Anda di halaman 1dari 3

Bombana, N egeri D ewi P adi

B
OMBANA yang dikenal sebagai wilayah Moronene, merupakan salah satu
dari sekian banyaknya etnis yang berada di Sulawesi Tenggara, dimitoskan
sebagai Negeri Dewi Padi (Dewi Sri). Konon katanya sang dewi pernah
turun di sebuah tempat yang belakangan disebut Tau Bonto.

Dalam bahasa Moronene, Taubonto berarti tahun pembusukan. Disebut tau


bonto karena saat ketika Dewi Padi itu turun di tempat tersebut, produksi padi
ladang melimpah ruah sehingga penduduk kewalahan memanennya. Akibatnya,
banyak padi tertinggal dan membusuk di ladang. Padahal, menurut cerita rakyat
setempat, luasan ladang yang dibuka tak seberapa, hanya beberapa hektar saja
untuk setiap keluarga.hal ini tentu menjadi pertanyan setiap orangnya,kerna baru
kali ini hasil panen padi di desa ini sangat banyak bahkan para petani kewalahan
untuk memanennya bahkan tak sedikit di antara mereka yang membuang buang
hasil panen padinya tersebut di akibatkan kewalahan dalam memanennya.hal ini
menjadi kejadian yang di anggap tak wajar sehingga peristiwa ini banyak di
terbitkan sebuah cerita cerita pendek atau bahwakn menjadi buah bibir pada
masanya dimasyarakat itu,

Desa tau Bonto menjadi pusat pemerintahan di zaman kekuasaan mokole,


gelar raja di wilayah Moronene pada masa lalu. Di masa pemerintahan swapraja
Buton pascakemerdekaan, wilayah kekuasaan mokole berubah menjadi wilayah
distrik, dan selanjutnya menjadi kecamatan hingga sampai sekarang ini belum ada
perubahan.

Secara historis, wilayah Moronene di daratan besar jazirah Sulawesi Tenggara


mencakup Kecamatan Watubangga di Kabupaten Kolaka sekarang. Namun, yang
masuk wilayah administrasi Kabupaten Buton hanya Kecamatan Poleang dan
Rumbia. Saat ini telah berkembang menjadi empat kecamatan. Dua kecamatan

Bomabana, Negeri Dewi Padi Page 1


tambahan sebagai hasil pemekaran adalah Poleang Timur dan Rarowatu.
Kecamatan Rarowatu berpusat di Tau Bonto.

Pulau Kabaena juga termasuk wilayah Moronene sebab penduduk asli pulau
penghasil gula merah itu adalah suku Moronene. Meski demikian, pemerintahan
mokole di Kabaena bersifat otonom, tidak ada hubungan struktural maupun
hubungan afiliatif dengan kekuasaan mokole di daratan besar.

Kekuasaan mokole di Kabaena berada di bawah kontrol Kesultanan Buton,


seperti halnya mokole di daratan besar jazirah Sulawesi Tenggara. Sultan Buton
menempatkan petugas keraton di Kabaena yang bergelar Lakina Kobaena. Karena
itu, secara struktural, Kabaena lebih dekat dengan Buton.

NEGERI Dewi Padi tak lebih dari sebuah mitos yang beredar.akan tetapi yang
sebenarnya ingin menggambarkan bahwa wilayah Moronene memiliki potensi lahan
pertanian yang bisa mendatangkan kemakmuran bagi penduduk yang kreatif dan
mau bekerja keras.

Sebaliknya, jika hanya bergantung pada kemurahan alam dan sulit menerima
perubahan, masyarakat akan tetap terjebak pada pola kehidupan yang statis,
sebagaimana gejala umum yang segera terlihat pada realitas kehidupan sosial
ekonomi masyarakat Moronene, baik di daratan besar maupun di Pulau Kabaena.

Gejala itu sangat kontras dengan kehidupan masyarakat pendatang. Sumber-


sumber ekonomi di kabupaten yang belum seumur jagung itu justru dikuasai
masyarakat Bugis yang bermigrasi ke daerah itu sejak puluhan tahun, bahkan
boleh jadi sudah mencapai ratusan tahun, lalu.dan hingga sekarang ini banyak
orang yang mengatakan suku bugislah yang mempunyai wilayah tersebut,padahal
yang sebenarny bukan begitu,wilayah itu merupakan wilayah kekuasaan moronene
hanya banyak pendatang dari kalangan suku bugis yang menetap tepatnya di
polean timur sehingga banyak yang mengatakan bahwa daerah itu merupakan
daerah kekuasaan bugis,dan sampai sekarang ini daerah itu masih di padati oleh
penduduk suku bugis.

Bomabana, Negeri Dewi Padi Page 2


walau pun begitu warga suku bugis sampai sekarang ini mereka tidak pernah
mau berspektif bahwa silayah itu sepenuhnya akan di ambil oleh suku bugis.dan
hubungan antara suku bugis dan suku moronene masih terjalin sangat
baik.walaupun banyak kabar yang beredar bahwa ada konflik yang terjadi padahal
hal itu hanya merupakan hoax yang menyabar pada masyarakat setempat

Begitu banyak suku bugis yang tinggal di wilayah itu,dan mereka membuka
perkebunan kelapa,coklat hingga sampai saat ini mereka masih menjadi petani
yang sukses karena rata rata mereka menanam tumbuuhan seperti
nilam,cengke,merica cabai dan lain sebagainya , dan mereka memanfaatkan lahan
luas di wilayah pesisir. Perkebunan itu masih dinikmati generasi sekarang, bahkan
telah diversifikasi dengan tanaman komersial lain. Kecuali kelapa sebagai tanaman
pokok, lahan perkebunan tadi menghasilkan pisang dan cokelat.hingga kini wilayah
poleang timur tersebut masi terkenal dengan wilayah penghasil panen terbnyak
salah satunya kelapa dan lain sebagainya

Belakangan ini rata-rata orang Bugis di Poleang kejangkitan demam vanili,


yang telah lebih dulu melanda petani di Kolaka Utara. Virus seperti itulah yang
diharapkan juga diidap masyarakat Moronene. Harga vanili jauh lebih tinggi dari
cokelat, yaitu sekitar Rp 130.000 setiap kilogram saat ini.

Kendati belum memadai, pemerintah sebetulnya telah membangun sarana dan


prasarana di wilayah itu, seperti jaringan jalan dan jembatan, irigasi persawahan
dan penambakan. Selain itu, pemerintah juga menempatkan sejumlah proyek
transmigrasi. Proyek tersebut melibatkan penduduk lokal yang menikmati fasilitas
seperti halnya transmigran penghuni proyek tersebut.

Bahkan, masyarakat suku Moronene yang masih berkeliaran di hutan-hutan


telah ditangani secara khusus melalui program permukiman masyarakat terasing.
Selama dekade 1970-an, tercatat dua lokasi proyek permukiman suku terasing dari
masyarakat Moronene, yaitu proyek Lanowulu dan Rau-Rau.

Terakhir, pemerintah provinsi bersama pemerintah pusat menetapkan wilayah


tersebut menjadi Kapet (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu)

Bomabana, Negeri Dewi Padi Page 3

Anda mungkin juga menyukai