Anda di halaman 1dari 9

PEDOMAN “OLA KEMA EJA”

OPTIMALISASI LAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT


MENUJU ENDE SEJAHTERA

DINAS KESEHATAN KABUPATEN ENDE


TAHUN 2019

Tarian Ende Lio


Tarian Gawi adalah tarian tradisional yang dilakukan secara masal di Ende, Flores,
Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini merupakan salah satu tarian adat
masyarakat suku Ende Lio sebagai ungkapan rasa syukur atas segala berkat dan
rahmat yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka. Dalam pertunjukannya Tari
Gawi dilakukan secara masal dengan saling berpegangan tangan dan
membentuk formasi seperti lingkaran yang menjadi ciri khas tarian ini. Tari Gawi
sering ditampilkan dalam upacara seperti saat selesai panen, pembangunan
rumah adat, pengangkatan kepala suku dan acara adat lainnya.

Asal Mula Tari Gawi

Tari Gawi ini merupakan salah satu tarian suku Ende Lio yang tertua dan sudah
ada sejak jaman leluhur mereka dulu. Menurut sumber sejarah yang ada, tarian
ini sejak dulu sering ditampilkan dalam upacara adat atau ritual adat masyarakat
Ende Lio. Tari Gawi ini biasanya ditampilkan di bagian akhir acara sebagai
penutup dan merupakan ungkapan rasa syukur atas berkat dan rahmat yang
diberikan oleh Tuhan kepada mereka. Nama Tari Gawi ini berasal dari dua kata
yaitu “Ga” yang berarti segan/sungkan dan” Wi” yang berarti menarik. Tari Gawi
juga dapat diartikan menyatukan diri.

Seperti yang dikatakan di atas, tarian ini memiliki fungsi sebagai ungkapan rasa
syukur dan penghormatan masyarakat terhadap tuhan. Selain terdapat nilai
spiritual dan nilai historis, dalam tarian ini juga kaya akan nilai filosofis. Salah
satunya dilihat dari bentuk tarian, dimana para penari saling berpegangan tangan
dan membentuk lingkaran. Dalam hal ini menggambarkan bagaimana rasa
persatuan, kebersamaan dan persaudaraan yang terjalin di antara mereka begitu
erat.

Pertunjukan Tari Gawi

Dalam pertunjukannya Tari Gawi dilakukan secara masal baik kaum laki-laki
maupun perempuan. para penari tersebut membuat suatu formasi melingkar
dengan mengelilingi Tubu Busu. Dalam formasi tersebut para penari laki-laki
berada di depan atau bagian dalam, sedangkan penari perempuan di belakang
atau bagian luar. Namun ada kalanya penari perempuan membuat formasi
setengah lingkaran. Formasi tersebut tentunya memiliki arti tersendiri.

Gerakan tarian ini cukup sederhana karena saling bepegangan tangan, sehingga
gerakannya lebih didominasi gerakan kaki maju, mundur, ke kiri dan ke kanan
secara bersamaan. Sedangkan gerakan tangan hanya diayun-ayunkan.
Dalam tarian ini juga dipimpin oleh seorang disebut Eko Wawi atau Ata
Sodha yang memimpin tarian dan menyanyikan syair. Selain itu di dalam barisan
para penari juga terdapat pemimpin tarian yang disebut Ulu. Dalam pertujukan
Tari Gawi biasanya tidak menggunakan musik pengiring, namun hanya diiringi
oleh syair yang dibawakan oleh Ata Sodha. Hal ini mungkin karena merupakan
tarian yang sakral, sehingga dapat dilakukan secara hikmat.

Kostum Tari Gawi 

Kostum yang digunakan para penari dalam pertunjukan Tari Gawi biasanya
merupakan pakaian adat. Untuk penari laki-laki biasanya menggunakan kaos
berwarna putih dan sarung. Selain itu juga menggunakan kain tenun
dan destar (ikat kepala). Sedangkan untuk penari perempuan biasanya
menggunakan baju khas ende, sarung ikat, dan tenun.
Walaupun merupakan salah satu tarian tertua di Ende Lio, Tari Gawi masih
dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat di sana. Hal ini terbukti dengan
masih sering dipertunjukannya tarian ini di acara adat yang digelar di sana.
Dalam perkembangannya, tarian ini tidak hanya menjadi bagian dari ritual,
namun juga bisa menjadi suatu hiburan atau pertunjukan seni. Dalam
perkembangan tersebut, para seniman juga sering menambahkan beberapa
variasi, baik dari segi gerakan maupun musik agar lebih menarik. Hal ini tentu
dilakukan sebagai usaha melestarikan tradisi dan budaya, agar tidak tenggelam
seiring dengan jaman yang semakin modern ini.

Penjelasan Tari Ende Lio Tarian Asal Nusa Tenggara Timur. Seperti tarian
lain Tari Ende Lio juga merupakan sebuah tarian daerah yang mengekspresikan
rasa lewat tatanan gerak dalam irama musik dan lagu. Tari ini memiliki ragam
jenis tarian dan perkembangan. Banyak penata tari yang mengembangkan tarian
ini.

Tarian Ende Lio dapat dibagikan beberapa jenis berdasarkan tata gerak dan
bentuknya, yaitu :

Toja
Kelompok Penari menarikan sebuah tarian yang telah ditatar dalam bentuk
ragam dan irama musik / lagu untuk suatu penampilan yang resmi
Wanda
Penari dengan gayanya masing-masing, menari mengikuti irama musik / lagu
dalm suatu kelompok atau perorangan.

Wedho
Menari dengan gaya bebas dengan mengandalkan gerak kaki seakan -akan
melompat. Woge : Gerak tari dengan mengandalkan kelincahan kaki dengan
penuh energi dan dinamis , dilengkapi dengan sarana mbaku dan sau atau
perisai dan pedang /parang.

Gawi
Gerak tari dengan menyentakkan kaki pada tanah.
Untuk istilah Toja dan Wanda sebenarnya sama arti yaitu menari, hanya cara
dan fungsinya berbeda dan kata wanda unuk suku Lio berari Toja.

Perkembangan Tari Ende Lio


Seiring perkembangan dari generasi ke generasi para penata tari telah banyak
menciptakan tarian pengembangan di antaranya yaitu :

Gawi/Naro 
Tarian ini berbentuk lingkaran mengelilingi tubu musu dengan cara berpegangan
tangan dan menyentakkan kaki dalam bentuk dua macam ragam yaitu Ngendo
dan Rudhu atau ragam mundur dan maju .

Tekka Se 
Tarian ini hampir mirip dengan tari Gawi/ naro, hanya berupa gerakan kakinya
satu ragam dan gerakan putaran lebih cepat dari gawi/ naro. Keunikan dari tekka
se, pada bagian tengah lingkaran dinyalakan dengan bara api atau api unggun
dan tarian ini diadakan pada setiap acara seremonial di wilayah Nangapanda
dan sekitarnya.

Wanda/ Toju Paü 


Tarian ditampilkan secara perorangan dalam suatu acara. Penari menggunakan
selendang diiringi dengan musik Nggo wani/ Lamba atau musik feko genda.
Biasanya bila penari wanita selesai menari, dia harus memberikan selendang
tersebut kepada laki-laki, atau lebih khususnya yaitu Ana Noö, demikian
sebaliknya Ana Noö memberi selendang kepada ada eda/ bele untuk menari

Neku Wenggu 
Tarian ini berbentuk arak-arakan oleh sekelompok penari dalam acara
penjemputan atau mengantar sarana paÄ loka/ sesajian atau para tamu dan lain-
lain. Bentuk tarian Neku Wenggu sangat banyak dengan masing-masing nama
dari setiap daerah di Ende Lio.

Tarian Joka Sapa 


Tarian ini tergolong tarian nelayan dan ciri khas tarian ini adalah para
gadis(penari) menari dengan pakaian nelayan diiringi dengan musik/ lagu
gambus.

Tarian Mure Mure
Tarian ini berarti saling mendukung. Ditarikan oleh para ibu/ gadis dari keluarga
mosalaki di Nggela - Pora - Waga pada acara ritual adat memohon turun hujan.

Tarian Sangga Alu/Assu


Awalnya tarian ini adalah sebuah permainan dan lambat laun berkembang
menjadi sebuah tarian dan penarinya terdiri dari 2 (dua) pasang muda-mudi
disertai dengan seorang ana jara. Dalam penampilan dibutuhkan 4 hingga 8
orang pemain bambu palang dengan cara menyentak dan menjepit secara
serentak. Para penari memasukkan kaki/ kepala di antara bambu dari tempo
lambat hingga tempo cepat, selanjutnya dipadukan dengan irama lagu serta ana
jara menari mengelilingi penari/ pemain bambu palang.

Jara Angi Tarian Jara Angi atau kuda siluman dan yang paling populer
disebut Tari Kuda Kepang
Penarinya terdiri dari anak-anak atau para remaja pria. Penari dilengkapi dengan
kuda yang terbuat dari Mbao (selendang pinang) atau daun kelapa yang
dianyam dengan bentuk seperti kuda. Keunikan dari tarian ini yaitu para
penyanyi menyanyikan lagu dengan kata-kata khusus, juga dinyanyikan dengan
not atau tidak mengucapkan kata-kata syair lagu.

Tarian Pala Tubu Musu 


Penarinya terdiri dari para ibu/ gadis dari setiap keluarga Mosalaki di Wolotopo-
Ndona, dengan seorang laki-laki sebagai penari woge untuk upacara Paä Loka
atau memberi sesajian di Tubu Musu. Untuk mengiringi tarian ini yaitu, musik/
lagu Nggo Wani/ Lamba dan Nggo Dhengi dan bagian akhir dari tarian ini
dengan gawi/ naro atau tandak.

Tarian Dowe Dera


Tarian Dowe Dera ditarikan pada saat menanam tanaman. Para penari terdiri
dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan, dengan
upacara ritual adat di tempat Mopo (di tengah-tengah ladang). Penari laki-laki
dengan musik gaku, membuat lubang pada tanah, sedangkan para ibu/ gadis
mengisi bibit tanaman yang sudah dilubangkan.
Tarian ini diiringi dengan lagu Dowe Dera disertai musik Gaku yang terbuat dari
bambu (lihat musik gaku) dan penarinya dilengkapi dengan pakaian adat serta
aksesorisnya.

Tarian Napa Nuwa 


Tarian ini sebagai luapan kegembiraan dari para pejuang yang telah menang
dalam peperangan, penari terdiri dari para pejuang atau beberapa orang laki-laki,
dilengkapi dengan alat perang yaitu mbale dan sau atau perisai dan pedang /
parang. Tarian ini diawali dengan Neku Wenggu, dilanjutkan dengan Bhea dan
woge serta Ruü atau agak dengan sau sambil bergerak dalam bentuk lingkaran.
Tarian dari Desa Wolotopo ini diiringi dengan musik Nggo Lamba/ wani dan Lagu
Da seko.

Tarian Ule Lela Nggewa


Judul tarian ini identik dengan judul lagunya yang sangat khas. Dalam tarian ini
penarinya terdiri dari para gadis dan musik pengiringnya hanya sebuah gendang,
pada zaman dahulu para leluhur menggunakan batu sebagai musik
pengiringnya.

Tarian Woge
Tarian ini diiringi dengan Nggo lamba/ wani dengan irama yang khas, tarian ini
biasanya ditari oleh satu orang pada upacara adat didahului dengan syair atau
bhea. Penari dilengkapi dengan alat-alat perang yaitu mbaku dan sau atau
periasai dan pedang/ parang, pada pergelangan kaki diikat dengan untaian woda
atau lonceng giring-giring.

Baju Adat Ende Lio


Sebelumnya, kalian harus tahu bahwa di Kabupaten Ende hidup dua suku besar
yaitu Suku Ende dan Suku Lio. Suku Ende umumnya bermukim di daerah
pesisir. Kedatangan para pelaut dari daerah luar, seperti pelaut dari Pulau
Sulawesi, ke daerah pesisir Ende menyebabkan terjadinya akulturasi budaya
(serta agama Islam). Sama halnya dengan Suku Lio yang umumnya bermukim di
daerah pegunungan. Akulturasi terjadi dengan kebudayaan (serta agama
Katolik) yang dibawa oleh Pastor-Pastor asal Portugis dari Flores bagian Timur
(Kota Larantuka). Kedua suku tersebut mempunyai karakteristik yang mirip tapi
tidak sama. Ambil contoh dalam hal bahasa. Beberapa suku kata ada yang mirip,
ada pula yang berbeda. Contohnya sebagai berikut:

Suku Lio: Lawo
Suku Ende: Zawo
Keduanya berarti sarung (tenun ikat).

Suku Lio: Lambu
Suku Ende: Zambu
Keduanya berarti baju tradisional untuk perempuan Kabupaten Ende.

Suku Lio: Maramai
Suku Ende: Numai
Keduanya berarti kemarin.

Suku Lio: Bugala'e
Suku Ende: Kerepoa
Keduanya berarti pagi-pagi (early morning).

Lawo Lambu | Zawo Zambu. Keduanya sama-sama merujuk pada baju adat


tradisional untuk perempuan dari Kabupaten Ende. Untuk seterusnya saya
tidak menulis Zawo Zambu, meskipun saya Suku Ende, melainkan Lawo Lambu.

Lawo Lambu merupakan pakaian tradisional untuk perempuan dari Kabupaten


Ende. Pakaian adat ini, menurut saya, paling sederhana. Terdiri dari dua benda
saja yaitu:

1. Lawo = sarung tenun ikat (berbagai jenis).


2. Lambu = baju tradisional.
Asesoris tambahan antara lain gelang gading, gelang emas, kalung emas,
hingga selendang tenun ikat. Suku Ende yang teralkuturasi dengan budaya dan
agama Islam, umumnya berjilbab sehingga rambutnya tidak terlihat (dikonde).
Kalau saya memakai lambu yang kesemuanya dimasukkan ke dalam lawo,
maka lambu-nya tidak terlihat kalau difoto.

LAWO
Mari bicara tentang lawo. Lawo merupakan sarung tenun ikat yang terdiri dari
banyak jenis. Jadi, nama sarung tenun ikat dari Kabupaten Ende itu macam-
macam? Iya, betul sekali. Bahkan, jenis tenun ikat dari dua suku ini pun berbeda.
Misalnya lawo Jara itu hanya ada di Suku Lio, beda dengan suku Ende yang
kebanyakan memakai zawo Mangga. Tapi untuk urusan
kebanggaan, lawo Kembo adalah lawo termahal yang selalu diburu untuk acara-
acara besar karena Kembo dibikin menggunakan bahan-bahan alami seperti
mengkudu dan taru.

Lawo juga termasuk bahan yang paling enak dipakai untuk tidur. Hangatnya bikin
nyaman. Pergi ke manapun, saya selalu membawa satu lawo untuk dipakai
tidur. 
LAMBU
Lambu berbentuk seperti Baju Bodo dari Suku Bugis. Modelnya sangat
sederhana, berbentuk segi empat, dengan empat lubang untuk badan, kepala,
dan kedua tangan. Semakin ke sini, semakin banyak modifikasi lambu ini.
Contohnya untuk baju pernikahan, biasanya akan dibikin lebih panjang pada
bagian belakang. Bisa kalian lihat pada lambu yang saya pakai berikut ini:

Aslinya, dulu, lambu ini berwarna hitam saja, tapi seiring dengan perkembangan
zaman, warna dan motif apa pun boleh. Bahkan di toko-toko pakaian, bahan
lambu sudah dijual khusus. Tinggal pergi ke toko dan bilang, "Mau beli bahan
untuk baju Ende." Maka penjaga toko langsung mengajak kalian memilih kain
yang sudah dipotong untuk ukuran lambu/zambu dengan berbagai warna dan
motif.

Dari toko tinggal mengantar bahan lambu tersebut ke


penjahit.Memakai lambu boleh dikeluarkan semuanya seperti yang saya pakai
pada gambar di atas, boleh dikeluarkan bagian belakangnya, boleh juga
dimasukkan semuanya ke dalam lawo.Lawo Lambu | Zawo Zambu telah menjadi
pakaian tradisional kebanggan kami, kaum perempuan dari Kabupaten Ende.
Rasanya senang sekali bila berkesempatan memakainya. Bahkan di acara-acara
pesta di kota pun ada yang memakainya:

Kalau soal filosofi, saya pikir filosofi yang paling dalam maknanya itu ada
pada lawo/zawo (sarung tenun ikat untuk laki-laki disebut Ragi Mite; satu-
satunya untuk laki-laki).
Makna lawo/zawo terletak pada motif tenunannya itu sendiri. Lengkapnya bisa
dilihat pada video di atas. Menulis ragam jenis sarung tenun ikat
atau lawo/zawo asal Kabupaten Ende, tidak akan cukup satu pos saja. Banyak
yang harus dibahas mulai dari proses pembuatan, pengikatan, motif yang dipilih,
lamanya waktu menenun (senda/seda), sampai pada filosofi setiap motifnya.

Anda mungkin juga menyukai