TARIAN ADAT
Tari Ende Lio adalah sebuah tarian daerah yang mengekspresikan rasa lewat tatanan gerak
dalam irama musik dan lagu. Dilihat dari tata gerak dan bentukya, tarian Ende Lio dapat
dibagikan beberapa jenis di antaranya yaitu :
Toja : Kelompok Penari
menarikan sebuah tarian
yang telah ditatar dalam
bentuk ragam dan irama
musik / lagu untuk suatu
penampilan yang resmi
2. ALAT MUSIK
Seni musik atau seni bunyi yaitu
yang dihasilkan oleh suara manusia / seni
suara dan suara alat-alat instrumen. Seni
suara/vokal, mengungkapkan rasa lewat
suara manusia dalam bentuk kata-kata
syair/lagu seperti : Doja, Ndeö-
Peö,Sodha-Oro-Bhea-dll.
Musik instrumen yaitu membunyikan alat-
alat musik sebagai ritme / melodi dengan
cara meniup, memukul, memetik,
menyentak, dll.
a) Pengertian
Sa’o merupakan rumah, sedangkan Ria artinya besar. Jadi pengertian Sa’o Ria adalah
Rumah Besar. Sa’o Ria merupakan bangunan utama masyarakat Ende Lio dan amat
disakralkan. Pada Sa’o Ria inilah Atalaki Pu’u menetap.
b) Fungsi praktis
Sao Ria merupakan tempat berlindung satu atau beberap keluarga yang seketurunan.
Di tempat itulah mereka makan, tidur, dan melakukan pekerjaan – pekerjaan tertentu. Sao
Ria juga berfungsi sebagai dapur untuk memasak makanan.
c) Fungsi Sosial
Sao Ria adalah tempat tinggal Atalaki Puu beserta saudara – saudaranya.Ia adalah
bapak dan ibu dari segenap suku,representan hidup dari nenek – moyang. Ia yang
menjamin kesatuan dari seluruh warganya,sebab Sao Ria dibangun oleh segenap warga
suku.
d) Fungsi Religius
Sao Ria merupakan tempat dilakukannya upacara adat yang bersifat religius seperti
upacara pertanian, kelahiran, perkawinan, dan kematian.Adanya Wisu lulu, Ana wula
leja, dan barang – barang pusaka keramat lainnya. Membuktikan bahwa Sao Ria bukan
saja sebuah tempat tinggal roh nenek – moyang dan tempat manusia bertemu dengan dua
ngga’e yang merupakan sumber dan tujuan akhir serta penyelenggara kehidupan alam
semesta.
e. Bentukan Arsitektur
Konsep dan bentukan arsitektur yang di aplikasikan pada bangunan sa’o ria diambil
dari falsafah masyarakat ende lio yaitu:”segala kegiatan yang di lakukan masyarakat ende
lio tidak terlepas dari hubungan dengan leluhur atau nenek moyangnya dan Tuhan yang
maha pencipta. Yaitu dapat dilihat dari bentukan atap yang menjulang tinggi, dan
bentukan atap ini bermakna bahwa apa yang di dapat dan di peroleh masyarakat adalah
kepunyaan yang Maha kuasa sehingga harus ada hubungan dan komunikasi antara
manusia DU’A NGGA’E (yang maha kuasa).
PotonganA-A:
1. “Leke’ Pera” (Tiang utama rumah adat)
Leke pera adalah tiang utama dari setiap rumah adat Lio. Rumah-rumah orang Lio
pada umumnya adalah rumah bertiang, yang berkolong. Pada rumah adat, tiang pertama dan
utama disebut leke pera. Tiang itu diambil dari kayu nangka. Setelah pohon nangka yang
telah dipilih sebelum mulai dipotong untuk menjadi leke pera, segera pohon itu diperciki
dengan darah ayam merah yang dagingnya dibakar dan langsung dimakan di tempat
penebangan. Di Lise (sebagian wilayah Lio), pada bagian bawah atau di samping leke
pera diletakkan kepala, jantung dan hati babi, sebotol minyak dan rerumputan tertentu.
Semua barang itu ditutupi sebuah batu ceper, yang kemudian digunakan sebagai tempat
untuk menyajikan persembahan.
Potongan B-B:
1. “Hubu” (Puncak atap)
2. “Mangu” (Tiang utama penyanggah atap rumah)
Mangu adalah tiang-tiang pada dinding bagian sisi dan tiang-tiang utama di tengah
rumah yang menopang balok bubungan. Pada saat pemasangan balok hubungan itu akan
diadakan upacara menari semalam suntuk sekaligus juga balok itu direciki darah seekor
hewan korban (umumnya babi). Di dekat ujung bawah tiang mangu itu diletakkan sebuah
batu ceper tempat persembahan bagi Du’aNgga’e (Tuhan Allah). Hal ini karena Du’a akan
turun melalui tiang mangu untuk memakan atau langsung mengambil persembahan yang ada
pada batu ceper tersebut. Di banyak tempat di Lio, di samping tiang mangu, orang
menggantungkan sebuah tenda teo (endo teo, kanda wari), yakni sebuah anyaman
dari wulu (sejenis bambu yang kecil yang biasa dipakai untuk membuat suling) atau
sepotong papan kayu yang di atasnya diletakkan satu atau beberapa batu ceper sebagai
tempat persembahan.Tenda teo digantungkan pada seutas tali. Di tempat lainnya di
Lio, tenda teo itu digantung di tengah-tengah rumah. Pada saat orang ditimpa penyakit atau
bencana lain, di tempat tersebut orang membawakan persembahan bagi wulaleja (matahari
dan bulan).
3. “Kogo Laba”
Balok penyanggah tiang mangu.
4. “Ola teo”
Tali gantungan / tenda teo yakni sebuah anyaman dari wulu yang diisi dengan
benda-benda pusaka (emas adat, batu penggosok emas/mangan, dan tulang-belulang leluhur
tertentu) sebagai tempat membawa doa permohonan dan persembahan.
5. “Ate” ( Atap)
6. “Kae bewa”
Para-para /Loteng besar di atas tungku perapian, untuk menyimpan benda-benda
pusaka.
7. “Kae boko”
Para-para /Loteng di atas tungku perapian
8. “Benga toko”
bakul anyaman dari wulu yang diisi dengan benda-benda pusaka (emas adat, batu
penggosok emas/mangan, dan tulang-belulang leluhur tertentu) sebagai tempat membawa
doa permohonan dan persembahan.
9. “Waja”: Tungku
10. “Maga ria”:
11. “Maga lo’o”:
12. “Watu Lata ha’i”
Batu untuk meletakkan tiang rumah.
Rumah adat ende lio ditinjau dari sistem struktur dan konstruksinya, memiliki
sistem struktur , yakni struktur rangka berupa rumah panggung, Dalam hal ini umpak
yang dimaksudkan adalah berupa umpak yang terbuat dari batu alam (umpak batu) Pada
sistem struktur rangka ini beban-beban bangunan ditransferkan melalui tiang-tiang utama
dan tiang penunjang yang satu sama lainnya dihubungkan oleh balok-balok horisontal
dan diperkaku oleh rangkaian rangka atap bangunan. Tiang-tiang penyangga bangunan
tersebut pada umumnya menggunakan sistem jepit (ditanam) dan sistem sendi (umpak),
sedangkan perkuatan antara tiang dan balok menggunakan sistem sendi (diikat atau pen
dan lubang).
h. Material Bangunan
Perlakuan khusus terhadap material bangunan ini juga dilakukan atau diatur
menurut status atau fungsi suatu bangunan. Dalam hal ini misalnya pembatasan
penggunaan material dengan jenis tertentu yang hanya diperbolehkan untuk rumah adat.
Pembatasan penggunaan material ini erat kaitannya dengan upaya pelestarian lingkungan,
karena biasanya vegetasi dari jenis material tersebut sangat terbatas; disamping karena
material tadi memiliki kekuatan tertentu (termasuk material dengan kategorisasi kelas
kuat I). Pembatasan penggunaan material tertentu yang peruntukkannya hanya untuk
bangunan khusus (rumah adat) juga merupakan wujud dari penghargaan terhadap
bangunan rumah adat tersebut sebagai simbol pemersatu warga (suku) yang sifatnya
profan dan sekaligus sakral. Dalam pengolahannya sebagai material bangunan, bahan-
bahan tersebut umumnya dikerjakan secara manual dengan sentuhan teknologi yang
sederhana serta sistem pengawetan secara manual dan sederhana pula. Bahan-bahan
bangunan ini setelah ditebang atau diberi bentuk (diolah) biasanya tidak langsung
digunakan, melainkan dibiarkan untuk sementara waktu di hutan hingga bahan-bahan
bangunan tersebut menjadi kering dan dianggap layak untuk digunakan. Dalam hal ini
proses pengawetan material bangunan tersebut biasanya dilakukan secara alami. Selain
itu, masa pengawetan bahan bangunan ini juga merupakan suatu masa persiapan
pembangunan rumah adat , serta menunggu waktu yang tepat untuk mendirikan
bangunan rumah adat tersebut. Material bangunan ini dalam penggunaannya mengalami
perlakuan-perlakuan tertentu sesuai dengan kemampuan teknologi yang dimiliki.
Perlakuan terhadap bahan-bahan bangunan ini biasanya dilakukan dengan 2 (dua)
kemungkinan. Pertama, bahan-bahan tersebut diberi bentuk tertentu berupa balok-balok
persegi. Kedua, bahan-bahan bangunan tersebut tidak diberi bentuk khusus, tetapi
dibiarkan mengikuti bentuk ‘alaminya’ (bentuk gelondongan), kecuali kulitnya di kupas.
Bahan bangunan yang digunakan umumnya terbuat dari kayu, batang kelapa, batang
lontar, batang pinang dan bambu sebagai bahan struktural atau bahan konstruktif.
Sedangkan bahan yang non struktural atau non konstruktif ialah berupa alang-alang atau
ijuk sebagai bahan penutup atap serta ragam hias (dekorasi) yang digantungkan pada
bidang atap atau rangka atap bagian dalam.
4. PAKAIAN ADAT
Wanita :
=> lawo (Sarung untuk perempuan) biasanya
dalam berbagai motif dan warna .
=> lambu/baju bodo mite atau hitam dan
warna lainnya
=> Assesoris yang biasa digunakan
bersamaan saat mengenakan pakaian adat
Perempuan adalah doli bedo kutu (Tusuk
Konde) – wea – siwo – riti – tebë ( Anting
Emas) – londa – gebë rajo ( Kalung ), –
gela paki ndawa – gela mone – gela butu
seke – gela koko bheto – gela butu seko
( Gelang) mbeka weti ( Tempat siri
Pinang) dll.
5. LAGU DAERAH
Ada beberapa lagu daerah yang dikenal seperti Ie, Doja, Ndeö-Peö,Sodha-Oro-Bhea.