Anda di halaman 1dari 9

TUGAS SENI BUDAYA

MAKALAH TARI LEGONG KERATON

NAMA : I PUTU WINDHU SUPUTRA PURNAMANTARA

KELAS : X.8

NO ABSEN : 17

SMA NEGERI 1 TANJUNG

KABUPATEN LOMBOK UTARA


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

BAB II ISI

A. SEJARAH TARI LEGONG


B. KOREOGRAFI DAN STRUKTUR TARI LEGONG
C. KOSTUM TARI LEGONG
D. TEKNIK DASAR TARI LEGONG
E. PERKEMBANGAN TARI LEGONG

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah bangsa yang majemuk, dengan keanekaragaman dan


keunikan yang memiliki ciri khas tersendiri. Indonesia terdiri dari banyak pulau
dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat, dan seni khas
daerah atau yang sering disebut dengan kesenian daerah.

Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan dalam berbagai bentuk,


pada dasarnya adalah untuk kepentingan manusia sehingga dapat bermanfaat
dalam kehidupannya (Koentjaraningrat, 1990:215). Kesenian merupakan sarana
yang dapat digunakan sebagai cara untuk menuangkan rasa keindahan dari
dalam jiwa manusia. Maka, apabila dilihat dari segi estetika, kesenian menjadi
sebuah simbol terhadap budaya dari suatu tempat. Kesenian merupakan salah
satu kekayaan yang sangat bernilai karena merupakan ciri khas dari suatu
daerah dan menjadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Apabila kesenian merupakan kekayaan yang sangat bernilai, maka dalam
menjaga, memelihara dan melestarikan seni merupakan kewajiban dari setiap
individu.

Seni pertunjukan pada dasarnya adalah hasil karya kolektif yang memiliki
fungsi penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik sosial maupun
spiritual. Seni pertunjukan yang ditampilkan dalam upacara adat mempunyai
fungsi sosial yang amat sangat penting karena dapat memberikan dorongan
solidaritas pada masyarakat dalam rangka mempersatukannya (Sedyawati,
1981:55).

Dalam sejarah fungsi tertua seni pertunjukan adalah untuk upacara,


kemudian lambat laun mengalami perkembangan yang berfungsi sebagai
hiburan pribadi dan akhirnya sebagai tontonan. Namun pada zaman modern
yang penuh perubahan ini fungsi seni pertunjukan yang paling tua masih ada
yang lestari, ada yang fungsinya bergeser meskipun bentuknya tidak berubah
dan ada yang fungsinya bergeser serta bentuknya berubah ataupun tumpang
tindih. Maka secara garis besar, seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer yaitu
sebagai sarana ritual, sebagai hiburan pribadi dan sebagai presentasi estetis
(Soedarsono, 1998:57).

Dari banyaknya pulau di Indonesia, pulau Bali merupakan salah satu


pulau yang terkenal dengan kebudayaan yang khas. Kebudayaan dan kesenian
yang ada di pulau Bali ini memiliki daya tarik yang sangat kuat bagi para
wisatawan asing maupun lokal. Selain di bidang pariwisata, pulau Bali juga
terkenal dengan berbagai macam tari-tarian tradisional. Menurut I Madé Bandem,
masyarakat Bali telah mengklasifikasikan tari Bali berdasarkan sifat dan
fungsinya menjadi: tari Wali (tarian sakral), tari Bebali (tari untuk upacara
keagamaan), dan tari Balih-balihan (untuk tontonan dan hiburan).
Dari semua tarian Bali klasik, Legong mungkin paling akrab bagi
penonton dari Barat. Hal ini disebabkan karena tari Legong memiliki struktur
gerakan yang sangat khas dan kompleks. Tari Legong termasuk dalam jenis tari
balih-balihan tertua di pulau Bali. Tari balih-balihan adalah tari yang tidak
termasuk sakral dan hanya berfungsi sebagai hiburan serta tontonan yang
mempunyai unsur dasar seni tari yang luhur.

Tarian ini sering juga disebut tari Legong Keraton. Hal ini dikarenakan
Legong Keraton hidup dan berkembang di lingkungan istana. Tari Legong
Keraton adalah salah satu tari klasik yang dipercaya sebagai sumber inspirasi
munculnya tari kreasi baru di Bali. Desa Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi
Bali merupakan tempat awal diciptakannya tari Legong. Tari Legong berasal dari
desa Sukawati yaitu di Puri Paang Sukawati. Setelah itu tari Legong Keraton
berkembang ke berbagai pelosok desa di Bali seperti di Puri Agung desa Saba
yang sekarang di Puri Taman Saba, di Peliatan, di Bedulu, di Benoh Denpasar,
dan lain sebagainya (Kesuma, 2011).

Saat ini, Desa Sukawati lebih terkenal dengan pasar seninya, daripada
kesenian tari Legong. Padahal tari Legong Keraton ini berasal dari Desa
Sukawati yang mungkin hanya menjadi romantisme masa lalu. Terlihat bahwa
masyarakat Sukawati generasi masa kini terasa tak memiliki ikatan batin lagi
dengan masterpiece tari Bali ini (Suartaya, 2011). Maka dari itu, alasan penulis
memilih topik ini karena tarian ini harus lebih dikembangkan dan dilestarikan
supaya kesenian ini tidak hilang di tengah perkembangan zaman yang ada.
BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. SEJARAH TARI LEGONG

Kata legong berasal dari kata “leg” yang berarti gerak tari yang luwes atau
lemah gemulai, sementara “gong” berarti gamelan. Kata “leg” dan “gong”
digabung menjadi Legong yang mengandung arti gerakan yang diikat, terutama
ketepatan gerakan oleh gamelan Bali yang mengiringinya (ngigelin gendhing).
Tari Legong mulai dikenalkan kepada turis sekitar tahun 1927 di Bali Hotel yang
merupakan hotel tertua di Bali diperkirakan menjadi tempat pentas tari Legong
pertama kali. Meskipun diluar itu sudah banyak turis yang datang sendiri ke
tempat pertunjukan Legong. Menurut Wayan Dibia, seni pertunjukan di Bali
adalah bagian dari tradisi lisan yang tidak memiliki dokumentasi secara
permanen, tidak ada cukup bukti yang menyebutkan darimana dan kemana
bergeraknya Legong. Legong makin dikenal pada tahun 1931, sejak tarian ini
diperkenalkan ke dunia Internasional.

Sebuah kisah menarik tentang asal-usul tarian Legong yang terjadi


sekitar pergantian abad ke-19, dibeberkan dalam Babad Dalem Sukawati,
sebuah kronologi silsilah Kerajaan Sukawati. Desa Sukawati terletak di
Kabupaten Gianyar yang dikenal karena tradisi dan tingginya mutu seni
pertunjukan.

Menurut cerita, Legong diciptakan sebagai hasil impian yang datang dari
raja yang berkuasa, I Dewa Agung Madé Karna, yang termasyhur karena
kekuatan spiritualnya. Suatu hari, ketika ia sedang bersemedi atau melakukan
meditasi di Pura Yogan Agung di Desa Ketewel, dekat Sukawati, I Dewa Agung
Madé Karna bermimpi melihat gadis-gadis kayangan yang menari di surga.
Tariannya menyerupai tarian para gadis dalam pertunjukan tari Sang Hyang
Dedari dalam keaadaan kerasukan, tetapi pakaiannya tidak hanya putih
melainkan lebih berwarna-warni. Sedangkan hiasan kepalanya juga berwarna
keemasan, tidak sesederhana tari Sang Hyang Dedari. Ketika terbangun dari
mimpi, I Dewa Agung Madé Karna memanggil kepala Desa Ketewel dan
memintanya untuk membuat beberapa topeng untuk menciptakan tarian baru
yang menyerupai tarian yang ia lihat dalam mimpi. Sembilan topeng sakral
dipahat dan diwarnai oleh seniman desa itu, topeng-topeng itu menggambarkan
sembilan bidadari kayangan dalam mitologi Hindu. Dua gadis penari Sang Hyang
yang masih muda diambil untuk menari dengan topeng dan diajari bentuk tarian
baru. Topeng-topeng itu masih tersimpan di Pura Yogan Agung, tempat dimana
setiap enam bulan sekali tarian tua itu dipertunjukkan. Koreografi tarian yang
terlihat dalam Sang Hyang Legong, begitulah tarian baru itu disebut, sangat
sederhana tetapi bentuknya terdiri dari semua gerakan dasar yang ditemukan
dalam tarian klasik Legong. Sang Hyang Legong termasuk tarian wali dan
dipertunjukkan di areal jeroan pura. Beberapa waktu kemudian, sebuah
kelompok tari yang disutradarai I Gusti Ngurah Jelantik (anggota keluarga
Jelantik dari Blahbatuh) menciptakan tarian baru dengan gaya yang mirip Sang
Hyang Legong. Dalam bentuk tarian baru yang kemudian disebut Nandir itu,
penarinya para remaja laki-laki dan tidak menggunakan topeng. Tari Nandir
suatu kali disaksikan Raja Gianyar dan ia sangat terkesan, sehingga ia memesan
sepasang seniman dari Sukawati untuk membuat koreografi tarian yang mirip
Nandir dengan penari remaja putri di istana. Hasil dari koreografi pesanan itu
menjadi dasar tari Legong yang diketahui sampai sekarang. Sayangnya tari
Nandir itu sendiri sudah punah. Tari Nandir lebih klasik daripada Legong dan
dikisahkan dengan sangat indah. Tari Nandir yang tua itu menghilang bersamaan
dengan meninggalnya I Wayan Rindi dari Denpasar pada tahun 1976. Pak Rindi
semasa mudanya merupakan penari yang dilatih untuk menjadi penari Nandir di
Blahbatuh dan dikenal luas selama bertahun-tahun sebagai guru Legong. (I
Madé Bandem, 2004:98).

B. KOREOGRAFI DAN STRUKTUR TARI LEGONG

Legong termasuk tarian dasar yang cenderung sulit. Dalam menari


Legong membutuhkan beberapa teknik agar tarian terlihat indah. Penjiwaan
sangat berperan penting pada tarian Legong karena tari ini berkarakter sangat
kuat. Tarian ini biasanya ditarikan oleh dua atau tiga gadis remaja. Penari kecil
itu mengenakan hiasan kepala dan kostum yang khas, ketika mereka menarikan
dramatari yang sangat abstrak dengan iringan ansambel musik kuno dan manis
yakni gamelan palegongan.

Para pencipta tari Legong menggabungkan elemen wali dan bebali untuk
mengembangkan bentuk tarian baru. Struktur koreografi dan musiknya berasal
dari dramatari Gambuh, sedangkan jenis-jenis gerakannya bisa ditemukan dalam
tradisi tari Sang Hyang Dedari. Dalam Legong, bagian tari pembukaan murni
yang memperkenalkan tokoh penting dalam genre bebali (igel ngugal) diperluas
dan dikembangkan. Elemen naratifnya, meskipun masih muncul dalam bentuk
pokok, tetapi tidak dipertegas lagi. Sehingga hasilnya sangat sesuai menuju
suatu komposisi tari murni.

Koreografi pertunjukan tari Legong mengikuti musik, yang diadaptasi dari


iringan Gambuh. Penampilan bagian pertama yang panjang, yang sama dalam
semua cerita dimunculkan, diiringi oleh sebuah komposisi dalam tiga bagian yaitu
pengawit (kepala), pengawak (tubuh) dan pengecet (ekor).

Pengawit adalah bagian awal dari dari sebuah iringan tari sebagai
pembuka sebelum penari memasuki panggung. Pada bagian inilah penari
menarikan ide utama dari tari tersebut. Dalam pengawit, ada tiga penari kecil
yang diperkenalkan. Salah satu penari itu mengenakan pakaian yang sangat
berbeda dari dua penari yang lain dan muncul terlebih dahulu. Penari itu disebut
condong atau abdi wanita. Ia menari cukup panjang dengan dua kipas yang akan
ia persembahkan kepada tuan-tuan putrinya ketika mereka muncul. Ia menari
selama 10 menit dalam tarian tunggal yang rumit dan sulit, ia menjelajah ke
seluruh panggung dan mendemonstrasikan seluruh jenis-jenis gerakan gaya
Legong yang indah. Ia menyambut tuan-tuan putrinya yang kecil dengan sopan,
duduk di hadapan tuan putrinya, kemudian memberikan kipas sebelum pergi.
Kemudian penari biasanya keluar pada bagian pepeson. Lalu bagian pengawak
dimulai. Bagian ini sangat elegan dan lebih lambat daripada bagian pengawit.
Bagian pengawak adalah bagian inti dari suatu iringan tabuh. Dalam pertunjukan
klasik yang lengkap, tarian ini bisa dilakukan selama 20 menit. Dua penari
bergerak dalam keseragaman dengan pola-pola koreografi yang simetris dan
dalam koordinasi yang ketat dengan suara gendang dan simbal. Selanjutnya
tempo iringan dinaikkan pada bagian pengecet, yang menandakan sebuah tarian
akan selesai. Bagian pengecet dimulai ketika gamelan menggandakan
temponya. Sang penari saling berhadapan dan menari dengan semangat tetapi
singkat. Mereka saling menatap, melirik-lirikan matanya dengan cepat dan
menggoyangkan kepalanya dari sisi ke sisi lain. Kipas mereka digerakkan secara
aktif, hampir membentuk sebuah desain di udara. Temponya berakselerasi,
semakin lama semakin cepat dan tiba-tiba berhenti. Pada akhir iringan, yaitu
bagian pekaad, tarian telah selesai dan penari meninggalkan panggung.

C. KOSTUM TARI LEGONG

Ciri khas tari Bali terletak pada kostum-kostum yang berwarna cerah
sehingga terlihat hidup. Walaupun demikian, setiap tari Bali memiliki kostum yang
bermacam-macam seperti pada kostum tari Legong. Legong pada umumnya
menggunakan kostum berdasarkan tema, cerita atau lakon yang dibawakan
penari.

Kostum yang biasanya digunakan penari Legong, yaitu : kain prada, baju
prada, stagen prada, lamak, tutup dada, badong bundar, gelang kana, ampok-
ampok, gelungan dan properti kipas. Kostum tari Legong pada umumnya tidak
banyak berubah, perbedaan ciri khas yang menonjol setiap tarian Legong
terletak pada warna kostum. Untuk tari Legong Keraton saat ini menggunakan
warna merah muda untuk penari condong dan warna hijau untuk penari legong.

D. TEKNIK DASAR TARI LEGONG

Seorang penari Bali harus mampu untuk memainkan atau


menggerakkan seluruh anggota badannya. Terutama pada tari Legong, karena
gerakannya kompleks, lincah dan dinamis. Terdapat beberapa contoh gerakan
dalam Legong secara umum, yaitu:
1. Tapak Sirang Pada (posisi telapak kaki keduanya menyerong dan membentuk
sudut 45 derajat),
2. Ngegol (gerakan berjalan dengan menggerakkan pinggul ke kanan dan kiri)
3. Ngumbang (gerakan berjalan dengan badan rendah sambil menggerakkan
kepala ke kanan dan kiri),
4. Mungkah Lawang (gerakan tangan di depan wajah sebagai pembuka tarian),
5. Jeriring (gerakan jari-jari tangan yang bergetar halus sesuai alunan gamelan),
6. Ngeseh (gerakan menggetarkan kedua bahu),
7. Lelok (merebahkan badan ke kanan dan kiri)
8. Ngepik (merebahkan leher ke kanan dan kiri)
9. Kipekan (menolehkan kepala ke diagonal kanan dan kiri)
10. Tangkep (gerakan merubah ekspresi muka untuk menjiwai tarian)
11. Sledet (gerakan mata ke diagonal kanan dan kiri)

E. PERKEMBANGAN TARI LEGONG

Pengembangan Legong dengan kekhasan gaya daerah masing-masing


sangat dipengaruhi oleh tokoh yang membawanya. Semula tarian ini tidak
diberikan nama Legong Kraton, hanya sekitar tahun 30an, ketika tari Legong ini
dibawa ke pulau Jawa dan istilah Kraton itu ditempelkan menjadi sebuah tarian
yang bernama Tari Legong Kraton seperti yang dikenal saat ini.

Perjalanan Legong sebagai seni pertunjukan cukup panjang, hingga


membentuk banyak gaya tari seperti yang dikenal masyarakat saat ini.
Perkembangan gaya inilah, yang membuat tari Legong menjadi makin terkenal
dan menyebar luas di kalangan masyarakat Bali. Bahkan hampir setiap desa di
Bali memiliki tari Legong sendiri, seperti contohnya di desa Sukawati. Walaupun
banyaknya perkembangan yang terjadi, saat ini Legong tetap dipertunjukkan
sebagai hiburan pada festival-festival pura di berbagai desa.

Dalam kaitannya dalam dunia pendidikan tari di Bali, Legong merupakan


salah satu tarian yang dijadikan sebagai awal atau fondasi seorang penari Bali
putri. Karena menurut I Madé Bandem, ketika penari Bali sudah menguasai
Legong, semua tarian Bali sangat mudah untuk dikuasai. Karena apabila diawali
dari tari Legong, beliau memiliki keyakinan dan pengalaman bahwa penari Bali
putri akan mudah untuk masuk ke tarian Bali lainnya. Pada dasarnya, ketika
masuk ke dalam tarian yang lain, penari Bali hanya memperlembut kualitasnya,
memperbesar posisi tangan ataupun memberikan suatu ungkapan dramatik yang
berbeda. Tetapi bahwa semua bentuk gerak dasar itu sudah terdapat dalam
tarian Legong.
BAB III

A. KESIMPULAN

Setelah dilakukannya pengumpulan data mengenai Kesenian Tari


Legong Keraton Desa Sukawati, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
1.Tari Legong Keraton adalah salah satu tari klasik yang dipercaya sebagai
sumber inspirasi munculnya tari kreasi baru di Bali.
2. Legong termasuk tarian dasar yang cenderung sulit.
3. Koreografi pertunjukan tari Legong mengikuti musik, memiliki sebuah
komposisi dalam lima bagian yaitu pengawit (kepala), pepeson, pengawak
(tubuh), pengecet (ekor) dan pekaad (akhir).
4. Kostum yang biasanya digunakan penari Legong, yaitu : kain prada, baju
prada, stagen prada, lamak, tutup dada, badong bundar, gelang kana, ampok-
ampok, gelungan dan properti kipas.
5. Perjalanan tari Legong Kraton sebagai seni pertunjukan cukup panjang,
hingga membentuk banyak gaya tari seperti yang dikenal masyarakat saat ini.

Anda mungkin juga menyukai