Anda di halaman 1dari 10

TUGAS ANTROPOLOGI

KESENIAN TRADISIONAL TAYUB

DI GROBOGAN JAWA TENGAH

DISUSUN OLEH :

GERRY MAKALUNSENGE 13030117130052


GUMELAR YUGI CAHYADI 13030117130049
PRIO ADI NUGROHO 13030117130048

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2018
PENDAHULUAN

Kesenian tradisional Indonesia memiliki ragam bentuk dan jumlah yang banyak,
sehingga tidak heran bila dalam satu daerah terdapat kesenian khas yang merupakan
landmark bagi daerah itu sendiri. Kabupaten Grobogan Purwodadi punya kesenian berupa
Tayub yang sering diidentikan dengan kisah-kisah jaman dahulu.

Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah setelah


Kabupaten Cilacap, dan berbatasan langsung dengan 9 kabupaten lain.

Secara geografis, Grobogan merupakan lembah yang diapit oleh dua pegunungan
kapur, yaitu Pegunungan Kendeng di bagian selatan dan Pegunungan Kapur Utara di bagian
utara. Bagian tengah wilayahnya adalah dataran rendah. Dua sungai besar yang mengalir
adalah Kali Serang dan Kali Lusi.

Dua pegunungan tersebut merupakan hutan jati, mahoni dan campuran yang memiliki
fungsi sebagai resapan air hujan disamping juga sebagai lahan pertanian meskipun dengan
daya dukung tanah yang rendah.

Lembah yang membujur dari barat ke timur merupakan lahan pertanian yang
produktif, yang sebagian telah didukung jaringan irigasi. Lembah ini selain dipadati oleh
penduduk juga aliran banyak sungai, jalan raya dan jalan kereta api.

Sebelumnya ibukota kabupaten Grobogan terletak di Kecamatan Grobogan bukan di


Kecamatan Purwodadi, akan tetapi kemudian dipindah di Purwodadi, Bupati Grobogan
pertama kali adalah Raden Surokerti Abinarang dan Bupati yang paling legendaris adalah
Soegiri.

Budaya yang paling terkenal di Grobogan ini adalah seni tayub, dengan pemainnya
yang legendaris adalah Lasmi dari desa Kropak.
PEMBAHASAN

1. Asal Usul Tayub


Tari Tayub, atau acara Tayuban, merupakan salah satu kesenian Jawa Tengah yang
mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Tarian ini mirip dengan tari Jaipong dari
Jawa Barat. Unsur keindahan diiikuti dengan kemampuan penari dalam melakonkan tari yang
dibawakan. Tari tayub mirip dengan tari Gambyong yang lebih populer dari Jawa Tengah.
Tarian ini biasa digelar pada acara pernikahan, khitan serta acara kebesaran misalnya hari
kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala desa, serta
acara bersih desa. Anggota yang ikut dalam kesenian ini terdiri dari sinden, penata gamelan
serta penari khususnya wanita. Penari tari tayub bisa dilakukan sendiri atau bersama,
biasanya penyelenggara acara (pria). Pelaksanaan acara dilaksanakan pada tengah malam
antara jam 9.00-03.00 pagi. Penari tarian tayub lebih dikenal dengan inisiasi ledhek.
Tari tayub merupakan tarian pergaulan yang disajikan untuk menjalin hubungan sosial
masyarakat. beberapa tokoh agama islam menganggap tari tayub melanggar etika agama ,
dikarenakan tarian ini sering dibarengi dengan minum minuman keras. pada saat menarikan
tari tayub sang penari wanita yang disebut ledek mengajak penari pria dengan cara
mengalungkan selendang yang disebut dengan sampur kepada pria yang diajak menari
tersebut. serinng terjadi persaingaan antara penari pria yang satu dengan penari pria lainnya,
persaingan ini ditunjukkan dengan cara memberi uang kepada Tledek (istilah penari tayub
wanita).persaingan ini sering menimbulkan perselisihan antara penari pria.

Tayub mulai dikenal sejak zaman Kerajaan Singasari. Pertama kali digelar pada
waktu Jumenengan Prabu Tunggul Ametung. Kemudian Tayub berkembang ke Kerajaan
Kediri dan Majapahit. Kemudian Raja Kediri menjadikan tayub sebagai tarian kerajaan dan
mementaskannya untuk penyambutan tamu agung kerajaan. Pada abad XII, tayub digunakan
untuk penobatan Raja Jenggala. Dia mewajibkan para permaisuri menari tayub saat
menyambut kedatangan raja di pringgitan.

Tarian tayub merupakan kesenian gerak tari para penari serta nyanyian diiringi diatur
bersama supaya serempak berdasarkan kesepakatan dari para pemain dengan para penonton.
Sehingga terwujudlah suatu keakraban dan persaudaraan. Tayub berasal dari kata “Tata dan
Guyub” yang artinya bersahabat dengan rasa persaudaraan tanpa persaingan dan tanpa aturan
menari yang dibakukan. Tayub dalam istilah Jarwo Dhoso yaitu “ditata ben guyub”, yang
merupakan sebuah filosofi yang ditanamkan pada tayub sebagai kesenian untuk pergaulan.
Nilai dasarnya adalah kesamaan kepentingan untuk mengapresiasikan kemampuan jiwa dan
bakat seni, baik penabuh gamelan maupun penarinya. Kesamaan kepentingan ini akan
melahirkan keserasian Tayub sebagai suatu bentuk tarian, mereka menari sesuai dengan
kreativitas yang seirama dengan diiringi musik gamelan.

Di daerah Kabupaten Grobogan tarian tayub menggambarkan ungkapan rasa syukur


atas keberhasilan panen atau perayaan karena terkabulnya doa permohonan masyarakat
Kabupaten Grobogan. Mereka bersuka cita, bercanda, menari bersama, bergandeng tangan,
dan saling berpasangan. Kegiatan muda-mudi yang terjadi secara spontan, ketika itu sangat
membekas dan berkesan dalam hati mereka. Apa yang mereka alami seakan memiliki arti
tersendiri dan menjadi momen penting dalam kehidupannya. Seiring dengan berjalannya
waktu mereka mengulangi untuk menyenggarakan perayaan panen dan waktu terus berjalan
yang akhirnya tercipta suatu tari pergaulan yang dinamakan Tayub. Tayub sendiri telah
berkembang di beberapa daerah di Jawa Tengah, yaitu Blora dan Pati. Tayub didaerah Pati
dan Blora berbeda dengan Tayub Grobogan.

Di daerah Kabupaten Blora tarian tayub menggambarkan penyambutan para tamu


atau pimpinan yang dihormati oleh masyarakat menurut jenjang kepangkatan mereka masing-
masing. Penyambutan oleh penari wanita dengan menyerahkan selendang yang dipakai
penari atas petunjuk pemimpin. Tamu yang menerima selendang mendapatkan kehormatan
untuk menari bersama-sama dengan penari.
Sedangkan di daerah Kabupaten Pati tari Tayub memberikan spirit kesuburan, yang
dimaknai bersatunya “bapa angkasa (bapak langit) dan Ibu Bumi (ibu pertiwi). Persatuan
keduanya menimbulkan hujan yang mendatangan kesuburan. Bergesernya wajah geografis
Jawa dari yang bernuansa agraris ke era industrialisasi mengubah wajah seni tradisi. Tayub
tidak lagi menjadi perangkat budaya sebagai seni ritual kesuburan, melainkan lebih condong
kearah perangkat komersial. Dengan kata lain, Tayub bergeser dari seni yang berpijak pada
filosofi ke arah fungsional dan pragmatis.

Masyarakat Pati selatan juga merumuskan syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang
penari Tayub adalah Rupa, Suara, Wiraga, dan Trapsila. Berparas cantik, bersuara merdu,
pandai menari dan bermuka ramah harus dimiliki oleh setiap perempuan yang ingin menjadi
seorang penari Tayub. Sederet persyaratan yang tidak mudah dipenuhi oleh kebanyakan
perempuan dimanapun. Kalau pandai menari dan bersuara merdu masih bisa dilakukan
melalui belajar olah gerak tubuh dan gurah, tetapi cantik dan berwatak ramah lebih
merupakan pemberian atau bawaan sejak lahir.

Tatanan yang telah dipakai setiap pementasan tarian tayub adalah satu penari diikuti
dua penari pria dan biasanya setiap pentas minimal dua penari wanita. Sehingga diatas pentas
minimal ada enam penari pria dan wanita. Penari pria yang tampil dipentas adalah para tamu
yang hadir pada setiap hajatan, sehingga dibutuhkan pengatur acara yang dalam hal ini
dinamakan “Pengarih” dan sebagai tanda bahwa seseorang mendapatkan giliran menari
diberikan selendang oleh panitia. Dengan demikian dalam situasi apapun pentas kesenian
Tayub selalu berjalan dengan lancar dan aman dan etika pun terjaga dengan bai karena jarak
antara penari pri dan wanita diatur yaitu dengan jarak satu meter.

Didalam kelompok seni pertunjukan, tarian tayub dapat digolongkan dari tari
masyarakat tradisional, sifat masyarakat yang menonjol, tampak sebagai gambaran dari jiwa
masyarakat pendukungnya. Karena kesenian Tayub sudah memasyarakat dan juga merupakan
hiburan segar dan murah bagi semua kalangan maka tari Tayub dipentaskan pada setiap acara
perkawinan, khitanan, memenuhi nadar, diterima kerja, upacara adat dan sebagainya.

2. Tayub Grobogan Purwodadi

Kini kesenian Tayub di Grobogan Purwodadi telah menjadi tontonan masyarakat yang
seringkali selalu dimanfaatkan dalam acara-acara penting hingga mampu menghibur
masyarakat. Namun, dari aspek nilai moralnya masih terus dipakai untuk memberi nasehat-
nasehat dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan sampai sekarang banyak sanggar-sanggar telah dibuat secara khusus untuk
memberikan daya kreativitas di bidang pendidikan hingga nanti dapat terus dilestarikan oleh
generasi muda.

Setidaknya masyarakat saat ini tetap mengetahui jika kesenian Tayub masih bisa
dipakai untuk berbagai acara penting. Di Grobogan Purwodadi sendiri, kesenian tari Tayub
sering dipentaskan dalam acara peresmian gedung baru, pesta pernikahan dan sebagainya.

Musik pengiringnya berupa seperangkat gamelan Jawa yang selalu dimainkan dengan
beberapa penyanyi yang disebut sebagai sinden. Adakalanya pula penari tayub ini sekaligus
tampil sebagai sinden. Jadi sambil menari, mereka juga mendengangkan lagu-lagu Jawa.
Biasanya ketika tarian ini dipentaskan, akan tercipta suasana meriah dan penuh kegembiraan.

3. Perkembangan di Zaman Sekarang


Tayub pada zaman dahulu, hanyalah sebuah tontonan perlengkapan seremoni nazar
bagi warga desa yang kebetulan punya uni alaias nazar. Masyarakat Grobogan meyakini
adanya mitos, jika pernah punya nazar, tetapi tidak segera dilaksanakan setelah niatnya
tercapai, maka yang bersangkutan akan dirundung malapetaka. Misalnya, ada anggota
keluarga yang sakit parah, bahkan sampai meninggal dunia atau dapat pula berubah musibah
fatal yang lain.
Sebagai medium pengabulan nazar, diundanglah ledhek untuk menolak musibah yang
bakal datang. Selain itu, juga sebagai pengucapan rasa syukur kepada Hyang Widhi atas niat
dan maksudnya yang telah terkabul. Lama pertunjukan cukup singkat sekitar 1-2 jam. Konon,
mantra-mantra yang diucapkan sang ledhek itulah yang sanggup meredam segala musibah.

Namun, seirama perkembangan seni hiburan di daerah pelosok pedesaan, seni tayub
kini berubah fungsi, suasana, dan temponya. Dari fungsinya sebagai perlengkapan seremonial
nazar beralih fungsi sebagai hiburan semata. Suasana sakral pun sirna berganti suasana
hingar-bingar di tengah musik gamelan yang membubung ditingkah ketipak kendang yang
keras membentak. Tempo pertunjukannya pun berlangsung semalam suntuk alias byar klekar
seperti hiburan lain pada umumnya.
Pertunjukan tayub yang melibatkan ± lima pria sebagai penayub dengan dua atau tiga
ledhek sebagai sripanggungnya, kalau ditata dan diatur nyaris mampu menampilkan suasana
paguyuban yang kuyup akan nilai persaudaraan, kerukunan, dan kekeluargaan. Namun, pada
akhirnya makna harfiah yang kuyup nilai itu jadi sirna lantaran dibikin sendiri oleh ulah
penayubnya yang kadang seronok, hampir-hampir menjurus ke tingkah pornografi.

Boleh dibilang bahwa pada tahap ini pertunjukan mencapai puncak ekstasenya.
Nyaris tak ada batas antara penonton dan para penayub. Mereka sama-sama lebur dalam
suasana yang hingar-bingar. Semakin larut malam, penonton kian meruah dengan tepuk sorak
yang membahana. Pada tahap kedua ini, cara menayub terbagi dalam dua teknik, yakni
menari dan ngepos.

Bagi para pemuda yang terampil menari, mereka memilih cara yang pertama dengan
mengundang teman-temannya istilahnya sambatan untuk bersama-sama menari di tengah
pertunjukan. Mereka bebas memilih gending-gending Jawa yang keras dan hingar-bingar
dengan suara hentakan kendang yang cukp dominan, seperti gumbul thek, kijing miring,
godril, celeng mogok, goyang semarang, dan semacamnya. Sambil menari, mereka mulai
bertingkah. Tubuhnya mulai menghimpit, memeluk, bahkan mencium. Mereka bergumul
tanpa malu-malu, meski dilihat oleh sanak saudara dan kerabatnya. Barangkali ini sebagai
kompensasi bagi para pemuda desa yang haus hiburan di sela-sela rutinitas kesehariannya
yang maton tanpa variasi.

Sedangkan, bagi para pemuda yang tak becus menari, cukup dengan ngepos, yakni
duduk di kursi panjang sambil memangku sang ledhek. Mereka mirip benar dnegan insan
manusia yang tengah dimabuk asmara. Dengan diiringi gending-gending Jawa yang rata-rata
halus-romantis, semacam sida asih, lara branta, rujak jeruk, yen ing tawang ana lintang, dan
sebagainya, mereka mulai bertingkah seronok seolah-olah benar-benar ingin melampiaskan
rupa birahinya yang menggelora.

Bisa dipastikan, apabila ada orang yang mempunyai hajat, jauh-jauh hari mereka
mengumpulkan uang. Namun begitu, mengintip pertunjukan tayub Grobogan yang rata-rata
menampilkan adegan seronok, perlu diadakan garis kebijaksanaan yang tegas dari pihak yang
berwenang, mengingat pertunjukan ini ditonton oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa
mengenal tingkatan usia. Hal ini bisa menimbulkan dampak negatif yang lebih runyam jika
tidak segera mendapatkan uluran kebijakan. Apa kata anak-anak jika melihat sanak
saudaranya bergumul bersama ledhek tanpa ada jarak yang memisahkan. Para orang tua
seolah meneladani anak-anaknya dengan petingkah yang seronok.

Beranjak dari sisi ini, haruskah pertunjukan tayub yang nyaris hanya memburu segi
tontonan dan menihilkan unsur tuntunan, mesti diuri-uri?. Mungkin perlu adanya penegasan
yang manusiawi tanpa menyinggung perasaan dan harkat warga desa yang rata-rata lugu dan
polos. Paling tidak, jarak antara ledhek dan penayub perlu dibatasi.
KESIMPULAN
Kesenian Tayub di Grobogan Jawa Tengah adalah sebuah tradisi yang dilakukan
sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas keberhasilan panen atau perayaan karena
terkabulnya doa permohonan masyarakat Kabupaten Grobogan. Mereka bersuka cita,
bercanda, menari bersama, bergandeng tangan, dan saling berpasangan.

Namun dengan perkembangan waktu kesenian Tayub mulai salah digunakan, seni
tayub kini berubah fungsi, suasana, dan temponya. Dari fungsinya sebagai perlengkapan
seremonial nazar beralih fungsi sebagai hiburan semata. Suasana sakral pun sirna berganti
suasana hingar-bingar di tengah musik gamelan yang membubung ditingkah ketipak kendang
yang keras membentak. Tempo pertunjukannya pun berlangsung semalam suntuk alias byar
klekar seperti hiburan lain pada umumnya.

Pada akhirnya makna harfiah yang kuyup nilai itu jadi sirna lantaran dibikin sendiri
oleh ulah penayubnya yang kadang seronok, hampir-hampir menjurus ke tingkah pornografi.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Tayub
https://budayajawa.id/sejarah-seni-tayub-grobogan
http://blog.milzamr.com/2016/11/seni-tayub-grobogan.html

Anda mungkin juga menyukai