Anda di halaman 1dari 110

SENI TARI

1. Tari Rejang
Tari Rejang adalah sebuah tarian putri yang dilakukan secara berkelompok atau masal,
gerak-gerik tarinya sangat sederhana yang biasanya ditarikan pada waktu berlangsungnya suatu
upacara Yadnya. Walaupun hanya terdiri dari gerakan yang sederhana, namun makna yang
terkandung dalam tarian ini tidaklah sesederhana itu. Gerakan dalam tarian ini memerlukan
gerakan tubuh yang lincah dengan mengikuti alunan suara gamelan Gong Kebyar atau Gong
Gede diselimuti aroma dupa yang sangat wangi, harum menambah suasana semakin sakral dan
khidmat, para penari rejang dewa menari dengan berbaris melingkar yang kadang kala dilakukan
dengan berpegangan tangan. Tarian ini dilakukan dengan lemah gemulai, penuh rasa pengabdian
kepada Bhatara Bhatari. Para penarinya mengenakan pakaian upacara yang biasanya didominasi
oleh warna putih dan kuning, dengan perhiasan kepala yang dibuat sedemikian rupa dari bahan
janur kuning. Gerak-gerak yang dominan dipakai dalam tari Rejang adalah ngembat dan ngelikas
atau gerakan kiri dan kanan yang dilakukan sambil melangkah kedepan secara perlahan. Ketika
menari, penari Rejang pada umumnya tidak berdialog atau menyanyi.
Tari Rejang Dewa adalah simbol Widyadara dan Widyadari yang menuntun Bhatara turun
ke dunia yang dilakukan pada waktu melasti atau turun ke peselang atau Tari Rejang Dewa
biasanya ditampilkan ketika diadakan acara acara keagamaan atau ritual tertentu lainnya, tidak
dipentaskan disembarang tempat melainkan ditampilkan ditempat-tempat yang dianggap suci
oleh para umat, biasanya di pentaskan dihalaman Jeroan atau jaba tengah dari sebuah Pura.
Tujuan dilaksanakannya Tarian ini merupakan persembahan suci untuk menyambut kedatangan
para Dewata dan sekaligus menghibur para Dewa yang turun dari Kahyangan ke Bumi. melalui
puja dan puji mantra dan sesaji sesuai urutannya. Para Dewa diundang untuk turun dari
Kahyangan dan bersemayam pada benda-benda suci seperti Pratima atau Tapakan. Melalui tarian
ini kita merasakan bersyukur dan terimakasih kepada para Dewa atas perkenannya turun ke
Bumi. Tari Rejang Dewa ini dilakukan oleh para Gadis yang belum pernah mengalami datang
bulan, oleh karena itulah kebanyakan penari yang membawakan tarian ini masih duduk di
bangku sekolah dasar.
1

1.1 Macam-macam tari rejang


1.1.1 Tari Rejang Renteng
Sebuah tarian kesenian rakyat Bali yang ditampilkan secara khusus oleh perempuan dan
untuk perempuan. Gerak-gerik tari ini sangat sederhana namun progresif dan lincah. Biasanya
pagelaran tari Rejang Renteng diselenggarakan di pura pada waktu berlangsungnya suatu
upacara adat atau upacara keagamaan Hindu Dharma. Tidak diketahui secara pasti kapan tari
Rejang Renteng itu ada, dan siapa penciptanya. Tari Rejang mempunyai arti penting bagi
masyarakat penyusung Pura. Rejang adalah satu simbolis tarian bidadari di surga dimana tari
Rejang Renteng tergolong dalam tari wali, (khusus di pentaskan hanya pada saat wali/ upacara).
Sebagai tari wali tari Rejang Renteng ini ditarikan oleh anak-anak (yang belum akil balik)
pemaksaan atau pengempon pura dengan tujuan untuk mendapatkan kesucian. Tari ini disajikan
sebagai

pelengkap

dalam

upacara

pengider

buana.

Penari rejang memakai kain Bebali berupa anteng yang dikenakan di dada. Sedangkan saputnya
memakai kain rembang dan kain cepuk serta kemben lumlum. Ditangannya memakai benang
tukelan yang berisi uang kepeng satakan (pis bolong). Penari bergerak beriringan secara
seragam. Para penari diikat ke dalam suatu untaian atau rangkaian yang disebut "renteng" dengan
seutas benang yang pada umumnya berwarna putih. Ciri khusus dari tari Rejang Renteng yaitu,
jempana sebagai linggih Ida Bhatara dituntun dengan benang panjang yang diikatkan pada
pinggang

si

penari.

Pementasan kesenian ini merupakan tradisi yang diwariskan nenek moyang secara turun temurun
hingga sekarang. Salah satu desa yang masih mementaskan tari Rejang Renteng adalah desa
Kesiman Petilan yang terletak di jantung kota Denpasar. Walaupun masyarakatnya termasuk
modern karena mengikuti perkembangan teknologi, namun hingga sekarang masih menjalankan
adat dan budaya leluhur yang mereka warisi secara turun temurun.
1.1.2 Tari Rejang Sutri
Mempunyai fungsi sebagai tari upacara ( ritual ), pada saat sasih kelima ( bulan
Nopember ) sampai sasih kesanga ( bulan Maret ) tahun berikutnya yang di barengi dengan
2

upacara Bhuta Yadnya. Kalau dilihat fungsi dari Rejang Sutri dapat dikategorikan sebagai tari
sacral atau wali, tinjauan yang lain yaitu sebagai tari tolak bala dirunut dari saat dilaksanakan
sampai prosesi upacara/ upakara yang gunakan. Rentetan upacara saat Rejang Sutri dilaksanakan
adalah

pertama

mengadakan

upacara

Dewa Yadnya

yaitu

melaksanakan

upacara

persembahyangan di Pura Desa dan Puseh, Ratu Ngurah Agung, Ratu Saung, Ratu Pase Leb (
matur piuning ) yang diantar oleh pemangku desa Batuan dengan sarana upakara pejati jangkep,
canang sari, petabuh dan sebagainya. Sedangkan untuk masing-masing keluarga menghaturkan
upakara pejati jangkep ke Pura Desa/ Puseh selanjutnya di upacarai oleh pemangku selanjutnya
dibawa pulang untuk di tempatkan di pura keluarga ( sanggah,merajan) di sanggah kemulan.
Setiap harinya menghaturkan upakara canang dan di lebar saat Rejang Sutri usai ( nyineb ).
Kedua, mengadakan atau melaksanakan upacara mecaru ( bhuta yadnya) yang dilaksanakan di
Pura Desa dan Puseh pada siang hari sebelum nanti malamnya dilaksanakan Rejang Sutri,
mecaru di tapal batas Desa Batuan yaitu di ujung banjar Dentiyis batas utara, di ujung banjar
Jeleka batas barat, di ujung banjar Puaya simbul batas selatan, di ujung banjar Peninjoan sebagai
simbul batas timur. Mecaru di masing-masing tapal batas desa Batuan

diantaranya

menggunakan sarana boki diisi tapak dara, wastra poleng, kayu sakti ( carang dadap ) jeroan
babi sebagai symbol pengamer-amer. Dilanjutkan mecaru di masing-masing banjar, kemudian di
muka rumah masing-masing anggota masyarakat atau depan pintu masuk ( angkul-angkul) saat
senja ( sandikala ), dan pada malam harinya di laksanakan tari Rejang Sutri, yang sebelumnya
diawali dengan menghaturkan sesajen berupa Pejati yang dihaturkan di Pura Desa dan di tempat
pertunjukan. Pejati yang di haturkan di tempat pertunjukan yaitu di Sanggar Tawang wantilan
Pura Desa di sudut timur laut ( Ersanya) yang dilakukan oleh Pemangku Desa. Sanggar Tawang
tersebut merupakan tempat upakara sesaji/ banten, untuk setiap harinya sudah ada yang bertugas
menghaturkan upacara, tempat berstananya Widyadara-widyadari, Bethara-Bethari, tempat
pemujaan masyarakat Batuan saat Rejang Sutri dilaksanakan.

1.1.3 Tari Rejang Dewa


Tari Rejang Dewa ini adalah salah satu jenis tarian Rejang yang dibawakan oleh
sekelompok penari wanita. Di beberapa tempat, tarian ini boleh ditarikan oleh para remaja.
Dimana setiap orang penari menari putrid memakai busana putih kuning, setiap orang memakai
3

selendang dan mengenakan hiasan kepala yang terbuat dari janur dengan hiasan bunga warna
warni. Pada akhir tarinya para penari bergerak melinggar sambil memegang selendang penari
yang ada didepannya.

1.1.4 Tari Rejang Onying


Jika dibandingkan dengan tari rejang yang lainnya, Tari Rejang Onying mungkin paling
keras ungkapan geraknnya. Dalam banyak hal, gerak-gerak tari Rejang Onying menyerupai
gerak tari baris yang keras dan patah patah. Tari Rejang Onying ini pada umumnya dari kalangan
dewaa, bahkan dibeberapa tempat tarian ini dibawakan oleh para Pemangku. Keunikam dari tari
Rejang Onying ini terlihat pada pemakaian keris terhunus oleh setiap penarinya. Pada akhir
tarian, para penari menikamkan keris kedada masing-masing, yang dikenal masyarakat Bali
dengan sebutan ngurek.

1.1.5 Tari Rejang Kuningan


Tari Rejang Kuningan adalah sebuah tarian Rejang yang ditarikan hanya pada hari raya
Kuningan dan masyarakat Hindu Bali. Tarian yang digambarkan turunnya para widyadari ini
hanya boleh dibawakan oleh penari-penari yang hanya boleh dibawakan oleh penari-penari yang
masih gadis. Para penari mengenakan busana adat ke Pura dengan hiasan kepala yang dibuat dari
janur atau daun enau muda yang dihiasi dengan bungan yang berwarna warni. Tari ini diduga
sudah muncul sejak abad ke-XI dan hingga kini masih tetap dipertahankan oleh masyarakat desa
Duda dan Akah, yang terdapat di Kabupaten Karangasem. Bedanya, jika di Desa Duda tarian ini
diiringi dengan gambelan Gong Kebyar, sedangkan di Desa Akah tarian ini diiringi dengan
gambelan Gambang.
1.1.6 Tari Rejang Tabuh
Tari Rejang Tabuh yang terdapat di Desa Penebel, Kabupaten Tabanan adalah tarian
upacara Dewa Yadnya yang ditarikan sekelompok penari wanita dimana sepanjang pertunjukan
para penarinya bergerak sambil menyanyikan tembang. Dimana para penarinya mengenakan
busana adat ke Pura dengan selendang panjang dan setiap orang penari membawa kipas.
4

1.1.7 Tari Rejang Baris


Tarian upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh gabungan penari pria dan wanita yang
masih remaja. Disini para penari tidak memakai tata busana khusus melainkan busana adat ke
Pura.

1.1.8 Tari Rejang Ayunan


Tari Rejang Ayunan yang terdapat di Desa Pupuan adalah satu-satunya tarian yang
ditarikan oleh penari laki-laki yang masih remaja. Para penari memakai pakaian adat ke Pura
yang serba putih. Dimana akhir tariannya para pemain bermain ayunan untuk merebut makanan
dan hadiah-hadiah lainnya yang disembunyikan diatas pohon dimana ayunan digantungkan.

1.1.9 Tari Rejang Keraman


Tari Rejang Keraman adalah merupakan tarian sacral yang di tarikan oleh putra dan putri
yang baru menginjak dewasa. Tarian ini merupakan ungkapan rasa gembira dari masyarakat serta
merupakan cetusan hati serta rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa karna telah
melimpahkan segala hasil yang dapat memberikan kebahagian tersendiri. Tarian ini di pentaskan
pada saat Ngusaba Agung yang bertepatan dengan Purnama Kapat yang datangnya tiga tahun
sekali. Sejarah Tari Rejang Keraman tertulis dalam lontar Purwagama hasil karya Rsi
Markandeya pada saat itu beliau menyebarkan Agama Hindu di Bali dan menjadi Bagawanta
Puri pada abad XVI. Bahasa yang di gunakan dalam penulisan sejarah adalah bahasa sederhana.
Sedangkan Tari Rejang Keraman yang di pentaskan dalam Upacara Ngusaba Agung di Pure
Puseh Desa Kedis mengikuti hasil pesamuhan para Pengelingsir Desa Kedis saat pembentukan
Desa Kedis. Tarian ini di pentaskan secara turun temurun setiap Upacara Ngusaba Agung di
Pura Puseh Desa Kedis. Tujuan dipentaskan Tari Rejang Keraman di Desa Kedis adalah
merupakan tarian untuk Upacara Ngeraja Sewala, sebagai kewajiban bagi anggota truna truni
ngaturang ayah, untuk melanjutkan warisan leluhur secara turun temurun. Sebagai cetusan rasa
bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Sarana yang dipakai dalam
5

pementasan Tari Rejang Keraman adalah Upakara yang terdiri dari banten byakala, sesayut
durmenggala, prayascita, suci, sesayut amertasari serta pakaian penari, tetabuhan dan Nyanyian.
Tari Rejang Keraman terdiri dari dua kelompok yaitu : satu kelompok putra dan putri, satu
kelompok yang semuanya baru menginjak remaja (menek bajang). Pakaian Penari yaitu : Penari
putrid berpakaian payas janger sedangkan penari putra memekai payas baris. Barisan penari di
urut sesuai dengan kedatangan masuk menjadi krama Desa Kedis, berkelompok dalam satu dadia
atau sekehe sanggah (merajan) dengantidak membedakan kasta. Tari Rejang Keraman
dipentaskan setiap tiga tahun sekali pada saat Purnama Kapat bertepatan dengan upacara
Ngusaba Agung di Pura Puseh, serta di pentaskan secara berturut turut tiga kali. Pada saat
terakhir menariakn Tari Rejang Keraman ini, para penari natab sesayut amertasari yang
merupakan Upacara Ngeraja Sewala.

2. Tari Pendet
Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura,
tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas
turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali
mengubah Pendet menjadi ucapan selamat datang, meski tetap mengandung anasir yang
sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi (1967). Pendet
merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti
halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan
oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis. Tarian ini diajarkan
sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda
mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka
dalam memberikan contoh yang baik. Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis
daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya
ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci
(pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku,
kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.
6

2.1 Pesona Tari Bali


Tari Pendet merupakan salah satu dari sekian banyak aset kebudayaan Indonesia
khususnya Bali dalam hal tari-tarian. Pencipta/koreografer bentuk modern tari pendet adalah I
Wayan Rindi.Pada awalnya tari pendet merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di
pura-pura (tempat ibadat umat Hindu) di Bali. Tarian ini melambangkan penyambutan atas
turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali
mengubah Pendet menjadi ucapan selamat datang, meski tetap mengandung anasir yang
sakral-religius. Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian
upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif,
Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.
Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar.
Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung
jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik. Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih
dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya
ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci
(pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku,
kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.
2.2 Jenis Dan Peran Tari Pendet
Tari Pendet termasuk dalam jenis tarian wali, yaitu tarian Bali yang dipentaskan khusus
untuk keperluan upacara keagamaan. Tarian ini diciptakan oleh seniman tari Bali, I Nyoman
Kaler, pada tahun 1970-an yang bercerita tentang turunnya Dewi-Dewi kahyangan ke bumi.
Meski tarian ini tergolong ke dalam jenis tarian wali namun berbeda dengan tarian upacara lain
yang biasanya memerlukan para penari khusus dan terlatih, siapapun bisa menarikan tari Pendet,
baik yang sudah terlatih maupun yang masih awam, pemangkus pria dan wanita, kaum wanita
dan gadis desa. Pada dasarnya dalam tarian ini para gadis muda hanya mengikuti gerakan penari
perempuan senior yang ada di depan mereka, yang mengerti tanggung jawab dalam memberikan
contoh yang baik. Tidak memerlukan pelatihan intensif. Pada awalnya tari Pendet merupakan tari
pemujaan yang banyak diperagakan di Pura, yang menggambarkan penyambutan atas turunnya
Dewa-Dewi ke alam marcapada, merupakan pernyataan persembahan dalam bentuk tarian
7

upacara. Lambat laun, seiring perkembangan zaman, para seniman tari Bali mengubah tari
Pendet menjadi tari Ucapan Selamat Datang, dilakukan sambil menaburkan bunga di hadapan
para tamu yang datang, seperti Aloha di Hawaii. Kendati demikian bukan berarti tari Pendet jadi
hilang kesakralannya. Tari Pendet tetap mengandung anasir sakral-religius dengan menyertakan
muatan-muatan keagamaan yang kental. Dan tari pendet disepakati lahir pada tahun 1950.
1.

Tari

Pendet

Sakral

tarian yang dibawakan oleh sekelompok remaja putri, masing-masing membawa


mangkuk perak Biasanya Tari Pendet dibawakan secara berkelompok atau berpasangan oleh para
putri, dan lebih dinamis dari tari Rejang. Ditampilkan setelah tari Rejang di halaman Pura dan
biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih). Para penari Pendet berdandan layaknya para
penari upacara keagamaan yang sakral lainnya, dengan memakai pakaian upacara, masingmasing penari membawa perlengkapan sesajian persembahan seperti sangku (wadah air suci),
kendi, cawan, dan yang lainnya. Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Wayan
Dibia, menegaskan bahwa menarikan tari Pendet sudah sejak lama menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali. Tarian ini merupakan (bokor) yang
penuh berisi bunga. Pada akhir tarian para penari menaburkan bunga ke arah penonton sebagai
ucapan selamat datang. Tarian ini biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu atau
memulai suatu pertunjukkan. Pencipta atau koreografer bentuk modern tari Pendet ini adalah I
Wayan Rindi (?-1967), merupakan penari yang dikenal luas sebagai penekun seni tari dengan
kemampuan menggubah tari dan melestarikan seni tari Bali melalui pembelajaran pada generasi
penerusnya. Semasa hidupnya ia aktif mengajarkan beragam tari Bali, termasuk tari Pendet
kepada keturunan keluarganya maupun di luar lingkungan keluarganya. Menurut anak
bungsunya, I Ketut Sutapa, I Wayan Rindi memodifikasi Tari Pendet sakral menjadi Tari Pendet
penyambutan yang kini diklaim Malaysia sebagai bagian dari budayanya. Keluarga I Wayan
Rindi sangat menyesalkan hal ini. Semasa hidupnya I Wayan Rindi tak pernah berpikir untuk
mendaftarkan temuannya agar tak ditiru negara lain.

2.

Tari

Pendet

Penyambutan

Di samping belum ada lembaga hak cipta, tari Bali selama ini tidak pernah dipatenkan
karena mengandung nilai spiritual yang luas dan tak bisa dimonopoli sebagai ciptaan manusia
8

atau bangsa tertentu. Dalam hal ini, I Ketut Sutapa, dosen seni tari Institut Seni Indonesia (ISI)
Bali mengharapkan pemerintah mulai bertindak untuk menyelamatkan warisan budaya nasional
dari tangan jahil negara lain. Menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan sejarah seharusnya
lebih proporsional dari pendekatan ilmu pengetahuan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual),
karena HAKI adalah produk budaya barat yang baru eksis kemudian. HAKI tidak cukup layak
mengamankan produk-produk budaya sebelum HAKI didirikan, apa lagi pemanfaatannya lebih
berorientasi kolektifitas, bukan individualitas seperti paham budaya barat. HAKI tidak akan
sepenuhnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat beradab dan bermartabat. HAKI
diarahkan untuk kepentingan ekonomis, sedangkan produk-produk budaya Indonesia lebih
berorientasi kepentingan social
2.3 Fungsi Tari Pendet
Pada jaman dahulu tari Pendet merupakan tarian Pura yang fungsinya untuk memuja para
dewa-dewi yang berdiam di Pura selama upacara odalan berlangsung (Kusmayati dkk ,2003:78).
Seiring dengan perkembangan jaman,kebutuhan akan hiburan semakin banyak diperlukan oleh
sebagian besar masyarakat Bali, sehingga sekarang Pendet beralih fungsi menjadi tari hiburan
atau tari penyambutan. Sebaga tari penyambutan, Pendet difungsikan untuk menyabut
kedatangan tamu atau sering disebut dengan istilah tarian selamat datang. Ungkapan kegembira
an, kebahagiaan, dan rasa syukur diwujudkan melalui gerak-gerak yang lembut dan indah.
2.4 Perkembangan Tari Pendet
Perkembangan pertunjukan tari di Bali dari masa lampau sampai pada era globalisasi ini
sangatiah berarti bagi eksistensi sebuah kesenian Bali. Perkembangan tersebut merupakan wujud
dari kreatifitas seniman Bali. Wujud kreatifitas dituangkan melalui ide-ide baru sehingga
menghasilkan karya seni lama yang bernuansa baru. Karya seni lama yang dimunculkan dalam
bentuk koreografi baru di-harapkan masih tetap menarik, sehingga dapat mem-pengaruhi jiwa
penonton dan penikmat seni lainnya. Munculnya ide-ide dari para seniman disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya adalah adanya perubahan di bidang politik dan ekonomi. Perubahan
bidang politik dan ekonomi dapat mempengaruhi ter-jadinya perubahan selera masyarakat
penikmatnya. Perubahan juga sangat mungkin disebabkan oleh keberadaan seni tari yang tidak
9

mampu lagi bersaing dengan seni pertunjukan lain. Akibat dari hadirnya era globalisasi, para
seniman memiliki ke bebasan untuk menampilkan gaya yang mereka inginkan. Akibatnya,
timbulah semacam arus perkembangan seni yang lazim kila sebut sebagai Multikulturalisme
( Multiculturalism ) atau pluralisme, yang menghargai karya seni dengan gaya apapun dan dari
negara manapun. Seni istana sudah tidak menjadi kiblat, demikian pula Volume VIII No.2 / MeiAgustus 2007 170 HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI aliranaliran seni dari mancanegara. Dalam bidang seni pertunjukan, setiap kelompok etnis di Indonesia
ingin menampilkan jati diri mereka (Soedarsono, 2002:112) Pendet merupakan salah satu contoh
bentuk seni pertunjukan yang telah mengalami perkemba-ngan dalam dua dekade.
Perkembangan ditandai dengan munculnya kembali tarian Pendet baru yang memiliki bentuk, isi,
dan tata penyajian serta fungsi yang berbeda dengan tarian Pendet pada waktu sebelumnya. Tari
Pendet baru disajikan dalam bentuk, isi, dan struktur penyajian yang terpola. Unsur-unsur seni
yang terkandung dalam tari seperti : musik, gerak, pola lantai, level, ruang, dan waktu diatur
dengan sebuah tatanan yang terstruktur, sehingga dapat memunculkan sebuah sajian tari yang
menarik.

2.5 Tata Busana Tari Pendet


Perkembangan busana memberi kan ciri khas bahwa tari Pendet Balih-balihan merupakan
tarian hiburan atau tarian ucapan selamat datang. Busana di buat semenarik mungkin agar dapat
memikat daya tarik penonton. Perubahan tata busana terlihat pada penggunaan tapih berornamen
bunbunan ( daun dan bunga-bungaan), kamen prada dengan jenis patra sari, sabuk prada
ornamen bun-bunan atau kekngan tebu, serta selendang prada dengan motif patra sari. Pusung
Gonjer adalah sanggul yang dipakai oleh penari wanita belum bersuami ( anak-anak dan remaja).
Sanggul ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian pertama di beri nama batupusungan yaitu
pangkal sanggul yang berbentuk lingkaran letaknya di tengah pada bagian belakang kepala,
sedangkan gonjeran adalah sisa rambut yang ditata menjuntai kebawah sampai batas bawah
payudara ( dalam Diktat buku ajar SMKK,TT:9-10 ). Sama halnya dengan pusung gonjer, pada
pusung tagel jugamemiliki dua bagian sanggul. Bagian pertama disebut batu pusungan dan
bagian kedua disebut dengan tagelan yaitu sisa rambut yang diikatkan kembali pada bagian batu
10

pusungan sehingga membentuk lengkungan. Pemakaian pusung tagel dan pusung gonjer
mengalami per-kembangan seiring dengan perkembangan jaman. Tidak ada lagi perbedaan
dalam pemakaian pusung atau sanggul pada penari anak-anak, remaja, maupun dewasa,
semuanya memiliki kebebasan sesuai dengan selera masing-masing. Bahkan sekarang muncul
sanggul dengan model baru yang banyak dikenakan penari Pendet yaitu sanggul angka delapan.
Hiasan sanggul berupa tiga macam bunga, yaitu bunga jepun (kamboja), bunga mawar (mawa ),
dan bunga mas terdiri dari bunga sandat dan bunga semanggi. Masing- masing disusun pada tata
aturan

yang

berbeda,

yaitu

sebagai

berikut:

l). Bunga jepun atau bunga kamboja diletakkan di sepanjang pusungan dan tagelan, juga pada
kepala bagian belakang sunggaran letaknya Volume VIII No.2 / Mei-Agustus 2007 174
HARMONIA JURNAL PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI melengkung dari atas
telinga

kiri

menuju

atas

telinga

kanan.

2). Bunga mawar diletakkan di tengah kepala bagian atas tepat di belakang susunan bunga jepun.
3). Bunga sandat disususn di separtjang susunan bunga jepun, tepatnya di belakang bunga
mawar

dan

bunga

jepun.

4). Bunga semanggi diletakkan menjuntai ke bawah dengan cara menyelipkan tangkainya pada
batu pusungan, tepatnya di belakang susunan bunga sandat. Lebih lanjut, kedua jenis sanggul ini
berkembang menjadi sanggul angka delapan,dengan aksesoris sama dengan yang dipakai pada
model-model sanggul sebelumnya.

2.6 Tata Rias Tari Pendet


Tata rias wajah pada tari Pendet Balih-balihan sudah mengalami kemajuan,hal ini terlihat
pada penggunaan alat kosmetik berupa bedak , lipstik , pensil alis dan alat rias lainnya sebagai
wujud kongkrit dari peru-bahan fungsi tari Pendet Wali menjadi Pendet Balih-balihan yang
selalu mengutamakan keindahan gerak dan keindahan tampilan wajah.
2.7 Iringan Musik Tari Pendet
Iringan pada tari Pendet dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian awal disebut sebagai
pengantar singkat (papeson) digarap dengan tempo yang cepat, bagian tengah atau pengadeg
11

diiringi musik dengan tempo lambat dan sedang, dan pada bagian akhir (panyuwud) diiringi
musik dengan tempo cepat. diiringi oleh gamelan berlaras pelog atau gamelan gong kebyar dan
angklung.
2.8 Propeti Tari Pendet
Penggunaan property bokor sloko mutlak dipakai. Pada pinggiran bokor dihiasi dengan
ornamen berupa janur (daun kelapa yang masih muda dan berwarna kuning). Ornamen janur bisa
dihias sesuai dengan motif potongan janur yang sesuai dengan selera penggunanya. Ada yang
menghias bagian tengah janur dengan potongan bermotif kotak, ada pula yang memilih motif
irisan berbentuk belah ketupat atau gabungan dari kedua motif tersebut.
2.9 Kompesisi Dan Gerakan Dasar Tari Pendet
Susunan
1.

gerakan

dasar

tari

Pendet

diurutkan

sebagai

berikut

Ngumbang luk penyalin, berjalan ke muka belok kanan kiri dan ngentrag.

2. Duduk

bersimpuh

mengambil

bunga

lalu

menyembah

dengan

manganjali.

3. Leher ngilek ke samping kanan seraya nyeledet (gerakan ini dilakukan 3x berturut-turut).
4.
5
6.
7.
8.
9.

Ngagem
.

Ngenjet
Ngotag

kanan
gerak

disertai

peralihan

pinggang

bertukar

luk

untuk

nerudut
perpindah

tempat

dari

dan
dan

kanan

nyeledet
menjadi

ke

kiri

ke

agem
dan

kiri.
kanan.

sebaliknya.

Ngelung rebah ke kiri dan kanan yang disertai dengan angumad tarik kanan dan kiri.
Ngumbang

ombak

segera

berjalan

belok

ke

belakang

dan

ke

muka.

Nyeregseg ngider berputar ke kanan dan kiri berturut-turut sampai 2 atau 3 kali.

10.Ngelung kiri kanan beserta nyeledet kiri kanan lalu beranjak 2 terus berjalan.
11.Ngentrag berjalan cepat terus ngeseh dan menabur bunga sambil berjalan ngumbang luk
penyalin
12.Metanjek ngandang berputar ke kiri dan ditutup dengan gerka nyakup bawa.

2.10 Keunikan Tari Pendet

12

Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di Pura,
sebuah tempat ibadat bagi umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan
penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Tarian ini diciptakan oleh I Wayan Rindi.
Rindi merupakan maestro tari yang dikenal luas sebagai penggubah tari pendet sakral yang bisa
di pentaskan di pura setiap upacara keagamaan. Tari pendet juga bisa berfungsi sebagai tari
penyambutan. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet
menjadi tarian ucapan selamat datang, meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius.
Wayan Rindi adalah penekun seni tari yang dikenal karena kemampuannya menggubah tari dan
melestarikan seni melalui pembelajaran pada generasi penerusnya. Salah satunya terekam dalam
beragam foto semasa hidupnya yang aktif mengajarkan beragam tari Bali, termasuk tari pendet
pada keturunan keluarga maupun di luar lingkungan keluarganya. Menurut anak bungsunya,
Ketut Sutapa, Wayan Rindi memodifikasi tari pendet sakral menjadi tari pendet penyambutan
yang kini diklaim Malaysia. Rindi menciptakan tari pendet ini sekitar tahun 1950. Meski
dimodifikasi, namun semua busana dan unsur gerakan tarinya tetap mengacu pada pakem seni
Bali yang dikenal khas dan dinamis.

Diyakini bahwa tari Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam
bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan
pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa
maupun gadis. Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di
banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang
mengerti

tanggung

jawab

mereka

dalam

memberikan

contoh

yang

baik.

Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan
secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman
pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan
masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.
Tindakan Malaysia yang mengklaim tari pendet sebagai bagian dari budayanya amat disesalkan
keluarga Wayan Rindi. Pada masa hidupnya, Wayan Rindi memang tak berfikir untuk
mendaftarkan temuannya agar tak ditiru negara lain. Selain belum ada lembaga hak cipta, tari
Bali selama ini tidak pernah di patenkan karena kandungan nilai spiritualnya yang luas dan tidak
13

bisa dimonopoli sebagai ciptaan manusia atau bangsa tertentu. Namun dengan adanya kasus ini,
Sutapa yang juga dosen tari di Institut Seni Indonesia (ISI) Bali berharap pemerintah mulai
mengambil langkah untuk menyelamatkan warisan budaya nasional dari tangan jahil negara lain.

3. Tari Sanghyang
Tari sanghyang adalah suatu tarian sakral yang berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk
mengusir wabah penyakit yang sedang melanda suatu desa atau daerah. Selain untuk mengusir
wabah penyakit, tarian ini juga digunakan sebagai sarana pelindung terhadap ancaman dari
kekuatan magi hitam (black magic). Tari yang merupakan sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu ini
biasanya ditarikan oleh dua gadis yang masih kecil (belum dewasa) dan dianggap masih suci.
Sebelum dapat menarikan sanghyang calon penarinya harus menjalankan beberapa pantangan,
seperti: tidak boleh lewat di bawah jemuran pakaian, tidak boleh berkata jorok dan kasar, tidak
boleh berbohong, dan tidak boleh mencuri.
Ada satu hal yang sangat menarik dalam kesenian ini, yaitu pemainnya akan mengalami
trance pada saat pementasan. Dalam keadaan seperti inilah mereka menari-nari, kadang-kadang
di atas bara api dan selanjutnya berkeliling desa untuk mengusir wabah penyakit. Biasanya
pertunjukan ini dilakukan pada malam hari sampai tengah malam.
14

a.1 Macam-macam Tari Sanghyang


a.1.1

Tari Sanghyang Dedari


Ditarikan oleh remaja atau gadis perawan yang dianggap masih bersih. Upacara dimulai

di pura, dengan prosesi berjalan ke tempat acara berlangsung. Penari berdiri diiringi nyanyian
anak laki-laki, lalu menarikan tarian yang serupa Legong, namun dalam versi mistik. Meskipun
mata mereka ditutup, mereka menari bersama dalam gerakan yang sinkron dan indah. Ketika
nyanyian berhenti, para penari yang tak sadarkan diri melompat ke tanah. Seorang pemangku
menyadarkan mereka dengan mengucapkan doa dan percikkan air suci. Setelah sadar, mereka
merasakan kelelahan namun tidak menyadari telah banyak bergerak dan menari. Sanghyang
Dedari berkembang dari tarian yang bersifat keagamaan menjadi ritual memohon kesehatan dan
kesejahteraan desa. Tarian ini biasanya dilakukan untuk mengusir roh jahat yang mengganggu
kerukunan umat manusia dalam bentuk penyakit atau kematian. Tarian ini dipentaskan ketika
dewa-dewa yang turun untuk sementara ke alam manusia, menyatakan diri melalui penari yang
kesurupan. Kata Sanghyang bermakna dewata sementara kata Dedari itu berarti bidadari.
3.1.2 Tari Sanghyang Deling

Ditarikan sepasang gadis yang belum dewasa, tarian ini dimasuki roh Dewa Wisnu atau
Dewi Sri yang melambangkan kesuburan. Dengan sarana sebatang pepohonan yang digantungi
dua boneka yang disebut Deling terbat dari daun lontar. Semakin kencangnya gerak dari pada
deling menandakan kedua penari tesebut telah kemasukan roh, tujuan tari ini untuk memohon
keselamatan.

Tarian

ini

berasal

dari

3.1.3 Tari Sanghyang Bojog

15

Desa

Kintamani

Kabupaten

Bangli.

Ditarikan oleh seorang pria dengan busana seperti seekor kera. Sebelumnya dilakukan
upacara pemanggilan roh kera, setelah penari kemasukan roh maka penari tersebut akan
melompat-lompat di atas pohon menirukan gerak-gerik kera, kadang-kadang gerakanya sulit
untuk ditirukan oleh manusia. Tarian Sanghyang Bojog ini ada di Kabupaten Karangasem.
3.1.4 Tari Sanghyang Jaran
Ditarikan oleh seorang pria atau seorang pemangku yang mengendarai sebuah kudakudaan yang terbuat dari pelepah daun kelapa. Penarinya kerasukan roh kuda tunggangan dewata
dari kahyangan, diiringi dengan nyanyian paduan suara yang melagukan Gending Sanghyang,
berkeliling sambil memejamkan mata, berjalan dan berlari-kecil dengan kaki telanjang,
menginjak-injak bara api batok kelapa yang dihamparkan di tengah arena. Tari ini
diselenggarakan pada saat-saat prihatin, misalnya terjadi wabah penyakit atau kejadian lain yang
meresahkan masyarakat, dan terdapat di daerah Denpasar, Badung, Gianyar dan Bangli.
3.1.5 Tari Sanghyang Sampat
Terjadi karena penarinya yang seorang gadis kemasukan roh halus dengan perantara sapu
lidi (sampat) yang digerak-gerakkan secara bebas kekiri dan kekanan. Ada pula tarian sejenis
yang

perantaranya

sepotong

bambu

maka

disebut

Tari

Sanghyang

Bumbung.

3.1.6 Tari Sanghyang Celeng


Ditarikan oleh seorang pria dengan busana yang terbuat dari ijuk yang menyerupai babi.
Setelah penari dimasuki roh, maka penari akan merangkak menirukan tingkah laku seekor babi.
Ia menari berkeliling desa sambil menirukan gerakan-gerakan seekor celeng (babi hutan), dengan
maksud mengusir roh jahat yang mengganggu ketenteraman desa. Tarian ini terdapat di Desa
Duda

Kabupaten

Karangasem.

3.1.7 Tari Sanghyang Penyalin


Tarian yang dibawakan oleh seorang laki-laki sambil mengayun-ayunkan sepotong rotan
panjang (penyalin) dalam keadaan tidak sadar (trance). Di Bali bagian utara tarian ini bukan
16

dibawakan

oleh

seorang

laki-laki,

melainkan

oleh

seorang

gadis

(daha).

3.1.8 Tari Sanghyang Memedi


Tarian yang dimainkan oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian daun atau pohon padi
sehingga menyerupai memedi (makhluk halus).

3.1.9 Tari Sanghyang Kidang


Yang hanya dijumpai di Bali utara, ditarikan oleh seorang perempuan. Dalam keadaan
tidak sadar, penari menirukan gerakan-gerakan seekor kidang (kijang). Tarian ini diiringi dengan
nyanyian

tanpa

mempergunakan

alat

musik.

3.1.10 Tari Sanghyang Janger


Dahulu tarian ini dimainkan dalam keadaan tidak sadar dan bersifat sakral. Namun
kemudian mengalami perubahan dan menjadi tari Janger dengan iringan cak. Tari ini tersebar
luas di seluruh pelosok Pulau Bali dengan makna yang sudah berbeda.
3.1.11 Tari Sanghyang Sengkrong
Tarian yang dimainkan oleh oleh seorang anak laki-laki dalam keadaan tidak sadar
(trance) sambil menutup rambutnya dengan kain putih (sengkrong). Sengkrong adalah kain putih
panjang yang biasa digunakan oleh para leyak di Bali untuk menutup rambut yang terurai.

4. Tari Baris
Taris Baris merupakan salah satu jenis tarian yang berfungsi sebagai sarana upacara
keagamaan di Bali. Tari ini digunakan sebagai persembahan tulus iklas kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Fungsi ritual lainnya dalam Tari Baris yaitu untuk menunjukkan kematangan

17

seseorang dalam memainkan alat perang. Sejarah Tari Baris Upacara menurut Babad Bali,
bermula ketika Bhatara Indra menyerang Mayadenawa. Mayadenawa adalah seseorang Raja Bali
Aga yang angkuh, kikir, tamak dan angkara murka. Ia kemudian tewas dalam peperangan.
Menurut kebanyakan orang, ketika ada pertunjukkan Tari Baris, para dewa ikut menari dengan
gayanya masing-masing.
Selain sebagai sarana upacara, Tari Baris juga berfungsi sebagai tari kepahlawanan. Hal
tersebut dapat dilihat dari sejarah, bentuk koreografi maupun propeti yang digunakan oleh
penari. Baris diduga dari kata bebarisan tentara yang disiapkan untuk maju berperang pada
zaman dahulu. Keseimbangan dan kestabilan langkah-langkah saat berbaris sangat diutamakan
dalam tarian ini. Gerak-gerak dalam Tari Baris menceritakan ketangguhan para prajurit Bali
dimasa lalu. Gerak khas yang ada pada tari baris adalah seledet atau gerak delit mata penari yang
senantiasa berubah-ubah. Para penari, yang semuanya pria menggunakan mahkota berbentuk
segitiga dihiasi kulit kerang berajar vertical diatasnya. Tarian ini menggunakan iringan music
gamelan Gong Gede atau gamelan sejenisnya.
4.1 Macam-macam Tari Baris
4.1.1 Tari Baris Katekok Jago
Tari Baris ini merupakan sarana upacara Pitra (pengabenan). Ditarikan oleh sekitar 20
orang penari, masing-masing membawakan senjata tombak poleng (tombak yang tangkainya
berwarna hitam dan putih/poleng). Tari Baris ini menampilkan gerak-gerak ayam jago. Tarian
yang diiringi dengan gamelan Gong banyak dijumpai di daerah Badung dan di Buleleng.
4.1.2 Tari Baris Tumbak
Baris ini meggambarkan pasukan perang bersenjata tombak yang siap untuk berangkat
kemedan perang. Tari baris ini biasanya ditarikan oleh sekelompok orang penari laki-laki
dewasa, dan pada umunya ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya. Gamelan pengiringnya
pada umunya gamelan Gong. Baris ini banyak dijumpai di daerah Badung, Bangli dan Gianyar.
4.1.3 Tari Baris Poleng

18

Tari Baris Poleng adalah semacam tari Baris Katekok Jago yang memakai busana serba
loreng (poleng/putih hitam). Dibawakan oleh sejumlah penari laki-laki dewasa, diiringi oleh
gamelan Gong Kebyar atau Bleganjur. Tarian ini biasanya dipentaskan untuk Upacara Dewa
Yadnya. Tari Baris Poleng biasanya dijumpai di daerah Badung, Bangli dan Gianyar.
4.1.4 Tari Baris Dadap
Tari ini dinamakan Baris Dadap karena penarinya membawa senjata dadap (semacam
perisai) tarian ini biasanya dipertunjukkan untuk Upacara Dewa Yadnya, kecuali di daerah
Tabanan tari baris ini berfingsi sebagai sarana upacara Pitra Yadnya. Baris Dadap banyak
dijumpai di daerah Bangli, Singaraja, Gianyar dam Tabanan.
4.1.5 Tari Baris Presi
Tari Baris ini menggunakan senjata berupa Presi yang terbuat dari kayu. Diiringi dengan
gamelan gong. Tarian ini ditarikan oleh sekelompok kecil (8-10 orang) penari laki-laki dewasa.
Tarian ini berfungsi sebagai sarana upacara Dewa Yadnya dan banyak dijumpai di daerah Bangli,
Gianyar, dan Buleleng.
4.1.6 Taris Baris Pendet
Baris ini merupakan sarana upacara Dewa Yadnya dimana masing-masing penarinya
membawa bokor atau dulang yang berisikan saji-sajian. Di Desa Tanjung Bungkak (Denpasar),
Baris Pendet membawa canang yang disebut Canang Oyod dan pada bagian akhirnya penari
Baris menari menggunakan kipas sambil maaras-arasan. Tarian ini biasanya diiringi dengan
gamelan Gong Kebyar.

4.1.7 Tari Baris Bajra


Bajra adalah Genta yang dipakai oleh Sang Pendeta ketika melakukan/muput Yadnya.
Baris Bajra adalah tarian Baris yang dibawakan oleh sekelompok kecil (8-10 orang) penari lakilaki, dalam formasi 2 baris yang membawa senjata yang merupai ujung (mundur) Bajra yang
berbentuk Gada. Tarian ini terdapat di daerah Buleleng dan Bangli.

19

4.1.8 Tari Baris Tamiang


Baris Tamiang, sejenisnya Baris Presi, ditarikan oleh sekelompok penari putra yang
membawa senjata Tamiang dan Keris dengan iringan Gamelan Gong. Baris yang merupakan
sarana upacara Dewa Yadnya ini salah satunya terdapat di Desa Pakraman Kedisan, Tegalalang,
Gianyar.
4.1.9 Tari Baris Kupu-kupu
Tarian ini dinamakan Baris Kupu-kupi karena gerakannya menirukan sayap kupu-kupu
dan penarinya menggunakan sayap kupu-kupu (yang dulunya kipas). Dalam pertunjukannya,
Baris Kupu-kupu diiringi dengan Gamelan Gong. Baris yang biasanya dipentaskan dalam
kaitannya dengan upacara Pitra Yadnya (ngaben) terdapat di daerah Badung.
4.1.10 Tari Baris Bedil
Sebagaimana nama yang diberikan kepada tarian ini, Baris Bedil adalah tari
kepahlawanan yang melukiskan sekelompok tentara bersenjata bedil. Tarian ini, diiringi dengan
gamelan angklung. Baris ini terdapat di daerah Karangasem, serta kegunaannya sebagai
pengiring upacara Dewa Yadnya.
4.1.11 Tari Baris Cina
Baris ini mungkin paling unik dibandingkan dengan tari-tarian Baris upacara lainnya
karena didalamnya terdapat unsure-unsur kebudayaan Cina. Selain banyak mempergunakan
gerak-gerak pencak silat, penarinya yang terdiri dari 9 orang (8 orang orajurit dan 1 orang
pemimpin atau komandan) mempergunakan senjata pedang, bercelana panjang, bertopi,
berkumis, dan berjenggot panjang seperti silat cina. Gamelan pengiringnya adalam Gamelan
Gong Beri yang terdiri dari 2 buah gong Cina (tanpa moncong), kendang dan lain-lain. Baris ini
hanya terdapat di daerah/Desa Renon, Denpasar, ini diduga peninggalan budaya Cina yang
masuk ke Bali sekitar abad XI.

20

4.1.12 Tari Baris Cendekan


Tarian ini sejenis dengan Baris Tombak. Dibawakan oleh anatara 10 orang samapi 12
orang penari laki-laki, masing-masing penari membawa senjata Tombak yang pendek. Diiringi
dengan gamelan Tembang (Cumbang) Kirang, tarian upacara Dewa Yadnya ini terdapat di Desa
Tejakula Buleleng.
4.1.13 Tari Baris Panah
Tari Baris ini merupakan sarana Upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh sekitar 12
orang penari laki-laki remaja dengan menggunakan senjata panah. Di daerah Buleleng, tarian ini
biasanya dibawakan oleh penari yang mengenakan busana adat ke Pura dan diiringi dengan
Gamelan Tembang (Cumbang Kirang).
4.1.14 Tari Baris Jangkang
Tari Baris ini termasuk rumpun atau tarian Baris Tombak kerena para penarinya
menggunakan senjata berupa tombak. Gerakan tarinya hamper sama dengan Baris Tombak,
hanya saja ukuran tombak untuk Baris Jangkang agak panjang dan permainan tombak sedikit
menonjol dalam tarian ini. Tarian Jangkang terdapat di daerah Bangli, Gianyar, dan Nusa Penida
(Klungkung).

4.1.15 Tari Baris Gayung


Berbeda dengan tari-tarian Baris Gede lainnya. Baris Gaytung adalah tarian upacara yang
ditarikan oleh para pemimpin upacara (pemangku) dengan menarikan gayung atau canting (alat
untuk membawa air suci). Para penari Baris Gayung tidak menggunakan busana khusus
sebagaimana selayaknya penari baris melainkan hanya menggunakan busana pemangku yang
serba putih. Mereka bergerak sambil menuangkan air suci dan tetabuhan kelantai mengikuti
irama tubuh gamelan Gong.
4.1.16 Tari Baris Cerekuak (Kerekuak)

21

Baris

Cerekuak

adalah

sarana

upacara

Pitra Yadnya/pengabenan.

Tari

yang

menggambarkan pertemuan atau percintaan antara sekelompok burung Cercuak dengan burung
Manuk Dewata dibawakan oleh sekitar 9 orang laik-laki dewasa, para penari menggunakan
busana daun-daunan memakai topeng burung, dengan membawa tongkat dan diiringi dengan
gambelan gong kebyar. Tari Baris ini banyak terdapat di daerah Tabanan.
4.1.17 Tari Baris Irengan
Tari Baris yang diperkirakan muncul sekitar abad XVII ini merupakan sarana Upacara
Dewa Yadnya di pura-pura yang ditarikan oleh sekitar 16 orang penari laki-laki dewasa.
Berbusana sesaputan (poleng) dan bersenjatakan tombak, dulunya setiap penari memakai
semacam wig (sobrat) dan kulit kera hitam (irengan). Tarian ini diiringi dengan gambelan gong
(gong gede maupun gong kebyar). Baris Irengan dapat dilihat di Desa Buahan, Payangan,
Gianyar.
4.1.18 Tari Baris Mider Gita
Tari Baris ini merupakan sarana upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh 9 orang
penari. Baris ini disebut mider (keliling) gita (nyanyian) oleh karena dalam pementasannya para
penari, dengan menggunakan canang sari, menari mengelilingi sebuah tempat suci (bale agung)
sebanyak tiga kali sambil menyanyikan kidung wargasari mengikuti irama tubuh gamelan gong
gede. Tarian yang diperkirakan muncul sekitar abad ke XVI ini hingga kini masih ada di Desa
Tembuku, Bangli.
4.1.19 Tari Baris Nawa Sanga
Baris Nawa Sanga adalah tari baris yang melukiskan turunnya Dewata Nawa Sanga dari
Kahyangan ke Mercapada. Dibawakan oleh 9 orang penari laki-laki dewasa, tarian ini
dipentaskan sebagai sarana upacara Dewa Yadnya dan sebagai penolak wabah. Dengan
menggunakan busana bebarisan (Awiran) dan membawa alat-alat sesaji berupa lis deg-deg
(pengganti tombak) para penari bergerak mengikuti irama gamelan gong kebyar. Baris Nawa
Sanga hingga sekarang masih ada di Desa Baturiti, Tabanan.
4.1.20 Tari Baris Goak

22

Tari Baris yang merupakan sarana upacara Dewa Yadnya di pura-pura ini, ditarikan oleh
sekitar 16 orang penari laki-laki dewasa, menggambarkan kehidupan sekelompok burung gagak
ketika mencari mangsa. Berbusana sesaputan, setiap orang penari memakai selendang panjang
yang dipakai sebagai sayap untuk menggambarkan burung. Tarian ini diiringi dengan gamelan
gong kebyar. Di Desa Blantih, Kintamani,Bangli, Baris Goak ditarikan berkaitan dengan Tari
Baris Tombak, setelah selesai membawakan Tari Tombak, para penari meletakkan senjata mereka
dilantai untuk kemudian menarikan Baris Goak.
4.1.21 Tari Baris Kelemat
Istilah kelemet berasal dari kata Lemat (dalam bahasa Bali) yang berarti pisau. Kelemt
adalah perlengkapan nelayan yang berbentuk dayung berujung 2 (seperti senjata limping). Tarian
yang diduga berasal dari abad XVII ini adalah sarana upacara Dewa Yadnya serta ditarikan oleh
nelayan. Dalam pertunjukannya, sekitar 20 orang penari laki-laki dewasa, dengan menggunakan
busana adat ke Pura (sederhana) menari dengan membawa senjata kelemat dan sebagian lagi
membawa kancuh (pengangkat air). Mereka bergerak mengikuti irama gamelan gong kebyar.
Pementasan tari baris ini biasanya digunakan di tepi pantai. Baris Kelemat terdapat di Desa
Munggu, Badung.
4.1.22 Tari Baris Mamedi
Tari Baris ini merupakan sarana upacara Pitra Yadnya (ngaben) yang menggambarkan
sekelompok roh-roh halus untuk menjemput atau mengantar Atma orang yang meninggal menuju
Sorga. Dibawakan oleh sekitar 9 orang penari laki-laki dewasa, para penari memakai busana dari
daun-daunan kering atau ranting-ranting kayu yang diperoleh dari kuburan (tempat dimana para
penari dihias). Dalam pertunjukkan Baris Mamedi dipentaskan sepanjang jalan dari kuburan ke
rumah orang meninggal, disenja hari (sandikala) dengan iringan gong baleganjur. Tarian ini
terdapat di Desa Tengkudah, Penebel, Tabanan.
4.1.23 Tari Baris Tangluleng
Tari Baris ini adalah sarana upacara Dewa Yadnya yang dipentaskan di pura-pura sebagai
penolak bala agar tidak mengganggu jalannya upacara. Konon nama Tanglungleng diberikan
karena melodi gendingnya yang didominasi oleh nada ending (tang), ndung (lung), ndeng (leng).
23

Dilakukan oleh sekitar 0 orang penari laki-laki dewasa, para penari mengenakan busana
sesaputan dari kain poleng, setiap orang membawa senjata tameng, dan diiringi dengan gamelan
gong gede. Tarian ini terdapat di Desa Karangasem.
4.1.24 Tari Baris Ketujeng
Tari Baris ini, seperti Baris Mamedi, merupakan sarana upacara Pitra Yadnya (ngaben)
yang menggambarkan sekelompok roh-roh halus untuk menjemput atau menghantar atma orang
yang meninggal menuju Sorga. Tari ini dibawakan oleh 10-12 orang penari laki-laki dewasa,
para penarinya memakai busana dari daun-daunan kering atau ranting-ranting kayu yang
diperoleh dari kuburan (tempat dimana penari dihias). Dalam pertunjukannya, Baris Mamedi
dipentaskan disepanjang jalan dari kuburan ke rumah orang yang meninggal, disenja hari
(sandikala) dengan iringan gamelan gong baleganjur. Yang unik dari Baris Ketujeng ini adalah
penari-penarinya tidak boleh orang sembarangan melainkan orang-orang yang ditunjuk oleh si
pemilik kerja (ngaben). Tarian ini terdapat di Desa Poh Gending, Penebel, Tabanan.

4.1.25 Tari Baris Tengklong


Nama tarian ini adalah Tari Baris Tengklong yang sarana upacara Dewa Yadnya di purapura. Dibawakan oleh sekitar 20 orang penari laki-laki dewasa, memakai busana sesaputan dari
kain poleng, dengan destar putih, setiap orang membawa senjata tombak. Baris Tengklong
terdapat di Desa Pemecutan Denpasar diiringi oleg gong kebyar (dulunya gong gede).
4.1.26 Tari Baris Demang
Tari Baris upacara Dewa Yadnya ini mendapat banyak pengaruh dari Tari Gambuh, tari
klasik tertua di Bali. Nama demang diambil dari nama Demang Tumenggung, karakter patih
keras namun lucu, dari pengambuhan. Ditarikan oleh sekitar 10 orang penari laki-laki, para
penari memakai busana sesaputan dari kain poleng, memakai Gelungan Sobrat Demang
(berkepala botak) dan setiap orang membawa senjata pedang (dulunya Gada) dan Tameng.
Gamelan pengiringnya adalah gong kebyar dengan barungan kecil (memakai beberapa
instrument saja). Baris Demang terdapat di Banjar Tegal, Singaraja.
4.1.27 Tari Baris Kuningan
24

Taru upacara Dewa Yadnya yang ditarikan oleh sekelompok penari pria yang berbusana
serba kuning dan bersenjatakan keris dan tamiang (perisai), terdapat di daerah Buleleng.
4.1.28 Tari Baris Omang
Tari Baris yang mempergunakan senjata tombak tetapi gerakannya perlahan-lahan seperti
jalannya siput (Omang), menggambarkan pertempuran antara pasukan Tegal Badeng (Badung)
dengan pasukan pasukan Guwak (burung gagak). Tarian ini disucikan oleh masyarakat Selulung
(Kintamani, Bangli) dan terdapat dalam upacara Dewa Yadnya.
4.1.29 Tari Baris Jojor
Tarian baris yang ditarikan sekelompok penari dengan membawa senjata Jojor (tombak
bertangkai panjang) terdapat dalam upacara Dewa Yadnya dan ada di daerah Buleleng, Bangli,
dan Karangasem.
4.1.30 Tari Baris Gede
Tari Baris Gede merupakan salah satu dari berbagai jenis tarian sacral yang ada di Bali.
Tari baris ini menjadi salah satu bagian perlengkapan dari upacara keagamaan. Baris Gede
biasannya dipentaskan selama ada upacara dan ditarikan oleh 10 orang penari atau lebih dengan
mengenakan pakaian prajurit perang dan membawa senjata berupa tombak, cakra, pedang, dan
tameng, yang menari dalam satu barisan lalu melakonkan perang tanding.

4.1.31 Tari Baris Tunggal


Tari Baris Tunggal merupakan tari baris yang sering dipertontonkan. Dimana tarian ini
menceritakan tentang seorang prajurit yang gagah perkasa dan berwibawa. Oleh karena itu gerak
tari Baris Tunggal sangatlah tegas dan enerjik. Penari mengenakan pakaian seperti Badong, Awir,
Lamak, Celana Panjang dan lain-lain. Tari Baris Tunggal diiringi gamelan gong kebyar, gong
gede dan lain-lainnya.

5. Tari Topeng Sidakarya


25

Tari Topeng Sidakarya merupakan salah satu tari Bali yang ditarikan untuk pelengkap
dari ritual keagamaan sehingga tari disebut sebagai tari wali. Tarian ini ditarikan oleh laki-laki
dengan ciri-ciri topeng berwarna putih, mata sipit, gigi tonjos, wajah setengah manusia setengah
demanik, rambut panjang sebahu, dan memakai krudung merajah. Penari biasanya membawa
bokoran berisi canang sari, dupa, beras kuning, dan sekar ura.
Bramana Keling
Pada jaman dahulu di suatu daerah yang bernama Keling ada seorang pendeta yang
sangat termashyur karena pandangannya tentang kebenaran yang utama yang mempunyai Ilmu
Kelepasan Jiwa. Ia disebut sebagai Brahmana Keling karena beliau berasal dari sebuah daerah
yang bernama Keling di Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman atau pertapaan di lereng
Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu
Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada
yang tahu nama Beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari daerah Keling maka beliau
dipanggil dengan sebutan Brahmana Keling.
Perjalanan Perjalanan Brahmana Keling
Dalam buku Babad Sidakarya karangan I Nyoman Kantun, S.H. MM dan Drs. I Ketut
Yadnya terbitan PT Upada Sastra pada tahun 2003, diceritakan bahwa Brahmana Keling
melakukan perjalanan ke Madura, Bali, dan terakhir menuju Badanda Negara atau Sidakarya
sekarang. Berikut ini adalah riwayat perjalanan beliau.

1. Perjalanan Brahmana Keling ke Madura


Konon kerajaan Madura pernah lalai untuk menunaikan Saji Pepajegan yang merupakan
upacara tarian persembahan kepada para Leluhur. Karena raja pada waktu itu kurang yakin
terhadap akibat yang ditimbulkan apabila upacara tidak dilaksanakan, dan juga rakyat Madura
kurang memperhatikan serta melupakan tradisi warisan dari generasi sebelumnya, akhirnya
terjadi kekacauan di Kerajaan Madura. Mendengar peristiwa itu, Brahmana Keling lalu pergi ke
Madura. Sesampainya beliau di Madura, Raja menjamunya selayaknya menjamu seorang

26

Brahmana. Saat itu, beliau banyak memberikan nasihat nasihat terutama untuk Sang Raja agar
upacara yang Saji Pepajegan dilaksanakan dengan baik demi kesejahteraan rakyat. Awalnya Raja
tidak percaya terhadap nasihat nasihat yang diberikan oleh Brahmana Keling kepadanya, tetapi
Brahmana Keling tidak putus asa begitu saja karena Beliau tahu bahwa Sang Raja selalu dihantui
oleh rasa bimbang. Supaya Sang Raja merasa yakin, Akhirnya Brahmana Keling memperlihatkan
dan menunjukkan kekuatan batinnya dengan cara Pohon pisang yang sudah layu dan kering
Beliau hidupkan lagi sehingga menjadi hijau dan subur kembali, Benang yang semula berwarna
hitam dalam sekejap beliau rubah menjadi berwarna putih, dan hal hal aneh lainnya yang
Brahmana Keling tunjukkan pada Raja agar Sang Raja percaya padanya.
Akhirnya Sang Raja terperangah dan terpesona melihat keajaiban yang Brahmana Keling
tunjukkan. Sejak saat itu, Sang Raja sangat taat menjalankan petunjuk petunjuk yang diberikan
oleh Brahmana Keling, beliau juga ditunjuk untuk memimpin upacara di Madura. Setelah itu,
upacara upacara seperti tari saji pajegan berlangsung dengan lancar dan sukses. Keadaan
kerajaan kembali aman dan tenteram. Oleh karena itu di Madura beliau dijuluki sebagai
Brahmana Wasaka yang kira kira berasal dari kata Wacika yang berarti ucapan atau perkataan
dan Satya yang berarti kesatria atau kebenaran. Secara umum Brahmana Wasaka berarti apa yang
beliau ucapkan selalu dapat dibuktikan kebenarannya (sidhi ngucap sidhi mandi). Beliau
selanjutnya kembali ke Jawa Timur.
2. Perjalanan Brahmana Keling ke Bali
Sekembalinya beliau ke Jawa, dengan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan,
sampailah beliau di sebuah Desa bernama Desa Muncar. Di sini beliau beristirahat sejenak
sambil menikmati keindahan panorama selat Bali. Tiba tiba muncul ayahnya (Dang Hyang
Kayumanis) yang bercerita panjang lebar tentang keberadaannya di Nusa Bali. Ayah beliau juga
bercerita tentang kerajaan Gelgel yang dipimpin oleh Dalem Waturenggong dan didampingi oleh
Dang Hyang Nirartha sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan
melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra di Pura Besakih. Setelah pertemuan Dang Hyang
Kayumanis dan Brahmana Keling, Sang Ayah melanjutkan perjalanan ke Pesraman di Jawa
Timur (Daerah Keling) sedangkan sang Anak melakukan perjalanan ke pulau Bali menuju
Kerajaan Gelgel.

27

Tak ada yang tahu tentang bagaimana perjalanan Brahmana Keling ke Bali. Sesampainya
beliau di Gelgel, Kerajaan sedang dalam kondisi sepi dan beliau disapa oleh beberapa pemuka
masyarakat yang ada di Kerajaan. Beliau tiba dalam kondisi lesu, lusuh, dengan pakaian yang
kumal dan kotor. Ketika beliau ditanya tentang tujuan beliau ke Gelgel, beliau menjawab bahwa
beliau ingin menemui saudaranya yaitu Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang
Nirartha. Karena orang yang ingin ditemui oleh Brahmana Keling tidak ada di Kerajaan, maka
beliau dipersilahkan oleh pemuka masyarakat yang menyapa beliau untuk menuju ke pura
Besakih sebab mereka sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan upacara Eka
Dasa Rudra. Sesampainya beliau di pelataran Pura Besakih, beliau disapa oleh masyarakat yang
sedang ngayah dan ditanyakan maksud kedatangan beliau. Brahmana Keling menjawab bahwa
beliau ingin bertemu saudara beliau yaitu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha.
Masyarakat tadi tidak percaya terhadap jawaban Brahmana Keling yang mengaku ngaku
sebagai saudara dengan Dalem junjungannya, bahkan masyarakat ini tersinggung karena
menurutnya tidak mungkin Dalem junjungannya memiliki saudara yang penampilannya seperti
pengemis. Tetapi Brahmana Keling tetap bersikeras dan beliau berhasil masuk ke dalam pura.
Akhirnya mungkin karena kelelahan, Brahmana Keling langsung menuju ke pelinggih Surya
Chandra

dan

duduk

beristirahat

28

untuk

melepas

penatnya.

Tak berselang berapa lama, datanglah Sang Prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau
menoleh ke atas pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya beliau. Karena murkanya beliau
langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang yang telah berani duduk
di atas pelinggih Surya Chandra. Prajurit menjawab bahwa orang itu (Brahmana Keling)
memang dari tadi memaksa untuk masuk dan beliau mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan
Dang Hyang Nirartha. Tetapi tidak ada yang tahu mengapa tiba tiba orang itu sudah ada di atas
pelinggih Surya Chandra. Bertambah murkalah Sang Prabu setelah mendengarkan apa yang
disampaikan oleh prajurit tersebut. Sang Prabu lalu memerintahkan Rakyat dan semua pengayah
untuk mengusir orang yang disangka gila tersebut. Karena saking mulianya hati sang Brahmana,
beliau tidak melawan sedikitpun saat diusir oleh rakyat dan pengayah karena Sang Prabu sudah
tidak mengakui beliau sebagai saudara lagi. Sebelum Brahmana Keling meninggalkan Besakih,
beliau mengucapkan kutukan yang berbunyi : wastu tata astu karya yang dilaksanakan di
pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bunga kekeringan, rakyat kegeringan
(diserang wabah penyakit), sarwa gumatat gumitit (binatang kecil/hama) membuat
kehancuran (ngerebeda) di seluruh jagat (bumi) Bali.
Begitulah ucapan yang keluar dari mulut Brahmana Keling yang bagaikan suara petir di langit
yang cerah. Semua masyarakat menyaksikan dengan mulut menganga, terpaku tak berkutik
sedikitpun. Lalu Brahmana Keling meninggalkan Besakih menuju Barat Daya.
3. Perjalanan Brahmana Keling ke Badanda Negara(Sidakarya sekarang)
Singkat cerita sampailah Brahmana Keling di Badanda Negara yaitu di Desa Sidakarya
sekarang. Badanda Negara berasal dari kata Badanda yang berarti Padanda atau pandan (pohon
berduri) dan Negara berarti Wilayah, maka Badanda Negara berarti Pandan Negara atau suatu
wilayah dimana banyak tumbuh pohon pandan dan sejenisnya. Di pesisir selatan kerajaan
Badung banyak ditumbuhi dengan pohon pandan, jeruju, serta bakau, oleh karena itu daerah
pesisir ini lumrah disebut dengan Badanda Negara atau Pandan Negara. Di sana beliau membuat
pesanggrahan / pesraman sebagaimana layaknya seorang Brahmin.

Situasi Kerajaan Gelgel dan Seluruh Jagat Bali


29

Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura Besakih, tidak berapa hari suasana jagat Bali
terutama kerajaan Gelgel dan sekitarnya berangsur angsur menampakkan situasi yang tidak
mengenakkan. Seperti ucapan Sang Brahmana Keling dalam kutukannya, semua pohon
pohonan yang berguna bagi pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra di Besakih seperti kelapa,
pisang, padi, sayuran, dan sebagainya semua layu. Buah buahan berguguran, wabah dan hama
seperti ulat, tikus, dan lain lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman tanaman
petani. Bumi seketika menjadi kering kerontang, wabah penyakit (gerubug) menyerang
penduduk. Terjadi pertengkaran antar pengayah yang disebabkan oleh hal hal yang sepele,
hingga keadaan menjadi kacau balau. Oleh karena itu, pelaksanaan karya urung dilaksanakan,
karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat kenyataan seperti itu, Dang Hyang
Nirartha diperintahkan oleh Dalem Waturenggong melakukan upacara pembasmian, bahkan
dengan dilakukannya tapa semadi oleh Dang Hyang Nirartha seakan akan tidak mempan,
bahkan terkesan masalah semakin menjadi jadi. Semua keadaan serba menyedihkan. Akhirnya
Ida Dalem sendiri yang turun tangan. Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan Tapa
Semadi di Pura Besakih. Beliau mendapatkan pewisik dari ida Betara yang berstana di Pura
Besakih, bahwa Dalem Waturenggong telah berdosa karena mengusir saudaranya sendiri secara
hina dan hanya Brahmana Kelinglah yang dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala.
Setelah mendapatkan petunjuk berupa pawisik, esok harinya Dalem Waturenggong
langsung memanggil perdana menterinya yaitu Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan) serta
memanggil para patih lainnya seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan, dan lainnya termasuk para
punggawa untuk mengadakan siding. Dalam Sidang tanpa agenda tersebut, diputuskan agar
menjemput Brahmana Keling yang pernah diusir sebelumnya secepatnya karena hanya beliau
yang dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Dikatakan juga bahwa beliau (Brahmana
Keling) sedang berada di Badanda Negara yaitu di pesisir selatan Kadipaten Badung. Pada waktu
itu yang menjadi Anglurah (Raja) di Badanda Negara (Badung) adalah I Gusti Tegeh Kori dari
Dinasti Tegeh Kori.
Singkat cerita berangkatlah rombongan yang ditugaskan untuk menjemput Brahmana
Keling ke Badanda Negara. Pertama tama mereka menuju Kerajaan Tegeh Kori untuk meminta
petunjuk lebih lanjut. Akhirnya mereka diarahkan untuk menuju Pandan Negara (Pesisir Selatan
Kerajaan Badung yang menjadi Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di Pandan30

Negara, bertemulah mereka dengan Brahmana Keling. Mereka langsung menghaturkan sembah
sujud mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud kedatangan mereka menghadap
beliau. Sesuai dengan perintah Dalem Waturenggong, Brahmana Keling diminta untuk bersedia
datang kehadapan Dalem Waturenggong sesegera mungkin. Sesudah mereka bercerita,
Brahmana Keling mempersilahkan mereka untuk kembali ke Kerajaan Gelgel lebih dulu,
Brahmana Keling akan menyusul kemudian.
Pengembalian kutukan Brahmana Keling
Tidak ada yang tahu bagaimana cara Brahmana Keling pergi ke Pura Besakih sehingga
beliau sudah sampai sebelum rombongan penjemputnya yang dipersilahkan oleh beliau untuk
berangkat lebih dahulu. Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih, beliau disambut
selayaknya tamu kebesaran dan beliau diperlakukan dengan sangat sopan, ramah, dan hormat.
Dalam percakapan Brahmana Keling dengan Dalem Waturenggong, yang juga disaksikan oleh
Dang Hyang Nirartha, dikatakan bahwa apabila Brahmana Keling mampu mengembalikan
keadaan Jagat Bali seperti Sedia Kala, Dalem Waturenggong berjanji untuk bersedia mengakui
memang benar bahwa Brahmana Keling adalah saudara dari Dalem Waturenggong.
Mendengar perkataan Dalem Waturenggong, dengan senang hati Brahmana keeling
menyanggupinya, lalu beliau hening sejenak tanpa sarana dan sesajen sedikitpun. Beliau
mengucapkan mantra mantra dan dengan kekuatan batin yang luar biasa terjadi keanehan
keanehan antara lain :
a. Ayam yang sebelumnya berwarna selain putih dikatakan berwarna putih oleh beliau, seketika
ayam tersebut berubah warna menjadi putih.
b. Pohon kelapa yang kering, layu tanpa buah seketika berubah menjadi subur, hijau dan berbuah
sangat lebat, begitu juga pohon pisang yang sudah layu dihidupkan kembali dan berbuah lebat.
c. Hama tikus, wereng, walang sangit, ulat dan sebagainya lenyap seketika.
d. Masyarakat yang diserang wabah penyakit seketika menjadi sehat.

31

Apa yang diucapkam oleh Brahmana keling betul betul terbukti sehingga Ida Dalem
Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha serta hadirin yang menyaksikan terheran heran dan
terpesona karena terjadi hal hal aneh yang menakjubkan. Akhirnya sesuai janjinya, Dalem
Waturenggong mengakui Brahmana Keling adalah saudaranya sendiri.
Penganugrahan Gelar Dalem Sidakarya
Setelah keadaan dikembalikan seperti sediakala oleh Brahmana Keling, maka Karya Eka
Dasa Rudra yang dilaksanakan pada Purnamaning Sasih Kedasa tahun Saka 1437 atau tahun
1515 masehi yaitu pada abad ke-16 lancar dan sukses. Pada Pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra
tersebut sekaligus dipimpin oleh Dang Hyang Nirartha dan Brahmana Keling, karena
sebelumnya Bali pernah dilanda kegeringan maka dalam Karya Eka Dasa Rudra tersebut juga
dilaksanakan Upacara Nangluk Merana.
Berkat Jasa Brahmana Keling yang mampu menciptakan kesejahteraan alam lingkungan
yang lebih baik dari tahun ke tahun, hasil alam yang melimpah sebagai sarana dan prasana karya
sehingga karya dapat dilaksanakan dengan sukses atau berhasil(Sidakarya) sesuai dengan
harapan Dalem Waturenggong, maka Brahmana Keling dianugrahi gelar Dalem. Mulai saat itu
Brahmana Keling mabiseka Dalem Sidakarya. Lalu diadakan upacara pediksan sebagaimana
mestinya.
Saking gembiranya Ida Dalem Waturenggong karena upacara Eka Dasa Rudra berjalan lancar
dan berhasil (Sidakarya) maka selain dianugrahkan gelar Dalem Sidakarya atas nasihat Dang
Hyang Nirartha, Dalem Waturenggong bersabda yang isinya kurang lebih sebagai berikut:
Mulai saat ini dan selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan
upacara wajib nunas tirta Penyida Karya yang bertempat di pesraman Dalem Sidakarya supaya
upacara yang dilakukan menjadi Sidakarya(Berhasil), yang terletak di pesisir selatan Kerajaan
Badung (Sidakarya sekarang). Pada setiap upakara atau sarana upacara disebarkan sarana
serba Sidakarya seperti sayut Sidakarya untuk di banten atau sesajen, tipat sidakarya untuk
makanan kesejahteraan, Tari Topeng Sidakarya untuk wali (keselarasan). Dan orang yang

32

mengadakan

upacara

wajib

nunas

Catur

Bija

dan

Panca

Taru

Sidakarya.

Catur Bija yang dimaksud antara lain beras, ketan, beras merah, dan injin(ketan hitam).
Kesemuanya itu secara umum digunakan untuk penginih inih karya dan pengingsahan
karya, sebagai ajengan catur dalam kegiatan Yadnya. Jatu ini sebelum dipergunakan
ditaruh di penetegan beras.

Panca Taru yang dimaksud adalah Cempaka, Sandat yang digunakan sebagai simbolis
jatu untuk wewangunan suci. Yang biasa digunakan adalah serpihannya (tampalan) untuk
jatu api pasepan. Selain dua kayu tadi, ada juga Kayu Naga Sari yang digunakan sebagai
pelengkap tetandingan banten, Dadap yang digunakan untuk penuntun tirta, berisi benang
tukel, andel andel, dan uang kepeng, kelapa (kloping, danyuh, pang, busung atau janur)
yang digunakan untuk memasak di dapur, pengeseng sekah, dan pengeseng
penimpungan. Janur atau busung digunakan untuk semua jejahitan.

33

Beberapa kayu sekarang susah didapat, maka apapun yang diterima dari pura dapat digunakan
sebagai jatu Panca Taru dari Sidakarya.
Sebagai penghormatan dan kenangan dari peristiwa di atas, selanjutnya dari ketiga tokoh
penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong yaitu Dalem Waturenggong sendiri, Dang
Hyang Nirartha, dan Dalem Sidakarya, akhirnya Dalem Waturenggong memerintahkan Pasek
Akeluddadah untuk pertamakalinya membuat tapel atau topeng yang menggambarkan Sang Tiga
Sakti atau ketiga tokoh yang berperan penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong.
Menurut orang yang menulis buku ini, Akeluddadah berasal dari dua kata yaitu Akelud yang
berarti penyucian atau pembersihan(pemarisudha) dan Dadah yang berarti air atau air suci(tirta).
Jadi Akeluddadah berarti tirta pemarisudha atau penyucian segala bentuk mala atau kotoran yang
disimbolkan dengan topeng yang dipentaskan sebagai tarian sacral pada sebuah pelaksanaan
upacara Yadnya. Karena I Pasek ini berjasa dalam membuat topeng Akeluddadah, maka beliau
disebut dengan Pasek Akeluddadah. Namun topeng yang dibuat oleh Pasek Akeluddadah belum
diketahui keberadaannya
Demi kesempurnaan upacara Yadnya, sebagai penutup rangkaian upacara dipentaskan
Tari Topeng Sidakarya yang dalam pentasnya dapat dibawakan dengan seorang diri (memajeg)
atau ditarikan oleh lebih dari satu orang tergantung keadaan. Dalam Tari Topeng Sidakarya,
tokoh penting yang ditampilkan adalah Tokoh Dang Hyang Nirartha sebagai Pendeta, Dalem
Waturenggong sebagai Penguasa/Raja dan Dalem Sidakarya yang disebut sebagai Sang Tiga
Sakti. Adapun ciri ciri dari topeng Sidakarya adalah berwarna putih, bermata sipit, giginya
agak maju (jongos), berwajah setengah manusia dan setengah demanik, berambut sebahu,
memakai kerudung yang dirajah, dan penarinya biasanya membawa bokoran berisi canang sari,
dupa, beras kuning, sekar ura, dan sebagainya sebagai symbol kedarmawanan.
Penari topeng sidakarya lalu menari dangkrak dingkrik dan dilanjutkan dengan
menangkap penonton yang masih anak anak lalu diberikan uang kepeng yang artinya kurang
lebih sebagai perwujudan mengobati orang sakit serta memberikan kesejahteraan pada orang
lain. Ini juga merupakan simbolis siklus kehidupan yaitu lahir, kecil, muda, tua, mati. Setelah itu
penari mengucapkan (ngucarang) mantra yang isinya:

34

Dadia punang ikang kalan nira, mijil Dalem Sidakarya, kadi gelap dumereping randu raja
menala, gumeter ikang pretiwi apah teja bayu akasa, lintang tranggana ketekeng surya senjana
metu aku saking Mutering Jagat Sudha butha kala liak, desti teluh trangjana pada nembah
tanwani teken aku, apan aku mawak pemarisudha jagat. Sakuwehing mala, lara, roga, wigena
pada geseng. Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang.

Setelah nguncarang mantra tersebut dilanjutkan


dengan menaburkan beras kuning yang menyimbulkan pemberian laba kepada para Butha Kala
supaya tidak mengganggu ketentraman hidup manusia, serta menebarkan kesejahteraan pada
umat manusia sehingga terwujud rahayuning jagat. Serta dibarengi dengan penebaran sekar ura
yang merupakan symbol medana dana (bersedekah) . Dengan selesainya pementasan Topeng
Sidakarya maka tuntaslah segala rangkaian pelaksanaan upacara Yadnya yang disebut
Sidakarya.
Bila kita seorang penggemar pertunjukan topeng Bali, maka topeng Dalem Sidekarya
tidaklah begitu asing kedengarannya. Karena di Bali banyak terdapat jenis-jenis topeng yang
seringkali dipagelarkan baik itu sebagai hiburan maupun pelengkap upacara yadnya. Topeng
keras, topeng monyer,(topeng bujuh),topeng tua, topeng Dalem, dan topeng Dalem
Sidakarya.Topeng Dalem Sidakarya digolongkan topeng pingit (sacral), dan hanya dipentaskan
dalam suatu karya yadnya tertentu. Jadi tidak sembarang yadnya topeng ini dapat dipentaskan .
Tapel topeng Sidakarya digambarkan sebagai sosok dengan kulit muka putih, mata sipit,
gigi jongos, dengan warna muka antara manusia dan demanjk, rambut panjang putih sebahu,
mengenakan kekereb(kerudung) berwarna putih merajah Durgha Murti. Menari dengan gerakan
dangkrak dingkrik. Dengan tampilan tapel seperti itu, maka tampak sekali memancarkan taksu,
medengen, berwibawa, dan berkarisma.
35

Dalam pagelarannya,topeng Sidakarya sering disebut pula dengan topeng ngejuk. Karena
dalam pementasannya selalu disertai guyonan atau bercanda dengan ngejuk (memegang) salah
seorang anak-anak, dan kemudian diberi upah barupa pis bolong (uang kepeng). Ini adalah
sebagai simbol mengobati orang sakit dan kemudian diberikan kesejahteraan. Juga sebagai
simbolisasi dari punarbawa yakni kelahiran berulang-ulang. Dengan gerakan yang sangat
sederhana, dengan wajah yang lain dari pada yang lain membuat topeng Sidakarya sangat yang
sebagai sebuah tarian yang sakral.
Dengan gaya tarian yang dangkrak dingkrik dan sambil mengucapkan mantra sakti
sambil nyambehin (menebar) beras kuning yang artinya memberikan laba (makanan) kepada
bhuta kala supaya tidak mengganggu ketentraman hidup manusia, sehingga diharapkan
mendapatkan kerahayuan jagat. Diiringi dengan menebar sekar ura yang artinya medana-dana
(bersedekah) kepada semua unsur kekuatan bhuta demi kelancaran upacara. Karena
penyelanggaraan topeng Dalem Sidakarya sangat penting artinya dalam memohon kesejahteraan
dunia dan segala isinya, baik sekala dan niskala, maka sudah seyogyanya untuk mementaskan
Topeng Dalem Sidakarya dalam suatu karya yadnya. Namun sebagai catatan, bahwa sampai
tingkatan yadnya bagaimana, atau jenis upacara apa saja yang perlu mementaskan topeng Dalem
Sidakarya tersebut . Agar topeng yang sakral, medengen, serta memiliki suatu nilai yang sangat
suci dan magis tersebut tidak menjadi salah tempat dan salah waktu di dalam mementaskannya.
Ini semuanya perlu mendapatkan perhatian. Karena tidak ada sumber yang jelas mengatur hal
tersebut.
Dengan menggelar tari topeng Sidakarya pada suatu yadnya tertentu diharapkan yadnya
yang diselenggarakan dapat barjalan dengan lancar dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
atau disebut dengan sidakarya, labdakarya.

36

6. Tari Balih-balihan
Balih-balihan adalah jenis tarian yang bersifat non-religius dan cenderung menghibur.
Ditampilkan di halaman depan atau luar pura. Jenis-jenisnya:
1. Tari Janger
Tari Janger adalah salah satu tari Bali yang terpopuler. Diciptakan pada tahun 1930-an, Janger
adalah tari pergaulan muda mudi Bali. Tari ini dibawakan oleh 10 penari yang berpasangan, yaitu
kelompok putri (janger) dan putra (kecak). Mereka menari sambil menyanyikan Lagu Janger
secara bersahut-sahutan. Gerakan Janger sederhana namun ceria dan bersemangat. Musik yang
menjadi latar belakang tari adalah Gamelan Batel atau Tetamburan dan gender wayang.
1.1 Sejarah Dan Perkembangan Tari Janger
Awal mula munculnya tari janger ini berawal dari nyanyian bersaut-sautan dari orangorang yang memetik kopi,dimana untuk menghapuskan kelelahannya meraka menyanyi bersautsautan antara kelompok perempuan dari bentuk yang sangat sederhana ini kemudian berkembang
dan menjadilah Tari janger. Lirik lagunya diadaptasikan dari nyanyian Sanghyang, sebuah tarian
ritual. Jika dikategorikan dalam Tari Bali, Janger termasuk Tari Balih-balihan, tarian yang
memeriahkan upacara maupun untuk hiburan.
Seiring

perkembangannya,

kini

Janger

juga

dapat

dibawakan

oleh

orang

dewasa. Terdapat kelompok-kelompok tari yang anggotanya wanita dewasa yang berperan
sebagai janger maupun kecak. Janger juga dibawakan dalam bentuk drama tari yang
disebut Janger Berkisah. Kisah-kisah yang dimainkan antara lain Arjuna Wiwaha, Sunda
Upasunda dan sebagainya.

37

Hingga saat ini tari janger menjadi ajang kenalan pemuda antar desa satu dengan desa
lain. Karena berkembang di masing-masing komunitas, muncul jenis-jenis tari janger yang
dibumbui dengan gaya tersendiri.
Janger diadaptasikan dari aktivitas para petani yang menghibur diri karena lelah bekerja.
Lirik lagunya diadaptasikan dari nyanyian Sanghyang, sebuah tarian ritual. Jika dikategorikan
dalam Tari Bali, Janger termasuk Tari Balih-balihan, tarian yang memeriahkan upacara maupun
untuk hiburan.
Karena populernya, pada tahun 1960-an, Janger mulai dipentaskan dalam kegiatan
berbagai partai politik, tak terkecuali PKI. Kelompok-kelompok tari Janger mendukung
kampanye pemutusan hubungan RI dengan Malaysia pada tahun 1963. Presiden Soekarno
memberi banyak perhatian kepada tari ini, salah satunya dengan membawa penari-penari Janger
pentas di Istana Tampaksiring. Setelah peristiwa G30S/PKI terjadi, banyak seniman janger yang
dianggap berpihak kepada PKI dibunuh dan dikucilkan. Masa ini merupakan periode kejatuhan
Tari Janger. Baru pada tahun 1970-an, popularitasnya kembali naik.
Pada perkembangannya, kini Janger juga dapat dibawakan oleh orang dewasa. Terdapat
kelompok-kelompok tari yang anggotanya wanita dewasa yang berperan sebagai janger maupun
kecak. Janger juga dibawakan dalam bentuk drama tari yang disebut Janger Berkisah. Kisahkisah yang dimainkan antara lain Arjuna Wiwaha, Sunda Upasunda dan sebagainya.
Selama puluhan tahun, Janger telah diajarkan kepada para pemuda pemudi di Bali. Lama
kelamaan, tari ini menjadi ajang kenalan pemuda antar desa satu dengan desa lain. Karena
berkembang di masing-masing komunitas, muncul varian yang dibumbui dengan gaya tersendiri.
Pemerintah daerah Bali ikut mempopulerkan Janger sebagai tari pembuka pada macammacam kegiatan dan acara, misalnya program Keluarga Berencana, pemilihan umum, kesehatan
untuk lansia, sampai kampanye anti narkoba.
Selain dari gerak tarian, lagu Janger kemungkinan lebih populer di luar Bali. Lagu Janger banyak
dikenal karena sering dinyanyikan oleh tim Indonesia dalam kejuaraan paduan suara
internasional.

38

1.2 Varian

Janger dari Tabanan. Pada Janger dari daerah ini, muncul Dag, tokoh berpakaian tentara
Belanda yang tugasnya memberi aba-aba kepada para penari.

Janger dari Desa Metra, Bangli, dipentaskan dengan ritual kesurupan pada akhir
pertunjukkannya. Janger jenis ini dinamakan Janger Maborbor, para penarinya yang
kesurupan menari sambil menginjak bara api.

Janger dari Desa Sibang, Badung, dinamakan juga Janger Gong karena diiringi dengan
Gamelan Gong Kebyar.

Janger dari Desa Bulian, Buleleng, khusus dipentaskan oleh warga desa yang mengalami
tunawicara.

Terdapat sekaa (organisasi pemuda) yang khusus mementaskan Janger, antara lain Janger
Kedaton (Denpasar) dan Janger Singapadu (Gianyar).
Pengertian Tari Janger Tarian Berasal Dari Daerah Bali.
Tari Janger merupakan salah satu tari Bali yang diciptakan pada tahun 1930-an dan
merupakan salah satu dari yang terpopuler. Janger adalah tari pergaulan anak remaja Bali.
Ditarikan oleh 10 hingga 16 orang penari secara berpasangan, yaitu kelompok putri yang
dinamakan janger dan kelompok putra yang dinamakan kecak. Mereka menari sambil
menyanyikan Lagu Janger secara bersahut-sahutan.
Gerakan Janger sederhana namun ceria dan bersemangat. Musik yang menjadi latar
belakang tari adalah Gamelan Batel atau Tetamburan dan gender wayang.
1.3 Bentuk Pementasan Tari Janger
Pertunjukan tari Janger terdiri dari bagian-bagian seperti berikut :

Pembukaan
39

Tari janger diawali dengan suatu tabuh pembukaan yang berupa hanya suara-suara
gamelan. Lagu-lagu pembukaan bisa berupa batel tetamburan ataupun lagu penggalang yang
lain.

Pepeson
Dimulai dengan nyanyian-nyayian dan tarian bersama dari seluruh penari janger dan

kecak dengan formasi sedemikian rupa di depan pintu masuk (gapura) arena tari. Selanjutnya
masuk iring-iringan janger yang di bagi menjadi dua baris. Setelah janger duduk lalu di susun
dengan masuknya kecak dan di arena tari mereka membentuk formasi saling berhadaphadapan. Demikian formasi mereka adalah membentuk garis segi empat dengan arah hadap
penari semuanya menghadap kedalam arena tari.

Pejangeran
Pada bagian ini kecak maupun janger menari dan menyayi saling bersahut-sahutan

bersama-sama dalam suasana yang pada umumnya gembira. Sering pula dalam bagian
pejangeran ini penari kecak berpindah tempat yakni duduk berhadap-hadapan dengan Penari
Janger. Setelah bagian pejangeran ini selesai maka penari kecak maupun penari janger
merubah posisi menjadi duduk dua baris di sisi-sisi arena tari sehingga penari yang tampil
berikutnya mempunyai ruang gerak yang lebih luas.

Lakon
Lakon yang ditampilkan pada tarian ini adalah lakon arjuna wiwaha, sunda-upasunda,

gatot kaca sraya dan lainya. Selama adegan ini berlangsung janger dan kecak seolah-olah
sebagai penonton biasa.kalau seandainya diperlukan penari tambahan seperti penari bidadari,
kupu-kupu, dan lain sebagainya biasanya diambil dari penari janger.

Penutup
Pertunjukan Janger ditutup dengan tarian janger dan kecaknya yang pada tahap penutup

ini para penari menyanyikan lagu permohonan maaf dan selamat tinggal kepada penonton

40

dan dengan demikian perlahan-lahan penonton beranjak dari tempat duduk dan para penari
kecak dan janger juga keluar.
1.4 Gerak Tari Janger
Gerak tari janger merupakan gerak-gerak tari klasik bali terutama gerak-gerak tari yang
dipergunakan dalam tarian ini seolah-olah hanya pemindahan dari arja, topeng, baris atau jauk.
Penasar memakai gerak-gerak tari sebagai mana yang terdapat pada arja maupun topeng ,begitu
pula mentri mengambil gerak-gerak tari dari arja.
Gerak tari yang agak berbeda dan merupakan khas pejangeran adalah terdapat pada gerak
tari pada kecak dan jangernya. Kecak pada dasarnya masih tetap menampilkan gerak-gerak tari
Bali klasik. Gerak-gerak tari ini kemudian dipadukan dengan unsur pencak silat sehingga
melahirkan gerak-gerak tari yang khas.sedangkan janger gerak tarinya adalah berpegangan pada
gerak-gerakan tari Bali klasik. Penari janger dan kecak melakukan tarinya kebanyakan dengan
posisi bersimpuh atau duduk bersila.

1.5 Busana tari Janger


Penari tari janger menggunakan busana dari pada janger dan kecaknya. Janger pada
umumnya mengenakan busana seperti: gelungan janger,badong gelang kanan,sabuk,kain,oncer
dan ompak-ompak. Perlengkapan lainya yang digunakan janger adalah kipas. Sedangkan penari
kecak memakai busana yang terdiri dari : kain kekancutan, sabuk, ampok-ampok, badong, gelang
kana dan udeng.
1.6 Jenis Tarian Janger
1.6.1 Janger dari Tabanan
41

Pada Janger dari daerah ini, muncul Dag, tokoh berpakaian tentara Belanda yang
tugasnya memberi aba-aba kepada para penari.
1.6.2 Janger dari Desa Metra, Bangli
Dipentaskan dengan ritual kesurupan pada akhir pertunjukkannya. Janger jenis ini
dinamakan Janger Maborbor, para penarinya yang kesurupan menari sambil menginjak bara api.
1.6.3 Janger dari Desa Sibang Badung
dinamakan juga Janger Gong karena diiringi dengan Gamelan Gong Kebyar.
1.6.4 Janger dari Desa Bulian, Buleleng
Khusus dipentaskan oleh warga desa yang mengalami tunawicar

1. Tari Kecak
2.1 Pengertian
Tari kecak adalah salah satu jenis kesenian tradisional dari Bali yang diciptakan pada
kisaran tahun 1930 oleh seorang penari sekaligus seniman dari Bali yakni Wayan Limbak.
Sebagai seorang seniman tentu saja Wayan Limbak sangat akrab dengan para seniman lain, sebut
saja Walter Spies yang merupakan seorang pelukis dari negara Jerman merupakan salah satu
teman akrab Wayan Limbak. Kedua sahabat inilah yang menjadi pencetus tari kecak yang
sangat terkenal hingga saat ini.

42

Tarian yang kerap dimainkan oleh laki-laki ini kini menjadi salah satu icon kebudayaan
Bali yang cukup mendapat sanjungan oleh para wisatawan yang berkunjung ke Bali.Meskipun
gerakan yang dilakukan oleh para penari tergolong sangat sederhana, namun pembawaan para
penari yang berjumlah cukup banyak mulai dari puluhan hingga ribuan orang membuat gerakan
yang dimainkan tergolong sangat unik dan menarik.Pementasan dan pertunjukan tari tradisional
dari bali ini dapat dengan mudah kita saksikan di beberapa wilayah Bali seperti Uluwatu, Garuda
Wisnu

Kencana,

Ubud,

dan

Gianyar

Bali.

Ekspresi para penari nan memukau membuat para penonton tercengang akan penampilan
mereka. Di lain sisi musik pengiring hampir tidak ada, hanya suara dan lantunan kata-kata yang
berbunyi

cak-cak-cak-cak

terdengar

dalam

mengiringi

gerakan

tarian.

Jika kita dapat menyaksikan tari kecak dari awal hingga akhir, maka kita akan
memahami mengenai alur cerita yang disajikan dari gerakan-gerakan pementasan oleh para
penari.Antusias masyarakat Bali akan keberlangsungan dan kelestarian kesenian tradisional
membuat banyak orang belajar dan tertarik untuk melakukan tarian yang diciptakan oleh Wayan
Limbak ini. Tak heran jika hampir semua pemuda bali khususnya para laki-laki mampu
melakukan gerakan tarian ini dengan cara duduk melingkar. Para penari mengenakan pakaian
khas bercorak kotak-kotak hitam putih mirip dengan papan catur.Dari tahun 1970 tari kecak
terus mengalami peningkatan, bahkan pemerintah daerah setempat menjadikan tari ini sebagai
icon budaya masyarakat Bali.
3.1 Sejarah dan Perkembangan
Tari kecak merupakan tarian yang dicetuskan dan diciptakan oleh seniman asal Bali
yakni Wayan Limbak dan seorang sahabatnya dari Jerman. Pada awal kemunculan nya jenis tari
ini tercipta secara tidak sengaja yang diambil dari sebuah tarian adat pemujaan yang dikenal
dengan sebutan Shangyang. Sanghyang adalah jenis tarian tradisional Bali yang dilakukan dalam
upacara religi seperti menolak bala serta mengusir suatu wabah penyakit.Dari sebuah
pementasan Sanghyang inilah kemudian Wayang Limbak bersama Walter Spies berinovasi
menciptakan sebuah gerakan tari sebagai salah satu wujud kecintaan mereka terhadap budaya
dan

kesenian

Bali.

Salah satu jenis kesenian tari ini disajikan oleh para penari yang duduk melingkar serta
43

mengucapkan kata cak-cak-cak-cak secara serentak, karena ini pula tarian ini diberi nama
dengan sebutan tari kecak. Gerakan tangan yang disajikan dalam pertunjukan sebenarnya
mengisahkan sebuah cerita Ramayana yakni pada peristiwa Dewi Shinta diculik oleh Rahwana.
Hingga akhir pertunjukan biasanya tari ini menyajikan kisah pembebasan Dewi Sintha dari
tangan

Rahwana.
Guna mendukung cerita yang disajikan maka dalam pertunjukan tari tradisional Bali juga

harus terdapat beberapa tokoh yang memerankan peran utama sebagai Hanoman, Sugriwa, Dewi
Shinta,

Rhama,

dan

Rahwana.

Pada tahun 70-an Wayang Limbak bekerja keras guna mempromosikan dan
mengenalkan tari kecak hingga ke mancanegara. Selain mengenalkan keunikan dalam
pementasan tarian ini tentu saja daerah asal kesenian ini ikut melambung di dunia Internasional
yang kemudian menarik para wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Bali.

Dalam perkembangannya pertunjukan tari yang juga menceritakan kisah pewayangan


ini dimainkan oleh laki-laki yang berjumlah tak terbatas. Ada kalanya disajikan oleh puluhan
orang namun dalam acara tertentu ada pula yang dipertunjukkan secara massal oleh ribuan
penari.
Perkembangan tari kecak dari awal terciptanya hingga kini memang bisa dikatakan
cukup membanggakan. Selain antusias masyarakat Bali terhadap seni garapan Wayan Limbak
ternyata para wisatawan yang berkunjung ke Bali juga sangat tertarik dalam menyaksikan sebuah
pertunjukan gerak seni ini. Tak heran jika pemerintah daerah setempat menjadikan tari kecak
sebagai

salah

satu

icon

kesenian

dan

kebudayaan

daerah.

The Monkey Dance juga diberikan sebagai sebutan tari tradisional Bali yang satu ini.
Hal ini diberikan karena salah satu adegan dalam pertunjukan tari tersebut menggunakan properti
api serta tokoh utama yang berperan sebagai kera/ Hanoman.
3.3 Fungsi Tari Kecak
Seperti telah tertuliskan di atas, tari kecak merupakan tarian yang berasal dari kreasi
upaca shangyang. Karena upacara shangyang merupakan jenis kegiatan sakral dan hanya boleh
dilakukan di Pura maka Wayan Limbak berinovasi dari inspirasi gerakan shangyang menjadi
44

gerakan

tari

yang

terkenal

hingga

ke

mancanegara.

Adapun fungsi tari kecak dapat kita kelompokan secara garis besar sebagai berikut.
3.3.1 Sebagai sarana hiburan
Penciptaan gerakan tarian ini secara sadar dilakukan guna mempertunjukkan suatu
kesenian khas bali pada masyarakat umum. Tarian ini bertujuan sebagai sarana hiburan baik bagi
masyarakat setempat maupun bagi para wisatawan yang berdatangan ke Bali.
3.3.2 Usaha melestarikan kebudayaan
Dalam tarian yang berawal dari upacara Sanghyang ini juga terdapat kisah dan cerita
yang tersirat dari awal hingga akhir pertunjukan. Cerita pewayangan yang di angkat dalam
sebuah gerakan tari merupakan inovasi baru dalam usaha melestarikan kebudayaan Hindu
khususnya dalam kisah Ramayana.
3.3.3 Alat Musik Pengiring
Hampir tidak ada alat musik pengiring tari kecak kecuali suara gemerincing serta suara
dari para penari yang berbunyi cak-cak-cak-cak. Meskipun tidak ada alat musik khusus
sebagaimana tarian lain namun justru disini letak keunikan tari tersebut.Suara yang bersahutsahutan dan kadang kala kompak membuat nada-nada unik yang sangat menarik utuk
didengarkan seiring gerakan tarian yang dilakukan oleh para penari.Suara gemerincing terdengar
dari properti tari yang dikenakan oleh para penari khusunya tokoh utama dalam seni pertunjukan
khas Bali tersebut.
3.3.4 Properti Dalam Tari Kecak
Sama halnya dengan tari serampang dua belas dan tari gambyong surakarta, tari kecak
juga memiliki properti khas yang menjadi ciri khas dalam sebuah pertunjukan kesenian
tradisional. Adapun properti yang biasa digunakan dalam pertunjukan antara lain sebagai berikut:

Selendang
Selendang atau kain yang dikenakan oleh para penari tari kecak memiliki corak kotak-

kotak dengan warna hitam putih menyerupai papan catur.


45

Gelang kincringan
Properti ini dikenakan baik pada pergelangan tangan dan sebagian juga pada pergelangan

kaki. Gelang kicringan ini yang menimbulkan bunyi gemerincing pada saat gerakan tari
dilakukan.

Tempat sesaji
Adanya tempat sesaji sebagai properti tari kecak menjadikan tarian ini sangat unik dan

terlihat sakral. Terlebih asal usul gerakan tari yang berasal dari sebuah upacara adat
Sanghyang membuat tarian ini juga terlihat mistis dikalangan para penonton.

Topeng
Minimal terdapat 3 topeng yang dikenakan oleh penari utama yang berperan sebagai

tokoh Hanoman, Sugriwa, dan Rahwana pada cerita yang disajikan selama tarian
berlangsung.

Keunikan Tari Kecak


Secara garis besar dalam seni pertunjukan tari kecak terdapat beberapa keunikan,

keunikan tersebut antara lain terdapat pada:


1 Gerakan
Gerakan tarian yang ada dalam sebuah pertunjukan baik di Garuda Wisnu Kencana
(GWK), Ubud, maupun tempat lain terlihat seperti seseorang yang tengah melakukan suatu
pemujaan pada upacara Shangyang.
2 Musik pengiring
Musik pengiring dalam tari kecak memang tergolong sangat unik. Karena hampir tidak
ada alat musik yang dimainkan guna mengiringi pertunjukan. Musik yang terdengar pada
sajian tarian khas dari Bali yang satu ini hanya terdengar dari gemerincing gelang grincingan
yang dikenakan oleh para penari. Sementara suara lain hanya bersumber dari mulut para
penari yang seolah saling bersahutan mengucapkan cak-cak-cak-ke-cak-cak-cak.

46

3 Drama
Drama yang dimainkan dalam pementasan merupakan cerita Ramayana yang
mengisahkan usaha pembebasan Dewi Shinta dari tangan Rahwana yang dilakukan oleh
Rama dan beberapa sahabatnya.
3.3.5 Cerita Dalam Tarian
Sebagaimana telah kita sebutkan di atas, pertunjukan tari kecak yang berfungsi sebagai
usaha melestarikan kebudayaan disini alur cerita yang disajikan dalam suatu pementasan
biasanya berupa kisah diculiknya Dewi Shinta oleh Rahwana, dan usaha Rama dalam
membebaskan Dewi Shinta dari tangan Rahwana. Secara garis besar terdapat 5 bagian cerita
yang

mengisahkan

demikian:

Bagian1
Menceritakan tentang keberadaan Rama dan Dewi Shinta di dalam hutan yang
kemudian disusul kemunculan kijang emas. Dalam akhir cerita bagian 1 ini Shinta berhasil
diculik oleh Rahwana dan dibawa ke Alengka yang menjadi kerajaan Rahwana.
Bagian2
Pada bagian kedua ini Dewi Shinta ditawan di lingkungan kerajaan Alengka dengan
dijaga Trijata yang merupakan keponakan dari Rahwana. Dalam adegan ini terlihat Shita
bersedih hati akan peristiwa yang tengah menimpanya serta sangat berharap kedatangan Rama
membebaskan

dirinya

dari

Rahwana.

Pada bagian ini pula Hanoman muncul sebagai utusan Rama dan mengisyaratkan kepada Dewi
Shinta bahwa Rama akan datang dan menyelamatkan dirinya. Pada akhir bagian kedua ini
Hanoman mempora-porandakan bangunan keraton Alengka dengan membakar beberapa
bangunan

keraton

serta

taman.

Bagian3
Mengisahkan tentang kedatangan Rama ke negeri Alengka dengan bala tentaranya untuk
membebaskan Dewi Shinta dari sekapan Rahwana. Pada awal pertempuran pihak Rama
mengalami kekalahan melawan pasukan Rahwana. Setelah memanjatkan doa kepada Sang Dewa
47

datanglah burung garuda menyelamatkan Rama dari pengaruh sihir yang dilakukan oleh
keturunan

Rahwana.

Bagian4
Pertempuran antara Rama dan Rahwana kembali terjadi dan semakin seru. Pada bagian
ini Sugriwa yang diperintahkan Raja Rama berhasil mengalahkan Megananda.
Bagian5
Merupakan pucak dari pertunjukan tari kecak dimana menceritakan tentang
kemenangan Rama atas Rahwana sehingga berhasil menemukan Dewi Shinta dan
membebaskannya dari Rahwana. Cerita diakhiri dengan bertemunya kembali Rama dan Dewi
Shinta serta beberapa pasukan pihak Rama seperti Hanoman dan Sugriwa.

3.3.6 Kesimpulan
Pengertian Tari kecak adalah salah satu jenis kesenian tradisional dari Bali yang
diciptakan pada kisaran tahun 1930 oleh seorang penari sekaligus seniman dari Bali yakni Wayan
Limbak. Selain antusias masyarakat Bali terhadap seni garapan Wayan Limbak ternyata para
wisatawan yang berkunjung ke Bali juga sangat tertarik dalam menyaksikan sebuah pertunjukan
gerak seni ini. Tak heran jika pemerintah daerah setempat menjadikan tarian ini sebagai salah
satu

icon

kesenian

dan

kebudayaan

daerah.

Tari tradisional Bali ini berfungsi sebagai sarana hiburan sekaligus usaha melestari
kebudayaan Hindu di Bali. Dalam tarian ini hampir tidak ada alat musik pengiring kecuali suara
gemerincing serta suara cak-cak-cak-cak dari para penari. Adapun properti yang digunakan
dalam tarian ini antara lain kain kotak-kotak, topeng, gelang kicringan, serta tempat sesaji.
Sendra tari ini menceritakan tentang kisah Ramayana yakni peristiwa diculiknya Dewi Shinta
oleh Rahwana hingga pembebasannya yang dilakukan oleh Rama beserta pasukannya.
Demikian artikel tentang salah satu kesenian tradisional bali yang sangat terkenal
hingga kini. Dengan memahami mengenai sejarah tari kecak serta beberapa subbab yang
terdapat di dalamnya dapat menambah pengetahuan kita terutama dalam mempelajari jenis tari
tradisional di Indonesia.
48

TABUH

1. Dewa Yadnya
1.1 Selonding

49

Selonding merupakan seni musik tradisional yang diperkirakan hidup sejak zaman Bali
Kuno, di mana imperium kerajaan Majapahit belum masuk ke tanah Bali. Hanya, selonding
sebagai seni tradisi manusia Bali Kuno tidak mendapat banyak perhatian dari kekuasaan raja-raja
utusan Majapahit. Kesenian yang dikembangkan di Bali ketika itu hanyalah kesenian kraton
yang dibawa seniman-seniman tanah Jawa. Akibatnya selonding terabaikan bahkan nyaris
mengalami kepunahan. Sebagai khazanah peradaban manusia Bali Kuno, kajian sejarah terhadap
selonding perlu kembali dilakukan untuk menghidupkan kembali kesenian yang memiliki
kekuatan membawa ketenangan ini.Gamelan Selonding yang terbuat dari besi ini berlaras pelog
tujuh nada ini tergolong barungan alit yang langka dan sangat disakralkan oleh masyarakat desa
Tenganan Pagringsingan dan Bongaya (kabupaten karangasem).Gamelan ini dimainkan untuk
mengiringi berbagai upacara adat di Bali Aga yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan
untuk mengiringi tari Abuang,Perang Pandan (Makare-karean) dan lain-lain. Gambelan
Selonding adalah merupakan peninggalan dari kegiatan berkesenian nenek moyang kita di masa
silam.
Gambelan ini berfungsi menyajikan tabuh-tabuh petegak atau tanpa disertai tari-tarian,
baik dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara Agama serta kepentingan-kepentingan
lainnya. Namun perlu diketahui hanya dalam upacara Agama pada hari raya-hari raya tertentu
saja Gamelan Slonding ini ditabuh atau dibunyikan, Gambelan Selonding merupakan salah satu
gamelan yang di sakralkan oleh masyarakat desa Tenganan pangringsingan, Di kalangan
masyarakat Tenganan Pagringsingan gamelan Selonding diberi nama Bhatara Bagus Selonding.
50

Sejarah munculnya Selonding dikaitkan dengan sebuah mitologi yang menyebutkan bahwa pada
zaman dulu orang-orang Tenganan mendengar suara gemuruh dari angkasa yang datang secara
bergelombang. Pada gelombang pertama suara itu turun di Bongaya (sebelah timur laut
Tenganan) dan pada gelombang kedua suara itu turun didaerah Tenganan Pagringsingan. Setelah
hilangnya suara itu diketemukan gamelan Selonding (yang berjumlah tiga bilah). Bilah-bilah itu
kemudian dikembangkan sehingga menjadi gamelan Selondin seperti sekarang. Gambelan
Selonding memang masih dapat bertahan dari terpaan gelombang peradaban manusia dalam
rentang waktu yang cukup lama, dan ini hanya dimungkinkan oleh adanya suatu vitalitas nilai
universal yang terkandung di dalamnya dan terjalin erat dengan masyarakat pendukungnya.
Barungan gamelan selonding terdiri dari delapan buah instrumen antara lain dua buah
gangsa,empat buah oncangan dan dua buah penerang. Kalau dilihat bentuk keseluruhannya
hampir semua sama yaitu berbentuk trapesium.
Adapun masing-masing pelawah selonding mempunyai ukuran sebagai berikut:
1.
Panjang

Instrumen
bagian

Panjang

gangsa
atas

bagian

Lebar

wadon.
76

bawah:69

cm
cm

15,5

cm

gangsa

lanang

Tinggi : 25 cm
2.

Instrumen

Panjang

bagian

atas:

76

cm

Panjang

bagian

bawah:

67

cm

Lebar:

14

cm

Tinggi: 25 cm
3.

Instrumen

oncangan

lanang

Panjang

bagian

atas:

41

cm

Panjang

bagian

bawah:

36

cm

51

Lebar:

15

cm

Tinggi: 20 cm
4.

Instrumen

oncangan

wadon

Panjang

bagian

atas:

43,5

cm

Panjang

bagian

bawah:

33,5

cm

wadon

II

Lebar: 18,5 cm
5.

Instrumen

oncangan

Panjang

bagian

atas:

57

cm

Panjang

bagian

bawah:

43

cm

Lebar:

18,5

cm

Tinggi: 20 cm

6.

Instrumen

oncangan

Panjang

bagian

atas:

Panjang

bagian

bawah:

Lebar:

lanang

II

43,5

cm

41

cm

16,5

cm

Tinggi: 20 cm
7.

Instrumen

penerang

Panjang

bagian

atas:

Panjang

bagian

bawah:

Lebar:

lanang
61,5

cm

55

cm

16,5

cm

Tinggi: 21 cm
8.

Instrumen

penerag

Panajng

bagian

atas:

Panjang

bagian

bawah:

52

wadon
61,5

cm

54

cm

Lebar:

16,5

cm

Tinggi: 21 cm
Sesuai dengan struktur dari lagu-lagu selonding bahwa tiap-tiap inbstrumen mempunyai tugas
yang berbeda-beda dalam barungannya. Adapun tugas-tugas itu ialah seperti berikut:

Gangsa lanang, jumlah bilahnya delapan buah bertugas mengendalikan melodi lagu.
Urutan nadanya: dong dang deng dung dang dong ding dong .

Gangsa wadon, jumlah bilahnya delapan buah, bertugas mengendalikan melodi lagu.
Urutan nadanya : ding dong dang deng dung dang dong ding.

Oncangan lanang I, jumlah bilahnya empat buah, bertugas menjalin kotekan/ cecandetan.
Urutan nadanya : dung dang dong ding .

Oncangan lanang II, jumlah bilahnya empat , bertugas menjalin kotekan / cecandetan.
Urutan nadanya : ding dong dang deng

Oncangan wadon I, jumlah bilahnya empat buah , bertugas menjalin kotekan/cecandetan.


Urutan nadanya : ding dong dang deng .

Oncangan wadon II, jumlah bilahnya empat buah , betugas membuat jalinan
kotekan/cecandetan. Urutan nadanya : dung dang dong ding.

Penerag lanang, jumlahnya empat buah, bertugas memperjelas tekanan lagu. Urutan
nadanya: dung dong ding.

Penerag wadon, julah bilahnya empat buah, bertugas memperjelas tekanan lagu. Urutan
nadanya : ding dong dang deng.

53

Adapun gending selonding yang sering di mainkan yaitu:

Sekar gadung

Nyangnyangan

Rejang gucek

Rejang ileh dll

1.2 Gong Luwang

Gong Luwang adalah gamelan langka yang pada umumnya dipergunakan untuk
mengiringi upacara kematian (ngaben). Gamelan yang berlaras pelog (tujuh nada) dan
merupakan barungan madya ini, yang barungannya lebih kecil dari pada Gong Kebyar,
termasuk salah satu jenis gamelan yang jarang dimainkan untuk mengiringi suatu pertunjukan
tari atau drama. Kalaupun Gong Luwang dimainkan di atas pentas, seperti dalam pagelaran
dramatari Calonarang, barungan ini hanya dipakai untuk mengiringi adegan memandikan
mayat atau mandusin watangan.
Ada 8 atau 9 macam instrumen yang membentuk barungan gamelan Gong Luwang dengan
jumlah penabuh antara 16 (enam belas) sampai 20 (duapuluh) orang.
Instrumentasi gamelan gong Luwang adalah:
Jumlah
1
1
2
1
2
1
2-4
2
2

Satuan
buah
buah
buah
buah
buah
buah
pasang
buah
buah

Instrumen
saron cenik
saron gede
jegogan
trompong
gong ageng
kempur
cengceng kopyak
gambang bambu (saron)
kendang
54

Tabuh yang biasa dimainkan antara lain:


Labda
Ginada
Lilit
Manukaba
Tabuh Wargasari
Panji Cenik (dari tabuh Gambang)

55

Tabuh-tabuh Gong Luwang sangat melodis yang diwarnai oleh perpaduan ubit-ubitan reyong
dan gambang yang khas yang diberi aksentuasi oleh saron dan jegogan. Peranan kendang
sangat kecil karena suara kendang hanya terdengar mendekati jatuhnya gong untuk
menandakan akhir dari suatu bagian komposisi. Hingga dewasa ini Gong Luwang masih hidup
didesa Singapadu (Gianyar), Tangkas (Klungkung), Kerobokan (Badung) dan Kesiut (Tabanan)
SMKI Bali dan STSI Denpasar juga memiliki masing-masing memiliki 1 barung gamelan
Gong Luwang.
1.3 Gong Beri

56

Gong Beri termasuk barungan alit adalah gamelan langka dan sakral. Hingga kini Gong
Beri masih dipelihara dengan baik oleh warga masyarakat desa Renon, Sanur di Denpasar.
Gamelan ini biasanya dimainkan untuk mengiringi tari Baris Cina. Istilah Beri sering disebutsebut di dalam kakawin Bharatayuda yang berarti sebuah alat perang. Juga di dalam Prasasti
Blanjong, terdapat istilah Bheri yang juga berarti alat perang. Gong dibuat dari krawang dan
diduga merupakan peninggalan kebudayaan Dongson. Gong yang ada dalam barungan ini
mempunyai banyak persamaan dengan nekara bulan yang terdapat di Pura Penataran Pejeng
(Gianyar). Berbeda dengan instrumen gong lainnya, gong pada gamelan Gong Beri tidak
memakai pencon, seperti gong Cina.
Barungan Gong Bheri terdiri dari:
Jumlah Satuan
2
buah
1
1
1
1
1
1
1

buah

Instrumen
gong (bor dan ber)
klenteng (sejenis gong namun lebih kecil dan nadanya

lebih tinggi)
buah
kendang bedug
buah
sungu (kerang besar)
buah
suling kecil
buah
tawa-tawa (gong kecil berpencon)
buah
gong besar (tak bermoncol)
pangkon cengceng

Gending-gending yang biasa dimainkan adalah:

Gending Pategak
Gending Baris Ireng (baris hitam)
Gending Baris Petak (baris putih)

1.4 Gong Gede


57

Gamelan Gong ini dinamakan Gong Gede (besar) karena memakai sedikitnya 30 (tiga puluh)
macam instrumen berukuran relatif besar (ukuran bilah, kendang, gong dan cengceng kopyak
adalah barung gamelan yang terbesar yang melibatkan antara 40 (empat puluh) - 50 (lima puluh)
orang pemain, demikian dikutip dari artikel Arya Tangkas Kori Agung, Gong Gede.
Sebagai seni karawitan, dijelaskan dalam kutipan artikel ISI Denpasar, Gamelan Gong Gede
merupakan perpaduan unsur-unsur budaya lokal yang sudah terakumulasi dari masa ke masa.
Unsur budaya Bali tercermin pada penggunaan instrumen dari perangkat gamelan Bali dan
busana

yang

dipergunakan

oleh

para

penabuh

Budaya lokal tampak pada penggunaan tradisi-tradisi Bali seperti :


58

(jero

gamel).

Tabuh-tabuh yang memakai laras pelog dan sesaji

Para penabuhnya didominasi dengan memakai kostum penabuh seperti ; ikat kepala
(udeng) dipakai warna hitam, bajunya dipakai warna putih disisinya memakai safari
hitam berisi simbol, memakai saput orange, dan ditambah dengan membawa keris atau
seselet. Istilah jero gamel tidak jauh berbeda dengan juru gamel.

Kalau dilihat dari fungsinya semuanya ini berarti tukang gamel, yang sudah melekat sebagai
bagian dari identitas diri seseorang.
Instrumen Bentuk instrumen gamelan Gong Gede ada dua jenis yakni :
1. Berbentuk bilah
2. Berbentuk (moncol).
Menurut Brata, instrumen yang berbentuk bilah ada dua macam : bentuk bilah bulig, dan bilah
mausuk. Bentuk bilah bulig bisa disebut dengan : metundun klipes, metundun sambuk, setengah
penyalin. Untuk instrumen yang berbilah seperti bilah metundun klipes, metundun sambuk,
setengah penyalin dan bulig terdapat dalam instrumen gangsa jongkok penunggal, jongkok
pengangkem

ageng,

dan

jongkok

pengangkep

alit

(curing).

Instrumen-instrumen ini bilahnya dipaku atau sering disebut dengan istilah gangsa mepacek.
Sedangkan bentuk bilah yang diistilahkan merai, meusuk, dan meakte terdapat pada instrumen
pengacah, jublag, dan jegogan. Instrumen-instrumen ini bilahnya digantung yaitu memakai tali
seperti

jangat.

Instrumen yang bermoncol dapat dikelompokan menjadi dua yakni :


1. Moncol tegeh (tinggi)
2. Moncol endep (pendek).
Contoh instrumen yang berpancon tinggi seperti; riyong ponggang, riyong, trompong
barangan, dan tropong ageng (gede). Sedangkan instrumen yang berpencon pendek (endep)
59

antara

lain

kempli,

bende,

kempul,

dan

gong.

Begitu juga halnya dengan bentuk reportoar gending Gong Gede di Pura Ulun Danu Batur,
berbentuk lelambatan klasik yang merupakan rangkaian dari bagian-bagian gending yang
masing-masing

mempunyai

bentuk

urutan

sajian.

Adapun urutan dari bagian-bagian bentuk reportoar gending dari masing-masing bentuk
reportoar adalah sebagai berikut :
1. Gending gilak (gegilakan) terdiri dari bagian gending-gending kawitan dan pengawak.
2. Gending tabuh pisan terdiri dari bagian gending kawitan, pengawak, ngisep ngiwang,
pengisep, dan pengecet.
3. Gending tabuh telu, terdiri dari bagian gending kawitan dan pengawak. Bentuk reportoar
gending tabuh pat, tabuh nem, dan tabuh kutus mempunyai bagian gending yang sama
yaitu kawitan (pengawit), pengawak, pengisep (pengaras), dan pengecet.
4. Gending pengecet terdapat sub-sub bagian gending yang urutan sajiannya adalah
kawitan, pemalpal, ngembat trompong, pemalpal tabuh telu, pengawak tabuh telu.
Alternatif yang lain dari susunan sajian sub bagian gending dalam pengecet ini adalah
kawitan, pemalpal, ngembat trompong, dan gilak atau gegilakan.
Bentuk reportoar gending Gong Gede dapat ditentukan oleh jumlah pukulan kempul dalam
satu gong, misalnya tabuh pat terdapat empat pukulan kempul dalam satu gongan pada bagian
gending pengawak dan pengisap. Demikian juga pada bentuk-bentuk gending tabuh pisan
(besik), tabuh telu, tabuh nem dan tabuh kutus.

Disebutkan pada Pesta Kesenian Bali untuk

pertama kali pada tahun 1979, Gamelan Gong Gede mengiringi sendratari dipentaskan oleh
SMKI dengan cerita Mahabrata yang mengambil judul Sayembara Dewi Ambara, salah satu
iringan musik atau gamelannya memakai Gamelan Gong Gede.
1.5 Gambuh

60

Gamelan Gambuh (Tabuh Pagambuhan) merupakan jenis Instrumen music yang biasanya di
Bali dipergunakan untuk mengiringi tarian atau tari gambuh dan dramatari gambuh. Gamelan
gambuh memiliki peralatan gamelan yang terdiri dari:

Rabab (1 buah)
Suling berukuran besar (2 atau 3 buah)
Kendang (sepasang)
Kajar (1 buah)
Klenang (1 buah)
Ricik atau cengceng kecil (1 buah)
Kenyir (1 tungguh)
Gentongan atau ogar (1 atau 2 buah)
Gumanak (2 buah)
Kangsi (1 buah)

Diantara alat-alat music diatas, gumanak dan kangsi sekarang sudah semakin jarang
dipergunakan. Gamelan gambuh juga termasuk golongan gamelan madya yang lebih muda dari
gambang, saron, selonding kayu, gong besi, gong luang, selonding besi, angklung, dan gender
wayang kulit. Tetapi gamelan dramatari gambuh lebih tua dari gamelan Arja, gong kebyar,
gamelan janger, angklung bilah 7, gamelan jogged bumbung, dan gong suling.
1.6 Saron
Saron atau yang biasanya disebut ricik adalah salah satu instrument gamelan yang termasuk
keluarga balungan. Dalam satu set gamelan biasanya mempunyai 4 saron dan semuanya
memiliki versi pelog dan slendro. Saron menghasilakn nada satu oktaf lebih tinggi daripada
demung, dengan ukuran fisik yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari kayu dengan
bentuk seperti palu. Cara menabuhnya ada yang sesuai dengan nada, nada yang imbal atau
menabuh bergantian anatara saron 1 dan saron 2. Cepat lambatya dan keras lemahnya penabuhan
tergantung pada komando dari kendang dan jenis gendingnya. Pada gending Gangsaran yang
menggambarkan kondidi peperangan misalnya, ricik tabuh dengan keras dan cepat. Pada
gendhing Gati yang bernuansa militer, ricik ditabuh lambat namun keras. Ketika mengiringi lagu
ditabuh pelan.
Dalam memainkan saron, tangan kanan memukul wilayah atau lembaran logam dengan
tabuh, lalu tangan kiri memencet wilayah yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan
61

dengunan yang tersisa dari pemukulan nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet (kata
dasar: pathet = pencet)

2. Pitra Yadnya
2.1 Gamelan Gambang
Timbulnya Gambelan Gambang di Banjar Sembuwuk Desa Pejeng Kaja ini sudah ada
sejak dahulu, yang merupakan warisan leluhurnya (tetamian). Pada jaman kerajaan Tabanan,
salah seorang dari keluarga Arya Simpangan (sekaa gambang sekarang) tinggal di kerajaan
Tabanan. Setelah terjadi perebutan kekuasaan, maka kerajaan Tabanan dibagi menjadi dua. Atas
petunjuk Dalem Watu Renggong (Raja Gelgel, Gusti Ngurah Klating adik Gusti Ngurah Tabanan
diberi tugas oleh Dalem untuk membuat Gambelan Gambang yang gending-gendinya diambil
dari lontar pemberian wong gamang (orang halus).
Gambelan ini oleh petunjuk Dalem dipergunakan sebagai sarana perlengkapan di dalam
upacara Ngaben (Pitra Yadnya). Maka sejak saat itu atau petunjuk I Gusti Ngurah Klating,
mulailah orang-orang mempergunakan Gambelan Gambang didalam pelaksanaan upacara
Ngaben. Salah seorang keluarga Arya Simpangan, merasa tertarik untuk ikut membuat Gambelan
Gambang tersebut, kemudian pulang ke Sembuwuk memberitahukan keluarganya tentang
adanya gembelan tersebut dan sepakat untuk membuatnya. Maka sejak saat itu mulailah di
Banjar Sembuwuk ada gambelan Gambang yang pada mulanya hanya dipergunakan untuk
upacara Ngaben (Rundah, wawancara, tanggal 5-11-1986, dalam Saptanaya, I Nyoman,
1986:13).
Keterangan ini diperkuat oleh Cokorda Agung Suyasa dari Puri Saren Ubud, yang
menyimpan sebuah lontar tentang sejarah gambelan Gambang. Cokorda Agung Suyasa
menerangkan sebagai berikut: Disebutkan pada jaman kerajaan Dalem Watu Renggong (1460
1550) di Tabanan ada sebuah kerajaan. Pada waktu itu raja mempunyai dua orang putra yaitu I
Gusti Ngurah Tabanan dan adiknya I Gusti Ngurah Klating. Karena beliau sudah tua, maka
kedudukan beliau diberikan kepada putranya yang pertama yaitu I Gusti Ngurah Tabanan. Oleh
adiknya I Gusti Ngurah Klating hal itu tidak mau diterima, karena beliau juga menginginkan
62

kedudukan tersebut. Maka terjadilah perang antara kakak dan adik dalam memperebutkan
kedudukan sebagai raja. Kejadian itu lalu didengar oleh Dalem Watu Renggong, dan Gusti
Ngurah Klating dipanggil untuk diminta keterangannya. Dalam keterangan itu Gusti Ngurah
Klating mengakui bahwa dirinya memang menginginkan kedudukan itu, sehingga terjadilah
perang.
Oleh Dalem permintaan Gusti Ngurah Klating bisa dipenuhi, dengan syarat Gusti Ngurah
Klating harus menyelesaikan dulu tugas yang akan diberikan kepadanya. Kemudian Gusti
Ngurah Klating diberi tugas oleh Dalem untuk mencari lontar milik wong gamang, yaitu lontar
tanpa sastra (tanpa tulisan) dan hanya diberi waktu selama tujuh hari. Kalau tidak berhasil
maka Gusti Ngurah Klating akan dikenakan hukuman mati, dan seandainya berhasil nantinya
akan diberi kedudukan sebagai raja. Dalem berkeyakinan bahwa tugas itu sudah pasti tidak dapat
dipenuhi, karena hal itu hanya merupakan hukuman saja. Dengan perasaan ragu-ragu Gusti
Ngurah Klating berangkat mememnuhi permintaan Dalem. Gusti Ngurah Klating juga
berkeyakinan bahwa hal itu tidak mungkin untuk dipenuhi. Segala tempat yang keramat
dikunjunginya, tetapi dari sekian tempat yang sudah dikunjungi satupun tidak ada menunjukan
tanda bahwa itu ada lontar yang dimaksud oleh Dalem.
Pada hari terakhir (hari ketujuh) siang hari saat matahari dengan teriknya memancarkan
sinar, Gusti Ngurah Klating merasa kepanasan, sehingga timbul niatnya untuk mencoba berteduh
yang kebetulah pada waktu itu menjumpaui pohon kepuh yang sangat besar terletak disebuah
kuburan. Kemudian sambil merebahkan diri, Gusti Ngurah Klating mencoba untuk tidur. Pada
saat itu entah dari mana datanglah burung gagak yang jumlahnya sangat banyak mengitari pohon
kepuh tersebut sambil mengibas-ngibaskan sayapnya. Gusti Ngurah Klating kemudian terbangun
dan melihat burung gagak yang sangat banyak itu. Dari kerumunan burung gagak itu kemudian
jatuh sebuah lontar tepat dihadapan Gusti Ngurah Klating. Lontar tersebut lalu diambil dan
setelah digenggam, kembali Gusti Ngurah Klating mencari-cari dimana burung gagak tersebut
berada, tetapi ternyata sudah hilang.
Dengan didapatnya lontar tersebut, Gusti Ngurah Klating kembali ke Gelgel untuk
menghadap Dalem tanpa memeriksa apa isinya. Di Gelgel Dalem menyambut kedatangan Gusti
Ngurah Klating dengan dugaan bahwa tugas itu sudah pasti tidak dapat dipenuhi. Gusti Ngurah
63

Klating menghadap dan menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya, serta menghaturkan
lontar yang telah didapatnya. Dalem kemudian memeriksa isi lontar tersebut, dan betapa
terkejutnya karena lontar lontar tersebutlah yang sebenarnya diminta oleh Dalem. Karena
janjinya untuk menobatkan Gusti Ngurah Klating sebagai raja, maka kerajaan kaka Gusti Ngurah
Klating (I Gusti Ngurah Tabanan) lalu dibagi menjadi dua. Sebelum dinobatkan menjadi raja,
Gusti Ngurah Klating disuruh oleh Dalem untuk membuat seperangkat gambelsn yang gendinggendinya diambil dari lontar tersebut. Karena gending-gending tersebut diambil dari lontar milik
wong gamang, maka barungan gambelan tersebut oleh Dalem diberi nama gambelan gambang
yang dipergunakan untuk mengiringi jalannya upacara.
Sebelum dimainkan gambelan tersebut diberikan sesajen dengan tujuan untuk dihaturkan
kepada wong gamang agar tidak menggagu jalannya upacara. Maka sejak saat itulah di Bali
berkembang Gambelan Gambang yang dipergunakan sebagai sarana pelengkap di dalam
melakukan upacara atau yadnya.
2.2 Gamelan Angklung

Gamelan Angklung adalah gamelan berlaras slendro, tergolong barungan madya yang
dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari krawang, kadang-kadang ditambah angklung
bambu kocok (yang berukuran kecil). Dibentuk oleh alat-alat gamelan yang relatif kecil dan
ringan (sehingga mudah dimainkan sambil berprosesi). Di Bali Selatan gamelan ini hanya
mempergunakan 4 nada sedangkan di Bali Utara mempergunakan 5 nada.
Berdasarkan konteks penggunaaan gamelan ini, serta materi tabuh yang dibawakan
angklung dapat dibedakan menjadi:
Angklung klasik/ tradisional
Angklung kebyar

dimainkan untuk mengiringi upacara


(tanpa tari-tarian)
dimainkan untuk mengiringi pagelaran
tari maupun drama.

64

Satu barung gamelan angklung bisa berperan keduanya, karena seringkali


mempergunakan alat-alat gamelan dan penabuh yang sama. Di kalangan masyarakat luas
gamelan ini dikenal sebagai pengiring upacara-upacara Pitra Yadnya (ngaben). Di sekitar kota
Denpasar dan beberapa tempat lainnya, penguburan mayat warga Tionghoa seringkali diiringi
dengan Gamelan angklung. menggantikan fungsi gamelan Gong Gede yang dipakai untuk
mengiringi upacara Dewa Yadnya (odalan) dan upacara lainnya.

Instrumentasi Gamelan angklung terdiri dari:


Jumlah Satuan
6-8

pasang

3-4

pencon

buah

Instrumen
yang terdiri dari sepasang jegogan, jublag dan selebihnya
pamade dan kantilan
reyong, untuk Angklung Kebyar mempergunakan 12
pencon
kendang kecil untuk angklung klasik dan kendang besar

angklung kebyar
1
buah
tawa -tawa
1
buah
kempur kecuali angklung kebyar mempergunakan gong
Nama-nama tabuh yang umum dikenal di kalangan pemain angklung antara lain:
Judul Tabuh
Asep Menyan
Capung Manjus
Capung Ngumbang
Dongkang Menek Biu
Guwak Maling Taluh
Sekar Jepun
Berong
Sekar Ulat
Glagah Katununan
Jaran Sirig
Kupu-kupu Tarum
Meong Magarong
Pipis Samas
Sekar Sandat
65

Cecek Magelut

2.3 Baleganjur
Baleganjur salah satu jenis aliran gambelan di Bali. Baleganjur biasanya diterapkan pada
upacara keagamaan dan adat agama hindu di Bali. Baleganjur memiliki ciri khas pada
penggunaan "ceng-ceng", Istilah Baleganjur berasal dari kata Bala dan Ganjur. Bala berarti
pasukan atau barisan,Ganjur berarti berjalan.Jadi Balaganjur yang kemudian menjadi Baleganjur
yaitu suatu pasukan atau barisan yang sedang berjalan,yang kini pengertiannya lebih
berhubungan dengan sebuah barungan gamelan.
2.3.1 Sejarah Baleganjur
Gamelan Baleganjur pada awalnya difungsikan sebagai pengiring upacara ngaben atau
pawai adat dan agama.Tapi dalam perkembangannya,sekarang peranan gamelan ini makin
melebar.Kini gamelan baleganjur dipakai untuk mengiringi pawai kesenian,ikut dalam iringan
pawai

olah

raga,mengiringi

lomba

laying-layang,dan

ada

juga

yang

dilombakan.

Baleganjur adalah sebuah ensamble yang merupakan perkembangan dari gamelan bonang atau
bebonangan.Baik

dari

segi

instrumentasinya

maupun

komposisi

lagu-lagunya.

Bonang atau bebonangan adalah sebuah barungan yang terdiri dari berbagai instrument
pukul(percussive) yang memakai pencon seperti reong,trompong kajar,kempli,kempur,dan gong.
Gamelan bonang memakai dua buah kendang yang dimainkan memakai panggul cedugan.
Dalam lontar Prakempa disebutkan bahwa gamelan bonang dipakai untuk mengiringi upacara
ngaben.Sama kasusnya dengan gamelan baleganjur yang pada umumnya dipakai untuk
mengiringi upacara ngaben.
2.3.2 Instrumen Baleganjur
Instrumen

dalam

Baleganjur

terdiri

dari

buah

kendang

lanang

buah

kendang

wadon

buah

reong(Dong,Deng,Dung,Dang)
66

Ponggang(Dung,Dang)

8-10

buah

cengceng

buah

kajar

buah

kempli

buah

kempur

pasang

gong(lanangwadon)

1 buah bende
2.3.3 Pengelompokan
Baleganjur dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 2 jenis gending (alunan lagu) sesuai
dengan

fungsinya

A.

secara

umum.

Baleganjur

Upacara

Merupakan baleganjur yang digunakan dalam upacara adat agama hindu. Baleganjur ini
memiliki gending dan tempo yang cenderung datar, karena bersifat "nuntun yadnya" sebagai
pelengkap

dari

B.

suatu
Baleganjur

yadnya.
kreasi

Merupakan baleganjur yang digunakan untuk menghibur atau "balih-balihan" yang biasa sebagai
ajang menunjukan kemampuan dan tehnik tinggi dari penabuh (pemusik). Gendingnya pun lebih
rumit dan memiliki tehnik tinggi.

3. Manusa Yadnya
3.1 Semara Pagulingan

67

Gamelan yang dalam lontar Catur Murni disebut dengan gambelan Semara Aturu ini
adalah barungan madya,yang bersuara merdu sehingga banyak dipakai untuk menghibur raja-raja
pada zaman dahulu.Karena kemerduan suaranya,gambelan Semar Pagulingan (Semar =
samara,Pagulingan = tidur) konon biasa dimainkan pada malam hari ketika raja-raja akan
keperaduan (tidur).Kini gambelan ini bias dimainkan sebagai sajian tabuh instrumental dan atau
untuk mengiringi tari-tarian maupun teater.
Masyarakat Bali mengenal dua macam Semar Pegulingan di Bali : yang berlaras pelog 7
(tujuh) nada dan belaras 5 (lima) nada.Kedua jenis Semar Pegulingan secara fisik lebih kecil dari
pada Gong Kebyar terlihat dari ukuran instrumennya gangsa dan teromponga yang lebih kecil
dari pada yang ada di Gong Kebyar.
Instrumentasi gambelan Semar Pegulingan (milik STSI Denpasar) meliputi :1 bua
terompong (12 buah pencon) ; 2 buah gender rambat (berbilah 14); 2 buah gangsa barungan
(berbilah 14); 4 tungguh gangsa gantungan pemade; 4 tungguh gangsa gantungan kantil; 2
tungguh jegogan; 2 tungguh jublag (masing-masing berbilah 7); 2 buah kendang kecil; 1 buah
kajar; 1 buah klenang; 1 buah kempur (gong kecil); 1 pangkon ricik; 1 buah gentorag; 1-2
rebab dan 1-2 buah suling,dan memiliki fungsi sebagai :
a. 1 tungguh Gender Rambat, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari bahan perunggu
yang diletakkan di atas tungguh kayu dengan resonator bamboo. Fungsinya sebagai
pembawa lagu menggantikan terompong. Panjang wilahannya lbh kurang 13 -15 cm,
lebarnya lebih kurang 3 4,5 cm, tipisnya lbh kurang 2 3 mm.
b. 1 tungguh Trompong, 14 pencon, yaitu instrument musik menyerupai gong yang terdiri
dari 14 buah yang diletakkan di atas rak. Diameternya beragam mulai dari ukuran yang
68

paling kecil hingga terbesar, yaitu mulai dari 12 20 cm, dengan tinggi permukaannya
lbh kurang 10 cm.
c. 4 tungguh gangsa Pemadih atau Pemade, 7 bilah, istrumen wilahan yang diletakkan di
sebuah rak kayu dari bahan kayu nangka, dengan resonator yang terbuat dari bamboo.
Panjang wilahannya lebih kurang 15 25 cm, lebar 3 4,5 cm dengan ketebalan 2 3
mili meter.
d. 4 tungguh gangsa Kantil, 7 bilah, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari bahan
perunggu yang terdiri dari tujuh wilahan yang diletakkan di atas rak yang terbuat dari
bahan kayu, dengan resonator dari bambu. Panjang wilahannya adalah beragam dari yang
kecil hingga yang besar, yaitu sekitar panjang 15 25 cm, lebar lebih kurang 4 5 cm,
dan ketebalan lbh kurang 2 3 mili meter. Alat ini dimainkan dengan menggunakan
sebuah alat pemukul (stik) dengan tangan kanan dan tangan kiri berfungsi sebagai
damper, untuk memute suaranya.
e. 2 buah Juglag, 7 wilahan, yaitu alat musik wilahan yang terbuat dari bahan perunggu
yang diletakkan di atas rak atau tungguhan yang terbuat dari bahan kayu dengan tinggi
lebih lkurang 40 45 cm. Panjang wilahannya lebih kurang antara 40 45 cm, lebar 4
6 cm dan ketebalannya lebih kurang 3 4 cm, dan diletakkan di atas resonator bambu.
f. 2 tungguh Penyelah , 7 bilah yaitu alat musik wilahan yg lebih kecil dari Juglag, yaitu
wilahan yang terbuat dari bahan perunggu yang diletakkan di atas rak atau tungguhan
yang terbuat dari bahan kayu dengan tinggi lebih lkurang 30 40 cm. Panjang
wilahannya lebih kurang antara 30 35 cm, lebar 4 5 cm, dan ketebalan 2 3 mili
meter. Wilahan tersebut diletakkan di atas resonator bamboo. Dimainkan dengan dua
buah stik (tangan kiri dan kanan)
g. 2 tungguh Jegogan, 7 bilah, yaitu isntrumen wilahan yang terbuat dari bahan perunggu
yang diletakkan dalam sebuah rak yang terbuat dari bahan kayu dan didalamnya terdapat
resonator dari bamboo dengan tinggi lebih kurang 40 45 cm. Panjang wilahannya lebih
kurang 25 30 cm, dengan lebar 3 4 cm dan ketebalan lebih kurang 2 3 mm.
h. 1 gong Gayor yaitu gong yang diletakkan di rak yang terbuat dari bahan perunggu
dengan diameter 45 55 cm, dengan tinggi permukaan 5 7 cm. Alat ini biasanya

69

biasanya berpasangan dengan kenong dan Kempur, namun dalam Semar Pagulingan alat
musik kempur tidak dipergunakan.
i. 1 buah Kendang Krumpungan, yaitu kendang lanang dan kendang wadon, yaitu gendang
dua sisi. Kedua gendang ini pada prinsipnya ukurannya sama, hanya fungsinya dalam
ensambel musik yang dibedakan serta pelarasannya. Panjangnya lebih kurang 60 cm,
dengan diameter sisi kiri 20 cm, dan sisi kanan 24 cm. Gendang ini terbuat dari bahan
kayu nangka dan membrannya terbuat dari kulit sapi. Gendang ini dipukul dengan
menggunakan satu buah alat pemukul (stik) untuk tangan kanan, dan tamparan tangan
untuk tangan kiri.
j. 1 kendang Bebarongan, gendang kecil, ukurannya lbh kurang 55 cm, diameter
membrannya lbh kurang 20 cm sebelah kiri dan 24 cm sebalah kanan.
k. 1 buah Ceng-Ceng Rucik, ceng-ceng yg lbh kecil dari biasanya, yaitu sejenis simbal
dengan diameter lebih kurang 8 9 cm, dengan ketebalan lebih kurang 1 2 mm.
l. 1 buah Gentorak, sejenis genta yang terdiri dari beberapa buah genta kecil. Cara
memainkannya dengan menggoyangkannya, sehingga suaranya gemerincing. biasa
dipakai dlm upacara, terbuat dari perunggu. Diameter gentanya lebih kurang 2 4 cm,
dengan tinggi permukaannya sekitar 3 4 cm, dan ketebalannya lebih kurang 1 mili
meter.
m. 1 buah Kajar, yaitu sejenis gong kecil yang berpencu yang berfungsi sebagai tempo.
Biasa juga disebut kethuk. Diammeternya lebih kurang 15 cm, dengan tinggi
permukaannya lbih kurang 10 cm, dan ketebalan lbh kurang 1 2 mili meter.
n. 1 buah Kenong, merupakan gong kecil yang diletakkan di atas rak yang terbuat dari
bahan perunggu, dengan ukuran diameter lebih kurang 15 17 cm, dan tinggi 8 10 cm
dengan ketebalan lebih kurang 1 2 mm.
o. 1 buah Klenang, adalah juga sejenis gong kecil yang terdiri dari satu buah terbuat dari
bahan perunggu berfungsi sbg pemanis tempo atau penyela. Bentuknya hampir sama
dengan Kajar, demikian juga ukurannya.
p. tungguh Kempyung, terdiri dari dua nada, yaitu sejenis gong kecil dgn diameter 15 cm
dan tingginya lbh krg 10 cm dan ketebalannya lebih kurang 1 2 mm
70

q. 1 buah Rebab, yaitu alat musik gesek bersenar dua, dengan panjang lebih kurang 70
100 cm. Terbuat dari bahan kayu nangka, dengan senar dari bahan metal, dan membrane
dari kulit, dan terdiri dari alat penggesek (bow).
r. 4 buah Suling, yaitu end blown flute, yaitu suling yang terbuat dari bahan bambu dengan
panjang lebih kurang 25 30 cm, dengan diameter 1 1,5 cm.
Intrumen yang memiliki peran penting dalam barungan ini adalah terompong yang
merupakan pemangku melodi.Terompong adalah instrument bermoncol (masuk keluarga
gong ),yang ditempatkan berjejermulai nada rendah hingga yang tertinggi.dalam satu pangkon
terdiri dari 14-16 moncol dengan setiap moncol satu nada.Terompong mengganti peran suling
dalam Penggambuhan dalam hal memainkan melodi dengan dibantu rebab,suling,gender
rambat,dan gangsa barangan.Sebagai pengisi irama adalah jublag dan jegogan yang masingmasing pemangku lagu,semntara kendang merupakan instrument yang memimpin perubahan
dinamika tabuh.Gending-gending Semar Pegulingan banyak mengambil gending-gending
Pagambuhan. Beberapa desa yang hingga masih aktif memainkan gambelan Semar Pegulingan
adalah;Sumerta ( Denpasar ),Kamasan ( Klungkung ),Teges dan Pliatan ( Gianyar ).
Kesamaan unsur-unsur gambelan Pegambuhan dengan Semar Pegulingan yang paling
menonjol adalah kesamaan dari sebagian besar repertoar lagunya.Kesamaan ini otomatis
menyangkut sebagian besar unsur musical terutama struktur lagu,pola melodi dan
ritme,dinamika,juga pola permainan instrumen-instrumen pengatur matra dan instrumentinstrumen ritmis.Kesamaan yang lain adalah pengguanaan sebagian besar instrument ritmis dan
pengatur matra.Beda penggunaan instrumen dalam gembelan Semar Pegulingan dengn gambelan
Pegambuhan

hanya

terletak

pada

instrument-instrumen

melodisnya.Kalau

gambelan

Pegambuhan menggunakan suling besar,sedangkan gambelan Semar Pegulingan menggunakan


terompong dan keluarga gangsa ( saron yang di gantung ) sebagai instrument melodis.Rebab
yang dalam Pegambuhan sebagai pemegang melodi pokok bersama-sama suling,dalam
gambelan Semar Pegulingan hanya untuk memperkaya dan memperpanjang durasi melodi.Pola
dalam permainan rebab dan suling dalam Semar Pegulingan telah mempunyai pola tersendiri
dalam merealisasi melodi-melodi pokok yang dimainkan oleh terompong. Bentuk instrumen
rebab dalam gambelan Pegambuhan dan rebab dalam gambelan Semar Pegulingan pada
71

prinsipnya sama,sedangkan suling dalam gambelan Semar Pegulingan digunakan suling


menengah dan suling titir. Terompong dan gangsa sebagai intrumen melodis dalam gambelan
Semar Pegulingan dpat digunakan untuk memainkan hamper semua reperator pegambuhan
berikut dengan ragam patetnya.Instrumen-instrumen keluarga gangsa mulai yang bernada
terendah seperti jegogan,jublag.gangsa,pemade,dan gangsa kantilan,dalam satu pangkon hanya
terdiri tujuh bilah nada.
Intrumen-instrumen pengtur matra dalam gambelan Pegambuhan dan gambelan Semar
Pegulingan pada umumnya sama yaitu kempul,kajar,klenang,dan gumanak

hanya saja

instrument gumanak belakangan ini jarang digunakan dalm gambelan Semar Pagulingan.Bentuk
serta ukuran instrument-instrumen tersebut baik dalm gambelan Pegambuhan maupun dalam
gambelan Semar Pegulingan tidak menunjukan perbedaan prinsip.Demikian hanya denagn
instrument-instrumen
Pegambuhan

ritmis,bentuk,ukuran,dan

penggunaannya

baik

dalam

gambelan

maupun dalam gambelan Semar Pegulingan adalh sama yaitu kendang

krumpungan,ricik,kangsi,dan

genta

orag.Terhadap

masing-masing

perangkatnya,semua

intrumen-instrumen tersebut baik pengatur matra maupun instrument ritmis memiliki pola
permainan yang sama.Demikian juga hubungan pola permainan antara instrument yang satu
dengan yang lainnya.
Kesamaan jenis fisik,bentuk fisik,uukuran instrument dan fungsi terhadap perangkatnya
secara langsung menyebabkan cara memainkanya juga sama.Lain halnya dengan instrumen
melodis pada gambelan Semar Pegulingan sangat berbeda dengan instrumen melodis pada
gambelan Pegambuhan,yang ini tentu menyebabkan cara prmainan instrument yang berbeda
pula.Kalau dalam gambelan Pegambuhan instrumen melodis pokok dimainkan dengan cara
ditiup,dalam gambelan Semar Pegulingan instrument melodis pokok (terompong) dimainkan
dengan cara dipukul dengan sepasang panggul (alat pukul).
Terompong dipukul dengan dua panggulyang terbuat dari batang kayu,setengah sebagai
tempat memegang dan setengahnya lagi dililit dengan benang merupakan bagian dari yang
dipukulkan.Gangsa dan kantil dipukul dengan panggul yang berbentuk hammer,juga terbuat dari
kayu .Jublag juga dipukul dengan panggul yang berbentuk hammer,hanya saja karena diperlukan
durasi sura yang agak panjang,pada bagian yang dipukulkan diisi dengan karet agar lebih lembek
72

dan lentur.Sedangkan pangggul jegogan mrip dengan panggul gong dan kempur,hanya saja
tangkainya dibuat lebih panjang agar dapat ,menjangkau bilah nada yang cukup besar dan
panjang.
Kesamaan bentuk musikal terutama repertoar lagu dan hubungan kait denggan antara
gambelan Semar Pegulingan dengan gambelan Pegambuhan juga perkuat oleh deskripsi yang
terdapat dalam lontar Prakempa dan Aji Gurnita sebagai berikut ; Nyata gegambelan Semar
Pegulingan naran samara aturu,gendingan Pegambuhan maka gegambelan,barong singa(Dan
itu gambelan Semar Pegulingan artinya atau bernama Semara Aturu,lagunya Pegambuhan untuk
mengiringi tari Barong Singa).Penulis masih belum memahami apa yang dimaksud gambelan
Semar Pegulingan sebagai iringan barong singa,sebab dewasa ini Semar Pegulingan di Bali
bakanlah gambelan khusus iringan tari tertentu.Gambelan Semar Pegulingan biasanya
dimainkan sebagai musik protokoler pada upacara-upacara adat dan keagamaan.Selain itu tari
Barong Singa hingga saat ini belum prnah telihat keberadaanya di Bali,yang ada adalah Barong
Macan .Kendatipun dewasa ini dalam gambelan Semar Pegulingan sering digunakan untuk
mengiringi dramatari Gambuh belumlah dianggap sebagai tradisi,karena hal itu dilakukan
dengan alas an fleksibelitas dan salah satu penambahan fungsi gambelan Semar Pegulingan.
Adanya kesamaan hamper semua repertoar lagu Pegambuhan dengan gambelan Semar
Pegulingan bukan berarti gambelan Semar Pegulingan tidak memiliki ciri musikal.Perbedaan
jenis,bentuk,bahan dan teknik permainan instrument-instrumen melodis Semar Pegulingan
menyebabkan lagu-lagu Pegambuhan menyesuaikan diri dengan medianya yang baru.Melodimelodi yang sebelumnya dimainkan lewat media suling dan rebab,di transfer ke dalam
instrument bermoncol dan berbilah yang tentunya di ikuti teknik dn pola permainannya,akan
mengasilkan warna musikal yang berbeda pula.Dari segi pola permainan instrument,melodimelodi yang dalam gambelan Pegambuhan di ungkapkan dengan sederhana mengalir lewat
media suling,dalam gambelan Semar Pegulingan di tambah dengan pola permainan kotekan
(interlocking) lewat media gansa dan kantil.
Gambelan Pegambuhan dan Semar Pegulingan sama-sam menagnut sistam pelarasan pelog
tujuh nada.Apabila gambelan Pegambuhan mampu menurunkan lima macam tetekep (
patet ),gambelan Semar Pegulingan juga mampu menurunkann lima patutan ( patet ).Kelima
73

patutan tersebut memilki nama yang sama dengan tetekep yang ada pada gambelan gambelan
Pegamabuhan ,yaitu patutan selisir,patutan tembung,patutan sundaren,patutan baro,dan patutan
lebeng.Prinsip patet kedua gambelan pada dasarnya sama ,yaitu nada yang jumlahnya tujuh
terbagi menjadi dua yaitu lima nada pokok dan dua buah nada pemero.Karakter masing
masing patet dalam gambelan Semar Pegulingan kendatipun telah berbeda warna musikalnya
dengan gambelan Pegambuhan ternyata juga dapat menampilkan kesan yang serupa.Seperti
misalnya patutan selisir berkarakter halus,patet tembung berkarakter keras,dan patet sudaren
berkarakter antara halus dan keras.
Banyaknya unsur kesamaan antara gambelan Semar Pegulingan dengan gambelan
Pegambuhan menyebabkn gambelan Semar Pegulingan belakangan inijuga sering digunakan
untuk mengiringi dramatari Gambuh.Menurut keterangan I Wayan Dibia ( seorang pakar tari Bali
),menarikan dramatari Gambuh dengan iringan Semar Pegulingan tidak mengalami kesulitan
yang berarti.Hal yang membedakan hanya dari segi suasana ( mood ),sebab Semar Pegulingan
selain warna suaranya berbeda dengan Pegambuhan,juga lebih ramai dan keras.
Kesamaan unsur-unsur gamelan Pegambuhan dengan gamelan Semar Pagulingan yang
paling menonjol adalah kesamaan ini secara otomatis menyangkut sebagian besar unsur musikal
terutama unsur lagu , pola melodi dan ritme,dinamika juga pola permainan instrumen-instrumen
pengatur matra dan instrumen-instrumen ritmis Kesamaan yang lain adalah penggunaan sebagian
besar instrumen ritmis dan pengatur matra. Beda penggunaan instrumen dalam gamelan smar
pagulingan dengan gamelan pengambuhan hanya terletak pada instrumen-instrumen melodisnya.
Kalau

gamelan

pengambuhan

menggunakan

suling

besar,gamelan

smar

pagulingan

menggunakan trompong dan keluarga gangs ( saron yang digantung) sebagai instrumen melodis.
Rebab yang dalam gamelan pengambuhan sebagai pemegang melodi pokok bersama-sama
suling , dalam gamelan smar pagulingan hanya untuk memperkaya dan memperpanjang durasi
melodi.pola permainan rebab dan suling dalam gamelan smar pagulingan telah mempunyai pola
tersendiri dalam merealisasi melodi-melodi pokok yang dimainkan oleh trompong.bentuk
instrumen rebab dalam gamelan pengambuhan dan rebab dalam gamelan smar pagulingan pada
prinsipnya sama,sedangkan suling dalam gamelan smar pagulingan digunakan suling menengah
dan suling titir.trompong dan gangsa sebagai instrumen melodis dalam gamelan smar pagulingan
dapat digunakan untuk memainkan hampir semua repertoar pengambuhan berikut dengan ragam
74

patetnya.trompong adalah instrumen bermoncol (masuk keluarga gong) ,yang ditempatkan


berjejer mulai dari yang bernada rendah hingga yang tertinggi. Dalam satu pangkon terdiri dari
14-16 moncol satu nada. Gamelan semar pagulingan juga memiliki sistem pelarasan pelog tujuh
nada ( saih pitu),ini berarti ada dua oktaf (gemyangan) nada dalam instrumen trompong
tersebut.instrumen instrumen keluarga gangsa mulai yang bernada terendah seperti
jegogan,jublag,gangsa pemade,dan gangsa kantilan dalam satu pangkon hanya terdiri dari tujuh
bila nada.
Instrumen -instrumen pengatur matra dalam gamelan pengambuhan dan gamelan smar
pagulingan pada umumnya sama yaitu kempul,kajar,klenang,dan gumanak hanya saja instrumen
gumanak belakangan ini jarang digunakan dalam gamelan smar pagulingan. Bentuk serta ukuran
instrumen-instrumen tersebut baik dalam gamelan pengambuhan maupun dalam gamelan smar
pagulingan tidak menunjukan perbedaan prinsipil. Demikian halnya dengan instrumeninstrumen ritmis,bentuk,ukuran,dan penggunaannya baik dalam gamelan Pengambuhan maupun
Smar pagulingan adalah sama yaitu kendang krumpungan,ricik,kangsi,dan genta orag. Terhadap
masing-masing perangkatnya,semua instrumen-instrumen tersebut baik pengatur matra maupun
instrumen ritmis memiliki pola permainan yang sama. Demikian juga hubungan pola permainan
antara instrumen yang satu dengan lainnya.Kesamaan jenis,bentuk fisik,ukuran instrumen dan
fungsi terhadap perangkatnya secara langsung menyebabkan cara memainkannya juga sama.
Kesamaan bentuk musikal terutama repertuar lagu dan hubungkait antara gamelan semar
pegulingan dngan gambelan pegambuhan juga diperkuat oleh deskripsi yang terdapat dalam
lontar Prakempa dan Aji Gurnita sebagai berikut:nyata gegambelan semar pegulingan ngaran
semara aturu,gendingnya pegambuhan maka gegambelan barong singa(Dan itu gamelan semar
pegulingan artingya atau bernama semara aturu,lagunya pegambuhan untuk mengiringi tari
barong singa). Penulis masih belum memahami apa yang dimaksud dengan gambelan semar
pegulingan sebagai iringan barong singa,sebab dewasa ini gamelan semar pegulingan di Bali
bukanlah gamelan khusus iringan tari tertentu. Gamelan semar pegulingan biasanya dimainkan
sebagai musik protokoler pada upacara-upacara adat dan keagamaan selain itu tari barong singa
hingga saat ini belum pernah penulis lihat keberadaannya di Bali,yang ada adalah barong macan.
Kendatipun dewasa ini gamelan semar pegulingan sering digunakan untuk mengiringi drama tari

75

gambuh belumlah dianggap sebagai tradisi,karena hal itu dilakukan dengan alasan fleksibelitas
dan salah satu penembahan fungsi gamelan semar pegulingan.
Adanya kesamaan hampir semua repertuar lagu pegambuhan dengan gamelan semar
pegulingan bukan berarti gamelan semar pegulingan tidak memiliki ciri musikal. Perbedaaan
jenis, bentuk,bahan,dan tekhnik permainan instrumen-instrumen melodi semar pegulingan
menyebabkan lagu-lagu pegambuhan menyesuaikan diri dengan medianya yang baru. Melodimelodi yang sebelumnya dimainkan lewat media suling dan rebab,ditransfer kedalam instrumen
bermoncol dan berbilah yang tentunya diikuti tekhnik dan pola permainnannya,akan
menghasilkan warna musikal yang berbeda pula. Dari segi pola pemainan instrumen,melodimelodi yang dalam gamelan pegambuhan diungkapkan dengan sederhana mengalir lewat media
suling,dalam gamelan semar pegulingan ditambah dengan pola permainan kotekan (interlocking)
lewat media gangsa dan kantil. Gamelan pegambuhan dan semar pegulingan sama-sama
menganut sistem pelarasan pelog tujuh nada. Apabila gamelan pegambuhan mampu menurunkan
lima macam patutan (patet). Kelima patet tersebut memiliki nama yang sama dengan tetekep
yang ada pada gamelan pegambuhan yaitu patet slisir,tembung,sundaren,baro,dan patet lebeng.
Prinsip patet kedua gamelan pada dasarnya sama,yaitu pada nada yang jumlahnya tujuh terbagi
menjadi dua macam yaitu lima nada pokok dan dua nada pemero. Karakter masing-masing patet
dalam gamelan semar pegulingan kendatipun telah berbeda warna musikalnya dengan
pegambuhan ternyata juga dapat menampilkan kesan yang serupa. Seperti misalnya patet slisir
berkarakter halus,tembung berkarakter keras,dan patet sundaren berkarakter antara halus dan
keras.
4. Rsi Yadnya
4.1 Gong Kebyar

76

Gamelan adalah sebuah orkestra Bali yang terdiri dari bermacam-macam instrumen seperti :
gong, kempur, reyong, terompong, ceng-ceng, kendang, suling, gangsa dan rebab yang
mempunyai laras selendro dan pelog. Dapat dipahami bahwa hidupnya seni karawitan Bali di
tengah-tengah masyarakat telah luluh berefleksi dengan aktivitas kehidupan masyarakat seharihari dalam struktur masyarakat yang bervariasi baik dalam kegiatan keagamaan maupun
adat/tradisi. Kenyataan ini nampak dengan jelas karena karawitan Bali muncul dalam nafasnya
yang murni, memiliki identitas dan kekhasan yang masih didukung oleh sistem kehidupan
masyarakat Bali.
Karawitan Bali menjadi suatu kebanggaan, mengingat banyaknya pengakuan dari berbagai
negara di dunia yang menempatkan karawitan Bali dalam kategori yang baik. Pujian seperti ini
tidak perlu diragukan lagi terbukti dengan adanya peminat-peminat seni dari berbagai negara
datang ke Bali untuk mempelajari karawitan Bali, baik dari segi teori maupun praktek.
Gong Kebyar itu telah berfungsi sebagai pembaharu dan pelanjut tradisi. Sebagai pembaharu
maksudnya adalah lewat gong kebyar para seniman kita telah berhasil menciptakan gendinggeding baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada. Sedangkan sebagai pelanjut tradisi
maksudnya adalah gong kebyar telah mampu mempertahankan eksistensi reporter gambelan
lainnya melalui transformasi dan adaptasi. Seperti apa yang telah diuraikan di atas bahwa gong
kebyar

memiliki

fungsi

untuk mengiringi

tari

kekebyaran.

Namun

sesuai

dengan

perkembangannya bahwa gong kebyar memiliki fungsi yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan
gong kebyar memiliki keunikan yang tersendiri, sehingga ia mampu berfungsi untuk mengiringi
berbagai bentuk tarian maupun gending-gending lelambatan, palegongan maupun jenis gending
yang lainnya. Disamping itu Gong Kebyar juga bisa dipergunakan sebagai salah satu penunjang
pelaksanaan upacara agama seperti misalnya mengiringi tari sakral, maupun jenis tarian wali dan
balih-balihan. Karena gong kebyar memiliki multi fungsi maka gong kebyar menjadi sumber
inspirasi karya baru. Dengan demikian Gong Kebyar telah berfungsi sebagai pembaharu dan
pelanjut tradisi. Sebagai pembaharu maksudnya adalah lewat Gong Kebyar para seniman kita
telah berhasil menciptakan gending-gending baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada.
Sedangkan sebagai pelanjut tradisi Gong Kebyar telah mampu mempertahankan eksistensi
reporter gambelan lainnya melalui transformasi dan adaptasi. Misalnya dalam gending gong
kebyar kita mengenai istilah gegambelan, gender wayang dan gong luang. Juga disebutkan
77

dengan menggunakan iringan gamelan gong kebyar, dalam sejarah drama klasik di Bali, maka
drama tersebut berganti nama menjadi drama gong.dan sejak itulah banyak muncul sekaa-sekaa
drama gong baru lainnya.
Di Bali sendiri terdapat kurang lebih 26 jenis gamelan yang masing-masing memiliki
kelengkapan bebarungan dengan fungsi yang berbeda dan jumlahnya semakin bertambah, salah
satu diantaranya yaitu Gong Kebyar. Gong Kebyar belakangan ini masih terus menjadi suatu
karya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, perorangan maupun kelompok. Sebagai suatu
bentuk kesenian yang usianya relatif muda, gong kebyar berkembang sangat pesat dan
merupakan suatu jenis karawitan Bali yang paling populer bahkan sampai keluar dari daerah
Bali. Di Bali sendiri hampir setiap desa memiliki gamelan gong kebyar, dan gong kebyar telah
banyak mempengaruhi jenis-jenis kesenian Bali yang lain, tidak hanya dalam bentuk seni
karawitan namun juga dalam bentuk seni tari yang dibawakan dalam bentuk sendratari.
Gong Kebyar adalah barungan gamelan Bali sebagai perkembangan terakhir dari Gong Gede,
memakai laras pelog lima nada yang awal mulanya tidak mempergunakan instrumen terompong.
Selanjutnya Gong Kebyar dapat diartikan suatu barungan gamelan gong yang didalam
permainannya sangat mengutamakan kekompakan suara, dinamika, melodi dan tempo.
Ketrampilan mengolah melodi dengan berbagai variasi permainan dinamika yang dinamis dan
permainan tempo yang diatur sedemikian rupa serta didukung oleh teknik permainan yang cukup
tinggi sehingga dapat membedakan style Gong Kebyar yang satu dengan yang lainnya.
Untuk mengungkapkan asal mula Gong Kebyar memang merupakan suatu tugas yang tidak
begitu mudah. Sebelum munculnya Gong Kebyar di Bali, jenis-jenis gamelan yang telah ada
hanyalah sebagian besar berupa gamelan gong gede, gong luwang, gong beri, gamelan
pelegongan dan lain-lainnya. Keadaan ini berlangsung sampai terjadinya perang Puputan Badung
tahun 1906. Bapak I Nyoman Rembang seorang tokoh Gong Kebyar asal Sesetan Denpasar
mengatakan bahwa lagu-lagu kebyar pertama-tama diciptakan oleh I Gusti Nyoman Panji di
Desa Bungkulan pada tahun 1914. Kemudian menyebar ke desa-desa lainnya di Bali utara dan
lagu-lagu ini dicoba untuk ditarikan oleh Ngakan Kuta yang berdomisili di Desa Bungkulan.
Berdasarkan uraian diatas bahwa dapat disimpulkan pada tahun 1914 Gong Kebyar yang muncul
penuh dengan pembaharuan namun tetap berpegang pada tradisi yang ada yaitu seperti gong
78

gede. Beberapa pendapat seniman gong kebyar mengatakan bahwa Gong Kebyar merupakan
perkembangan dari gong gede yang banyak dipengaruhi oleh pelegongan yakni dengan
masuknya unsur otek-otekan dalam Gong Kebyar.
Jenis-jenis instrumen yang digunakan pada gamelan Gong Kebyar antara lain :
Kendang
Terompong
Ugal
Gangsa
Kantil
Kajar
Ceng-ceng
Calung
Jegogan
Gong
Bentuk kebyar merupakan salah satu bagian dari satu kesatuan gending yang letaknya bisa di
depan, di tengah atau di bagian akhir. Jenis tabuhan kebyar ini sering digunakan pada iringan
tarian maupun tabuh petegak (instrumental). Karena itu kebyar memiliki nuansa yang sangat
dinamis, keras dengan satu harapan bahwa dengan kebyar tersebut mampu membangkitkan
semangat.
5. Bhuta Yadnya
5.1 Balaganjur
Baleganjur salah satu jenis aliran gambelan di Bali. Baleganjur biasanya diterapkan pada
upacara keagamaan dan adat agama hindu di Bali. Baleganjur memiliki ciri khas pada
penggunaan "ceng-ceng", Istilah Baleganjur berasal dari kata Bala dan Ganjur. Bala berarti
pasukan atau barisan,Ganjur berarti berjalan.Jadi Balaganjur yang kemudian menjadi Baleganjur
yaitu suatu pasukan atau barisan yang sedang berjalan,yang kini pengertiannya lebih
berhubungan dengan sebuah barungan gamelan.

79

5.1.1 Sejarah Baleganjur


Gamelan Baleganjur pada awalnya difungsikan sebagai pengiring upacara ngaben atau
pawai adat dan agama.Tapi dalam perkembangannya,sekarang peranan gamelan ini makin
melebar.Kini gamelan baleganjur dipakai untuk mengiringi pawai kesenian,ikut dalam iringan
pawai

olah

raga,mengiringi

lomba

laying-layang,dan

ada

juga

yang

dilombakan.

Baleganjur adalah sebuah ensamble yang merupakan perkembangan dari gamelan bonang atau
bebonangan.Baik

dari

segi

instrumentasinya

maupun

komposisi

lagu-lagunya.

Bonang atau bebonangan adalah sebuah barungan yang terdiri dari berbagai instrument
pukul(percussive) yang memakai pencon seperti reong,trompong kajar,kempli,kempur,dan gong.
Gamelan bonang memakai dua buah kendang yang dimainkan memakai panggul cedugan.
Dalam lontar Prakempa disebutkan bahwa gamelan bonang dipakai untuk mengiringi upacara
ngaben.Sama kasusnya dengan gamelan baleganjur yang pada umumnya dipakai untuk
mengiringi upacara ngaben.
5.1.2 Instrumen Baleganjur
Instrumen

dalam

Baleganjur

terdiri

dari

buah

kendang

lanang

buah

kendang

wadon

buah

reong(Dong,Deng,Dung,Dang)

Ponggang(Dung,Dang)

8-10

buah

cengceng

buah

kajar

buah

kempli

buah

kempur

pasang

gong(lanangwadon)

1 buah bende
5.1.3 Pengelompokan
Baleganjur dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 2 jenis gending (alunan lagu) sesuai
dengan

fungsinya

secara
80

umum.

A.

Baleganjur

Upacara

Merupakan baleganjur yang digunakan dalam upacara adat agama hindu. Baleganjur ini
memiliki gending dan tempo yang cenderung datar, karena bersifat "nuntun yadnya" sebagai
pelengkap

dari

B.

suatu

yadnya.

Baleganjur

kreasi

Merupakan baleganjur yang digunakan untuk menghibur atau "balih-balihan" yang biasa sebagai
ajang menunjukan kemampuan dan tehnik tinggi dari penabuh (pemusik). Gendingnya pun lebih
rumit dan memiliki tehnik tinggi.
6. Gender Wayang
Gender Wayang adalah barungan alit yang merupakan gamelan Pewayangan (Wayang
Kulit dan Wayang Wong) dengan instrumen pokoknya yang terdiri dari 4 tungguh gender
berlaras slendro (lima nada). Keempat gender ini terdiri dari sepasang gender pemade (nada
agak besar) dan sepasang kantilan (nada agak kecil). Keempat gender, masing-masing berbilah
sepuluh (dua oktaf) yang dimainkan dengan mempergunakan 2 panggul.
Gender wayang ini juga dipakai untuk mengiringi upacara Manusa Yadnya (potong gigi)
dan upacara Pitra Yadnya (ngaben). Untuk kedua upacaranya ini, dan untuk mengiringi
pertunjukan wayang lemah (tanpa kelir), hanya sepasang gender yang dipergunakan.
Untuk upacara ngaben 2 gender dipasang di kedua sisi bade (pengusung mayat) dan dimainkan
sepanjang jalan menuju kuburan. Untuk mengiringi pertunjukan wayang kulit Ramayana,
wayang wong Ramayana maupun Mahabharata (Parwa), 2 pasang gender ini dilengkapi dengan
sepasang kendang kecil, sepasang cengceng kecil, sebuah kajar, klenang dan instrumeninstrumen lainnya, sehingga melahirkan sebuah barungan yang disebut gamelan Batel Gender
Wayang.
Pertunjukan wayang kulit yang lengkap biasanya memakai sejumlah tabuh yang berdasarkan
fungsinya.

Tabuh-tabuh yang dimaksud antara lain:

81

Pategak
(pembukaan)
Tabuh Pamungkah

yang merupakan tabuh instrumentalia


gending-gending untuk mengiringi dalang melakukan puja

mantra persembahan, membuka kotak wayang (kropak)


Tabuh Patangkilangending untuk mengiringi adegan pertemuan/persidangan
Tabuh
angkat-gending untuk mengiringi adegan sibuk seperti
angkatan
Tabuh rebong
Tabuh tangis
Tabuh batel
Tabuh

keberangkatan laskar perang dan perjalanan


gending untuk mengiringi adegan roman
gending untuk mengiringi suasana sedih
gending untuk mengiringi adegan perang
gending khusus untuk mengiringi upacara pangruwatan

panyudamalan

(dalam Wayang Sapuh Leger)

6.1 SEJARAH GENDER WAYANG


Gender wayang secara umum
Gender wayang adalah merupakan sebuah tungguhan berbilah dengan terampa yang
terbuat dari kayu, sebagai alas dari resonator berbentuk silinder dari bahan bambu atau yang
lebih dikenal dengan sebutan bumbung sebagai tempat menggantung bilah. Bentuk tungguhan
dari segi bilah gamelan Gender Wayang di sebutkan berbentuk bulig yaitu bilah yang terbuat
dari perunggu atau bilah kalor adalah bilah yang permukannya menggunakan garis linggir
(kalor) dan dalam buku ini juga disebutkan bilah ini biasa digunakan pada jenis-jenis tungguhan
gangsa seperti halnya gamelan Gender Wayang. Bilah bulig adalah bentuk bilah yang digunakan
di gamelan Gender Wayang secara umum di Bali. (Ensiklopedi Karawitan Bali karya Pande
Made Sukerta). Kemudian terampa ataupun pelawah dari gamelan Gender Wayang di Bali
memiliki model atau bentuk yang sama, yaitu 2 (dua) buah adeg-adeg yang terbuat dari kayu
berfungsi sebagai penyangga gantungan bilah dan tempat resonator atau bumbung. Meskipun
secara umum model dan bentuknya sama, faktanya dari setiap daerah memiliki ciri khas dan
keunikannya masing-masing sesuai dengan budaya seni dan kreativitas seniman di daerah
setempat. Hal ini terletak pada ornamentasi yang berarti hiasan atau pepayasan. Unsur arsitektur
yang merupakan induk dari ornamentasi dan pepayasan juga hadir sebagai bagian dari alat

82

musik, yang berkaitan dengan bidang tertentu. Khususnya dalam gamelan Gender Wayang
terlatak pada bidang terampa atau tungguhan. Setiap daerah di Bali memiliki sebuah persepsi
yang tidak sama, walaupun berakar dari satu konsep style atau model lagu (gending) di
masyarakat Bali.

Gender Wayang secara khusus


Gender wayang adalah barungan alit yang merupakan gamelan Pewayangan (Wayang
kulit dan wayang wong) dengan instrumen pokoknya yang terdiri dari 4 tungguh gender
berlaras slendro (lima nada). Keempat gender ini terdiri dari sepasang gender pemade (nada
agak besar) dan sepasang gender kantilan (nada agak kecil). Keempat gender, masing-masing
berbilah sepuluh bilah yang dimainkan dengan mempergunakan 2 panggul, Gambelan ini
merupakan gambelan yang tergolong dalam gambelan golongan tua. Nada yang di gunakan
adalah nada(patet) selendro .dan nada nya berawal dari nada berbilah besar bernada rendah
ndang atau ndong dan berakhi di bilah nada yang kecil danbernada tinggi yaitu nada nding atau
ndung,tergantung

pemain

yang

FungsidanPeranan

memainkan.

Gender

wayang

Gender Wayang tidak hanya dikenal berfungsi sebagai alat pengiring pertunjukan wayang juga
sebagai alat musik instrumental. Peranannya sebagai music instrumental dalam hal ini,
disamping untuk iringan upacara metatah (potong gigi), upacara ngaben, RsiYadnya dan lain
sebagainya, jugauntukmengiringipembacaankekawindankidung,misalnya : mantramTrisandya
yang

dapatkitadengarsaatpagi,

siangdan

sore

diradiomaupunditelevisi,

disana

gender

wayangsebagaipengiringdanmampumemberikansuasana
ritual.Namalagusebagaipengiringnyaadalah

Sekar

Sumsang

gayaKayumas.Gender

Wayangsudahmulaidigemariolehanak-anak, terbuktidenganbanyaknyaanak-anakyang berminat


les/kursusmenabuh Gender Wayangterutamaanak-anaktingkat SD, SMP,SMA, bahkananak83

anaksetingkat
gender

TK

punsudahdiarahkanperhatianmerekabelajardanmengenalgending-gending

wayang.

Inimenjadisuatukebanggaanbagikitaterhadapgenerasimuda

sudahmaubelajarmusik-musiktradisi

yang

Bali.

Hal

inijugasangatmenggembirakankarenamenempatkaninstrumenGender
Wayangsejajardenganminatpadaalatmusiklainmisalnyagitar, piano dan drum. Peranan orang
tuajugasangatbesardalammengarahkandanmendukungminatputradanputrinyapadakegiatan

yang

positif.Padasaatini,
banyakterjadisalahpergaulanpadagenerasimudakita.Merekatidakmenyadaripotensidalamdirinya,
namunmencariidentitasdiripadapergaulan

yang

salah.Disinilahperan

orang

tuauntukmengarahkandanmemberiperhatianapasebenarnya yang dibutuhkanputra-putrimereka.


Salah

satualternativeuntukmengisiwaktuluangmerekaadalahmengikutikursusprivat

gender

wayang.Instansipendidikansangatmenekankanpadakesadaranakannilainilaitradisionalpadaanakdidiknyaterutamapadaalatmusik

gamelan.

Untukmenampungdansebagaiajangkompetisi,
makadiselenggarakanberbagailombabaikantarsekolahatapunumum.Lomba-lomba

yang

seringdiselenggarakan.Banyaksekolah yang menekankan prosespenyaringansiswabarupadaanakanak yang memilikiprestasi di bidang Seni.Dari uraian di atas, terlihatbahwafungsidanperanan
Gender

Wayangsebagaisalahsatualatmusik

dapatmengikutiperkembanganzamansehinggatetapeksis,
yang

tidakbolehditinggalkan.

Bali,

disampingfungsidanperananlamanya

Usaha

pelestarian

wayangjugamemberidampakpositifterutamapadapengusaha

gender
gamelan

karenasemakinbanyakperanangamelan gender wayangbaiklokalmaupunmancanegara. Muridmuridkursusprivat

genderwayang,

seringmenginginkanmemilikiseperangkat

Wayanguntukdirumahnya.Darisegiekonomi,

harga

wayangtidaklahterlalutinggidibandinginstrumenlain,
Pelawah

Atau

Bentuk

Gender
gender

sehinggadapatdijangkauolehpribadi.

Gambelan

Gender

wayang

Di daerah Badung dan Denpasar memiliki sebuah keunikan tersendiri yaitu tungguhan
pelawahnya bisa dilipat apabila sudah selesai dimainkan, hal ini menurut Bapak I Wayan
Suweca, S.Skar dosen seni karawitan yang mengajar mata kuliah Filsafat Seni Karawitan
dikatakan hal ini berkaitan denganCiwa Tattwa dan mengandung konsep Purusa dan Predana.
84

Purusa dan Predana yaitu sebuah filsafat yang menguraikan dua hal yang berbeda apabila
bersatu akan menghasilkan sebuah energi yang besar yang biasa disebut dengan lanang wadon
atau laki perempuan (mata kuliah pengetahuan seni karawitan 1 semester 3 dengan Bapak I
Wayan

Suweca,

S.SKar,

di

kampus

ISI

Denpasar,

tanggal

Oktober

2012).

Walaupun bentuk dan model sama persis, pelawahnya di kedua daerah ini sudah dibubuhi
dengan sedikit pepayasanpada adeg-adeg berupa beberapa jenis motif ukiran sebagai pemanis
dan

diberikan

warna

prada.

Asal

usul

SetelahwawancaradenganBapak

WayanSuwecaSS,kar,

menurutinformasi

yang

sayadapatkanadanyagambelan gender wayang di KayumasKajadimulaipada tahun 1932 di


rumah Pan Madri ( sebutanbapakuntukanakpertama)

, dimanaanggotanyaterdiridari Pan

Madri

Pan

,Pan

Kandra

Rukidan

Runaadapuninstrumengambelantersebutmerupakanpinjamandarikeluarga

Pan

Pan
Madri

di

DesaPanjer , Denpasar Selatan oleh Pan Made Regeg. Kemudian Pan Madriinimembentuksekha
gender

wayang,sesudahitupadagenerasikeduaadapenambahanpemainyaitu

WayanKonolanataudipanggil

Pan

WecadandisaatitudibentukjugasekhabateluntukmengiringiWayang

Ramayana

yang

anggotanyaterdiridarikeluargadaribanjarKayumasKajadanbanjarKaliungudansekhainiberkemban
gdengandipilihnyauntukmengiringidalang-dalangterkenaldi
BagusTegaldariTegal
BagusNgurahdariBuduk

Denpasar
,

,
Ida

Ida

Denpasar

kajaBagusBindu

Dari

seperti
Kesiman

Ida
,

Ida

BagusSuyogadariBongkasedanmasihbanyakdalang-

dalangterkenallainnya.
Dengandipilihnyasebagaijurupengiringwayangkulitsekhainibanyaksekalimendapatpengalamanda
ridalang-dalang

yang

diiringikarenamempunyai

style-style

sendiri-

sendiri

.Gender

WayangKayumasKajamemiliki style yaitu style has KayumasKajamisalnyadaribentuk gender


wayangdanlagu-lagunya

,setelah

initrusdipakaiuntukmengiringiakhirnyadikembalikanlagike

gender
Pan

Madridanpadatahun

1948

meminjamkeTampakGangsuloleh orang yang terpandangdariTampakGangsulmenurutsejarahnya


gender

dariTampakgangsulinihadiahdariKerajaan

Bali

di

Denpasar

yang

kualitasnyasangatbaikdanmetaksu. Dengandipakainya gender itusemakinterkenallah gender


85

kayumas

di

daerahbadungdansekitarnya

,kemudiankarenabanyaksekalimengiringipewayanganmakapadatahun
tersebutdikembalikankarena

gender

Pan

style

di

larassesuaidenganaslinya

gender

tersebuttidakbolehdipinjamkanlagikarenapadasaatitu

TampakGangsulsedangkacaubalau,makapadasaatitujuga
nyasendiridenganmeniru

1972

style
,daun

gender
gender

di

Wecamembuatlagitetapidengan
TampakGangsuldaribentuk

dibuatolehPandeMiegdariTiingan

,Klungkungdanpelawahnyaoleh Pan Wecasendiri . SejakitulahPanWecaselakupimpinansekha


gender wayang di KayumasKajamembuat gender KhasKayumaskajauntuk di jualbelikan
,sampaisekarang gender wayang di kayumassudahdigenerasikanolehanakdancucudari pan
Wecadantetapeksissampaisaatinidandikenal

di

daerah

Bali

maupun

di

luar

Bali.

Adapuninstrumen yang dipakaiadalah 2 tungguhpemadedan 2 tungguhkantil ,plawahnya style


bebadunganyaituplawah

gender

wayangtidakadatatakanataupanyangga

di

bawahnyakarenaadaunsur-unsurfilosofi yang terkandungpada instrument tersebutkarenakayu


yang dipakaipada gender ituadalahkayu Las Celagi karenadipercayakayutersebutmemilikinilainilaimistis dan awet jarang pula di makan binatang tanic

86

SENI SUARA

1. Sekar Rare
Seiring dengan perjalanan waktu, Lagu Bali terus berkembang dengan grafik yang sangat
tidak stabil karena terpengaruh oleh situasi negara yang tidak menentu yang sangat menyulitkan
para seniman lagu Bali untuk membuat sebuah karya. Pada dasarnya, Bali tidak hanya kaya akan
aneka ragam tarian atau upacara-upacara adatnya yang begitu kompleks. Namun juga kaya akan
lagu-lagu atau tembang tradisonalnya yang kelak akan tergerus zaman. Untuk itulah disini kita
memiliki peran untuk melestarikannya.Berbagai jenis tembang yang dimiliki oleh Bali
mempunyai struktur serta fungsi yang berbeda-beda.Masyarakat Bali membedakan seni tembang
ini menjadi empat kelompok, yakni gegendingan, sekar alit, sekar madya, dan sekar agung. Pada
kesempatan ini, saya akan membahas salah satu dari empat kelompok ini yaitu gegendingan.
Gending Rare atau Sekar Rare mencakup berbagai jenis lagu-lagu anak-anak yang
bernuansa permainan.Jenis tembang ini pada umumnya memakai bahasa Bali sederhana, bersifat

87

dinamis dan riang, sehingga dapat dilagukan dengan mudah dalam suasana bermain dan
bergembira.
Adapun contoh Gending yang termasuk Sekar Rare yaitu:
1.1 Juru Pencar
Juru pencar juru pencar
Mai jalan mencar ngejuk ebe
Be gede gede
Be gede gede
Di sawana ajaka liu
1.2 Meong-meong
Meong meong alih ja bikule
Bikul gede gede
Buin mokoh mokoh
Kereng pesan ngerusuhin
Juk meng Juk kul..

2. Sekar Alit
Sekar alit juga disebut macapat. Macapat dalam bahasa Jawa berarti suatu sistem untuk
membaca syair tembang atas empat-empat suku kata.Di Bali tembang macapat sering disebut
dengan pupuh yang berarti rangkaian tembang (Budiyasa dan Purnawan, 1998: 8). Pupuh di Bali
88

dikenal sepuluh buah sebagai macapat asli, seperti Pupuh Sinom, Pupuh Semarandana, Pupuh
Pangkur, Pupuh

Pucung,

Pupuh

Ginada,

Pupuh

Ginanti,

Pupuh

Durma,

Pupuh

Maskumambang, Pupuh Dandanggula, dan Pupuh Mijil.Pupuh yang dirangkai dalam sebuah
cerita disebut geguritan. Akan tetapi, selanjutnya muncul beberapa pupuh baru yang berasal dari
kidung, seperti Jurudemung (Demung), Gambuh, Magatruh, Tikus Kapanting, dan Adri.
Belakangan muncul beberapa geguritan yang memiliki beberapa tema, yaitu Geguritan Tamtam,
Geguritan Basur, Geguritan Ni Sumala, Geguritan Pakang Raras, Geguritan Durma, Geguritan
Sucita, dan sebagainya.
Pupuh juga memiliki beberapa variasi yang beranekaragam, sesuai dengan alur cerita
dalam geguritan, misalnya pupuh Sinom memiliki beberapa variasi yaitu pupuh Sinom Uug
Payangan (ditembangkan dalam Geguritan Uug Payangan); pupuh Ginada memiliki variasi
pupuh Ginada Basur (ditembangkan dalam Geguritan Basur); pupuh Ginada Jayaprana
(ditembangkan dalam Geguritan Jayaprana); dan beberapa variasi pupuh yang lain. Selain itu,
pupuh sebagai rangkaian tembang memiliki karakter yang berbeda-beda. Karakter pupuhtersebut
akan tampak ketika dilantunkan dengan ekspresi, berupa rasa romantis, sedih, senang,
berwibawa, dan sebagainya.
Dalam menyajikan tembang macapat atau pupuh pada dasarnya dapat ditempuh dengan dua cara
yakni sebagai berikut:
1. Sistem paca priring, yaitu sistem membaca atau menyajikan nada-nada pokok tembang
satu demi satu bagi orang yang baru mulai belajar menembang.
2. Sistem ngwilet atau gregel, yaitu sistem dalam menyanyikan tembang sudah memakai
hiasan atau variasi cengkok, anak nada, dan pemakaian tempo lebih panjang. Cara ini
dapat melahirkan gaya tiap penyanyi, namun masih tetap pada tema lagu atau tembang.
Berikut adalah contoh pupuh atau tembang macepat yang menceritakan tentang kisah Kebo
iwa yang dituangkan dalam bentuk tembang macepat atau pupuh:

89

2.1 Pupuh Dandang Gula


Tembang:
1. Titiang jatma lintang pangkah gati

8i

2. Nulad Sang meraga ririh wikan

10i

3. Pascad ring kanda sastrane

8u

4. Mangda wenten anggen suluh

8a

5. Olih karma sareng sami

8i

6. Kebo iwa katembangang

8a

7. Patih Bali teguh kukuh

8u

8. Magajegang Bali Duipa

8a

9. Panganjali Swastyastu riin katur

12u

10. Kirang langsung sinampura

8a

Artos:
1. Inggih, titian pinaka damuh sane pangkah wiakti
2. Titiang pangkah nulad sang meraga waged ririh
90

3. Inngih punika sang waged ring sajeroning kandane


4. Tetuek titian nulad ida mangda wenten katur anggen suluh
5. Punika katur majeng ring ida dane karma sami
6. Punika mawinan titiang mangkin ngaturang gita mamurda Kebo Iwa
7. Dane kaloktah pinaka patih Bali sane sakti
8. Dane sane ngajegang jagat Baline duka riin
9. Sadurunge katur, kawitin titiang dumun antuk pangastungkara, Om Swastyastu
10. Prade wenten atur tan manut titiang nunas sinampura
2.2 Pupuh Sinom
Tembang:
1. Ring jagat Blahbatuh carita

8a

2. Irika Ki Karang Buncing

8i

3. Maka mekel ngenter jagat

8a

4. Madue oka asiki

8i

5. Kebo Iwa mapepasih

7i

6. Jemet nulung aji ibu

8u

7. Uleng mlajah kanda sastra

8a

8. Asih kumasih ring kanti

8i

9. Aji ibu

4u
91

10. Ledang maputra suputra

8a

Artos:
1. Inggih, ceritayang titiang ring Jagat Blahbatuh duke riin
2. Ring jagat Blahbatuh wenten kabawos dane Ki Karang Buncing
3. Dane karang Buncing maka mekel irika duk riin
4. Dane Karang Buncing madue putra wantah asiki kemanten
5. Parab putran dane inggih punika Ki Kebo Iwa
6. Ki Kebo Iwa jemet pisan nulungin aji miwah biang ipin magarapan
7. Tur dane Kebo Iwa uleng pisan melajah kanda sastra
8. Majeng ring kantine dane Kebo Iwa asih kumasih
9. Punika mawinan aji miwah ibun nyane,
10. Tan sipi saying nyane ring putrane sadu dharma
2.3 Pupuh Maskumambang
Tembang:
1. Kebo Iwa,

4a

2. Sampun truna sane mangkin 8i


3. Jagat terak sayah

6a
92

4. Ngrereh ajeng meweh gati

8i

5. Ibu aji nandang lara

8a

Artos:
1. Kacerita dane Kebo Iwa sane mangkin sampun munggah taruna
2. Lacuran pisan daweg punika, jagate katiben terak
3. Mawinan daweg punika, meweh pisan ngrereh ajeng-ajengan
4. Punika mawinan dane Ki Karang Bungcing miwah rabine nandang kaduhkitan.
2.4 Pupuh Semarandana
Tembang:
1. Ajine raris manyawis

8i

2. baat pesan keneh yayah

8a

3. Ngepas cening alit katon

8i

4. Mangruruh pangupa jiwa

8a

5. Yen keto keneh idewa

8a

6. Lautang cening lumaku

8u

7. Mogi cening maan merta

7a

Artos:
1. Wawu asapunika Ki Kebo Iwa,raris gelis nyawis
2. Cening Kebo Iwa, okan aji saying, sujatine baat pesan keneh ajine jani
93

3. Aji merasa baat ngelepas ukudan cening, sawireh cening kari alit
4. Baat keneh aji ngelepas cening cenik ngalih pangupa jiwa
5. Sakewala yan keto saja buka keneh ceninge
6. Nah, lautang cening majalan ngalih pangupa jiwa
7. Dumogi Ida Shang Hyang Kawi sueca tekening cening mapaica merta.
2.5 Pupuh Mijil
Tembang:
1. Maha Prabu

4u

2. Mawecana Raris

7i

3. Nira liwat angob

6o

4. Ngaksi kawagedan pamane

9e

5. Jani paman anggon nira patih 10i


6. Ngabih linggih mami

6i

7. Bali apang kukuh

6u

Artos:
1. Ida Sang Prabu Bedahulu
2. Raris ida mawecana ring Kebo Iwa, manira angob pesan
3. Uduh, Paman Kebo Iwa, manira angob pesan
4. Nira angob ngaksi kawegedan pamane ngae wewangunan, tur sakti mawisesa
94

5. Nira Liwat angob ngaksi kawagedan pamanne ngae wewangunan, tur sakti mawisesa
6. Ento krana ane jani paman adengang nira maka Patih Agung
7. Paman ngabihlinggih nira ngenter jagat Bali Dwipa
8. Apanga jagat Baline prasida ajeg kukuh werdi kayang ring wekas.
2.6 Pupuh Ginada
Tembang:
1. Raris dane Kebo Iwa

8a

2. Ngabih prabu maka patih

8i

3. Satia bakti maring ida

8a

4. Kerta raharja negantun

8u

5. Kaloktah maring buana

8a

6. Ajeg werdi

4i

7. Jagat Bali tan papada

8a

Artos:
1. Ngawit punika raris dane Kebo Iwa ngabih linggih Ida Sang Prabu Bedahulu
2. Dane kicen linggih maka patih agung, masanding ring pepatih ida sane tiosan
3. Dane Kebo Iwa ngabih linggih sang prabu maka patih, satia bakti ring ida sang prabu
4. Punika mawinan raris jagat Bali sayan kerta tur trepti
5. Tur ngawit punika jagat Bali kaloktah raris ring buana sami
95

6. Ajeg kukuh wiakti


7. Jagate ring Bali ngawit punika tur keajeganne nenten wenten nyaman pada.
2.7 Pupuh Ginanti
Tembang:
1. Patih Gajah mada lantur

8u

2. Ngeka nayasane singid

8i

3. Raris dane rauh ngraga

8a

4. Tangkil ring sang prabu Bali

8i

5. Gusti titiang meled pisan

8a

6. Ngiket kanti sareng gusti

8i

Artos:
1. Sane mangkin kacarita pidabdab dane Maha Patih Gjah Mada selanturnyane
2. Raris dane patih Gajah Mada ngeka naya sane pingit gati
3. Carita sane mangkin dane Patih Gajah Mada sampun rauh ngraka ka Bali
4. Ring Bali raris dane tangkil ring Ida Prabu Bedahulu
5. Ratu Sang Prabu, mangkin titiang ngaturang pikarsan gusti titiang Ida Prabu Hyam
Wuruk
6. Ida Sang Prabu Hayam Wuruk meled pisan ngiket kanti sareng palungguh Ratu
2.8 Pupuh Pangkur

96

Tembang:
1. Gajah Mada nitah panjak

8a

2. Lautang urug semere ane jani

10i

3. Panjak raris ngambil batu

8u

4. Ring semere kasabatang

8a

5. Dane Kebo Iwa kaurug batu

12u

6. Nanging dane akas pisan

8a

7. Akedik nenten punapi

8i

Artos:
1. Santukan sampun dalem semere, raris Ki Gajah Mada nitah panjake sami
2. Ih, panjak gelah mekejang, ane jani lautang urug semere
3. Panjake ngiring titah, raris ngambil batu sane ageng-ageng
4. Batune punika raris kasabatang ring semere
5. Raris Ki Kebo Iwa kaurug antuk batu ageng-ageng akeh gati
6. Sakewanten Ki Kebo Iwa anggan dane akas gati
7. Punika mawinan akedik anggan dane nenten kaset keni batu
2.9 Pupuh Durma
Tembang:
1. Kebo Iwa nenten makirig atampak

12a
97

2. Pangrejeke katangkepin

8i

3. Panjake kuciwa

6a

4. Akeh mangemasin padem

8a

5. Ne murip gelis malaib

8i

6. Ki Gajah Mada

5a

7. Metu kayune ajerih

8i

Artos:
1. Diastun karejek panjak payiuan, akedik Kebo Iwa nenten makirig
2. Raris dane nangsekang nangkepin pangrejeke
3. Ring sampune suba mayuda, kaciwa raris panjake sane ngrejek dane
4. Tur akeh panjake sane ngemasin padem
5. Ngaksi timpal-timpal ipun akeh padem, raris panjake sane murip malaib mrediding
6. Gajah Mada ngaksi indik punika
7. Jeg metu ajerih kayun dane, ten purun matanding jurit
2.10 Pupuh Pucung
Tembang:
1. Yadiastun

4u

2. Bali suba kalah numgkul

8u

3. Jiwan Bali Duipa

6u
98

4. Tusing sida gisi beli

8i

5. Nglimbak terus

4u

6. Maka jiwan nusantara

8a

Artos:
1. Kene nyen Beli Gajah Mada
2. Yadiastun gumi Baline prasida kalahang beli
3. Sakewale jiwa pramanan gumi Baline apang beli nawang
4. Nah, jiwa pramanan Baline ento tusing prasida ngambel Beli
5. Jiwa praman Bali ngimbak terus
6. Ento pinaka jiwa pramanan jagat Nusantarane lantur kayang ring wekas

3. Sekar Madya
Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam prosesi
upacara, baik upacara adat maupun agama.Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada
umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di
dalam lontar/cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh Guru Lagu maupun Padalingsa
(seperti pada Sekar Alit atau pupuh). Di dalamnya adalah pembagian-pembagian pada tubuh
tembang tersebut, diantaranya :
1. Pangawit = yang merupakan bagian pembukaan
2. Pangawak = yang merupakan bagian yang pendek
3. Panama = merupakan bagian yang panjang
99

4. Pangawak = bagian utama dari tembang tersebut


Kidung diduga datang dari Jawa abad XVI sampai XIX akan tetapi teks kidung ini kemudian
kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini bisa dilihat dari struktur komposisinya yang terbukti dengan
masuknya ide-ide yang terdiri dari Pangawit, Panama dan Pangawak yang merupakan istilahistilah yang tidak asing lagi dalam tetabuhan Bali.
Di Bali kidung-kidung selalu dilakukan dan dimainkan bersama-sama dengan instrumen.
Lagu-lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh Gambang dan oleh karena itulah laras dan
namanya banyak sama dengan apa yang ada dalam penggambangan, menggunakan laras pelog
Saih Pitu (Pelog 7 nada) yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pemaro/ tengahan.
Adapun fungsi-fungsi kidung yaitu:
1. Pada upacara Dewa Yadnya di tembangkan kidung:
2. Tatkala nuntun Ida Bhatara: Kawitan Wargasari, Wargasari;
3. Ttatkala muspa: Mredu Komala, Totaka;
4. Tatkala nunas tirta: wargasari;
5. Tatkala nyineb: warga sirang.
6. Untuk Rsi Yadnya digunakan: Rsi Bojana: Wilet Mayura, Bramara Sangupati, Palu
Gangsa.
Untuk Diksa digunakan Rara Wangi.
3. Untuk Manusa Yadnya:
4. Upacara Raja Swala: Demung sawit,
5. Upacara metatah: Kawitan Tantri, Demung Sawit;
6. Upacara mapetik: Malat Rasmi,
100

7. Upacara pawiwahan: Tunjung Biru.


4. Untuk upacara Pitra Yadnya:
5. Nedunang/ nyiramang layon: Sewana Girisa, Bala Ugu.
6. Untuk memargi ke setra: Indra Wangsa.
7. Untuk mengurug kuburan (gegumuk): Adri.
8. Untuk Ngeseng sawa: Praharsini;
9. Untuk Ngereka abu: Aji Kembang;
10. Untuk nganyut abu ke segara: Sikarini, Asti;
11. Untuk Nyekah (Atma Wedana): Wirat Kalengengan.
12. Untuk Bhuta Yadnya: Pupuh Jerum, Alis-alis Ijo, Swaran Kumbang.
13. Untuk upacara pelantikan pejabat: Perigel.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno (Kawi), dengan tulisan huruf Bali. Tulisan
ini bukan tulisan Bali biasa tetapi sudah di modifikasi untuk keperluan menetapkan irama dan
tekanan (stressing), terutama pada kakawin: apada, wrtta matra, guru laghu, gana matra, canda
karana, guru bhasa, guru lambuk dan purwa kanti.
Para penyanyi sebaiknya tidak menggunakan sound system yang keras, karena kidung
dilakukan bersama dengan suara yang sayup-sayup mengiringi puja-mantra, dari pemimpin
upacara. Jangan sampai suara kidung demikian keras, sehingga suara gentha Sulinggih tidak
terdengar. Mestinya para pelantun kidung berada dekat dengan Sulinggih sehingga mengetahui
apa yang sedang dilakukan Sulinggih, lalu memilih kidung apa yang tepat. Jangan sampai
Sulinggihnya muput caru, lalu kidungnya wargasari.
Beberapa contoh kidung untuk upacara-upacara keagamaan dalam umat Hindu :
101

3.1 Kawitan Wargasari ( Pengawit dalam upacara Dewa Yadnya )


Purwakaning angripta rumning wana ukir.
Kahadang labuh.Kartika penedenging sari.
Angayon tangguli ketur.Angringring jangga mure.
Artinya :
Purwaka (pada permulaan) Ning (nya), Angripta (menggugah) Rum (keindahan). Ning (di)Wana
(hutan) Ukir (pegunungan), Kahadang (ketika) Labuh kartika (awal musim hujan sasih kapat)
Panedenging Sari (sedang rimbunnya berbunga) Angayon (pohon) Tangguli Ketur (nama sejenis
akasia yang bunganya berwarna lembayung)Angringring (berbentuk tirai) Jangga (bunga
gadung-pun) Mure (sedang mekar).
3.2 Kidung Wargasari ( untuk upacara Dewa Yadnya )
Ida Ratu saking luhur
kawula nunas lugrane
mangda sampun titiang tandruh
mangayat Bhatara mangkin
titiang ngaturang pejati
canang suci lan daksina
sarwa sampun puput
pratingkahing saji

102

Bisa dilihat, Kidung Wargasari ini adalah kidung pemujaan di mana para pemujanya tengah
menghaturkan persembahan seperti pejati, daksina, canang dengan harapan agar para Bhatara
menerima persembahan mereka.
3.3 Kidung Wilet Mayura ( untuk upacara Rsi Yadnya )
Sarwi angatanging sarwa sinom,
Sarwi anangis ring luur,
Pangrikning sundari ampruang,
Sriokning cemara angelur,
Kasangga den lwahing warih,
Sakwehing wong amemaluk,
Taluktak lan jurang,
Swarannya anarung er talinnya kumeroncong,
Tibeng parangan.
3.4 Kidung Tantri (untuk upacara Manusa Yadnya )
Tuhu ndatan pasiring
Yadin sasoring akasa
Ring guna widya wicaksana
Byakta Sarasaswati surasmi Hyang Giriwadu
Anupama nurageng rat
Sang apatra Dyah Tantri
103

Tumuli prapta marekeng ibu.


3.5 Kidung Aji Kembang ( untuk upacara Pitra Yadnya )
Ring purwa tunjunge putih,
Hyang Iswara Dewatanya,
Ring pepusuh pranahira,
Alinggih sira kalihan,
Pantes ta kembange petak,
Ring temba lamun dumadi,
Suka sugih tur rahayu,
Dana punia stiti bhakti.
3.6 Kidung Alis-Alis Ijo ( untuk upacara Bhuta Yadnya )
Iring-iring silak-siluk,
Awanikang munggah,
Mihate di dukuh rame,
Ingambel-ambelan watu,
Cara-caranya abra murub,
Kang katinghalan asri,
Tahen kencana ngrembun ronnya nuntun haneng lemah,
Parijata mangreronce,
104

Wunga tambang wunga warih,


Ajajar lan andong ijo,
Sulasih miana ijo,
Kasuluhan bayem luhur,
Melok-molok hana bang hana putih,
Angraras tinon.
4. Sekar Agung
Sekar Agung juga disebut dengan kekawin, selain itu dinamakan pula wirama.Lagu
pujian jenis ini merupakan lagu keagamaan yang dinyayikan dengan memakai guru lagu.Dalam
melagukan

kekawin

ini

biasanya

mengikuti

aturan

tertentu

yaitu

Mantra

atau

Mentrum.Aturan mantra yang dimaksud adalah guru lagunya.Yang dimaksud guru lagu adalah
adanya suara berat dan panjang atau ringan dan lambat dalam tembang kekawin. Selain itu ada
pula aturan kekawin yaitu Wretayaitu adanya suku kata kecap yang membentuk empat baris
atau tiga baris menjadi satu bait atau ada dalam kekawin.
Adapun lagu-lagu pujaan yang tergolong Sekar Agung antara lain adalah:
1. Wirama Sardula Wikridita
2. Wirama Kalengengan
3. Wirama Ragakusuma
4. Wirama Basantatilaka
5. Wirama Sikarini
6. Wirama Girisa

105

7. Wirama Sragdhara
8. Wirama Praharsini
9. Wirama Suwadana
10. Wirama Merdukomala
11. Wirama Totaka
12. Wirama Mandamalon atau Rajani
13. Wirama Indrawangsa
14. Wirama Mrtatodaka
15. Wirama Jaloddhatagati
16. Wirama Kilayumanedheng.
Contoh:
4.1 Wirama Saronca / Arya
Ha na si ra ra tu di- bya re ngen
Pra cas ta ring rat mu suh ni ra pra na- ta
Ja ya pan di ta ring a ji ka beh
Sang da ca ra than na ma ta mo li

4.2 Wirama Indrawangsa


Mamwit narendrtmaja ring tapo wana,
106

Mnganjal yyargra ning indra parwata,


Tan wismerti sangkanikng ayun teka,
Swbhwa sang sajna rakwa mangkana
Artinya :
Mepamit ida dewaagung putra saking alas petapan,
Raris ngaturang sembah marep ka pucak gunung indrakila punika,
Nenten lali ida ring panangkan kerahayuanne rawuh,
Swabawan ida sang sadhu wiyakti asapunika.
5. Sloka
Sloka adalah mantra yang digubah dalam bentuk syair-syair yang setiap satu bait sloka
terdiri dari empat baris. Adapun maksu digubahnya mantra-mantra itu dalam bentuk sloka / syair
adalah untu mempermudah mengingat dan memahami isinya.
Contoh Sloka 1:
Yadnya sisthasinah santo
Muchyante sarva kilbihaih
Bhujante te tvagnam papa
Ye pachanty atma karanat
Artinya :
Yang baik makan setelah upacara bhakti
Akan terlepas dari segala dosa
107

Tetapi menyediakan makanan lezat hanya untuk dirinya sendiri


Mereka ini sesungguhnya makan dosa
Contoh Sloka 2:
Sa paryagac chukram akayam
Awranam asnawiram sudham
Apapa widham kawir manissi
Pribhuh swayambhur yatha
Tatho rtham wyadadhac
Chawatibhyah samabhyah
Artinya :
Hendaknya diketahui bahwa ia Maha Kuasa
Tak bertubuh, tak teraba, tak berurat nadi, suci, tak
Terkena penderitaan, maha tahu, ahli pikir, Maha Besar
Ada tanpa diadakan, pemberi rahmat atas segala keinginan
Sejak jaman dahulu kala
Contoh Sloka 3:
Sarasamuscaya 61.
raja bhirur brahmanah sarvahakso vaicyonihavan, hinahvarnolasasco, vidvanacilo vrttahinah
kulinah bhrasto brahmanah stri ca dusta

108

Hana pwa mangke kramanya, ratu wedi-wedi, brahmana sarwabhaksa, waica nirutsaha ring
krayawikrayadi karma, sudra alemen sewaka ring sang triwarna, pandita dussila, sujanma
anasar ring maryadanya, brahmana tan satya, stri dustra dussila
Artinya adalah Jika hal yang demikian keadaannya ; raja yang pengecut, brahmana yang doyan
makanan, waisya yang tidak ada kegiatan dalam pekerjaan berniaga, berjual beli dan sebagainya,
sudra enggan, tidak suka mengabdi pada tri warna, pandita yang bertabiat jahat, orang yang
berkelahiran utama nyeleweng dari hidup sopan santun, brahmana yang curang dan wanita yang
bertabiat nakal dan berlaku jahat.

6. Palawakya
Palawakya biasanya berbentuk prosa berbahasa Jawa Kuno dan sering diselingi Bahasa
sansekerta. Teknis pembacaan Palawakya biasanya pengambilan suara sama dengan kekawin.
Kekawin juga memperhatikan guru lagu, namun tidak sama dengan lagu ( dalam pengertian
metrum ) kekawin. Guru pada Palawakya lebih mengacu pada intonasi bacaan. Intonasi bacaan
dimaksudkan adalah oemenggalan bacaan sehingga teks yang dibaca mudah ditangkap
maknanya.
Contoh Palawakya :
Paramarthanya pengepenge ta pw aka temwaniking si dadi wang
Durlabhawiya ta, saksat handaning mara ring swarga ika
Sanimittaning tan iba muwahta pwa damalakena
Artinya :
Tujuan terpenting, pergunakanlah sebaik-baiknya kesempatan lahir menjadi manusia
Ini sunggu sulit diperoleh laksana tangga menuju sorga
Segala apa yang menyebabkan tidak akan jatuh lagi itu hendaknya supaya dipegang
7. Bhagawadgita
109

1-1
dhritarashtra uvaca
dharma-kshetre kuru-kshetre
samaveta yuyutsavah
mamakah sanjaya pandavas caiva
kim akurvata
Dhritarashtra said: O Sanjaya, after my sons and the sons of Pandu assembled in the place of
pilgrimage at Kurukshetra, desiring to fight, what did they do?
Dhrtarastra berkata:
Di medan dharma, di padang Kuruksetra, ketika putra-putraku dan putra-putra Pandu telah
berkumpul bersama siap untuk bertempur, apakah yang mereka lakukan, wahai Sanjaya?
1-2
sanjaya uvaca
drishtva tu pandavanikam
vyudham duryodhanas tada
acaryam upasangamya
raja vacanam abravit
Sanjaya said: O King, after looking over the army arranged in military formation by the sons of
Pandu, King Duryodhana went to his teacher and spoke the following words.
Sanjaya berkata:
Kemudian, setelah menyaksikan pasukan para Pandava yang siap siaga dalam formasi tempur,
pangeran Duryodhana menghampiri gurunya, acarya agung Drona, seraya berkata:

110

Anda mungkin juga menyukai