Anda di halaman 1dari 9

MADING PPKN

Lusia Verdin
Sheany Marsel

 Tari Saman

Tari Saman
Tari Saman adalah sebuah tarian Suku Gayo yang biasa ditampilkan untuk merayakan
peristiwa-peristiwa penting dalam adat. Syair dalam tarian saman mempergunakan Bahasa
Gayo. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Dalam beberapa literatur menyebutkan tari saman di Aceh didirikan dan
dikembangkan oleh Syekh Saman, seorang ulama yang berasal dari Gayo di Aceh Tenggara.
Tari saman ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan
Manusia dalam Sidang ke-6 Komite Antar-Pemerintah untuk Pelindungan Warisan Budaya Tak
benda UNESCO di Bali, 24 November 2011.[1]

Makna dan Fungsi

Tari Saman di Lokop pada zaman penjajahan Belanda

Tari Saman merupakan salah satu media untuk pencapaian pesan (dakwah). Tarian ini
mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan
kebersamaan.
Sebelum saman dimulai yaitu sebagai mukaddimah atau pembukaan, tampil seorang tua cerdik
pandai atau pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat (keketar) atau nasihat-nasihat
yang berguna kepada para pemain dan penonton.
Lagu dan syair pengungkapannya secara bersama dan berkesinambungan, pemainnya terdiri
dari pria-pria yang masih muda-muda dengan memakai pakaian adat. Penyajian tarian tersebut
dapat juga dipentaskan, dipertandingkan antara grup tamu dengan grup sepangkalan (dua grup).
Penilaian dititik beratkan pada kemampuan masing-masing grup dalam mengikuti gerak, tari dan
lagu (syair) yang disajikan oleh pihak lawan.

Paduan Suara
Tari saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat musik, akan tetapi
menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan
dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan
badan ke berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut
syekh. Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam
menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan
latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini khususnya ditarikan oleh para
pria.
Pada zaman dahulu, tarian ini pertunjukkan dalam acara adat tertentu, di antaranya dalam
upacara memperingati hari Maulid Nabi Muhammad. Selain itu, khususnya dalam konteks masa
kini, tarian ini dipertunjukkan pula pada acara-acara yang bersifat resmi, seperti kunjungan tamu-
tamu antar kabupaten dan negara, atau dalam pembukaan sebuah festivaldan acara lainnya.
Nyanyian

Tari Saman di Lokop pada zaman penjajahan Belanda

Nyanyian para penari menambah kedinamisan dari tarian saman. Cara menyanyikan lagu-lagu
dalam tari saman dibagi dalam 5 macam:

1. Rengum, yaitu auman yang diawali oleh pengangkat.


2. Dering, yaitu rengum yang segera diikuti oleh semua penari.
3. Redet, yaitu lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari
pada bagian tengah tari.
4. Syekh, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi
melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak.
5. Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh
penari solo.

Gerakan
Tarian Saman menggunakan dua unsur gerak yang menjadi unsur dasar dalam tarian saman,
yakni tepuk tangan dan tepuk dada. Diduga, ketika menyebarkan agama Islam, Syekh
Saman mempelajari tarian Melayu kuno, kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang
disertai dengan syair-syair dakwah islam demi memudakan dakwahnya .Dalam konteks kekinian,
tarian ritual yang bersifat religius ini masih digunakan sebagai media untuk menyampaikan
pesan-pesan dakwah melalui pertunjukan-pertunjukan.
Tari Saman termasuk salah satu tarian yang cukup unik,kerena hanya menampilkan gerak tepuk
tangan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak guncang, kirep, lingang, surang-saring (semua
gerak ini menggunakan bahasa Bahasa Gayo).

Penari
Pada umumnya, tarian saman dimainkan oleh belasan atau puluhan laki-laki, tetapi jumlahnya
harus ganjil. Pendapat lain mengatakan tarian ini ditarikan kurang lebih dari 10 orang, dengan
rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi. Namun, dalam
perkembangan di era modern yang menghendaki bahwa suatu tarian itu akan semakin semarak
apabila ditarikan oleh penari dengan jumlah yang lebih banyak. Untuk mengatur berbagai
gerakannya ditunjuklah seorang pemimpin yang disebut syekh. Selain mengatur gerakan para
penari, syekh juga bertugas menyanyikan syair-syair lagu saman, yaitu ganit.
 Tari Pendet

Kesenian satu ini merupakan tarian selamat datang atau tarian penyambutan yang khas dari pulau
Bali. Namanya adalah Tari Pendet.

Apakah Tari Pendet itu?

Tari Pendet adalah salah satu tarian selamat datang atau tarian penyambutan yang khas dari Bali.
Tarian ini merupakan salah satu tarian tradisional dari Bali yang sangat terkenal dan sering ditampilkan
berbagai acara seperti penyambutan tamu besar dan acara budaya lainnya. Tari Pendet ini biasanya
dimainkan oleh para penari wanita dengan membawa mangkuk yang berisi berbagai macam bunga
yang menjadi ciri khasnya.

Asal Mula Tari Pendet

Tari Pendet awalnya merupakan suatu tarian tradisional yang menjadi bagian dari
upacara piodalan di Pura atau tempat suci keluarga. Sebagai ungkapan rasa syukur dan penghormatan
dari masyarakat Bali dalam menyambut kehadiran para dewata yang turun dari khayangan. Tarian ini
sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan spiritual masyarakat di sana.

Berawal dari situ, salah satu seniman Bali bernama I Wayan Rindi terinspirasi dan mengubah tarian
tersebut menjadi tarian selamat datang. Dengan dibantu Ni Ketut Reneng, keduanya menciptakan Tari
Pendet sebagai tarian penyambutan dengan empat orang penari. Kemudian tarian ini dikembangkan
dan disempurnakan lagi oleh I Wayang Baratha dengan menambahkan jumlah penari menjadi lima
orang, seperti yang sering ditampilkan sekarang. Walaupun sudah menjadi tarian penyambutan atau
tarian selamat datang, Tari Pendet ini masih terdapat unsur-unsur religius yang menjadi ciri khas
masyarakat Bali.

Fungsi Tari Pendet

Tari Pendet ini dibagi menjadi dua jenis berdasarkan fungsinya, yaitu Tari Pendet Sakral danTari Pendet
Penyembutan. Untuk Tari Pendet sakral ditampilkan sebagai bagian dari ritual keagamaan masyarakat
Bali. Dalam pertunjukan tarian ini segala sesuatunya lebih sederhana, namun unsur religius sangat
kental pada tarian ini. Sedangkan Tari Pendet penyambutan ditampilkan sebagai hiburan atau tarian
penyambutan. Dalam pertunjukan tari penyambutan ini lebih memfokuskan keindahan baik dari segi
gerak, busana, dan kecantikan para penari. Namun walaupun begitu, unsur budaya masyarakat Bali
masih melekat pada tari penyambutan ini.
Pertunjukan Tari Pendet

Dalam pertunjukannya, Tari Pendet dimainkan oleh para penari wanita yang masing-masing membawa
mangkok/bokor berisi bermacam-macam bunga sebagai properti menarinya. Pada akhir pertunjukan,
penari menaburkan bunga-bunga yang mereka bawa ke arah penonton dan para tamu sebagai ucapan
selamat datang. Penari tersebut menari dengan gerakan yang dinamis sesuai dengan irama musik
pengiringnya. Musik pengiring dalam pertunjukan Tari Pendet ini merupakan musik Gamelan khas Bali
seperti gangsa, kenyur, tungguh, kendangdan lain-lain.

Gerakan Tari Pendet

Gerakan Tari Pendet ini merupakan gerakan tari yang sangat komplit, karena gerakan tari tersebut
hampir menggerakan semua bagian tubuh. Mulai dari gerakan kaki, tangan, jari, badan, leher dan
gerakan ekpresif seperti gerakan mata dan mimik muka. Untuk menarikan Tari Pendet ini tentunya
membutuhkan keluwesan dan kelincahan.

Kostum Tari Pendet

Dalam pertunjukannya penari menggunakan busana dan tata rias khas penari Bali. busana tersebut
meliputi tapih, kemben prade, sabuk stagen, sabuk prade, selendang yang dililitkan di badan dan diletakan
dipundak penari. Pada bagian kepala, rambut di ikat dengan pusung gonjer kemudian di hias
dengan bunga jepun, bunga kamboja, bunga mawar dan jempaka. Selain itu penari juga dipercantik dengan
berbagai aksesoris seperti gelang, kalung dan anting. Sedangkan untuk tata rias penari biasanya lebih
mempertajam garis-garis muka supaya terlihat lebih jelas dan tidak lupa memakai subeng.

Perkembangan Tari Pendet

Walaupun Bali merupakan salah satu destinasi wisata yang banyak ditinggali wisatawan mancanegara,
namun masyarakat Bali sangat terkenal akan tradisi dan budayanya yang masih dipertahankan hingga
saat ini. Terbukti dengan banyaknya kesenian tradisional maupun tradisi adat yang terus dilestarikan
dan dijaga, bahkan hal tersebut menjadi salah satu daya tarik wisata di sana. Salah satunya adalah
Tari Pendet ini. Tarian ini masih terus dilestarikan oleh para seniman dari sanggar-sanggar tari yang
ada di Bali dan masih terus ditampilkan di berbagai acara budaya seperti penyambutan, festival budaya,
dan promosi pariwisata.

 Tari Jaipong

Jaipongan adalah sebuah jenis tari pergaulan tradisional masyarakat Sunda, Karawang,Jawa
Barat, yang sangat populer di Indonesia.
Sejarah
Jaipongan terlahir melalui proses kreatif dari tangan dingin H Suanda sekitar tahun 1976 di
Karawang, jaipongan merupakan garapan yang menggabungkan beberapa elemen seni tradisi
karawang seperti pencak silat, wayang golek, topeng banjet, ketuk tilu dan lain-lain. Jaipongan di
karawang pesat pertumbuhannya di mulai tahun 1976, di tandai dengan munculnya rekaman
jaipongan SUANDA GROUP dengan instrument sederhana yang terdiri dari gendang, ketuk,
kecrek, goong, rebab dan sinden atau juru kawih. Dengan media kaset rekaman tanpa label
tersebut (indie label) jaipongan mulai didistribusikan secara swadaya oleh H Suanda di wilayah
karawang dan sekitarnya. Tak disangka Jaipongan mendapat sambutan hangat, selanjutnya
jaipongan menjadi sarana hiburan masyarakat karawang dan mendapatkan apresiasi yang
cukup besar dari segenap masyarakat karawang dan menjadi fenomena baru dalam ruang seni
budaya karawang, khususnya seni pertunjukan hiburan rakyat. Posisi Jaipongan pada saat itu
menjadi seni pertunjukan hiburan alternative dari seni tradisi yang sudah tumbuh dan
berkembang lebih dulu di karawang seperti penca silat, topeng banjet, ketuk tilu, tarling dan
wayang golek. Keberadaan jaipong memberikan warna dan corak yang baru dan berbeda dalam
bentuk pengkemasannya, mulai dari penataan pada komposisi musikalnya hingga dalam bentuk
komposisi tariannya.
Mungkin di antara kita hanya tahu asal tari jaipong dari Bandung ataupun malah belum
mengetahui dari mana asalnya. Dikutip dari ucapan kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (
Disbudpar ) Karawang, Acep Jamhuri “Jaipong itu asli Karawang. Lahir sejak tahun 1979 yang
berasal dari tepak Topeng. Kemudian dibawa ke Bandung oleh seniman di sana, Gugum
Gumilar. Akhirnya dikemas dengan membuat rekaman. Seniman-seniman Karawang dibawa
bersama Suwanda. Ketika sukses, yang bagus malah Bandung. Karawang hanya dikenal
gendangnya atau nayaga (pemain musik). Makanya sekarang kami di Disbudpar akan mencoba
menggali kembali seni tari Jaipong bahwa ini seni yang sesungguhnya berasal dari Karawang”.
Tari ini dibawa ke kota Bandung oleh Gugum Gumbira, sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan
untuk mengembangkan tarian asal karawang dikota bandung yang menciptakan suatu jenis
musik dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat Nusantara, khususnya
Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang relatif baru, jaipongan dikembangkan
berdasarkan kesenian rakyat yang sudah berkembang sebelumnya, seperti Ketuk
Tilu, Kliningan, serta Ronggeng. Perhatian Gumbira pada kesenian rakyat yang salah satunya
adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola
gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-
gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian
menjadi inspirasi untuk mengembangkan kesenian jaipongan.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi
terbentuknya tari pergaulan ini. Di kawasan perkotaan Priangan misalnya, pada masyarakat
elite, tari pergaulan dipengaruhi dansa Ball Room dari Barat. Sementara pada kesenian rakyat,
tari pergaulan dipengaruhi tradisi lokal. Pertunjukan tari-tari pergaulan tradisional tak lepas dari
keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk
kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara bergaul. Keberadaan ronggeng dalam seni
pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari
Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar
tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur
sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk,
dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku,
kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang
berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni
pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat
(Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan
Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan
kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian
dalam Topeng Banjetcukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak
Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih
menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan,
pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar
penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu,
Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Tarian ini mulai dikenal luas sejak 1970-an. Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada
awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan
pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan
warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu
menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.

Perkembangan[sunting | sunting sumber]

Jaipongan Mojang Priangan

Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser
Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan
(putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal
seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian
tersebut sempat menjadi perbincangan, ulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama
Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apa lagi setelah tari Jaipongan pada
tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih
meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan
yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari
untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan
munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan
kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai
pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini
dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar
Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan
Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan
kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada
pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di
Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan
Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di
daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2)
Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya
dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tetapi tidak bisa nyanyi
melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian
pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah
jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum
Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul
Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut
muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati
Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa
Suryabrata, dan Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal
ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing
yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula
dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari
Jaipongan banyak memengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat,
baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir
semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan
Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni.

 Tari Piring

Tari piring
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jump to navigationJump to search

Tari Piring di kota Bukittinggi, Sumatera Barat

Penari tari piring yang tengah memijak piring pecah

Tari piring atau tari piriang dalam bahasa Minangkabau adalah tarian tradisional Minangkabau
yang melibatkan atraksi piring. Para penari mengayunkan piring mengikuti gerakan-gerakan
cepat yang teratur, tanpa terlepas dari genggaman tangan.[1] Gerakannya diambil dari langkah-
langkah dalam silat Minangkabau atau silek.[2]
Secara tradisional, tari ini berasal dari Solok, Sumatera Barat dan[3] secara umum menjadi
simbol masyarakat Minangkabau.
Sejarah
Pada awalnya, tari ini merupakan ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-
dewa setelah mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah. Ritual dilakukan dengan
membawa sesaji dalam bentuk makanan yang diletakkan di dalam piring sembari melangkah
dengan gerakan yang dinamis.[4]
Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, tradisi tari piring tidak lagi digunakan sebagai
ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa.[5] Akan tetapi, tari tersebut digunakan sebagai
sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada acara-acara keramaian.

Gerakan

Sekelompok penari piring

Gerakan tari piring pada umumnya adalah meletakkan dua buah piring di atas dua
telapak tangan. Penari mengayunkan piring dalam gerakan-gerakan tari yang cepat, diselingi
dengan mendentingkan piring atau dua cincin di jari penari terhadap piring yang dibawanya.
Pada akhir tarian, biasanya piring-piring yang dibawakan oleh para penari dilemparkan ke lantai
dan para penari akan menari di atas pecahan-pecahan piring.[6]
Tarian ini diiringi oleh kombinasi musik talempong dan saluang. Jumlah penari biasanya
berjumlah ganjil yang terdiri dari tiga sampai tujuh orang. Para penari mengenakan pakian
berwarna cerah dengan nuansa warna merah dan kuning keemasan.

Anda mungkin juga menyukai