Tari Gawi ini merupakan salah satu tarian suku Ende Lio yang tertua dan sudah
ada sejak jaman leluhur mereka dulu. Menurut sumber sejarah yang ada, tarian
ini sejak dulu sering ditampilkan dalam upacara adat atau ritual adat masyarakat
Ende Lio. Tari Gawi ini biasanya ditampilkan di bagian akhir acara sebagai
penutup dan merupakan ungkapan rasa syukur atas berkat dan rahmat yang
diberikan oleh Tuhan kepada mereka. Nama Tari Gawi ini berasal dari dua kata
yaitu “Ga” yang berarti segan/sungkan dan” Wi” yang berarti menarik. Tari Gawi
juga dapat diartikan menyatukan diri.
Seperti yang dikatakan di atas, tarian ini memiliki fungsi sebagai ungkapan rasa
syukur dan penghormatan masyarakat terhadap tuhan. Selain terdapat nilai
spiritual dan nilai historis, dalam tarian ini juga kaya akan nilai filosofis. Salah
satunya dilihat dari bentuk tarian, dimana para penari saling berpegangan tangan
dan membentuk lingkaran. Dalam hal ini menggambarkan bagaimana rasa
persatuan, kebersamaan dan persaudaraan yang terjalin di antara mereka begitu
erat.
Dalam pertunjukannya Tari Gawi dilakukan secara masal baik kaum laki-laki
maupun perempuan. para penari tersebut membuat suatu formasi melingkar
dengan mengelilingi Tubu Busu. Dalam formasi tersebut para penari laki-laki
berada di depan atau bagian dalam, sedangkan penari perempuan di belakang
atau bagian luar. Namun ada kalanya penari perempuan membuat formasi
setengah lingkaran. Formasi tersebut tentunya memiliki arti tersendiri.
Gerakan tarian ini cukup sederhana karena saling bepegangan tangan, sehingga
gerakannya lebih didominasi gerakan kaki maju, mundur, ke kiri dan ke kanan
secara bersamaan. Sedangkan gerakan tangan hanya diayun-ayunkan.
Dalam tarian ini juga dipimpin oleh seorang disebut Eko Wawi atau Ata
Sodha yang memimpin tarian dan menyanyikan syair. Selain itu di dalam barisan
para penari juga terdapat pemimpin tarian yang disebut Ulu. Dalam pertujukan
Tari Gawi biasanya tidak menggunakan musik pengiring, namun hanya diiringi
oleh syair yang dibawakan oleh Ata Sodha. Hal ini mungkin karena merupakan
tarian yang sakral, sehingga dapat dilakukan secara hikmat.
Kostum yang digunakan para penari dalam pertunjukan Tari Gawi biasanya
merupakan pakaian adat. Untuk penari laki-laki biasanya menggunakan kaos
berwarna putih dan sarung. Selain itu juga menggunakan kain tenun
dan destar (ikat kepala). Sedangkan untuk penari perempuan biasanya
menggunakan baju khas ende, sarung ikat, dan tenun.
Walaupun merupakan salah satu tarian tertua di Ende Lio, Tari Gawi masih
dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat di sana. Hal ini terbukti dengan
masih sering dipertunjukannya tarian ini di acara adat yang digelar di sana.
Dalam perkembangannya, tarian ini tidak hanya menjadi bagian dari ritual,
namun juga bisa menjadi suatu hiburan atau pertunjukan seni. Dalam
perkembangan tersebut, para seniman juga sering menambahkan beberapa
variasi, baik dari segi gerakan maupun musik agar lebih menarik. Hal ini tentu
dilakukan sebagai usaha melestarikan tradisi dan budaya, agar tidak tenggelam
seiring dengan jaman yang semakin modern ini.
Penjelasan Tari Ende Lio Tarian Asal Nusa Tenggara Timur. Seperti tarian
lain Tari Ende Lio juga merupakan sebuah tarian daerah yang mengekspresikan
rasa lewat tatanan gerak dalam irama musik dan lagu. Tari ini memiliki ragam
jenis tarian dan perkembangan. Banyak penata tari yang mengembangkan tarian
ini.
Tarian Ende Lio dapat dibagikan beberapa jenis berdasarkan tata gerak dan
bentuknya, yaitu :
Toja
Kelompok Penari menarikan sebuah tarian yang telah ditatar dalam bentuk
ragam dan irama musik / lagu untuk suatu penampilan yang resmi
Wanda
Penari dengan gayanya masing-masing, menari mengikuti irama musik / lagu
dalm suatu kelompok atau perorangan.
Wedho
Menari dengan gaya bebas dengan mengandalkan gerak kaki seakan -akan
melompat. Woge : Gerak tari dengan mengandalkan kelincahan kaki dengan
penuh energi dan dinamis , dilengkapi dengan sarana mbaku dan sau atau
perisai dan pedang /parang.
Gawi
Gerak tari dengan menyentakkan kaki pada tanah.
Untuk istilah Toja dan Wanda sebenarnya sama arti yaitu menari, hanya cara
dan fungsinya berbeda dan kata wanda unuk suku Lio berari Toja.
Gawi/Naro
Tarian ini berbentuk lingkaran mengelilingi tubu musu dengan cara berpegangan
tangan dan menyentakkan kaki dalam bentuk dua macam ragam yaitu Ngendo
dan Rudhu atau ragam mundur dan maju .
Tekka Se
Tarian ini hampir mirip dengan tari Gawi/ naro, hanya berupa gerakan kakinya
satu ragam dan gerakan putaran lebih cepat dari gawi/ naro. Keunikan dari tekka
se, pada bagian tengah lingkaran dinyalakan dengan bara api atau api unggun
dan tarian ini diadakan pada setiap acara seremonial di wilayah Nangapanda
dan sekitarnya.
Neku Wenggu
Tarian ini berbentuk arak-arakan oleh sekelompok penari dalam acara
penjemputan atau mengantar sarana paÄ loka/ sesajian atau para tamu dan lain-
lain. Bentuk tarian Neku Wenggu sangat banyak dengan masing-masing nama
dari setiap daerah di Ende Lio.
Tarian Mure Mure
Tarian ini berarti saling mendukung. Ditarikan oleh para ibu/ gadis dari keluarga
mosalaki di Nggela - Pora - Waga pada acara ritual adat memohon turun hujan.
Jara Angi Tarian Jara Angi atau kuda siluman dan yang paling populer
disebut Tari Kuda Kepang
Penarinya terdiri dari anak-anak atau para remaja pria. Penari dilengkapi dengan
kuda yang terbuat dari Mbao (selendang pinang) atau daun kelapa yang
dianyam dengan bentuk seperti kuda. Keunikan dari tarian ini yaitu para
penyanyi menyanyikan lagu dengan kata-kata khusus, juga dinyanyikan dengan
not atau tidak mengucapkan kata-kata syair lagu.
Tarian Woge
Tarian ini diiringi dengan Nggo lamba/ wani dengan irama yang khas, tarian ini
biasanya ditari oleh satu orang pada upacara adat didahului dengan syair atau
bhea. Penari dilengkapi dengan alat-alat perang yaitu mbaku dan sau atau
periasai dan pedang/ parang, pada pergelangan kaki diikat dengan untaian woda
atau lonceng giring-giring.
Suku Lio: Lawo
Suku Ende: Zawo
Keduanya berarti sarung (tenun ikat).
Suku Lio: Lambu
Suku Ende: Zambu
Keduanya berarti baju tradisional untuk perempuan Kabupaten Ende.
Suku Lio: Maramai
Suku Ende: Numai
Keduanya berarti kemarin.
Suku Lio: Bugala'e
Suku Ende: Kerepoa
Keduanya berarti pagi-pagi (early morning).
LAWO
Mari bicara tentang lawo. Lawo merupakan sarung tenun ikat yang terdiri dari
banyak jenis. Jadi, nama sarung tenun ikat dari Kabupaten Ende itu macam-
macam? Iya, betul sekali. Bahkan, jenis tenun ikat dari dua suku ini pun berbeda.
Misalnya lawo Jara itu hanya ada di Suku Lio, beda dengan suku Ende yang
kebanyakan memakai zawo Mangga. Tapi untuk urusan
kebanggaan, lawo Kembo adalah lawo termahal yang selalu diburu untuk acara-
acara besar karena Kembo dibikin menggunakan bahan-bahan alami seperti
mengkudu dan taru.
Lawo juga termasuk bahan yang paling enak dipakai untuk tidur. Hangatnya bikin
nyaman. Pergi ke manapun, saya selalu membawa satu lawo untuk dipakai
tidur.
LAMBU
Lambu berbentuk seperti Baju Bodo dari Suku Bugis. Modelnya sangat
sederhana, berbentuk segi empat, dengan empat lubang untuk badan, kepala,
dan kedua tangan. Semakin ke sini, semakin banyak modifikasi lambu ini.
Contohnya untuk baju pernikahan, biasanya akan dibikin lebih panjang pada
bagian belakang. Bisa kalian lihat pada lambu yang saya pakai berikut ini:
Aslinya, dulu, lambu ini berwarna hitam saja, tapi seiring dengan perkembangan
zaman, warna dan motif apa pun boleh. Bahkan di toko-toko pakaian, bahan
lambu sudah dijual khusus. Tinggal pergi ke toko dan bilang, "Mau beli bahan
untuk baju Ende." Maka penjaga toko langsung mengajak kalian memilih kain
yang sudah dipotong untuk ukuran lambu/zambu dengan berbagai warna dan
motif.
Kalau soal filosofi, saya pikir filosofi yang paling dalam maknanya itu ada
pada lawo/zawo (sarung tenun ikat untuk laki-laki disebut Ragi Mite; satu-
satunya untuk laki-laki).
Makna lawo/zawo terletak pada motif tenunannya itu sendiri. Lengkapnya bisa
dilihat pada video di atas. Menulis ragam jenis sarung tenun ikat
atau lawo/zawo asal Kabupaten Ende, tidak akan cukup satu pos saja. Banyak
yang harus dibahas mulai dari proses pembuatan, pengikatan, motif yang dipilih,
lamanya waktu menenun (senda/seda), sampai pada filosofi setiap motifnya.