah satu media kesenian yang sangat menunjang
dalam pemahaman ajaran agama dan meningkatkan kesadaran rohani. Hendaknya
pembinaan kehidupan keagamaan di Indonesia dilakukan dengan mengembangkan
serta memanfaatkan kesenian di masing – masing daerah, agar masyarakat lebih
semarak dalam memahami agamanya.
Mengenai sejarah tembang Bali masih sulit untuk ditafsirkan.Hal ini disebabkan
oleh kebiasaan lisan (oral tradisional), suatu secara belajar dari mulut ke mulut.Pada
saat ini masih ada tembang yang dinotasi didalam lontar, tetapi belum cukup untuk
mengungkapkan kapan tembang itu lahir di Bali.Dalam perkembanganya di Bali,
sastra tembang disebut juga Dharmagita.Dharmagita berasal dari bahasa Sansakerta
dan terdiri dari dua kata yakni Dharma dan Gita.Dharma artinya kebenaran/kebaikan,
kewajiban, hukum, aturan.Sedangkan Gita artinya nyanyian/lagu.Jadi Dharmagita
adalah nyanyian atau kidung suci keagamaan yang merupakan salah satu bagian dari
sad dharma sebagai kewajiban dalam pelestarian seni budaya Hindu. Dharma Gita juga
diartikan sebagai suatu seni keagamaan yang menggunakan media suara atau vocal
dalam agama Hindu. Di dalamnya terdapat syair-syair yang sudah di ringkas sedemikia
rupa dan penuh dengan ajaran keagamaan, kemudian dilantunkan dengan suara yang
amat mempesona.Dharmagita sangat berperan dalam kegiatan upacara agama sebagai
pencurahan perasaan bakti dan pembimbing pikiran menuju suatu kebenaran.Hal ini
dikarenakan Dharmagita mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, dan
pelukisan kebesaran Tuhan dalam berbagai manifestasiNya.
Dharma Gita merupakan bagian dari Panca Gita yang dibunyikan pada saat
pelaksanaan yajna. Panca Gita adalah lima jenis suara atau bunyi yang mengiringi atau
menunjang pelaksanaan yajna. Panca gita terdiri dari:
1. Getaran Mantram
2. Suara Genta
3. Suara Kidung
4. Suara Gamelan
5. Kentongan (Kulkul).
Kelima suara panca gita memberikan vibrasi keheninga, kesucian spiritual
serta menumbuhkan imajinasi, kreativitas serta sebagai maha karya adi luhur.

- MANFAAT DHARMAGITA
Dharma Gita sebagai media untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan
beragama sangat efektif. Oleh karena itu penyampaian materi ajaran dijalin demikian
rupa dalam bentuk lagu/irama yang indah dan menawan, mempesona pembaca dan
pendengarnya. Usaha untuk melestarikan, mengembangkan dharma gita bertujuan
untuk tetap menjaga dan memelihara warisan budaya tradisional yang diabadikan
kepada keagamaan. Disamping itu melalui dharma gita diharapkan akan mampu
memberikan sentuhan rasa kesucian kekhidmatan serta kekhusukan dalam pelaksanaan
kegiatan keagamaan.
Melalui Dharma Gita seseorang dapat :
1. Menghayati ajaran agama secara mendalam sehingga perasaan, pikiran, dan
budhinya menjadi halus.
2. Lagu-lagu keagamaan yang dinyayikan dalam Dharma Gita dapat menggetarkan
alam rasa dan meningkatkan Sradha Bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa serta
prabhava-Nya
Sehubungan dengan pelaksanaan Dharmagita dalam upacara agama Hindu,
renungkanlah mantra berikut:

“Gayo sa sasravartani“ (Sama Weda 8.29).

Artinya;
Kami menyanyikan mantra-mantra Samaweda dalam ribuan cara.

“Ubhe vacau vaditi samaga iva, gayatram ca traistubham canu rajati”


(Regweda II.43.1).

Artinya;
Burung menyanyi dalam nada-nada seperti seorang pelafal Sama Weda, yang
mengindungkan mantra dalam irama Gayatri dan Tristubh.

3. Mengendalikan diri dari pengaruh Adharma.


4. Melestarikan Budaya.
5. Sebagai penunjang pelaksanaan yadnya.
6. Sebagai alat komunikasi, yaitu Komunikasi Bagi seorang Bhakta untuk lebih
mendekatkan dirinya kepada Brahman dapat dilakukan dengan menggunakan
“Kirtana” yaitu melagukan/menyanyikan lagu – lagu Ketuhanan secara terus
menerus.

- BAGIAN BAGIAN DHARMAGITA


Untuk mempermudah mempelajari dan menghayati Dharmagita, serta
penerapannya dalam masyarakat. Maka Dharmagita dikelompokkan pada bagian-
bagian dibawah ini:
1. Sekar Rare (Gending Rare)
Seiring dengan perjalanan waktu, Lagu Bali terus berkembang dengan grafik
yang sangat tidak stabil karena terpengaruh oleh situasi negara yang tidak
menentu yang sangat menyulitkan para seniman lagu Bali untuk membuat sebuah
karya. Pada dasarnya, Bali tidak hanya kaya akan aneka ragam tarian atau
upacara-upacara adatnya yang begitu kompleks. Namun juga kaya akan lagu-lagu
atau tembang tradisonalnya yang kelak akan tergerus zaman. Untuk itulah disini
kita memiliki peran untuk melestarikannya.Berbagai jenis tembang yang dimiliki
oleh Bali mempunyai struktur serta fungsi yang berbeda-beda.Masyarakat Bali
membedakan seni tembang ini menjadi empat kelompok, yakni gegendingan,
sekar alit, sekar madya, dan sekar agung. Pada kesempatan ini, saya akan
membahas salah satu dari empat kelompok ini yaitu gegendingan.
Gending Rare atau Sekar Rare mencakup berbagai jenis lagu-lagu anak-anak
yang bernuansa permainan.Jenis tembang ini pada umumnya memakai bahasa
Bali sederhana, bersifat dinamis dan riang, sehingga dapat dilagukan dengan
mudah dalam suasana bermain dan bergembira.
Adapun contoh Gending yang termasuk Sekar Rare yaitu:

1. Juru Pencar
Juru pencar juru pencar
Mai jalan mencar ngejuk ebe
Be gede gede
Be gede gede
Di sawana ajaka liu

2. Meong-meong
Meong meong alih ja bikule
Bikul gede gede
Buin mokoh mokoh
Kereng pesan ngerusuhin
Juk meng… Juk kul..

3. Kaki Uban
Kaki kaki to ngudamabok
Di betencunguhe ken dijagute
Nekedkapipinnebekmisiebok
Buinputihbukakapase

Apa kaki to mulaketo


Mabuluuling di maralekade?

Tusingcening kaki majenggotreko


Kaki tuamarayamentik

4. Ratu Anom
Ratuanommetangimailenilen2x
Dong pirenganmunyinsulinge di jaba2x
Enyenentomanyuling di jabatengah2x
GustiNgurah Alit JambePamecutan 2x
5. Bibi Rangda
Bibi bibi rangda apang durus karyan
Bibi mejauman kelod kangin jumah dane jegeg leseng
Suba jani keto tiang ngaba aled munyi
Sesanganan kaon jaja sirat kekuluban bungan duren
Duren duren ijo semangkane kuning gading
Kanti lampa nguda salak nangka kaliasem mangeronce

6. Dadong Dauh
Dadong dauh ngelah siap putih
Suba metaluh reka
Minab ada limolas taluhne
Nangih lacur ada nak nepukin
Anak cerik cerik
Anak cerik cerik
Keliwat usil ipun

2. Sekar Alit
Sekar alit juga disebut macapat. Macapat dalam bahasa Jawa berarti suatu
sistem untuk membaca syair tembang atas empat-empat suku kata.Di Bali
tembang macapat sering disebut dengan pupuh yang berarti rangkaian tembang
(Budiyasa dan Purnawan, 1998: 8). Pupuh di Bali dikenal sepuluh buah sebagai
macapat asli, seperti Pupuh Sinom, Pupuh Semarandana, Pupuh Pangkur, Pupuh
Pucung, Pupuh Ginada, Pupuh Ginanti, Pupuh Durma, Pupuh Maskumambang,
Pupuh Dandanggula, dan Pupuh Mijil.Pupuh yang dirangkai dalam sebuah cerita
disebut geguritan. Akan tetapi, selanjutnya muncul beberapa pupuh baru yang
berasal dari kidung, seperti Jurudemung (Demung), Gambuh, Magatruh, Tikus
Kapanting, dan Adri. Belakangan muncul beberapa geguritan yang memiliki
beberapa tema, yaitu Geguritan Tamtam, Geguritan Basur, Geguritan Ni Sumala,
Geguritan Pakang Raras, Geguritan Durma, Geguritan Sucita, dan sebagainya.
Pupuh juga memiliki beberapa variasi yang beranekaragam, sesuai dengan
alur cerita dalam geguritan, misalnya pupuh Sinom memiliki beberapa variasi
yaitu pupuh Sinom Uug Payangan (ditembangkan dalam Geguritan Uug
Payangan); pupuh Ginada memiliki variasi pupuh Ginada Basur (ditembangkan
dalam Geguritan Basur); pupuh Ginada Jayaprana (ditembangkan dalam
Geguritan Jayaprana); dan beberapa variasi pupuh yang lain. Selain itu, pupuh
sebagai rangkaian tembang memiliki karakter yang berbeda-beda. Karakter
pupuhtersebut akan tampak ketika dilantunkan dengan ekspresi, berupa rasa
romantis, sedih, senang, berwibawa, dan sebagainya.
Dalam menyajikan tembang macapat atau pupuh pada dasarnya dapat ditempuh
dengan dua cara yakni sebagai berikut:
1. Sistem paca priring, yaitu sistem membaca atau menyajikan nada-nada pokok
tembang satu demi satu bagi orang yang baru mulai belajar menembang.
2. Sistem ngwilet atau gregel, yaitu sistem dalam menyanyikan tembang sudah
memakai hiasan atau variasi cengkok, anak nada, dan pemakaian tempo lebih
panjang. Cara ini dapat melahirkan gaya tiap penyanyi, namun masih tetap
pada tema lagu atau tembang.
Berikut adalah contoh pupuh atau tembang macepat yang menceritakan tentang
kisah “Kebo iwa” yang dituangkan dalam bentuk tembang macepat atau pupuh:

1. Pupuh Ginada
Eda ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh luhu
Ilang luhu buke katah
Yadin ririh
Liu enu paplajahan

2. Pupuh Ginanti

Saking tuhu manah guru


Mituturin cening jani
Kawruhe luir senjata
Ne dadi prabotang sai
Kaanggen ngaruruh merta
Saenun ceninge urip

3. Pupuh Sinom

Ring carike sane linggah


Pantunnyane kantun alit
I cetrung ngelah pianak
Nanging kantun alit-alit
Rauh sang mederbe carik
Sane benjang jagi durus
Kaanyi padi punika
I cetrung sedih ngurimik
Ratu Agung
Kenken jani ban madaya

4. Pupuh Pangkur
Pan suka mnungguh ring gita
Kala lingsir budal ngungsi negari
Sarwi makta rebab gambuh
Ring margine panes pisan
Langkung aran tarunane sane kadulu
Pamargine sampun jambat
Lesunnya nenten sinipi

5. Pupuh Pucung
Bibi anu
Lamun payu luas manjus
Antenge tekekang
Yatnain ngaba masui
Tiuk puntul
Bawang anggon sesikepan

6. Pupuh Durma
Cai durma pianak bapa paling wayah
Tumbuhe kasih-asih
Katinggalan biang
Jumah cening apang melah
Bapa luas nangun kerti
Ka gunung alas
Idepan bapa mati

7. Pupuh Smarandana
Titiang lulus sane mangkin
Tamat ring sekolah dasar
Teleb ngapitut gurune
Pangajahe becik pisan
Sekolahe kalanturang
Sia tiban sane patut
Nganutin program pamrintah

8. Pupuh Mijil
Dadong dauh
Ngelah siap putih
Ba mataluh reko
Minab ada limolas taluhne
Nanging lacur ada ne nepukin
Anak cerik-cerik
Liwat rusik ipun

9. Pupuh Maskumambang
Belog tutut
Keto solah nyane yukti
Tusing ngelah daya
Setata gaennya pelih
Nanging tusing ngelah jengah

10. Pupuh Dandanggula


Dandanggula kang pinurweng gending
Nyaritayang
Satuannya sang baka
Winursitaang karane
Solah mapi-mapi sadu
Waluya pandita luih
Majujuk di sisin tlaga
Ring madyaning sekar tunjung
Ngamargiang pangupaya
Ngrana sika
Maketu makamben putih
Teleb teken tapa brata

3. Sekar Madya

Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya


dinyanyikan dalam prosesi upacara, baik upacara adat maupun agama.Kelompok
tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa
Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/cerita
Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh Guru Lagu maupun Padalingsa (seperti
pada Sekar Alit atau pupuh). Di dalamnya adalah pembagian-pembagian pada
tubuh tembang tersebut, diantaranya :
1. Pangawit = yang merupakan bagian pembukaan
2. Pangawak = yang merupakan bagian yang pendek
3. Panama = merupakan bagian yang panjang
4. Pangawak = bagian utama dari tembang tersebut
Kidung diduga datang dari Jawa abad XVI sampai XIX akan tetapi teks
kidung ini kemudian kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini bisa dilihat dari struktur
komposisinya yang terbukti dengan masuknya ide-ide yang terdiri dari Pangawit,
Panama dan Pangawak yang merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi dalam
tetabuhan Bali.
Di Bali kidung-kidung selalu dilakukan dan dimainkan bersama-sama
dengan instrumen. Lagu-lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh
Gambang dan oleh karena itulah laras dan namanya banyak sama dengan apa yang
ada dalam penggambangan, menggunakan laras pelog Saih Pitu (Pelog 7 nada)
yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pemaro/ tengahan.

- Fungsi Kidung yaitu:


1. Pada upacara Dewa Yadnya di tembangkan kidung:
2. Tatkala nuntun Ida Bhatara: Kawitan Wargasari, Wargasari;
3. Tatkala muspa: Mredu Komala, Totaka;
4. Tatkala nunas tirta: wargasari;
5. Tatkala nyineb: warga sirang.
6. Untuk Rsi Yadnya digunakan: Rsi Bojana: Wilet Mayura, Bramara
Sangupati, Palu Gangsa.
7. Untuk Diksa digunakan Rara Wangi.
8. Untuk Manusa Yadnya:
9. Upacara Raja Swala: Demung sawit,
10. Upacara metatah: Kawitan Tantri, Demung Sawit;
11. Upacara mapetik: Malat Rasmi,
12. Upacara pawiwahan: Tunjung Biru.
13. Untuk upacara Pitra Yadnya:
14. Nedunang/ nyiramang layon: Sewana Girisa, Bala Ugu.
15. Untuk memargi ke setra: Indra Wangsa.
16. Untuk mengurug kuburan (gegumuk): Adri.
17. Untuk Ngeseng sawa: Praharsini;
18. Untuk Ngereka abu: Aji Kembang;
19. Untuk nganyut abu ke segara: Sikarini, Asti;
20. Untuk Nyekah (Atma Wedana): Wirat Kalengengan.
21. Untuk Bhuta Yadnya: Pupuh Jerum, Alis-alis Ijo, Swaran Kumbang.
22. Untuk upacara pelantikan pejabat: Perigel.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno (Kawi), dengan tulisan
huruf Bali. Tulisan ini bukan tulisan Bali biasa tetapi sudah di modifikasi untuk
keperluan menetapkan irama dan tekanan (stressing), terutama pada kakawin:
apada, wrtta matra, guru laghu, gana matra, canda karana, guru bhasa, guru
lambuk dan purwa kanti.
Para penyanyi sebaiknya tidak menggunakan sound system yang keras,
karena kidung dilakukan bersama dengan suara yang sayup-sayup mengiringi
puja-mantra, dari pemimpin upacara. Jangan sampai suara kidung demikian keras,
sehingga suara gentha Sulinggih tidak terdengar. Mestinya para pelantun kidung
berada dekat dengan Sulinggih sehingga mengetahui apa yang sedang dilakukan
Sulinggih, lalu memilih kidung apa yang tepat. Jangan sampai Sulinggihnya
muput caru, lalu kidungnya wargasari.
Beberapa contoh kidung untuk upacara-upacara keagamaan dalam umat Hindu :
1. Kawitan Wargasari ( Pengawit dalam upacara Dewa Yadnya )

Purwakaning angripta rumning wana ukir.


Kahadang labuh.Kartika penedenging sari.
Angayon tangguli ketur.Angringring jangga mure.

Artinya :
Purwaka (pada permulaan) Ning (nya), Angripta (menggugah) Rum
(keindahan). Ning (di)Wana (hutan) Ukir (pegunungan), Kahadang (ketika)
Labuh kartika (awal musim hujan sasih kapat) Panedenging Sari (sedang
rimbunnya berbunga) Angayon (pohon) Tangguli Ketur (nama sejenis akasia
yang bunganya berwarna lembayung)Angringring (berbentuk tirai) Jangga
(bunga gadung-pun) Mure (sedang mekar).
2. Kidung Wargasari ( untuk upacara Dewa Yadnya )

Ida Ratu saking luhur


kawula nunas lugrane
mangda sampun titiang tandruh
mangayat Bhatara mangkin
titiang ngaturang pejati
canang suci lan daksina
sarwa sampun puput
pratingkahing saji

Bisa dilihat, Kidung Wargasari ini adalah kidung pemujaan di mana para
pemujanya tengah menghaturkan persembahan seperti pejati, daksina,
canang… dengan harapan agar para Bhatara menerima persembahan mereka.

3. Kidung Wilet Mayura ( untuk upacara Rsi Yadnya )

Sarwi angatanging sarwa sinom,


Sarwi anangis ring luur,
Pangrikning sundari ampruang,
Sriokning cemara angelur,
Kasangga den lwahing warih,
Sakwehing wong amemaluk,
Taluktak lan jurang,
Swarannya anarung er talinnya kumeroncong,
Tibeng parangan.

4. Kidung Tantri (untuk upacara Manusa Yadnya )

Tuhu ndatan pasiring


Yadin sasoring akasa
Ring guna widya wicaksana
Byakta Sarasaswati surasmi Hyang Giriwadu
Anupama nurageng rat
Sang apatra Dyah Tantri
Tumuli prapta marekeng ibu.

5. Kidung Aji Kembang ( untuk upacara Pitra Yadnya )

Ring purwa tunjunge putih,


Hyang Iswara Dewatanya,
Ring pepusuh pranahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantes ta kembange petak,
Ring temba lamun dumadi,
Suka sugih tur rahayu,
Dana punia stiti bhakti.

6. Kidung Alis-Alis Ijo ( untuk upacara Bhuta Yadnya )

Iring-iring silak-siluk,
Awanikang munggah,
Mihate di dukuh rame,
Ingambel-ambelan watu,
Cara-caranya abra murub,
Kang katinghalan asri,
Tahen kencana ngrembun ronnya nuntun haneng lemah,
Parijata mangreronce,
Wunga tambang wunga warih,
Ajajar lan andong ijo,
Sulasih miana ijo,
Kasuluhan bayem luhur,
Melok-molok hana bang hana putih,
Angraras tinon.
4. Sekar Agung

Sekar Agung juga disebut dengan kekawin, selain itu dinamakan pula
wirama.Lagu pujian jenis ini merupakan lagu keagamaan yang dinyayikan dengan
memakai guru lagu.Dalam melagukan kekawin ini biasanya mengikuti aturan
tertentu yaitu “Mantra” atau “Mentrum”.Aturan mantra yang dimaksud adalah
guru lagunya.Yang dimaksud guru lagu adalah adanya suara berat dan panjang
atau ringan dan lambat dalam tembang kekawin. Selain itu ada pula aturan
kekawin yaitu “Wreta”yaitu adanya suku kata kecap yang membentuk empat baris
atau tiga baris menjadi satu bait atau “ada” dalam kekawin.
Adapun lagu-lagu pujaan yang tergolong Sekar Agung antara lain adalah:
1. Wirama Sardula Wikridita
2. Wirama Kalengengan
3. Wirama Ragakusuma
4. Wirama Basantatilaka
5. Wirama Sikarini
6. Wirama Girisa
7. Wirama Sragdhara
8. Wirama Praharsini
9. Wirama Suwadana
10. Wirama Merdukomala
11. Wirama Totaka
12. Wirama Mandamalon atau Rajani
13. Wirama Indrawangsa
14. Wirama Mrtatodaka
15. Wirama Jaloddhatagati
16. Wirama Kilayumanedheng.

Contoh:

1. Wirama Saronca / Arya

Ha – na si – ra ra –tu di- bya re – ngen


Pra – cas – ta ring rat mu – suh ni – ra – pra – na- ta
Ja – ya pan – di – ta ring – a – ji ka –beh
Sang da – ca ra – than na – ma ta – mo – li

2. Wirama Indrawangsa

Mamwit narendrātmaja ring tapo wana,


Mānganjalȋ yyargra ning indra parwata,
Tan wismerti sangkanikāng ayun teka,
Swābhāwa sang sajna rakwa mangkana

Artinya :
Mepamit ida dewaagung putra saking alas petapan,
Raris ngaturang sembah marep ka pucak gunung indrakila punika,
Nenten lali ida ring panangkan kerahayuanne rawuh,
Swabawan ida sang sadhu wiyakti asapunika.

3. Wirama Manda Malon

a. Stuti nira tan tulus, sinauran paramarta siwa


Anakku huwus katon, abimatanta temunta kabeh,
Hana panganugrahanku, cadu sakti winimba sara,
Pasupati sastra kastu, pangarannya nihan ulati

b. Wuwus sira sang Hyang Iswara,Mijil tangapui ri tangan


Wawanga sarira katara, manginditaken warayang,
Tinarima sang dananjaya, tikang sara suksma tika
Nganala sarira satmaka, lawan warayang wekasan

4. Wirama Sekarini

Ndaojar sang prapta prabhu liatisembahni nakula


Rapuh weragya tenpejaharumenge reh sang angulun
Ridentat mahyun maperang makalagang panhu tenaya
Apan sampun senopati aji linging lokha subhaga

Artinya :
Inggih munggwing daging atur ida sng wawu rauh,..inggih Uwa agung aksi
puniki sembah bhaktin titian I nakula.
Dedek manah titiange med maurip memanah jaga padem sesampune titiang
mirage indik ratu sang prabhu.
Riantukan Uwa agung pacang mayudha magutin sang pandawa.
Dawning Uwa agung sampun kabiseka dados senopati sapunika ucap ucap
jagate kawistara.

5. Sloka

Sloka adalah mantra yang digubah dalam bentuk syair-syair yang setiap satu
bait sloka terdiri dari empat baris. Adapun maksu digubahnya mantra-mantra itu
dalam bentuk sloka / syair adalah untu mempermudah mengingat dan memahami
isinya.
- Contoh Sloka :

1. Yadnya sisthasinah santo


Muchyante sarva kilbihaih
Bhujante te tvagnam papa
Ye pachanty atma karanat

Artinya :
Yang baik makan setelah upacara bhakti
Akan terlepas dari segala dosa
Tetapi menyediakan makanan lezat hanya untuk dirinya sendiri
Mereka ini sesungguhnya makan dosa

2. Sa paryagac chukram akayam


Awranam asnawiram sudham
Apapa widham kawir manissi
Pribhuh swayambhur yatha
Tatho rtham wyadadhac
Chawatibhyah samabhyah

Artinya :
Hendaknya diketahui bahwa ia Maha Kuasa
Tak bertubuh, tak teraba, tak berurat nadi, suci, tak
Terkena penderitaan, maha tahu, ahli pikir, Maha Besar
Ada tanpa diadakan, pemberi rahmat atas segala keinginan
Sejak jaman dahulu kala

3. “Īśā vāsyam idam sarvam


Yat kiñca jagatyām jagat
Tena tyaktena bhuñjīthā
Mā grdhah kasya svid dhanam”

Artinya :
Sesungguhnya apa yang ada di dunia ini, yang berjiwa ataupun yang tidak
berjiwa dikendalikan oleh Īśā (Yang Maha Esa), oleh karena itu orang
hendaknya menerima apa yang perlu dan diperuntukkan baginya dan tidak
menginginkan milik orang lain.

6. Palawakya

Palawakya biasanya berbentuk prosa berbahasa Jawa Kuno dan sering


diselingi Bahasa sansekerta. Teknis pembacaan Palawakya biasanya pengambilan
suara sama dengan kekawin. Kekawin juga memperhatikan guru lagu, namun
tidak sama dengan lagu ( dalam pengertian metrum ) kekawin.
Guru pada Palawakya lebih mengacu pada intonasi bacaan. Intonasi bacaan
dimaksudkan adalah oemenggalan bacaan sehingga teks yang dibaca mudah
ditangkap maknanya.

- Contoh Palawakya :

1. Paramarthanya pengepenge ta pw aka temwaniking si dadi wang


Durlabhawiya ta, saksat handaning mara ring swarga ika
Sanimittaning tan iba muwahta pwa damalakena

Artinya :
Tujuan terpenting, pergunakanlah sebaik-baiknya kesempatan lahir
menjadi manusia
Ini sunggu sulit diperoleh laksana tangga menuju sorga
Segala apa yang menyebabkan tidak akan jatuh lagi itu hendaknya supaya
dipegang

2. Ikang kabrahmacaryan ginawe yaken


Ring apan teaku dumadyakna nganak
Anmangkana ling sang dewa brata
Karenga dewata sabda de sang dewa brata
Ling ning dewata
Bisma ngarannya katakut nikang ksatrya ikang pratijnya
Apan tan hana ksatrya atinggala kadatwan

Artinya :
Inggih indik kabrahmacaryane punika jagi kalaksanayang titian
Mejanten titiang nenten pacang madue pianak
Wawu asapunika pangandikan sang dewa brata
Kapireng sabdan ida bhatara , olih sang dewa brata
Munggwing pangandikan dewatane
Bisma adannyane , sane mapiteges janjine sane kajejehin olih para
ksatriane
Dening nenten wenten ksatria ninggalin kaagungan

3. Lwir ning yukti ikang wehana dana


Wang sudacara
Wang daridra tan panemu ahara
Wang marahanggeng arep kuneng
Iking dana ring wang mangkana
Ageng palanika

Artinya :
Ketekang sane patut picayang dana punia
Anake sane luwihing laksana
Anake sane tuna arta brana nenten ngajengang
Anake sane sida ngerauhang tur banget ngacepang kemanten
Indik dana punia sane kapicayang ring anake asapunika
Mebuat pisan pikolihne punika

SENI BANGUNAN

1. Pura Kahyangan jagat dan Dang Kahyangan Jagat


Pura yang menjadi penyungsungan jagat oleh seluruh umat Hindu di Bali,
tergolong umum tempat memuja Tuhan sesuai dengan segala prabhawa ataupun
manisfestasi-Nya, bangunan suci tersebut tersebut menempati 8 penjuru mata angin
termasuk 1 pura di tengah-tengah, sehingga tuhan yang bersatana di masing-
masing pura dikenal dengan sebutan Dewata Nawa Sanga, tempat suci tersebut
diantaranya;
a. Pura Besakih – Timur Laut / Ersanya – sebagai stana Dewa Sambu – Sakti: Maha Dewi –
senjatanya Trisula – warna biru – aksara sucinya Wa.
b. Pura Lempuyang – Timur / Purwa – sebagai stana Dewa Iswara – sakti: Uma Dewi –
senjatanya Bajra – warna putih – aksara sucinya Sa.

c. Pura Goa Lawah – Tenggara / Genya – sebagai stana Dewa Maheswara – Sakti : Laksmi
Dewi – senjatanya Dupa – warna merah muda – aksara sucinya Na.
d. Pura Andakasa – Selatan / Daksina – sebagai stana Dewa Brahma – Sakti : Dewi
Saraswati – senjatanya Gada – warna merah – aksara sucinya Ba.

e. Pura Uluwatu – Barat Daya / Noritya – sebagai stana Dewa Rudra – Sakti : Dewi Santani
– senjatanya Moksala – warna Jingga – aksara sucinya Ma.
f. Pura Batukaru – Barat / Pascima – sebagai stana Dewa Mahadewa – Sakti : Dewi Saci –
senjatanya Nagapasa – warna Kuning – aksara sucinya Ta.

g. Pura Puncak Mangu – Barat Laut/ Wayabya – sebagai stana Dewa Sangkara – Sakti :
Dewi Rodri – senjatanya Angkus – warna hijau – aksara sucinya Si.
h. Pura Ulun Danu – Utara / Uttara – sebagai stana Dewa Wisnu – Sakti : Dewi Sri –
senjatanya Cakra – warna hitam – aksara sucinya A.

i. Pura Besakih – Tengah / Madya – sebagai stana Dewa Siwa – Sakti : Uma Dewi
(Parwati) – senjatanya Padma – Panca Warna (brumbun) – aksara sucinya I dan Ya.
Selain Kahyangan Jagat juga dikenal juga istilah Dang Kahyangan Jagat, pura
Dang Kahyangan Jagat dibangun tersebut dibangun sebagai tempat pemujaan dan
penghormatan terhadap guru-guru suci untuk menghormati jasa-jasa seorang
pandita seperti Rambut Siwi berkaitan dengan perjalanan rohani Dang Hyang
Nirartha yang meletakkan sehelai rambutnya sehingga bernama Rambut Siwi, pura
Silayukti sebagai tempat moksahnya Mpu Kuturan, Tanah Lot, Ponjok, Pulaki
tidak lepas dari kedatangan Danghyang Nirartha ke Bali. Dan banyak lagi tempat
suci lainnya yang dikelompokkan sebagai Dang Kahyangan Jagat.

2. Pura Kahyangan Tiga


Dalam setiap desa pekraman di Bali terdapat 3 buah tempat suci utama yang
dinamakan dengan Pura Kahyangan Tiga yaitu Pura Desa tempat stana dewa
Brahma, Puseh Stana Dewa Wisnu dan Dalem stana Dewa Siwa
.
3. Pura Swagina
Dari namanya Gina yang artinya pekerjaan, dikelompokkan berdasarkan
fungsinya sehingga sering disebut pura fungsional. Pemuja dari pura-pura ini
disatukan oleh kesamaan di dalam kekaryaan atau di dalam mata pencaharian
seperti; untuk para pedagang adalah Pura Melanting, para petani dengan Pura
Subak, Pura Ulunsuwi, Pura Bedugul, dan Pura Uluncarik, pura yang dibangun di
sebuah tempat usaha, baik itu hotel, pabrik, perkantoran pemerintah maupun
swasta.

4. Pura Kawitan
Pura ini sudah bersifat spesifik di mana para pemujanya ditentukan oleh asal
usul keturunan atau wit dari orang tersebut, ini akan diikuti secara turun temurun
oleh generasi berikutnya, lokasi pura biasanya disuatu tempat yang berdekatan
dengan kumpulan keluarga dari orang-orang tersebut. Bisa dilihat dari
golongan/kasta/warna dari pemujanya Termasuk ke dalam kategori ini adalah;
Sanggah-Pemerajan, Pratiwi, Paibon, Panti, Dadia atau Dalem Dadia, Penataran
Dadia, Pedharman dan sejenisnya.

Anda mungkin juga menyukai