Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

TRADISI SIKKA

OLEH:
HELENA CHRISTARY PULONG
Kelas : VII / I

SMP KATOLIK FRATER


MAUMERE
2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “
TRADISI SIKKA” ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Tradisi Sikka yang ada di Kabupaten Sikka.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda
demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Maumere, November 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan masyarakat majemuk memiliki ragam budaya bernilai


tinggi yang diwariskan secara turun– temurun sebagai cermin budaya bangsa. Salah
satu warisan itu adalah budaya tenun. Budaya tenun merupakan bagian dari ragam
budaya sebagai warisan budaya nusantara yang harus dilestarikan karena dapat
memperkaya ciri khas bangsa Indonesia dengan motif dan coraknya yang beraneka-
ragam. Perbedaan letak geografis Indonesia yang terdiri dari beberapa pulau
mengakibatkan adanya keragaman jenis kain dan ragam hiasnya tersebut.
Secara umum pengertian Tenun ikat atau kain ikat adalah kriya tenun Indonesia
berupa kain yang ditenun dari helaian benang pakan atau benang lungsin yang
sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna alami atau buatan . Alat
tenun yang dipakai adalah alat tenun bukan mesin. Kain ikat dapat dijahit untuk
dijadikan pakaian dan perlengkapan busana, kain pelapis mebel, atau penghias
interior rumah

Kain tenun Nusa Tenggara Timur adalah kain yang dibuat dari proses
menenun oleh masyarakat NTT. Kabupaten Sikka memiliki masyarakat dengan
kebudayaan lokal yang beraneka ragam dan juga kerajinan tenun ikat yang terkenal.
Kain tenun ikat orang Maumere merupakan cindera mata khas bagi para wisatawan
asing dan domestik.

Pada umumnya tenun ikat Maumere dibuat oleh kaum perempuan yang
memiliki daya cipta dan kreasi seni tinggi. Setiap daerah di Flores menampilkan
corak dan ragam hias serta warna yang berbedabeda. Keragaman motif kain tenun
ikat Maumere bukan hanya sebatas kreasi seni, tetapi pembuatannya juga
mempertimbangkan simbol status sosial, keagamaan, budaya dan ekonomi. Bahkan,
ada beberapa motif tertentu yang pembuatannya melalui perenungan dan
konsentrasi tinggi, motif dan ragam hiasnya mengandung nilai filosofis,
penggunaannya diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya,
serta menjadikannya sebagai tradisi yang terwaris sampai hari ini. (Alexander 1995).
B. Sejarah
Proses awal tenun kain di Sikka dalam catatan sejarah, dieksplorasi secara hebat
sekitar tahun 1600-an oleh Raja Don Aleksius Alesu Ximenes Da Silva, yang akrab
disapa “Mo’ang Lesu” sebagai perintis tradisi tenun-menenum di kampung Sikka
sejak tahun 1607.
Sebagai salah satu ungkapan rasa terima kasih atas jasanya, hingga kini kaum ibu
selalu “mengabadikan” motif Rempe Sikka Tope pada salah satu jenis tenunan
mereka karena motif tersebut merupakan salah satu motif kesukaan Mo’ang Lesu.

C. Jenis Kain Tenun


Jenis tenunan tersebut terdiri dari, Kain tenun ikat, Kain tenun prenggi, Kain tenun
liin, Kain tenun neleng dan Kain tenun itor. Jenis kain adat artinya penuh dan kaya
motif terdiri dari hurang kelang (jalur-jalur ikat dan non ikat) dan bermutu tinggi
karena mempunyai nilai filosofi atau pesan khusus dan prosesnya dengan upacara
khusus dalam hampir tiap tahapan prosesnya. Lapisan-lapisan bagian motif yang
disebut sebagai satu-kesatuan hurang kelang yang terdapat dalam suatu unsur kain
tenun atau sarung berbeda tergantung pada jenis motifnya. Motif teridentifikasi pada
bagian ina gete (main motif) yang merupakan nama dari motif kain tersebut.

D. Motif dan Makna

Jika ditelusuri kembali dari motif, teknik, proses pembuatan dan asalnya, sebuah
kain tenun ikat bagi masyarakatnya dapat dianggap mempunyai nilai dan makna
yang dalam. Nilai- nilai itu antara lain nilai spritual (religio-magi), nilai politis (dikaitkan
dengan ritual-ritual adat dan oleh pemangku adat), dan nilai sosial-ekonomis
(sebagai denda adat untuk mengembalikan keseimbangan sosial). Juga makna yang
dalam dapat ditemukan dalam pemakaian kain tenun berdasarkan corak-motifnya,
seperti contoh dibawah ini:

• Utang Jarang Atabi’ang, dengan motif pasangan manusia berkuda yang


melambangkan manusia menuju alam baka (dipakai sewaktu ada kematian).

• Utang Merak, dengan motif burung merak dari corak dan warna yang
menarik dan indah (dipakai pengantin wanita).

• Utang Mitang, dengan motif garis warna gelap yang tenang (dipakai
oleh para orang tua).

• Utang Mawarani, dengan motif bintang kejora sebagai pemberi terang,


petunjuk dan media penolak bala (dipakai para pemimpin).
• Utang Rempe-Sikka, dengan bermotif tiga bintang yang mengandaikan
suami, istri dan anak (dipakai oleh pengantin wanita).

• Utang Sesa We’or, dengan motif ekor burung murai betina dan jantan (dipakai
oleh sepasang pengantin). (Marie Jeanne Adams)

Contoh motif Tenun Ikat Maumere


NILAI – NILAI KAIN TENUN IKAT MAUMERE

Faktor Budaya

1. Salah satu faktor penyebab sehingga orang Maumere memilih membuat kain tenun
ikat sebagai sistim mata pencaharian hidup mereka yaitu faktor budaya, dimana
diketahui menurut informasi yang diberikan bahwa pekerjaan turun temurun dari
orang tua atau nenek moyang mereka. Pengetahuan dalam membuat kain tenun
ikat diperoleh orang Maumere bukan karena dari pendidikan formal tetapi karena
pengetahuan yang secara turun temurun dari nenek moyang.
2. Faktor Ekonomi
Selain faktor budaya, salah satu faktor penyebab orang maumere menjadi
pembuatan ikat tenun atau pete perung juga adalah karena ekonomi. Sarung dapat
dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup.
BAB. II
PROSES PEMBUATAN TENUN IKAT

Dikutip dari laman astinsoekanto, proses pembuatan selembar kain tenun sebagai berikut:

Pohon kapas dengan sebutan ‘kapa ai’. Biasanya pohon kapas ini ditanam di kebun dan
menghasilkan buah selama satu musim saja, yaitu di musim kemarau. Jika daya berbuahnya
sudah hilang, pohon itu akan kering dan mati.

a. Memisahkan biji dengan kapas

Memisahkan antara biji dan kapas

Prosesnya dimulai dari mengeluarkan kapas putih dari kelopak atau cangkangnya. Kapas
putih yang masih banyak bijinya tadi, kemudian dijemur di panas matahari. Jika kapas sudah
kering dan ringan, itu berarti langkah berikutnya adalah mengeluarkan biji kapas. Cara
mengeluarkan biji kapas disebut keho kappa atau ngeung kappa.
Untuk memisahkah kapas dari bijinya, dipakai sebuah alat tradisional yang disebut ngeung
atau keho. Alat itu sangatlah sederhana kontruksinya dan sebagian besar terbuat dari kayu.
Lalu bagaimana caranya mengeluarkan atau memisahkan putih kapas dari bijinya dengan
memakai alat ngeung?

Tangan kanan menggerakkan alat pemutar, sementara tangan kiri mengisi atau
memasukkan kapas diantara 2 kayu bulat melintang. Memasukkankan kapas ini harus cepat
meskipun jumlahnya tidak boleh langsung banyak, namun harus sedikit demi sedikit. Kapas
yang bersih jatuh ke bagian depan alat, sedangkan biji-bijinya jatuh ke belakang.

Memasukkan kapas untuk memisahkan dari bijinya disebut wotik, yang berarti menyuapi.
Jadi pekerjaan ini butuh kesabaran dan ketenangan luar biasa, layaknya seorang ibu yang
sedang menyuapi anaknya.

b. Membersihkan kapas

Pembersihan kapas dengan memukul-mukul berulang kali

Meskipun kapas telah dipisahkan dari biji-bijinya, namun tidak otomatis selesai dan bisa
digunakan, karena kotoran masih tetap ada. Karena itu, untuk membersihkannya kapas
dibiarkan kering dengan menjemurnya.

Proses membersihkan kapas dilakukan oleh 2 perempuan yang memukul-mukul kapas


dengan 2 tongkat kayu di atas tikar. Keduanya memukul secara silih berganti. Karena terus
menerus dipukul serta dibolak-balik, maka kapas menjadi lembek, sehingga kotoran-kotoran
mudah dibersihkan.
c. Kapas dipintal

Memintal benang kapas

Setelah kapas dibersihkan, maka serat kapas tadi dihaluskan dengan alat semacam busur
kecil, dengan dipilin menggunakan telapak tangan. Pilinan kapas ini kemudian dipintal
menjadi benang panjang yang tidak terputus. Cara memintal kapas menjadi benang,
menggunakan alat yang dinamakan jantra atau kincir. Onderdil alat ini terbuat dari kayu yang
berbentuk seperti roda.

d. Membuat Motif

Merentangkan benang
Jika kapas sudah menjadi benang, maka tahapan berikutnya adalah mengikat motif dan ragam
hias. Benang direntangkan pada alat yang disebut laing tebong yang terbuat dari 2 kayu yang
melintang. Setelah benang direntangkan, maka pekerjaan yang berikutnya adalah membuat
ikat motif atau ragam hias geometris. Pekerjaan ini dilakukakn oleh 2 orang, dengan cara
saling memberi dan menerima benang. Yang satu mengatur agar tiap urat benang dimasukkan
dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas, yang lainnya, mengembalikan urat benang ke
pangkalnya. Lalu dengan hitungan tertentu, mereka membentuk motif yang diinginkan.

Membuat jalur-jalur ikat tenun

Jalur-jalur ikat tenun dibedakan atas beberapa pola, yang antara lain: pola besar yang
dominan (pola ibu), pola besar sedang, dan pola kecil. Semua jalur ikat baik yang besar
maupun yang kecil dengan motif atau ragam hias tertentu, bisa memenuhi satu bahan sarung
tenun ikat. Penataannya tergantung pada rasa seni si pembuatnya.

e. Mewarnai Benang

Mewarnai benang secara tradisional dengan bahan alami


Benang-benang yang sudah diikat dan membentuk pola-pola dengan motif tertentu tadi,
kemudiam akan melalui proses pewarnaan benang. Proses ini dimulai dengan mencelupkan
benang kedalam adukan minyak kenari dan minyak kemiri untuk pengawetan.

Dalam mewarnai benang, pengrajin tenun ikat tradisional menggunakan bahan dasar alami,
seperti: daun dan akar mengkudu (warna merah); daun tarum (warna biru indigo), kunyit
(warna kuning), dan lain sebagainya. Setidaknya ada 11 warna tercipta dari bahan alami
yang ramah lingkungan.

Pewarnaan benang dapat dilakukan berulang-ulang, demi menghasilkan warna yang khas.
Dalam pewarnaan benang yang menggunakan bahan dasar alami, memang warna terlihat
tidak secerah (kurang kinclong) layaknya kalau memakai benang modern (sintetis). Tapi
pewarnaan yang alami seperti ini, justru lebih tahan lama dan jika kain dikenakan dalam
jangka waktu yang lama, justru akan semakin menguak warna yang makin lama semakin
indah.

Usai pewarnaan, benang dibiarkan hingga kering, lalu direntangkan pada rangka benang
untuk kemudian ditata sedemikan rupa menjadi pola hias.

f. Menenun

Menenun

Jika rentangan benang sudah membentuk motif dan pola hias tertentu, maka tahapan
berikutnya adalah menenun. Saat menenun, seorang mama penenun akan melakukan
beberapa hal, seperti misalnya: mengangkat benang sambil mengeluarkan alat panjang
seperti tombak (pedang tenun), memasukkan benang dengan memakai tabung kecil
(legung), menyentak-nyentak dengan memakai pedang tenun, merapikan benang yang
disebut plehok, dsb.
Hasil tenun yang indah sekali memerlukan kesabaran dan ketekunan tinggi

Selama proses menenun, seorang perajin tenun dengan lincah menggerakkan kedua
tangannya dan menyatukan hati serta pikirannya, bersamaan dengan peralatan tradisional
yang melilit pinggang. Mereka bekerja dari mulai matahari setinggi tombak hingga
menjelang sore hari. Butuh waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk bisa
menghasilkan selembar kain tenun yang berkualitas sekaligus bercitra seni tinggi.

Setelah menyaksikan demonstrasi menenun tadi, semakin paham dan menyadari betapa
panjangnya proses menenun. Ada sekitar 20 tahapan yang harus dilalui demi menghasilkan
sehelai kain tenun yang indah. Harga yang kita bayar demi sehelai kain tenun, semahal
apapun itu menurut kita, rasanya sepadan dengan ketekunan dan kesabaran para penenun itu.
Bukankah begitu?

Teknik Menenun

Ada kain tenun yang proses penembakan pakannya menggunakan benang pakan yang sudah
terbentuk motifnya, maka harus tepat penempatan motifnya secara langsung saat ditenun.

Karena pakan jenis ini sudah melalui proses ikat pada pakan bukan diikat pada benang lungsi.
Jenis ini hanya seniwati penenun yang daya imajinasinya tinggi.

Juga ada kain tenun yang pembentukan motifnya tanpa ikat tapi langsung dengan permainan
unsur pakan selama menenun. Pembentukan motifnya secara langsung saat menenun. Jenis
ini juga hanya penenun dengan ketrampilan tinggi.

Ada juga kombinasi permainan warna spiral pada benang pakan yang menggunakan alat
pintal, sehingga mutu kain yang dihasilkan bisa terbentuk modifikasi warna-warni dan tekstur
yang menarik.
Warna

Pewarn
aan alami (https://www.youtube.com)

Pewarna yang digunakan pun tergantung dari dominansi tumbuhan yang tumbuh sebagai
habitat di daerah tersebut. Proses pewarnaan merupakan unsur seni dalam memadukan
kombinasi warna yang sudah secara lasim dihasilkan. Ada yang warna tunggal dan warna
kombinasi bersusun. Paduan warna ada yang warna ganda, yang tentu saja pengerjaannya pun
makin rumit dan proses yang lama juga ada upacara khusus dan ada pantangan-pantangan
tertentu agar hasilnya sempurna.
Sumber :
1. https://gpswisataindonesia.info/2018/05/kain-tenun-ikat-sikka-nusa-
tenggara-timur/
Kain Tenun Ikat Sikka Nusa Tenggara
Timur

Beragam kain tenun ikat Sikka (https://travel.kompas.com)


Suku bangsa Sikka merupakan sebagai bagian dari etnis Mukang yang terdiri dari beberapa suku,
yaitu suku Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang, yang mendiami Kabupaten Sikka, Flores timur-tengah,
Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kebiasaan masyarakat Sikka dalam kesehariannya dan tiap acara adat atau agama, selalu memakai
kain tenun atau sarung adat. Sebutan U’tang Sikka untuk sarung perempuan dan lipa Sikka atau Ragi
Sikka untuk sarung laki-laki.

Sejarah

Proses awal tenun kain di Sikka dalam catatan sejarah, dieksplorasi secara hebat sekitar tahun 1600-
an oleh Raja Don Aleksius Alesu Ximenes Da Silva, yang akrab disapa “Mo’ang Lesu” sebagai perintis
tradisi tenun-menenum di kampung Sikka sejak tahun 1607.

Sebagai salah satu ungkapan rasa terima kasih atas jasanya, hingga kini kaum ibu selalu
“mengabadikan” motif Rempe Sikka Tope pada salah satu jenis tenunan mereka karena motif
tersebut merupakan salah satu motif kesukaan Mo’ang Lesu.

Jenis Kain Tenun

Seorang ibu sedang menenun (https://www.youtube.com)


Jenis tenunan tersebut terdiri dari, Kain tenun ikat, Kain tenun prenggi, Kain tenun liin, Kain tenun
neleng dan Kain tenun itor. Jenis kain adat artinya penuh dan kaya motif terdiri dari hurang kelang
(jalur-jalur ikat dan non ikat) dan bermutu tinggi karena mempunyai nilai filosofi atau pesan khusus
dan prosesnya dengan upacara khusus dalam hampir tiap tahapan prosesnya. Lapisan-lapisan bagian
motif yang disebut sebagai satu-kesatuan hurang kelang yang terdapat dalam suatu unsur kain tenun
atau sarung berbeda tergantung pada jenis motifnya. Motif teridentifikasi pada bagian ina gete (main
motif) yang merupakan nama dari motif kain tersebut.

Motif dan Makna

Jika ditelusuri kembali dari motif, teknik, proses pembuatan dan asalnya, sebuah kain tenun ikat
bagi masyarakatnya dapat dianggap mempunyai nilai dan makna yang dalam. Nilai- nilai itu antara
lain nilai spritual (religio-magi), nilai politis (dikaitkan dengan ritual-ritual adat dan oleh pemangku
adat), dan nilai sosial-ekonomis (sebagai denda adat untuk mengembalikan keseimbangan sosial).
Juga makna yang dalam dapat ditemukan dalam pemakaian kain tenun berdasarkan corak-motifnya,
seperti contoh dibawah ini:

Utang Jarang Atabi’ang, dengan motif pasangan manusia berkuda yang melambangkan manusia
menuju alam baka (dipakai sewaktu ada kematian).

Utang Merak, dengan motif burung merak dari corak dan warna yang menarik dan indah
(dipakai pengantin wanita).

Utang Mitang, dengan motif garis warna gelap yang tenang (dipakai oleh para orang
tua).

Utang Mawarani, dengan motif bintang kejora sebagai pemberi terang, petunjuk dan media
penolak bala (dipakai para pemimpin).

Utang Rempe-Sikka, dengan bermotif tiga bintang yang mengandaikan suami, istri dan anak
(dipakai oleh pengantin wanita).

Utang Sesa We’or, dengan motif ekor burung murai betina dan jantan (dipakai oleh sepasang
pengantin). (Marie Jeanne Adams)

Proses Pembuatan

Dikutip dari laman astinsoekanto, proses pembuatan selembar kain tenun sebagai berikut:
Pohon kapas dengan sebutan ‘kapa ai’. Biasanya pohon kapas ini ditanam di kebun dan menghasilkan
buah selama satu musim saja, yaitu di musim kemarau. Jika daya berbuahnya sudah hilang, pohon itu
akan kering dan mati.

a. Memisahkan biji dengan kapas


Memisahkan antara biji dan kapas

Prosesnya dimulai dari mengeluarkan kapas putih dari kelopak atau cangkangnya. Kapas
putih yang masih banyak bijinya tadi, kemudian dijemur di panas matahari. Jika kapas sudah
kering dan ringan, itu berarti langkah berikutnya adalah mengeluarkan biji kapas. Cara
mengeluarkan biji kapas disebut keho kappa atau ngeung kappa.

Untuk memisahkah kapas dari bijinya, dipakai sebuah alat tradisional yang disebut ngeung
atau keho. Alat itu sangatlah sederhana kontruksinya dan sebagian besar terbuat dari kayu.
Lalu bagaimana caranya mengeluarkan atau memisahkan putih kapas dari bijinya dengan
memakai alat ngeung?

Tangan kanan menggerakkan alat pemutar, sementara tangan kiri mengisi atau memasukkan
kapas diantara 2 kayu bulat melintang. Memasukkankan kapas ini harus cepat meskipun
jumlahnya tidak boleh langsung banyak, namun harus sedikit demi sedikit. Kapas yang bersih
jatuh ke bagian depan alat, sedangkan biji-bijinya jatuh ke belakang.

Memasukkan kapas untuk memisahkan dari bijinya disebut wotik, yang berarti menyuapi.
Jadi pekerjaan ini butuh kesabaran dan ketenangan luar biasa, layaknya seorang ibu yang
sedang menyuapi anaknya.

b. Membersihkan kapas
Pembersihan kapas dengan memukul-mukul berulang kali

Meskipun kapas telah dipisahkan dari biji-bijinya, namun tidak otomatis selesai dan bisa
digunakan, karena kotoran masih tetap ada. Karena itu, untuk membersihkannya kapas
dibiarkan kering dengan menjemurnya.

Proses membersihkan kapas dilakukan oleh 2 perempuan yang memukul-mukul kapas


dengan 2 tongkat kayu di atas tikar. Keduanya memukul secara silih berganti. Karena terus
menerus dipukul serta dibolak-balik, maka kapas menjadi lembek, sehingga kotoran-kotoran
mudah dibersihkan.

c. Kapas dipintal
Memintal benang kapas

Setelah kapas dibersihkan, maka serat kapas tadi dihaluskan dengan alat semacam busur
kecil, dengan dipilin menggunakan telapak tangan. Pilinan kapas ini kemudian dipintal
menjadi benang panjang yang tidak terputus. Cara memintal kapas menjadi benang,
menggunakan alat yang dinamakan jantra atau kincir. Onderdil alat ini terbuat dari kayu yang
berbentuk seperti roda.

d. Membuat Motif
Merentangkan benang

Jika kapas sudah menjadi benang, maka tahapan berikutnya adalah mengikat motif dan
ragam hias. Benang direntangkan pada alat yang disebut laing tebong yang terbuat dari 2
kayu yang melintang. Setelah benang direntangkan, maka pekerjaan yang berikutnya adalah
membuat ikat motif atau ragam hias geometris. Pekerjaan ini dilakukakn oleh 2 orang,
dengan cara saling memberi dan menerima benang. Yang satu mengatur agar tiap urat
benang dimasukkan dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas, yang lainnya,
mengembalikan urat benang ke pangkalnya. Lalu dengan hitungan tertentu, mereka
membentuk motif yang diinginkan.
Membuat jalur-jalur ikat tenun

Jalur-jalur ikat tenun dibedakan atas beberapa pola, yang antara lain: pola besar yang
dominan (pola ibu), pola besar sedang, dan pola kecil. Semua jalur ikat baik yang besar
maupun yang kecil dengan motif atau ragam hias tertentu, bisa memenuhi satu bahan
sarung tenun ikat. Penataannya tergantung pada rasa seni si pembuatnya.

e. Mewarnai Benang
Mewarnai benang secara tradisional dengan bahan alami

Benang-benang yang sudah diikat dan membentuk pola-pola dengan motif tertentu tadi,
kemudiam akan melalui proses pewarnaan benang. Proses ini dimulai dengan mencelupkan
benang kedalam adukan minyak kenari dan minyak kemiri untuk pengawetan.

Dalam mewarnai benang, pengrajin tenun ikat tradisional menggunakan bahan dasar alami,
seperti: daun dan akar mengkudu (warna merah); daun tarum (warna biru indigo), kunyit
(warna kuning), dan lain sebagainya. Setidaknya ada 11 warna tercipta dari bahan alami yang
ramah lingkungan.

Pewarnaan benang dapat dilakukan berulang-ulang, demi menghasilkan warna yang khas.
Dalam pewarnaan benang yang menggunakan bahan dasar alami, memang warna terlihat
tidak secerah (kurang kinclong) layaknya kalau memakai benang modern (sintetis). Tapi
pewarnaan yang alami seperti ini, justru lebih tahan lama dan jika kain dikenakan dalam
jangka waktu yang lama, justru akan semakin menguak warna yang makin lama semakin
indah.

Usai pewarnaan, benang dibiarkan hingga kering, lalu direntangkan pada rangka benang
untuk kemudian ditata sedemikan rupa menjadi pola hias.

f. Menenun
Menenun

Jika rentangan benang sudah membentuk motif dan pola hias tertentu, maka tahapan
berikutnya adalah menenun. Saat menenun, seorang mama penenun akan melakukan
beberapa hal, seperti misalnya: mengangkat benang sambil mengeluarkan alat panjang
seperti tombak (pedang tenun), memasukkan benang dengan memakai tabung kecil
(legung), menyentak-nyentak dengan memakai pedang tenun, merapikan benang yang
disebut plehok, dsb.
Hasil tenun yang indah sekali memerlukan kesabaran dan ketekunan tinggi

Selama proses menenun, seorang perajin tenun dengan lincah menggerakkan kedua tangannya dan
menyatukan hati serta pikirannya, bersamaan dengan peralatan tradisional yang melilit pinggang.
Mereka bekerja dari mulai matahari setinggi tombak hingga menjelang sore hari. Butuh waktu
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk bisa menghasilkan selembar kain tenun yang
berkualitas sekaligus bercitra seni tinggi.

Setelah menyaksikan demonstrasi menenun tadi, semakin paham dan menyadari betapa panjangnya
proses menenun. Ada sekitar 20 tahapan yang harus dilalui demi menghasilkan sehelai kain tenun
yang indah. Harga yang kita bayar demi sehelai kain tenun, semahal apapun itu menurut kita, rasanya
sepadan dengan ketekunan dan kesabaran para penenun itu. Bukankah begitu?

Teknik Menenun

Ada kain tenun yang proses penembakan pakannya menggunakan benang pakan yang sudah
terbentuk motifnya, maka harus tepat penempatan motifnya secara langsung saat ditenun.
Karena pakan jenis ini sudah melalui proses ikat pada pakan bukan diikat pada benang lungsi. Jenis
ini hanya seniwati penenun yang daya imajinasinya tinggi.

Juga ada kain tenun yang pembentukan motifnya tanpa ikat tapi langsung dengan permainan unsur
pakan selama menenun. Pembentukan motifnya secara langsung saat menenun. Jenis ini juga hanya
penenun dengan ketrampilan tinggi.

Ada juga kombinasi permainan warna spiral pada benang pakan yang menggunakan alat pintal,
sehingga mutu kain yang dihasilkan bisa terbentuk modifikasi warna-warni dan tekstur yang menarik.

Warna

Pewarnaan alami (https://www.youtube.com)

Pewarna yang digunakan pun tergantung dari dominansi tumbuhan yang tumbuh sebagai habitat di
daerah tersebut. Proses pewarnaan merupakan unsur seni dalam memadukan kombinasi warna yang
sudah secara lasim dihasilkan. Ada yang warna tunggal dan warna kombinasi bersusun. Paduan
warna ada yang warna ganda, yang tentu saja pengerjaannya pun makin rumit dan proses yang lama
juga ada upacara khusus dan ada pantangan-pantangan tertentu agar hasilnya sempurna.

Anda mungkin juga menyukai