Anda di halaman 1dari 18

RESUME BUKU

KAJA & KELOD


Penulis :

SENI PERTUNJUKAN INDONESIA

OLEH:
Kelompok 3
1. Rory Nur Pramesti 18124120
2. Wiwit Pujiana 18134121
3. Duwi Setiyowati 18134134
4. Desi Indah Fitriani 18134135
5. Asa Wuyung Realita18134137

PRODI SENI TARI

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN

INSTITUT SENI INDONESIA


SURAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
izin, rahmat, dan karunia-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas Seni Pertunjukan Indonesia Resume buku yang berjudul
Kaja & Kelod

Laporan ini berisikan tentang kebudayan, pertunjukan yang berada di


Bali.

Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu dengan segala kerendahan hati penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Dan atas saran dan kritikan yang membangun penulis ucapkan terima kasih.

Demikian laporan ini, semoga dapat memberikan manfaat dan


pengetahuan bagi pembaca.

Solo, 18 April
2019

Penulis
Tugas Seni Pertunjukan Indonesia

Judul : Kaja Dan Kelod

Tarian Bali dalam tradisi

Penulis :

 I Made Bandem
 Fredrik Eugene de Boer

Penerbit : Badan Penerbit ISI Yogyakarta

Genre :

ISBN : 979-8242-15-7

Tahun terbit : 2004


Tarian Sekuler di Ruang Sekuler

Dalam bab ini dikemukakan sejumlah genre tarian Bali yang lazimnya
ditampilkan dalam ruang sekuler. Tari-tarian ini umumnya dipentaska untuk
kepentingan rekreasi dan hiburan semata dan tidak selalu harus dirangkaikan
dengan kegiatan-kegiatan yang berhubungan langsung dengan ritual keagamaan.
Genre bebali juga dapat seperti Gambuh dan Wayang Wong dapat di pertunjukkan
dalam ruang lingkup sekuler murni selama atribut sakralnya secara otentik tidak
digunakan. Pertunjukan sekuler dapat dipentaskan dalam tempat pertunjukan
sementara di lapangan umum atau jalan atau di balai kemasyarakatan , wantilan
atau bahkan di dalam gedung pertunjukan permamen.

Tarian Joged

Genre Joged berasal dari bahasa indonesia kuno yang bearti penari wanita.
Tari joged mudah dikenali karena ciri-ciri tarian pergaulan yang dikandungnya,
dimana penari sudah menyelesaikan tarianya yang murni bergaya legong, para
pria yang dalam kerumunan diundang ke panggung lalu menari bersama dengan
tarian yang genit. Sebagai bagian tari joged yang penuh dengan improvisasi,
dalam ngibing para penari menunjukan nafsu yang berlebih-lebihan, seksi, goyang
yang berombak-ombak, gerak kipas yang menutupi muka penari pertanda kemalu-
maluan terhadap laki-laki, senyum manis, dan mata berkedip-kedip menatap
pasangannya.

Menurut kisah-kisah orang tua Bali, mungkin tidak tepat kalau dikatakan
bahwa pada masa lampau kebebasan itu terletak, pada ciuman dan pelukan saja.
Sering juga ada penari muda laki-laki yang berbusana wanita yang mendapatkan
pasangan dari penonton. Pada masa lampau , para pria yang tampil dan menari
yang disebut ibing diwajibkan untuk membayar dengan uang atau bendadalam
jumlah yang cukup besar. Penari-penari Joged yang sudah mengakhiri masa
kerjanya menjadi orang-orang penting yang mengajarkan seni pertunjukan istana
ke desa-desa.

Leko

Tari jogedlelo berhubungan erat dengan tari Legong. Tarian ini


dipertunjukkan oleh dua orang perempuan berumur sepuluh sampai empat belas
tahun, dan biasanya mereka telah mampu mempertunjukkan beberapa jenis tarian
Legong. Di samping itu tari Leko juga berfungsi sebagai hiburan atau juga untuk
upacara kaul. Tari Leko juga tidak lepas dari ibing-ibingan. Kedua penari Leko
menyebar ke luar batas arena, masing-masing mencari pasangan dari penonton
dengan mengepakkan kipasnya.
Tari leko di iringi oleh seperangkat gamlena semar pegulingan. Suara
gamelan ini sangat manis, dan lagu-lagu yang dimainkan sesuai dengan tarian
leko. Setelah ibing-ibingan berlangsung selama 30 sampai 40 menit, akhirnya
kedua penari leko itu mengakhiri pertunjukan. Selain untuk upacara kaul, tari leko
juga dipentaskan untuk amal dan upacara resmipemerintah lainnya. Dengan
demikian, pembinaan Leko tidak terbataspada seni ritual.

Joged Gudegan

Joged Gudegan muncul dalam masyarakat Bali dengan sebutan yang


berbeda-beda. Di desa Sukawati, Kabupaten Gianyar, joged ini disebut Joged
ingitan, sedangkan di Klungkung tarian ini diberi nama JogedTongkohan. Penari
Joged Gudegan ini lebih tua umurnya dibanding dengan penari Leko. Tari ini
dipentaskan oleh para wanita berumur 17-20 tahun. Gamelan yang dipakai terdiri
atas instrumen-instrumen seperti gender bambu,trompog bambu , kendang , dan
instrumen pukul lainnya. Di desa Sukawati tarian ini memakai tari Lasem,
sedangkan di desa Singapadu tarian ini memkai Calonarang. Disaat ibing-ibingan
dimulai, arena pentas yang semula diterangi dengan lampu listrik, kini
dipadamkan dan penerangan diganti dengan lampu minyak kelapa atau obor.

Di desa Singapadu Kabupaten Gianyar, Joged Pingitan diciptakan atas


keinginan seseorang penari yang sudah lama menjadi penari istana pada kerajaan
Timbul Sukawati. Penari yang lama sudah mengabdi dan mendapat latihan di Puri
Sukawati itu kembali ke desanya untuk mengembangkan tari joged. Sebagai
hadiah atas pengabdiannya, penari itu di beri sebuah gelungan yang sampai saat
ini masih terpelihara dengan baik. Oleh keturunan penari tersebut , gelungan
sebagi hadiah sang raja yang dianggap sakral.

Adar

Tari adar merupakan tari gudegan yang hampir punah. Tidak satu pun daei
seka-seka Adar yang masih aktif yang masih mempertunjukan Kesenian itu. Di
daerah Tabanan, pada masa yang lampau, tari Adar di ayomi oleh para raja -raja.
Tari itu di pentaskan untuk pengumpulan dana masyarakat untuk memperbaiki
bangunan-bangunan di masyarakat. Pertunjukan tari ada mengambil tempat pada
sebuah jalan di muka bale banjar. Di tempat pementasan warung warung kecil
untuk menjual makanan ringan. Penari penari itu menjual makanan sambil dengan
diadakan perjanjian dengan para laki laki yang ingin mempertaruhkan
kekayaannya untuk menjadi pengibing. Mereka akan berlomba lomba mengajukan
tawaran agar di perkenankan menjadi pengibing. Setelah pedagang laku dan ada
perjanjian tentang ibing, kepala grub adar ini meminta penarinya tampil ke pentas.
Gandrung

Ditinjau dari segi etimologi, kata gandrungberarti cinta atau rindu.


Gandrung merupakan sebuah tari pergaulan yang dilakukan oleh pria dan
melambang cinta kasih atau kerinduan. Gandrung biasanya dipentaskan untuk
upacaraperkawinan dan perlambang kesuburan sehingga dapat mengakibatkan
cinta birahi.

Pada zaman dahulu gandrung dipentaskan di istana atas permintaan raja-


raja karena dapat menggugah cinta birahi raja dan istrinya, agar raja dapat
membagi cintanya secara adil.

Adapun busananya sama dengan tari legong. Kini tari gandrung diiringi
dengan gamelan Gandrung yang terdiri atas berjenis-jenis instrumen bambu,
seperti trompong, reyong, jegogan, ditambah dengan kendang, cengceng, dan
gong.

Joged Bumbung

Bumbung berarti tabung bambu, sebuah istilah untuk memberi nama


seperangkat gamelan joged. Joged bumbung adalah sebuah tari pergaulan yang
memiliki unsur sosial sangat tinggi. Joged bumbung biasanya dipertunjukkan oleh
empat atau enam orang penari dan tampil di pentas satu per satu. Joged bumbung
tidak memiliki tari pendahuluan seperti dalam joged yang lain.

Adapun busana yang dipergunakan dalam joged bumbung sangat


sederhana, meliputi kain batik, baju kebaya, dan selendang. Gelungan yang
dipakai oleh joged bumbung juga sangat sederhana, berupa petitis (dahi) yang
bagian belakangnya dihiasi dengan bunga-bunga cempaka yang sangat indah.

Abuang Kalah

Di desa Bali Aga, Tenganan, Kabupaten Karangasem. Tarian Abuang


Kalah yang pada awalnya merupakan bagian sebuah upacara ritual, kini telah
menjadi satu pertunjukan yang digelar rutin setiap tahunnya, pada saat Bulan
Purnama dari bulan pertama sistem kalender mereka atau sekitar bulan februari
menurut penanggalan masehi. Pada dasarnya Abuang Kalah adalah
semacambentuk permainan dimana sebagian merupakan prosesi pengenalan
pemuda-pemudi desa yang telah menginjak dewasa.

Para pemudi mengenakan pakaian tradisional kain grinsing, penutup dada


dan selendang serta bunga-bunga emas yang disematkan pada rambut mereka.
Dihadapan para gadis yang sedang menari, para pemuda desa menunggu seiring
dengan tatap dan hiruk pikuk komentar para tetua desa dibelakang mereka.
Setelah menunggu, beberapa pemuda mengumpulkan keberaniannya untuk maju
dan bergabung bersama para gadis. Mereka mesti mengikuti irama musik dan
menari pada aksen yang tepat dan jika tidak, maka para tetua akan menegur agar
sang pemuda menghentikan tariannya dan menunggu kesempatan berikutnya.

Gebyong

Salah satu keagungan bali adalah kekayaan dan keragaman musik


rakyatnya yang luar biasa. Menebah gabah adalah pekerjaan rumah tangga
tradisional Bali dan mekin lama makin ditinggalkan. Ketika gabah ditebah dengan
tangan, butir padi dilepas dari sekamnya dalam suatu wadah bernama lesung
dengan cara ditumbuk dengan sebuah alu. Para wanita yanhgmenumbuk gabah
melakukan suatu bentuk improvisasi yaitu mengembangkan pola tumbukan yang
saling bersahutan dengan suara byog-byog-byog, kemudian disebut gebyog. Pola
ritme ini, dinilai oleh para musisi Bali sebagai sumber dari pola paduan Cak
dalam tarian Sang Hyang Dedari. Para wanita akan menyanyikan lagu-lagu rakyat
untuk mengiringi ketukan-ketukan irama. Semua lagu tersebut mengandung
elemen godaan atau rayuan, juga ajakan untuk melakukan sesuatu bersama-sama.

Gerakan mengayak padi dilakukan dalam pola mirip improvisasi ngibing


dalam tarian joged. Ketika para lelaki mengambil padi dengan keranjang dari
lesung untuk diberikan kepada para wanitabyang bertugas mengayak, mereka
terkadang bergerak dengan menyesuaikan alunan musik lesung dan mulai menari
saat mendekati beban yang akan diangkat dengan gaya menggoda dan terkesan
seksi, serta kocak. Para wanita akan memanggil saat pria-pria menari. Para gadis
juga akan keluar untuk menari. Mereka akan menari degan pria dalam gaya
ngibing. Tidak ada kesan tabu atau tidak sopan dan pekerjaan tetap dilakukan
tanpa jeda. Nyanyian dan tarian gebyog sangat menonjol di daerah yang sekarang
disebut Kabupaten Jembrana, Bali Barat, dimana tradisi itu terjadi di desa Batu
Agung.

Cakepung

Sebanyak dua lusin Vokalis menyanyikan suara 'pung-cake-pung-cake-


pung' dalam keseragaman untuk mengiringi tarian. Cakepung merupakan tarian
pergaulan, dilakukan untuk rekreasi dan hiburan. Genre ini sekarang hanya bisa
ditemukan di kabupaten Karangasem dan di pulau Lombok yg dulu pernah
menjadi daerah bawahan Karangasem.

Para pria duduk dalam lingkaran, salah satu peserta akan mengambil
naskah lontar yang berisi tembang-tembang Macapat dengan iringan suling
(seruling) dan rebab (biola jawa). Setelah setiap baris lagu, anggota lain dalam
grup itu berbicara sebentar menguraikan kalimat-kalimat dalam lagu untuk
menjelaskan kepada penonton yang mungkin sulit memahaminya. Begitu para
lelaki merasakan efek tuak, arak dan brem, suasana menjadi lebih riuh dan
semarak, dan berbagai argumen tentang makna lagu itu saling diperdebatkan.

Akhirnya seseorang dengan cepat berdiri. "Pung!" teriak sang pemimpin.


"Chakepung-chakepung-cakepung!" pria lain bergabung dalam nyanyian itu dan
beberapa yg lain berdiri dan menari, sedangkan sebagian lainya masih memegang
ayam aduannya. Gerakan spontan dan dalam gaya kocak, serta menyerupai
ngibing tanpa elemen-elemen menggoda. Begitu seorang penari kelelahan, ia
boleh duduk dan diganti lainnya.

Godogan

Di des Batuan, Kabulaten Gianyar, terdapat kelompok yang mendalami


pertunjukan ceritera rakyat, menggunakan genggong sebagai alat musik pengiring.
Ceritera itu diberi nama Godogan, yang merupakan versi Bali tentang ceritera
rakyat yang mengisahkan pernikahan sang putri dengan seekor kodok. Grup I
Made Jimat ini menggunakan seperangkat topeng untuk menampilkan ceritera.
Gerakan dalam tari topeng dan Baris banyak digunakan, dihiasi pula dengan
pantomim realistis yang menggambarkan seekor katak.

Janger

Nama 'janger' dapat diterjemahkan sebagai 'keranjingan' yg berkonotasi


bahwa seseorang sedang 'gila' cinta. Genre ini diciptakan pada awal abad ke-20.
Gelombang pasang-surut populitas Janger terjadi pada tahun 1930-an, 1965, dan
1974. Gambaran pengaruh Barat yang jelas dalam janger meliputi elemen
dekorasi, terutama kain latar yg dilukis secara realistik.

Busana pria dalam Janger juga menunjukkan pengaruh barat. Busana itu
terdiri dari sebuah topi (baret), bapang Bali atau kerah penutup bahu, celana
pendek, kaos kaki sampai lutut dan sepatu tenis. Tanda pangkat dipundak juga
sering digunakan, bahkan beberapa grup menggunakan seragam kacamata hitam.

Pertunjukan Janger yg tipikal ini dimulai dengan sebuah vivan tablo yg


ditampilkan didepan kain latar dan dibelakang korden depan (langse), yang ditarik
kesamping untuk membuka komposisi. Pada masa lalu, seorang dalang seremoni
yg disebut Daag, memperkenalkan dan menampilkan grup, tapi konvensi ini
sudah tak dipakai. Ketika lagu pembuka selesai, korden ditutup. Kemudian
muncul 12 lelaki, disebut Kecak, mengawali bagian utama dari pertunjukan.
Berbusana celana pendek, baret, dan kacamata hitam, para Kecak
mempertunjukkan adegan akrobatik, berbaris, dan berbagai gerakan rutin lain
yang asing bagi tarian Bali klasik. Setelah itu mereka duduk berdua-dua saling
berhadapan dalam barisan enam pasang, membentuk dua sisi formasi lapangan yg
lebarnya sekitar 15kaki. Kemudian para wanita yang disebut janger tampil
mengenakan pakain Legong tradisional dan hiasan kepala yang menyerupai dalam
tari Joged Pingitan. Mereka menyanyikan lagu rakyat dalam bahasa Bali biasa, di
iringi bunyi bunyi yang disuarakan para kecak. Bait pertama menggambarkan
kecantikan Janger.

Tarian para penari wanita itu sangat lambat dan elegan, dengan banyak
penegasan pada gerakan tangan yang berubah-ubah dan berontak. Jika sudah
seluruhnya masuk panggung, para janger itu terbagi menjadi dua garis dan juga
duduk saling berhadapan, bersebelahan dengan formasi para kecak. Pertama-tama
ditampilkan dahulu dua musik selingan. Musik selingan pertama disebut
tetamburan, (memainkan gendang atau tambur). Tetamburan dimainkan oleh
pemusik gamelan dan penari pria yang bertepuk tangan secara ritmis sambil
meneriakkan suku kata-suku kata yang mudah diingat yang biasa digunakan
dalam pengajaran bermain gendang (tambur) Bali. Para pria bernyanyi dan
bertepuk tangan, sedangkan para janger yang masih dalam posisi duduk, bergerak
secara seragam dan ritmis, diambil dari kebyar duduk dan gerakan engotan sangat
dominan.

Musik iringan kedua lebih irikal. Para penari pria dan wanita menyayi
semi koor dengan formasi saling bertanya dan menjawab. Akhirnya setelah
berlangsung sekitar 20 menit, nada yang lebih serius dimainkan untuk
menunjukkan kepada penonton bahwa dramatari segera dimulai. Biasanya diawali
dengan masuknya tokoh penasar yang memulai pertunjukan dengan gaya tipikal
Prembon dan Baris Melampahan.

Saat ini ada dua grup yang Setia menekuni pertunjukan Janger. Salah
satunya dari desa Peliatan, kabupaten Gianyar. Menampilkan cerita Arjuna
Wiwaha dengan gaya baris melampahan. Grup satunya lagi berada di Kedaton,
kota Denpasar yang menampilkan cerita Cupak dan Grantang.

Barong Ket

Setiap tahun pada hari raya Galungan, kelompok taruna Banjar Sengguan
mengambil Barong Ket dan membawanya berpergian, melakukan perjalanan
selama seminggu atau lebih ke desa sekelilingnya dalam jarak yang cukup jauh.
Adat kebiasaan ini disebut ngelawang mereka membawa bekal makanan yang
cukup serta seperangkat kecil gamelan, dan berkemah selama perjalanan.
Para penari Barong melakukan aksinya. Langkah-langkah tariannya
sederhana, namun dua penari itu harus bekerja sama dengan baik sebagai satu
kesatuan.

Beberapa penduduk desa datang membawakan sesajen untuk


dipersembahkan kepada ‘dewa’ yang berkunjung hadir, sementara ada yang
memohon beberapa helai rambut dari bulunya yang lebat sebagai tanda
keberuntungan, atau minta air suci yang telah di celupi jenggot sang barong.

Asal-usul barong tentunya adalah tari Singa Cina yang muncul selama
Dinasti T’ang (abad ke-7 sampai 10) dan menyebar ke berbagai bagian di Asia
Timur. Bila di hubungkan dengan sang Budha, tari Singa Cina memiliki konotasi
sebagai pengusir bala yang hidup sampai masa sekarang. Pengaruh Hindu sampai
di pulau itu dari India, dibanding dengan aspek-aspek penting Cina dalam
kebudayaan tradisional Bali.

Koin Cina (uang kepeng) merupakan media tukar-menukar tradisional di


pulau Bali, bahkan masih penting sebagai bagian dari sesajen sampai saat ini.
Hampir semua Banjar di Bali Selatan memiliki sedikitnya satu jenis ‘makhluk
menakjubkan’ tersebut, yang dianggap mutlak dalam perang melawan kejahatan
yang tak ada henti-hentinya. Barong juga dipanggil keluar pada saat wabah
melanda atau terjadinya bencanalain. Wilayah kekuasaan Barong adalah di
tempat-tempat berbahaya dan angker dalam kepercayaan masyarakat, areal
perkuburan, persimpangan jalan, dan lorong-lorong sunyi yang di gemari para
bhuta dalam membuat kekacauan.

Pada saat pergantian tahun baru Bali, sehari sebelum Hari Nyepi. Saat itu
sang Barong berusaha mengusir setan kembali keasalnya yaitu laut dari tempat-
tempat dimana mereka bermukim. Hari raya besar Galungan merupakan hari yang
khusus bagi Barong.

Seorang dokter Belanda, Jacobs, yang mengunjungi Bali pada tahun 1880,
berkesempatan menyaksikan sebuah pertunjukan Upacara Berutuk. Dalam
pertunjukan itu, empat pria bertopeng mencoba membawa lari empat wanita
bertopeng. Ketika barong muncul disisi para wanita, para pria melawan dan
membunuhnya, sebelum membopong para wanita keluar daripanggung.

Jauk dan Telek

Pria bertopeng yang ada pada upacara berutuk disebut jauk. Mereka
menggunakan hiasan kepala berbentuk tempat lilin kerucut menunjuk ke atas
menyerupai bentuk stupa Budha. Para penari wanita pasangan jauk disebut Telek,
berkarakter halus, warnanya putih dan giginya juga terlihat namun ekspresi
wajahnya menyenangkan dan menyunggingkan senyum, mengenakan gelung
seperti pagoda, dan membawa kipas. Di daerah Sanur penari perempuan ini
disebut Sandaran daripada Telek. Tarian ini juga sering dipentaskan dalam
pertunjukan komersial yang disuguhkan bagi para wisatawan

Rangda (I)

Di desa desa Bali Selatan, menyimpan dua contoh topeng khusus yang amat
mengagumkan yaitu topeng seram yang memiliki lidah panjang yang disebut
rangda, tukang sihir, yang secara luas sering diperlihatkan dalam film atau buku
tentang Bali, berfungsi untuk melindungi desa dari marabahaya. Barong untuk
melindungi Banjar yang lebihkecil. Topeng satunya, seperti pasangannya,
dipotong dari kayu pohon rangdu (kapuk) yang masih hidup dan disucikan
melalui suatu upacara khusus, dan disimpan di dalam Pura Dalem (purakematian).
Topeng ini melindungi desa dari para butha yang berkumpul di tempat tempat
hina, kotor, dan berbahaya, seperti di sekitar pemakaman.

Dua topeng itu diberinama Ratu Dalem (ratu pura kematian) dan Ratu Desa (ratu
pura desa). Kedua rangda ditempatkan dandi pamerkan di altar khusus dalam
lingkungan pura, sesajen di persembahkan kepada mereka, seiring dengan
panjatan doa ungkapan syukur dan permohonan perlindungan dimasa mendatang.

Onying

Tariannya cukup tertib pada bagian awalnya: langkah dan gerakannya mirip tarian
Baris upacara. Namun tiba-tiba, salah seorang penari, lalu sebagian, dan pada
akhirnya seluruhnya menangis dan berteriak keras, serta tubuhnya menegang dan
bergetar keras. Pertama-tama keris diangkat tinggi dan diacung-acungkan dengan
tangan kanan, kemudian sang penari menusukkan keris kedadanya sendiri dan
menikamdirinya berulang-ulang dengan tegang. Mereka melaporkan adanya
hentakan emosi yang luar biasa ‘panas’ dan rasa gatal pada kulit selama
berlangsungnya upacara.

Para pemangku dan wanita lebih tua bergerak dengan tenangnya di antara penari
sambil membawa botol-botol air suci, dan memercik mereka yang membutuhkan
pengendalian dan penyadaran. Para pria dewasa secara berkelompok beraksi
dengan cepat membantu mengendalikan para penari terutama mereka yang
menjadi liar. Secara perlahan, satu persatu penari tergeletak lemas, setelah sang
dewa pergi. Mereka kemudiandibawa ke sebuah pvilium kecil untuk disadarkan.
Tarian ritual ini secara pasti digolongkan dalam kategori wali. Penika mandiri
sendiri tersebut menguji dan mendemonstrasikan kekuatan para dewa yang
merasuki penari. Begitu kerasukan, seorang penari menjadi kebal terhadap
marabahaya. Penusukan terhadap tubuh sendiri (onying) tidak dihubungkan
dengan dewa khusus, tidak memilikicerita khusus, dan sama sekali tidak
berhubungan dengan pertunjukan-pertunjukan lain.

Wong Sakti

Para penonton Bali meski dipulau tersebut tidak ada tradisi pertunjukan orang
berjalan diatas kawat terjun bebas atau trik trik atletik berbahaya lainya. Akan
tetapi dalam dunia magis, hitam dan putih. Banyak ahli yang mau
mempertunjukkan kehebatannya langsung dihadapan penonton. Wong sakti
(Orang sakti) melibatkan sebuah kontes baik dengan bantuan roh di ditempat
berbahaya maupun dengan ahli magislainya.

Terlepas dari ahli-ahli sihir yang berkerja dalam skala kosmister dapat banyak
pula Wong sakti yang bekerja dalam tingkatan yang lebih lokal. Sebagai contoh,
dalang yang mengkhususkan diri dalam jenis pertunjukan wayang tertentu:
Walang calonarang, mendapat sebuah reputasi karena kemampuannya menangkal
kekuatan sihir ilmu hitam dan kekuatan orang yang mampu mengubah diri menja
dileyak (setan).

Padamasalalu,Wayang colonarang sebetulnya dimaksudkan sebagai upacara


khusus untuk mengusir setan untuk rumah tangga atau tempat lain yang diganggu
oleh roh-roh jahat. Namun, wayang colonarang sekarang merupakan sebuah
kontes, dan juga tukang sihir lokal itu kekuatannya terbatas, seorang ahli bayaran
boleh dibawa untuk menjamin berlangsungnya suatu pertarungan yang menarik.
Dusang (jenazah) bermain sebagai orang mati dalam pertunjukan-pertunjukan
dramatik. Ia berbaring tak berdaya ketika bajunya dilepas, dicuci dan dibungkus,
sementara lagu-lagu untuk orang mati dinyanyikan. Melakukan kegiatan seperti
itu dinilai sangat berbahaya, karena dengan melakukan itu seseorang sama saja
memanggil leyak yang sangat mungkin berada di sekitarnya dan datang untuk
melahapnya. Dusang, seperti halnya penari keris, merasakan adanya berkah
kekebalan dalam situasi-situasi berbahaya.

Rangda (II)

Di Desa Kesiman, Kota Denpasar, sekitar dua mil dari pusat kota, terdapat
Pura Pengrebongan (Pura Pertemuan), sebuah tempat pemujaan suci bagi topeng-
topeng Barong dan Rangda. Sekitar 30 atau 40 topeng berkekuatan gaib berada
disana. Pertemuan besar topeng-topeng sakral itu dilakukan di areal jeroan; ini
adalah satu-satunya kunjungan di areal jeroan oleh para Barong dan Rangda.
Dengan dikelilingi oleh para pengikutnya, topeng-topeng dan kostum-kostum
bertuah tersebut diletakkan di tanah, sementara doa dipanjatkan kepada Dewi
pura. Getar-getar spiritual memuncak selagi doa-doa berlanjut dan aura pemusatan
energi di udara terasa amat hebat.

Barong dan Rangda mengintari gelanggang berlawanan dengan jalan


jarum jam selama berjam-jam, sementara para pengikut setianya mempraktekkan
onying, ritual penikaman tubuh. Tak satupun berinteraksi secara formal dengan
yang lainnya dan tak ada penggambaran suatu ceritera atau bahkan situasi
dramatik.

Pemusatan kekuatan di halaman pura dan merasuknya sang Dewi ke dalam


‘anak-anaknya’ menghadirkan pula kesurupan onying seperti yang dialami para
wanita pada penjelasan terdahulu. Tujuan lain dari upacara ini adalah penyucian
kembali topeng-topeng yang berkekuatan gaib tersebut oleh sang Dewi. Pada
akhir upacara, topeng-topeng dan para pembawanya pun kembali kerumahnya,
sekali lagi siap melindungi masing-masing desanya.

Pada acara ini dan acara-acara lainya, tidak ada persyaratan khusus yang
dibutuhkan untuk bisa mengenakan topeng Barong, asal saja yang mengenakan
adalah anggota banjar pemilik topeng tersebut. Untuk pastinya, ketahanan tubuh
yang prima mesti dipenuhi. Koreografi tarian ini agak rumit, dan sedikitnya
dibutuhkan latihan dasar tari Baris modern.

Akan tetapi, adalah suatu ceritera yang berbeda apabila yang muncul
dalam pertunjukan adalah topeng Rangda. Dari sekian banyak lelaki yang berani
mengenakan topeng dan kostumnya, hanya sedikit yang pernah mendapatkan
instruksi tariannya, karena Rangda tak perlu mengikuti patokan musik.

Yang jauh lebih penting dari pada kemampuan teknik bagi sang pria yang
menarikan Rangda adalah kekuatan spiritual. Bilamana Rangda muncul dihadapan
masyarakat, kekuatan besar dilepaskan diantara orang-orang dan penari lain.
Ketika Rangda muncul, kehadiran sang Dewa bisa dirasakan secara kuat hingga
banyak orang dalam kerumunan bisa menjadi tak sadarkan diri dan mengalami
kerasukan, hampir secara otomatis. Hubungan antara Rangda dan kerasukan
sangat erat sehingga di beberapa desa, apabila seseorang mengalami kerasukan
karena alasan apapun maka Rangda akan dipanggil untuk memberikan bantuan

Kesakralan topeng Rangda, pakaian Barong, dan topeng Sidha Karya


bukanlah suatu masalah yang berhubungan dengan penampilannya, mengingat
wajah-wajah tersebut sebagai motif visual biasa digunakan dalam berbagai
kegiatan sekuler di Bali. Apa yang memberi topeng-topeng tersebut kekuatan
adalah penyucian yang diterimanya dari pembuatnya; huruf-huruf sakral yang
ditorehkan didalamnya; kayu suci yang dipergunakan sebagai bahan bakunya; dan
kemudian ‘pengisian’ taksu atau pasupati yang diterimanya di pura atau areal
pemakaman. Sebuah topeng suci secara harfiah menunjukkan kedewaan, dan
ketika salah satu topeng suci di pentaskan dalam pertunjukkan, hal-hal tak terduga
seringkali terjadi.

Tarian Sisya

Ilmu sihir hitam di Bali di perkirakan tiba di Bali padaabadke-10, ketika


upacara-upacara Tantra dari Jawa diperkenalkan di pulau itu. Pada saat itu,
seorang putri Jawa bernama Mahendradatta menikah dengan raja Bali, Udayana,
yang mempraktekkan ilmu sihir hitam. Bagi orang-orang Bali modern,
Mahendradatta adalah sebuah pola umum, ia adalah seorang istri yang dominan
yang mengendalikan suaminya yang lemah melalui ilmu hitam.

Teknik yang paling di gemari oleh Calonarang adalah pergi dengan murid-
muridnya pada malam hari ke perempatan jalan, tempat berbahaya secara gaib,
dan di sana mereka menari dalam keadaan telanjang sampai Dewi Durga memberi
kekuatan untuk berubah menjadi leyak, roh-roh mengerikan yang terbang seantero
negeri melakukan kejahatan dan menyebarkan penyakit. Leyak masih ditakuti di
Bali sampai kini, dan hampir setiap orang memiliki pengalaman dengannya.
Puncak pencapaian tertinggi yang hanya bisa di capai oleh segelintir orang, adalah
memiliki kekuatan untuk bisa menjadi Rangda itu sendiri tanpa memerlukan
topeng atau kostum.

Penyihir-penyihir telanjang yang menari di perempatan jalan dalam


kelamnya malam sudah lama tak terdengar lagi di Bali, mungkin itu sungguh-
sungguh pernah dilakukan, namun perbendaharaan gerak yang dijelaskan dalam
naskah Calonarang masih bertahan dalam bentuk Igel Sisya. Dalam istilah
koreografi, tarian di perempatan jalan sepadan dengan membaca ayat kitab secara
terbalik, seperti yang dilakukan balian ilmu hitam dalam membuat guna-guna.

Dramatari Calonarang

Dramatari calonarabg diciptakan sekitar tahun 1890 didaerah Batubulan,


Kabupaten Gianyar. Dramatari dipertunjukkan untuk Rangda karna kekuatan
dewa yang berbeda termanufestasi dalam topeng yang tidak bisa diisi oleh
manusia, karena Rangda tidak bisa sepenuhnya dijinakkan karena bersangkutkan
dengan magis .
Bentuk pertunjukkan ini memamerkan elemen2 yang diambil dari berbagai
sumber dalam kebudayaan bali, sebagian secara khusus berasal dari tarian,
sedangkan yg lainnya diambil dari berberbagai aspek warisan budaya Bali seperti
Tari Sang Hyang Dedari, Tari Baris Gede dan Rejang.
Tempat pertunjukkan biasanya di pemakaman atau perempatan jalan
karena diyakini menjadi tempat tinggal para bhuta.
Ciri2 khusus dari kalangan Calonarang yaitu :
1. Sebuah sanggah ( tempat suci) yg diletakan dperkarangan luas setiap rumah di
Bali, pada hari Kajeng kliwon.
2. Sesajen berisi potongan2 daging.
3. Kalangan dihias dengan pohon pepaya kecil.
4. Perempatan jalan dinaungi pohon beringin besar.
Adapun alurr cerita pada Dramatari Calonarang, sebagai berikut :

Pada pertunjukkannya, dimulai dengan penampilan Condong ( seorang Pria )


kemudian condong bergumam seorang diri menjelaskan latar belakang cerita.

" Tak seorangpun yg akan menikahi putri Calonarang, Ratna Manggali ".
Kemudian datang Ratna Manggali sambil menari dan menyanyi , setelah melihat
condong, ia bertanya " Calonarang mungkin tahu penyebabnya ". Kemudian 4 - 6
para sisya ( pembantu ) datang menari setelah dipanggil oleh condong untuk
persiapan datangnya Matah Gede ( Raja ) mengambil posisi melingkar dan
berlutut.

Kemudian Janda Girah ( Matah Gede ) muncul dengan membawa tongkatnya.


Saat itu juga calonarang menuruni tangga dan masuk dalam lingkaran sisya untuk
menghormati Matah Gede, lalu menangis.

Setalah Matah Gede berbicara kepada Calonarang yang diterjemahkan oleh


condong, Matah Gede juga menjelaskan tata cara pelaksanaan upacara magis dan
apa saja yang dilakukan oleh masing2 sisya dengan bahasa kawi. Kemudian
Matah Gede dan pengikutnya keluar.

Dikerajaan lain yang dipimpin oleh Raja Erlangga merasa prihatin atas wabah
penyakit yang melanda negerinya. Adapun cara untuk mengatasi masalah tersebut
dengan cara membunuh Calonarang menggunakan keris Khusus. Raja Erlangga
pun memerintahkan kepada Patihnya untuk membunuh Calonarang dengan 2
orang pengawalnya. Setelah mereka sampai di Girah, mereka terkejut akan bau
yang menyengat disekitarnya.
Sementaraitu sisya menari di hadapan tempat suci kecil dan didepan pohon
pepaya melakukan Upacara Tantra. Lalu mereka mengambil bayi - bayi mati
ditanah yang terbungkus kain putih dan memakannya. Setelah memakan bayi -
bayi tersebut sisya menari lagi yang mana tariannya itu menentang prinsip
keindahan dari Tari Bali. Setelah Rangda datang bersama dengan condong lalu
memerintahkan sisya - sisya untuk pergi membunuh semua orang di Daha.

Barong Ladung

Jenis patung terakir sebagai pelindung magis adalah Barong Ladung yang
banyak ditemukan di berbagai desa di daerah Denpasar, yang lebih cenderung
memilihnya dibandingkan Barong Ket dan jenis-jenis Barong lainnya. ‘Ladung’
berarti tinggi, dan sesungguhnya dengan tinggi sekitar 10 kaki, boneka ini
menjulang tinggi diatas pengusung dan pengikutnya. Boneka-boneka ini memiliki
wajah dan sosok manusia.

Perangkat lengkapnya berjumlah lima topeng: Jero Gede (sang ayah), Jero
Luh (istrinya), dan tiga anak mereka. Topeng Luh memiliki wajah Cina dan
kulitnya kuning, sedangkan suaminya memiliki raut wajah hitam legam, rambut
panjang dan memiliki taring; ia di katakan menggambarkan seorang Dravidian
dari India kuno. Anak-anaknya lebih pendek danmenggunakan topeng yang
mengingatkan pada topeng-topeng yang digunakan dalam Telek.

Barong Ladung, seperti halnya jenis Barong lainnya, merupakan milik


desa. Para penarinya diambil dari pria-pria terkuat, yang jika sendiri saja mampu
menangani ukuran dan beban besar patung tersebut. Setiap patung dibawa dan
dioperasikan oleh seorang penari. Dalam setahunnya, Jero Luh dan Jero Gede
beserta anak-anaknya lebih banyak berada di rumahnya di banjar, tapi saat
Galungan, mereka dimunculkan di jalan-jalan utama di daerah Denpasar pada
senja hari. Pada saat itu, grup-grup dengan seperangkat Barong Ladung berjalan
dari desa ke desa, menari dan menyanyikan lagu-lagu Bali dengan iringan
gamelan batel.

Ketika prosesi mencapai balai banjar disebuah desa yang dikunjungi,


lingkaran kecil penonton berkumpul di sekeliling figur-figur ini. Di sana, drama
kekeluargaan sederhana dalam bahasa Bali dipertunjukkan dalam lagu dan dialog,
subyeknya lelucon dan dagelan, bersamaan dengan nasehat-nasehat orang tua
kepada anak-anak. Sang suami dan istri cekcok dan berdebat beberapa saat, tetapi
tak ada adegan berkelahi. Pementasan kecil ini berakhir dengan lagu-lagu yang
dinyanyikan tokoh-tokoh utama, kemudian prosesi dilanjutkan ke desa lainnya.
Prosesi Selama Tahun Baru

Setiap 14 bulan sekali, rakyat Bali merayakan Tahun Baru mereka yang
disebut Hari Nyepi. Ini merupakan saat pembersihan dan pembaharuan, waktu
untuk melunasi hutang lama dan sebuah momen untuk berkumpul kembali dengan
sanak saudara. Pada Hari Nyepi adalah suatu keharusan untuk tinggal di rumah
dengan tenang. Orang tua berpuasa dan melakukan meditasi, dan tak seorangpun
diperbolehkan membuat kegaduhan. Namun, suasananya amat berbeda pada
malam menjelang pergantian tahun, dimana malam itu penuh dengan acara-acara
meriah. Di banyak desa, upacar penyucian yang riuh demi menakuti para bhuta
agar pergi menjauh dilaksanakan, dan setiap keluarga menyediakan sesajen besar
kepada bhuta diluar halaman rumah mereka. Sepertinya pada hari itu, seluruh
pulau mesti dibersihkan dari pengaruh-pengaruh jahat setan.

Untuk membantu memenuhi maksud itu, dewa-dewa yangada dalam figur


pratima kecil dan berbagai jenis Barong diarak dalam sebuah prosesi di jalan oleh
seluruh pengikut pura di seantero pulau. Pada hari itu, tampaknya semua orang di
Bali berarak membawa payung, lambang-lambang dan gamelan, mengikuti
prosesi di jalan-jalan utama menuju arah laut atau sungai yang mengarah ke laut.
Setiap banjar, desa atau persatuan keluarga besar dan kelompok masyarakat irigasi
pergi ke jalanan, memakai kostum puratradisional.menjelang malam, ratusan ribu
manusia sudah berkumpul di pesisir pantai dekat Sanur, berseberangan dengan
Nusa Penida.

Sebanyak seribu Barong hadir disini di kelod dari pulau. Barisan orang
dan figur-figur perlindungannya membentuk pagar pembatas di tepi
pantai,membuat tembok penangkal bhuta, meskipun hanya bersifat sementara.
Dan ditepi laut itu, penjelasan kami tentang tarian tradisional Bali telah lengkap
sudah; daei halaman paling dalam pura Brutuk di Trunyan sampai di pantai Sanur-
kita sudah tiba dari kaja sampai kelod.
PENUTUP

KRITIK & SARAN

Sebaiknya dalam penulisan lebih rinci kembali, terlalu banyak kata-kata atau
bahasa yang sulit di pahami meskipun pada akhir BAB telah dijelaskan.

Anda mungkin juga menyukai